• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label trauma 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label trauma 1. Tampilkan semua postingan

trauma 1

Konflik yang berkepanjangan yang telah terjadi di Aceh 
merupakan pengalaman pahit yang tidak dapat dihilangkan 
dengan mudah dalam satu individu, kelompok atau komunitas.
Karena ia menyatu dalam pikiran dan perbuatan dari semua 
warga. 
. Pengertian Konflik
Konflik secara umum sering terjadi pada satu individu, 
kelompok, bahkan pada satu Negara. Chaplin menyatakan 
conflict (konflik) terjadinya secara bersamaan dua atau lebih 
inpuls atau motif yang antagonistis. Satu konflik aktual itu 
biasanya mempercepat satu krisis mental, dan bisa dibedakan 
dari satu konflik akar (konflik dasar, root conflict) yang sudah 
timbul sejak masa kanak-kanak, dan ada dalam kondisi lelap tertidur atau kondisi tidak aktif.80
Menurut Sondang Irene Sidabutar menyatakan bahwa 
dalam huruf Cina kata“konflik” berarti bahaya dan kesempatan. 
Konflik memiliki dua sisi yang negatif (bahaya) dan yang positif 
(kesempatan). Konflik juga suatu realitas yang sering dihadapi 
sehari-hari di dalam korelasi ekonomi, politik, dan budaya yang 
berpeluang penuh dengan perbedaan dan kepentingan.81
Konflik positif adalah konflik yang bermakna 
kesempatan karena merupakan ambang menuju kepada 
kesadaran baru, fase kehidupan baru, masuk dalam 
pertumbuhan kepribadian yang lebih sehat dan sejahtera. 
Sehingga dalam perubahan social, politik dan ekonomi, konflik 
menjadi potensial hadir untuk suatu perubahan, karena 
pengololaan konflik secara bijak akan menghasilkan isue-isue 
baru yang merubah pemikiran kepada arah yang lebih positif 
dan akan melahirkan sejumlah kesempatan yang diinginkan. 
Seperti berbagai konflik yang terjadi dalam warga Aceh, 
telah menimbulkan banyak perubahan dan kesempatan yang 
positif dalam warga menjalani suatu kehidupan, walaupun 
dampak negatifnya juga banyak seperti stress, depresi, cemas 
dan bahkan trauma.
Kebanyakan orang berfikir tidak nyaman hidup dalam 
konflik, itu memang fakta yang tidak bisa disangkal oleh semua 
orang, karena di dalamnya sering mengandung kekerasan, 
ancaman dan bahkan korban nyawa, tetapi disisi lain orang 
juga tidak dapat menyangkal bahwa di dalam konflik sering 
terjadi perubahan yang luar biasa dan kadang kalanya sangat 
bermanfaat bagi kehidupan dari orang yang berkonflik tersebut. Oleh karena itu konflik itu harus dilihat dari dua sisi yaitu sisi 
positif dan sisi negatif. Sisi positif konflik itu diperlukan pada 
saat-saat tertentu untuk terjadinya suatu perubahan, tetapi 
sisi negatif konflik itu ditakuti karena dapat menimbulkan 
dampak yang berkepanjangan di dalam kehidupan seseorang 
atau sekelompok orang.
Sondang Irene E.Sidabutar menyatakan kebanyakan 
orang berfikir bahwa tiadanya konflik lebih baik dibandingkan 
dengan hidup dalam situasi berkonflik. Dalam batas-batas 
tertentu hal ini mungkin benar, meski demikian ketiadaan 
konflik adalah hal yang hampir mustahil, mungkin justru akan 
menyebabkan warga apatis dan kehilangan kreativitas. 
Selain itu juga di dalam warga yang damai dan harmonis 
sekalipun tetap ada sasaran dan kepentingan yang berbeda juga 
potensial munculnya konflik. Hal tersebut tidak perlu dilihat 
sebagai hal yang negatif, tetapi akan lebih baik jika dipandang 
sebagai prasyarat munculnya kesempatan baik, karena 
perbedaan pandangan akan disikafi secara terbuka dan bijak.82
Di dalam realitas sosial sangat sedikit orang menganggap 
konflik itu positif sehingga sering disikapi sangat berlebihan 
dan pikiran rasionalpun hilang, maka akibat konflik tersebut 
sering menjadi pemicu sakit mental, karena sulit menerima apa 
yang terjadi dari koflik tersebut. 
 Bentuk- Bentuk Konflik di Aceh
Dalam seratus tahun terkhir, Aceh terus dilanda prahara 
perang melawan Belanda pada (1873-1942), melawan Jepang 
(1942-1945), perang Cumbok, DI/TII (1953-1958), G30 S 
PKI (1965-1966) dan yang terakhir perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) (1974-2006), sehingga bila diperhatikan 
Aceh secara keseluruhan lebih banyak masa yang dilewati 
oleh warga dalam kondisi konflik daripada masa yang 
aman. Oleh karena itu, secara psikologis kondisi ini sangat 
membahayakan bagi generasi mendatang.
Aceh adalah sebuah wilayah yang terletak diujung paling 
barat negara kita .Negeri yang kaya budaya, beragam etnis dan 
bahasa, namun menyatu dalam agama Islam yang dianut 
manyoritas penduduknya. warga di Aceh dikenal sangat 
agamis, heroik dan bahkan sangat berjasa dalam merebut 
kemerdekaan. Ameer Hamzah menyatakan bahwa Antony 
Reid pernah menulis dalam bukunya “Asalmula konflik di Aceh” 
menyatakan bahwa karena kepahlawananya yang sangat 
menonjol maka Aceh sangat sulit di atur oleh orang lain. Dalam 
warga Aceh terkenal juga pepatah “ bu biet ie biet (nasi 
putih, air putih)” maksudnya negeri sendiri diurus sendiri.83
Konflik sudah terjadi sepanjang sejarah hidup manusia, 
baik dibelahan dunia, negara kita  maupun di Aceh konflik 
tersebut sudah sering dialami. Dalam catatan sejarah dapat 
dilihat berbagai konflik pernah terjadi di dalam warga 
baik konflik-konflik laten maupun konflik manifest (terbuka), 
seperti satu tragedi sekitar tahun 1965-1966 dimana ketika 
jutaan orang ditangkap dengan paksa, dianiaya, diculik dan 
ditahan, dilicehkan martabatnya bahkan meninggal tanpa tahu 
dimana jasadnya dalam pergolakan PKI yang memperbutkan 
kekuasaaan dalam NKRI, ini merupakan salah satu konflik 
bahaya laten di negara kita . Akibatnya upaya-upaya mengangkat 
konflik kepermukaan selalu mengalami rintangan dan ancaman 
pada masa orde baru.Keterbukaan informasi, baru dirasakan dalam 
warga negara kita  setelah jatuhnya presiden Suharto, karena 
penutupan dan pendistorsian informasi selama berpuluh tahun 
dalam rezim tersebut telah membentuk paradigma berfikir, 
sehingga pemberitaan-pemberitaan yang mengangkat tentang 
konflik di masa lalu di beberapa daerah diwilayah di negara kita  
menimbulkan guncangan kepada warga, seperti DOM 
(Daerah Operasi Militer) di Aceh, Timor-Timor dan Papua yang 
dikenal dengan operasi militer Operasi Jaringan Merah (OJM) 
sehingga ketiga wilayah tersebut dikenal dengan three hot spot. 
Selain daripada itu konflik berkekerasan juga terjadi di 
beberapa daerah lainnya seperti peristiwa sambas, peristiwa 
Poso (Sulawesi Tengah), dan peristiwa Ambon (Maluku). Konflik 
dengan kekerasan tersebut hampir semuanya memperlihatkan 
pola yang sama yaitu dalam konflik tersebut ribuan jiwa tewas, 
luka-luka, kehilangan harta benda dan sebagainya.Sondang 
Irene E.Sidabutar menyatakan bahwa umumnya para analisis 
membagi konflik yang terjadi di negara kita  dalam 2 bentuk, 
yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal.84
Pertama, konflik vertikal adalah konflik yang terjadi 
akibat dari ketidakpuasan warga terhadap cara-cara 
pemerintah dalam menangani keinginan dan kebutuhan 
warga seperti kesejahteraan, pengamanan. Selain itu juga 
konflik yang terjadi antara aparat keamanan dengan massa dan 
mahasiswa, termasuk juga konflik yang dianggap saparadis 
seperti wilayah yang ingin memerdekakan diri seperti Aceh 
dan Papua, dan juga konflik tentang protes warga akan 
ketidakpuasannya kepada institusi Negara seperti tragedi 
Nipah di Sampang dan tragedi Trisakti tahun 1998.Kedua, konflik yang bersifat horizontal adalah konflik 
yang terjadi antar anggota kelompok warga dengan 
warga karena faktor ekonomi, sosial budaya, politik 
dan SARA. Konflik ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan 
pemerintah yang sering dianggap tidak adil sehingga memicu 
munculnya konflik dan ini sering juga dikatakan sebagai 
kekerasan komunal yakni kekerasan social antara dua atau 
lebih kelompok komunitas atau satu kelompok menyerang 
kelompok lainnya dan kemudian yang diserang kembali 
membalas. Kelompok komunal dapat berdasarkan kelas sosial, 
etnisitas, agama, afiliasi politik atau perbedaan antara desa dan 
lain-lain. Contoh dari konflik ini adalah seperti kekerasan di 
Maluku, Poso, dan Sambas.
Kedua bentuk konflik di atas dalam sejarah Aceh 
tidaklah asing lagi, karena puluhan tahun telah dirasakan 
seperti DI –TII, Perang Cumbok, GAM dan sebagaimnya. Fikar 
W.E menyatakan bahwa dari hasil laporan Komnas HAM dan 
Tim Pencarian Fakta yang dibentuk oleh Pemerintah negara kita , 
di tiga kabupaten di Aceh, yaitu: Pidie, Aceh Utara dan Aceh 
Timur, menyebutkan bahwa banyak orang disiksa sampai mati, 
warga dianiaya, hilang dalam penculikan, anak menjadi 
yatim, wanita diperkosa, isteri menjadi janda, sekolah dibakar, 
rumah, fasilitas umum dirusak, pada masa Daerah Operasi 
Meliter (DOM) -1 di Aceh. Kenyataan pahit yang terjadi di 
dalam warga Aceh, belum begitu sempurna karena hanya 
berdasarkan data pada waktu sebelum tahun 2000, sedangkan 
tahun selanjutnya pada masa pemberlakuaan DOM-II, banyak 
yang belum ada data secara terperinci.85
Dampak dari peristiwa konflik tersebut di atas, 
menyebabkan, lebih kurang dua puluh ribu anak-anak Aceh di kategorikan sebagai Children Especially in Difficult 
Circumstances, di mana keadaan kesehatan yang buruk, 
pendidikan terancam, bahkan mereka menjadi objek eksploitasi 
dan sasaran kekejaman, dan ribuan lainnya telah menjadi anak 
terlantar, berhenti sekolah dan tidak mempunyai masa depan. 
Selanjutnya, Fikar W. E menyatakan bahwa kanak-kanak yang 
mengalami kesulitan yang telah di katakan di atas harus di 
utamakan dalam pengawalannya, agar mereka dapat hidup dan 
berkembang secara baik. 
Selain itu katanya anak-anak juga mempunyai beberapa 
hak yang perlu dan harus diberikan jaminan seperti: (1) hak 
kelansungan hidup (survival rights), (2) hak perlindungan 
(protection rights), (3) hak untuk berkembang (development 
rights), (4) hak untuk berpertisipasi (perticipation rights), dan 
(5) hak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya (shall not be 
separated form parents rights), semua hak-hak anak tersebut 
telah diakui secara universal.
Kesemua tindakan kekerasan yang di alami kanak-kanak 
pada masa konflik bersenjata di Aceh, merupakan sekelumit 
masalah dari rentetan peristiwa konflik yang memilukan 
hati berbagai pihak, karena kanak-kanak tersebut pada saat 
ini sudah tumbuh dan membesar menjadi remaja yang akan 
menjadi penerus bangsa dimasa depan. Mereka seharusnya 
memiliki fisik dan mental yang kuat, tetapi dalam realitas 
sekarang ini, banyak remaja khususnya para mangsa konflik 
kurang memiliki kecakapan intelektual, emosi yang tidak 
stabil dan tidak adanya keseimbangan spiritual, karena mereka 
tumbuh dan berkembang di dalam situasi yang tidak kondusif. 
Anak-Anak Aceh pada masa itu banyak tidak mendapatkan 
kebutuhan dasar yang berkecukupan sehingga mereka kurang 
berkembang baik.
Menurut Pertama, D.P. yang mengutip pernyataan 
Maslow kebutuhan dasar manusia secara umum adalah 
berjenjang, yaitu: (1) kebutuhan fisik (physiological needs),
(2) kebutuhan rasa keamanan dan kesehatan (security or 
safety need), (3) kebutuhan berwarga (social needs), (4) 
kebutuhan untuk menerima dan bekerja sama dalam kelompok 
(affiliation or acceptance needs), kebutuhan untuk di puja dan 
dihargai (esteem or status needs) dan, (5) kebutuhan akan 
aktualisasi diri (self actualization needs).86
Wilis, S. mengutip pernyataan Sigmund Freud yaitu “The 
root of adult behavior in early childhood impulses and unraveled 
the drivingforces of mankind in their infantile beginning.” Yang 
bermaksud bahawa perilaku orang dewasa di tentukan 
oleh kehidupan di zaman kanak-kanak, bahkan kehidupan 
kemanusiaan saat ini, di tentukan oleh permulaan masa kecil. 
Selain itu, Freud juga menyatakan bahwa “the child id the father 
of man” yang bermaksud zaman kanak-kanak merupakan ayah 
dari manusia. 87
Selain itu, Harlock menyatakan bahwa, teori Freud di atas 
di kuatkan lagi oleh Erikson, yang melakukan kajian klinikal 
sejak bayi hingga dewasa, kemudian menarik suatu kesimpulan 
bahwa zaman kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia 
dari seorang manusia, di mana tempat kebaikan dan keburukan 
secara perlahan dan jelas akan berkembang dan mewujudkan 
dirinya. Pertumbuhan dan perkembangan akan terwujud secara 
optimum apabila di dukung oleh berbagai faktor, salah satunya 
adalah lingkungan baik dalam keluarga, sekolah maupun
warga. Lingkungan yang kondusif akan melahirkan anak￾anak yang normal secara intelektual, emosional dan spiritual 
sehingga dapat berkembang secara seimbang. Akan tetapi bila 
selalu di dalam konflik akan berdampak kepada psikologis 
seperti stress dan trauma. 88
3.1.3. Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Dari fenomena–fenomena konflik yang terjadi sangatlah 
beragan dan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah 
lain, antara satu provinsi dengan provinsi yang lain, akan 
tetapi biasanya factor penyebab konfliknya tidaklah berbeda, 
yaitu pada umumnya konflik itu terjadi dalam warga baik 
secara individual maupun kelompok disebakan oleh factor: (1) 
ekonomi, (2) social budaya, (3) politik, (4) pendidikan dan (5) 
Agama.
3.1.3.1 Faktor Ekonomi.
Dalam kehidupan individu, kelompok kecil, komunitas, 
maupun suatu negara semua membutuhkan hidup yang layak 
dalam segala aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek 
ekonomi. Dalam kehidupan berwarga kebutuhan akan 
kemapanan ekonomi adalah suatu hal yang mutlak. Karena 
semua keperluan yang dibutuhkan hanya dapat diwujudkan 
dengan kecukupan secara finansial dan untuk itu berbagai 
cara orang-orang akan mencari kapanpun dan dimanapun ia 
berada. Kadangkala untuk mendapatkan apa yang diinginkan 
mereka rela berkonflik satu sama lain bahkan walaupun sesama 
saudara. Dalam pemenuhan ekonomi keluarga misalnya, 
seorang suami akan mencari nafkah dengan cara apapun untuk 
menghidupi keluarganya, untuk membuat keluarganya bahagia, 
sejahtera dan sebagainya. Untuk hal tersebut kadangkala ada 
yang menempuh dengan cara-cara yang tidak halal sehingga 
memakan hak orang lain.
Secara psikologi kebutuhan ekonomi dalam konteks 
keuangan merupakan kebutuhan fisik dalam rangka 
pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Bila kebutuhan 
ini tidak terpenuhi maka dalam kehidupan akan merasa kesal, 
kecewa bahkan sering memunculkan perilaku kekerasan. 
Karena keberadaan ekonomi atau keuangan merupakan tingkat 
yang paling dasar dalam hirarki need Maslow. Bila kebutuhan 
ini tidak terpenuhi, maka kebutuhan lain tidak akan tercapai.
Dalam warga factor kesenjangan ekonomi paling 
banyak memicu konflik, baik antar individu antar keluarga, 
antar tetangga dan antar komunitas ini selalu di depan karena 
kesenjangan tersebut membuat tingkat kepuasan manusia 
juga berbeda, orang akan menganggap bahwaorang kaya dapat 
bertindak seenaknya, dan orang miskin tidak dianggap ada 
dan tidak diperhitungkan di dalam kelompoknya. Kondisi ini 
sering membuat warga golongan bawah merasa rendah 
diri, tidak dapat berpartisipasi aktif di dalamnya dan juga tidak 
dapat bekerja sama. Sehingga tidak jaranga kalau ada kegiatan 
selalu memunculkan konflik.
3.1.3.2. Faktor Sosial Budaya
Dalam sosial budaya konflik sering terjadi dengan 
berbagai cara. Misalnya perselisihan antar satu orang dengan 
orang lain, satu orang dengan kelompok, satu keluarga dengan 
keluarga yang lain, satu kelompok dengan kelompok yang lain, satu desa dengan desa yang lain. Ragam perselisihan ini 
sering yang menjadi pemicu adalah perselisihan pendapat, 
perselisihan adat, perselisihan gaya hidup dan sebagainya. 
Ketidaksamaan atau keberagaman pola dan gaya inilah dalam 
sosial kewargaan menjadi berwarna sehingga jika satu 
warna tidak cocok dengan warna yang lain, maka mulai orang￾orang akan mencari pembenaran diri, sehingga tidak jarang 
akan memicu konflik horizontal.
Abdurrahman menyatakan perselisihan-perselisihan 
pada umumnya menghasilkan disharmonisasi hubungan 
antara satu dengan lainnya, bahkan dapat meluas pada 
hubungan disharmonisasi keluarga, bahkan juga terjadi 
permusuhan dan tidak jarang sampai terjadi benturan fisik, 
pembunuhan dan dendam kesumat, sehingga berakibat 
kepada ketidakseimbangan dalam kehidupan warga.89
Perselisihan antar sesama warga warga merupakan 
akibat dari terjadinya benturan berbagai permasalahan 
yang menyangkut dengan kepentingan dalam membangun 
hubungan antara satu dengan lainnya, komunikasi antara satu 
dengan lainnya biasanya tidak selalu mulus. Berbagai sebab 
bisa menimbulkan perselisihan, misalnya karena berbeda 
pendapat, menyinggung perasaan, merasa terhina, merasa 
tertuduh, gossip, perdebatan, penipuan berbagai bentuk lain 
yang bersumber dari informasi negatif.
Perselisihan dalam adat budaya sering terjadi dalam 
suatu komunitas adalah pada prosesi adat perkawinan (bawaan, 
tatacara), prosesi turun sawah, prosesi turun tanah penentuan 
tapal batas, penyalahgunaan fungsi tuhapheut, ketidak fahaman 
aparatur Desa, kurangnya koordinasi, tumpang tindih jabatan, 
dan pada bentuk-bentuk nilai penghargaan dan sebagainya. Di 
Aceh saat sekarang yang paling terasa adalah dampak konflik 
bersenjata antara GAM dan NKRI, dimana warga sulit 
berkomunikasi, karena banyak tekanan dari pihak-pihak yang 
berkuasa.
3.1.3.3. Faktor Sosial Politik
Konflik yang ditimbulkan dalam sosial politik sangat 
beragam, dari perebutan kekuasaan, wewenang, tanggung 
jawab dan otoritas hak dan kewajiban sampai perebutan harga 
diri yang egoistis. Dalam perebutan kekuasaan ada tiga aspek 
yang sering menimbulkan konflik berpanjangan baik vertical 
maupun horizontal yaitu: legislative, eksekutif dan yudikatif.
Pertama dalam perebutan kekuasaan legislatif. Dalam 
sejarah negara kita  dan Aceh stiap mendekati pemilihan 
legislative banyak konflik terjadi dalam warga, mulai dari 
silang pendapat, beda dukungan, beda pendapatan, beda social 
budaya dan sampai dalam hal beda agama dijadikan sebagai 
alat untuk menimbulkan konflik, sehingga tidak kurang pasca 
pemilihan banyak individu bertengkar antar dukukungan, 
antar kelompok, dan antar partai, dan bahkan antar keluarga. 
Selain itu banyak juga balon dan calon yang stress, depresi dan 
bahkan ada yang masuk rumah sakit jiwa, karena tidak tahan 
dengan berbagai tekanan yang terjadi. Yang menang kadang 
sangat susah diakui apalagi yang kalah.
Konflik ini pada awal adalah konflik horizontal, akan 
tetapi dapat berlanjut menjadi konflik vertical, karena 
kebijakan, peraturan tidak memihak kepada rakyah. John Locke 
(1632- 1704) dalam Wiratmadinata (2006) menyatakan dengan 
ekstrem kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan legislative, 
yakni kekuasaan pemerintah Negara untuk membentuk 
undang-undang.Tetapi sebenarnya adalah untuk menegaskan 
bahwa kekuasaan itu ada di tangan rakyat melalui volente 
general yang banyak diartikan sebagai pemilihan umum. Tetapi 
kita tidak bisa lupa titik jenuh dari proses ini akan kembali 
pada gerakan rakyat, artinya fungsi legislatif akan kembali 
kepada pemiliknya semula yaitu rakyat. Jadi apabila tidak bisa 
menjalankan kontrak social secara konsisten disanalah peran 
LSM, yakni memastikan bahwa rakyat memiliki kedaulatan 
lewat peran-peran social politik yang dilakukan.90
Dalam pengambilan peran inilah semakin sering terjadi 
berbagai konflik vertical dan horizontal yang kadangkala 
membawa kepada kekerasan, korban jiwa, bahkan korban harga 
diri karena yang diperebutkan kadang kadang tidak sesuai 
dengan harapan, dan hal ini tidak jarang akan menimbulkan 
stress dan trauma yang berpanjangan dalam social warga. 
Konflik di Aceh yang berkepanjangan tidak hanya melamahkan 
secara ekonomi, budaya dan sumber daya manusia, tetapi juga 
mematahkan semangat dan menghambat demokrasi yang 
didambakan oleh semua rakyat.
Kedua, konflik perebutan eksekutif, dalam hal ini dapat 
dilihat dalam pemilihan Bupati dan wakil Bupati, Walikota 
dan wakil Walikota, Kechik dan Sekdes, bahkan sampai pada 
perebutan kepala-kepala SKPA dan SKPD semua ini dapat 
menimbulkan konflik, karena secara umum semua orang 
tidak mampu memenuhi keinginan semua orang, sehingga 
ketika berbeda kepentingan, berbeda kebutuhan dan berbeda 
pendapat menjadi pemicu yang luar biasa untuk terjadinya 
konflik baik vertical maupun horizontal, Jadi sebenarnya 
dimana mana dalam kehidupan manusia selalu ada konflik, 
akan gtetapi bagaimana mengolola dan menangani konflik itu 
yang menjadi hal paling penting.
Ketiga, dalam yudikatif. Konflik yang terjadi dalam 
lembaga ini merupakan konflik elit yang kadangkala sangat 
sulit dijangkau oleh warga biasa, sehingga tidak heran 
dalam kiprah dan penanganan berbagai kasus yang menyakut 
persoalan yudikatif sulit untuk dilakukan dan sulit muncul 
kepermukaaan, namun tidak jarang konflik ini juga sering 
terjadi. Oleh karena itu tidak heran bila ada yang menyatakan 
bahwa konflik pada saat tertentu itu sangat diperlukan tetapi, 
pada saat yang lain konflik kan membawa malapetaka, seperti 
dalam kancah perebutan kekuasaan tertinggi dalam sejarah 
negara kita  dan Aceh, ketiga lembaga ini saling tarik menarik 
sehingga menimbulkan perpecahan. 
3.1.3.4. Faktor Agama
Konflik berkekerasan atas nama agama hingga saat ini 
sepertinya tidak akan pernah habisnya didalam negeri ini, 
seperti kasus protes pelaksanaan conference tritunggal maha 
kudus yang digelar tanggal 24-29 juli tahun 2007 oleh ummat 
Khatolik lembah Karmel Puncak Jawa Barat; kasus ahmadiyah 
dan ajaran sesat Millata Abraham. Semua kasus tersebut 
telah membawa warga kedalam konflik berkekerasan, 
sehingga banyak korban jiwa.Persolaan ini terjadi karena 
ketidak percayaan dan ketidak fahaman warga tentang
ajaran Islam dengan kaffah sehingga masih banyak keraguan 
di dalamnya.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada dua jawaban 
kenapa terjadi hal yang demikian, yaitu: pertama hingga saat 
ini sikap saling curiga diantara umat beragama berbeda masih 
sangat kuat, misalnya kecurigaan didalam umat Islam, bahwa 
lembaga umat kristiani terus melakukan berbagai upaya 
untuk mengkrestianikan ummat, sebaliknya umat kristiani 
mencurigai umat Islam terus berusaha menciptakan Negara 
Islam di negara kita . Kedua, bahwa hingga saat ini dialog umat 
beragama hanya baru menyentuh level atas pemuka-pemuka 
agama, baik pada tingkat Nasional maupun pada level daerah. 
Walaupun dialog-dialog intra maupun antar umat beragama 
terus dilakukan tetapi hanya menyentuh golongan atas belum 
sampai pada tataran bawah, padahal level inilah yang dapat 
menhitam putihkan massa, dan bisa membuat massa murka 
atau sebaliknya menjadikan mereka tenang dan beradap.91
3.1.4. Bentuk-Bentuk Penanganan Konflik di Aceh.
Menurut Ibnu Kaldum konflik itu sudah ada sejak 
adanya manusia. Keberadaan konflik tidak dapat dilepas dari 
perjalanan hidup manusia, ia begitu dekat dan seolah-olah 
menjadi bahagian dari denyut jantung manusia.92 Tri Kurnia 
Nurhayati dalam Kamus lengkap Bahasa negara kita  menyatakan 
konflik adalah pertentangan dan percekcokan.93 Sementara itu 
Syarizal menyatakan bahwa konflik merupakan bahagian dari 
dinamika kehidupan manusia. Dalam kehidupan warga 
yang sedang berubah, konflik dapat melahirkan pertentangan, 
pertikaian, kekerasan, dan juga pembunuhan. Oleh karena itu 
penyikapan dan pengelolaan konflik dapat dilakukan, karena 
manusia pada fitrahnya cenderung untuk hidup damai dan 
terbebas dari konflik.94
Fisher Simon, dkk menyatakan bahwa konflik itu pada 
dasarkan bersifat netral dapat bersifat positif dan negatif. 
Konflik bermula dari kepentingan, dan setiap orang memiliki 
kepentingan berbeda antara satu dengan yang lain. Konflik 
yang bermuara positif bila dapat dikelola dengan baik, akan 
terbangun kepercayaan dan kesadaran bahwa manusia 
memang memiliki keragaman dan saling menghargai satu sama 
lain. Upaya saling menghargai, saling memahami, mengakui 
kekeliruan dan keterbatasan diri sendiri merupakan konflik 
yang bermuara pada nilai positif.95
Sebaliknya konflik yang bermuara negative berujung 
pada kekerasan, pertentangan, penganiayaan, pembunuhan, 
diskriminasi perampasan hak dan lain-lain.Akibatnya kedamaian 
yang merupakan dambaan setiap anggota warga sangat 
sulit terwujut. Dalam kenyataannya konflik seperti ini tetap 
ada dalam setiap komunitas warga manapun termasuk 
dalam warga adat. Di dalam warga adat termasuk di 
Aceh, umumnya difahami bahwa konflik di identikkan dengan 
kekerasan, pada hal kedua istilah tersebut memiliki makna 
yang tajam.96 A. Hasyimy menyatakan bahwa warga Aceh 
dikenal dengan warga yang terikat dengan agama dan nilai 
adat. Hal ini dapat dilihat dari adagium yang sangat populer 
dalam warga Aceh, yaitu: “Adat Bak Poteumerehom, Hukom 
Bak Syiah Kuala; Qanun Bak Putro phang; Resam bak Laksamana”. 
Keberadaan ajaran agama dan adat untuk manyarakat Aceh 
menjadi penting karena kedua komponen inilah menjadi 
standar perilaku, warga sehari-hari.Ajaran agama dan 
norma adat, juga digunakan untuk menyelesaikan konflik yang 
terjadi dalam warga Aceh.97
Konflik yang dirasakan oleh warga Aceh mulai dari 
konflik internal keluarga, antar kelompok warga, sampai 
dengan konflik bersenjata yang sangat lama dan menelan 
korban cukup banyak, sehingga keluarga korban dendam 
kesumat. Kenyataan tersebut seakan-akan memperlihatkan 
bahwa dalam warga Aceh tidak ada pola penyelesaian 
konflik secara baik dan bijak, padahal dalam perjalanan 
sejarahnya telah terbukti bahwa banyak persolan warga 
gampong yang berkaitan dengan hukum, politik, social budaya, 
ekonomi dan lain-lain,dapat diselesaikan dengan pola syari’at 
Islam dan norma adat yaitu melalui: di’iet, sayam, suloh dan 
pemumat jaroe, yang dalam prosesinya melibatkan peran ulama 
dan tokoh adat, sebagai bentuk resolusi konflik yang akan 
melahirkan kedamaian dalam warga.
Menurut Prof.Dr.Syahrizal Abas, MA, berdasarkan hasil 
wawancara beliau dengan salah satu tokoh adat di kabupaten 
Singkil yaitu Tgk Abdussalam pada tgl 4 Maret 2006 menyatakan 
bahwa pola di’iet, sayam, suloh dan pemumat jaroe ini sudah 
dikenal sejak awal masuknya ajaran Islam ke Nusantara.98
Audah, Abdul Qadir menyatakan kata di’iet berasal dari 
bahasa Arab yaitu diyat. Secara bahasa kata diyat bermakna 
pengganti jiwa atau penggati anggota tubuh yang hilang atau 
rusak.Penggati ini berupa harta benda baik bergerak maupun 
tidak.Pola ini merupkan konsep hukum pidana Islam. Para 
sarjana hukum Islam memahami diyat ini sebagai salah satu 
bentuk konpensasi yang harus diserahkan oleh terpidana atau 
keluargnya kepada korban atau ahli warisnya dalam kasus 
tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota 
tubuh orang lain.99
Begitu juga Syafioeddin dan Hasyim menyatakan bahwa 
dalam di’iet ini, pelaku pidana memberikan sesuatu seperti 
emas dan menyembelih hewan berupa sapi atau kerbau yang 
prosesinya diprakarsai oleh perangkat gampong yaitu: Imuem 
mukim,geuchik, dan tengku menasah. Dalam prosesi ini juga 
digelar pula upara adat yang bertujuan untuk mengakhiri 
dendam atau konflik.100
Selanjutnya Syahrizal menyatakan pembayaran di’iet 
dalam kehidupan warga Aceh dimulai dengan proses 
peradilan terhadap pelaku pidana, sehingga dapat diketahui 
tingkat kemaafan yang diberikan oleh korban atau ahli waris 
korban. Jika kemaafan tersebut telah diberikan maka para 
pemangku adat atau tetua gampong mengkompromikan dan 
memusyawarahkan dengan korban atau ahli waris korban 
dengan pelaku berapa harus dibayarkan oleh terpidana atau 
keluarganya.Biasanya pembayaran di’iet dilakukan dengan 
suatu upara adat yang di dalamnya terdiri dari kegiatan pesijuek 
dan pemumat jaroe.
Keterlibatan institusi adat dan budaya disini adalah 
untuk menghilangkan dendam antara para pihak yang bertikai. 
Sedangkan tempat penyelenggaraan di’iet ini biasanya dilakukan 
di menasah atau dirumah korban, dan juga dapat dilakukan di 
tempat lain tergantung kesepakatan pihak yang terlibat.101
Peralatan dan bahan yang dipersiapkan oleh pelaku atau 
ahli warisnya terdiri atas kerbau atau sapi, perangkat pesijuek 
berupa ketan kuning, kelapa gonseng gula merah (ue mierah), 
ayam panggang, tumpoe (tepung yang diaduek dengan gula 
merah dan digoreng), daun senijuek, daun ilalang (naleung 
samboe), padi campur beras, air tepung atau air bunga, air 
putih dan air cuci tangan dan kemenyan, dan khusus untuk 
kasus pembunuhan ditambah lagi dengan kain putih, pedang/
rencong di dalam sarung, bahkan di daerah tertentu di tambah 
lagi dengan uang sebesar 2 juta sampai dengan 5 juta rupiah.102
Penyelesaian Konflik Melalui Sayam
Sayam adalah salah satu pola penyelesaian konflik yang 
ditemukan dalam kehidupan warga Aceh.Pola ini telah 
lama dipraktekkan dan bahkan jauh lebih lama daripada pola 
di’iet dan suloeh. Sayam adalah bentuk konpensasi berupa harta 
benda yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau 
ahli waris korban khusnya berkaitan dengan rusak atau tidak 
berfungsinya anggota tubuh. Bahkan sebahagian daerah Aceh 
memberlakukan sayam ini sebagai kompensasi dari keluarnya 
darah seseorang akibat penganiayaan.103
Filosofi sayam bagi warga Aceh bersumber 
dari adagium yang sudah dikenal lama yaitu “ luka disifat,
dan darah disukat” Makna adagium ini adalah luka akibat 
penganiayaan atau kekerasan harus diperhitungkan. 
Pandangan ini mengindikasikan bahwa warga Aceh betul￾betul memberikan penghargaan dan perlindungan yang tinggi 
terhadap tubuh manusia, sebagai ciptaan Allah. Dan sayam 
ini merupakan bentuk kompensasi untuk menghargai hal 
tersebut. Sama hal nya dengan di’iet, prosesi sayam
dilaksanakan setelah para pihak yang bersengketa dihubungi 
oleh pihak geuchik dan tengku menasah, dengan prosesinya 
sama namun sayam hanya lebih ringan karena jumlah yang 
harus dibayar berbeda. Deskripsi ini menggambarkan betapa 
penyelesaian konflik menggunakan pola syariat Islam dan 
adat dapat membawa kedamaian abadi karena kemaafan yang 
terjalin dalam prosesi itu sering berubah menjadi saudara 
karena silaturrahim yang dibina secara berkelanjutan
Penyelesaian Konflik Melalui Suloeh
Kata suloeh dalam bahasa Aceh berasal dari istilah Arab 
yaitu al-sulhu-islah, yang berarti upaya perdamaian. Suloeh 
adalah upaya perdamaian antar para pihak yang bertikai dalam 
kasus-kasus perdata. Oleh karena itu prosesi suloeh ini tidak 
ada penyembelihan hewan kebau, sapi atau kambing karena 
tidak berkaitan dengan meninggal atau rusaknya anggota 
tubuh korban.Kasus-kasus perdata yang diselesaikan melaui 
suloeh ini umumnya berkaitan dengan perebutan sentra-sentra 
ekonomi seperti batas tanah, tali air sawah, lapak berjualan 
daerah aliran sungai tempat menangkap ikan (seneubok) dan 
lain-lain. Penyelesaian suloeh ini sering juga dilakukan langsung 
ditempat kejadian oleh para tetua adat yang menguasai daerah 
tertentu tanpa sampai kepada gechiek dan imuem menasah dan 
penyelesaiannya sangat mudah hanya dengan pemumat jaroe.105
Dalam kehidupan warga lain suloeh ini sama dengan 
mediasi, yang mana sitiap pertikaian dan konflik yang terjadi 
antara satu individu dengan individu lain, atau satu kelompok 
dengan kelompok lain atau satu komunitas dengan komunitas 
lain, mediasi adalah bentuk yang sangat sering digunakan untuk 
menyelesaikan pihak yang bertikai. Prosesi penyelesaiannya 
sama dengan suloeh di fasilitasi oleh orang ketiga berupa 
tokoh, lembaga atau instansi yang ditunjuk. Dalam mediasi ini 
pihak ketiga membuat kesepakatan-kesepakatan yang disetujui 
oleh kedua pihak, dan setelah selesai mereka semua bersalam￾salaman.
3.1.4.4. Penyelesaian Konflik Melalui Peumumat Jaroe
Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada 
prosesi di’iet, sayam dan suloeh adalah pesijuek dan pemumat 
jaroe (saling berjabat tangan). Kedua prosesi ini memegang 
peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhwah) 
atara para pihat yang bersengketa, karena dalam warga 
Aceh belum sempurna penyelesaian konflik tanpa melakukan 
pesijuek dan pemumat jaroe. Oleh karena itu dalam proses 
pemumat jaroe, pihak yang memfasilitasi mengucapkan kata￾kata khusus seperti ”Nyo kaseb oh no dan bekna dendam le.Nyo 
bejeut kejalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe” 
artinya masalah ini cukup disisini dan jangan diperpanjang lagi.
Bersalaman ini diharapkan menjadi jalinan salturrahmi antara 
anda berdua, sebab ini ajaran agama kita. Acara peumumat 
jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara 
kenduri pesijuek dengan urutan prosesinya adalah peusijuek, 
peumumat jaroe dan makan bersama (kenduri).106
Kegiatan tersebut di atas, merupakan rangkaian panjang 
dalam prosesi penyelesaian konflik dalam sengketa adat Aceh. 
Dalam hal ini peran ulama dan pemangku adat sangat dominan, 
karena mereka dinggap mampu membangun silaturrahim 
dengan baik sehingga para orang yang bertikai kadangkala 
menjadi persaudaraan pada acara prosesi tersebut, namun 
akhir-akhir ini kegiatan penyelesaian konflik dengan cara 
di’iet, sayam, suloeh dan pemumat jaroe sudah jarang dilakukan, 
warga lebih memilih penyelesaian kasus melalui hukum 
nasional yaitu pengadilan. 
3.2. Tsunami Di Aceh
Tragedi 26 Desember 2004 memang patut direnungkan 
untuk generasi anak bangsa. Gempa super hebat yang diikuti 
gelombang tsunami telah menghacurkan sebahagian besar 
wilayah pesisir pantai di Aceh. Menurut Departemen Sosial 
tercatat 240.000 korban meninggal dan hilang, puluhan ribu 
rumah penduduk, harta benda, gedung-gedung perkantoran, 
sekolah, pertokoan serta fasilitas-fasilitas umum lainnya 
hancur seketika. Kejadian ini memang tidak diduga sama sekali 
walaupun sebenarnya dalam peta negara kita  ada dijelaskan 
bahwa kepulauan negara kita  salah satunya provinsi Aceh adalah 
rawan bencana.
Arnol (1986) dalam Subandono menyatakan bahwa 
wilayah negara kita  merupakan salah satu Negara kaya bencana 
gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi dan tanah 
longsor. Tingginya potensi bencana tersebut dikarenakan 
tatanan dan proses geologi negara kita  yang dikepung oleh tiga 
lempeng bumi, sehingga ia termasuk negeri yang rentan dan 
rawan bencana alam.107
Oleh karena itu, seharusnya warga tidak terkejut 
lagi bila ada bencana yang tidak terduga, karena sudah tanpak 
jelas bahwa dalam peta Badan Meteorologi dan Giofisika, di 
identifikasi sebanyak 25 provinsi di negara kita  rawan terjadinya 
gempa bumi, dan 18 provinsi dari 25 provinsi tersebut salah 
satunya provinsi Aceh adalah rawan tsunami.108
Tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh merupakan 
musibah yang maha dasyat yang pernah terjadi dalam 
sejarahAceh.Karena dalam bencana tersebut ratusan ribu 
nyawa, harta benda hilang tanpa bekas, sehingga membuat 
banyak warga Aceh mengalami berbagai kerugian baik 
secara fisik maupun secara mental. Secara fisik warga 
Aceh sebahagian besar kehilangan rumah, harta benda yang 
telah dikumpulkan puluhan tahun di dalam kehidupannya. 
Sedangkan secara mental warga banyak merasa 
kehilangan orang-orang yang paling ia cintai sehingga mereka 
merasa berduka, merasa sedih, cemas, depresi dan yang paling 
parah adalah stress dan trauma karena kehilangan anak, ibu dan 
ayah, kehilangan istri dan suami, kelihangan sanak keluarga, 
kerabat dekat yang sangat sulit untuk dihilangkan di dalam 
pikirannya mungkin sampai akhir zaman. Apalagi kalau tidak 
ada penaganan yang konprehensif dan berkelanjutan bahaya 
ini adalah bencana yang sangat besar dalam kisah kehidupan 
warga Aceh kedepan.
Oleh karena itu, harapan terbesar bagi warga 
adalah bagaimana pemerintah menangani dan menyelesaikan 
semua persoalan yang disebakan oleh bencana tsunami 
tersebut sehingga terbebas dari bencana yang lebih besar yaitu 
lemahnya daya serap dan daya guna generasi penerus akibat 
trauma tsunami.
3.2.1. Sekilas Tentang Wilayah-WilayahTsunami di Aceh
Secara keseluruhan musibah yang terjadi karena 
bencana alam gempa dan tsunami meninggalkan cerita yang 
berbeda-beda di berbagai wilayah dalam propinsi Aceh yang 
terkena hantamannya.Wilayah–wilayah tersebut adalah: (1) 
Aceh Besar, (2) Kota Banda Aceh, (3) Aceh Jaya, (4) Aceh Barat.
Pertama, Aceh Besar yang terdiri dari 23 Kecamatan, 
604 Desadan lebih kurang 10 dari kecamatan tersebut sangat 
parah kena hantaman tsunami, yaitu: kecamatan Lhoeng, 
Leupong, Lhoknga, Pekan Bada, Puloe Aceh, Baitussalam, 
Darussalam, Mesjid raya. Kedua, Kota Banda Aceh, terdiri 
dari 9 kecamatan dan 90 Desa dan lebih kurang 4 kecamatan 
mengalami hantaman tsunami yang sangat parah. Ketiga, 
Aceh Jaya yang terdiri dari 9 Kecamatan, 21 Mukim, 172 Desa, 
dan hampir semuanya berada pada daerah pesisir pantai. 
Secara geografis kecamatan-kecamatan di wiliyah 
Kabupaten Aceh Jaya berbatasan langsung dengan Samudera 
negara kita . Jalur sepanjang pantai juga merupakan tempat 
permukiman penduduk terpadat dibandingkan dengan 
daerah pemukiman yang jauh dari pantai. Jaringan jalan yang 
menyusuri pinggir pantai yang menghubungkan Banda Aceh 
dengan kota-kota di bagian barat dan selatan provinsi ini 
menjadi faktor yang sangat mendukung bagi penduduk untuk 
membangun permukiman di sepanjang pantai. Pusat-pusat 
perdagangan dan berbagai aktivitas perekonomian lainnya pun 
pada umumnya berlokasi di kota-kota kecamatan yang berada 
di sepanjang pantai wilayah ini.109
Oleh karena itu kabupaten ini juga termasuk yang 
paling parah kena hantaman gelombang tsunami. Keempat, 
kabupaten Aceh Barat terdiri dari 12 kecamatan dan 321 
Desa.110
Semua Kecamatan dan Desa yang berada di dalam 
4 kabupaten tersebut di atas sebahagian besarnya terkena 
hantaman tsunami dan kehilangan hampir semuanya, baik jiwa 
maupun rumah dan harta benda. Kondisi ini telah membuat 
warga yang selamat dalam peristiwa tsunamitersebut 
merasa sedih berkepanjangan dan sangat stress dan depresi, 
dan bahkan trauma berat. Karena selain memikirkan keluarga yang hilang tidak tahu jasadnya, juga memikirkan bagaimana 
ia akan menjalani hidup kedepan. Secara psikologis banyak 
korban yang merasa terganggu pasca tsunami sehingga tanpa ia 
sadari apakah itu benar, atau hanya ilusi, mereka yang selamat 
dari musibah tersebut sering kali bercerita yang kurang masuk 
dalam pikiran dan akal sehat, seperti ada yang menyatakan 
bahwa ia selamat karena di tolong oleh seekor naga, ada yang 
menyatakan ia selamat karena ada yang membimbing mereka 
untuk memegang sesuatu sehingga ketika ia sadar ia ada di atas 
pohon, ada yang menyatakan ia diselamatkan oleh kakek-kakek 
yang tidak dikenal, ada juga yang menyatakan bahwa ia selamat 
seperti bermimpi dan banyak-cerita-cerita aneh lainnya.. 
Hayalan, atau illusi yang dirasakan oleh korban yang 
selamat merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat 
dipungkiri oleh siapapun dan itu merupakan salah satu bentuk 
respon psikologis dari peristiwa traumatis yang dialami oleh 
setiap korban, dan apabila ini tidak ditangani dengan baik dan 
terencana serta berkelanjautan akan bendampak kepada PTSD 
atau Post Traumatik Stress Disorder.
3.2.2. Bentuk-Bentuk Trauma Tsunami 
Bentuk-bentuk trauma yang di alami korban dalam 
peristiwa traumatic tsunami adalahada dua aspek yaitu: pertama 
trauma fisik seperti patah tangan puntung kaki, luka-luka 
akibat hantaman kayu, beton dan berbagai benda yang hanyut 
dan terbawa dalam gelombang tsunami, luka-luka tersebut 
akan meninggalkan parut yang tidak akan pernah terlupakan 
seumur hidupnya. Kedua, trauma psikis banyak terjadi pada 
korban pasca tsunami adalah sedih berkepanjangan, tertekan, 
gugup, cemas berlebihan, merasa bersalah, stress, dan depresi. 
Semua bentuk trauma tersebut seharusnya perlu penangan 
yang representative dari semua pihak terutama keluarga 
terdekat, lingkungan dan pemerintah sebagai penanggung 
jawab dalam suatu komunitas.
Namun penanganan yang sering diterima pasca tsunami 
menurut hasil penelitian adalah penaganan secara fisik, karena 
pasca tsunami banyak NGO yang menawarkan bantuannya.
Tetapi secara psikologis tidak ada secara khusus, padahal 
bencana yang sesungguhnya adalah dampak dari psikogis ini, 
karena dapat menggangu kecedasan intelektual, emosional dan 
perilaku. Orang-Orang yang sudah mengalami pengalaman 
traumatis dan yang membuat mereka trauma biasanya mudah 
sekali tersinggung, suka menghindar, suka duduk sendiri, suka 
terkejut tiba-tiba, jantung berdebar cepat, sering bermimpi 
buruk, kadangkala ada yang berkeringat tanpa sebab, suka 
pingsan, tegang pada bahagian punggung dan sebagainya. 
Semua kondisi fisik yang dialami tersebut akibat pengalaman 
traumatis yang dialami di dalam hidupnya. Pengalaman 
itu akan terkunci dalam latar lembik, sehingga bila mereka 
bertemu dengan suasana, warna dan tempat yang sama, 
maka seringkali korban akan ketakutan dan bahkan ada yang 
histeris. Karna itu pada saat yang demikian, dukungan orang￾orang terdekat, seperti keluarga, kerabat, dan lingkungan social 
sangat diperlukan untuk meredakan kejala tersebut. Kalau 
tidak ada, mereka akan merasa terasing, dan lama-kelamaan 
bisa stress, depresi dan juga bisa sakit jiwa. Dukungan social 
yang diperlukan bukanlah materi, akan tetapi empati yang 
dapat membuat korban merasa tenang, merasa ada teman dan 
merasa mereka tidak sendiri di dalam dunia ini.
Bentuk-Bentuk Penanganan warga 
 Pasca Tsunami
Bentuk-bentuk penangan pasca tsunami dalam 
warga Aceh dapat dideskripsikan sebagai berikut: 
Pertama penanganan secara medis, pasca tsunami warga 
Aceh yang selamat banyak mengalami luka-luka secara fisik, 
maka banyak LSM, NGO baik dari local maupun nasional 
dan internasional datang untuk ikut membantu mengobati 
dan merawat warga yang terluka, menyediakan obat￾obatan dan sebagainya yang dibutuhkan warga. Kedua, 
penyediaan tempat tinggal bagi korban yang selamat, sebagai 
tempat mengungsi sementara sambil menunggu bntuan rumah 
dari berbagai NGO, BRR. Ketiga, banyak NGO, LSM lokal dan 
nasional membuat berbagai program pelatihan keterampilan 
dalam rangka pemulihan ekonomi mereka, dari perbengkelan, 
akirlig dan berbagai pelayanan warga seperti servis, AC, 
TV dan alat-lat elektronik lainnya.
Jadi pada masa krisis semua orang menangani 
berbagai cara untuk mengobati luka fisik, sedikit sekali dalam 
warga Aceh yang mencoba menangani luka psikologis, 
seperti bagaimana mengurangi rasa kesedihan yang dalam, 
bagaimana mengendalikan amarah, benci dan bagaimana 
mengatasi kecemasan, ketakutan dan sebagainya akibat dari 
gelombang tsunami. 
3.3. Dampak Konflik dan Tsunami
Danpak konflik dan tsunami dalam kehidupan 
warga korban sangat banyak, terutama danpak fisiologis 
dan juga psikologis, keduanya saling berkaitan satu sama lain. 
Abila kebutuhan fisologis tidak terkucupi akan berdampak 
pada psikologis, begitu juga sebaliknya, bila psikologis tidak 
terpenuhi juga akan berdampak kepada fisiologis.
3.3.1. Dampak Fisiologis
Dalam kehidupan manusia banyak sekali kebutuhan 
yang harus dipenuhi, diantaranya adalah kebutuhan primer 
dan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang 
paling dasar yang mau tidak mau harus dipenuhi, karena 
kebutuhan jenis ini merupakan kebutuhan untuk kelangsungan 
hidup spesiesnya. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah 
kebutuhan yang juga sangat penting dan lazim seperti 
menyangkut rasa aman dan kebahagian jiwa. Sehingga dengan 
kebutuhan-kebutuhan inilah manusia akan berusaha untuk 
mendapatkannya dan memenuhinya dengan berbagai cara.
Kebutuhan fisiologis manusia terkadang sangat 
berhubungan erat dengan reaksi organ tubuh yang muncul 
untuk memelihara keseimbangan organic dan kimiawi tubuh. 
Misalnya kekurangan kadar makanan atau kekurangan kadar 
air dalam tubuh, akan membuat manusia lemas, lesue dan tidak 
bersemangat, keadaan tersebut akan termotivasi manusia 
untuk mencari makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk 
menyeimbangkan kembali kondisi tubuh yang dialami sesuai 
dengan kebutuhannya.
Konflik dan tsunami yang terjadi telah membuat 
banyak warga kehilangan jiwa raga, harta benda sebagai 
aspek yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis 
manusia.Harta benda yang telah dikumpulkan bertahun-tahun 
lamanya, rumah yang dijadikan tempat beristirahat, ketika 
tubuhnya lelah hancur dibakar ketika konflik dan hanyut dalam gelombang tsunami. Kondisi ini membuat warga 
terpuruk, maka untuk mengembalikan mereka seperti semula, 
memerlukan waktu yang panjang dan strategi yang berbeda, 
karena pasca konflik dan tsunami secara umum tatanan 
warga berubah total, dan ini merupakan dampak yang 
sering muncul yang sulit untuk dihindari. Dampak ini bila terus 
menerus terus terjadi akan membuat berbagai tekanan dalam 
tubuh manusia sihingga akan berakibat pada psikologis.
3.3.2. Dampak Psikologis
Seperti yang telah disebutkan diatas, berbagai 
kebutuhan manusia harus terpenuhi agar ia dapat hidup 
tenang dan bahagia. Kebutuhan selain kebutuhan fisiologis 
adalah kebutuhan psikologis.Kebutuhan ini seperti rasa kasih 
sayang rasa aman dan penghargaan. Orang akan puas ketika 
ia mendapatkan kasih sayang dan dapat menyangi. Sering 
ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi orang akan merasa 
ketakutan,kekecewaan yang dalam, kecemasan, kemarahan, 
kebencian, tertekan, stress depresi dan kondisi ini sering 
dinyatakan sebagai respon ketidak puasan psikologis. 
3.3.2.1. Perasaaan Takut (Ketakutan)
Takut merupakan ungkapan emosi yang bersifat fitrah 
yang dirasakan oleh manusia pada situasi berbahaya atau dalam 
situasi yang mengancam keselamatan dirinya. Perasaan takut 
itu sendiri dalam diri manusia termasuk emosi yang sangat 
penting dan bermanfaat dalam kehidupan manusia, karena 
emosi tersebut akan mendorong manusia untuk menghindar 
dan menjauhi situasi-situasi yang berbahaya ataupun keadaan 
yang dapat membinasakan.
Edwar More (1988) dalam Utsman Najati (2000) 
menyatakan bahwa dalam beberapa eksperimen mutakhir 
membuktikan bahwa kadar rasa takut seseorang yang masih 
pada batas yang normal dan tidak berlebihan, akan bermanfat 
baginya untuk mendorong melakukan hal-hal yang baik. Namun 
kalau rasa takut itu sudah pada batas yang tidak wajar maka 
hal itu akan berakibat buruk bagi diri seseorang. contohnya 
rasa takut yang masih normal bisa membuat seorang pelajar 
bersiap-siap untuk menghadapi ujian dan serius untuk belajar. 
Sedangkan rasa takut yang berlebihan bisa mengakibatkan 
seseorang pelajar malah tidak berkonsentrasi untuk ujian 
karena rasatakutnya itu, sehingga hasil test yang ia dapatkan 
tidak seperti yang diharapkan.111
Dari pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa rasa 
takut itu merupakan reaksi yang normal bila masih dalam batas￾batas kewajaran, akan tetapi akan menjadi berbahaya bila rasa 
takut tersebut dapat membayakan orang lain karena reaksinya 
berlebihan, misalnya sesorang sering dijarah ketika konflik, 
maka ketika ada tamu yang datang tidak dikenal perasaan takut 
ketika dijarah muncul kembali, sehingga ia bersiap-siap untuk 
menghindar atau menyerang, karena untuk menyelamatkan 
diri, rasa takut inilah dikatakan dampak dari konflik. Dan rasa 
takut ini harus diobati dengan konprehensif dan dipulihkan 
kepada keadaan semula dengan berbagai psikotherapi psiklogis.
Lain hal nya rasa takut yang datang karena pernah 
menjadi korban tsunami, dimana orang-orang akan bereaksi 
yang sama bila terdengar suara sirene peringatan tsunami, 
yaitu berlarian tanpa arah untuk menyelamatkan diri, ini juga 
rasa takut yang tidak wajar. Tetapi rasa takut yang wajar adalah 
bila sesorang merespon bunyi sirene dengan mencari tahu 
dengan jelas itu sirene tsunami atau sirene polisi atau sirene 
kebakaran, karena rasa takutnya tersebut ia akan bertindak 
rasional menghindari bahaya. 
Daniel Goleman menyatakan bahwa salah satu warisan 
evolusi yang berhubungan dengan masalah emosional adalah 
rasa takut yang mendorong kita melindungi keluarga dari 
bahaya; dorongan itulah yang membuat Bobby Crabtree meraih 
pistolnya dan menyelidiki rumahnya untuk menangkap pencuri 
yang difikirnya sedang mengendap-endap dalam rumahnya. 
Rasa takut telah memancing Crabtree melakukan tembakan 
sebelum ia memahami sepenuhnya apa yang ditembaknya, 
bahkan sebelum ia mengenali suara putrinya. 
Menurut ahli biologi evolusioner, reaksi outomatis 
semacam ini telah terekam dalam system saraf manusia karena 
selama priode yang panjang dan penting dalam prasejarah 
manusia, reaksi outomatis dapat menentukan hidup mati 
seseorang.112
3.3.2.2. Perasaan Cemas (Kecemasan)
Kecemasan merupakan salah satu respon dari emosi 
manusia.Chaplin menyatakan kecemasan (anxiety) atau juga 
disebut kegelisahan adalah pertama perasaan campuran yang 
berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa 
mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut; 
kedua rasa takut atau kekhawatiran kronis pada tingkat yang 
ringan; ketiga ketakutan dan kekhawatiran yang kuat dan 
meluap-luap.113 Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat 
dikatakan kecemasan muncul secara tiba-tiba, kadangkala 
pada saat yang tidak tepat.
Contoh pada suatu pagi musim semi dia (Daniel Goleman) 
berkenderaan menyusuri jalan dipegunungan Colorado, ketika 
tiba-tiba hujan salju menutupi pandangan untuk melihat 
kemobil yang lain yang melintasi jalan tersebut walaupun 
sudah menajamkan pandangannya, tetapi tidak berhasil 
melihat apa-apa, karena salju berputar-putar disekeling dan 
tempat itu menjadi medan putih yang membutakan, sehingga 
ia menginjak pedal rem dan pada saat itu rasa cemas terasa 
mengalir dalam darah dan jantungnya berdegub kencang. Rasa 
cemas itu berubah menjadi rasa takut luar biasa, sehingga ia 
berhenti dipinggir jalan, sambil menunggu redanya hujan 
salju. Setengah jam kemudian hujan salju berhenti, dan dia 
pun melanjutkan perjalanannya, tidak begitu jauh ia melihat 
ada mobil ambulan yang sedang menolong orang tabrakan, 
sehingga ia berpikir seandainya tadi dia tidak berhenti maka 
dialah yang akan kecelakaan tersebut. Kecemasan dan rasa 
takut tadi membuat ia selamat dari bahaya.
Kecemasan seperti di ceritakan diatas adalah kecemasan 
yang masih dalam kondisi yang wajar dan positif, karena semua 
orang akan bereaksi sama ketika jalan yang dilalui tertutup 
salju sehingga tidak nampak apa-apa seperti cerita tersebut, 
yang dikatakan cemas sudah mengarah pada dampak traumatic 
adalah cemas yang kadang kala tidak tahu sebab dan juga 
tidak masuk diakal seperti orang cemas kepada sesuatu,tetapi 
responnya sangat berlebihan sehingga mebuat panik dan 
ketakutan luar biasa. Seperti seorang ibu yang pernah trauma 
dirampok dijalan, peristiwa tersebut dia coba hilangkan danditekan dari pikirannya tetapi, pada saat yang lain ketika dia 
mendapati anaknya belum pulang kerumah, maka dia berekasi 
dengan kecemasan luarbiasa, sehingga ia mengerahkan orang￾orang dan menelpon polisi, padahal belum 24 jam, karena 
cemas tadi maka iapun panic sehingga bertingkahlaku tidak 
wajar, kondisi inilah yang dikatakan respons dari salah satu 
trauma.
3.3.3.3. Perasaan Marah (Kemarahan)
Menurut ‘Utsman Najati menyatakan bahwa marah 
itu merupakan emosi yang sifatnya fitrah dan akan muncul 
ketika salah satu motivasi dasar seseorang tidak terpenuhi. 
Jika ada sesuatu yang menghalangi manusia atau binatang 
untuk mendapatkan tujuan tertentu yang ingin diraih demi 
melampiaskan kebutuhannya, maka dia akan marah, berontak 
dan melawan penghalang tersebut, dia juga akan rela berkorban 
untuk mengalahkan dan menyingkirkan penghalang yang ada 
dihadapannya sampai ia berhasil melampiaskan kebutuhan 
dirinya. 
Kadar rasa marah sangat tergantung pada seberapa 
besar motivasi yang dihalangi dan juga pada seberapa penting 
kebutuhan tersebut harus dipenuhi.114
Rasa marah dalam diri manusia itu sangat beragam 
tingkat kekuatannya, karena tergantung kepada seberapa besar 
dan seberapa penting kebutuhan tersebut harus dipenuhi. 
Namun di luar semua itu, ada beberapa factor lain yang 
mempengaruhi kekuatan rasa marah dalam diri seseorang. 
Misalnya tabi’at yang sudah diwarisi semenjak lahir, baik dari 
struktur saraf maupun struktur organ tubuh yang lain, bisa 
juga dipengaruhi oleh pengalaman belajar dimasa lampau.
Daniel Goleman menyatakan bahwa para peneliti 
menemukan lebih banyak detail-detail fisiologis tentang 
bagaimana masing-masing emosi mempersiapkan tubuh untuk 
jenis reaksi yang sangat berbeda seperti bila darah amarah
mengalir ketangan, mudahlah tangan untuk menyambar 
senjata atau menghantam lawan; detak jantung meningkat, dan 
banjir hormon seperti adrenalin membangkitkan gelombang 
energy yang cukup kuat untuk bertindak dahsyat.115
Perasaan marah yang seperti diatas merupakan reaksi 
yang wajar dari suatu reaksi fisiologis, tetapi rasa marah yang 
diakibatkan oleh dendam kesumat akibat emosi yang ditekan 
cukup lama dalam litar limbic, ketika ia mengalami goncangan 
hebat seperti pada masa konflik bersenjata, rasa marah ketika 
melihat orang-orang yang berseragan TNI akan membahayakan 
karena akan merusak saraf. Dan juga dapat merugikan 
warga, karena biasanya marah akibat demdam sering 
tidak bertindak rasional, sehinggasering perbuatan tersebut 
akan disesali.
Pengaruh marah terhadap manusia dapat dilihat dalam 
tiga aspek, yaitu: kepada fisik, pikiran dan kepada prilaku. 
Kepada fisik gejala yang sering ditimbulkan ketika marah dapat 
dilihat secara internal maupun eksternal. Secara internal orang 
yang marah jantung berdebar-debar, lambung mengerut, aliran 
darah mendesak kebahagian dada, sampai akhirnya membuat 
wajah menjadi merah padam. Sedangkan secara eksternal, 
berubahnya roman muka, perubahan suara, dan tegangan 
otot pada organ tubuh. Kepada pikiran pengaruh marah dapat 
dilihat gejala yang muncul adalah kurang dapat berkonsentrasi 
dengan baik, sehingga sering sekali keputusan yang diambil 
pada saat marah akan disesali. 
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Rasulullah 
SAW menyatakan kepada para sahabat beliau, untuk tidak 
memberikan hukuman ketika sedang dalam kondisi marah. 
Pengaruh marah pada perilaku, dapat dilihat oleh semua orang , 
karena orang yang sedang marah perilaku nya menjadi aneh, ada 
yang mondar mandir seperti gosokan, ada yang mengalihkan 
kepada benda-benda, dan ada pula kepada cacian, makian 
atau apa saja yang dapat membuat meluahkan kekesalannya, 
sehingga tanpa ia sadari kadang kala biasanya ia akan menyepak 
atau meninju pada benda yang berada di dekatnya.
3.3.3.4. Perasaan Benci (Kebencian)
Perasaan benci juga salah satu dampak dari li Rasa 
benci merupakan lawan daripada rasa cinta, manusia akan 
mencintai sesuatu yang bermanfaat baginya dan yang bisa 
mebuatnya merasa bahagia atau senang. Namun manusia 
akan membenci sesuatu yang membahayakan dirinya dan yang 
bisa menjerumuskannya kedalam penderitaan. Secara umum 
ada hubungan yang sangat erat atara rasa marah dan rasa 
benci. Sesuatu yang membangkitkan rasa marah juga dapat 
membangkitkan rasa benci. Misal nya kompetisi kerja diantara 
manusia dilatarbelakangi oleh tuntutan hidup, yang kadangkala 
persaingan itu akan menimbulkan rasa benci, permusuhan, 
keinginan untuk saling menyerang.116
Rasa benci akibat konflik dan tsunami sering bersifat 














Dalam sub bagian ini akan dibahas enam aspek yang 
terkait dengan stress dan trauma yaitu: (1) pengertian stress, 
(2) factor-faktor penyebab stress, (3) pengertian trauma, (4) 
jenis-jenis trauma, (5) symptom trauma, (6) remaja.
2.1.1. Pengertian Stres 
Jordan menyatakan bahawa, stres adalah setiap 
perubahan dalam diri baik secara internal maupun eksternal 
yang menimbulkan reaksi dari individu. Ada juga yang 
menyebutkan stres sebagai reaksi tubuh terhadap situasi yang 
menekan, atau mengancam seseorang6
. Chaplin menyatakan 
stres adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik mahpun 
psikologis. Reaksi seseorang dapat berbeda-beda terhadap 
stres, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, 
yaitu: menghadapinya atau lari dari situasi tersebut. Apabila 
ia menghadapinya, maka ada dua kemungkinan yaitu apabila 
berhasil stres akan terlewati dan berakhir. Tetapi bila stres 
itu sendiri terlalu berat, berterusan, atau ia memilih untuk 
menghadapinya namun gagal, maka dapat terjadi gangguan 
fisik, perubahan psikologi (depresi), perubahan sikap yang 
timbul dapat menambah kecemasan, kemudian meningkat 
menjadi stres7
Stres yang muncul dapat berkaitan dengan kurangnya 
rasa keselamatan dalam diri, rasa rendah diri, dll. Misalnya saja 
pada anak-anak korban penjualan anak (trafficking), mereka 
mungkin merasakan kurangnya rasa aman terhadap masa 
depan mereka, atau takut akan terjadi lagi penjualan tersebut 
pada diri mereka. Dalam sebuah sesi kaunseling tentang 
penganiayaan atau trauma tertentu dapat juga timbul stres. 
Maka dari itu seorang kaunselor perlu mengawasi tanda-tanda 
stres dalam diri lawan bicaranya dan merespon secepatnya, 
contohnya berhenti sejenak dan melaksanakan teknik relaksasi.
Stres dapat digolongkan dalam 3 jenis, yaitu: Pertama,
stres yang positif, jenis ini dapat mencetuskan reaksi untuk 
menyesuaikan diri ke arah yang lebih baik dan menyebabkan 
perkembangan yang baik dalam diri. Stres seperti ini diperlukan 
keberadaannya sesekali dalam hidup seseorang agar tidak 
membosankan. Contohnya: akan menghadapi ujian, memulai 
hidup baru dengan perkahwinan. Kedua, stres yang negatif, 
yaitu stres yang menimbulkan kesusahan negatif terhadap 
individu. Tanda-tanda mengalami stres ini adalah perasaan 
tegang, perasaan tidak enak seperti ketakutan, gugup, sedih, 
dan bingung. Contohnya: gagal dalam ujian, bercerai dan 
kesehatan yang buruk. Ketiga, stres akibat trauma, jenis ini 
biasanya disebabkan oleh kejadian atau beberapa seri kejadian 
yang tiba-tiba, tidak disangka, dan fatal, serta tidak biasanya 
dialami oleh manusia. Kejadian ini sifatnya mengancam nyawa, 
sehingga korbannya dapat menjadi syok, hilang kontrol atas 
dirinya dan sering mengurangi kemampuan korbannya untuk 
menyesuaikan diri dan juga mengatasi stres.
Kriteria stres akibat trauma adalah: (1) Biasanya tiba￾tiba dan tidak disangka, (2) Tidak biasa dialami manusia 
(abnormal circumstances), (3) Menyebabkan seseorang merasa 
tidak berdaya, tidak dapat tertolong dan hilang kontrol, dan 
(4) dapat mengancam nyawa. Stres dan trauma ini biasanya 
berdampak negatif kepada: Pertama, pada Fisik gejala-gejala 
stres negatif adalah: (1) Pusing, (2) Sakit kepala, (3) Sulit 
tidur, (4) Sakit perut, (5) Jantung berdebar, ( 6) Tekanan darah 
tinggi, (7) Bernafas dengan cepat. Kedua, pada Kelakuan (apa 
yang ditunjukkan) antara lain: (1) mengkonsumsi alkohol, (2) 
kebanyakan / kurang makan, (3) sering bersikap gugup, (4) 
ceroboh, (5) agresif, (6) tiba-tiba menangis. Ketiga, pada Emosi 
(apa yang kita rasakan) antara lain: (1) cemas, (2) sedih, (3) 
marah, (4) frustasi, (5) takut, (6) gugup, (7) tegang. Keempat, 
pada Kognitif (apa yang kita fikirkan atau yang ada di fikiran) 
antara lain: (1) gangguan konsentrasi, (2) fikiran pesimis, 
(3) kehilangan rasa percaya diri, (4) kesulitan mengambil 
keputusan, (5) banyak bermimpi.
Sondang Irene E Sidabutar membuat suatu bagan untuk 
membedakan stres biasa dengan stres pasca trauma8
. Lihat 
Tabel 1di bawah ini:
Reaksi stres seseorang dapat berbeda terhadap suatu 
kejadian, hal ini berkaitan dengan persepsi yang dimiliki. Persepsi 
adalah cara melihat, memahami dan mengertikan sebuah 
situasi.Chaplin menyatakan ada lima pengertian perception 
(persepsi)yaitu: (1) proses mengetahui atau mengenali objek 
dan kejadian objektif dengan bantuan indera; (2) kesadaran 
dari proses-proses organis; (3) sekelompok penginderaan 
dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman 
dimasa lalui; (4) variable yang menghalangi atau ikut campur 
tangan ,yang berasal dari kemampuan organism untuk 
melakukan pembedaaan di anatara perangsang-perangsang; 
dan (5) kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau 
keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu9
Selanjutnya dalam psikologi kontemporer persepsi 
diartikan sebagai tahap kedua dalam upaya mengamati dunia 
kita, mencakup pemahaman dan mengenali atu mengetahui 
objek-objek serta kejadian-kejadian. Jadi apabila satu kejadian 
yang masuk dalam pengindraan seperti suatu ancaman, maka 
melalui pengalamannya akan membuat persepsi benar salah 
dan ketidaksesuaian persepsi akan berdampak stres dan akan 
membahayakan individu, karena itu orang akan merespon 
terhadap stres dengan berbagai cara yang berbeda. Secara garis 
besar cara mengatasinya (coping) terbagi kepada dua yaitu sadar 
(coping mechanism) dan tidak sadar (defense mechanism). 
Pertama, Secara sadar (coping mechanism), yaitu 
orang yang menghadapi stres dapat memilih strategi tertentu 
untuk mengatasi stresnya itu. Para peneliti membagi strategi 
ini menjadi 3 jenis utama, yaitu: (1) Usaha untuk mengubah 
situasinya, dimana seseorang akan berusaha menyingkirkan 
penyebab stresnya, waktu merancang untuk menyelesaikan 
atau berusaha mendapatkan nasihat atau bantuan dari orang 
lain untuk mengubah situasinya. Orang dengan kemampuan 
untuk menyelesaikan waktu yang baik terbukti mengalami 
stres lebih sedikit dan gangguan kejiwaan yang lebih sedikit; 
(2) Usaha untuk mengubah persepsinya terhadap waktu, 
yaitu seseorang menghadapi stres dengan melihat dari sudut 
pandang lain yang poisitif, hingga dirasa waktunya tidak terlalu 
mengancam; (3) Usaha untuk mengurangkan emosi yang 
dirasakan, yaitu dengan minum obat penenang, bermain muzik 
atau menari untuk melepaskan emosi. 
Kedua, secara tidak sadar (defense mechanism) adalah 
proses mental yang bertujuan untuk melindungi seseorang 
dari merasakan emosi yang tidak menyenangkan. Yang paling 
banyak digunakan adalah penindasan. Penindasan maksudnya 
adalah mekanisme secara tidak sadar untuk menyembunyikan 
atau menekan ingatan atau fikiran yang tidak menyenangkan. 
Mekanisme lain yang dapat digunakan adalah: (1) denial / 
penyangkalan, yaitu bila seseorang menolak untuk menerima
kenyataan, (2) Projection; yaitu bila seseorang melemparkan 
kegagalan dirinya pada orang lain hampir seperti mencari 
kambing hitam, (3) reaction formation (Pembentukan reaksi) 
yaitu ketika seseorang melakukan apa yang tidak diterimanya, 
padahal ia secara sadar menyatakan penolakannya terhadap 
hal tersebut. Misalnya seseorang yang mengatakan seks itu 
kotor dan sangat menolaknya, ternyata ia masih menggunakan 
prostitusi juga. Kenyataannya penolakannya itu menutupi 
kebutuhan yang besar akan hal tersebut, (4) sublimasi, yaitu 
ketika seseorang menukar dorongan seksual atau sikap 
agresifnya menjadi sesuatu yang lebih diterima di warga. 
Misalnya seseorang yang sangat ingin mengalahkan saudaranya, 
menjadikan keinginan itu sebagai dorongan untuk berhasil di 
dimasa depan, (5) rasionalisasi, adalah pembenaran, yaitu bila 
seseorang membenarkan (dengan persepsinya) kasusalahan 
yang dilakukannya. Ini dilakukan untuk mengurangi perasaan 
bersalah atau malu. Misalnya mahasiswa yang mencontek 
saat ujian mengatakan bahwa dengan kelulusannya ia dapat 
membantu ramai orang. 
Anisman et al. memperlihatkan tiga gambar respon 
stres dalam, periode singkat atau berkelanjutan. Stres 
biasanya dikaitkan dengan tingkat peningkatan baik cortisol, 
corticotropin dan releasing factor yang digambarkan dalam 
setiap panel ketebalan interkoneksi panah, akan menunjukkan 
besarnya respon biologis10. Untuk lebih jelas lihat gambar 2.3 
di bawah ini
Stres sering terjadi akibat individu tidak mampu 
mengendalikan suatu peristiwa (stressor) yang sedang 
dialaminya. Ketidak berdayaan inilah yang cendrung membuat 
korban terkena gangguan stress pasca trauma. Pernyataan 
Krystal yang dikutip oleh Goleman dengan memberi 
perumpamaan akan ketidakberdayaan seseorang dalam 
menghadapi suatu peristiwa tragis, seperti diserang dengan 
sebilah pisau, tetapi tidak tahu mengatasinya, atau hanya dapat 
berfikir matilah aku, orang yang tidak berdaya seperti itulah 
mudah terkena Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau 
stres setelah terjadinya suatu tragedi yang menyakitkan yang 
dapat membuat korban sakit secara fisik dan mental11. Harris 
& Harris menyatakan stres ialah satu proses yang mana otak 
serta tubuh bertindak menghadapi tekanan yang datang dariluar12. Wann menyatakan pula sebagai satu respon yang tidak 
emosional dari lingkungan sekitar13. Sementara itu Hackfort & 
Spielberger merujuk stres sebagai proses psikobiologikal yang 
pada umumnya diransangkan oleh situasi dan keadaan yang 
dianggap atau di interpretasikan sebagai suatu yang berbahaya, 
berpotensi untuk mencederakan atau menghampakan.14
Mirkin & Hoffman menjelaskan beberapa gejala stres 
adalah otot-otot menegang serta letih-lesue, pening kepala, 
hilang selera makan, badan cepat letih, sembelit atau diare, 
kegugupan, kemurungan, tidak bisa tenang, daya kerja 
menurun dan lain-lain. Suatu pristiwa atau kejadian (stressor) 
yang dapat dikendalikan (controllability) dan diramalkan 
(predictability) cenderung akan menghindari dari trauma. Akan 
tetapi, sebaliknya, apabila suatu kejadian tersebut tidak dapat 
dikawal dan dijangka, besar kemungkinan menjadi potensi 
ancaman bagi diri. Ancaman tersebut pada akhirnya akan 
melahirkan trauma. 
Atkinson menyatakan bahwa jika suatu peristiwa tidak 
dapat dianggarkan dan tidak dapat dikawal seperti media, 
bising, dan kemungkinan bahaya dipinggir jalan raya, maka 
kita akan merasakannya sebagai sesuatu yang mengancam15. 
American Psychiatric Association dalam Everly et al., menyatakan 
bahawa peristiwa traumatik mungkin timbul apabila seseorang 
individu berhadapan dengan kematian atau ancaman, 
kecederaan serius atau beberapa ancaman lain terhadap integritas fisik seseorang, atau juga terjadi hanya dengan 
menyaksikan peristiwa-peristiwa tersebut kepada orang lain16. 
Untuk membantu orang lain mengatasi stresnya, yang 
terpenting adalah memberikan social support, intinya adalah 
memberi sokongan. Ada dua anggapan mengenai kasus positif 
dari sokongan sosial. Yang pertama yaitu mengurangkan 
dampak berbahaya dari stres yang tinggi, sedangkan yang 
kedua membuat seseorang lebih menghindari untuk tidak 
terkena stres. Misalnya saja pasangan yang saling membantu 
satu sama lain akan menekankan bahwa pasangannya mampu 
menghadapi sebuah tantangan, untuk menjadikannya lebih 
kuat.
Selain daripada itu, Direktorat Pendidikan Lanjutan 
Pertama Depnas mengartikan Stres sebagai reaksi fisikal 
dan emosional terhadap suatu peristiwa psikologis. 
Ketika seseorang mengalami stress, secara biologis terjadi 
perubahan-perubahan hormonal, dan secara emosional sering 
memperlihatkan perasaan takut, marah dan sebagainya. Selain 
itu, stres juga umum diartikan sebagai suatu ketegangan atau 
tekanan yang dialami seseorang, baik pada aspek fisik maupun 
psikis, dalam menghadapi tuntutan atau suatu beban tertentu 
yang datang dari lingkungan atau dari dalam diri individu yang 
nyata maupun yang imajiner. Seseorang yang mengalami stress 
dapat dilihat dari tanda-tanda yang muncul dari 4 aspek, yaitu: 
(1) aspek fisik, (2) aspek kognitif, (3) emosional, dan (4) aspek 
prilakuPertama, aspek fisik. Pada faktor biologis/fisik, 
seseorang yang mengalami stress ditandai dengan mudah 
lelah atau lesu, sering mual, muntah-muntah, gemetaran, 
kejang-kejang, sakit atau pegal-pegal di daerah pundak, susah 
bernapas, sering berdebar atau tekanan darah tinggi, sakit 
pencernaan, penglihatan kabur, kehausan (yang tidak wajar), 
gigi gemeretak, merasa sakit di bagian tubuh tertentu, sering 
buang air kecil, sakit kepala, dan sebagainya.
Kedua, aspek kognitif. Dalam aspek ini dapat ditandai 
dengan salah menuju atau mengenal seseorang, kebingungan, 
kurang perhatian, lambat atau tidak dapat mengambil 
keputusan, kurang atau terlalu siaga, kurang kosentrasi, 
mudah lupa, mudah curiga, kasusulitan mengidentifikasikan 
objek, tidak dapat memecahkan masalah, kurang mampu 
berpikir abstrak, lupa waktu/tempat, sering mimpi buruk dan 
sebagainya.
Ketiga, emosional. Seseorang yang mengalami stress 
mudah mengalami kecemasan, memiliki perasaan bersalah, 
sedih, berduka, memiliki sikap menolak, mudah panik, 
ketakutan, shock, perasaan tidak menentu, kurang mengontrol 
emosi, depresi, melakukan respon yang kurang tepat, perasaan 
yang meluap-luap, sering nampak prihatin, gampang marah, 
gampang menyerang, dan sebagainya.
Keempat, dari aspek prilaku. Orang yang stress nampak 
sering atau mudah melakukan perubahan dalam kegiatan 
(kebiasaan), perobahan pola bicara (seperti gagap atau 
nyerocos), menarik diri mengasingkan diri, memperlihatkan 
ledakan emosional, penuh curiga (menyelidik), perubahan 
dalam pola komunikasi, kehilangan gairah makan atau 
gairah makan berlebihan, mengkonsumsi narkoba, merokok berlebihan, tidak dapat beristirahat, melakukan kegiatan 
anti social, mengalami keluhan fisik yang tidak jelas, sangat 
sensitive terhadap lingkungan, mondar mandir (melakukan 
gerakan yang tidak menentu), mengalami perubahan fungsi 
seksual, dan sebagainya.
2.1.2. Pengertian Trauma
Shapiro menyatakan trauma merupakan pengalaman 
hidup yang mengganggu kasuseimbangan biokimia dari sistem 
informasi pengolohan psikologi otak. Kasuseimbangan ini 
menghalang pemprosesan informasi untuk meneruskan proses 
tersebut dalam mencapai suatu adaptif, sehingga persepsi, 
emosi, keyakinan dan makna yang diperoleh dari pengalaman 
tersebut “terkunci” dalam sistem saraf18. Jarnawi menyatakan 
bahawa trauma merupakan gangguan psikologi yang sangat 
berbahaya dan mampu merosakkan kasuseimbangan kehidupan 
manusia.Cavanagh dalam Mental Health Channel menyatakan 
tentang pengertian trauma adalah suatu peristiwa yang luar 
biasa yang menimbulkan luka dan perasaan sakit, tetapi juga 
sering diertikan sebagai suatu luka atau perasaan sakit berat 
akibat sesuatu kejadian luar biasa yang menimpa seseorang 
langsung atau tidak langsung baik luka fisik maupun luka psikis 
atau kombinasi kedua-duanya. Berat ringannya suatu peristiwa 
akan dirasakan berbeda oleh setiap orang, sehingga pengaruh 
dari peristiwa tersebut terhadap perilaku juga berbeda 
antara seseorang dengan orang lain. American Psychiatric 
Association (APA) dalam Diagnostic and Statistical Manual of 
Mental Disorder (DSM.IV-TR), menyatakan ledakan trauma 
merangkumi salah satu atau dua daripada berikut, yaitu: (1) seseorang yang mengalami, menyaksikan atau berhadapan 
dengan kejadian ngeri yang menyebabkan kematian, kecederaan 
serius atau mengancam fisik diri atau orang lain, (2) respon 
individu terhadap ketakutan, rasa tidak ada harapan, horror 
(kanak-kanak mungkin mengalami kecelaruan tingkahlaku). 
Begitu juga hal nya dengan gejala trauma. Cavanagh, 
dalam Mental Health Channel, mendefinisikan trauma adalah 
suatu peristiwa yang luar biasa, yang menimbulkan luka atau 
perasaan sakit: namun juga sering diartikan sebagai suatu luka 
atau perasaan sakit “berat” akibat suatu kejadian “luar bisa” yang 
menimpa sesorang, secara langsung maupun tidak langsung, 
baik luka fisik maupun psikis atau kombinasi dari keduanya. 
Berat ringannya suatu peristiwa akan dirasakan berbeda oleh 
setiap orang, sehingga pengaruh dari peristiwa itu terhadap 
perilaku juga berbeda atara seorang dengan yang lainnya.19
Trauma bisa saja melanda siapa saja yang mengalami 
suatu peristiwa yang luar biasa seperti perang, terjadi perkosaan, 
kematian akibat kekerasan pada orang-orang tercinta, dan juga 
bencana alam seperti gempa dan tsunami. Gangguan pasca 
trauma bisa dialami segera setelah peristiwa traumatis terjadi, 
bisa juga dialami secara tertunda sampai beberapa tahun 
sesudahnya. Korban biasanya mengeluh tegang, insomnia 
(sulit tidur), sulit berkonsentrasi dan ia merasa ada yang 
mengatur hidupnya, bahkan yang bersangkutan kehilangan 
makna hidupnya. Lebih parah lagi, orang yang mengalami 
gangguan pasca traumatic berada pada keadaan stress yang 
berkepanjangan, yang dapat berakibat munculnya gangguan 
otak, berkurangnya kemapuan intelektual, gamgguan emosional, maupun gangguan kemampuan social. Selanjutnya 
Cavanagh membagi trauma ke dalam empat tipe yaitu: (1) 
trauma situasional, (2) trauma perkembangan, (3) trauma 
intrapsikis, dan (4) trauma eksistensial. Yang keempat tipe ini 
berbeda dari sisi kejadian dan juga dari sisi tingkat traumanya.
Pertama, trauma situasional sering terjadi akibat 
bencana alam, kecelakaan kenderaan, kebakaran, perampokan, 
perkosaan perceraian, kehilangan pekerjaan, ditinggal mati 
oleh orang yang dicintai, kegagalan dalam bisnis, tidak naik 
kelas bagi beberapa siswa, dan sebagainya. Kedua, trauma 
perkembangan sering terjadi pada setiap tahap perkembangan, 
seperti penolakan teman sebaya, kelahiran yang tidak 
dikehendaki, peristiwa yang berhubungan dengan kencan, 
berkeluarga dan sebagainya. Ketiga, trauma intrapsikis, 
trauma ini sering terjadi akibat kejadian internal seseorang 
yang memenculkan perasaan cemas yang sangat kuat, seperti 
munculnya homo seksual, munculnya perasaan benci pada 
seseorang yang seharusnya dicintai, dan sebagainya. Keempat, 
trauma eksistensional, trauma ini sering terjadi akibat 
munculnya kekurang berartian dalam kehidupan.
Webb menyatakan bahawa: (1) trauma dinyatakan 
sebagai kesakitan yang dialami oleh seseorang yang dapat 
memberi karusakan kepada fisik dan psikologi sehingga 
membawa kesusahan kepada kehidupan seperti menurunnya 
tingkat produktifitas dan aktivitas keseharian, (2) trauma 
terjadi karena peristiwa pahit pada fisik dan mental yang 
menyebabkan kerusakan serta merta kepada tubuh atau kejutan 
pada otak, (3) trauma terjadi karena terdapat kebimbangan yang 
melampau atau kebimbangan yang traumatik oleh kerusakan 
fisik dan psikis yang dapat menyebabkan gangguan emosi 
yang dicetuskan oleh peristiwa pahit yang akut, (4) trauma adalah peningkatan gejala tekanan (stress) yang menyebabkan 
gangguan emosi kepada kanak-kanak atau pelajar sekolah, 
sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku, emosi dan 
pemikiran, (5) trauma juga dikatakan sebagai kecederaan tubuh 
yang disebabkan oleh tegangan fisik dari luar seperti tembakan, 
kebakaran, kemalangan, tikaman senjata tajam, luka akibat 
berkelahi, diperkosa, kelalaian teknologi dan sebagainya.20
Sementara itu seorang psikiater di Jakarta, Roan 
menyatakan trauma berarti cidera, kerusakan jaringan, luka 
atau shock. Sedangkan trauma psikis dalam psikologi diartikan 
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa 
dilingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya 
untuk bertahan, mengatasi atau menghindar.21 Everly &Lating 
menyatakan bahwa trauma adalah peristiwa-peristiwa di 
luar kebiasaan pengalaman manusia pada umumnya, yang 
terlihat sangat nyata dan jelas dan menyedihkan, sehingga 
menimbulkan reaksi ketakutan yang hebat, ketidak berdayaan, 
seram dan lain-lain. Ketegangan trauma biasanya seperti 
ancaman intergritas fisik yang dirasa seseorang dari seseorang 
yang sangat dekat. Pasca peristiwa traumatik, kejutan-kejutan 
yang keras akan menyebabkan terjadinya tekanan traumatik, 
dan mekanisme tekanan ini akan menguasai individu sehingga 
merasakan sesuatu tanpa pengharapan.22
Menurut MSF- Holland mengartikan trauma adalah 
suatu peristiwa yang bersifat mengejutkan dan tidak disangka, 
situasi yang tidak biasa (diluar keseharian), menimbulkan rasa tidak berdaya, mengancam kehidupan, baik secara 
fisik mahupun emosional.23 Sedangkan peristiwa traumatis 
menurut Vikram adalah suatu peristiwa yang menyebabkan 
ketakutan dalam kehidupan seseorang dan menimbulkan 
stress yang negatif.24 Yule memaknai peristiwa traumatik 
sebagai “.... an event that is outside the range of usual human 
experience and that would be markedly distressing to almost 
anyone, ...”. Selanjutnya Yule dan Hughes menjelaskan bahwa 
peristiwa yang dapat mencetuskan terjadinya trauma adalah 
ancaman serius terhadap kehidupan seseorang atau ancaman 
terhadap fisiknya. Ancaman tersebut terjadi secara alamiah 
atau karena ulah manusia seperti kecelakaan kapal terbang, 
tabrakan kereta api, kerusuhan dalam suatu pertandingan olah 
raga, atau peristiwa yang mengancam keselamatan anak-anak, 
isteri, suami, maupun kerabat dekat, pemusnahan secara tiba￾tiba terhadap rumah, atau melihat orang lain yang menjadi 
korban, atau bisa juga melihat terbunuhnya seseorang akibat 
suatu peristiwa, atau kekerasan. 25
Rohmad Sarman menyatakan bahwa trauma berasal 
dari kata Greek yaitu “tramatos” yang berarti luka dari sumber 
luar. Tetapi kata trauma dapat juga luka dari sumber dalaman 
yaitu luka emosi, rohani dan fisik yang disebabkan oleh 
keadaan yang mengancam diri seseorang. Gejala akibat trauma 
sangat beragam dan mengelirukan. Trauma menimbulkan 
kepedihan dan penderitaan yang dapat berpanjangan. Jika 
orang mengalami trauma karena faktor luaran, maka analisis 
dan diagnosis proses penyembuhannya relatif lebih mudahdan cepat. Seperti contoh luka bakar, kepedihan dan sakitnya 
relatif mudah dirawat. Sekalipun luka itu yang kemudian 
akan berdampak pada dalaman diri orang yang terbakar, ada 
perasaan ketakutan yang menghantui ketika melihat api. Untuk 
lebih jelas lihat beberapa kasus di bawah ini: 
Pertama, Rizal adalah seorang pemuda berusia 22 
tahun yang tinggal di suatu daerah konflik perkauman. Dalam 
suatu pertengkaran 5 tahun yang lalu, Rizal melihat ayah 
dan kakak lelaki tertuanya dibunuh dengan cara dipenggal 
kepalanya, kemudian dipertontonkan di pasar. Pada waktu 
peristiwa tersebut terjadi ia bersembunyi ketika rumah mereka 
diserbu. Sejak itu, Rizal selalu dihantui mimpi buruk tentang 
kematian ayah dan kakaknya, setiap kali melewati pasar 
tersebut, ia selalu merasa ketakutan dan berkeringat dingin 
mengingati ditempat itulah dulu kepala ayah dan kakaknya 
dipertontonkan. Akibatnya Rizal selalu mengelak pasar dan 
berbagai pusat keramaian lain yang dapat mengingatkannya 
kembali akan peristiwa tersebut. 
Kedua, Vienna adalah seorang wanita berusia 25 tahun. 
Datang kepada psikolog karena ingin membunuh diri. Saat 
berusia 10 tahun, ia mengalami peristiwa perkosaan yang 
dilakukan oleh kakak kandungnya. Itu adalah rahasia yang 
disimpannya sendiri selama bertahun-tahun. Setelah peristiwa 
itu terjadi, ia melarikan diri dari rumahnya dan tinggal 
dengan neneknya, dengan harapan dapat melupakan peristiwa 
tersebut. Akan tetapi semua itu tidak dapat ia lupakan, Vienna 
tidak pernah berhenti merasa kotor dan berdosa, sehingga 
perlu dibersihkan. Karena itu, setiap harinya ia mandi berkali￾kali dan menutup diri dari pergaulan dengan dunia luar. Setiap 
kali ada laki-laki yang datang bertamu kerumah neneknya 
(keluarga dan kerabat yang lain) akan membuatnya histeris dan  menangis semalaman. 
Ketiga, pada tahun 2004, Doddy mengalami luka parah 
akibat letusan bom yang menyebabkan dia kehilangan mata 
kirinya dan perlu menggunakan bola mata palsu. Sejak saat 
itu, ianya selalu merasa ketakutan setiap kali mendengar suara 
keras dan mudah merasa terkejut. Hal-hal kecil yang tidak 
disukainya dapat membuatnya marah dengan merentak rentak. 
Ia tidak dapat tidur pada malam hari karena sering bermimpi 
buruk. Bila sedang sendiri, ia sering merasa mengalami kilas 
balik peristiwa letusan yang dialaminya tersebut. Pada suatu 
hari, ia ketakutan dan histeris, karena mencium bau masakan 
isterinya yang hangus. Ia merasa teringat kembali dengan 
tubuh-tubuh korban bom yang hangus terbakar, akhirnya ia 
mendatangi psikolog. Ketiga kasus tersebut, merupakan contoh 
trauma yang dialami korban, setelah peristiwa traumatik itu 
terjadi, dalam waktu yang lama mereka masih mengingat dan 
merasakan peristiwa tersebut se akan-akan kejadian itu baru 
saja mereka alami dalam kehidupannya. Bila hal ini terjadi 
berkepanjangan, maka secara fisik dan mental akan merubah 
perilaku seseorang, oleh karena itu harus ada penanganan yang 
serius dan berterusan dalam rangka pemulihan trauma.
Brewin et al. menyatakan faktor-faktor yang berisiko 
untuk mengalami PTSD adalah hidup dalam peristiwa trauma 
dan bahaya, mempunyai sejarah sakit mental, mendapat 
cedera, melihat orang cedera atau terbunuh, perasaan seram, 
tidak berdaya, atau ketakutan yang melampau, tidak mendapat 
dukungan sosial setelah peristiwa tersebut, berurusan 
dengan tekanan tambahan setelah peristiwa itu, seperti 
kesakitan kehilangan orang yang dikasihi, dan kecederaan, 
atau kehilangan kerja atau rumah.26 Gurvits, et al. menyatakan 
faktor alam sekitar, seperti trauma kanak-kanak, kecederaan 
kepala, atau sejarah penyakit mental, dapat meningkatkan 
lagi risiko pada seseorang yang mempengaruhi pertumbuhan 
otak awal.27 Sementara itu, Charney menyatakan faktor yang 
dapat mengurangkan resiko PTSD adalah: Mencari dukungan 
daripada orang lain, seperti rekan-rekan dan keluarga, mencari 
group yang mendukung setelah peristiwa traumatik, perasaan 
yang baik mengenai tindakan sendiri dalam menghadapi 
bahaya, mempunyai strategi menghadapi keadaan yang 
buruk, atau mendapatkan pembelajaran dari padanya, karena 
sebagian mampu untuk bertindak dan merespon setiap kasus 
walaupun perasaan takut.28 Everly berpendapat bahawa untuk 
benar-benar memahami sifat trauma psikologi dan PTSD, 
seseorang perlu mengkaji wujud dua faktor pilihan psikologi 
dan fenomena biologi.29
Flannery menyatakan tiga fungsi domain manusia 
yang menyumbang kepada kesehatan baik fisik dan mental: 
penguasaan yang baik, menyanyangi orang lain, menentukan 
tujuan hidup yang bermakna dan penguasaan lingkungan yang 
baik dengan merujuk kepada keupayaan untuk membentuk 
dan memenuhi kebutuhan seseorang.30 Beberapa pakar 
menyatakan bahwa trauma psikologis mengacu pada dampak 
dari stressor ekstrem dan insiden kritis pada fungsi biologis 
dan psikologis individu. Proses dan akibatnya menjadi subyek 
yang memiliki pengawasan ekstensif selama lima tahun 
terakhir. (American Psychiatric Association, 1994; Beall, 1997; 
Daniel, 1998; Dean, 1997; Everly & Lating, 1995; Flannery, 
1994, 1998; Pynoos, 1994; Roth & Friedman, 1998; Sommer & 
Williams, 1994; Tomb, 1994b; Vander Kolk et al, 1996; Wilson 
& Raphael, 1993; Yehuda, 1998).
Spencer Eth, seorang psikiater anak yang mengambil 
pakar PTSD anak, (dalam Goleman) menyatakan bahwa, 
trauma itu adalah masuknya ingatan tentang keganasan yang 
menjadi focus utama, berupa pukulan, tusukan sebilah pisau, 
tembakan senjata. Ingatan merupakan pengalaman persepsi 
yang hebat terhadap penampakan. Sehingga korban yang 
kadang diam, tiba-tiba histeria bila mendengar bunyi, atau bau 
mesiu, jeritan, muncratnya darah, mahupun terdengar sirene 
polisi. Selain itu juga, gangguan psikologi akibat kejadian 
traumatik, pada dasarnya timbul karena terlalu mudahnya 
amigdala tergugah (stelan amigdala yang terlalu rendah).31 
Chaplin menjelaskan bahwa amigdala merupakan 
suatu zat abu-abu yang terdapat dalam otak besar, fungsinya 
berasosiasi dengan pengawal terhadap tingkah laku agresif.32
Selanjutnya Goleman menyebutkan bahwa penderita trauma 
mengalami perubahan litar limbic yang terpusat pada amigdala, 
mempunyai lokus seruleus yang di dalamnya terdapat 
katekolamin yang mengandungi dua jenis bahan kimia yaitu: 
adrenalin dan noradrenalina. Dua zat kimia ini berfungsi sebagai 
mobilisasi tubuh untuk menghadapi keadaan kecemasan 
(bertempur atau lari). Jadi pada pesakit trauma, sistem 
pada amigdala sangat aktif sehingga membuat katekolamin 
melepaskan bahan kimia otak dengan dosis yang berlebihan 
untuk memberi respons situasi-situasi yang terkadang tidak 
kecemasan atau tidak mengancam.33
Dalam NN Fisiologi Kodokteran yang dikutip Jarnawi 
menyatakan bahwa apabila amigdala di hapuskan maka 
manusia akan fasif atau terlalu berani. Percobaan ini pernah 
dilakukan pada seekor monyet. Pada dasarnya monyet sangat 
takut pada ular, akan tetapi ketika amigdalanya di rusak, 
monyet tidak takut lagi pada ular, malah menghampiri dan 
memegang ular tersebut, bahkan ia memakannya.34 Jadi dapat 
dikatakan bahwa amigdala juga berfungsi sebagai pemberi 
isyarat rasa takut. Atau amigdala berperanan sebagai pemberi 
isyarat tanda bahaya yang membuat manusia mengeluarkan 
respon pertahanan dirinya melalui mengelak atau melawan. 
Apabila amigdala terlalu cepat tergugah, maka manusia menjadi 
terlalu waspada, penakut atau sangat agresif. Sebaliknya 
apabila amigdala terlalu lambat memberikan isyarat, manusia 
akan tidak waspada, atau terlalu berani, yang pada akhirnya 
membawa kasus buruk yang dapat mencelakakannya. 
Individu dalam keadaan normal mempunyai reaksi 
amigdala yang stabil (tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu 
lambat), berbeda dengan halnya individu yang telah mengalami 
trauma akibat peristiwa yang sangat mengguncang dan 
menyakitkan, maka respon amigdala terlalu cepat tergugah dan 
memberikan isyarat tanda bahaya berlebihan. Sehingga dengan  kasus yang kecil saja akan dipersepsikan sebagai sesuatu yang 
mengancam. Sebagai contoh kasus seorang tentera Amerika 
veteran perang Vitnam, yang dikisahkan bahwa walaupun 
perang telah lama berakhir, setiap saat bayangan pahit yang 
terjadi dalam peperangan terus menghantuinya, maka ia sering 
mengalami “flash back” oleh suatu perisitiwa yang mirip pada 
waktu perang. 
Contohnya ketika ada seseorang yang membanting 
pintu yang sedikit keras, langsung saja ia merunduk dengan 
penuh ketakutan, dan tubuhnya langsung mengeluarkan 
keringat dingin. Disini amigdalanya terlalu cepat tergugah oleh 
suatu momen yang mirip, sehingga suara dentuman pintu ia 
mentafsirkan sebagai suara letusan bom pada saat perang, 
sehingga ia memberikan respon menunduk sambil ketakutan 
dan keluar keringat dingin, karena ia merasakan seolah￾olah letusan bom itu mengenainya. Kasus ini sangat berbeda 
dengan individu yang normal, ia akan memberi respon suara 
bantingan keras pintu dengan persepsi yang berbeda, yaitu ia 
akan bertanya suara apa itu, kemudian suara itu akan dicerna 
melalui fikiran dan akan meresponnya dengan melihat untuk 
memberi jawapan. Jadi bila di amati respon seseorang dalam 
menanggapi sesuatu peristiwa atau kejadian terlebih dahulu 
melalui beberapa tahapan proses. 
Sredling & Scott menyatakan ada lima ladders (tahapan) 
proses yang terjadi pada individu yang normal, yaitu: bermula 
dari suatu peristiwa yang ditangkap oleh pancaindera, 
kemudian masuk ke thalamus (saraf mesej) yang menghantar 
informasi secara bersamaan ke amygdala dan hippocampus, 
yaitu: bahagian Cortex otak yang bertanggung jawab dalam 
penempatan peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan memberi 
jarak serta perbandingan mengenai peristiwa yang disimpan. 
Individu yang mengalami gangguan stress pasca trauma 
akan menunjukkan penurunan pada polume hippocampal
yang terdapat dalam hippocampus. Fungsinya akan melemah 
meskipun tidak kekal. Kemudian hippocampus memberikan 
penafsiran terhadap suatu peristiwa dan memberikan 
informasi yang betul pada amygdala, lalu memberikan respons 
perlu tidaknya isyarat bahaya dihidupkan, akhirnya terjadilah 
respons emosional atau perilaku untuk menangapi suatu 
peristiwa atau kejadian tertentu.35 Untuk lebih jelas lihat skema 
di bawah ini:
Sedangkan pada individu yang normal skema tahapan 
proses sampai terjadinya reaksi adalah sebagai berikut:  

Suatu kejadian yang tertangkap melalui indera 
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan sentuhan 
yang masuk ke dalam thalamus, yang berfungsi sebagai 
pemancar lalu dengan pantas dan bersamaan menghantarnya 
ke amygdala dan hippocampus. Di dalam hippocampus informasi 
diproses secara perlahan, dan kemudian membuat tafsiran 
yang benar tentang apa yang terjadi, lalu di hantar ke amygdala, 
dan kemudian direspon sesuai dengan informasi yang dihantar 
oleh hippocampus. Bila informasi tersebut mengandungi 
unsur-unsur berbahaya, maka amygdala akan mengeluarkan 
“penggerak tanda bahaya” berupa adrenalin dan noradrenalina, 
dan jika informasi itu tidak berbahaya, maka amygdala secara 
automatik memadamkan penggerak tanda bahaya dan akhirnya 
terjadilah respons berupa menghindar atau melawan. 
Pada individu yang mengalami trauma, fungsi 
hippocampus telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat 
memproses informasi secara tepat, maka informasi yang 
diberikan kepada amygdala juga akan salah, dan amygdala 
juga akan merespon secara salah dengan menghidupkan 
penggerak bahaya yang berupa adrenalin dan noradrenalin 
dalam dosis yang berlebihan, untuk menyahut satu perkara 
yang tidak begitu mengancam, karena itu seseorang yang
sudah mengalami peristiwa traumatik, ia akan bertindak balas 
dengan tidak wajar, dalam menyikapi suatu kejadian, seperti 
yang terjadi pada korban kekerasan di Bosnia, Nazi German, 
veteran perang Vitnam, dan lain-lain.
2.1.2.1. Jenis-Jenis Trauma
Vikram menyatakan ada beberapa jenis trauma yang 
dikenali, yaitu: (1) trauma personal (korban perkosaan,