• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label cocoktanam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cocoktanam. Tampilkan semua postingan

cocoktanam








istilah penyuluhan pertanian pada awal kegiatannya
disebut sebagai Agricultural Extension 
Dalam bahasa negara kita, istilah penyuluhan berasal
dari kata dasar “suluh” yang berarti pemberi terang di
tengah kegelapan.  menjelaskan bahwa
istilah penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk
memberikan penerangan kepada warga  tentang
segala sesuatu yang belum diketahui dengan jelas Dengan
pengembangan pemakai annya di bidang-bidang lain,
maka sebutannya berubah menjadi Extension Education dan
Develoment Communication. Meskipun antara istilah ini 
terdapat perbedaan, namun pada dasarnya mengacu pada
disiplin ilmu yang sama.
berdasar  sejarahnya, cikal bakal aktivitas penyuluhan
dimulai dari jaman penjajahan Belanda atau sebelum
kemerdekaan, tahun 1817, masa kemerdekaan hingga 1966,
masa orde baru hingga tahun 1998, dan masa reformasi atau
otonomi daerah (dimulai 1998 hingga saat ini). Masa orde baru
saat merupakan awal terprogramnya kegiatan penyuluhan di
negara kita. Berbagai metode dan media diseminasi diperkenalkan
antara lain Demplot, Demfarm, LAKUSUSI, siaran pedesaan,
dan berbagai pelatihan untuk perangkat desa. Mulai juga dirintis
tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Penyuluh Pertanian
Spesialis (PPS) untuk mendukung program Bimas ,Pada masa Orde Baru kegiatan penyuluhan pertanian mulai
mendapat pengakuan warga , sejalan dengan keberhasilannya
dalam swasembada beras nasional”  Periode
ini ‘telah dianggap’ sebagai periode yang efektif bagi kegiatan
penyuluhan, yang ditandai dengan pola pendekatan top-down.
….Upaya swasembada yang hanya berlangsung singkat dan
memakan biaya yang tidak sedikit, menjadi kelemahan karena
menerapkan pendekatan sentralis dan tidak mengutamakan
pendekatan petani dengan pengelolaan usahataninya sebagai
sentral dalam pembangunan pertanian’ 
Selanjutnya pada periode tahun 1991 menuntut PPL
menjalankan fungsinya dari polivalen menjadi monovalen.
Keragaman komoditas yang harus ditangani oleh penyuluh
menyebabkan metode Laku (Latihan dan Kunjungan) menjadi
tidak efektif, karena menuntut intensitas dan keragaman
materi penyuluhan yang makin tinggi pula. Perubahan dari
polivalen ke monovalen di lapangan juga tidak sepenuhnya
diterima oleh petani karena petani di lapangan menanam
berbagai komoditas.
Setelah tahun 1996, organisasi atau kelembagaan
penyuluh di daerah mengalami ‘guncangan’ karena terpecah￾pecah secara sub sektor. Berubahnya fungsi Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP), berubahnya sistem kerja penyuluh,
telah bergeser jauh dengan kejayaannya di zaman Bimas.
Ditambah lagi, masing-masing daerah memiliki potensi
sumberdaya dan sumberdana yang berbeda-beda, yang
secara tidak langsung mempengaruhi. Setelah tahun 1996, era
desentralisasi seharusnya membawa aktivitas penyuluhan
lebih ke arah partisipatif, karena esensinya desentralisasi
memberikan kewenangan untuk mengambil tindakan dan
berfi kir secara kreatif. Namun budaya menunggu petunjuk 
dari atas masih kuat melekat pada aparatur pemerintah. sejak
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi
daerah, kondisi penyuluhan pertanian terus mengalami
keterpurukan.
Kendala lainnya adalah terjadinya tarik menarik
kedudukan penyuluh antara dinas subsektoral pertanian
dengan BPP. Dinas subsektoral yang telah merasakan
manfaat keberadaan penyuluh dalam mendukung secara
langsung dan penuh atas proyek-proyek, serta telah dijadikan
andalan di lapang; ternyata merasakan sangat kehilangan dan
masih ingin mempertahankan keberadaan penyuluh dalam
lingkungan dinas ini .
Dominasi peran lembaga penyuluhan dalam
menyampaikan paket teknologi yang harus diadopsi oleh
petani menjadikan petani padi kurang mandiri dalam
berinovasi ,. Penyuluhan pertanian mengalami
degradasi baik dalam peran maupun fungsinya, dimulai sejak
diterapkannya penyuluhan dengan pendekatan monovalen
(sejak tahun 1986) dan puncaknya ketika pembinaan
kelembagaan penyuluhan diserahkan ke daerah, namun
tidak diikuti dengan penyerahan anggarannya (sejak tahun
1991). Kondisi ini diperburuk oleh menurunnya pembinaan
terhadap penyuluh, sehingga keterampilan penyuluh
mengalami stagnasi dan bahkan cenderung menurun 
Penurunan kinerja penyuluhan hingga saat ini masih
belum teratasi dengan baik, meskipun sudah ada UU No. 16
Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan. Hal yang paling mendasar lagi adalah bahwa
kegiatan penyuluh di lapangan lebih banyak terbebani oleh
kegiatan yang bersifat keproyekan atau program. Hal inilah
yang menyebabkan kendala dalam pelaksanaan kegiatan
penyuluhan dengan penerapan falsafah dasar penyuluhanUntuk mempermudah dan mempercepat penyebaran
informasi yang dilakukan penyuluh, maka kegiatan
penyuluhan dalam pelaksanaannya dilakukan melalui
kelompok tani. Cakupan wilayah kerja seorang PPL sekitar
7-10 kelompok tani, sehingga perkembangan jumlah
kelompok tani sejalan dengan perkembangan jumlah PPL.
Secara konseptual, kelompok tani didefi nisikan sebagai 
kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas
dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan
(sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk
meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Dalam
konteks usahatani padi, maka keberadaan kelompok tani
padi dimaksudkan sebagai wadah petani padi untuk bersatu
dengan tujuan utama meningkatkan usahatani padi secara
berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan rumah tangga
petani ,
 Darurat Penyuluhan Pertanian: semakin
berkurangnya SDM, melemahnya kapasitas
penyuluh pertanian, lemahnya kelembagaan di
daerah, dan kemandegan bahan ajar
Tantangan penyuluhan mulai ‘diasah’ pada masa
otonomi daerah. Di era ini, Pemerintah Daerah mendapat
kewenangan untuk mengatur dan mengurus sumberdaya
manusianya, termasuk penyuluh di daerah. Penyuluh daerah
dituntut untuk melakukan tugasnya secara profesional untuk
mendorong warga  petani memanfaatkan peluang yang
ada, termasuk mengembangkan program penyuluhan yang
sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah 
Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah
mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penyuluhanmenjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Wewenang dan tanggung jawab
pemerintah ini  diwujudkan antara lain dengan
memantapkan sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian
yang meliputi aspek penataan kelembagaan, ketenagaan,
penyelenggaraan, prasarana dan sarana, serta pembiayaan
penyuluhan . Lebih jauh,dengan otonomi daerah akan memungkinkan
pengambilan keputusan yang lebih pendek, mengakomodasi
isu-isu lokal serta keberpihakan yang kuat pada potensi dan
kepentingan warga  lokal.
UU No. 16 Tahun 2006 juga telah mengakui tiga jenis
penyuluh, yaitu penyuluh Aparatur Sipil Negara (ASN),
penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya (petani). Khusus
untuk tipe penyuluh yang baru ini, yakni penyuluh swadaya
dan swasta, telah dikeluarkan pula Permentan No. 61 Tahun
2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian
Swadaya dan Swasta. Penyuluhan tidak lagi dimonopoli
oleh pemerintah, dengan diakuinya keberadaan penyuluh
swadaya yang berasal dari petani dan penyuluh swasta.
Dengan UU ini dilahirkan pula Komisi Penyuluhan Pertanian
sebagai organisasi independen yang dibentuk pada tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri atas para
pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan
kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan
perdesaan. Selain ini, juga dibentuk wadah koordinasi
penyuluhan nasional yang bersifat nonstruktural.
Sementara, penelitian tentang penyuluhan selama
ini berkutat kepada konsep atau teori penyuluhan yang
berfokus pada adopsi teknologi; sehingga bahan ajar
yang disampaikan di kampus-kampus penyuluhan lebih
mengarah kepada aspek komunikasi penyuluhan. Sedangkan
bahan ajar dalam pola peningkatan kapasitas (community
development) dan fungsi-fungsi penyuluhan baru, masih
sedikit masuk ke dalam sistem pembelajaran penyuluhan
saat ini, misalnya fungsi-fungsi intermediari dan penilaian
proses penghantaran inovasi. Dalam sistem penyuluhan baru,
penilaian keberhasilan aktivitas penyuluhan tidak hanya
dilihat dari hasil akhir penghantaran informasi, namun juga
dilihat bagaimana proses perubahan yang terjadi dari petani
sasaran yang mengadopsi teknologi ini .
Bahan ajar yang berlaku di lingkungan perkuliahan
mahasiswa penyuluhan berkutat pada ilmu komunikasi,
kebutuhan pembelajaran, bagaimana merubah prilaku
petani sasaran, fokus ke arah pembelajaran (orang dewasa);
meskipun telah disadari bahwa paradigmanya telah berubah
dari konvensional atau linear (berorientasi pada transfer
teknologi) ke arah hubungan yang harmonis antara peneliti
penyuluh dan warga  (berpusat pada klien).
Jumlah penyuluh ASN yang semakin menurun
diakibatkan antara lain banyaknya penyuluh yang pensiun,
alih tugas penyuluh dari fungsional ke struktural di luar
penyuluhan, dan penempatan rekrutmen penyuluh di
luar Tupoksi penyuluhan ,. Kekosongan
atau kekurangan tenaga penyuluh saat ini disikapi dengan
mengoptimalkan berfungsinya Penyuluh Swadaya
dengan menghidupkan fungsi Gabungan Kelompok
Tani sebagaimana mestinya dan memperbaiki fungsi dan
keberadaan Penyuluh Swasta, yang keduanya di banyak
daerah masih kurang termanfaatkan secara tepat dan efektif
D
ilihat dari bahan ajar maupun visi misi penyuluhan,
sepertinya perspektif transfer teknologi sudah
disadari memiliki kelemahan sehingga harus
digantikan dengan perspektif ‘membangun manusia’ atau
membangun petani sasaran. Perspektif baru ini sudah
disadari memiliki prospek keberlanjutan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perspektif transfer teknologi
yang memiliki usaha yang banyak untuk kelangsungan
programnya. Karena secara perspektifnya, pendekatan
ini diharapkan dapat berlangsung secara sustain. Hal ini
disebabkan oleh kebutuhan untuk permintaan inovasi berasal
dari petani, bukan berasal dari informasi yang dibawa oleh
penyuluh.
Bagaimana caranya agar penyuluh mengetahui apa
yang diperlukan  petani? Di sinilah penyuluh memainkan
peran untuk menggali bagaimana kebutuhan petani dan
kebutuhan tentang informasi apa yang memang diperlukan 
oleh petani target penyuluhan: apakah kebutuhan teknologi,
sarana prasarana pendukung, permodalan, ataukah aspek
lain. Keahlian penyuluh dalam melaksanakan salah satu
fungsi intermediari inovasi yaitu sebagai penggali needs and
demands dari pemakai  jasa penyuluhan. Dalam konteks ini,
penyuluh menjalankan fungsi penggalian kebutuhan berbasis
demand-driven
Fungsi penyuluhan dalam perspektif menjalankan
fungsinya sebagai intermediari inovasi juga mengandung
makna bahwa aktivitas penyuluhan tidak hanya terbatas
penggalian kebutuhan pemakai . Penyuluh juga harus
memilikikapasitassebagaipenghubungataupunpenjembatan
kebutuhan petani. Terkadang meskipun petani ini 
telah tergabung dalam suatu kelompok tani, kapasitas
petani ini  belum mampu jika dia harus berhubungan
dengan aspek legal maupun aspek lain yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas kelompoknya. Di sinilah diperlukan 
fungsi penyuluh sebagai intermediari inovasi, yang dapat
mendampingi kelompok tani ini  sampai dia memiliki
kapasitas yang cukup untuk berinovasi secara mandiri.
Pada aspek inilah fungsi penyuluhan memiliki peran untuk
peningkatan kapasitas kelompok petani secara mandiri, atau
secara bahasa inovasinya adalah memiliki capacity to innovate.
Hambatan untuk reformasi penyuluhan juga
disebabkan oleh pola kerja penyuluh yang hanya fokus pada
pendampingan introduksi teknologi, tanpa adanya proses
dialog kebutuhan nyata dari petani pemakai . Penelitian
di Malawi tentang persepsi petani terhadap
berbagai metode diseminasi informasi menyimpulkan bahwa
petani sangat apresiasi terhadap pelayanan berbagai jenis
metode penyampaian informasi teknis ini . Namun
cara penyampaian top-down yang mendominasi proses
penyampaian informasi ini  mengesankan bahwa
penyuluh hanya mementingkan apa yang harus disampaikan,
bukan pada apa yang senyatanya sedang diperlukan  petani.
Informasi terhadap peluang pasar yang sejatinya
diperlukan  petani, masih menjadi dominasi pe-er penyuluh.
Penelitian juga menyimpulkan bahwa penyuluh kurang
memberikan ‘sentuhan’ upaya penguatan kelompok maupun
peningkatan kapasitas petani untuk berinovasi. Sehingga
tidaklah mengherankan jika selesai pendampingan maka
selesai juga aktivitas petani dilapang. Padahal petani berharap
bahwa peyuluh ……”can adapt their approach to engage farmers
in discussion of their needs and work collaboratively to address them
Bagaimana penyuluh dan aktivitas penyuluhan bisa
melakukan tugas sesuai dengan paradigma baru ini? Hal
yang paling mendasar adalah bagaimana organisasi dan
kelembagaan penyuluhan bisa mendukung perspektif baru
ini. Apakah secara program, perspektif ini didukung oleh
program penyuluhan yang ada? Apakah secara penilaian
angka kredit, perspektif ini didukung oleh sistem penilaian
angka kredit yang ada? Jika sistem penilaian angka kredit
dan keorganisasian penyuluhan membatasi gerak penyuluh
pertanian ASN untuk melakukan tugasnya sesuai dalam
kerangka perspektif fungsi sebagai intermediari, apakah
penyuluh pertanian non-ASN dan penyuluh pertanian
swasta secara fungsinya sudah menjalankan fungsi sebagai
intermediary inovasi? Transisi peran penyuluh dari perspektif
transfer teknologi ke sistem inovasi menuntut juga perubahan
lingkungan dimana penyuluh Aparatur Sipil Negara (ASN)
bekerja.
 mengemukakan bahwa
banyaknya jumlah penyuluh tidak selalu mengindikasikan
performa penyuluh. Performance penyuluh ditentukan oleh
dukungan pembiayaan, sistem reward dan sanksi, mobilitas
untuk mendukung linkage, dan pengembangan skills.
Diskusi atau debat tentang penilaian performa penyuluh
ini didadasari karena adanya perubahan paradigma dari
‘agen penyedia teknologi’ kepada ‘agen yang berfungsi
menjalankan fungsi fasilitasi’. Kontribusi penyuluh dalammelaksanakan tugasnya juga ditentukan oleh: a) lingkungan
eksternalnya, sistem produksi, dan akses pasar yang berlaku,
b) sifat  fungsi penyuluhan yang melekat dalam
pelaksanaan pekerjaan penyuluhan sehari-hari, misalnya
untuk penyuluh ASN, performa kerjanya ditentukan oleh
bagaimana struktur organisasi kelembagaan penyuluhan
yang ada, kapasitas manajemen organisasi, serta metode
penyuluhan yang dijalankan, c) aksesibilitas terhadap kualitas
pelayanan penyuluhan.
Hasil penelitian juga
mengungkapkan bahwa penyuluh yang menjadi obyek
studinya kurang memiliki kapasitas untuk menjalankan
peran linkage dengan organisasi maupun stakeholders yang
diperlukan  oleh pemakai . Oleh karena itu, penyuluh
hendaknya diberikan pelatihan terkait marketing, dan ilmu
lainnya seperti komunikasi, negosiasi, fasilitasi sehingga
penyuluh ini  dapat menjadi broker yang efektif.
Secara faktual, jika ditelisik dari fungsi yang dimainkan
oleh penyuluh swasta, nampaknya kapasitas penyuluh swasta
secaramanajemeninovasilebihmempunyaikemampuanyang
lebih dibandingkan dengan penyuluh pemerintah. Sebagai
contoh, penyuluh swasta yang tugas utamanya menyediakan
sarana prasarana untuk sebagai sarana penjualan produknya,
melengkapinya dengan metode diseminasi berupa: Demplot
atau Demfarm, Sosialisasi atau Bimtek, penyediaan input
produksi, tenaga konsultasi, serta juga bantuan informasi
lainnya yang diperlukan  oleh pemakai . Kelebihan lain yang
dimiliki oleh penyuluh swasta juga terkait dengan kontinuitas
dan kualitas penyediaan produk yang diperkenalkan ini ,
yang terdistribusi dan terjangkau di area diseminasi atau area
yang menjadi target pemasaran peroduknya.
Dalam rangka membangun sinergi penyuluhan
untuk penderasan hilirisasi inovasi pertanian, kebijakan
penyuluhan pertanian harus memperhatikan (1) penguatan
kelembagaan penyuluhan di tingkat Kecamatan (BPP) dan
Desa (Wilayah Kerja Pembangunan Pertanian-WKPP), (2)
penguatan ketenagaan penyuluhan melalui peningkatan
kompetensi penyuluh dan penumbuhan penyuluh swadaya,
(3) penguatan kelompok petani melalui penumbuhan dan
pengembangan Poktan, Gapoktan, Kelembagaan Ekonomi
Petani/Kelembagaan Usaha Bersama/Korporasi Petani, (4)
peningkatan diseminasi melalui penguatan Research Extension
Linkage dan Adaptasi Teknologi Spesifi k Lokalita di BPP
berdasar  empat poin kebijakan ini, aktivitas atau
program turunannya yang secara operasional dilaksanakan
di lapangan antara lain:
1) Optimalisasi peran BPP dan WKPP melalui gerakan
pemberdayaan petani terpadu berbasis Information
Technology (IT) dan generasi muda milemial yang bergerak
di bidang pertanian.
2) Optimalisasi BPP sebagai pusat kegiatan dan integrasi
program antara BPP-BPTP-Instansi Teknis Lainnya
melalui pembelajaran petani melalui Demplot, Demarea,
pengolahan hasil dan mekanisasi pertanian; kemitraan
BPP dengan perbankan, pasar, Bulog, perusahaan, dan
agribisnis; pusat data dan informasi pertanian spesifi k 
lokalita.
3) Penguatan kelompok petani dalam bentuk inkubasi usaha
pertanian berbasis teknologi. Inkubasi ini membutuhkan
dukungan Demplot, Demfarm, Sekolah Lapang,
Bimbingan Teknis (Bimtek) untuk peningkatan kapasitas
petani, serta fasilitasi teknologi, pembiayaan, dan
penguatan jejaring kemitraan. Inkubasi ini harapannyaj
akan melahirkan inovasi Kelembagaan Ekonomi Petani
(KEP) berbasis teknologi.
4) Peningkatan diseminasi dalam bentuk penderasan inovasi
pertanian. Bentuk penderasan inovasi pertanian dilakukan
melalui diseminasi langsung ke kelompok tani, kaji
terap, maupun komersialisasi teknologi. Teknologi yang
dikomersialisasikan oleh Balai Pengelola Alih Teknologi
Pertanian (BPATP) adalah teknologi yang sudah matang,
dengan nilai Invensi teknologi 9 (Tingkat Kesiapterapan
Teknologi atau TKT 9). Sedangkan teknologi yang
memiliki nilai TKT <9 dilakukan pematangan teknologi di
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) melalui kaji
terap yang dilakukan bersama BPP. Hasil kaji terap ini
kemudian didiseminasikan oleh BPP kepada kelompok
sasaran. Selain mendiseminasikan teknologi, BPP juga
meminta kebutuhan fasilitasi teknologi kepada Ditjen
Teknis untuk kebutuhan Kelompok Tani.
5) Adaptasi teknologi spesifi k lokalita dilakukan bersama￾sama antara BPTP, peneliti, dan penyuluh dalam bentuk
kegiatan kaji terap teknologi melalui Demplot atau
Demfarm. Output dari kegiatan ini adalah rekomendasi
teknologi yang harapannya akan diimplementasikan oleh
petani sasaran.
Prospek dari aspek subyek target penyuluhannya
(=petani target)
Sebelum menelaah bagaimana prospek penyuluhan
baru yang diharapkan dalam menjalankan fungsi intermediari
inovasi ini , ada baiknya kita menelaah bagaimana status
petani yang menjadi subyek target kegiatan penyuluhan.
sifat  petani di negara kita sangatlah beragam mulai
dari umur, lingkungan sosial, dan aktivitas pemberdayaannya
). sifat  petani mempengaruhi
kapasitas dan resspon petani untuk berinovasi
Demikian juga, tingkat keinovatifan petani berdasar 
komoditas yang mereka geluti juga beragam. Sebagai contoh,
penelitian  terhadap petani padi irigasi
teknis di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa respon
inovasi petani kelompok ini tergolong sedang dalam hal
teknis budidaya dan usahatani padi. Kapasitas petani ini
dapat ditingkatkan dengan seringnya interaksi petani dengan
penyuluh. Namun fakta yang kontras menunjukkan bahwa
meskipun akses terhadap sumber informasi rendah, namun
petani sangat responsive terhadap keterampilan berusahatani
yang mereka miliki 
Karekteristik dan respon petani terhadap inovasi
merupakan salah satu prasyarat bagaimana penyuluh dan
aktivitas penyuluhan dapat berperan sebagai intermediari
inovasi. Beberapa catatan penulis, prakondisi yang harus ada
untuk terjadinya fungsi penyuluhan sebagai intermediari
inovasi antara lain perlu diperhatikan dari aspek aktivitas
penyuluh dan fungsi penyuluhannya, dan dari aspek sasaran
penyuluhannya (=petani).
Pendekatan penyuluh sebagai intermediari inovasi
secara tidak langsung juga ditentukan oleh bagaimana
‘kesiapan’ petani dalam menerima pendekatan baru ini,
karena pendekatan baru ini ‘menuntut’ partisipasi petani
untuk menyuarakan: apa yang mereka inginkan, apa yang
mereka butuhkan, dan bagaimana mereka menginginkan
inovasi ini . Jika penyuluh sudah berusaha menjalankan
dan memainkan peran sebagai intermediari inovasi di level
yang paling bawah yaitu penggalian kebutuhan, maka tahap
selanjutnya jika penyuluh telah memainkan peran ini ,
untuk terjadinya inovasi adalah bergantung pada seberapa
responsif petani target penyuluhan ini  untuk berinovasi.

 menyatakan bahwa peningkatan
kapasitas petani untuk berinovasi dilakukan melalui learning
and negotiation. Hal ini mengandung pengertian bahwa
proses peningkatan kapasitas petani sasaran oleh penyuluh
membutuhkan beberapa kali iterasi dan pendampingan agar
kapasitas petani ini  meningkat. Dalam proses belajar
(learning) ini  diperlukan negosiasi sehingga tercapai
kesepahaman antara apa yang diinginkan dengan apa yang
diperlukan  oleh petani.
 Bagaimana kendala penyuluh pertanian secara
struktur yang mempengaruhi kontribusi
fungsinya?
Kendala perubahan kerja penyuluh secara struktur yang
dimaksud dalam hal ini adalah struktur baik secara organisasi
penyuluhan baik di daerah maupun di level nasional. Di
level nasional kendala secara struktur dicerminkan oleh
proses penilaian kinerja penyuluh yang masih berkutat pada
output. Perspektif intermediari inovasi yang berlandaskan
asas learning and negotiation di setiap prosesnya mengandung
makna bahwa setiap tahapan pendekatan yang dilakukan
oleh penyuluh memiliki ukuran keberhasilan yang berbeda￾beda, disesuaikan dengan tingkat keinovatifan petani yang
didampingi. Dengan kata lain, ukuran keberhasilan aktivitas
penyuluhan dengan perspektif sistem inovasi tidak harus
dengan ukuran adopsi.
Ukuran keberhasilan kegiatan penyuluhan dengan
perspektif sistem inovasi adalah pada keberhasilan dari aspek
proses; yakni bagaimana proses peningkatan kapasitas petani
atau kelompok tani yang didampingi oleh penyuluh ini 
dapat meningkat (diukur dari tahap awal pendampingannya).
Sehingga, ukuran keberhasilan kegiatan penyuluhan tidak
bisa dipukul rata sama untuk semua aktivitas, meskipun
titik nol pelaksanaan kegiatannya sama. Dalam perspektif
sistem inovasi, ukuran keberhasilan yang dilihat dari aspek
proses menjadi suatu ukuran yang penting, karena dari
proses berinovasi itulah dapat terlihat bagaimana partisipasi,
aspirasi, penggalian informasi, potensi keberhasilan suatu
kegiatan penyuluhan dapat terjadi.
Dalam tahun yang sama, proses adopsi untuk suatu
kegiatan penyuluhan mungkin saja berbeda antara satu
kelompok tani dengan kelompok tani lainnya karena tingkat
kapasitas petani atau kelompok tani yang didampingi
berbeda-beda. Kata kunci inilah yang seharusnya menjadi
pijakan bagi kelembagaan penyuluhan di tingkat pusat
untuk menilai seberapa meningkatkah kapasitas petani atau
kelompok tani yang didampingi oleh penyuluh ini 
telah terjadi. Jika dengan metode yang sama telah dilakukan
penyuluhan pada petani atau kelompok tani yang memiliki
kapasitas inovasi yang berbeda, maka hasil akhirnya pada
tahun yang sama, tentunya akan berbeda pula. Oleh karena
itu standar penilaian yang harus dibuat oleh lembaga
penyuluhan di tingkat pusat harus menetapkan indikator￾indikator yang mengarah kepada penilaian perubahan
prilaku petani dalam upayanya ke arah peningkatan inovasi
petani atau kelompok tani ini .
Mengambil perbandingan kasus di Vietnam, upaya
kearah pendekatan participatory extension atau penyuluhan
berbasis partisipatif telah diterapkan salah satunya melalui
kegiatan Sekolah Lapang Peternakan (SLP). Pendekatan
partisipatif ini harapannya akan membiasakan petani dan
penyuluh bekerja dengan prinsip demand-driven extension.
 menunjukkan bahwa implementasi
SLP pada skala yang lebih luas perlu memperhatikan
permasalahan utama yang dialami petani dan kapasitas
petani; untuk selanjutnya sedikit demi sedikit penyuluh
dapat mengintroduksikan paket lengkpa perubahan yang
diinginkan.
Reformasi penyuluhan kearah sistem inovasi juga
menjadi tantangan tersendiri bagi aktivitas penyuluhan yang
diimplementasikan antara lain di Peru dan Meksiko. Perlu
upaya transformasi pendekatan komunitas yang kuat, jika
menginginkan sistem kerja penyuluh berubah dari sekedar
menjalankan fungsi sebagai transfer informasi teknologi
semata (,menyebutkan tiga kata kunci
untuk transformasi penyuluhan yaitu kelembagaan dan
organisasi penyuluhan, penyelenggaraan penyuluhan,
dan ketenagaan penyuluhan. Kurikulum atau ukuran
keberhasilan aktivitas penyuluhan hendaknya sudah lebih
mengarah kepada terciptanya industrialiasai pedesaan. Hal
ini hanya dapat terlaksana jika didukung oleh antara lain
penyediaan materi inovasi oleh penyuluh untuk perbaikan
kelembagaan yang mendukung terbentuknya industri
pertanian di perdesaan.
Era desentralisasi berdasar  Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah seharusnya
dapar dipergunakan oleh Pemerintah Daerah khususnya
kelembagaan penyuluhan di daerah untuk lebih kreatif dalam
melakukan aktivitas penyuluhan sesuai dengan kebutuhan
petani setempat. Namun rupanya budaya ‘menunggu
petunjuk dari atas’ masih kuat mengakar pada budaya kerja
yang ada.
Bagaimana perbedaan antara technology oriented dan
system oriented dalam terjadinya inovasi perlu dideskripsikan
kembali. Oleh karena itu, perlu dilakukan review antara
teknologi dan orientasi sistem dalam inovasi sebagaimana
disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 dapat merefl eksikan sudah sejauh manakah 
paradigma aktivitas penyuluhan pertanian yang sedang
dijalankan oleh penyuluh pertanian ASN saat ini? Apakah
aktivitas penyuluhan yang mereka jalankan masih lebih
banyak ke arah paradigma transfer teknologi? Jika ya,
maka upaya transformasi ke arah sistem inovasi belum
dapat dijalankan sebagaimana mestinya, karena ukuran
keberhasilan terjadinya inovasi masih diukur dengan
peningkatan produksi. Ukuran keberhasilan peningkatan
produksi inilah yang dijadikan tolok ukur penilaian aktivitas
penyuluhan.
 menyatakan bahwa
meskipun penyuluh diarahkan fungsinya sebagai fasilitator
inovasi yang mengkoneksikan petani dengan beragai
sistem inovasi, namun sebagian besar masih bekerja dengan
menggunakan perspektif transfer teknologi. Menjadi inovasi
broker juga menjadi tantangan tersendiri karena terkadang
sulit untuk dapat melihat pengaruh maupun manfaat dariaktivitas brokering secara nyata 
Sebagai contoh, Programa Penyuluhan Pertanian Provinsi
Jawa Barat tahun 2018 merupakan program penyelenggaraan
penyuluhan pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
yang disusun secara terpadu dan sinergis dalam rangka
menunjang pencapaian program pertanian tanaman pangan
dan hortikultura antara lain meningkatkan produktivitas,
produksi dan efi siensi usaha tanaman pangan dan hortikultra, 
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama
dan pelaku usaha di sektor tanaman pangan dan hortikultura
di Jawa Barat.
Hal ini menunjukkan bahwa paradigma penyuluhan
pertanian yang digunakan masih berfokus pada peningkatan
produksi. bahwa pemerintah
pusat sering dikatakan kurang responsif dan tidak efi sien 
dalam menjalankan penyuluhan. 
Dengan demikian, seberapa jauh aktivitas penyuluhan
pertanian (terutama penyuluh pertanian ASN) akan
menjalankan fungsi intermediari inovasi, bergantung
pada sistem yang mempengaruhi ruang gerak pekerjaan
mereka. Hal ini dikarenakan hambatan penyuluh ASN
untuk melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan perspektif
intermediari inovasi sangat besar karena diikat oleh norma￾norma standar pekerjaannya (Sumarjo, 2018).
Olehkarenaitu,keterbatasanpemerintahdalammerekrut
tenaga-tenaga penyuluh dapat disiasati dengan mengajak
kalangan swasta dan penswadayaan dari diri petani sendiri
. Mendukung yang
disampaikan  bahwa sudah saatnya
penyuluhan pertanian negara kita tidak lagi mengandalkan
kepada penyuluh pemerintah. Dengan kata lain, fungsi
penyuluhan yang selama ini diandalkan oleh pemerintah
bergantung kepada penyuluh ASN, perlu diperlebar dengan
melibatkan dan tidak menafi kan keberadaan penyuluh swasta 
dan penyuluh swadaya. Tiga alasan pokok keterlibatan
swasta dalam penyuluhan menurut Rivera dan Cary (2005)
adalah: (1) Jaminan bahwa penyuluh swasta akan lebih
efi sien (more effi cient delivery of services), (2) Dapat menekan
anggaran dari pemerintah (lowered government expenditures),
dan (3) Jaminan pada pelayanan yang lebih baik (higher quality
of services). Keterlibatan pihak swasta (private sector) dalam
kegiatan penyuluhan pertanian bertolak dalam upaya untuk
mencapai efi siensi kegiatan penyuluhan dan pembangunan 
pertanian, dengan mengawinkan pelaku bisnis sekaligus
terlibat langsung dalam menyuluh petani yang menjadi
mitranya.
Fungsi penyuluh memang dapat digantikan seiring dengan
bermunculannya organisasi ataupun peran swasta yang
menyediakan informasi seperti layaknya penyuluh 
Aktivitas penyuluhan tidak dapat digantikan
keberadaannya dengan beberapa pertimbangan sebagai
berikut:
1. Tugas penyuluhan adalah melakukan pendampingan,
maka fungsi penyuluh tidak akan dapat digantikan.
2. Namun jika fungsi penyuluhan ini dikaitkan sumber
informasi yang saat ini sangat masif melalui internet
atau hybrid media, maka fungsi penyuluh lah yang
dapat digantikan.
3. Fungsi penyuluh juga dapat digantikan melalui
penderasan saluran penyedia saprodi pendukung atau
prasarana atau teknologi yang diperkenalkan ke petani
4. Peran penyuluh ASN juga dapat digantikan oleh peran￾peran start up petani yang saat ini berfungsi sebagai
broker pertanian yang mengkoneksikan antar aktor.
Di lain pihak, peran Lembaga Swadaya warga 
(LSM) yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk
intermediari inovasi dalam sistem inovasi pertanian dalam
Buku ini tisatu dekade terakhir di negara kita semakin meningkat.
Kelembagaan LSM sangat bervariasi dari mulai level
regional, nasional, hingga internasional. Peran mereka juga
beragam dari mulai pendampingan langsung ke komunitas
warga  tertentu, advokasi kebijakan di tingkat regional
maupun nasional, hingga keterlibatan dalam program
pembangunan nasional. Terkait dengan pembangunan
sektor pertanian, peran LSM saat ini banyak yang terlibat
dalam pendampingan petani, mengarahkan kebijakan
pemerintah agar lebih berpihak kepada petani, pengawasan
implementasi bioteknologi, dan mewakili petani dalam
konsultasi kebijakan publik 
Penyuluhan pertanian negara kita harus ‘diubah’ oleh
yang berpengetahuan, memiliki visi, dan kewenangan;
dengan membuka diri kepada perkembangan konsep
dan pendekatan baru penyuluhan di tingkat global.
Uraian yang telah dijelaskan dalam rangkaian bab dan
subbab menunjukkan bahwa pendekatan intermediari
inovasi merupakan keniscayaan sebagai salah satu bentuk
pendekatan baru yang memiliki peluang untuk diadaptasikan
dan diimplementasikan di negara kita.
Pendekatan intermediari inovasi menghendaki seorang
penyuluh pertanian harus memiliki kemampuan teknik
menggali ‘kebutuhan ril’ dari petani binaannya. Dengan
demikian, seorang penyuluh pertanian hendaknya memiliki
kemampuan sebagai fasilitator penghubung antar para
pihak yang diperlukan  oleh petani agar dapat menjalankan
manajemen buddaya secara berkelompok. Seorang penyuluh
pertanian juga hendaknya memiliki jaringan komunikasi
dan pergaulan yang luas dengan berbagai level di wilayah
binaannya, sehingga dapat ‘mempengaruhi’ kebijakan daerah
untuk mendukung terciptanya inovasi manajemen budidaya
petani di wilayahnya. Penyuluh diposisikan setara dengan
manajer bagi petani binaannya. Fungsi penyuluh benar-benar
dituntut untuk menjadi seorang fasilitator penggerak petani
(=kelompok tani) agar petani dapat berinovasi dan pada
akhirnya petani ini  memiliki kapasitas untuk berinovasi
secara mandiri. Untuk mewujudkannya, diperlukan  berbagai
penyesuaian, terutama adalah sikap politik pembangunan
dan iklim birokrasi yang harus memberikan kesempatan dan
iklim yang partisipatif.
Buku ini telah berupaya memberikan sumbangan
pemikiran, namunimplementasinya hanya dapat berlangsung
jika seluruh pihak yang terlibat dalam penyuluhan mulai dari
birokrasi, akademisi dan pelaku penyuluhan; mau menerima
konsep dan pendekatan baru ini.

dilatarbelakangi oleh sebuah
pemikiran tentang bagaimana inovasi di level petani
atau secara umum inovasi pertanian seharusnya
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang ada
sekarang ini. Peran penyuluh pertanian di era revolusi hijau
yang sangat besar pengaruhnya dan kontribusinya sebagai
‘mitra’ sumber inovasi petani di lapang - sebagai sumber
informasi dan tempat belajar - lambat laun perannya sebagai
mitra petani mulai tergerus oleh perubahan jaman  Perubahan
jaman yang dimaksud antara lain sumber informasi petani
yang saat ini tidak hanya dari penyuluh, namun juga
formulator atau pedagang, atau disebut juga penyuluh swasta;
informasi hybrid yang lebih luas jangkauannya serta lebih
beragam informasinya; tuntutan petani dalam kebutuhan
sumber informasi yang beragam; permasalahan yang
dihadapi petani yang beragam di luar konteks kebutuhan
teknologi semata; serta ditengarai menurunnya jumlah
penyuluh pemerintah dan juga support anggaran maupun
prasarana yang dialokasikan untuk kegiatan penyuluhan
. Perubahan ini menjadi tantangan tersendiri
bagi penyuluh pertanian dalam menjalankan fungsinya.
Beragam teori penyuluhan kemudian muncul untuk
menjawab tantangan tugas dan fungsi penyuluhan ini ,
mulai dari pemikiran Farmer First, Farmer Empowerment,
sampai konsep Sistem Inovasi yang merupakan bagian dari
rangkaian aktivitas penyuluhan yang perlu dikembangkan
sebagai penyempurnaan konsep Transfer Teknologi
 Buku ini bermaksud untuk
menyumbangkan pemikiran baru sebagai terobosan dalam
keilmuan penyuluhan pertanian di negara kita melalui
pendekatan konsep intermediari inovasi sebagai suatu
peluang atau pendekatan yang dapat digunakan bagi aktivitas
penyuluhan dalam menjalankan fungsinya agar lebih dinamis
dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan pemakai  atau petani
di lapangan.
Buku ini terdiri atas tiga bagian utama yakni tinjauan
tentang teori penyuluh pertanian baru, kondisi penyuluhan
pertanian di negara kita saat ini, dan diakhiri dengan ide-ide
bagaimana peluang penerapannya di negara kita. Pemilihan
topik utama penulisan ini didasarkan atas perkembangan
konsep penyuluhan baru di dunia, baik itu di Asia maupun
global, serta paradigma penyuluhan pertanian baru di
negara berkembang yang juga mulai menyadari kelemahan
dari pendekatan transfer teknologi. Salah satu pendekatan
baru yang muncul dari perspektif sistem inovasi adalah
intermediari inovasi, dengan berbagai bentuknya; mulai dari
organisasi yang berfungsi sebagai intermediari, perorangan
maupun swasta yang menjalankan fungsi intermediari, serta
bagaimana aktivitas penyuluhan dengan perspektif kerja
secara intermediari.
Bahan penulisan buku ini berasal dari tinjauan ilmiah
perkembangan teori dan ilmu penyuluhan di level global,
dihadapkan dengan kondisi di negara kita yang konsep dan
prakteknya relatif tidak berkembang sejak berakhirnya
keterlibatan ahli-ahli Bank Dunia di akhir tahun 1990 an.
Pemaparan didasarkan atas analisis scientifi c review yang
menghadapkan antara konsep dan teori terbaru dengan
kondisi negara kita
dilatarbelakangi oleh adanya perubahan paradigma
proses knowledge brokering atau penyampaian informasi
atau ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terjadinya
inovasi yang umumnya kita kenal dengan agricultural
extension (penyuluhan pertanian). Penyuluhan pertanian
dasa 1990-an dilatarbelakangi oleh pendekatan research push,
dimana pendekatan ini menekankan lembaga penelitian
sebagai sumber inovasi dan fungsi penyuluhan sebagai
aktivitas transfer informasi atau transfer ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk terjadinya inovasi 
Menginjak tahun 2000, pendekatan atas terjadinya
inovasi bergerak ke arah research-pull dan collaborative research.
Dilatarbelakangi oleh konsep Agricultural Innovation System
(AIS) atau Sistem Inovasi Pertanian, inovasi tidak hanya
bersumber dari Lembaga Penelitian, namun lebih kepada
bagaimanainteraksiantaraktordalamsistemini  Pendekatan
AIS juga menekankan bahwa inovasi dipengaruhi juga oleh
aspek teknis, sosial, dan institusional (Leeuwis 2004).
Perspektif AIS atau system thinking mendapatkan
perhatian yang besar dalam memahami bagaiman inovasi
– dalam hal ini inovasi pertanian - dapat terjadi. Fokus dari
perspektif ini adalah network, chains, dan system yang menjadi
satu kesatuan yang sangat penting. Hal lain yang menjadi
perhatian adalah pentingnya users atau pemakai  menjadi
bagian dari proses terjadinya inovasi; atau dengan kata lain
perubahan perilaku. Keputusan untuk proses inovasi juga
tidak hanya ditentukan oleh inovasi di tingkat peneliti atau
lembaga penelitian, namun juga terkait dengan bagaimana
kebijakan berperan 
Perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhi
bagaimana cara penyampaian informasi yang lebih efektif
juga menuntut perubahan bagaimana metode diseminasi
disampaikan ke petani dengan target jangkauan yang lebih
luas. Perubahan lingkungan strategis yang membatasi tugas
dan fungsi penyuluhan yang sedari awal difungsikan sebagai
penyampai informasi teknologi untuk terjadinya inovasi,
telah berubah ke arah penyediaan arus informasi yang lebih
dinamis . Sumber informasi petani saat ini
dapat dengan mudah diakses dimana saja; mulai dari aspek
teknologi, kelembagaan, ketersediaan logistik untuk produksi
maupun pemasaran. Proses inovasi juga tidak hanya berfokus
pada informasi pertanian yang sudah terdokumentasi dari
berbagai sumber (kelembagaan maupun perorangan) atau
yang bersifat documented knowledge namun juga ada kontribusi
dari kearifan lokal yang berkembang spesifi k lokasi yang 
belum terdokumentasikan (undocumented knowledge) antara
lain pengetahuan dan pengalaman berharga (tacit knowledge)
dari para petani, dan juga perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi atau Information Communication Technology
(ICT) 
Di lain pihak, perubahan kelembagaan penyuluhan
di daerah, penilaian kinerja penyuluh, aturan perundangan
penyuluhan, serta permasalahan kekurangan tenaga
penyuluh; menjadi tantangan tersendiri bagaimana kondisi
eksisting penyuluh dan aktivitas penyuluhan yang ada
sekarang ini, terutama di negara kita . Semua lingkungan strategis ini menuntut perubahan
dari aktivitas penyuluhan yang selama ini berlangsung,
baik di dunia, negara berkembang, maupun di negara kita.
Perubahan lingkungan strategis dan tuntutannya terhadap
bagaimana penyuluhan pertanian seharusnya menjalankan
fungsinya, menarik untuk dicermati satu persatu 
Dalam upaya mengadaptasikan peran penyuluh
pertanian terhadap konsep AIS ini , maka aktivitas
penyuluhan diharapkan mengambil peran tidak hanya
sebagai knowledge brokering, namun juga sebagai system
facilitation, yaitu fasilitator yang mengkoneksikan sistem￾sistem yang mendukung bekerjanya suatu inovasi, atau
disebut juga innovation brokering 
dan inovasi. Transisi dari perubahan research push ke demand
pull dalam konteks tugas dan fungsi penyuluh dan aktivitas
penyuluhan pertanian mengandung makna bahwa penyuluh
seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai knowledge brokering,
namun juga dilengkapi dengan fungsi sebagai innovation
brokering.
Tulisan di bab-bab berikut menguraikan bagaimana
ide-ide yang berkembang bagi penyuluh dalam menjalankan
fungsinya, kondisi eksisting penyuluh pertanian negara kita,
serta bagaimana konsep inovasi sistem mencetuskan fungsi
intermediasi inovasi sebagai bentuk implementasi broker
inovasi.
Buku ini tidak mencatat adanya beberapa kondisi
yang menekan sehingga perlunya kelahiran penyuluhan
pertanian modern, yakni adanya praktik-praktik baru dan
temuan-temuan penelitian, kebutuhan tentang pentingnya
informasi untuk diajarkan kepada petani, tekanan terhadap
perlunya organisasi penyuluhan, ditetapkannya kebijakan
penyuluhan, dan adanya masalah-masalah baru yang
dihadapi di lapangan. Perkembangan dunia merupakan
konteks yang memengaruhi mengapa diperlukan  organisasi
baru dan manajemen modern dalam penyuluhan pertanian
dan pembangunan perdesaan. Dengan informasi yang
semakin terbuka dan meningkatnya pendidikan petani,
penyuluh tidak lagi harus ahli untuk segala bidang karena
petani sendiri ternyata juga memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang berharga, baik secara individu maupun
kolektif.
Interpretasi konsep penyuluhan saat ini telah berevolusi
sesuai dengan konsep yang membentuk lahir dan eksisnya
penyuluh, khususnya di dunia pertanian. Perubahan cara
pandang tentang penyuluh dan penyuluhan terutama
karena berubahnya paradigma inovasi, pembangunan
pertanian, serta makna sains dalam kontribusinya terhadap
terjadinya inovasi. Perubahan perspektif dari paradigma
transfer teknologi yang diawal mula merupakan cikal bakal
munculnya keberadaan penyuluh, saat ini dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Hal ini mengingat
semakin kompleksnya aspek sosial yang dihadapi petaniterkait dengan proses inovasi; sehingga paradigma transfer
teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan makna senyatanya
yang seharusnya menjadi tujuan aktivitas penyuluhan 
menyatakan bahwa pendekatan transfer teknologi ini 
tidak sesuai karena tidak mengedepankan aspek manusia
(petani) dan proses belajarnya. Tujuan penyuluhan adalah
agar petani tahu, mau, mampu dan berswadaya mengatasi
masalahnya secara baik dan memuaskan. Dengan kata lain,
tujuan penyuluhan yang menghasilkan petani mandiri
hanya mungkin jika dilakukan dengan pendekatan yang
mengutamakan manusianya dan proses belajarnya. Pendapat
ini didukung oleh pandangan bahwa petani sebagai orang
dewasa telah mempunyai konsep diri, pengalaman belajar
dan kesiapan belajar sehingga sisi manusianya dan proses
belajarnya perlu dikedepankan. Perubahan-perubahan politik
dan ekonomi yang terjadi pada tataran global, nasional,
dan lokal serta pada warga  dan pada diri petani juga
telah menuntut perlu dilakukannya perubahan pendekatan
penyuluhan dari paradigma lama ke paradigma yang baru.
Hakekat fungsi penyuluhan adalah pendekatan￾pendekatan aktivitas untuk terjadinya inovasi (=perubahan
perilaku) petani atau responden dari target yang dituju. Di
perspektif penyuluhan lama, terjadinya inovasi dilakukan
melalui aktivitas transfer teknologi (=penyampaian informasi
searah berupa teknologi, dari penyuluh ke petani). Disadari
adanya kelemahan dari konsep transfer teknologi ini ,
mucullah pendekatan penelitian partisipatif. Pendekatan
ini didasarkan atas perspektif demand pull dan kolaborasi
penelitian. Bentuk aktivitas dari perspektif ini adalah farmer
. Pendekatan ini
mengedepankan penelitian berbasis dampak (research uptake),
yang dilakukan berbasis spesifi k lokasi serta partisipasi dari 
para pihak yang terlibat dalam aktivitas penelitian. Perspektif
ini dikenal dengan AKIS atau Agricultural Knowledge and
Information Systems.
Perspektif AKIS terbatas kepada kolaborasi penelitian
antara petani, peneliti, dan penyuluh. Dalam perspektif AKIS,
peran penyuluh diharapkan sebagai bridging yang membawa
berbagai sumber informasi dan pemanfaatannya untuk
petani (Roling 1994). AKIS difokuskan pada peningkatan
kapasitas interaksi antara peneliti, penyuluh, dan petani.
Konsep AKIS mucul berdasar  kepada pemikiran bahwa
untuk mempercepat modernisasi pertanian, inovasi transfer
seharusnya dikordinasikan secara terorganisir.
AKIS hanya melihat perspektif inovasi dari sisi
keterkaitan antara petani, peneliti, dan penyuluh. Sedangkan
permasalahan yang ada sangat kompleks dan perlu
keterlibatan para pihak yang lain. Sehingga muncullah
konsep AIS (Agricultural Innovation System). Perspektif AIS
memandang inovasi tidak hanya dari aspek penelitian dan
pengembangan teknologi semata. Inovasi juga tidak hanya
semata tentang adopsi teknologi dari lembaga penelitian ke
petani, namun proses adopsi memerlukan banyak aspek yang
perlu diperhatikan seperti antara lain aspek pasar, tenaga
kerja, sumberdaya, dan penerima manfaat 
Dalam perspektif AIS, inovasi juga mengandung
pengertian adanya adaptasi, redesain kondisi serta
perhatian terhadap aspek institusional , Perubahan-perubahan lingkungan
penyuluhan dimaksud disebabkan anatar lain karena adanya
interaksi antara aktor yang bekerja sama di dalam sistem,
saling ketergantungan antara aktor, dinamisasi atau konfl ik 
yang terjadi. Dengan pemahaman ini maka perspektif
AIS memandang inovasi merupakan aktivitas yang perlu
diorkestrakan. Sehingga perspektif AIS memandang adopsi
bukan sebagai faktor utama bekerjanya inovasi 
Transisi perubahan perspektif ini  membawa
konsekuensibagaimana seharusnyaperanpenyuluhpertanian
dalam menyesuaikan dengan tugas dan fungsinya yang baru
dalam sistem inovasi. Peran penyuluh dalam perspektif
transfer teknologi yang fungsinya sebagai knowledge transfer,
saat ini dituntut harus berperan sebagai fasilitator proses
inovasi yang harus dibangun, diredisain, dan disesuaikan
bergantung pada konteks aktor dan institusi yang terlibat.
berdasar  pemahaman perubahan paradigma ini ,
maka muncullah konsep-konsep bagaimana seharusnya peran
penyuluh dan aktivitas penyuluhan yang ideal dilakukan.
Dalam perspektif AKIS, perubahan reformasi
kelembagaan penyuluhan berdasar pada aspek multiaktor,
efektivitas biaya dan manfaat, pelibatan pelaku swasta,
desentralisasi, serta melalui pendekatan yang partisipatif
(participatory approaches)  Sedangkan dari
perspektif AIS, knowledge brokering dituntut untuk menjadi
inovasi broker atau fasilitasi inovasi atau sistemik fasilitator,. Dalam sistem inovasi,
peran fasilitator inovasi juga dituntut untuk melakukan
koneksi antar sistem yang memungkinkan terjadinya
inovasi; sehingga targetnya bukan individual petani tetapi
sistem atau organisasi yang mendukung terjasinya inovasi.
Sebagai contoh, peran sebagai broker inovasi dimainkan oleh
individual peneliti, NGO, lembaga pemerintah, maupun
individu atau organisasi khusus yang memiliki fungsi broker
Konsep sistem inovasi, yang muncul di awal tahun
2000-an menekankan bahwa terjadinya inovasi memerlukan
sentuhan kebijakan secara menyeluruh, baik dari aspek
teknologi, kelembagaan, dan manusianya. berdasar 
konsepsi AIS, inovasi terjadi melalui koneksi antar aktor yang
terlibat.
….Innovation is collective interplay or network among many
actors – including farmers, researchers, extension offi cers, traders, 
service providers, processors, development organizations and it is
infl uenced by factors such as technology, infrastructure, markets, 
policies, rules and regulations, and cultural practices (actors’ values
and norms)”
Selain itu, konsep AIS melihat bahwa inovasi memer￾lukan penanganan secara menyeluruh dari keseluruhan
input dan output usahatani, termasuk aspek pemasarannya,
supporting policy framework, fi nancial incentives, and credit access.
Inovasi juga merupakan outcome dari kolaborasi dan proses
belajar, serta bergantung kepada struktur sosial dimana
 menyatakan bahwa sosok penyuluh
‘baru’ dalam konsep ini adalah yang memiliki keahlian
melakukan negosiasi, resolusi konfl ik, dan membina berbagai 
organisasi warga  yang muncul di wilayah kerjanya.
Penyuluh baru harus respon terhadap permintaan (extension
system demand-driven), sensitif gender, partisipatif, ‹Ä´È±È¬
up, dan memiliki ciri sebagai organisasi pembelajar (learning
organization). juga menyatakan
bahwa ada empat peran penyuluh modern yang penting,
yakni sebagai peran pemberdayaan (empowerment role),
peran mengorganisasikan komunitas (community-organizing
role), peran dalam pengembangan sumber daya manusia,
dan peran dalam pemecahan masalah dan pendidikan
(problem-solving and education role). Penyuluhan baru harus
mampu mengekplorasi kegiatan penyuluhan sebagai
sebuah organisasi pembelajaran partisipatif (participatory
learning organization) dan mampu melahirkan pemimpin dari
warga  bersangkutan zPendekatan
penyuluhan telah berubah dari model sosok “guru” ke
“pembelajar” dan dari kelembagaan ke kebutuhan komunitas
bahwa penyuluhan baru harus memperhatikan sistem
(managing systems), bukan sekedar orang per orang
(people), dan membantu tercapainya visi komunitas.
Tahapan penyuluhan pertanian secara partisipatif dalam
memberdayakan warga  tani, meliputi: (1) penyuluh
harus menentukan kebutuhan program dengan memantau
teknologidanmasalahyangberkembang, (2)Mengembangkan
dan menyampaikan tujuan program penelitian berbasis
pendidikan, (3) Menetapkan tujuan dan target penerima
program penyuluhan, (4) Melakukan konfi rmasi dengan 
warga  tentang program yang akan dilaksanakan, (5)
Mengidentifi kasi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan 
warga  yang ditargetkan, dan (6) Melaksanakan evaluasi
rencana program penyuluhan dengan melibatkan relawan
pada setiap pelaksanaan evaluasi program penyuluhan.
Di negara berkembang lainnya sebagaimana di Nigeria,
bahwa berdasar  Agricultural Extension Transformation
Agenda (AETA), tuntutan sosok seorang penyuluh baru harus
memiliki keahlian dari aspek teknis, administrasi penyuluhan,
pengembangan sumberdaya manusia, proses penyusunan
programa, kemampuan pedagogi, strategi komunikasi,
dan teknik evaluasi (Issa et al. 2010). Dalam mendukung
transformasi penyuluh baru ini, insentif bagi pelaksanaan
kerja penyuluh serta aktivitas pelatihan untuk peningkatan
kapasitas penyuluh menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Buku ini tTransformasi penyuluhan baru juga menyarankan
bahwa upaya ke araha penciptaan penyuluh modern harus
sudah dimulai dari bangku kuliah pendidikan penyuluh.
Misalnya: persentase kelulusan yang ditentukan oleh
bobot praktek lapang – bukan hanya teori saja; pelajaran
enterprenership agriculture harus dimasukkan menjadi salah
satu kurikulum untuk membuka wawasan penyuluh 
Dengan demikian, ciri penyuluhan baru adalah (1)
Penanggungjawabpenyuluhantidaksemata-matapemerintah
nasional, namun dapat dijalankan oleh beragam pihak dan
pada berbagai level; (2) Organisasi penyuluhan berbentuk
“learning organization”, dimana pelaksana penyuluhan tidak
lagi terstruktur secara ketat, namun ada kesempatan terus
menerus untuk melakukan penyesuaian misi, pelayanan,
produk,kultur,danprosedurorganisasi;(3)Fungsipenyuluhan
lebih luas dari sekedar mentransfer teknologi, namun juga
mencakup upaya untuk memobilisasi, mengorganisasikan,
mendidik, dan sekaligus memberdayakan petani; (4)
Penyuluhan sebagai sistem pengetahuan yang komprehensif,
tidak terpisah antara penemuan teknologi dengan transfer
teknologi dan proses pengembangannya; (5) Model transfer
teknologi bertransformasi menjadi peningkatan kapasitas
dan encouragement yang lebih realistis, siklis, dan dinamis
(antara petani, peneliti, penyuluh dan guru atau dosen); (6)
Desain penyuluhan memungkinkan untuk mengembangkan
learning model dengan melibatkan para stakeholders utama; (7)
Pendekatan penyuluhan lebih pada penyelesaian masalah,
melibatkan teknologi informasi eksperimental, mengaitkan
penelitian,manajerpenyuluhan,danorganisasipetani;(8)Jenis
penyuluh tidak terbatas hanya pegawai pemerintah, namun
juga penyuluh swadaya (dari petani) dan penyuluh swasta;
dan (9) Posisi petani tidak hanya sebagai objek penyuluhan,namun sebagai objek sekaligus subjek penyuluhan 
Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian dalam
publikasinya “Paradigma Penyuluhan Pertanian pada
Abad Ke-21 (Departemen Pertanian 1999), telah melihat
perlunya aktivitas penyuluhan pertanian sebagai sesuatu
yang lebih berfokus pada pemberdayaan warga  desa.
Peran penyuluh dalam pemberdayaan warga  sasaran
adalah mengembangkan kebutuhan untuk perubahan
berencana, menggerakkan dan memantapkan hubungan
kerjasama dengan tokoh warga  dalam merencanakan
perubahan berencana sesuai tahapan pembangunan
pertanian. Perubahan berencana adalah usaha warga 
untuk membangun dirinya dan usahatani yang menjadi
pekerjaannya, agar tercipta suatu kondisi hidup yang layak
berdasar  kemampuan dan sumberdaya lokal ,Kegiatan
penyuluhan pertanian diharapkan tidak hanya membuat
petani mampu berproduksi saja, tetapi juga petani harus
berproduksi secara mandiri mensejahterakan keluarganya.
Jadi, penyuluh tidak hanya sebagai sistem penyampaian
(delivery system) bagi informasi dan teknologi pertanian untuk
peningkatan produksi, tetapi harus menjadi sistem yang
berfungsi menciptakan pertanian sebagai suatu usaha yang
menguntungkan bagi petani.
Pada masa yang akan datang, arah pembangunan
nasional menuju pada era industrialisasi di bidang pertanian
melalui pengembangan agribisnis yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Hal ini akan bisa diwujudkan
dengan lebih dahulu menciptakan sumberdaya manusia
yang berkualitas, terutama warga  pertanian. Untuk itu
diperlukan  kelembagaan penyuluhan, ketenagaan penyuluh
yang kompeten, mekanisme dan tata kerja yang jelas
termasuk supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif dan
pembiayaan yang memadai sebagai bentuk implementasi
dari Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Dengan demikian, peran penyuluh dalam paradigma
penyuluhan baru harus mengarah pada pemberdayaan
warga . Makna pemberdayaan menurut kamus Oxford
sinonim dengan ‘memberi daya’ atau ‘kekuasaan’ kepada
pihak lain dalam bentuk: (1) Memberi manfaat baik kepada
pihak yang memberi kuasa maupun kepada pihak yang
mendapat kuasa, atau disebut pemberdayaan (empowerment),
dan (2) Kekuasaan yang didapat oleh pihak yang sebelumnya
tidak berkuasa, yang diperoleh melalui perjuangan sendiri;
disebut self-empowerment.
Konsep pemberdayaan memiliki makna kekuasaan
(power) dan kemampuan (kapabilitas) dalam aspek sosial,
ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan. Pemberdayaan
dapat berlaku untuk level individual dan komunitas. Pada
tataranindividual,isu-isuyangrelevandenganpemberdayaan
warga  adalah hubungan patron-klien, gender, akses ke
pemerintahan (negara), dan sumber-sumber kepemilikan
properti. Sementara pada tataran komunitas, isu-isu utama
yang biasa diangkat adalah berupa mobilisasi sumberdaya
(resources mobilization), pemberdayaan atau penguatan
kerangka institusional dan akses hubungan dengan badan￾badan pemerintah (Bahua 2016).
Penyuluh baru juga harus dapat memainkan peran
untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. FAO
mengenalkan pola penyuluhan baru dalam payung
“Sustainable Agricultural and Rural Development” (SARD).
Penyuluhan diposisikan sebagai bentuk bantuan untuk
meningkatkan pengetahuan, efi siensi, produktivitas, 
profi tabilitas, dan kontribusi terhadap petani individual, 
komunitas keluarga mereka, dan warga . Penyuluhan
yang mendukung pembangunan berkelanjutan diharapkan
mengarah kepada peningkatan dan keberkelanjutan
produktivitas, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
warga  pertanian, serta untuk ketahanan pangan
nasional dan pertumbuhan ekonomi. Sistem penyuluhan
pertanian yang dikembangkan oleh FAO juga menekankan
bahwa penyuluhan yang berkelanjutan harus mencakup
empat ruang lingkup yaitu keberlanjutan dari segi kelayakan
teknis, kelayakan ekonomi, penerimaan sosial, dan keamanan
lingkungan. Selain mengusung paradigma keberlanjutan,
juga harus mampu menjawab tantangan perubahan sosial
ekonomi yang berlangsung di warga .
Dari sisi manajemen, menurut Kerka (1998), penyuluhan
modern dicirikan dengan penerapan manajemen baru (new
ways of working and learning) dalam pendekatan penyuluhan
yaitupartisipatif learning  dan kelembagaan
baru . Penerapan manajemen baru
misalnya penyesuaian penerapan metode penyuluhan karena
berkembangnya teknologi informasi 
yang menyatakan bahwa aktivitas penyuluhan seharusnya
mengintegrasikan berbagai metode penyuluhan atau meta
extension methods, meliputi: a) Group Facilitation/Empowerment,
adalah proses dimana penyuluh memberikan support
dalam identifi kasi permasalahan dan peluang pemecahan 
masalah untuk petani dan wilayah binaannya, b) Proses
pembelajaran, yang mengasumsikan bahwa petani dan para
pihak yang terlibat yang memiliki pengetahuan masing￾masing, namun mereka saling berinteraksi melalui proses
Buku ini tibelajar, c) Participatory Technology Development menekankan
aktivitas partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam
pengembangan teknologi, d) Pengembangan informasi
dan dukungan terhadap akses berbagai sumber informasi
dilakukan dalam bentuk penyediaan informasi yang sesuai
dalam setiap tahapan aktivtas penyuluhan, sesuai kebutuhan
pemakai , e) Fungsi konsultasi menekankan pada hubungan
pembelajaran yang efektif antar pihak dalam meningkatkan
kapasitas mereka serta memecahkan masalah yang dihadapi,
f) Multi-stakeholder negosiasi menekankan pada pembuatan
keputusansecarakolektifdalamsituasiyangkompleksmelalui
pendekatan fasilitasi, g) Institutional development, fokus pada
support terhadap pengembangan jejaring kerjasama, proses
pembelajaran, dan negosiasi antar stakeholders, aktivitas, dan
jaringan.
2.5 Esensi Perubahan Paradigm Penyuluhan Baru
Konsep “komunikasi untuk inovasi” digulirkan oleh
Leuwis (2004) dalam bukunya Communication for Rural
Innovation: Rethinking Agricultural Extension, yang merupakan
highlight pemikiran transformasi fungsi penyuluhan
‘from diff usion to systems of agricultural innovation’. Dalam
bukunya, Leeuwis menghindari istilah “penyuluhan” dan
menggunakan istilah baru “komunikasi untuk inovasi”.
Ada banyak alasan mengapa konsep dan pendekatan
ini muncul. Alasan utama adalah karena inovasi bisa datang
dari banyak sumber, tidak hanya dari tenaga penyuluh
secara tunggal. Alasan lainnya yaitu perubahan paradigma
dari penyuluhan dari sustainable agriculture menuju ecological
knowledge system, serta berkembangnya interdependence model
dan innovation system framework. Hal ini membawa implikasi
bahwa proses komunikasi untuk inovasi tidak hanya
melibatkan peneliti dan penyuluh tetapi juga pemakai 
teknologinya, perusahaan swasta, non-government organisation
(NGO), dan juga supportive structures (pasar dan kredit).
Selain itu, disadari pula pentingnya proses belajar (learning
processes) yang dimaknai sebagai “….a way of evolving new
arrangements specifi c to local contexts” (Leeuwis 2004). Proses
belajar ini merupakan adaptasi aktivitas untuk mencapai
tujuan perubahan inovasi yang diharapkan.
Walaupun banyak teori yang menyarankan pergeseran
paradigma penyuluhan sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, namun dalam prakteknya aktivitas penyuluhan
di negara berkembang masih berfokus pada supply driven dan
kurangnyainteraksidenganpetani.Tugasdanfungsipenyuluh
juga masih berkutat pada insentif yang belum memadai untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya melakukan pembinaan
petani. Hal ini kemudian memunculkan perdebatan di
dunia global untuk memprivatisasi fungsi penyuluh dalam
bentuk inclusive sasaran, penyuluh dengan sistem kontrak,
serta penyuluh swadaya (farmer-to-farmer extension modality)
Konsep privatisasi penyuluhan dimulai semenjak 1980-
an oleh pemerintahan di berbagai negara (Rivera dan Alex
2004). Makna privatisasi (privatization) secara luas adalah“....
introducing or increasing private sector participation, which does
not necessarily imply a transfer of designated state-owned assets to
the private sector”. Privatisasi penyuluhan mengandung makna
bahwa kegiatan penyuluhan dapat dijalankan oleh pihak
atau pelaku swasta sehingga sosoknya lebih beragam. Pihak
swasta yang menjalankan fungsi penyuluhan dapat berupa
perusahaan swasta (private companies), NGO, asosiasi petaniorganisasi komunitas petani (rural community organizations),
perguruan tinggi (agricultural academic institutions), dan
kantor penelitian pertanian (). Sebagai contoh,
penyuluhan oleh swasta di Pakistan telah mulai sejak 2001
yang melibatkan perusahaan pestisida, produsen benih,
pabrik gula, perusahaan rokok, perusahaan pengolah pakan,
dan perusahaan peternakan nasional 
Berkenaan dengan perubahan paradigma ini, jasa
pelayanan penyuluhan juga berkembang disesuaikan dengan
target sasarannya yang tidak hanya petani, namun juga
produser pertanian, terutama yang tidak dijangkau oleh
penyuluh privat. Stakeholder dari penyuluh juga semakin
beragam, tidak hanya petani, namun juga meliputi sektor
privat, agribisnis decision maker, konsultan, birokrat,
legislator, dan regulator.
Penutup dari subbab ini adalah bagaimana fungsi dan
aktivitas penyuluhan ke depan akan dimainkan. Fungsi
penyuluhan yang hanya sebagai transfer informasi inovasi
teknologi, sudah perlu dipertanyakan lagi, mengingat adanya
perubahan sosial ekonomi, lingkungan, politik, dan teknis
yang ada di sekitar penyuluh. Dengan kondisi lingkungan
yang telah berubah ini , apakah fungsi penyuluhan
terbatas kepada petani saja ataukah akan meluas? Masalah
apa yang perlu diperluas untuk disampaikan kepada
petani selain hanya transfer teknologi, dan siapa (saja) yang
melaksanakan fungsi penyuluhan ini ? Apakah terbatas
kepada penyuluh lapang atau ada bentuk-bentuk penyuluh
lainnya?
M
erujuk pada bab sebelumnya bahwa perubahan
paradigma penyuluh dan aktivitas penyuluhan
telah bergeser dari hanya sekedar sebagai
penjembatan transfer teknologi menjadi seseorang yang
diharapkan juga berfungsi sebagai fasilitator perubahan
menujuterciptanyainovasiyangdiharapkan.Fungsipenyuluh
sebagai penyampai teknologi dalam paradigma linear problem
solver ingin membawa fungsi penyuluh kedalam tuntutan
yang lebih kompleks. berdasar  konsep sistem inovasi
maka peran penyuluh dituntut lebih dari sekedar transfer
teknologi, namun juga kepada kemampuan memfasilitasi
kebutuhan pemakai  melalui interaksi dan proses belajar
(learning process) dengan berbagai pihak. Perubahan tuntutan
kebutuhan pelayanan untuk petani juga menuntut penyuluh
dapat berperan sebagai fasilitator untuk mengidentifi kasi 
kebutuhan petani yang diperlukan untuk usahatani mereka.
Tuntutan penyuluh sebagai katalis perubahan untuk
terjadinya inovasi ini sedikit banyak dipengaruhi oleh
mahzab inovasi sistem (AIS). Dalam perspektif AIS, pangkal
pokok inovasi pertanian tidak hanya terkait dengan hanya
introduksi teknologi semata. Inovasi dapat berasal berasal dari
berbagai sumber; baik itu dari petani, penghasil teknologi,
pemerintah, maupun pengusaha ,Oleh karena itu, penyuluh dalam konsep inovasi
sistem diharapkan menjalani fungsi sebagai katalis inovasi;
penghubung antar pihak yang berkontribusi dan terlibat
bekerja sama untuk terjadinya inovasi.
Katalis atau penghubung proses terjadinya inovasi
dalam konsep AIS dikenal dengan istilah intermediari inovasi.
Howells mendefi nisikan intermediari inovasi atau innovation
intermediary sebagai berikut.
…Innovation Intermediary is organisation or body that acts as an
agent or broker in any aspect of the innovation process between
two or more parties. Such intermediary activities include: helping
to provide information about potential collaborators; brokering a
transaction between two or more parties; acting as a mediator, or
go-between; bodies or organisations that are already collaborating;
and helping fi nd advice, funding and support for the innovation 
outcomes of such collaborations 
Pelaku intermediari inovasi dapat berasal dari
organisasi atau perorangan dan bertindak sebagai broker
yang mengkoneksikan antar pihak untuk terjadinya inovasi.
Bentuk-bentuk aktivitas intermediari inovasi antara lain
sebagai mediator, kolaborator, broker suatu transaksi,
advisor, serta supporting system untuk mendukung ataupun
mengawal outcome suatu aktivitas. Intermediari inovasi juga
berfungsi sebagai demand articulator yaitu fungsi sebagai
penggali informasi kebutuhan (demand dan supply) antar
pihak yang berkolaborasi sehingga tercipta inovasi.
Lembaga atau perorangan yang menjalankan fungsi
intermediari inovasi tidak harus yang fungsinya spesialis.
Peran ini  dapat juga dimainkan oleh institusi yang
fungsi utamanya bukan sebagai intermediari inovasi, namun
perlu memainkan fungsi intermediari sebagai bagian dari
pelaksanaan tugasnya. Organisasi ini disebut dengan broker
inovasi atau innovation broker.
Innovation broker is an organisation acting as a member of a
network of actors [..] that is focused neither on the organisation
nor the implementation of innovations [sic.], but on enabling other
organisations to innovate” 
Contoh innovation broker antara lain lembaga
penelitian atau lembaya pelayanan teknis yang menjalankan
fungsi intermediari inovasi sebagai bagian dari aktivitas
penelitiannya untuk menjaring umpan balik kebutuhan
maupun perbaikan teknologi yang dihasilkannya. Beberapa
referensi 
menunjukkan bahwa intermediary roles dan organisasi
intermediari juga sudah bermunculan di negara berkembang,
yang dicirikan oleh beragam agen yang mengoneksikan
beragarm aktivitas untuk terjadinya inovasi.
Implementasi intermediari inovasi mengambil contoh
kasus di Belanda. Kemunculan istilah intermediari inovasi
terjadi karena adanya perubahan struktur keterkaitan antara
peneliti dan penyuluh. Perubahan yang terjadi di struktur
penyuluhan antara lain adalah perubahan fungsi penyuluhan
yang dibuat menjadi lebih privat. Sebelum kelembagaan
penyuluhan ini  dibuat privat, telah terbangun hubungan
dan sinergi yang baik antar aktor yang bekerja sama di dalam
sistem penyuluhan ini , 
telah menjadi suatu organisasi yang memberikan kontribusi
dalam pengembangan kapasitas inovasi dalam Sistem

Sebagai salah satu organisasi yang menjadi pemain
penting dalam pertanian global, organisasi ini sudah memiliki
sistem kerja yang baik, memiliki keterkaitan institusional,
feedback, serta alignment antara petani, pelaku agro-industri,
Buku inpeneliti, penyuluh, dan pemerintah,Di awal
pembentukan setelah perang dunia ke-II, fokus tujuannya
adalah modernisasi sistem pertanian Belanda untuk
peningkatan produktivitas dan efi siensi 
Namun selanjutnya sejak 1980-an, OVO-triptych menjadi
kurang berkembang karena adanya perubahan lingkungan
politik, budaya, institusional, ekonomi; sehingga beberapa
pihak berpendapat bahwa organisasi ini sudah tidak bisa lagi
murni pelakunya dari bidang pertanian saja 
Sistem yang terlibat perlu diperluas meliputi konsumen,
pelaku sosial dan lingkungan, dan pihak lainnya guna
mendukung kebutuhan dan prioritas pemakai . Berkenaan
dengan kebutuhan pemakai  yang semakin beragam ini,
sektor pertanian (termasuk OVO-tryptych) ‘dianggap’ lambat
merespon kebutuhan dari pemakai  yang semakin beragam,
sehingga dianggap sebagai penghambat inovasi (Verkaik and
Dijkveld Stol, 1989). Sehingga di awal tahun 1990-an dalam
era privatisasi public service, OVO-triptych berubah menjadi
organisasi/kelembagaan yang memberikan pelayanan
penelitian dan penyuluhan secara privat (tidak gratis),
bersamaan dengan diberlakukannya mekanisme pembiayaan
Hal ini secara tidak langsung berimplikasi serta memberi
ruang pada munculnya penyedia jasa layanan penelitian dan
penyuluhan, serta ‘perubahan cara’ memberikan pelayanan
jasa penelitian dan penyuluhan yang sesuai dengan ekspektasi
pemakai ; bergeser dari pendekatan supply-driven ke demand￾driven. Akibat dari ini, kebijakan juga ikut berubah (kebijakan
dan perubahan institusional) yang di satu sisi meningkatkan
kompetisi antara organisasi peneliti dan penyuluh; namun di
sisi lain melemahkan keterkaitan (linkage) yang sudah terjalin
Buku 
antara peneliti, penyuluh, petani, agro-industri dan petani
yang notabene sebagai faktor utama suksesnya OVO triptych
Dalam merespon ‘redupnya’ fungsi OVO-triptych
ini , berbagai opsi untuk suatu bentuk kelembagaan
penelitian dan ekstensi baru telah diformulasikan . Bermuncullah OVO-triptych versi baru, yang
bertujuan untuk kolaborasi yang semakin lama semakin
melemah. Sehingga muncullah istilah intermediary inovasi
dalam bentuk organisasi, yang berfungsi sebagai intervensi
kebijakan maupun sebagai respon terhadap perubahan
lingkungan dari sisi petani, swasta, dan unsur sosial.
3.2 Apa fungsi intermediari inovasi, apa saja
bentuknya, dan siapa saja yang dapat memainkan
fungsi intermediari inovasi ?
Jika sebagian besar ilmu penyuluhan fokus pada
pemberdayaan petani, maka perspektif AIS atau Sistem
Inovasi Pertanian fokus pada interaksi dan koneksi antar
aktor untuk memenuhi kebutuhan petani. Mengulang
kembali apa yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
interaksi dan koneksi antar aktor ini  membutuhkan
intermediari inovasi yang berfungsi mengkoneksikan antar
aktor yang bekerjasama dalam suatu system; agar apa yang
diperlukan  user sesuai dengan yang diberikan oleh provider,
atau penyedia jasa atau layanan.
Secara detil fungsi dari intermediari inovasi adalah
 a) Mengartikulasikan atau
menggali dan menerjemahkan kebutuhan (demand articulation)
dari aspek kebutuhan terhadap teknologi, pengetahuan,
pembiayaan, kebijakan; yang dilakukan melalui identifi kasi 
permasalahan, b) Membantu mengoneksikan network atau
jaringan yang diperlukan  melalui fasilitasi keterkaitan
(linkage) dengan aktor yang relevan misalnya dalam hal
mengoneksikan mitra yang potensial, c) Proses manajemen
inovasi untuk meningkatkan kerjasama berbagai pihak, yang
dilakukan dalam bentuk antara lain penyamaan insentif
maupun persepsi tentang bagaimana kolaborasi yang saling
menguntungkan antar pihak dengan berbagai latar belakang
norma dan kebiasan yang berbeda. Peran dalam inovasi
proses manajemen ini meliputi interaksi antara jaringan
inovasi (innovation network) dan sistem inovasi yang lebih luas
(infrastruktur atau sarana prasarana untuk terjadinya inovasi,
reward, insentif, pembiayaan, dan peraturan pendukungnya)
Demand articulation merupakan kunci utama yang
dimainkan oleh pelaksana intermediari inovasi ). Demand articulation atau dalam Bahasa
negara kitanya adalah penggalian kebutuhan pemakai ,
merupakan elemen penting untuk terjadinya inovasi
 ‘Demand articulation is about clarifying
both demand and supply, and establishing a dialogue between
users and producers’ . Dalam upaya
penggalian kebutuhan pemakai  ini, diperlukan  kreativitas
dari intermediary inovasi, baik melalui proses formal maupun
informal 
Peran lain yang dimainkan dalam intermediari inovasi
adalah sebagai network brokerage atau penghubung antar pihak
untuk terjadinya inovasi. Intermediari inovasi harus dapat
berfungsi untuk mengeliminir gap informasi yang diperlukan 
untuk terjadinya inovasi, melalui transparansi informasi dari
sumber informasi kepada pemakai  informasi. Fungsinya
sebagai network broker juga mengharuskan intermediariinovasi untuk mengeratkan koneksi interaksi yang lemah
serta menyediakan link atau jaringan yang diperlukan 
oleh petani maupun pengusaha pertanian. Fungsi sebagai
network broker ini tidak hanya diperankan oleh perorangan,
namun juga dalam bentuk pengorganisasian platform, yaitu
tempat bertemunya stakeholders yang diperlukan  oleh sistem
(=petani) untuk dapat terjadinya inovasi yang diharapkan.
Internediari inovasi dalam bentuk Innovation platform
dicirikan sebagai ‘a dynamic space through increase interaction,
negotiation, and learning between stakeholders’  dengan tujuan agar para pihak yang bekerja sama dapat
melakukan proses sharing informasi untuk memecahkan
masalah yang ada (Cadilhon 2013). Dalam platform ini ,
intermediari inovasi melakukan fasilitasi, interaksi, dan
negosiasi, serta aktivitas bersama (collective action) misalnya
kolaborasi antara petani, peneliti, dan stakeholder lain , atau Information and
Communication Technology 
Fungsi intermediari inovasi dapat dilakukan oleh
peneliti atau lembaga penelitian , oleh NGO
atau agen pemerintah , oleh individu atau
organisasi yang memiliki fungsi sebagai broker atau perantara
inovasi z Sebagai contoh di Belanda,
agricultural innovation brokers dapat berwujud berupa;
Innovation consultan yang fokus pada individual maupun
kelompok petani, jaringan akademisi, internet portal, dan
jaringan lainnya. Intermediary inovasi dapat juga berperan
dalam bentuk sectoral intermediary yang terdiri dari beragam
aktor yang tergabung dalam suatu sistem. Fokus dari yangaktivitas intermediary inovasi dapat berupa hubungan one￾to-many (perorangan dan kelompok); public intermediary yang
fokus pada pelayanan publik; dan privat intermediary yang
fokus kepada masalah organisasi dan perusahaan ,untuk dapat berinovasi dengan
memperhatikan komponen-komponen di dalam organisasi
yang memerlukan dukungan aktor lain untuk berkontribusi
dalam organisasi guna mendukung terciptanya inovasi 
Tabel 3.1 mengklasifi kasikan jenis intermediari 
inovasi berdasar  servis yang diberikannya ke dalam
tiga kelompok yaitu hard, soft, dan systemic intermediary
beserta sifat  masing-masing. Hard intermediary
lebih kepada funginya sebagai penyediaan sarana dan
prasarana pendukung untuk terjadinya inovasi. Adapun
soft intermediary meliputi fungsinya pada aspek manajemen
inovasi. Sedangkan systemic intermediary lebih kepada fungsi
kombinasi intermediari secara pendekatan sistem.
Fungsi penyuluhan dalam perspektif intermediari
inovasi sebenarnya lebih diharapkan agar subyek target
sasaran penyuluhan dapat mandiri dan dapat lebih
kreatif mengutarakan apa yang diperlukan . Atau dengan
kata lain, penyuluhan dalam era baru diharapkan dapat
menjadi mediator untuk membuat subyek dari target tujuan
penyuluhan memiliki capacity to innovate. Yang dimaksud
dengan capacity to innovate adalah kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang atau kelompok orang untuk dapat
mengeluarkan aspirasinya, keinginannya, dan kebutuhannya,
sesuai dengan yang diperlukan. Dengan kata lain, capacity to
innovate menuntut subyek target penyuluhan memiliki jiwa
aktif, bukan pasif, sehingga kebutuhan atau keinginan dari
target diseminasi adalah murni dari diri sendiri, bukan berasal
dari penyuluh atau sumber informasi. Hal ini juga dinamakan
demand-driven extension, bukan linear extension. Sehingga
tujuan akhir kegiatan penyuluhan adalah agar subyek target
penyuluhan dapat melakukan inovasi, atau berinovasi sesuai
dengan tujuan yang diinginkan dalam aktivitas penyuluhan
itu sendiri.
Terdapat beberapa makna yang dimaksud dengan
inovasi. Menurut Smits (2002), inovasi adalah
…Innovation is a successful combination of ‘hardware’ (i.e.,
new technical devices and practices), ‘software’ (i.e., new
knowledge and modes of thinking) and ‘orgware’ (i.e., new
social institutions and forms of organisation) 
, inovasi merupakan sebuah
ide, gagasan, ojek, dan praktik yang dilandasi dan diterimasebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau pun kelompok
tertentu untuk diaplikasikan atau pun diadopsi. Sehingga
secara umum, inovasi diartikan sebagai ‘innovation is about
a change’, baik dalam hal perubahan untuk menghasilkan
sesuatu dalam bentuk produk maupun perubahan dalam hal
cara atau metode. Inovasi juga melibatkan ‘diff erent ways of 
thinking and diff erent ways of doing things’ (, dalam hal produk, proses, institusi, teknologi, sosial,
dan organisasi ,
Pengertian inovasi dalam perspektif sistem merupakan
suatu kegiatan yang melibatkan banyak sistem, tidak hanya
bersumber dari satu sistem saja semisal sistem penelitian
(produksi dan pertukaran pengetahuan teknis semata).
Beberapa sistem lain yang mempengaruhi terjadinya inovasi
antara lain kebijakan, peraturan, infrastruktur, pembiayaan,
dan pasar  , Dalam perspektif sistem,
inovasi merupakan hasil dari proses kolaborasi dimana
terjadi pertukaran informasi dan proses belajar   Inovasi merupakan outcome dari collective action, dan
terjadinya inovasi bergantung kepada sistem sosial dimana
inovasi ini  beroperasi untuk terjadi .
Sedangkan inovasi dalam arti luas adalah kesuksesan ekonomi
dan sosial karena diterapkannya cara, modifi kasi, atau 
kombinasi baru dari cara – cara lama dalam mentransformasi
input menjadi output yang menciptakan perubahan besar
dalam hubungan antara nilai guna dan harga yang ditawarkan
kepada konsumen dan/atau pemakai , komunitas, sosietas,
lingkungan 
Merujuk kembali subbab sebelumnya bahwa tiga fungsi
dari intermediari inovasi adalah sebagai katalis penggali
kebutuhan inovasi, sebagai network broker atau perantarajaringan kerja, sebagai katalis manajemen mendukung
terjadinya inovasi. Intermediari inovasi dapat diperankan baik
oleh organisasi maupun individu. berdasar  penjelasan
ini , maka dalam konteks bahasan kita tentang penyuluh
dan penyuluhan pertanian, maka konsep intermediary inovasi
mengandung makna peran-peran sebagai intermediari
inovasi yang dapat dijalankan oleh seorang penyuluh.
berdasar  konsep intermediari inovasi, seorang
penyuluh harus dapat menggali kebutuhan inovasi apa yang
diperlukan oleh petani yang menjadi target penyuluhan.
Seorang penyuluh juga harus pandai menangkap kebutuhan
petani agar terjadi inovasi di lingkungan petani binaannya.
Penggalian informasi kebutuhan ini memang bukanlah hal
mudah; terlebih jika petani yang didampingi masih bersifat
petani pasif – hanya menunggu dan menerima informasi.
Penggalian informasi dalam hal kebutuhan teknologi,
misalnya, turut menentukan umpan balik penciptaan dan
penyediaan inovasi teknologi pertanian.
Fungsi lain yang harus dimainkan oleh seorang
penyuluh pertanian adalah sebagai seorang network broker.
Fungsi ini sebenarnya merupakan pelengkap dari fungsi
intermediari inovasi sebelumnya. Seorang penyuluh
dengan perspektif innovation broker mengandung makna
bahwa penyuluh pertanian perlu memiliki kemampuan
untuk mencari sumber-sumber stakeholder baru bagi petani
binaannya, sehingga inovasi yang diharapkan akan dapat
terjadi. Sebagai contoh, aktivitas pendampingan kelembagaan
budidaya pertanian salah satunya membutuhkan dukungan
stakeholder pemasaranan atau penjamin modal usaha. Peran
penyuluh pertanian diharapkan dapat menjadi ‘penjembatan’
kebutuhan petani ini .
Sedangkan fungsi intermediari inovasi yang ketiga
adalah berkaitan dengan bagaimana seorang penyuluh perlu
memiliki kemampuan untuk mengkoordinir petani binaannya
dalam aspek manajemen inovasi. Yang dimaksud dengan
manajemen inovasi adalah bagaimana peran penyuluh dapat
menjembatani dukungan pemerintah daerah setempat dalam
regulasi manajemen budidaya usaha tani; bagaimana peran
penyuluh dalam membantu petani membuat aturan main
dalam manajemen budidayanya.
Sebagai penutup dari bab ini, pendekatan intermediari
inovasi menghendaki seorang penyuluh pertanian tidak
hanya menjalankan fungsiya sebagai penyampai informasi
yang berkenaan dengan aspek budidaya atau penyampai
inovasi teknologi semata. Seorang penyuluh pertanian harus
memiliki kemampuan teknik menggali ‘kebutuhan ril’ dari
petani binaannya. Dengan pendekatan ini, seorang penyuluh
pertanian hendaknya memiliki kemampuan sebagai fasilitator
penghubung antar para pihak yang diperlukan  oleh petani
binaannya agar mereka dapat menjalankan manajemen
buddaya secara berkelompok. Seorang penyuluh pertanian
juga hendaknya memiliki jaringan komunikasi dan pergaulan
yang luas dengan berbagai level di wilayah binaannya,
sehingga dapat ‘mempengaruhi’ kebijakan daerah untuk
mendukung terciptanya inovasi manajemen budidaya petani
di wilayahnya.
Prinsip-prinsip kerja seorang penyuluh dengan
pendekatan intermediari inovasi ini pada akhirnya ‘seolah￾olah’ memposisikan penyuluh sebagai manajer bagi petani
binaannya. Fungsi penyuluh benar-benar dituntut untuk
menjadi seorang fasilitator penggerak petani (=kelompok
tani) agar petani dapat berinovasi dan pada akhirnya petani
ini  memiliki kapasitas untuk berinovasi secara mandiri