Kambing Senduro merupakan
keturunan yang diduga berasal dari hasil
persilangan antara kambing Etawa, Kacang,
dan Jawarandu yang sudah berlangsung
sejak 100 tahun lamanya. Kambing ini telah
diresmikan sebagai kambing breed lokal
negara kita berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian RI Nomor:
1055/Kpts/SR.120/10/2014. Kambing
Peranakan Etawa merupakan kambing hasil
persilangan antara kambing Etawa dan
Kacang. Kambing ini telah diresmikan
sebagai kambing breed lokal negara kita
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
RI Nomor: 695/Kpts/PD.410/2/2013.
Umumnya, karakteristik fisik pada
kambing Senduro mirip dengan kambing
Peranakan Etawa, sebab indukan kambing
Senduro diseleksi dari kambing PE oleh
peternak dan breeder selama bertahun-tahun
Kedua breed ini
termasuk kedalam kekayaan sumber daya
genetik ternak lokal negara kita . Penting
untuk dilakukan upaya pelestarian sumber
daya genetik untuk mempertahankan hingga
meningkatkan kualitas fenotipik dan genotip
secara terus menerus agar kedua breed ini
dapat terus bertahan hidup Kambing Senduro dan PE
merupakan kambing dwiguna, dimana hasil
karkas dan susu-nya memiliki nilai yang
tinggi jika dibandingkan dengan kambing
breed lain. Persen karkas untuk kambing
bernilai 47,15% ,Bobot
kambing Senduro dapat mencapai 120 kg
dan produksi susu per-hari berkisar antara
0,8–1,8 liter/ekor/hari. sedang bobot
kambing Peranakan Etawa dapat mencapai
90 kg dengan produksi susu per-hari
berkisar antara 1-3 liter/ekor/hari. Kedua
kambing ini memiliki sifat kelahiran profilik
dan dalam waktu 2 tahun dapat beranak
hingga tiga kali sehingga memungkinkan
populasi ternak kambing Senduro dan PE
dapat tumbuh cepat, dan dapat memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat, baik susu
maupun dagingnya
Kambing Senduro dan PE yang berada
di Balai Besar Inseminasi Buatan, Singosari,
Jawa Timur digunakan untuk program
breeding terutama untuk pembuatan semen
beku yang digunakan untuk inseminasi
buatan. Identifikasi di bidang biologi
Variasi Genetik Kambing Senduro dan
Peranakan Etawa (PE)
molekuler dapat digunakan untuk
menseleksi pejantan unggul yang kemudian
semennya digunakan untuk pembuatan
semen beku. Kualitas dari semen beku
sangat berperan penting pada program
breeding ternak ,
Mitokondrial DNA (mtDNA) dapat
digunakan untuk identifikasi molekuler.
mtDNA memiliki laju mutasi yang lebih
tinggi dari DNA nukleus, memiliki daerah
conserved dan less conserved serta mtDNA
diturunkan secara maternal tanpa
rekombinan ,
Area mtDNA yang sering digunakan
untuk penelitian filogenetik untuk
mengetahui variasi genetik yaitu
Displacement-loop dan Cytochrome-b. Pada
penelitian ini digunakan Cytochrome-b
sebab gen ini mampu mendeteksi haplotip
yang berbeda pada mitokondria dan
memiliki laju mutasi yang sedang, sehingga
gen Cytochrome-b lebih conserved jika
dibandingkan dengan Displacement loop
(Pakpahan, et al., 2016). Berdasarkan latar
belakang yang telah dijelaskan diatas,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah ada variasi genetik antara
kambing Senduro dan Perananakan Etawa
berdasarkan sekuens nukleutida gen
Cytochrome-b menggunakan penyejajaran
pairwise distance.
Tabel 1. Informasi Sampel Kambing Senduro dan Peranakan Etawa
No Spesies Nama Jenis Kelamin Umur Asal Kode
1 PE Fikra Jantan 8 tahun Jawa Timur PE1
2 PE Gumitir Jantan 3 tahun Jawa Timur PE2
3 PE Avanto Jantan 8 tahun Jawa Timur PE3
4 Senduro Zendo Jantan 6 tahun Lumajang SE1
5 Senduro Luzen Jantan 4 tahun Lumajang SE2
6 Senduro Elpedepe Jantan 4 tahun Lumajang SE3
7 Senduro Gameto Jantan 5 tahun Lumajang SE4
8 Senduro Bagaz Jantan 5 tahun Lumajang SE5
9 Senduro Rispro Jantan 5 tahun Lumajang SE6
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian yaitu, vacum needle, needle
holder, glove, masker, dry ice, gunting, ice
box, kertas label, vacutainer EDTA,
microsentrifuge tube 1,5 ml, mikropipet,
yellow tip, white tip, micro PCR tube 200 µl,
sentrifuge, mesin vortex, incubator, freezer,
timbangan analitik digital, erlenmeyer,
mesin sequencing, thermocycler, komputer,
microwave, AE-Nano200 Nucleic Acid
Analyzer®, Bio Step UV-Transilluminator
DH-40, Mupid-Exu Electrophoresis, tisu,
dan kamera.Bahan yang digunakan dalam
penelitian yaitu sampel darah kambing PE
dan kambing Senduro, Blood DNA
Preparation Kit by Jena Bioscience,
Nuclease Free Water (NFW), Pecgreen,
TBE (Tris-Borac Acid-EDTA), primer
Forward (Cytb_F) 5’GCAATTGCCAT
AGTCCACCT’3 dan Reverse (Cytb_R)
5’GGATTTGCCGGGGTATAGTT’3,
marker DNA 100 bp dan 1 kb, 2x Taq
MasterMix 14 µl, agarosa 1% dan 2%,
etanol absolut, etanol 70% dan alumunium
foil.
Metode Pengambilan sampel whole blood
Pengambilan darah melalui vena
jugularis dengan menggunakan vacum
needle dan needle holder. Pengambilan
Variasi Genetik Kambing Senduro dan
Peranakan Etawa (PE)
darah pada vena jugularis dapat pula
menggunakan spuit ,
Hewan terlebih dahulu di restraint agar
memudahkan proses pengambilan darah.
Vena jugularis dibendung dan terlebih
dahulu diberikan desinfeksi, lalu darah
diambil. Setelah pengambilan darah selesai,
pada situs pengambilan darah diberikan
desinfektan kembali sambil di tekan untuk
menghentikan darah. Darah hasil koleksi
disimpan di tabung vacutainer EDTA.
Isolasi DNA
Proses isolasi DNA pada sampel darah
kambing PE dan kambing Senduro
menggunakan Blood DNA Preparation Kit
by Jena Bioscience. Dilakukan uji kuantitas
dengan mesin AE-Nano200 Nucleic Acid
Analyzer® untuk mengetahui konsentrasi
dan kemurnian isolat DNA. DdH2O
diteteskan diatas pedestal submicroliter cell
sebanyak 1 µl. Panjang gelombang yang
digunakan adalah 260 nm dan 280 nm.
Sebanyak 1 µl sampel ditetekan diatas
pedestal submicroliter yang telah
dibersihkan. Penutup ditutup diatas sampel
yang telah diteteskan dan ditekan tombol
sample, setelah itu ditunggu hingga hasil uji
keluar di layar monitor ,
Dilakukan uji kualitas DNA untuk
mengetahui ukuran whole genom dari
sampel yang digunakan menggunakan
elektroforesis. Marker yang digunakan yaitu
DNA marker berukuran 1 kb. Diatur nilai
tegangan 400 volt, arus listrik 100mA dan
waktu 35 menit. Kemudian dilakukan proses
running elektroforesis. Setelah proses
running selesai, dibaca hasil elektroforesis
dengan UV-transiluminator gel doc
(Fatchiyah, 2008). Primer yang digunakan
disesuaikan dengan Conserved Domain dari
Cytochrome-b Capra hircus. Primer
diperoleh dari database NCBI Genebank
Capra hircus dengan accession number
D84201.1. (Cytb_F) 5’GCAATTGCCA
TAGTCCACCT’3 (length: 20 bp; Tm :
59,96 ℃;GC : 55,0%) dan Reverse
(Cytb_R) 5’GGATTTGCCGGGGTATAG
TT’3 (length: 20 bp; Tm : 59,96 ℃; GC :
55,00%). Panjang produk dari primer ini
yaitu 434 bp.
Proses Polymerase Chain Reaction
Komposisi Cocktail PCR yang
digunakan yaitu primer forward 1 µl, primer
reverse 1 µl, 2x Taq MasterMix 14 µl,
sampel DNA 2 µl, dan nuclease free water
14 µl. Amplifikasi PCR terdiri dari lima
tahap, yaitu pra-denaturasi waktu 4 menit
dengan suhu 94 ℃, denaturasi waktu 30
detik dengan suhu 94 ℃, annealing waktu
30 detik dengan suhu 57,5 ℃, ekstensi
waktu 1 menit dengan suhu 72℃, dan post
ekstensi waktu 7 menit dengan suhu 72℃.
Siklus akan berulang sebanyak 35
Hasil amplifikasi
dilakukan elektroforesis untuk mengetahui
apakah ukuran sampel sudah sesuai target.
Konsentrasi dari gel agarosa yang
digunakan yaitu 2%. Proses sekuensing
DNA dilakukan dengan metode Sanger
sequencing. Sekuensing dilakukan untuk
melihat susunan basa nukleutida dari
sampel. Analisa data dilakukan dengan
menggunakan software MEGA.
Hasil Isolasi DNA Kambing Senduro dan
Peranakan Etawa
Hasil isolasi DNA yang diperoleh
merupakan DNA total. Isolat DNA yang
akan digunakan untuk amplifikasi DNA
menggunakan PCR terlebih dahulu dilakuan
uji kualitatif dan kuantitatif dan DNA.
Hasil uji kualitatif DNA elektroforesis
yang baik ditunjukkan dengan pita DNA
yang tebal dan tampak sedikit atau tidak ada
smear jika divisualisasikan di atas sinar UV
Pada hasil uji kualitatif
(Gambar 1) terlihat bahwa band DNA
hanya keluar pada sumuran kedua (sampel
SE1), sumuran kedelapan (sampel PE1), dan
sumuran kesepuluh (PE3).
Isolat DNA yang tetap berada di
dalam sumuran dapat disebabkan sebab
sumuran tidak terbentuk dengan sempurna,
pemberian kuantitas isolat DNA yang
berlebih, kontaminasi isolat DNA, dan
ada nya DNA binding proteins yang
Variasi Genetik Kambing Senduro dan
Peranakan Etawa (PE)
dapat mempegaruhi migrasi DNA
(Fermentas, 2015). Sumuran kedua,
kedelapan, dan kesepuluh memiliki panjang
base pairs 12,0 kb sehingga isolat DNA
perlu dilakukan uji kuantitatif untuk
mengetahui konsentrasi dan kemurnian
isolat DNA. Pengukuran kuantitas DNA
dilakukan dengan metode spektrofotometri
menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang (λ) 260 dan 280 nm.
Kemurnian DNA ditentukan dengan
menghitung rasio absorbansi pada A260
dengan A280 (Ratio A260:A280). Molekul
DNA dikatakan murni jika rasio
absorbansinya berkisar antara 1,8 – 2,0.
Nilai kemurnian dibawah 1,8 dapat
disebabkan sebab kontaminasi protein,
fenol, dan senyawa lain. Nilai kemurnian
diatas 2,0 dapat disebabkan sebab
kontaminasi RNA ,
Amplifikasi Gen Cyt-b Dengan Metode
PCR
Penentuan primer yang digunakan
disesuaikan dengan Conserved Domain dari
Cytochrome-b Capra hircus. Conserved
domain gen ini terletak di basa ke-1 hingga
basa ke-379. Primer forward dan reverse
yang digunakan dalam proses PCR didesain
melalui NCBI dengan database NCBI
Genebank Capra hircus : D84201.1.
(Cytb_F) 5’GCAATTGCCAT
AGTCCACCT’3 (length: 20 bp; Tm : 59,96
℃; GC : 55,0%) dan Reverse (Cytb_R)
5’GGATTTGCCGGGGTATAGTT’3
(length: 20 bp; Tm : 59,96 ℃; GC : 55,00%)
dan panjang target produk PCR yaitu 434
bp. Produk PCR hasil amplifikasi DNA
dilakukan uji kualitatif kembali dengan
menggunakan gel agarosa konsentrasi 2%
Panjang produk PCR hasil amplifikasi pada
Gambar 3. Pada pengamatan langsung,
didapatkan adanya pita DNA dengan ukuran
sesuai target amplifikasi dari primer forward
dan reverse yaitu sepanjang ±434 bp.
Variasi Genetik
Pada hasil penyejajaran sampel
dengan referensi gen Cyt-b Capra hircus
dapat didapati pula adanya mutasi. Mutasi
merupakan peristiwa perubahan struktur
materi genetis pada suatu organisme atau
makhluk hidup yang mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat atau karakter
suatu organisme ,
ada adanya mutasi pada sampel
berupa delesi, transisi dan tranversi. Delesi
adalah jenis mutasi gen yang terjadi sebab
hilangnya satu atau beberapa basa nitrogen.
Transisi terjadi ketika ada pertukaran
antar pasangan basa nitrogen sesama purin
atau sesama purimidin, sedang transversi
terjadi ketika ada pertukaran antara
pasangan basa nitrogen purin dengan
purimidin atau sebaliknya
Gambar 2. Origin Olio Nukleutida Gen Cytochrome-b (Accesion number: D84201.1),
keterangan: Kuning: Primer forward, Hijau: Primer reverse, Abu-abu: Region of
interest (National Center for Biotechnology Information, 2018)
Gambar 3. Hasil elektroforesis produk PCR. Keterangan: M: Marker, SE1, SE2, SE3, SE4,
SE5, SE6, PE1, PE2, PE3: sampel Kambing. Sembilan sampel produk PCR
menunjukkan adanya pita marker ±434 bp.
Variasi Genetik Kambing Senduro dan
Peranakan Etawa (PE)
Jenis mutasi pada sampel SE1
merupakan missense mutation. Mutasi salah
arti (missense mutation), yaitu perubahan
suatu kode genetik (umumnya pada posisi 1
dan 2 pada kodon) sehingga menyebabkan
asam amino yang terikat pada rantai
polipeptida berubah
sedang jenis mutasi mutasi pada sampel
SE2, SE3, SE4, SE5, SE6, PE1, PE2, PE3
berdasarkan perubahan kode genetik yang
terjadi termasuk kedalam frameshift
mutation. Mutasi ini merupakan akibat
penambahan atau kehilangan satu atau lebih
nukleutida di dalam suatu gen .Penelitian ini menunjukkan bahwa
kambing Senduro dan Peranakan Etawa
yang ada di BBIB Singosari memiliki
variasi genetik yang tinggi jika
dibandingkan dengan database NCBI
Capra hircus: D84201.1.
Keragaman genetik yang tinggi dapat
disebabkan sebab kondisi geografis yang
berbeda antara Kambing Senduro dan PE
dengan sampel pembanding yang
digunakan.
Pada hasil penyejajaran ada
variasi basa nukleutida pada seluruh sampel
terhadap database NCBI Capra hircus:
D84201.1. Sampel SE1 mengalami
missense mutation, dan sampel SE2, SE3,
SE4, SE5, SE6, PE1, PE2, PE3 mengalami
frameshift mutation. Penyejajaran
menggunakan pairwise distance
menunjukkan bahwa kambing Senduro dan
PE yang dibandingkan dengan database
NCBI Capra hircus: D84201.1 memiliki
susunan basa nukleutida dengan variasi
yang tinggi.
Kalimantan Tengah adalah salah satu
provinsi yang dilewati katulistiwa, sehingga
mendapat penyinaran matahari lebih dari 50% sepanjang tahun. Udaranya relatif panas dan
pada siang hari mencapai 32 o
C dan malam hari
23 o
C. Rata-rata curah hujan per tahunnya
relatif tinggi, yaitu mencapai 1900-3100 mm
(Limin, 2002). Wilayah ini memiliki lahan
gambut yang cukup luas. Gambut mengandung
bahan organik tinggi yang diakibatkan
lingkungan anaerob (selalu tergenang air),
sehingga memungkinkan terjadinya
penumpukan bahan organik yang sukar melapuk
(Rismunandar, 2001).
Salah satu kemampuan yang tidak dimiliki
ternak lain (domba, sapi) bahwa kambing dapat
mengkonsumsi daun-daunan, semak belukar,
tanaman ramban dan rumput yang sudah tua
dan berkualitas rendah. Jenis pakan tersebut
dapat dimanfaatkan secara efisien, sehingga
kambing dapat beradaptasi pada lingkungan
yang kurang pakan (Devendra, 1978).
Kemampuan tersebut merupakan suatu potensi
penting untuk terus dikembangkan. Oleh karena
itu, kambing dicoba dipelihara dengan cara
digembalakan di lahan gambut.
Pemeliharaan kambing di lahan gambut
memerlukan manajemen yang baik untuk
mencapai peningkatan produktivitas. Pola dasar
tingkah laku ternak sangat penting untuk
diketahui dalam pengelolaannya. Memahami
pola tingkah laku normalnya dapat
mempermudah dalam peningkatan pengelolaan
ternak.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
tingkah laku makan kambing Lokal Persilangan.
Pola tingkah laku makan kambing tersebut
dapat dijadikan sebagai dasar untuk memper baiki manajemen pemeliharaannya yang
digembalakan di lahan gambut.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di lahan
gambut Desa Kalampangan, Kecamatan
Pahandut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Pelaksanaannya berlangsung selama tiga bulan,
dari pertengahan bulan Maret sampai dengan
pertengahan bulan Juni 2003.
Ternak yang digunakan adalah 10 ekor
kambing Lokal Persilangan terdiri atas lima ekor
jantan umur 8-12 bulan yang merupakan anak
kambing dari tujuh ekor yang tersedia dan lima
ekor betina dewasa umur 18-24 bulan yang me
rupakan induk yang sudah beranak. Bobot hidup
jantan rata-rata 15,4 kg dan betina 17,6 kg.
Lahan gambut yang digunakan sebagai
habitat penggembalaan seluas 3 ha, dibagi
menjadi 12 pedok (unit areal penggembalaan)
masing-masing berukuran 50x50 m2
. Ketebalan
lahan gambut yang digunakan berkisar antara
1,5 sampai 3 m.
Vegetasi yang ada di lahan gambut
(Yamada, 2002) terdiri atas ramin (Gonystylus
bancanus), jongkong (Dactylocladus
stenostachys), meranti lop (Shorea scabrida),
meranti lilin (Shorea teysmannina), meranti
buaya (Shorea rugosa var. uliginosa), meranti
paya (Shorea platycarpa), kapur paya
(Dryobalanops rappa), sepetir paya
(Copaifera palustris), semayor (Shorea
inaequilateralis), jelutong (Dyera lowii),
perupok (Lophopetalum multinervium), durian
burong (Durio carinatus), geronggang paya
(Cratoxylon arborescens), geronggang
padang (Cratoxylon glaucum), bintangor
(Calophyllon spp.), terentang (Campnosper ma cariacea). Paryadi (2002) menambahkan
lagi sasendok (Plantago mayor), kelakai
(Stenochlaena palustris), pakis (Asplenium
nidus), karamunting (Malastoma candidum),
akasia (Acacia sp.), delingu, lombok-lombokan.
Jenis vegetasi yang biasa dimakan kambing
(Paryadi, 2002) adalah sasendok, kelakai,
lombok-lombokan, pakis, delingu. Jenis vegetasi
yang paling disukai kambing adalah sasendok,
kelakai, lombok-lombokan, delingu.
Variasi vegetasi di tiap pedok
penggembalaan relatif sama. Ternak diberikan
penambahan zat makanan berupa UMB (Urea
Molases Block) yang mengandung Ca dan Mg.
Ternak kambing percobaan dipelihara
dengan sistem penggembalaan rotasi dalam 12
pedok. Masa penggembalaan di setiap pedok
selama 10 hari dan batas pedok pada saat
digembalakan menggunakan pagar listrik
(bertegangan 9 sampai 12 volt).
Kandang yang digunakan berupa
kandang panggung yang ditempatkan di dalam
pedok. Ukurannya, yaitu 200 x150 cm, tinggi
kaki kandang 50 cm. Kandang tersebut dapat
dipindah-pindahkan, berfungsi sebagai tempat
istirahat, dan berteduh dari keadaan cuaca yang
kurang baik (hujan, kedinginan). Tempat minum
diletakkan di dekat kandang yang diisi campuran
air garam dapur dengan kapasitas lima liter.
Peralatan pendukung lainnya terdiri atas:
1) stop watch untuk mengukur durasi/lamanya
aktivitas tingkah laku makan, 2) termometer
dengan satuan celcius digunakan untuk
mengukur suhu lingkungan, 3) timbangan 100
kg digunakan untuk menimbang ternak, 4)
kamera digunakan untuk mendokumentasikan
gambar selama penelitian, 5) daftar isian dan
alat tulis-menulis.
Perlakuan
Masing-masing kambing diberi nomor dari
satu sampai sepuluh. Nomor satu sampai lima
untuk kambing jantan dan enam sampai sepuluh
untuk kambing betina. Dalam pengambilan data,
antara kambing jantan dan betina tidak
dikelompokkan secara terpisah tetapi disatukan.
Kambing dibiarkan bebas merumput dalam
pedok, pintu kandang dibiarkan terbuka selama
24 jam agar kambing dapat bebas keluar masuk. Air minum dicampur dengan garam
dapur, diberikan ad libitum dan tidak diberi
pakan tambahan.
Mengetahui pola tingkah laku makan
dibutuhkan pengamatan tingkah laku pada
frekuensi waktu makan siang hari dari pukul
09.00-16.00, berdasarkan hasil penelitian
Paryadi (2002), yang menyatakan bahwa
aktivitas selama 12 jam (06.00-18.00)
menunjukkan antara pukul 09.00-16.00 aktivitas
makan dominan dilakukan. Pengamatan
tersebut dilakukan sebanyak tiga kali dalam
setiap pedok (10 hari penggembalaan) dengan
selang waktu satu sampai tiga hari. Setelah 10
hari digembalakan pada pedok pertama, maka
kambing tersebut dipindahkan ke pedok
selanjutnya. Lamanya penggembalaan
didasarkan pada perkiraan kapasitas tampung
dalam menyediakan hijauan. Pencatatan tingkah laku makan dilakukan
dengan metode One Zero interval 15 menit.
Tahapan tingkah laku diberi nilai satu bila
dilakukan dan nol bila tidak dilakukan, dalam
selang waktu 15 menit. Pengamatan tersebut
dilakukan dalam lima kali ulangan untuk setiap
individu berbeda. Tingkah laku yang diamati
dibedakan dalam aktivitas makan, ruminasi dan
istirahat. Aktivitas makan terdiri atas: 1) aktivitas
mencium hijauan yaitu awal aktivitas mencium
hingga kambing mulai melakukan aktivitas
lainnya, 2) aktivitas merenggut makanan yaitu
awal perenggutan hijauan hingga diangkat untuk
dikunyah , 3) aktivitas mengunyah makanan yaitu
aktivitas yang dimulai dari hasil perenggutan
hijuauan yang telah dikumpulkan di dalam mulut,
hingga melakukan aktivitas menelan , 4) aktivitas
menelan makanan yaitu aktivitas yang dimulai
dari menelan hasil kunyahan hingga aktivitas
lainnya. Aktivitas ruminasi terdiri atas: 1)
aktivitas mengeluarkan bolus yaitu aktivitas yang
dimulai dari dikeluarkan bolus dari rumen
menuju ke mulut hingga kambing melakukan
aktivitas mengunyah bolus, 2) aktivitas
mengunyah bolus, yaitu aktivitas yang dimulai
dengan mengunyah bolus yang telah dikeluarkan
dari rumen ke mulut hingga aktivitas menelan
beberapa bolus, 3) aktivitas menelan bolus yaitu
aktivitas yang dimulai dari bolus yang langsung
ditelan setelah dikeluarkan dari rumen ke mulut
atau menelan bolus yang melalui proses
pengunyahan hingga aktivitas mengeluarkan
bolus kembali.
Hasil pencatatan tingkah laku, dihitung
berdasarkan proporsi frekuensi yang terjadi
selama interval tertentu dengan membagi jumlah
tingkah laku yang teramati dalam interval
dengan jumlah tingkah laku keseluruhan atau
dengan rumus:
Tingkah Laku = X x 100%
Y
Keterangan:
X = frekuensi suatu tingkah laku tertentu
dalam tujuh jam per individu
Y = frekuensi keseluruhan tingkah laku yang
diamati dalam tujuh jam per individu
Data untuk menguji dua nilai tengah
antara jantan dan betina dengan jumlah yang
sama, dianalisa dengan menggunakan
Comparison of two samples atau Uji t (t
student) pada taraf 5%. Persamaannya adalah
sebagai berikut (Steel & Torrie, 1984):
grafik. Penyajian secara deskriptif untuk
menguraikan tingkah laku umum dan makan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian
Desa Kalampangan, Kecamatan
Pahandut terletak antara 2o
19’-2o
21’ LS dan
114o
00’-114o
03’ BT. Desa ini menempati luas
lahan sekitar 5000 ha yang terdiri atas
pemukiman penduduk, ladang, semak belukar
dan hutan sekunder yang terbentuk akibat
terbakarnya hutan primer.
Desa Kalampangan di dominasi oleh
penduduk hasil transmigrasi yang berasal dari
Jawa. Mata pencahariannya adalah bercocok
tanam sebagai petani, buruh dan pegawai negeri
sipil (Widjaja & Firmansyah, 2002). Kondisi
tersebut oleh sebagian besar masyarakat
digunakan untuk bercocok tanam sayur-mayur,
nanas, buah-buahan, dan jagung. Beternak
merupakan pekerjaan sampingan. Ternak yang
dipelihara adalah kambing, sapi dan ayam.
Kambing dikandangkan dan diberi makan
secara intensif tiap pagi dan sore. Pakan berupa
tanaman semak yang dikenal masyarakat
dengan nama sasendok. Tanaman tersebut
disamping paling disukai juga mudah diperoleh.
Keadaan iklim di lokasi penelitian
memperlihatkan kisaran suhu udara terendah
mencapai 22-25o
C (pukul 05.00-08.00) dan
kisaran suhu tertinggi mencapai 30-34o
C
(11.00-14.00). Berdasarkan data Stasiun
Meteorologi Tjilik Riwut Palangkaraya selama
delapan tahun, curah hujan mencapai antara
1900-3100 mm/tahun.
Vegetasi di lokasi penelitian dapat dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu perdu, pakis,
rumput dan pohon. Tingkat palatabilitas pada
kambing yang mengkonsumsi vegetasi tersebut
dikelompokkan menjadi:
1) Vegetasi yang paling disukai adalah:
a) sasendok atau uyah-uyahan (Plantago
mayor), tergolong tanaman perdu,
tingginya bervariasi antara 30-200 cm,
bentuk batang bulat silinder, permukaan
batang agak licin dengan arah tumbuh
batang tegak lurus ke atas, batang
tergolong batang rumput yang tidak
keras dan bergetah putih. Sasendok
mempunyai daun berukuran kecil, tepi
daun rata, warnanya hijau dan terdapat
bintik-bintik putih dengan permukaan
yang licin dan mengkilap. Warna
buahnya yang hijau muda dan setelah
tua menjadi merah;
b) delingu (Dianella ensifolia sp.),
tergolong rumput. Tanaman ini
mempunyai tinggi tidak sampai 50 cm,
daunnya berpelepah dan panjang
seperti daun jagung; dan
c) kelakai (Stenochlaena palustris)
adalah jenis pakis, tinggi hampir satu
meter, percabangan dengan stolon.
Daunnya berbentuk panjang, ujung
daun runcing dengan tepi bergerigi.
Daun berwarna merah saat muda
dengan batang mudah patah dan dapat
digunakan sebagai sayur-sayuran yang
dapat dikonsumsi oleh penduduk.
2) Vegetasi yang hanya dikuliti batangnya
adalah:
a) geronggang (Cratoxylon sp.),
termasuk pohon, ketinggiannya
mencapai tiga meter, batangnya
bergetah, daun berukuran kecil dengan
ujung runcing dan tepi daun rata;
b) lombok-lombokan (Clerodindrum),
tergolong perdu, mempunyai kambiun,
tumbuh tegak, tinggi mencapai dua
meter. Daun berukuran lebar, tepinya
rata, permukaan agak berbulu dan
berkerut seperti daun bayam;
c) karamunting (Malastoma candidum),
tergolong perdu, tinggi dapat mencapai
1,5 m, batang berkayu dengan
permukaannya ditumbuhi bulu halus,
tumbuh tegak dengan tangkai yang
banyak. Daun berukuran kecil, tepinya
rata dengan permukaan berbulu halus.
Bunganya berwarna merah muda; dan
d) asem-aseman (Ploiarium alternifo lium), tergolong perdu, batang berkayu
dengan arah tumbuh tegak ke atas.
Daun memanjang dengan ujung
meruncing. Warna daun hijau
kekuningan dengan permukaan hijau
mengkilat.
3) Vegetasi yang kurang disukai adalah:
a) pakis (Asplenium nidus), terdiri atas
beberapa jenis, tinggi dapat mencapai
dua meter, permukaan batang agak
berbulu dengan arah tumbuh tegak
lurus. Daun berwarna hijau dengan
permukaan ditumbuhi bulu halus; dan
b) bajakah, tergolong tanaman perdu, arah
tumbuh batang membelit atau menjalar.
Daun berwarna hijau dengan
permukaan licin mengkilap.
Kondisi Ternak
Kambing diperoleh dari penduduk sekitar
lokasi penelitian dan dipelihara secara intensif
dikandang, sehingga sudah terbiasa dengan
pakan yang disukai dan selalu disediakan.
Ternak tersebut terdiri atas delapan ekor betina
dan satu ekor pejantan dengan umur seragam
yaitu satu tahun pada bulan Desember tahun
2001, sehingga pada pertengahan tahun 2003
berumur sekitar 2,5 tahun (3 pasang gigi seri
dewasa). Tahun 2003, kambing tersebut
berjumlah 15 ekor, terdiri atas tujuh ekor induk,
satu ekor pejantan, dua ekor anak betina dan
lima ekor anak jantan.
Tingkah Laku Makan
Pengamatan tingkah laku makan pada
kambing meliputi aktivitas makan dan ruminasi.
Hasil penelitian Paryadi (2002) pada kambing
di lahan gambut selama 12 jam (06.00-18.00)
menunjukkan, frekuensi tingkah laku makan
yang dominan adalah di siang hari. Gambar 1
menunjukkan adanya berbagai tingkah laku
makan pada pukul 09.00-16.00. Pengamatan
mikro dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkah laku makan selama tujuh jam
pengamatan (09.00-16.00) jantan adalah
66,28% dan betina 60,82%.
Frekuensi aktivitas makan (Gambar 1)
paling tinggi terjadi pada pukul 09.00-10.00,
kemudian dilanjutkan lagi pada pukul 13.00-
16.00. Aktivitas makan paling rendah terdapat
pada pukul 11.00-12.00 yang diikuti aktivitas
ruminasi yang rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa aktivitas makan yang paling tinggi
terdapat pada pagi dan sore hari, karena
keadaan tersebut sesuai dengan suhu
lingkungan saat itu. Rata-rata suhu siang hari
mencapai 27-34o
C dan kambing lebih banyak
melakukan istirahat, meskipun ada yang
melakukan aktivitas makan dengan frekuensi
yang rendah (pukul 11.00-12.00). Hal ini diduga
karena apabila dihadapkan pada cekaman
panas, prioritas tingkah laku kambing akan
berubah dari kegiatan merumput atau
mengkonsumsi pakan untuk menghindari kondisi
yang tidak menyenangkan. Konsekuensi yang
cepat adalah mengurangi konsumsi pakan dan
energi metabolis yang tersedia. Gangguan lain
terhadap keseimbangan energi berasal dari
perubahan fisiologi, endokrin dan pencernaan
yang selanjutnya menurunkan energi yang
tersedia. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Wodzicka-Tomaszewska et al. (1991) bahwa
pada siang hari dengan suhu yang tinggi,
kambing akan merumput lebih sedikit, waktu
yang digunakan untuk ruminasi lebih singkat
dengan istirahat yang relatif lama.
Pola makan kambing jika dibedakan
berdasarkan jenis kelamin terdapat pada
Gambar 2. Perbedaan frekuensi yang jauh
antara jantan dan betina terjadi pada pukul
12.00-13.00 (jantan 10,24%; betina 15,87%) dan
15.00-16.00 (jantan 14,64%; betina 11,09%).
Hal ini berarti betina lebih tahan melakukan
aktivitas makan di siang hari (pukul 12.00-13.00)
daripada jantan. Jantan lebih aktif melakukan
makan di pagi dan sore hari, meskipun waktu
itu aktivitas makan betina juga meningkat. Betina lebih banyak melakukan aktivitas
makan di siang hari (pukul 12.00-13.00), hal ini
diduga karena faktor umur. Betina dewasa lebih
aktif melakukan aktivitas makan di siang hari
dibanding jantan remaja, karena jantan remaja
lebih aktif melakukan makan di pagi hari,
sehingga di siang hari lebih banyak melakukan
istirahat dan memberikan kesempatan pada
jantan dewasa untuk mencari makan.
Pola Tingkah Laku Makan
Gambar 3 menunjukkan persentase
frekuensi tertinggi terjadi pada aktivitas
merenggut (24,41%) dan terendah pada
aktivitas menelan (6,32%). Hal ini menunjukkan
bahwa hasil renggutan dikumpulkan di mulut
dalam jumlah yang banyak, kemudian
dilanjutkan dengan aktivitas mengunyah
(20,14%) yang tinggi jika dibandingkan dengan
aktivitas menelan (6,32%). Keadaan ini diduga
karena sifat fisik pakan atau banyaknya
kambing dalam melakukan aktivitas merenggut,
sehingga frekuensi pengunyahan lebih banyak.
Menurut Wodzicka-Tomaszewaka et al.
(1993), pengunyahan selama makan dan
ruminasi dapat mengurangi ukuran partikel dan
mengubah bentuk pakan. Tingkat pengurangan
ukuran partikel pakan dicerna atau bahan yang
diruminasi akan ditentukan oleh waktu yang
diperlukan untuk makan, ruminasi dan jumlah
kunyahan per satuan waktu dalam setiap
kegiatan dan oleh tingkat keefektifan
pengunyahan.
Perbedaan aktivitas dalam mengeluarkan
bolus (11,24%), mengunyah bolus (13,21%) dan
menelannya (14,44%) tidak berbeda nyata.
Frekuensi aktivitas menelan bolus yang lebih
tinggi dari aktivitas ruminasi lainnya, diduga
karena penelanan bolus yang sedikit demi
sedikit yang mengakibatkan jumlah bolus yang
ditelan cukup banyak.
Rangkaian tingkah laku makan pada
kambing diawali dengan mencium makanan.
Jika makanan cocok untuknya maka akan dimakan. Pada umumnya kambing menyukai
berbagai jenis hijauan, karenanya dapat
membedakan antara rasa pahit, manis, asam
dan asin ,
Tabel 1 menunjukkan bahwa aktivitas
mencium yang paling rendah pada jantan terjadi
pada pukul 12.00-14.00, dan betina pada pukul
09.00-10.00. Hal ini diduga jantan lebih selektif
dalam memilih pakan di pagi hari, terutama
pakan yang disukainya. Betina saat memulai
aktivitas makan pukul 09.00-10.00, jarang sekali
melakukan aktivitas mencium makanan. Diduga
bahwa di pagi hari keadaan hijauan masih cukup
tersedia, sehingga betina langsung memakan
pakan yang ada.
Rangkaian tingkah laku selanjutnya
adalah merenggut pakan. Terhadap pakan yang
disukainya, kambing langsung merenggut pakan
tersebut. Pakan yang direnggut dapat berupa
rumput, daun dan semak belukar. Selain itu
kambing dapat memakan akar kering, ranting,
kulit tumbuh-tumbuhan dan daun-daun yang
sudah kering. Kambing merenggut dengan cara
menarik dan mendorong mulut ke depan-atas
atau belakang-bawah. Jika daun-daunan
terdapat pada tanaman yang tinggi, kambing
mempunyai kemampuan untuk meramban.
Hewan ini meramban dengan cara mengangkat
kedua kaki depan pada batang tumbuhan dan
bertumpu pada kedua kaki belakang. Kepala
dijulurkan ke daun tumbuhan yang dipilihnya.
Menurut Devendra & Burns (1994),
kambing mempunyai kebiasaan makan yang
berbeda dengan ruminansia lainnya. Bila tidak
dikendalikan, kebiasaan makan dapat
mengakibatkan kerusakan. Bibirnya yang tipis
mudah digerakkan dengan lincah untuk
mengambil pakan. Kambing mampu makan
rumput yang pendek, dan merenggut dedaunan.
Disamping itu, kambing merupakan pemakan
yang lahap dari pakan yang berupa berbagai
macam tanaman dan kulit pohon.
Tabel 1 menunjukkan bahwa frekuensi
renggutan yang tinggi pada jantan terjadi pada pukul 11.00-12.00 dan 14.00-16.00, sedangkan
betina pada pukul 13.00-14.00 dan 15.00-16.00.
Hal ini berarti pada waktu tersebut, makanan
yang disukainya masih tersedia. Selain itu, setiap
frekuensi kambing dalam merenggut hijauan
dapat langsung dikunyah atau dengan frekuensi
merenggut berkali-kali kemudian dikunyah.
Setelah merenggut makanan ke dalam
mulutnya, kambing akan memulai aktivitas
berikutnya yaitu mengunyah. Fungsi
pengunyahan selama makan yaitu untuk
merusak bagian permukaan pakan sehingga
ukuran partikel menjadi lebih kecil yang
memudahkan pakan untuk dicerna. Frekuensi
paling banyak dilakukan oleh jantan pada pukul
14.00-15.00 (32,84%) dan betina pada pukul
13.00-14.00 (28,41%).
Pukul 09.00-10.00 menunjukkan bahwa
aktivitas mengunyah makanan pada betina
(4,01%) lebih sedikit dibanding jantan (30,47%).
Pada penelitian ini kambing yang digunakan
yaitu kambing jantan remaja (8-12 bulan) yang
merupakan anak dari betina dewasa yang
digunakan dalam penelitian. Hal ini diduga
karena faktor umur berpengaruh besar dalam
aktivitas makan. Umumnya jantan remaja lebih
aktif dalam mengambil hijauan, meskipun harus
lebih selektif dalam mengambil hijauan tapi
jantan remaja lebih mudah dalam mengambil
hijauan yang disukainya. Betina dewasa tidak
perlu lagi selektif dalam memilih pakan, karena
betina dewasa lebih pengalaman dalam
mengenal hijauan yang disukainya dibanding
jantan remaja.
Jika aktivitas makan telah selesai, maka
dilanjutkan dengan aktivitas ruminasi. Aktivitas
ruminasi diawali dengan mengeluarkan bolus
yang disimpan sementara dalam rumen untuk
dikunyah dan ditelan kembali. Frekuensi
aktivitas menelan bolus lebih banyak dilakukan
dibanding aktivitas menelan makanan sebelum
ruminasi, hal ini diduga karena pakan yang telah
dikunyah kemudian di telan dan disimpan lama
di dalam rumen. Menurut Wodzicka Tomaszewska et al. (1993), proses
pengunyahan pada saat makan dan ruminasi merupakan aktivitas pelengkap di dalam
pengurangan ukuran partikel. Partikel yang lebih
kecil mungkin mempunyai waktu retensi yang
relatif lebih pendek di dalam rumen, sehingga
tingkat kecernaan tidak hanya ditentukan oleh
tingkat kecernaan ingesta, tetapi juga oleh
waktu tersimpan di dalam rumen.
Setelah kambing melakukan ruminasi,
biasanya dilanjutkan dengan tingkah laku
istirahat. Tingkah laku ini adalah tingkah laku
kambing pada saat tidak melakukan apa-apa.
Posisi yang dilakukannya saat istirahat ada tiga
macam yaitu bersimpuh, berdiri dan berbaring
dengan meletakkan kepala ke atas tanah
dengan mata terpejam atau terbuka. Tingkah
laku istirahat (Gambar 4) yang optimal dilakukan
pada pukul 11.00-13.00 dan 15.00-16.00. Hal
ini didukung suhu yang tinggi pada siang hari
(27-34o
C), kambing akan lebih banyak
melakukan istirahat. Kambing apabila
dihadapkan pada cekaman panas, prioritas
tingkah laku kambing akan berubah dari
kegiatan merumput atau mengkonsumsi pakan
untuk menghindari kondisi yang tidak
menyenangkan. Konsekuensi yang cepat adalah
mengurangi konsumsi pakan dan energi
metabolis yang tersedia. Gangguan lain terhadap
keseimbangan energi berasal dari perubahan
fisiologi, endokrin dan pencernaan yang
selanjutnya menurunkan energi yang tersedia.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Wodzicka Tomaszewska et al. (1991) bahwa pada siang
hari dengan suhu yang tinggi, kambing akan
merumput lebih sedikit, waktu yang digunakan
untuk ruminasi lebih singkat dengan istirahat
yang relatif lama.
Faktor iklim yang terpenting adalah suhu
dan kelembaban, tetapi angin dan sinar matahari
mempengaruhi kombinasi suhu dan
kelembaban yang dibutuhkan untuk produksi
yang optimum (Wodzicka-Tomaszewska et
al.,1993). Kambing yang dipelihara dengan cara
digembalakan dan biasanya terkena sinar
matahari langsung, dan tampaknya menderita
karena cekaman panas. Kambing mempunyai
bulu yang dapat memberikan perlindungan yang
memadai terhadap pengaruh langsung sinar
matahari, dan dapat memberikan manfaat untuk pengaturan panas oleh ternak yang terjemur
sinar matahari. Sebagian energi dipantulkan
sebagai pancaran gelombang pendek.
Pemindahan panas secara paksa segera
menyejukkan permukaan. Pengeluaran keringat
ke permukaan tubuh oleh ternak yang menerima
panas lingkungan dalam jumlah yang besar
adalah cara yang tidak efisien untuk mengurangi
beban panas tubuh, karena kambing sedikit
berkeringat. Bulu memberikan perlindungan
fisik dari pancaran sinar matahari langsung dan
tak langsung serta pengaruh suhu udara efektif
yang tinggi.
Gambar 5 menunjukkan bahwa aktivitas
selama waktu pengamatan (09.00-16.00) antara
kambing jantan dan betina tidak berbeda nyata.
Aktivitas makan pada jantan yaitu 66,28% dan
betina 60,82%. Dari semua aktivitas, aktivitas
makan adalah paling tinggi. Hal ini disebabkan
karena kambing termasuk hewan diurnal, yaitu
aktivitas makan di siang hari dan malam hari
digunakan untuk istirahat. Selain itu, hijauan yang
tersedia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meskipun hijauan yang kurang disukainya
banyak tersedia di pedok, tetapi jika tumbuh
tanaman muda, maka kambing akan
memakannya. Hal ini karena tanaman muda
yang sedang tumbuh mempunyai kandungan
protein yang relatif tinggi. Jantan lebih tinggi
frekuensi makannya di banding betina, hal ini
diduga karena faktor umur berpengaruh besar
dalam aktivitas makan. Umumnya jantan
remaja lebih aktif dalam mengambil hijauan,
meskipun harus lebih selektif dalam mengambil
hijauan tapi jantan remaja lebih mudah dalam
mengambil hijauan yang disukainya.
Aktivitas yang paling rendah selama
waktu pengamatan adalah aktivitas ruminasi.
Hal ini diduga karena aktivitas ruminasi
umumnya dilakukan pada malam hari, namun
aktivitas tersebut dipengaruhi juga oleh pola
merumput (Morand-Fehr, 1981). Aktivitas
istirahat antara jantan (24,91%) dan betina
(27,35%) tidak berbeda nyata. Hal ini diduga
aktivitas istirahat selalu bersamaan antara jantan
dan betina. Setiap ada satu jantan yang berjalan
menuju kandang, maka kambing lainnya
mengikuti ke arah yang sama, meskipun ada
kambing yang masih melakukan aktivitas
makan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kambing yang ada di lokasi penelitian memiliki
sifat berkelompok. Sifat tersebut didukung
adanya tipe adaptasi fisiologi yaitu kebiasaan,
artinya adaptasi yang melibatkan pengurangan
respon terhadap rangsangan berulang dan
biasanya terkait dengan penurunan persepsi
setelah rangsangan yang berulang. Perubahan
tingkah laku terjadi pada tingkat sensoris.