• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label trauma 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label trauma 2. Tampilkan semua postingan

trauma 2

kematian orang tercinta, korban kejahatan, dll) Perang dan 
keganasan, (2) trauma mayor (bencana alam, kebakaran, dll), 
trauma mayor umumnya menyebabkan trauma pada sejumlah 
besar orang pada waktu yang sama. Cavanagh mengelompokkan 
trauma berdasarkan kejadian traumatik yaitu: trauma 
situasional, perkembangan, intrapsikis dan eksistensional: 
(1) Trauma situasional adalah trauma yang disebabkan oleh 
situasi seperti bencana alam, perang, kemalangan kenderaan, 
kebakaran, rompakan, perkosaan, perceraian, kehilangan 
pekerjaan, ditinggal mati oleh orang yang dicintai, gagal 
dalam perniagaan, tidak naik kelas bagi beberapa pelajar, dan 
sebagainya; (2) Trauma perkembangan adalah trauma dan stres 
yang terjadi pada setiap tahap pekembangan, seperti penolakan 
dari teman sebaya, kelahiran yang tidak diingini, peristiwa 
yang berhungan dengan kencan, bekeluarga, dan sebagainya; 
(3) Trauma intrapsikis adalah trauma yang disebabkan kejadian 
dalaman seseorang yang memunculkan perasaan cemas yang 
sangat kuat seperti perasaan homo seksual, benci kepada 
orang yang seharusnya di cintai, dan sebagainya; (4) Trauma 
eksistensial yaitu trauma yang diakibatkan karena kurang 
berhasil dalam hidup.
Selain daripada itu pengelompokan lain di lakukan 
mengikut pada jenis kejadiannya seperti kekerasan baik 
seksual maupun perkataan, bencana alam, serangan binatang 
maupun manusia, konflik atau peperangan. Ada juga yang 
mengelompokkan mengikut rentang waktu peristiwa yang di 
alami seseorang seperti one-time trauma yaitu trauma yang 
disebabkan satu kali peristiwa yang menyakitkan seperti 
bencana alam, perkosaan, perampokan, kecelakaan lalu lintas, 
dan sebagainya. Prolong trauma, di akibatkan oleh tebusan, 
penculikan, pemenjaraan atau penyekapan. Penggolongan lain 
juga ada berdasarkan pada munculnya kejala-gejala gangguan 
stres pasca trauma, yaitu: acute PTSD bila gejala muncul di 
bawah tiga bulan setelah terjadi peristiwa troumatik, cronic 
PTSD bila gejala muncul setelah tiga bulan dari waktu terjadi 
peritiwa traumatik, dan delayed onset PTSD bila gejala muncul 
setelah enam bulan dari waktu terjadi trauma.37
Chaplin menyatakan beberapa istilah yang berkaitan 
dengan trauma yaitu: (1) trauma, plural traumata adalah satu 
luka baik yang bersifat fisik ataupun psikologis; (2) traumatic 
dilirium (delirium traumatik) adalah satu keadaan delirium 
yang disebakan luka di otak; (3) traumatic neurosis (neurosa 
traumatik) adalah satu neurosa disebabkan oleh suatu 
pengalaman yang luar biasa menyakitkan hati (4) traumatic 
psychosis (psikosa traumatik) adalah satu keadaan psikotis yang 
ditimbulkan oleh luka di otak. Orang-orang yang hidup dengan 
pengalaman traumatik akan sering mengalami perasaan flash 
back daripada peristiwa yang terjadi
berbahaya apabila di derita oleh individu, kelompok maupun 
bangsa.Orang-orang yang mengalami keadaan ini akan 
mempunyai risiko yang sangat tinggi kepada kesehatan fisik 
dan mental, serta pada perilaku dan daya kreativitasnya, 
dan bila tidak mendapatkan bantuan dan penanganan yang 
profesional, dan berkelanjutan,maka penderita akan terus 
mengalami trauma berkepanjangan. Bila trauma ini diderita 
oleh anak-anak, maka ia akan sulit beradaptasi ketika remaja. 
Dan bila di derita oleh remaja, maka ia akan sulit memasuki 
dunia kerja yang penuh tantangan. Dan bila trauma ini di derita 
oleh orang dewasa, maka ia akan sulit berinteraksi dengan 
kelompok sosialnya, dan bila trauma ini di alami oleh manula, 
maka ia akan sulit menata hidup di hari tuanya.
2.1.2.2. Symptom Trauma
Everly et al. menyatakan bahwa ada beberapa gejala yang 
umum dari trauma psikologis dan PTSD.39 yaitu: Pertama, 
Intrusive Symptoms (gejala yang mengganggu) antara lain: 
(a) dapat mengalami kembali peristiwa dalam gambaran, 
pikiran, kenangan, lamunan dan mimpi buruk, (b) bertindak 
dan merasa seolah –olah peristiwa tersebut datang kembali, 
(c)secara simbolis mengingat kembali penderitaan yang di 
hadapi. Kedua, Avoidance Symptoms (gejala penghindaran) 
antara lain: (a) menghindari tempat dan pikiran simbolis dari 
trauma, (b) berpanjangan dalam mengingat suatu peristiwa, (c) 
kehilangan minat dalam aktivitas yang penting, (d) membatasi 
emosi, (e) merasa tidak ada waktu depan. Ketiga, Arousal 
Symptoms antara lain: (a) hyper vigilance, (b) respon kaget 
berlebihan, (c) gangguan tidur, (d) kesulitan berkonsentrasi, 
dan (e) Cepat marah atau ledakan marah. 
Wiliams & Poijula menyatakan beberapa gejala 
PTSD yaitu: Jika reaksi terhadap peristiwa trauma tetap ada 
berterusan beberapa waktu atau terjadi setidaknya 6 bulan 
setelah individu mengalami peristiwa, artinya ia mengalami 
gangguan PTSD.40 Selanjutnya gejala-gejala lain ia telah 
mengadap tasikan dengan DSM-IV yang dikeluarkan APA,41
adalah: 
Pertama individu dikatakan mengalami peristiwa 
trauma bila dari dua hal berikut terjadi, ia merasakan, menjadi 
saksi, dikonfrontasi dengan peristiwa, terlibat ancaman 
kematian atau kecelakaan serius, atau ancaman terhadap 
fisik seseorang atau orang lain. Responnya adalah ketakutan, 
perasaan tidak tertolong, kengerian atau persepsi dari peristiwa 
tersebut membuat seseorang dalam emosi. 
Kedua bila Individu mengalami kembali peristiwa 
tersebut secara berulang sehingga terbayang kembali koleksi 
kejadian yang menyedihkan, tergambar dalam pikiran dan 
persepsi. Sering mengalami mimpi yang berulang dan membuat 
stres. Bertingkah seolah-olah peristiwa trauma datang kembali, 
dan hidup melalui halusinasi atau flashback. 
Ketiga individu terus-terusan menolak benda/peristiwa 
yang berhubungan dengan peristiwa trauma, sehingga berusaha 
sungguh-sungguh untuk menghindari pemikiran, perasaan 
dan percakapan yang berhubungan dengan trauma, atau juga 
menghindari tempat, aktivitas yang dapat mengingatkan 
kembali pada trauma. Selain itu juga individu tidak dapat 
mengingat kembali aspek penting dari dirinya, ketertarikan, 
partisipasi dan aktiviti menjadi berkurang, dan merasa terlepas 
dan terasing dari orang lain.
Yahuda menyatakan karakteristik untuk menentukan 
telah mengalami peristiwa traumatik apabila dapat 
mencetuskan ketakutan, tidak berdaya, seram yang dapat 
mengakibatkan respon kepada ancaman kecederaan dan 
kematian. Orang-orang yang dihadapkankepada peristiwa￾peristiwa tersebut berisiko tinggi untuk PTSD, terutamanya 
kemurungan, gangguan panik,gangguan keresahan, dan 
penderaan berbanding dengan mereka yang tidak mengalami 
peristiwa traumatik. Selain itu juga akan mengalami gejala 
somatik dan penyakit fisik, terutamanya hipertensi,asma, dan 
sindrom kasakitan kronik.42 Dalam Dianostic and Statistical 
Manual (DSM IV) dirumuskan oleh APA, (dalam Stradling 
& Scot) yaitu, ada sejumlah kriteria yang dapat dilihat pada 
penderita gangguan stress pasca trauma dalam jadual 2.1 
berikut ini:

Carter & Byrne (tt) menyatakan bahawa PTSD 
adalah suatu gangguan yang mengikuti trauma berat yang 
dialami oleh sesorang yang dalam usahanya untuk pulih, 
mengembangkan gejala-gejala re-experiencing (mengalami 
kembali), Avoidance(menghindar) dan arousal (dengan terkejut). 
Walaupun gejala-gejala tersebut merupakan sebahagian 
daripada proses pemulihan, namun bila berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, dapat menjadi maladaptif bagi 
seseorang yang mengalaminya dan lingkungan sekitarnya.43
NIMH menyatakan PTSD adalah penyakit yang rel. Orang dapat 
mendapatkan PTSD setelah hidup melaluisatu pengalaman 
yang mengganggu atau menakutkan.44
Seseorang dapat mendapatkan PTSD setelah ia 
mengalami peristiwa seperti: Diperkosa atau didera secara 
seksual; Hit atau dirusakkan oleh seseorang dalam keluarga anda 
atau seorang korban penganiayaan ganas; Dalam kecelakaan 
kapal terbang atau kereta; Dalam ribut taufan, puting beliung, 
atau kebakaran; Dalam peperangan; Dalam peristiwa di mana 
anda fikir anda mungkin akan dibunuh, atau Setelah anda telah 
melihat mana-mana peristiwa-peristiwa. Jika anda mempunyai 
PTSD, anda sering mempunyai mimpi buruk atau pemikiran 
menakutkan tentang pengalaman yang di lalui. Anda coba 
untuk menjauhkan diri daripada apa-apa yang mengingatkan 
anda mengenai pengalaman anda dan mungkin merasa marah 
dan tidak mempercayai atau mengambil berat tentang orang 
lain. Anda sentiasa dapat berada dimana saja untuk untuk 
mendapatkan bahaya. Anda dapat merasa sangat kecewa 
apabila sesuatu yang terjadi tiba-tiba atau tanpa peringatan.
2.1.3 Kasus Trauma Yang Sering Muncul Pada Korban
Trauma yang berpanjangan dialami seseorang dapat 
mengakibatkan beberapa reaksi pada penderitanya, iatu: (1) 
PTSR (Post-Traumatic Stress Reaction) atau Reaksi Stres Pasca 
Peristiwa Traumatik), (2) PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)
Secara umum stres disebabkan oleh beberapa perkara. 
Untuk anak-anak dan remaja mengikut buku Seri Latihan 
Sokongan Psikososial tentang Manual Teknisi Intervensi Krisis 
yang di Keluarkan PMI menyatakan secara umum stress itu 
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) kematian orang 
yang disayangi, (2) luka fisik atau cacat, (3) berfikir akan terjadi 
(terulang kembali) suatu bencana atau krisis, (4) orang yang 
disayangi terluka atau cacat fisik, (5) kehilangan mainan / benda 
kasusukaan, (6) perkelahian orang tua, (7) kemiskinan, (8) 
ujian, (9) hukuman fisik dari guru, dan (10) jauh dari rumah.45
Selain itu juga mengenal pasti reaksi stress dan intervensi 
yang dapat dilakukan berdasarkan tingkat usia terhadapfisik, 
mental, emosional, dan perilaku seseorang. Pertama, reaksi 
pada fisik, adalah gangguan yang dialami dalam fungsi tubuh 
seperti: mati rasa (lumpuh, tidak dapat merasakan sensasi 
sakit), sukar tidur, gangguan pernafasan, jantung berdebar, 
kencing di tempat tidur. Kedua, Reaksi pada mental adalah 
gangguan yang terjadi lebih pada proses berfikir, di mana 
sering terjadi, mimpi berulang tentang kejadian traumatik yang 
dialami, selalu teringat akan kejadian tersebut, tidak mengingat 
aspek penting yang berkaitan dengan kejadian, kehilangan 
minat terhadap aktiviti seharian, tidak percaya diri, merasa 
tidak berdaya dan putus asa terhadap waktu hadapan. 
Ketiga, reaksi pada emosional, dalam aspek ini, reaksi 
yang terjadi adalah gangguan pada alam perasaan seperti: 
cemas, takut, gugup, marah dan merasa bersalah, merasakan 
kembali ketakutan setelah beberapa waktu berlalu, dengan 
teringat oleh hal-hal kecil sehingga mengalami stress negatif, 
kesepian bahkan ketika sedang bersama-sama orang lain, 
kehilangan emosi, terutama emosi positif seperti cinta dan 
bahagia. Keempat, Reaksi pada perilaku, yang terjadi adalah 
mengelakkan situasi yang dapat mengingatkan pada kejadian, 
dan dapat menghidupkan lagi peristiwa traumatik tersebut, 
dengan marah dan agresif, perubahan perilaku yang draktis 
dan kadang-kadang bertahan lama setelah kejadian. 
Sedangkan untuk reaksi umum pada waktu pasca trauma 
sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti: Jenis peristiwa 
traumatik yang dialami, usia seseorang pada saat mengalami 
peristiwa traumatik, kepribadian seseorang, darajat ancaman 
bahaya terhadap kehidupan seseorang mahupun orang lain 
disekelilingnya, yang berkaitan erat dengannya dukungan 
yang tersedia dan didapati oleh seseorang. Terkait dengan ini, 
ada dua tahapan usia yang paling rentan terjadi trauma, yaitu 
(1) usia kanak-kanak berisiko tinggi terhadap kemungkinan 
munculnya gejala trauma, (2) pada usia remaja, kerentanan 
yang ditimbulkan jauh lebih tinggi, berbanding dengan kanak￾kanak yang lebih muda. Karena pada waktu ini adalah waktu 
peralihan yang dialami dimana ketika anak mulai melepaskan 
diri dari orang tuanya dan mula ingin berdikari. 
Wiliams & Poijula menyatakan reaksi trauma yaitu: 
seseorang dapat merasa shok, merasa di teror atau merasa 
nyata atau tidak nyata; Merasa mati rasa, kaku seperti seolah￾olah tubuh merasa tertinggal; Tidak dapat mengingat dengan 
detail perisitiwa yang telah terjadi; Jika selamat dari peristiwa 
yang berpanjangan reaksinya akan berbeda: selalu merasa 
seolah-olah hidup dizona perang sepanjang hidupnya, selalu 
merasa diawasi, selalu siap diserang kapanpun, tidak mengenal 
diri sendiri. 46
Tedeschi, Park & Calhoun menyatakan bahwa faktor￾faktor yang membuat reaksi atau respons seseorang terhadap 
peristiwa trauma, yaitu: (1) umur (umur yang lebih muda 
bereaksi lebih signifikan berbanding yang tua), (2) jumlah waktu 
persiapan yang dia punya sebelum peristiwa terjadi seperti 
terjadi badai beberapa hari sudah ada peringatan sedangkan 
gempa bumi tidak, (3) jumlah kerusakan yang terjadi pada 
seseorang (secara fisik, emosional, dan spritual) atau barang￾barang, (4) jumlah kematian dan kerusakan yang menyebabkan 
anda bertanggung jawab ke atasnya atau tidak dapat mencegah 
peristiwa itu terjadi.47
2.1.3.2. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Penggunaan istilah PTSD ini dapat digolongkan dari 
gejala: (1) sifat yang terlalu berlebihan dan mudah terkejut, (2) 
penghindaran dan menarik diri, (3) pengalaman berulang, atau 
memori yang mengganggu menyangkut peristiwa trauma atau 
yang berhubungan dengan trauma, (4) jangka waktu paling 
sedikit satu bulan, dan (5) menyebabkan rasa bersalah yang 
signifikan. Harvey& Bryant menyatakan dalam bulan pertama 
setelah pengalaman traumatik, orang dapat memenuhi kriteria 
diagnostik gangguan tekanan trauma akut. walau puntekanan 
gangguan akut tidak sentiasa diikuti oleh PTSD, Ia dikaitkan 
dengan risiko peningkatan PTSD.48
National Institute of Mental Health (tt) menyatakan PTSD 
adalah gangguan kebimbangan setelah orang-orang melihat 
atau hidup dalam keadan yang membahaya.49 Lise (2007) 
menyatakan PTSD adalah gangguan tekanan setelah trauma 
yang membangun gejala dan ciri-ciri yang bertahan selama 
lebih dari 1 bulan, beserta kasus ukaran berfungsi setelah 
pendedahan kepada pengalaman yang mengancam nyawa.50
Atkinson et al. menyatakan PTSD disebabkan oleh trauma fisik 
atau trauma psikologi atau trauma karena keduanya, karena 
manusia mengalami peritiwa seperti perkosaan, perang atau 
serangan pengganas, atau bencana alam. Pada kanak-kanak 
kemungkinan mengalami trauma di karenakan menyaksikan 
penderaan fisik, emosi dan seksual atau menyaksikan 
peristiwa yang dianggap sebagai mengancam nyawa seperti 
serangan fisik, serangan seksual, kemalangan, kecanduan 
narkoba, penyakit, komplikasi perobatan, atau pekerjaan 
dalam pekerjaan yang dihadapkan kepada peperangan (seperti 
militer) atau bencana.51 Holland menyatakan bahawa seseorang 
dikatakan mengalami PTSD bila ia masih mengalami reaksi 
pasca peristiwa traumatis setelah lebih dari 6 minggu dengan 
intensitas dan jangka waktu yang lama, serta menyebabkan 
adanya gangguan dalam kehidupannya sehari-hari.52
Tinjauan terakhir dari beberapa pakar yaitu: Everly & 
Lating, 1995; Southwick, Brenner, Krystal, & Charney, 1994; 
Van der Kolk, 1996; Yehuda, 1998 mereka telah menetapkan 
bahwa fisiologi trauma dan PTSD adalah suatu respon tubuh 
yang terpisah yang berbeda dari bagian wilayah depresi berat 
dan fisiologis tubuh secara umum terhadap stresor respon 
kehidupan rutin. Adrenalin dilepaskan dari kelenjar adrenal 
dan menjadi epinefrin dalam tubuh. Neurotransmiter ini 
memobilisasi sistem respon darurat tubuh yang meliputi detak 
jantung diperkuat, respirasi lebih baik, pelepasan gula untuk 
energi lebih besar ke dalam darah. Ketika endorfin secara bebas 
beredar pada peristiwa noncritical, orang merasa tenang dan 
santai. Namun selama insiden kritis, muncul endorfin untuk 
bertindak sebagai analgesik sehingga perhatian orang tersebut 
tidak terganggu oleh rasa sakit dan menderita maka berupaya 
untuk tetap hidup. 
Kedua kimia otak terbaik norepinefrin dan endorfin
tampaknya terlibat dalam gejala yang mengganggu 
pengembangan, dan dapat mewakili untuk mengingat peristiwa 
traumatis dan menanggapi bagaimana mereka harus ditemui 
lagi. Akhirnya, kehadiran norepinefrin, atau neurotransmiter
lain di otak, seperti glutamat, berulang kali atau untuk periode 
waktu berpanjangan dapat mengakibatkan perubahan pada 
sistem saraf, terutama dalam sistem limbik (Everly & Lating).53
Dalam bahaya orang merasa takut itu adalah reaksi 
alamiah, namun keraguan akan terpecah dan membuat 
perubahan dalam tubuh mempertahankan atau mengelak respon 
terhadap bahaya adalah reaksi sehat yang bertujuan untuk 
melindungi seseorang daripada bahaya. Tetapi didalam PTSD 
respon ini diubah atau dirusak. Orang-orang yang menpunyai
PTSD mungkin merasa tertekan atau takut walaupun mereka 
tidak lagi dalam keadaan bahaya. Seperti contoh gangguan 
tekanan setelah trauma (PTSD) telah dilaporkan secara meluas 
pada kanak-kanak dan remaja yang dihadapkan kepada perang 
di Balkan (Ajdukovic, 1998; Goldstein, Wampler,& Bijaksana, 
1997; Smith, Perrin, Yule, Hacam, & Stuvland,2002).54
Pertanyaanya adalah siapakah yang mendapat PTSD?. 
NIMH (tt) menyatakan siapa saja yang mendapatkan PTSD 
pada sebarang usia. Ini termasuk veteran perang selamat 
dari serangan fisik dan seksual, penderaan, kemalangan, 
bencana, dan banyak lain-lain peristiwa yang serius. Tidak 
semua orang dengan PTSD telah melalui peristiwa berbahaya. 
Setengah orang mendapatkan PTSD setelah rakan atau ahli 
keluarga mengalami pengalaman berbahaya atau menganiaya 
atau kematian orang yang tersayang secara tiba-tiba tidak 
disangka, ini dapat menyebabkan PTSD.55 Sementara itu, Lise 
menyatakan orang-orang yang beresiko terkena PTSD adalah: 
(1) Orang yang mempunyai pengalaman tempur tentera atau 
orang awam yang telah dirusak karena perang; (2) Orang yang 
telah diperkosa, didera secara seksual, atau didera secara fisik; 
(3) Orang yang telah terlibat dalam atau yang telah menyaksikan 
peristiwa yang mengancam nyawa; (4) Orang-orang yang telah 
terlibat dalam bencana alam, seperti puting beliung atau gempa 
bumi.56
Kriteria diagnosis PTSD mengikut DSM-IV (Diagnostic 
and Statistical Manual edisi-IV), (dalam Holland, 2001) ada 
tiga kriteria yaitu: Exposure (pendedahan), Re-experiencing
(mengalami kembali), Persistent Avoidance (menghindar). 
Pertama, Exposure (pendedahan) adalah mengalami sendiri 
peristiwa traumatik, menyaksikan orang lain terluka parah 
atau kematian, mengalami kehidupan yang terancam bahaya, 
mengalami ketakutan terus-menerus sehingga mengalami 
ketidakupayaan. Kedua, Re-experiencing (mengalami 
kembali) adalah flashback, mimpi buruk, hal-hal kecil dengan 
mencetuskan ingatan akan peristiwa traumatik yang dialami. 
Ketiga, Persistent Avoidance (menghindar), adalah upaya 
menghindar yang dilakukan oleh korban.57 Jarnawi menyatakan 
PTSD adalah suatu gangguan emosional yang tidak wajar, yang 
berbeda dengan gangguan lain seperti depresi dan gangguan 
panic. PTSD tidak mudah untuk disimpulkan, apabila hanya 
dari gejala-gejala yang ditimbulkan.58 NIMH (tt) merumuskan 
tiga symptom orang yang mengalami PTSD yaitu: 
Pertama, Re-experiencing symptoms yaitu: Imbasan 
kasusan trauma berlebihan, termasuk gejala fisik seperti pompa 
jantung atau berpeluh, mimpi buruk, pikiran menakutkan. Atau 
mengalami kembali gejala-gejala yang dapat menyebabkan 
masalah dalam rutinitas seseorang. Mereka dapat bermula dari 
pemikiran sendiri dan perasaan orang. Perkataan, objek, atau 
situasi yang mengingat kan kembali juga dapat mencetuskan 
kembali PTSD; 
Kedua, Avoidance symptoms yaitu: Tinggal jauh dari 
tempat, peristiwa, atau objek yang dapat mengingatkan 
kembali pengalaman tersebut, perasaan kebas, merasa bersalah 
yang kuat, kemurungan, atau bimbang, kehilangan minat 
dalam aktiviti-aktiviti yang menyenangkan pada waktu lalu, 
menghadapi masalah yang mengingati peristiwa berbahaya. 
Atau dapat dikatakan menghindar dari perkara dan gejala yang
dapat mencetuskan, mengingatkan seseorang pada peristiwa 
traumatik. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan seseorang 
untuk menukar rutinitas peribadi beliau. Sebagai contoh, 
setelah kecelakaan kereta yang parah, seseorang yang biasanya 
supir dapat menghindar menyupir;
Ketiga, Hyperarousal symptoms yaitu: Sebagian mudah 
terperanjat, merasa tegang atau ”di pinggirkan, mempunyai 
kasusukaran tidur, dan /atau mempunyai ledakan marah. Atau 
dapat dikatakan gejala hyperarousal biasanya berketerusan, 
dan bukannya dicetuskan oleh perkara-perkara yang 
mengingatkannya pada salah satu peristiwa traumatik.
Mereka dapat membuat seseorang merasa tertekan 
dan marah. Gejala-gejala ini dapat membuat ia sukar untuk 
melakukan tugas-tugas sehari-hari, seperti tidur, makan, 
atau tumpuan. Ia adalah alamiah untuk mempunyai beberapa 
gejala-gejala ini setelah peristiwa berbahaya. Kadang-kadang 
orang mempunyai gejala yang sangat serius yang hilang setelah 
beberapa minggu. Ini dinamakan gangguan tekanan akut, atau 
ASD. Apabila gejala lalu lebih daripada beberapa minggu dan 
menjadi satu waktulah yang berterusan, mereka mungkin 
PTSD. Setengah orang dengan PTSD tidak menunjukkan 
sebarang tanda-tanda untuk beberapa minggu atau bulan.
Brewin et al, menyatakan faktor-faktor yang berisiko 
untuk mengalami PTSD adalah hidup dalam peristiwa trauma 
dan bahaya, mempunyai sejarah sakit mental, mendapat 
cedera, melihat orang cedera atau terbunuh, perasaan seram, 
tidak berdaya, atau ketakutan melampau, tidak mendapat 
sokongan sosial setelah peristiwa tersebut, berurusan dengan 
tekanan tambahan setelah peristiwa itu, seperti kasusakitan 
kehilangan yang dikasihi, dan kecederaan, atau kehilangan 
kerja atau rumah.59 Charney menyatakan faktor yang dapat 
mengurangkan resiko PTSD adalah: mencari dukungan 
dari orang lain, seperti rekan-rekan dan keluarga, mencari 
dukungan group setelah peristiwa traumatik, perasaan yang 
baik mengenai tindakan sendiri dalam menghadapi bahaya, 
mempunyai strategi menghadapi, atau cara mendapatkan 
melalui acara yang buruk dan belajar daripada ia, sebagian 
mampu untuk bertindak dan merespon setiap kasus walaupun 
perasaan takut.60
2.1.4 Dampak Konflik Pada Psikologis
Akibat konflik bersenjata yang berpanjangan terjadi 
dalam suatu kelompok sosial atau sebuah Negara, akan 
mengakibatkan ramai masyarakat mengalami trauma 
psikologis, terutama anak dan remaja yang mengalami 
langsung peristiwa traumatik. Salah seorang psikolog yang 
sering menangani korban di Aceh, yaitu Nurjanah Nitura 
menyatakan dalam suatu komprensi kasus bahawa, symptom 
PTSD yang sering dialami korban pasca konflik bersenjata di 
Aceh antara lain, dari segi emosional akan timbul perasaan 
marah, benci, stres karana kedukaan yang dalam, kekecewaan 
dan kegelisahan, ketakutan yang berlebihan, dan sebagainya. 
2.1.4.1. Perasaan Marah
Aristoteles dalam Goleman menyatakan bahawa semua 
orang dapat marah. Itu mudah sekali. Tapi marah pada orang 
yang tepat, dengan tingkat kemarahan yang tepat, pada waktu 
yang tepat, untuk alasan yang tepat dan dengan cara yang 
benar, itu baru sulit.61 Marah dapat diartikan sebagai emosi 
yang bersifat negatif yang biasanya dapat menyebabkan 
pencerobohan, menyakiti dan bahkan dapat merosakkan. 
Caplin menyatakan bahawa, marah, murka, berang, gusar, 
kemarahan, keberangan, kegusaran (anger) diartikan sebagai 
reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh berbagai situasi 
merangsang, termasuk ancaman, pencerobohan lahiriah, 
pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustasi 
yang dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem saraf otonomik, 
terutamanya oleh reaksi kekecewaan pada bahagian simpatetik, 
dan secara implisit di sebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, 
baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal 
atau non verbal.62
‘Utman Najati menyatakan bahwa, marah itu merupakan 
emosi yang sifatnya fitrah dan akan muncul ketika salah satu 
motivasi asas seseorang tidak dipenuhi.Jika ada sesuatu yang 
menghalang manusia atau binatang untuk mendapatkan tujuan 
tertentu yang ingin diraih demi mencapai kebutuhannya, 
maka dia akan marah, berontak dan melawan penghalang 
tersebut. Dan juga rela berkorban untuk mengalahkan dan 
menyingkirkan penghalang yang ada di hadapannya, sehingga 
dia berhasil memperolehi kebutuhannya. Kadar rasa marah 
yang di timbulkan sangat bergantung kepada seberapa penting 
kebutuhan tersebut harus dipenuhi.
Pengaruh Marah Terhadap Perilaku
Berbagai reaksi fisik akan timbul ketika seseorang 
sedang marah, dan akan membuat banyak perubahan pada 
organ fisiknya, ada yang bersifat dalaman seperti jantung 
berdebar-debar, perut mengerut, aliran darah mendesak ke 
dada sampai akhirnya membuat wajah menjadi merah padam. 
Sedangkan yang bersifat luaran seperti perubahan roman 
muka, perubahan suara, dan tegangnya otot pada bahagian 
tubuh. Organ tubuh itu akan dipenuhi darah akibat jantung 
mengepam darah kebahagian atas badan, khususnya bahagian 
kepala, seperti telinga dan wajah memerah, ketika seseorang 
marah, dan suhu tubuhnya menjadi panas. Untuk meredakan 
panas yang paling cepat adalah dengan air, makanya Nabi 
menyuruh ummatnya apabila sedang marah, sebaiknya dia 
berwudhuk, karena dengan airlah baru bisa memadamkan bara 
api. 
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Ingatlah, 
sesungguhnya marah itu adalah bara api yang terdapat dalam hati 
anak keturunan Adam, Tidakkah kalian melihat warna merah 
kedua matanya dan urat-urat lehernya yang mengembang ketika 
seseorang sedang marah” Hadis Riwayat At-Turmudzi dalam 
‘Utsman Najati.
2.1.4.3 Pengaruh Marah Terhadap Otak
Ketika seseorang marah dan emosi, otak tidak akan 
berfungsi secara baik, oleh karena itu seringkali seseorang akan 
menyesali keputusan dan kenyataan apapun yang dikemukakan 
ketika ia dalam keadaan marah, berdasarkan pertimbangan ini, 
Rasulullah sentiasa menasihati sahabat beliau, untuk tidak 
memutuskan sesuatu hukuman apapun bila dalam keadaan 
marah. Selain itu Rasulullah juga bersabda, yang bermaksud 
“tidak (dianggap sah) talaq dan memerdekakan hamba (yang 
di ucapkan) ketika keadaan sangat marah” Hadis riwayat dari 
‘Aisyah RA.
Karena sesungguhnya luapan emosi berlebihan 
merupakan keadaan yang dapat menyebabkan otak tidak 
dapat bekerja secara baik, dan juga tidak akan dapat berfikir 
rasional, sehingga keputusan yang diberikan pada keadaan 
emosi tidak stabil, sering sekali tidak tepat sasaran, merugikan 
diri sendiri dan juga orang lain. Kasus marah juga akan 
mempengaruhi emosi lain seperti timbul rasa benci. Rasa 
benci merupakan lawan dari rasa cinta. Terkait dengan ini 
manusia akan mencintai sesuatu bila itu bermanfaat baginya, 
dan akan membenci bila sesuatu itu tidak menyenangkan 
dan tidak menguntungkan dirinya. Yang perlu diingat adalah 
segala sesuatu yang dapat membangkitkan rasa marah, juga 
dapat membangkitkan rasa benci, karena rasa marah dan rasa 
benci itu sama-sama ditimbulkan oleh suatu keinginan yang 
terhalang, yang membuat orang akan melakukan apa saja 
untuk menghilangkan penghalang tersebut.
Diane Tice dalam Daniel Golemanmenyatakan tentang 
strategi yang sering dikemukakan orang untuk meredakan 
amarah yang efektif adalah pergi menyendiri sembari 
mendinginkan amarah tersebut, dan juga dapat dilakukan 
dengan berolah raga. Untuk kaum lelaki sering pergi dengan 
mengendarai mobil, akan tetapi sebenarnya yang lebih aman 
adalah berjalan kaki, karena dapat membakar kalori sehingga 
emosi marah dapat teralihkan. Selain itu juga dapat dilakukan 
dengan relaksasi, dengan bersemedi dan menarik nafas dalam￾dalam dan mengeluarkannya secara berulang dan teratur, juga 
mengendorkan otot-otot yang tegang.63 Amarah yang meluap￾luap akan membahayakan fisik karena dapat meninggikan 
tekanan darah, mempercepat pacu jantung, dan bila kondisi 
pembuluh darah tidak lancer atau tersumbat bahkan akan 
berakibat pecahnya pembuluh darah dan berakibat kematian.
Oleh karena itu, hindari amarah dan rasa benci di dalam diri.
Di bawah ini dapat dilihat perbedaan rasa marah dengan rasa 
benci 
berwudhuk, (2) beristirahat, (3) melakukan katarsis, (4) 
membuat perubahan perasaan dari waktu kewaktu.
Pertama berwudhuk, ini merupakan cara yang paling 
mudah dan tidak memerlukan dana untuk mengendalikan 
amarah yang timbul pada diri seseorang. Karena dengan 
berwudhuk muka dan telinga yang merah, dan suhu badan yang 
panas akibat jantung mengepam darah kebagian kepala ketika 
marah, akan menjadi dingin dengan sentuhan air, apalagi dengan 
mengucapkan ayat-ayat Allah SWT, hati menjadi tersentuh. 
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud “Sesungguguhnya 
rasa marah itu termasuk (godaan) syaitan. Dan sesungguhnya 
Syaithan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu hanya 
dapat dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah 
seorang dari kamu marah, maka hendaklah dia berwudhuk” 
(Hadis Riwayat Abu Daud,) 
Kedua, berisitirahat. Pengendalian marah dengan cara 
ini menurut ‘Uthman Najati sangat mudah dilakukan, karena 
ketika orang sedang marah, biasanya menyakiti orang lain, baik 
dengan tangan maupun dengan lisan, jadi media yang paling 
ampuh untuk meredakannya adalah dengan mengistirahatkan 
badan dengan cara beristirahat. Karena jika keadaan fisik sudah 
kembali segar, maka amarahpun akan sirna. Menurut-Nya, Nabi 
pernah memberi isyarat kepada sahabat beliau untuk duduk 
bila marah sedang berdiri, dan kalau juga belum sirna, maka 
berbaringlah. Karena ketika duduk dan berbaring bisanya otot 
akan menjadi kendor dan dapat mengurangkan ketegangan 
yang diakibatkan oleh rasa marah. 
Ketiga, katarsis adalah satu cara meredakan amarah 
dengan cara melampiaskan kemarahan ke objek lain yang tidak 
merugikan diri sendiri atau orang lain. Contoh nya adalah: (1) 
meletuskan kantong plastik keras-keras, (2) memukul-mukul 
bantal, (3) membanting-banting bola basket, (4) menulis surat 
untuk melampiaskan marah, tapi kemudian dibakar dan (5) 
melepaskan tenaga marah ke sasaran lain, dan menghindarkan 
kekerasan. Not : Akan tetapi disini harus hati-hati, karena pada 
keadaan marah rasional tidak jalan, maka sering merugikan 
diri sendiri dan juga orang lain, karena katarsis yang dilakukan 
sering kepada barang-barang yang berdekatan. Artinya bila 
sedang berada di dapur, maka bisa saja barang pecah belah yang 
di banting dan sebagainya.
Keempat, perubahan perasaan dari waktu ke waktudapat 
dilakukan adalah; (1) sadari bahawa perasaan dapat berubah 
dari waktu ke waktu, (2) janganlah menetap pada satu perasaan 
tertentu terus-menerus, karena akan terjebak dalam perasaan 
itu, (3) ubah perasaan dari marah ke senang, dari sedih ke 
gembira, dan (4) sadarilah bahwa perasaan negatif (marah 
/ sedih) tidak akan hilang kalau difikirkan, tetapi perasaan 
negatif dapat hilang bila diubah ke perasaan positif (senang / 
gembira). Keempat cara-cara tersebut dapat dilakukan bila ada 
keinginan yang besar untuk mengubah sesuatu dengan tujuan 
positif, sehingga tidak larut dalam satu bentuk perasaan yang 
menekan perasaan.
2.1.4.4. Kebencian 
Kebencian juga dapat diartikan bermacam-macam 
antara lain: (1) kebencian merupakan salah satu rasa penolakan 
atau ketidaksukaan, (2) kebencian bersifat menjauhkan, 
menghindar, atau memusuhi, (3) kebencian merupakan emosi 
yang bertolak-belakang dengan kasih sayang, (4 ) kebencian 
dapat muncul mengikuti rasa marah. Freud menyatakan dalam 
penggunaan kata “benci”sama sekali tidak ada hubungan dengan 
kasusenangan dan frustasi seksual seperti yang ada dalam kata 
“cinta” sebaliknya yang ada hanya karakter menyedihkan.64
Kebencian ini juga salah satu kasus yang ditinggalkan pasca 
konflik, karena pada waktu konflik banyak keluarga kehilangan 
orang-orang yang disayangi, dan sering korban yang mengalami 
konflik bersenjata atau yang menyakitkan akan menolak atau 
membenci hal yang berkaitan dengan kejadian tersebut. Karena 
akan meningatkan mereka akan kejadian yang menyakitkan.
2.1.4.5. Kekerasan
Kekerasan dapat dikatakan adalah: (1) tindakan 
menyerang orang lain atau sesuatu, (2) kekerasan dipicu 
oleh kemarahan dan kebencian, (3) reaksi kekerasan sama 
dengan reaksi ketakutan, hanya arahnya yang berbeda. Reaksi 
kekerasan bersifat menyerang dan melawan, sementara reaksi 
ketakutan bersifat lari dan menghindar, (4) tujuan kekerasan 
adalah kemusnahan, peniadaan, dan rasa sakit yang mungkin 
sepadan dengan sakit hati yang kita alami. Martin Luther King, 
Jr dalam Goleman menyatakan bahawa: “The ultimate weakness 
of violence is that it is a descending spiral, begetting the very thing it 
seeks to destroy . Instead of diminishing evil, it multiplies it. Through 
violence you may murder the liar, but you can not murder the lie, not 
establish the truth. Through murder you murder the hater, but you 
do not murder hate. In fact, violence merely increases hate... Hate 
can not drive out hate; only love can do that”.
Kelemahan utama kekerasan adalah ia seperti angin 
pusar yang menghancurkan apapun yang dia lewati. Ia tidak 
menghapuskan kejahatan, tapi menggandakannya. Dengan 

kekerasan kamu dapat membunuh pembohong, tapi kamu 
tidak dapat membunuh kebohongan. Dengan pembunuhan 
kamu membunuh pembenci, tapi kamu tidak membunuh 
kebencian. Kenyataannya, kekerasan hanya meningkatkan 
kebencian. Kebencian tidak dapat menghapuskan kebencian; 
hanya cinta yang dapat melakukannya.
2.1.4.6. Depresi
Tim Penanggulangan Kesihatan Jiwa Akibat Bencana di 
Aceh, menyatakan kemurungan (depresi) merupakan gangguan 
kesehatan mental yang ditandai dengan menghilangnya 
perasaan (affect) positif, turunnya mood, dan beberapa sikap lain 
seperti: hilangnya minat dan kesenangan terhadap hal sehari￾hari, yang biasanya turunnya mood menetap, tidak dipengaruhi 
keadaan, tetapi dapat juga kembali normal lalu turun kembali. 
Orang depresi dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkan pada 
fisik, perilaku.65 Chaplin menyatakan depresi adalah keadaan 
kemurungan (kasusedihan, Kepatahan semangat) yang 
ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, 
dan pesimisme menghadapi waktu hadapan, atau pada kasus 
patologis, merupakan ketidakmauan ekstrem untuk mereaksi 
terhadap peransang disertai menurunnya nilai-nilai diri, 
delusi, ketidakpasan tidak mampu dan putus asa.
Pertama, ada tujuh gejala fisik antara lain: (1) sakit 
kepala, (2) nyeri punggung, (3) gangguan tidur, (4) sering 
terbangun awal hari, (5) gangguan makan, (6) letih yang 
berlebihan, dan (7) gairah seksual menurun. Kedua, pada
prilaku ada sembilan gejala yang dapat dilihat yaitu: (1) 
mengelakkan pergaulan dengan orang lain, (2) tidak mahu 
bicara, (3) sering lupa, (4) putus asa, (5) bosan, (6) merasa tidak 
berharga, (7) merasa gagal menyelamatkan diri sendiri dan 
keluarga, (8) tidak mempedulikan lingkungan sekitar, dan (9) 
ada fikiran atau usaha untuk membunuh diri. Pada umumnya 
kemurungan dianggap sebagai penyakit yang akan sembuh 
sendiri setelah mencapai waktu sekitar 6 bulan. Namun 
melalui penelitian ternyata dijumpai kenyataan pada orang 
yang menderita depresi (kemurungan), setelah 2 tahun: 20% 
mati, 40% masih depresi, dapat disebut kronik bila mencapai 
2 tahun. Angka kejadian depresi dipengaruhi: (1) gender, (2) 
umur, (3) status perkahwinan, (4) Suku, (5) sosio ekonomi.
Cristian et al. dalam Fany menyatakan bahawa pada 
usia reproduksi, wanita lebih banyak mengalami kemelesetan, 
sedangkan setelah usia 55 yang terjadi sebaliknya, pasangan 
yang kawin tanpa anak, merupakan angka kejadian yang 
paling kecil. Wanita cenderung lebih mudah terkena jenis yang 
atipikal (tidak biasa) yang mempengaruhi hormon reproduksi 
yang mengakibatkan respon yang berbeda terhadap perawatan. 
hubungan dengan orang lain juga berpengaruh, kasusulitan 
membina keintiman dan kesulitan mengatasi konflik juga 
memdapatkan terjadi depresi.66
Lebowitz et al. menyatakan bahwa: belum ada ujian 
fisik yang mencukupi untuk mendiagnosis depresi, karena 
pengetahuan kita tentang penyebabnya juga masih rendah. Jadi 
penilaian tahap keparahannya hanya berdasarkan banyaknya / 
parahnya gejala. Depresi ini dapat menjadi pencetus membunuh 
diri, tetapi tahap kecenderungannya berbeda setiap orang. 
Menurut fakta, depresi adalah punca terbesar membunuh diri 
pada orang dewasa yang lebih tua. Depresi dapat digolongkan 
berdasarkan jumlah dan tahap keparahan dari tanda yang 
dimiliki, seperti: ringan, sedang, berat, dan atipikal / bertahan 
terhadap perawatan.67 Secara garis besar perobatan depresi 
dapat dibahagi 2, yaitu, Psikologikal, melalui terapi dan 
farmakological melalui obat-obatan seperti obat anti depresan.
2.1.4.7. Kecemasan (Anxiety)
Kecemasan adalah perasaan ketakutan dan gugup. 
Dalam situasi tertentu hal ini biasa, namun menjadi suatu 
penyakit apabila berlangsung lama (lebih dari 2 minggu), 
mengganggu kehidupan pesakit, atau menyebabkan gejala 
yang serius. Gejala yang ditunjukkan pada fisik: (1) merasakan 
jantungnya berdebar-debar, (2) merasa tercekik, (3) pusing, (4) 
gemetar, (5) sakit kepala, (6) merasa ditusuk-tusuk jarum di 
kaki dan wajah. Pada perasaan: (1) merasa sesuatu yang sangat 
buruk akan terjadi pada dirinya, (2) merasa takut. Pada pikiran: 
(1) cemas berlebihan tentang waktu atau kematian dirinya, (2) 
fikiran akan mati, hilang kontrol atau fikiran akan menjadi gila, 
(3) memikirkan berulang-ulang fikiran yang membuat distress, 
walau coba menghentikannya. 
Pada Perilaku: (1) mengelakkan situasi di mana ia 
takut, seperti pasar. Sebab-sebab seseorang cemas adalah: 
(1) waktu dalam hubungan, (2) kehilangan orang yang dekat, 
(3) kehilangan pekerjaan, (4) menderita suatu penyakit, (5) 
kesukaran dalam pekerjaannya, (6) kasulitan keuwangan, (7) 
ahli keluarga sakit. Cemas juga dapat menimbulkan kepanikan.National Collaborating Centre for Primary Care 
menyatakan kecemasan adalah perasaan ketakutan dan gugup. 
Dalam situasi tertentu hal ini normal, namun menjadi suatu 
penyakit apabila berlangsung lama (lebih dari 2 minggu), 
mengganggu kehidupan penderita, atau menyebabkan 
gejala yang serius.Sedangkan serangan panik adalah ketika 
kecemasan muncul secara tiba-tiba dalam keadaan yang parah, 
biasanya berlangsung beberapa menit. Biasanya berkaitan 
dengan serangkaian gejala fisik yang parah (jantung berdebar 
cepat, kasulitan bernafas), hingga membuat penderitanya 
merasa akan terjadi sesuatu yang sangat buruk, dan merasa 
akan mati (takut setengah mati). Serangan panik dapat merasal 
dari kecemasan yang teramat sangat, atau juga takut yang 
berlebihan.68
Gejala kecemasan dapat dilihat dari fisik: Merasakan 
jantungnya berdebar - debar, merasa tercekik, mual, gemetar, 
sakit kepala, merasa ditusuk-tusuk jarum di kaki dan wajah; 
Pada perasaan: merasa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi 
pada dirinya, merasa takut; Pada pikiran cemas berlebihan 
tentang waktu atau kematian dirinya, pikiran akan mati, 
hilang kontrol atau pikiran akan menjadi gila, memikirkan 
berulang-ulang pikiran yang membuat distress, walau mencoba 
menghentikannya; Pada Perilaku, menghindari situasi dimana 
ia takut, seperti pasar, gangguan tidur yang parah (National 
Collaborating Centre for Primary Care ,2004 ).
Freud menyatakan reaksi kecemasan (anxiety–reaction) 
bila menimbulkan salah satu dari dua keadaan berikut: 
yaitu perkembangan kecemasan yang merupakan ulangan
dari pengalaman traumatis yang dialami pada waktu lalu, 
terbatas pada sinyal yang kaseluruhan reaksinya dapat 
beradaptasi dengan situasi bahaya yang baru entah dengan 
melarikan diri, melawan atau munculnya pengalaman waktu 
lalu kepermukaan, sehingga kaseluruhan reaksi kelelahan 
dalam perkembangan kecemasan yang kondisi efektif nya 
dilumpuhkan dan tidak dapat disesuaikan dengan situasi saat 
itu. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan panik. Serangan 
panik adalah ketika kecemasan muncul secara tiba-tiba dalam 
keadaan yang parah, biasanya berlangsung beberapa menit. 
Pada gejala fisikal jantung berdebar cepat, kasulitan bernafas, 
sehingga membuat penderitanya merasa akan terjadi sesuatu 
yang sangat buruk, dan merasa akan mati. Serangan panik 
dapat merasal dari kecemasan yang teramat sangat, atau juga 
takut yang berlebihan, gangguan tidur yang parah.
Berkaitan dengan pembahasan tentang kecemasan, 
obsesi merupakan salah satu penyebab timbulnya kecemasan. 
Obsesi adalah suatu fikiran yang datang berulang. Misalnya 
berfikir bahawa tangannya kotor, terutama setiap kali 
menyentuh sesuatu. Seringkali terdapat hubungan antara 
obsesi dengan kompulsi (mengerjakan sesuatu berulang kali). 
Misalnya saja berfikir bahawa ia belum mengunci pintu, maka 
ia akan berulang kali memeriksa pintu. Ada istilah kecemasan 
itu menular, hal ini maksudnya adalah ketika seseorang merasa 
cemas, atau bahkan panik, ia seringkali mengungkapkan 
kecemasannya itu kepada orang-orang sekitar. Ungkapan 
kecemasannya itu dapat mempengaruhi fikiran orang-orang 
sekitarnya, sehingga apabila mereka tidak berusaha tetap 
tenang dan berfikir rasional, mereka dapat ikut panik. Untuk 
mengatasi kecemasan yang datang, perlu diadakan suatu 
usaha menenangkan diri seperti relaksasi. Apabila memang
tidak berhasil dan kecemasan itu datang lagi, mencari bantuan 
yang ahli adalah jalan keluarnya. Relaksasi adalah cara yang 
sangat berguna untuk mengurangkan kasusan tekanan mental. 
Kebanyakan kaedah relaksasi menggunakan beberapa bentuk 
latihan pernafasan. Berikut ini akan dibahas mengenai salah 
satu teknik latihan pernafasan. Latihan ini dapat dilakukan 
kapan saja, sebaiknya dilakukan di kamar yang sepi dan 
ditempat yang tidak akan terganggu, dan dilakukan setiap hari 
selama 10 menit. 
Langkahnya: (1) berbaring atau duduk dengan 
posisi yang nyaman, (2) tutup mata, (3) setelah 10 saat, 
konsentrasikan fikiran pada irama nafasnya, (4) konsentrasi 
untuk bernafas dengan perlahan dan teratur melalui hidung, 
(5) seberapa pelan dapat diatur dengan menarik nafas dalam 
3 hitungan, menghembuskannya lagi dalam 3 hitungan, dan 
diam sambil menghitung 3 hitungan sebelum menarik nafas 
lagi, (6) saat menghembuskan nafas dapat dibarengi dengan 
mengatakan dalam fikiran kata-kata menenangkan, seperti 
‘santai’ atau istilah keagamaan, (7) manfaatnya akan dirasakan 
dalam waktu 2 minggu. Dan dengan latihan yang cukup, ia akan 
dapat melakukannya dalam situasi yang berbeda-beda.
2.1.5 Penanganan Trauma
Raymon Corsini menyatakan bahwa manusia menjadi 
sakit secara psikologis karena pengalaman-pengalaman awal 
yang membuat prustasi, yang kemudian mengkristal dalam 
suasana batin tertentu. Sekali suasana bathin terbentuk, 
maka sulitlah pengalaman-pengalaman itu untuk dihilangkan. 
Selanjutnya pengalaman-pengalaman tersebut membentuk 
individu semakin lama semakin tidak dapat diakses oleh 
pengalaman-pengalaman kita, yang bergantung pada tingkat 
kedalaman internalisasi. 69Karena sakit dan perasaan sakit 
inilah harus ada rawatan yang terencana dan konprehensif, 
sehingga manusia terbebas dari rasa sakit tersebut.
Rothbaum et al. menyatakan rawatan untuk 
pendedahan yang berpanjangan (Prolonged exposure) melalui 
terapi kognitif adalah lebih berkasusan daripada dipilih 
perencat reuptake serotonin atau dari pada tidak ada 
perawatan dalam mencegah post-traumaticstress disorder. Selain 
itu ia juga menyatakan bahwa perawatan dan pencegahan PTSD 
dapat melibatkan penolong ketakutan, menghindari penyatuan 
antara rangsangan traumatik dan respon ketakutan, atau 
menggantikan persatuan itu dengan yang lain. Oleh karena itu, 
peneliti menduga bahwa meluahkan perasaan berkepanjangan 
pada rangsangan tidak lama setelah peristiwa trauma akan 
menghalangi PTSD.70
Baranowsky & Lauer menyatakan 3 langkah untuk 
trauma healing bagi siapa saja yang telah mengalami satu 
peristiwa hebat yang telah menggangu kehidupan, yang ditulis 
dengan menggunakan bahasa, Ia merupakan panduan untuk 
membantu orang yang tidak hidup sepenuhnya, karena mereka 
dihantui oleh pengalaman atau peristiwa traumatik. Rencana 
yang dapat memupuk pengawasan lebih awal atas aktivitas 
semula orang. Yang lebih penting lagi, ia membantu mereka 
menjadi hadir kembali dalam dunia mereka, dan hidup dengan 
keyakinan dan rasa kesejahteraan. Sebagai ahli terapi, bekerja 
dengan orang setiap hari yang telah hidup dengan melalui 
berbagai pengalaman traumatik; Saya akan menpromosikan 
betul buku ini. Sebab yang mudah dalam kasus tersebut adalah 
membuat perbedaan yang besar untuk jiwa yang mungkin tidak 
akan mau untuk melakukan konseling profesional. Karena 
asasnya dapat membantu orang meletakkan kehidupan mereka 
kembali bersama-sama sekali lagi.71
Untuk pengawalan korban trauma akibat peperangan 
dan kekerasan yang dikatakan oleh Stradling ada beberapa 
yang dapat dilakukan yaitu: Pertama, tingkatkan sensitivitas, 
kenali gejala trauma pada orang-orang disekeliling, lakukan 
pendekatan dengan lembut dan penuh kasih sayang, empati, 
bertindak hati-hati, tawarkan bantuan rujukan kepada 
professional. Kedua, respon professional (psikolog, psikiater, 
dan kaunselor) untuk membantu survivor trauma terkait: (1) 
Incident Stress Debriefing (CISD), (2) menceritakan kembali 
peristiwa traumatik yang dialami secara berstruktur dalam 
waktu 24-72 jam pasca terjadinya peristiwa traumatik, (hal 
ini, masih diperdebatkan apakah baik untuk digunakan / 
tidak), (3) kaunseling stress pasca trauma, (4) normalisasi 
reaksi, (5) membantu proses coping. Sementara itu Kaplan 
et al. menyatakan ada dua macam terapi pengobatan yang 
dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan 
farmakoterapi dan psikoterapi.72
Pertama, pengobatan farmakoterapi dapat berupa 
terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang 
sudah dikenal. Terapi anti depresive pada gangguan stres pasca 
traumatik ini masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan 
adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – 
seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut 
biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak 
lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan 
kekecualian, yaitu benzodiazepin contoh, estazolam 0,5-1 mg per 
os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg 
per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os, atau Lorazepam 1-2 mg 
per os atau IM– juga dapat diguna-kan dalam UGD atau kamar 
praktek terhadap ansie tas yang gawat dan agitasi yang timbul 
bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut.
Kedua, pengobatan psikoterapi. Para terapis percaya 
bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan 
efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, 
cognitive therapy, exposure therapy. Pada anxiety management,
terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk 
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 
(1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan 
kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok 
otot -otot utama; (2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas 
dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari 
bernafas dengan tergesa - gesa yang menimbulkan perasaan 
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti 
jantung berdebar dan sakit kepala; (3) positive thinking dan self￾talk, yaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan 
mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal –hal 
yang membuat stress (stresor); (4) asser-tiveness training, yaitu 
belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi 
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain; (5) thought 
stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika 
kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress 
Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk 
merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu 
emosi dan mengganggu aktifitas. Misalnya seorang korban 
kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati 
-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran￾pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa 
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut 
yang kemudian mengadopsi pikiran yang le bih realistik untuk 
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 
2005b).
Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis 
membantu meng-hadapi situasi yang khusus, orang lain, 
obyek, memori atau emosi yang meng -ingatkan pada trauma 
dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam ke 
-hidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the 
imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang 
cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan 
menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu 
menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari 
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: 
kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). 
Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi 
tersebut dibanding berusaha lupakannya. Pengulangan situasi 
disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari 
situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan 
dapat diatasi (Anonim, 2005b).
therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan 
PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan 
PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang 
tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu 
anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman 
traumatiknya (Anonim, 2005b).74 Terapi debriefing juga dapat 
digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak 
kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum 
dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane 
didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk 
melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose 
et al, 2002). Selain itu, didapatkan pula support group therapy
dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta 
merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman 
serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa 
bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan 
tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian mereka 
saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). 
Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan 
bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan 
bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu 
memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa 
memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. 
Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa 
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang 
untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan 
kecemasan (Anonim, 2005b).75
Pendidikan dan supportive konseling juga 
merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor 
ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan 
keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam 
treatment (terapi dan pengobatan) yang cocok untuk 
PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam 
waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat 
ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya 
sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk 
mengatasinya (Anonim, 2005b). Di lain pihak, sampai saat ini 
masih didapatkan pula beberapa tipe psikoterapi yang lain. 
Misalnya, eye movement desensitization reprocessing (EMDR), 
hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang seringkali 
digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu 
bagi sebagian penderita (Anonim, 2005b).76
Lise (2007) menyatakan penanganan PTSD dapat 
melalui kognitif terapi atau terapi tingkah laku dengan 
psikiatri terlatih, psikologi, atau lain-lain profesional dapat 
membantu perubahan emosi, pemikiran, dan tingkah 
laku yang dikaitkan dengan PTSD dan dapat membantu 
menguruskan panik, kemarahan, dan kebimbangan. Begitu 
juga dengan obat-obatan tertentu dapat mengurangi gejala 
seperti keresahan, impulsivity, kemurungan, dan insomnia 
dan penurunan mendesak untuk menggunakan alkohol dan 
obat-obatan lain. Kumpulan terapi dapat membantu pesakit 
belajar untuk berkomunikasi perasaan mereka tentang trauma 
dan mewujudkan satu rangkaian dukungan. Menjadi difahami 
mengenai PTSD dan sharing informasi dengan keluarga dan 
kawan-kawan dapat mewujudkan kesefahaman dan dukungan 
sewaktu pemulihan.77
NIMH (tt) menyatakan perawatan utama bagi orang-
orang hidup dengan PTSD adalah melalui psikoterapi 
(“berbicara” terapi), obat-obatan, atau kedua-duanya. Semua 
orang adalah berbeda, jadi perawatannya juga berbeda antara 
satu orang dengan orang yang lainnya, hal ini penting bagi 
siapa saja yang menjaga dan merawat orang dengan PTSD 
untuk pembekalan penjagaan kesehatan mental yang dialami. 
Setengah orang dengan PTSD perlu mencoba perawatan yang 
berbeda untuk mencari apa yang efektif untuk gejala mereka. 
Jika seseorang berketerusan melalui trauma maka ia akan 
PTSD, seperti kasus, kedua-dua hal tersebut harus dirawat. 
Kasus lain yang sering berketerusan antara lain gangguan 
panik, kemurungan, penyalahgunaan narkoba, dan ingin 
membunuh diri.78 Selain Farmakoterapi dan Psikotherapi dapat 
juga dilakukan melalui konseling, yaitu proses layanan bantuan 
yang diberikan oleh seorang konselor kepada klien dalam 
rangka membantu untuk preventif, kuratif, developmental dan 
preservatif, agar mereka dapat hidup dan bertumbuh kembang 
dengan baik secara individu maupun kelompok. Sondang Irene 
E. Sidabutar (2003) membuat suatu bentuk piramid masyarakat 
dalam konflik berkekerasan sebagaimana dapat dilihat dalam 
skema 2.4 berikut ini 
Psikoterapi adalah terapi “berbicara”. Ia melibatkan 
percakapan dengan profesional kasehatan mental untuk 
merawat penyakit mental. Psikoterapi dapat terjadi dengan 
cara satu-satu atau dengan cara kelompok. Percakapan terapi 
rawatan untuk PTSD biasanya berlangsung selama 6 hingga 
12 minggu, tetapi dapat mengambil waktu yang lebih. Kajian 
menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga dan rekan￾rekan dapat menjadi bahagian penting dalam terapi. Banyak 
jenis psikoterapi yang dapat membantu orang dengan PTSD. 
Setengah jenis sasaran gejala PTSD langsung adalah tumpuan 
kepada sosial keluarga memberi terapi lain, atau masalah yang 
menentukan. Doktor atau ahli terapi dapat menggabungkan 
terapi yang berbeda tergantung kepada kebutuhan setiap orang. 
Satu terapi yang dapat membantu adalah terapi tingkah laku 
kognitif. Terdapat beberapa bahagian untuk CBT, termasuk

Pertama, Terapi terbuka. Terapi ini membantu rakyat 
menghadapi dan mengawal ketakutan mereka. Ia meluahkan 
mereka kepada trauma yang mereka alami dengan cara yang 
selamat. Ia menggunakan imej mental, menulis, atau kunjungan 
ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapi menggunakan 
alat-alat untuk membantu orang dengan PTSD ialah dengan 
menghadapi perasaan mereka. Penyusunan kembali kognitif. 
Terapi ini membantu orang banyak untuk merasa kenangan 
buruk. Kadang-kadang orang ingat peristiwa berbeda daripada 
bagaimana ia terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau 
malu tentang apa yang bukan salah mereka. Terapi membantu 
orang dengan PTSD adalah dengan melihat apa yang terjadi 
dalam cara yang realistik. Kedua latihan tekanan inokulasi. 
Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan 
mengajarkan orang bagaimana untuk mengurangi keresahan. 
Seperti penstruktural kembali kognitif, karena perawatan 
ini akan membantu orang banyak melihat kenangan mereka 
dengan cara yang sehat.
Perawatan jenis lain juga dapat membantu orang 
yang mengalami PTSD. Orang dengan PTSD perlu berbicara 
tentang semua pilihan perawatan dengan ahli terapi mereka. 
Doktor juga dapat menetapkan lain-lain tentang jenis obat, 
seperti yang diuraikan di bawah. Terdapat sedikit informasi 
mengenai bagaimana kerja ini bagi orang-orang dengan PTSD 
yaitu: (1) Benzodiazepin. obat-obatan ini dapat diberikan untuk 
membantu orang beristirahat dan tidur. Orang yang mengambil 
benzodiazepin mungkin mempunyai masalah ingatan atau 
menjadi bergantung pada medication. (2) Antipsikotik. obat￾obatan ini biasanya diberikan kepada orang dengan gangguan 
mental yang lain, seperti skizofrenia. Orang yang mengambil 
antipsychotics dapat mendapatkan berat badan dan mempunyai 
peluang yang lebih tinggi mendapat penyakit jantung dan 
kencing manis. (3) Antidepresan lain. Seperti sertraline dan 
paroxetine, fluoxetine anti depresan (Prozac) dan Citalopram 
(Celexa) dapat membantu orang dengan PTSD, mengurangi 
perasaan tegang atau sedih. Bagi orang yang mengalami PTSD 
juga mempunyai gangguan kecemasan lain atau kemurungan, 
anti depresan mungkin berguna dalam mengurangi gejala 
penyakit ini.
Semua penyakit pasti ada obanya, tinggal bagaimana 
sesorang melihat penyakit tersebut membahayakan atau 
menyusahkan dirinya.Konflik bersenjata dan tsuami 
merupakan musibah besar dalam kehidupan masyarakat 
terutama Aceh, karena pasca peristiwa itu terjadi semua 
orang sibuk menangani diri masing-masing padahal salah 
satu perawatan dan yang efektif adalah bila bergabung dalam 
kelompok dan saling menceritakan penderitaan masing￾masing. Karena dengan menceritakan apa yang dirasakan di 
dalam hati akan mengurangi beban dengan demikian juga 
mengurangi kesedihan dan ini dapat mengurangi trauma