• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label petani 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label petani 2. Tampilkan semua postingan

petani 2

panen.
Untuk memperoleh produksi yang baik, tanaman perkebunan, tanaman buah￾buahan dan tanaman kehutanan tertentu seperti Jati super, memerlukan
perawatan yang intensif. Perawatan tersebut terdiri atas pemupukan,
pengairan (drainase dan irigasi), pengendalian gulma, pengendalian hama
dan penyakit, dan perawatan tanaman penutup tanah. Beberapa tanaman
seperti Kopi dan Cacao juga memerlukan pemangkasan tanaman dan
perawatan tanaman pelindung.
Pemupukan
Pemupukan susulan dilakukan 2 kali setahun dengan cara dibenamkan dalam
piringan selebar tajuk tanaman atau dalam parit kecil mengelilingi piringan
tanaman. Setelah pupuk dimasukkan, parit/piringan (Gambar 28) ditutup
tanah dan dipadatkan. Bersamaan dengan pemupukan dilakukan pula
pembersihan gulma dan pendangiran (pembumbunan) pada piringan. Dosis
pemupukan bervariasi tergantung jenis tanaman, umur, dan kesuburan tanah.
menyajikan contoh dosis pupuk beberapa jenis tanaman. Bila
ada gejala kekurangan unsur hara makro atau mikro (, pupuk

yang mengandung unsur
tersebut perlu ditambahkan. Di
lahan gambut, tanaman sering
menunjukkan gejala
kekurangan unsur Cu dan Zn.
Departemen Pertanian
merekomendasikan
penambahan pupuk mikro Bo￾ron (Bo) sebanyak 25 - 50 gram/
pohon/tahun pada tanaman
kelapa sawit sejak tanaman
berumur 3 tahun.
Pengaturan Air
Pemeliharaan selanjutnya adalah dengan memperhatikan kelembaban tanah,
jangan sampai kekeringan dan kelebihan air. Kelebihan air memicu 
akar tanaman akan busuk dan mengundang banyak penyakit. Sedangkan
kekeringan memicu  pertumbuhan tanaman akan terhambat karena
akar tidak dapat menyerap zat makanan yang akan mengakibatkan produksi
tanaman berkurang. Toleransi kedalaman air untuk beberapa jenis tanaman
dapat dilihat pada Bab 5.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit yang menyerang tanaman tahunan di lahan gambut
cukup banyak karena masing-masing jenis tanaman memiliki musuh yang
berbeda sehingga tidak mungkin dibahas satu persatu. Sub Bab ini hanya
akan memberikan panduan bagaimana caranya mencegah dan
menanggulangi serangan hama dan penyakit yang secara umum menyerang
tanaman tahunan di lahan gambut. Langkah-langkah yang perlu dilakukan
adalah:
1) Jaga kebersihan lingkungan. Buah-buah yang rontok karena serangan
hama dan penyakit harus segera dibersihkan dan dibakar;2) Gunakan varietas yang tahan atau toleran terhadap hama dan penyakit
penting. Gunakan jenis tanaman dan varietas yang telah teruji dan
dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar;
3) Bila ada gejala kekurangan unsur hara, segera dipupuk;
4) Pemangkasan tanaman (Kopi, Coklat) perlu dilakukan secara disiplin
sehingga udara di pertanaman tidak terlalu lembab di musim hujan;
5) Buah berkulit lunak seperti Belimbing danJambu perlu dibungkus dengan
kertas semen sejak 2 minggu sesudah penyerbukan untuk menghindari
serangan lalat;
6) Tanaman yang sudah terserang penyakit menular dan sulit diobati
sebaiknya segera dicabut, dibongkar dan dibakar hingga ke akar￾akarnya. Pencegahan penularan penyakit terhadap tanaman lain yang
masih sehat dapat dilakukan dengan segera menyemprotkan fungisida.
Contoh penyakit seperti ini antara lain CVPD pada Jeruk, penyakit akar
hitam dan akar coklat pada Kopi, penyakit busuk pangkal batang dan
penyakit busuk kering pangkal batang pada Kelapa sawit, penyakit
cendawan akar coklat pada tanaman Cacao, serta penyakit akar putih
dan penyakit akar merah pada karet;
7) Bagian tanaman yang terserang penyakit tidak berbahaya segera
dipangkas, dan tanaman disemprot dengan fungisida;
8) Hama yang menyerang dalam jumlah sedikit, dipungut/dicabut dengan
tangan bila memungkinkan. Bila serangannya banyak dan merugikan,
baru disemprot dengan insektisida;
9) pemakaian  musuh alami seperti Kumbang Curinus coerulues dan Olla
abdominalis untuk mengendalikan kutu loncat pada Kopi serta pestisida
alami seperti akar tuba sangat dianjurkan sebelum pestisida kimia
digunakan;
10) pemakaian  pestisida harus dihentikan minimal 1 minggu sebelum
panen komoditas yang dikonsumsi manusia atau hewan.
 Panen dan Pasca panen
Tanaman tahunan menghasilkan produksi atau komoditas dalam bentuk
yang beraneka macam. Tanaman buah-buahan sesuai dengan namanya
diambil produksinya dalam bentuk buah segar. Tanaman kehutanan biasanya
dipanen kayunya setelah umur tertentu. Tanaman perkebunan diambil buah,
getah, atau bijinya.
Tanaman Buah-Buahan
Kebanyak tanaman buah-buahan sudah mulai bisa dipanen setelah umur 3
– 5 tahun setelah tanam. Buah yang tangkainya kecil dapat dipanen dengan
cara dipetik menggunakan tangan. Sedangkan yang tangkainya besar dan
keras atau liat seperti Pisang dan Nangka dipetik dengan menggunakan
pisau. Buah yang tumbuh di pucuk-pucuk pohon sehingga sulit dijangkau
biasanya dipanen dengan menggunakan galah yang ujungnya diberi jaring
bambu.
Buah hasil panen ada yang langsung bisa dimakan ada juga yang harus
dilakukan pemeraman beberapa hari. Buah yang bisa langsung dimakan
antara lain Belimbing, Jambu dan Rambutan. Buah yang memerlukan
pemeraman antara lain Sawo, Mangga dan Pisang.
Untuk menjaga kualitas buah, pemanenan harus dilakukan dengan hati￾hati, jangan sampai jatuh ke tanah karena bisa mengakibatkan buah busuk.
Pengambilan buah dari pohon juga dilakukan jangan terlampau masak karena
akan mengundang lalat buah atau binatang pemakan buah. Untuk keperluan
pemasaran, sebaiknya buah yang sudah dipanen dikemas dalam bentuk
yang menarik dan disimpan pada tempat yang baik (tidak kering dan tidak
basah) agar tidak cepat busuk
Tanaman Perkebunan
Cara panen tanaman perkebunan tergantung dari bentuk produksinya. Berikut
adalah uraian mengenai umur dan cara panen beberapa jenis tanaman
perkebunan.
Kelapa Sawit
Kelapa sawit siap dipanen umumnya setelah berumur 3 - 3,5 tahun setelah
tanam. Bagian yang dipanen adalah tandan buah. Tanda-tanda buah telah
matang adalah warnanya berubah dari hijau menjadi hitam mengkilap,
biasanya setelah berumur 6 bulan setelah penyerbukan. Panen dilakukan
dengan cara memotong tangkai buah. Alat yang digunakan untuk memotong
adalah dodos (jika tanaman masih pendek), kampak (jika tanaman setinggi
5 - 10 m), dan egrek (jika tanaman lebih dari 10 m). Buah yang sudah
dipanen dikumpulkan dan harus segera dijual agar cepat diolah oleh pabrik.
Pengolahan sesudah dua hari akan memicu  rendemen turun.
Karet
Tanaman Karet berumur 5 - 6 tahun biasanya sudah siap dipanen atau matang
sadap. Tanda-tanda tanaman matang sadap adalah memiliki  lingkar
batang 45 cm pada ketinggian 1 m di atas sambungan/okulasi. Peralatan
yang digunakan untuk menyadap antara lain pisau sadap, talang lateks,
mangkuk atau cawan, cincin mangkuk, tali cincin dan sigmat atau alat
pengukur tebalnya kulit. Penyadapan dilakukan pada pukul 05.00 - 06.00
pagi. Hasilnya dikumpulkan jam 08.00 - 10.00 pagi. Setiap tanaman disadap
2 - 3 hari sekali dengan cara sebagai berikut (Tim Penulis PS, 1999):
a) Pembuatan mal bidang sadap. Bidang sadap pertama pada ketinggian
90 - 100 cm di atas permukaan tanah (untuk tanaman dari biji) dan 130
cm (untuk tanaman dari okulasi). Bidang sadap kedua pada ketinggian
260 cm dari atas permukaan tanah. Bidang sadapan berbentuk spiral
dari atas (bagian kiri) ke bawah (bagian kanan) membentuk sudut 30-
450
;b) Pengirisan kulit bidang sadap dilakukan setebal 1,5 - 2 m dengan
kedalaman 1 - 1,5 cm dari kambium. Pengirisan pada bidang sadap
atas dan bidang sadap bawah, dilakukan secara berseling;
c) Getah/lateks yang keluar dialirkan melalui talang dan ditampung dalam
mangkuk.
Lateks yang terkumpul kemudian disaring dan diencerkan dengan air sehingga
kadanya menjadi 15 - 20%. Setelah disaring lagi, lateks kemudian dibekukan
dengan penambahan zat koagulan selama 3 - 4 jam. Lateks yang sudah
membeku selajutnya digiling, lalu direndam dan dicuci. Hasilnya dikeringkan
dengan cara digantung di rumah pengasapan atau di ruang pengeringan.
Cokelat
Cacao/Cokelat mulai dipanen setelah umur 2 - 2,5 tahun dengan puncak
produksi pada umur 7 tahun. Buah yang telah matang dan siap dipanen
adalah yang sudah matang dengan tanda-tanda: warna alur kulit buahnya
telah berubah 50% dari hijau/merah menjadi kuning, bila dikocok akan
berbunyi karena adanya rongga, dan bijinya sudah lepas-lepas. Buah dipetik
dengan memotong tangkainya menggunakan sabit atau pisau yang tajam.
Kulit buah lalu dipecah dengan kayu dan isinya dikeluarkan. Biji lalu diperam
selama 4 hari dalam empat kotak yang berbeda. Pemeraman di kotak
pertama selama 12 - 16 jam, lalu dipindah ke kotak kedua selama 24 jam,
kemudian ke kotak ketiga selama 24 jam, dan di kotak ke empat 24 jam.
Setelah diperam, biji lalu dicuci dan dikeringkan dengan cara dijemur selama
6 hari. Setelah kering, cacao bisa dipasarkan.
Kopi
Panen Kopi biasanya pada umur 2,5 - 3 tahun setelah tanam. Buah dipetik
satu persatu secara bertahap dengan menggunakan tangan. Hanya buah
matang yang boleh dipetik. Buah matang memiliki tanda-tanda kulitnya
berubah warna menjadi merah. Kopi biasanya diperdagangkan dalam bentuk
Kopi beras yaitu buah Kopi yang telah terlepas dari daging buah dan kulit
arinya. Pengolahan buah Kopi bisa dilakukan dengan cara basah atau kering.
Pengolahan secara basah dilakukan melalui tujuh tahap. Sesudah dipanen,
buah disortasi atau dipilah-pilah sesuai kualitasnya. Kemudian dikupas
kulit buahnya dengan menggunakan mesin vispulper. Lapisan lendir dibuang
dengan cara fermentasi selama 36 - 40 jam, lalu dicuci dan dikeringkan.
Pengolahan secara kering relatif lebih sederhana tetapi kualitas hasilnya
lebih rendah. Caranya dengan melakukan sortasi, kemudian menjemur
kopi selama 2 - 3 minggu. Setelah kering, Kopi dikupas kulitnya dengan
menggunakan mesin huller.
Tanaman Kehutanan
Kayu Manis
Kayu manis berumur 7 tahun paling baik untuk dipanen. Panen dilakukan
dengan cara memotong batang Kayu manis pada ketinggian 10 cm di atas
permukaan tanah. Batang yang tersisa dibiarkan agar tumbuh tunas baru.
Batang, cabang dan ranting yang dipanen lalu dipotong-potong sepanjang
10 - 110 cm sesuai pesanan. Kulitnya kemudian pisahkan dari batangnya,
lalu bersihkan, dan dijemur sampai kering.
Jelutung
Jelutung dipanen setelah berumur 3 - 4 tahun. Caranya, kulit batang disadap
pada pagi hari dengan menggunakan pisau sadap. Getah yang keluar
ditampung dalam mangkuk kecil yang ditempelkan di batang pohon. Getah
tersebut dikumpulkan/diangkut setelah 2 - 3 jam. Cara penyadapan seperti
pada Karet.
Kayu-kayuan
Tanaman kayu seperti Sengon, Meranti, Sungkai, Ramin, dan Gelam dipanen
setelah diameter batangnya sesuai dengan permintaan pasar. Komoditas
ini dipanen dengan cara menebang pohon hingga ke pangkal batangnya
dengan menggunakan gergaji atau kampak
Ikan dan ternak merupakan komoditas yang sering diusahakan oleh petani
dalam sistem budidaya pertanian terpadu. Petani di lahan gambut umumnya
tidak menjadikan komoditas ini sebagai komoditas utama tetapi sebagai
penunjang. Namun tidak sedikit pula yang mengusahakannya secara intensif
sehingga menjadi komoditas utama. Ayam, itik dan ikan dapat memberikan
kontribusi pendapatan yang cukup berarti terhadap pendapatan petani karena
relatif lebih kontinu. Bahkan ayam, sapi dan kambing bisa dianggap sebagai
tabungan.
Ikan dan ternak di lahan rawa merupakan komoditas yang secara teknis bisa
saling menunjang pengembangan budidaya tanaman. Sebagai contoh pada
sistem terpadu longyam dan mina padi. Pada sistem longyam, kotoran ayam
dan sisa pakan ayam menjadi pupuk kolam dan pakan ikan. Sementara itu
pada sistem mina padi, air kolam yang mengandung banyak kotoran ikan
dan sisa-sisa pakan ikan, bisa langsung dimanfaatkan sebagai pupuk padi.
Sebaliknya, produk sampingan tanaman Padi (seperti dedak) bisa digunakan
untuk pakan ikan. Contoh lainnya pada ternak sapi, kotoran sapi bisa
digunakan sebagai pupuk tanaman. Sementara, jerami/limbah tanaman lain
dan daun-daun tanaman pelindung di pekarangan yang disuburkan oleh pupuk
kandang, bisa digunakan sebagai pakan ternak. Disamping itu, sapi bisa
dijadikan tenaga kerja murah/gratis untuk mengolah lahan.
 Budidaya Ikan
Ikan bisa dipelihara di lahan rawa yang memiliki  suplai air kontinu minimal
4 bulan/tahun. Budidaya komoditas ini dapat dilakukan di kolam, caren, di
sawah dengan sistem mina padi, dalam keramba dan dalam saluran/parit.
Sejak tahun 2003, Wetlands International - negara kita  Programme bersama
masyarakat di Desa Mantangai dan Batilap - Muara Puning Kalteng, telah
menerapkan budidaya perikanan pada parit/saluran yang terbengkalai di lahan
gambut, yaitu dengan cara menyekat parit/saluran sehingga terbentuk kolam
yang memanjang.
Budidaya Ikan di Kolam
Lokasi kolam dipilih pada lahan yang suplai airnya minimal 4 bulan/tahun.
Pada lahan dengan pH rendah, kolam harus direklamasi dan dikapur terlebih
dulu sebelum penebaran benih ikan. Untuk menghemat pemberian pakan,
kolam bisa dibangun di bawah kandang ayam dengan istilah longyam. Jenis
ikan yang dianjurkan dipelihara pada sistem kolam antara lain ikan Mas,
Nila, Jelawat dan Patin.
Kolam dibuat berukuran 10 x 15 m, 10 x 20 m atau menurut keperluan dengan
kedalaman 1 - 1,25 m. Ketinggian pematang/tanggul keliling kolam minimal
50 cm lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian air luapan tertinggi di
kawasan tersebut. Hal ini untuk menanggulangi agar pada waktu banjir,
kolam tidak kebanjiran dan ikan tidak lepas. Pematang kolam dipadatkan
dengan tanah galian atau tanah liat. Dinding kolam dari tanah gambut
biasanya mudah longsor dan tererosi. Untuk itu, tanggul perlu ditanami
Sereh wangi, Nenas, Pinang atau Pisang untuk mencegah erosi atau longsor.
Penanaman Sereh wangi juga dimaksudkan untuk mencegah serangan
Berang-berang.
Posisi dasar kolam harus lebih tinggi dibandingkan dengan posisi air di saluran
sekitarnya pada waktu surut. Hal ini untuk mempermudah pengatusan/
pengeringan kolam pada waktu diperlukan.
Kolam dilengkapi dengan saluran air pemasukan dan saluran air pengeluaran
yang berhubungan dengan saluran primer/sekunder/tersier/kuarter yang
terdekat. Saluran bisa terbuat dari paralon berukuran 4 - 6 inci atau berupa
parit biasa. Saluran tersebut harus dilengkapi dengan pintu air sehingga
sewaktu-waktu bisa dibuka atau ditutup. Pintu air dilengkapi dengan saringan
untuk menghindari agar hama ikan seperti ikan liar dan kecebong tidak masuk
ke kolam.
Sebelum digunakan, kolam dikeringkan selama minimal 1 minggu, kemudian
digenangi selama 1 hari dan diatuskan/dikeringkan lagi. Kegiatan seperti ini
diulangi 3 - 4 kali. Setelah dilakukan pencucian, kolam dipupuk dan di beri
kapur dengan dosis 300 kg Urea/ha, 400 kg/ha SP-36, dan 1 - 2 ton/ha
kapur pertanian (dolomite). Pemberian pupuk dan kapur dilakukan secara
ditebar dalam kondisi macak-macak dan dibiarkan 7 hari dengan tujuan
agar plankton dan benthos (pakan ikan alami) dapat tumbuh subur.
Penebaran ikan dilakukan pada pagi hari dengan padat penebaran 5 ekor/
m2
 untuk benih berukuran 5 - 8 cm atau 10 ekor/m2
 untuk benih berukuran 3
- 5 cm. Sebelum ditebarkan, benih ikan diadaptasikan dulu dengan cara
memasukkan wadah ikan ke dalam kolam. Secara perlahan-lahan, air kolam
dimasukkan ke dalam wadah ikan. Setelah kurang lebih 10 - 20 menit, ikan
bisa dilepaskan ke dalam kolam.
Pakan ikan tambahan berupa dedak, pelet, dan sisa-sisa makanan dapur
diberikan pada ikan dengan takaran per hari sebanyak 2,5 - 5% bobot ikan.
Pemeliharaan lain yang perlu dilakukan adalah memeriksa saringan saluran
air, memagari kolam, membersihkan semak-semak sekitar kolam yang sering
digunakan sebagi tempat hama seperti ular, berang-berang, dan biawak
bersembunyi, serta melakukan sirkulasi air sesering mungkin untuk
menghindari serangan penyakit.
Panen bisa mulai dilakukan setelah ikan dipelihara minimal selama 3 bulan
dan dapat dilaksanakan secara bertahap atau sekaligus tergantung
kebutuhan. Panen bertahap dilakukan dengan cara menangkap ikan yang
sudah besar saja. Caranya, air kolam agak dikurangi, lalu ikan ditangkap
dengan jaring yang ukuran jaringnya sesuai dengan ukuran ikan yang akan
dipanen. Ikan berukuran kecil dikembalikan lagi ke kolam.
Mina Padi Sistem Caren
Ikan bisa dipelihara di tempat budidaya padi dengan sistem caren (lihat Bab
4). Pada sistem ini, sebagian lahan di bagian pinggir dibuat kolam
mengelilingi lahan selebar 1 - 4 m sedalam 60 - 80 cm. Tanah galiannya
ditimbun sebagai tanggul yang mengelilingi caren. Tanggul ditanami sereh
wangi, pinang, atau pisang untuk mencegah erosi. Bagian tengah lahan
yang tidak digali (pelataran) digunakan untuk menanam padi. Sistem ini
biasanya dikembangkan di lahan lebak dangkal, tengahan, atau dalam yang
airnya secara makro belum bisa dikendalikan sehingga penanaman padi
hanya dilakukan sebanyak satu kali dalam satu tahun. Ketika air di
pertanaman padi (pelataran) menyusut, ikan dapat berkumpul dan berlindung
dalam caren. Pada musim kemarau, lahan bagian tengah (pelataran)
biasanya akan mengering sehingga dapat ditanami palawija. jika  air di
dalam caren masih cukup banyak, ikan dapat dibudidayakan dalam caren
tersebut dan diperlakukan seperti memelihara ikan dalam kolam.
Ikan yang dianjurkan dipelihara dengan sistem mina padi antara lain Lampam
(Puntius scahivanefeldi), Sepat siam (Trichogaster pectoralis) dan Tawes
(Puntius javanicus). Ikan Jelawat dan Betok (Papuyuh) tidak dianjurkan
untuk diusahakan karena jenis ini mudah melompat ke bagian luar caren
terutama pada saat air banyak, kecuali sekeliling caren/kolam ditutup jaring.
Benih ikan ditebar 1 - 2 ekor/m2
 sawah dengan lama pemeliharaan 3 - 5
bulan. Bibit ikan ditebarkan di sawah setelah tanaman berumur 10 hari atau
lebih. Pakan berupa dedak halus dapat diberikan sebanyak 5% dari berat
ikan/hari. Pemberian pakan tambahan seperti pada pemeliharaan dalam
kolam juga dapat dilakukan agar ikan cepat besar. Pemberian pakan ikan
sebaiknya dilakukan di dalam caren.Padi yang ditanam dengan sistem ini biasanya varietas lokal atau Padi
unggul seperti varietas Kapuas, Lematang, Cisanggarung, IR 42 dan Cisedane
(Azwar dan Nasution, 1993). Jarak tanam padi disarankan menggunakan
sistem logowo 2 : 1 atau 4 : 1 (lihat Bab 8). Dengan demikian, ikan dapat
leluasa bergerak diantara tanaman padi.
Pemeliharaan ikan dalam kolam caren yang mengelilingi pertanaman
Singkong di lahan gambut
Budidaya Ikan dalam Keramba
Keramba adalah kandang ikan yang ditempatkan pada habitat aslinya yaitu
sungai, waduk/retarder/tandon air, atau di laut. Namun keramba dapat juga
diletakkan pada parit/saluran irigasi yang keberadaan airnya terjamin
sepanjang waktu budidaya. Keramba dibuat dengan menggunakan kayu
ulin, bambu atau kayu lain yang tahan air asam. Ukuran keramba disesuaikan
dengan kemampuan dan kedalaman perairan. Ukuran tinggi/dalam 0,75 -
1,5 m, panjang 2 - 3 m, dan lebar 1,5 - 2 m banyak digunakan oleh peternak
ikan.
Untuk menghindari lolosnya ikan, keramba bisa dilapisi dengan jaring ikan
yang mata waringnya berukuran lebih kecil dari bibit ikan. Akhir-akhir ini,
pada perairan danau/waduk, bahkan sudah banyak yang mulai membuat
keramba dengan jaring saja, sedangkan kayu hanya digunakan sebagai
kerangka. Model terakhir ini sering pula disebut sebagai keramba jaring
apung
Keramba ditempatkan pada perairan yang mengalir agar kualitas airnya baik.
Agar keramba tidak hanyut, di setiap sudutnya diikatkan tali jangkar atau
tali tambang yang terbuat dari plastik. Pada bagian bawah tali diberi pemberat
yang diletakkan di dasar perairan. Pemberat bisanya terbuat dari jirigen
atau karung yang diisi pasir. Cara lainnya, ujung tali dipancang pada patok
yang terdapat di darat atau dibuat di dasar perairan. Jika kerambanya banyak,
di atas keramba dapat dibuat bangunan rumah sederhana/gubuk sebagai
tempat berteduh bagi pemilik/penjaga dan tempat menyimpan peralatan/
pakan serta sebagai rumah jaga.
Penempatan keramba harus hati-hati agar tidak mengganggu lalu lintas
perairan dan tidak kering ketika air surut. Pengamatan terhadap kondisi
perairan setempat sangat dianjurkan sebelum penempatan dan penentuan
ukuran keramba.
Jenis ikan yang dipelihara disesuaikan dengan ikan yang banyak dijumpai
di perairan setempat dan memiliki  harga yang cukup baik di pasaran.
Ikan dari perairan setempat akan lebih mudah beradaptasi sehingga resiko
kegagalan relatif kecil. Jenis ikan yang banyak ditemukan di perairan lahan
rawa gambut antara lain Patin, Seluang, Lais, Gabus dan Baung. Rincian
tentang jenis ikan di rawa gambut dapat dilihat pada Tabel 37. Di Kalimantan
Tengah, saat ini ikan Betok mulai banyak dibudidayakan dalam keramba
atau kolam karena harganya mahal, relatif cepat berkembang, dan pakannya
mudah (dedak, gabah yang direndam atau direbus, nasi sisa).
Ikan yang dipelihara dalam keramba dapat berasal dari benih ikan yang
ditangkap di perairan setempat atau dibeli khusus dari penangkar benih
ikan. Di dekat keramba, juga dapat dipasang bubu untuk menjebak benih
ikan. Ikan dapat masuk dalam bubu tetapi tidak dapat keluar.
Pemeliharaan antara lain berupa pemberian pakan berupa pelet, dedak, dan
sisa-sisa makanan dapur. Harus diwaspadai masuknya binatang lain yang
bersifat hama. Keramba juga harus sering dibersihkan dari lumut terutama
sesudah panen.
Panen dilakukan dengan membuka pintu keramba, kemudian ikan ditangkap
dengan menggunakan jaring. Agar panen dapat kontinu, setiap petani
sebaiknya memiliki beberapa keramba dengan umur ikan yang berbeda￾beda. Panen ikan di tiap keramba dapat dilakukan secara bertahap sesuai
dengan permintaan pasar.
Pembesaran ikan karnivora (pemakan daging) seperti Toman/Tauman di dalam
keramba dengan memberi pakan anak-anak ikan yang diambil dari alam,
banyak dilakukan oleh petani ikan di Kalimantan maupun Sumatera. Praktek￾praktek semacam ini sebaiknya segera dihentikan/dilarang karena akan
membahayakan keanekaragaman hayati maupun stok ikan di alam. Jumlah
ikan kecil-kecil yang dikorbankan sebagai pakan ikan Toman berjumlah
sangat banyak dan beragam jenisnya. Menurut informasi petani, untuk
menjadikan 1 kg daging ikan Toman, diperlukan sekitar 10 kg ikan kecil
yang jumlahnya ribuan dari berbagai jenis
Budidaya Ikan dalam Kolam Beje
Beje merupakan kolam di lahan gambut yang dibuat di dekat sungai untuk
menjebak dan sekaligus memelihara ikan. Beje banyak dibuat oleh
masyarakat suku dayak di pedalaman hutan Kalimantan Tengah [lihat Kotak
6]. Kolam ini dibangun secara individual atau kelompok dengan ukuran
lebar antara 2 - 4 m dan dalam 1 - 2 m. Panjang kolam yang dibuat secara
individu umumnya sekitar 5 - 10 m. Sedangkan yang dibuat berkelompok
bisa mencapai puluhan meter.
Beje biasanya terletak tidak jauh dari pemukiman dan dekat sungai. Kolam
ini dibuat dengan cara digali pada musim kemarau. Pada musim hujan,
kolam beje akan terisi air hujan. Jika sungai banjir, beje akan tergenang
oleh air luapan dari sungai di sekitarnya sehingga ikan-ikan alami dari sungai
tersebut dapat masuk ke dalam beje. Saat musim kemarau, air sungai
akan surut tetapi beje masih tergenang oleh air dan ikan masih tinggal di
dalamnya. Pada saat seperti itu, beje siap dipanen.
Setiap habis panen, masyarakat akan membersihkan kembali beje-bejenya
dari lumpur atau membuat kembali beje-beje yang baru. Beje-beje semacam
ini selain berfungsi sebagai perangkap ikan alami, juga dapat digunakan
sebagai kolam untuk memelihara/membesarkan ikan pada musim kemarau.
Pemeliharaan ikan dalam beje seperti memelihara ikan di dalam kolam.
Fungsi lain beje adalah sebagai sekat bakar. Hal demikian terlihat dari foto
dalam Kotak 6, dimana kondisi hutan di sekitar beje masih tampak hijau
tidak terbakar.

Beje di Sungai Puning
Gambar di samping merupakan
contoh kolam beje yang banyak
dijumpai di wilayah Sungai Puning,
Kabupaten Barito Selatan - Kalteng.
Beje-beje ini terletak di hutan
dengan jarak ± 500 m dari tepi
sungai atau pemukiman. Ukuran
beje bervariasi, lebar 1,5 - 2 m,
dalam 1 - 1,5 m, panjang 10 - 20 m.
Beje-beje ini pada musim hujan
akan terluapi air dari sungai di
sekitarnya. Bersama luapan ini akan
terperangkap berbagai jenis ikan ke
dalam beje, diantaranya Gabus
Chana sp., Lele Clarias sp., Betok
Anabas testudineus, Sepat Trichogaster sp., Tambakan Helostoma sp..
Pada musim kemarau beje-beje ini masih berair dan tetap dilakukan
perawatan (seperti pembuangan lumpur) oleh pemiliknya sehingga
sekaligus ia dapat berfungsi sebagai sekat bakar.
Budidaya Ikan dalam Parit-parit yang Disekat
Kerusakan hidrologi atau tata air di lahan gambut seringkali ditimbulkan
oleh adanya kegiatan manusia yang tidak terkendali seperti menebang hutan,
membakar ladang dan membangun kanal/parit/saluran (Kotak 6) yang kurang
memperhitungkan aspek lingkungan. Pembangunan saluran terbuka di lahan
gambut yang dimaksudkan untuk mengangkut kayu dari hutan atau untuk
reklamasi lahan pertanian, diduga telah memicu  terkurasnya air di
lahan gambut sehingga lahan menjadi kering dan mudah terbakar di musim
kemarau. Kondisi demikian telah terbukti di berbagai lokasi lahan gambut di
Kalimantan Tengah dan Sumatera. Lokasi yang memiliki kanal dan parit￾parit dalam jumlah banyak, sering terbakar ketika musim kemarau.
Pembuatan tabat atau bendung pada saluran-saluran yang sudah terbukti
merusak ekosistem gambut, sangat dianjurkan. Keuntungan pembuatan
tabat tersebut diantaranya: (1) Air dapat ditahan dan kelembaban gambut
dapat dipertahankan sehingga gambut tidak mudah terbakar dan tanaman
tetap tumbuh dengan baik; (2) Parit berair dapat berfungsi sebagai sekat
bakar (3) Parit yang disekat dapat dijadikan kolam beje yang menjebak ikan
saat musim banjir tiba; (4) Berbagai manfaat dan fungsi ekologis gambut
seperti habitat flora-fauna, pengatur tata air, dan penyimpan karbon; dapat
dibenahi kembali (catatan: Informasi tentang teknik penutupan/penyekatan
parit/saluran secara lebih rinci dapat dibaca pada buku: Konservasi Air Tanah
di Lahan Gambut, panduan penyekatan parit dan saluran di lahan gambut
bersama masyarakat yang ditulis oleh Roh S..B. Waspodo, Alue Dohong,
dan I N.N.Suryadiputra. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 2004 oleh
Proyek CCFPI Wetlands International-Wildlife Habitat Canada dan PHKA.)

Beberapa langkah yang perlu dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan
pemanfaatan beje dan parit yang telah disekat sebagai media budidaya
ikan dan sekaligus sebagai sekat bakar adalah :
1. Memperbaiki kondisi dan lingkungan parit dan beje yang telah ada agar
mampu menampung air dalam jumlah besar. Caranya: (1) membuang
lumpur, limbah kayu dan limbah lain yang ada didalamnya; (2) memotong
akar yang menembus beje dan; (3) membersihkan areal di sekitar beje
(radius ± 50 cm) dari vegetasi;
2. Mengatur posisi beje baru dan penyekatan parit agar fungsinya sebagai
sekat bakar gambut dan media budidaya ikan dapat optimal (Gambar
29);
3. Melakukan rehabilitasi lahan sekitar beje/parit yang tidak tertutup
vegetasi secara baik. Caranya dengan penanaman kembali vegetasi
yang sesuai. Keberadaan vegetasi ini diharapkan dapat mempercepat
pemulihan tata air di lahan gambut dan memperbaiki kondisi ekologis
kolam beje/parit.
Budidaya Ternak Unggas
Jenis ternak yang umumnya diusahakan di lahan rawa adalah ayam buras,
itik, dan sapi. Secara teknis, kerbau juga sesuai untuk diternakkan di lahan
rawa, tetapi pemasaran hasilnya perlu dicermati.
Ayam Buras
Ayam buras banyak diusahakan di lahan rawa karena dapat beradaptasi
secara baik di hampir seluruh tipologi lahan, mudah dipelihara, dan mudah
dipasarkan dengan harga yang stabil. Pemeliharaan ayam dapat dilakukan
dengan cara tradisional dengan melepas begitu saja dan diberi makan
seadanya. Namun untuk mendapatkan produksi yang baik, ayam perlu
dipelihara secara semi intensif.
Budidaya ayam buras di lahan rawa secara komersial dalam skala besar
hanya dianjurkan pada lahan rawa yang sudah tidak terluapi air seperti pasang
surut tipe C dan D serta lahan lebak yang telah direklamasi sehingga tidak
banjir pada waktu hujan.
Penyiapan Kandang
Kandang ayam dibuat terpisah dari rumah tetapi tidak terlalu jauh agar mudah
diawasi. Bentuk kandang tidak mengikat, yang penting cukup ventilasi dan
berbentuk panggung untuk menghindari banjir. Akan sangat baik bila sinar
matahari pagi dapat masuk kandang melalui ventilasi.
Alas kandang bisa terbuat dari bambu atau kayu gelam dengan jarak
kerenggangan 2 cm. Jarak ini cukup ideal agar kotoran mudah keluar tetapi
kaki ayam tidak mudah terperosok. Kandang sebaiknya diberi fasilitas Ren
(lapangan/areal bermain) yang diberi pagar setinggi 2,5 - 3 m. Ren ini berfungsi
untuk bermain di siang hari ketika ayam harus dikandang selama 24 jam.
Luas kandang tergantung dari jumlah ayam yang akan dipelihara. Anak
ayam, ayam dara, ayam dewasa, ayam yang sedang mengeram, dan ayam
yang sedang mengasuh anak dikandangkan terpisah. Kepadatan kandang
untuk anak ayam maksimal 20 ekor/m2
, kepadatan ayam dara 12-16 ekor/
m2
, dan ayam dewasa 6 ekor/m2
. Didalam kandang dewasa, diberi sarang
bertelur dari jerami padi sejumlah ayam yang dikandangkan.
Kandang juga bisa diletakkan di atas kolam ikan. Sistem ini disebut longyam,
singkatan dari kolong & ayam. Artinya, bagian atas terdapat kandang ayam,
di bawah/kolong kandang dibangun kolam ikan. Fungsinya agar kotoran
ayam dan sisa pakan ayam menjadi pakan ikan dan pupuk kolam.
Penyiapan Bibit
Pemilihan bibit
Untuk mendapatkan keturunan yang baik, pilih bibit ayam yang memenuhi
syarat sebagai berikut:
1) Bibit ayam diambil dari induk betina yang berproduksi telur tinggi,
memiliki rongga perut besar dan elastis, daya tetas telur tinggi, tidak
suka mematuk telur, dan mampu mengasuh anak;
2) Induk jantan dan betinanya memiliki  sifat tidak mudah terserang
penyakit, tidak cacat, tegap, lincah, dan gesit, cepat tumbuh, bulu
mengkilap, serta paruh dan kukunya pendek;
3) Umur calon induk betina 6 bulan - 1 tahun dan pejantan 1 - 2 tahun;
4) Bibit ayam diperoleh dari ternak sendiri atau langsung dari peternak
ayam atau peternak bibit ayam. Jangan membeli bibit ayam konsumsi
dari pasar.
Penetasan
Penetasan telur dapat dilakukan melalui pengeraman oleh induk betina atau
menggunakan mesin. Lama penetasan berkisar antara 21 - 22 hari. Sebelum
ditetaskan, telur diperiksa dulu untuk mengetahui fertil tidaknya. Telur yang
tidak fertil, tidak boleh ditetaskan karena tidak akan berkembang menjadi
anak ayam. Telur-telur semacam ini dapat langsung dijual.Untuk mengetahui fertil tidaknya telur dilakukan cara sebagai berikut:
1) Pada minggu pertama setelah pengeraman, dilakukan peneropongan.
Pada telur yang fertil atau akan menetas, terlihat titik darah berakar.
Telur yang tidak fertil terlihat terang;
2) Pada minggu ke dua, telur yang tidak fertil terlihat gelap dan kantong
udara tidak berkembang.
Pemeliharan
Ayam sebaiknya dipelihara secara semi intensif yaitu diberi makan pagi
dan sore hari. Siang hari, ayam dilepas bebas dan hanya dikandangkan
pada malam hari. Pada waktu-waktu tertentu seperti musim panen padi
dan musim jemur padi, ayam bisa dikandangkan selama 24 jam agar tidak
menggangu penjemuran padi.
Pemisahan Anak Ayam
Untuk meningkatkan produksi telur, sebaiknya anak ayam sudah dipisahkan
dari induknya sejak 3 hari setelah menetas. Anak ayam dipelihara dalam
kotak yang diberi lampu pada malam hari dan pada waktu hujan. Pada pagi
hari jam 7 - 8, kotak dijemur agar memperoleh sinar matahari. Setelah
ayam berumur 16 hari boleh dikeluarkan dari kotak tetapi masih
dikandangkan. Setelah berumur 6-8 minggu, anak ayam boleh dilepaskan
bebas seperti ayam dewasa.
Pemberian Pakan
Hingga umur 3 bulan, anak
ayam diberi pakan berupa
starter. Sedangkan ayam
umur tiga bulan lebih diberi
pakan terdiri atas dedak,
jagung, dan konsentrat
dengan perbandingan 7:2:1
yang diberikan pada pagi dan
sore hari (Tabel 38). Starter dan konsentrat merupakan pakan yang dibuat
oleh pabrik dan bisa dibeli di toko makanan ayam. Jika tidak ada, bisa
diganti dengan bahan lain yang banyak mengandung protein seperti bungkil
kedelai, tepung bekicot, tepung bulu unggas, tepung ikan/udang. Air untuk
minum ayam ditempatkan dalam wadah khusus yang diletakkan dalam
kandang dan ren. Pakan dapat ditempatkan di dalam kandang atau dalam
ren. Pada sistem longyam, pemberian pakan dilakukan di dalam kandang
agar sisanya dapat jatuh ke dalam kolam.
Pengendalian Penyakit
Penyakit penting yang sering menyerang ayam antara lain pilek, kolera,
tetelo, dan cacingan. Pilek pada ayam sangat mudah menular sehingga
ayam sakit harus cepat diisolasi dan diobati. Ayam yang terserang pilek
tampak lesu, tidak nafsu makan, hidung berlendir campur nanah, matanya
bengkak. Pilek dapat diobati dengan antibiotik seperti Sulfamix, streptomy￾cin, dan Terramycin.
Tetelo merupakan penyakit pernapasan yang sangat ganas, mudah menular,
dan sulit diobati. Jika bisa sembuh dengan sendirinya, ayam akan kebal
dengan penyakit tersebut. Gejala serangan yaitu ayam sulit bernapas, mulut
dan hidung tersumbat, jengger dan kepala membiru, tidak bisa makan, kotoran
encer kebiruan, sayap terkulai, badan gemetar, lumpuh, dan umumnya
mengalami kematian.
Ayam yang terserang penyakit harus segera diasingkan, sedangkan ayam
lainnya divaksinasi. Vaksinasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Pada umur 3-7 hari diberi vaksin Strain B1 dengan cara tetes mata;
2) Pada umur 3-4 minggu diberi vaksin Strain La Sota dengan cara suntik;
3) Pada umur 3-4 bulan (dan diulang setiap 4 bulan) diberi vaksin Komarov
dengan cara suntik.
Penyakit kolera memberikan gejala kotoran berwarna hijau dan jengger
kebiruan. Ayam yang sakit harus diasingkan dan diobati dengan antibiotik
seperti Aeromycin, sedangkan yang sehat diberi vaksin kolera.
Cacingan umumnya tidak memicu  kematian secara langsung tetapi
bila serangannya berat, pertumbuhan ayam terhambat, kurus, dan mudah
terjangkit penyakit lainnya. Cacing ayam bermacam-macam jenisnya, bisa
menyerang tenggorokan dan usus. Untuk mengobati digunakan Pinang 1-
2 gram/ekor atau menggunakan obat cacing untuk unggas Stop Worm, dan
Contra Worm. Untuk mencegah serangan, sebaiknya ayam diobati secara
berkala 3-4 bulan sekali.
Pengawinan
Pejantan dan induk betina ditempatkan dalam satu kandang dengan
perbandingan 1 pejantan dan 7 - 10 betina. Untuk mecegah kelelahan dan
menjaga agar tetap sehat dan subur, pejantan perlu diistirahatkan. Caranya,
pejantan dikurung terpisah dari betina selama 1 minggu per bulan.
Produksi
Hasil budidaya ayam buras yang dapat dijual terdiri atas telur, anak ayam
berumur 1 bulan, anak ayam berumur 2 bulan, dara berumur 4 bulan, ayam
dewasa, serta induk betina/pejantan afkir. Produk mana yang akan dijual
tergantung dari permintaan pasar dan biasanya juga tergantung pada
kebutuhan peternak untuk memperoleh pendapatan
Itik
Itik bisa dipelihara di lahan rawa pada berbagai tipologi. Namun di lahan
pasang surut tipe luapan A dan B serta lebak yang masih banjir di musim
hujan, kandangnya harus dibuat berbentuk panggung.
Penyiapan Kandang
Kandang itik terdiri atas kandang untuk tidur dan bertelur serta kandang
untuk makan dan bermain. Akan lebih sempurna jika  kandang tersebut
dilengkapi pula dengan kolam, karena itik menyukai tempat-tempat yang
basah pada siang hari. Kandang itik untuk tidur berbentuk panggung. Pada
lahan yang terluapi air, ren-nya juga berbentuk panggung
Pada kandang tidur, diberi
tempat bertelur berupa
tumpukan jerami setinggi 10-
15 cm yang diletakkan di
samping tepian dinding
kandang. Luas minimal
kandang tidur itik tergantung
pada umurnya (lihat Tabel 39)
Kolam itik dibuat sedalam 25 cm. Sebelum digunakan, dasar kolam diberi
campuran tanah liat, pasir, kapur dengan perbandingan 8:2:1, setebal 10
cm lalu dikeringkan. Setelah kering, lalu diberi pupuk berupa 5 kg bekatul,
25 kg pupuk kandang, dan 0,5 kg SP-36 pada setiap 10 m luas dasar kolam,
lalu diairi lagi. Setelah 2-3 minggu kemudian, kolam sudah siap digunakan.
Kandang tidur dan ren itik bisa diletakkan di atas kolam ikan. Cara ini
menguntungkan karena sisa makanan itik bisa langsung dimakan ikan dan
kotoran itik menjadi pupuk bagi kesuburan kolam.
Penyiapan Bibit
Pemilihan Bibit
Jenis itik yang banyak diternakkan pada lahan rawa adalah itik Alabio. Itik
ini banyak diternakan di Amuntai dan dipasarkan di pasar Alabio, Kabupaten
Hulu Sungai Utara, Propinsi Klimantan Selatan. Ciri-ciri menonjol pada jenis
itik ini adalah paruh dan kakinya berwarna kuning. Itik betina berbulu kuning
dengan warna hitam pada setiap ujung bulu sayap, ekor, dada, dan leher.
Itik jantan berwarna abu-abu kehitaman, pada ujung ekor terdapat bulu yang
melengkung keatas.
Bibit itik dapat diperoleh dari ternak itik sendiri atau dari peternak yang
secara khusus memproduksi bibit itik. Bibit itik dari peternak khusus dapat
berupa telur itik, anak itik, atau itik remaja yang siap bertelur beberapa
minggu lagi. Jika anak itik yang dibeli, pilih yang sehat, tegap, gesit dan
lincah, pusarnya kering, kaki kuat dan kukuh, bulunya halus dan mengkilap,
matanya menonjol dan bening dengan sorotan tajam, perutnya kenyal dan
lembut. Syarat lainnya, peternak bibit sudah bisa membedakan anak itik
jantan dan betina.
Bila itik remaja yang dibeli, dipilih yang memenuhi kriteria: sehat, berkaki
kuat, lincah, sayapnya rapat, bulunya mengkilap dan rapi, ukuran tubuh
proporsional, kepala bersih dan segar, memiliki tulang pelipis yang lebar,
perut tidak menyentuh tanah bila berjalan, serta bersifat liar dan gampang
kaget. Khusus itik betina, perut dan tulang perut terasa dalam bila diraba.
Khusus pejantan, memiliki birahi tinggi dan cepat matang kelamin sehingga
akan sering kawin.
jika  bibit diperoleh dengan cara menetaskan telur, telur harus dipilih dari
induk betina yang memenuhi kriteria seperti tersebut di atas, terbukti telah
menghasilkan produksi telur yang stabil dan tinggi (65 - 80%), dan khusus
disiapkan sebagai induk itik. Telur bukan berasal dari induk yang pertama
kali bertelur, karena cangkangnya tipis dan anaknya lemah. Jangan pula
dari itik yang terlalu tua (lebih dari 3,5 tahun). Induk itik betina dikandangkan
dengan induk itik jantan sehingga terjadi perkawinan yang menghasilkan
telur fertil. Perbandingan antara betina dan pejantan 1 : 6 - 8 ekor. Sebagai
catatan, untuk memperoduksi telur untuk konsumsi, itik betina tidak
memerlukan pejantan. Telur yang dipilih adalah yang cangkangnya tidak
terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, beratnya minimal 65 gram, berbentuk
oval dan sempurna, serta tidak retak.
Penetasan telur
Itik pada umumnya tidak mengerami telur. Telur itik dapat ditetaskan melalui
tiga cara, yaitu dieramkan pada ayam kampung atau itik manila, dan
ditetaskan dengan menggunakan mesin.
Cara penetasan dengan mesin sederhana sebagai berikut:
1) Mesin dibersihkan, dijemur, dan disterilkan dengan Kalium Permanganat;
2) Telur dibersihkan dengan kain lap yang dibasahai air hangat, kemudian
disusun dalam rak;
3) Sesudah dihidupkan selama 3 jam dan suhu ruangannya sudah
mencapai 380C, rak telur dimasukkan dalam mesin. Ruangan
dipertahankan pada suhu tersebut sampai telur menetas. Sementara
kelembabannya diatur 70% pada hari pertama dan 60% pada hari
selanjutnya. Caranya dengan mengisi bak air dalam mesin;
4) Dilakukan pembalikan telur tiga kali sehari. Mulai hari ke 15 dilakukan
pengelapan dengan kain basah hingga hari 20. Hari ke 21 hingga ke
27, pengelapan tersebut dilakukan sekali sehari;
5) Dilakukan pemeriksaan embrio dengan cara meneropong telur ke arah
sinar. Telur yang tidak berkembang, cepat dibuang;
6) Telur akan menetas pada hari ke 26 - 27. Jika pada hari ke 27 ada kulit
telur yang tidak retak, harus diretakkan pada posisi paruh. Pada hari
ke 29, biasanya telur telah menetas semua.
Pemeliharaan
Itik di lahan rawa sebaiknya dipelihara semi intensif yaitu dilepas bebas
pada siang hari dan diberi makan pada pagi dan sore hari. Pada waktu￾waktu tertentu disaat pertanaman padi atau palawija tidak boleh diganggu,
itik harus dikandangkan selama 24 jam.
Pemeliharaan Anak
Anak itik yang telah menetas kemudian dipelihara dalam kotak khusus yang
diberi lampu dengan suhu 29-32oC pada minggu pertama, 26-270
C pada
minggu dua, dan 210
C pada minggu ke tiga. Jika anak itik terlihat menjauh
dari sumber panas, suhu diturunkan. Jika mereka mendekat ke sumber
panas, suhu dinaikkan.
Pemberian pakan dimulai pada hari ke tiga. Pada hari pertama dan kedua,
anak itik tidak perlu diberi pakan.
Pemberian Pakan
Pakan itik, pada dasarnya harus mengandung karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral terutama kalsium. Makanan yang mengandung unsur￾unsur tersebut secara lengkap bisa dibeli di toko makanan, tetapi harganya
mahal dan sering tidak ekonomis. Untuk itu, kita harus bisa meramu makanan
itik sendiri dari bahan-bahan yang mudah diperoleh seperti dedak, gabah,
bungkil, bekicot, keong, tepung tulang dan lainnya.
Ransum itik tergantung dari umurnya. Dalam Tabel 40 disajikan contoh
pakan itik sesuai umurnya. Pakan tersebut perlu diberi tambahan garam
dapur, kapur, dan tepung tulang sebanyak 2 - 2,5 % dari berat anak itik, 2,5-
3,5 % dari berat itik dara, dan 3,5- 5% dari berat itik dewasa. Selain itu,
pada siang hari bisa diberi pakan tambahan berupa cincangan dedaun seperti
daun turi, pepaya, kangkung, genjer, dan batang pisang sebagai sumber
serat kasar dan vitamin.
Pengendalian Penyakit
Penyakit yang menyerang itik dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit,
dan non infeksi. Tabel 41 menjelaskan beberapa jenis penyakit dan gejalanya
yang sering menyerang itik. Secara umum, langkah yang perlu dilakukan
adalah menjaga kebersihan kandang dan ren. Tempat yang becek dan
udara yang lembab sangat disukai oleh penyakit. Minimal dua hari sekali
kotoran harus dibersihkan. Jika memungkinkan setelah disiram dengan air,
disterilkan dengan karbol atau formalin. Ventilasi udara harus baik. Langkah
selanjutnya, mengisolasi itik yang telah memiliki gejala penyakit dan
mengobatinya. Itik lainnya diberi vaksin (untuk beberapa penyakit tertentu).
Produksi
Komoditas yang dapat dijual dari budidaya itik terdiri atas telur itik, bibit itik
(berupa telur atau anak itik umur 3-7 hari), itik dewasa, dan induk betina/
pejantan afkir. Dengan pemeliharaan tradisional, produksi telur yang dihasilkan
oleh itik alabio sekitar 130 butir/tahun. Dengan pemeliharaan secara intensif
dan semi intensif, produksi tersebut dapat meningkat menjadi 250-300 butir/
ekor/tahun dengan berat telur rata-rata 65-70 gram/butir.
Telur diambil dari kandang setiap pagi setelah itik dikeluarkan dari kandang.
Telur tersebut harus segera dijual, atau diawetkan dan diasinkan terlebih
dahulu. Telur yang diawetkan dan diasinkan harus yang utuh (tidak retak),
baru, segar, dan sudah dibersihkan dari kotoran.
Banyak proses pengawetan yang dapat dilakukan antara lain dengan
merendam telur dalam air mendidih yang telah didinginkan menjadi 65o
C
selama 10 menit. Cara lainnya dengan mencelupkan telur ke dalam minyak
kelapa yang telah dipanaskan dan didinginkan, selama tiga menit. Sesudah
diberi perlakukan tersebut, telur dibersihkan dengan lap kain dan disimpan
dalam rak.
Pembuatan telur asin juga dapat dilakukan dengan banyak cara (misal dengan
membungkusnya dengan bahan-bahan tertentu) tergantung dari ketersediaan
bahan yang ada. Bahan pembungkus telur asin yang digunakan antara lain
bubuk bata dengan garam (3:1); atau abu dengan garam (2:1); atau serbuk
gergaji, kapur, dan garam (1:1:1); tanah liat dan garam (1:1). Bahan
pembungkus tersebut diberi sedikit air dan diaduk hingga adonan merata.
Tahapan pembungkusan adalah sesudah telur dicuci bersih lalu dicuci dengan
air kapur. Telur lalu dibungkus dengan adonan setebal 0,2 - 0,3 cm dan
disimpan. Sesudah 15 - 20 hari, telur direndam dalam air yang bersih
untuk melepaskan pembungkusnya.
11.3 Budidaya Ternak Ruminansia
Ternak ruminansia atau pemamah biak terdiri atas sapi, kerbau, kambing,
dan domba. Domba jarang diternakkan di lahan rawa karena perutnya mudah
kembung dan tidak cocok jika dicampur dengan sapi. Kerbau banyak
dikembangkan karena sesuai dengan habitatnya yang basah. Pada daerah
rawa yang banyak sawah, kerbau digunakan sebagai tenaga untuk mengolah
sawah. Tetapi pada wilayah lahan rawa yang belum mengenal sawah seperti
di kawasan eks PLG Satu Juta Hektar, kerbau hanya dipandang sebagai
nilai budaya tradisi masyarakat setempat. Sedangkan ternak sapi umumnya
dipeliharan di lahan rawa yang sudah tidak terluapi air (tipe C dan D).
Sapi
Sapi bisa dipelihara pada lahan rawa lebak yang telah direklamasi sehingga
tidak banjir dan pada lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan C dan D.
Ternak ini sering dipilih karena mudah dipelihara, mudah dipasarkan, dan
bisa digunakan sebagai tenaga kerja mengolah lahan. Untuk itu, bibit sapi
yang dipilih disarankan jenis sapi Bali atau sapi Angola karena bisa berfungsi
sebagai ternak kerja. Selain itu, sapi juga bisa dibudidayakan secara intensif
dalam jangka waktu pendek dengan tujuan untuk penggemukan.
Penyiapan Kandang
Kandang sapi diletakkan terpisah dari rumah tetapi masih bisa diawasi atau
minimal berjarak 25 m. Maksudnya agar bau dan penyakit tidak menyebar
ke rumah. Kandang ternak sapi di lahan rawa/gambut sebaiknya dibuat
dari rangka kayu Gelam, kayu Belangiran atau kayu Ulin yang tahan terhadap
air asam. Lantainya dibuat agak tinggi, rata, dan perlu dipadatkan. Pada
tanah gambut, perlu diberi tanah aluvial susaha  tidak amblas ketika diinjak.
Jika dananya memungkinkan, sebaiknya disemen agar setiap hari (pagi
dan sore) dapat dibersihkan dengan air. Lantai yang disemen dibuat agak
miring agar air mudah mengalir ke luar. Untuk mencegah banjir, lahan di
sekitar kandang perlu dibuat saluran drainase.
Konstruksi kandang harus kuat dan ventilasi harus cukup sehingga aliran
udara lancar. Kandang sebaiknya menghadap ke timur dan membujur ke
arah barat - timur. Maksudnya agar sinar matahari pagi dapat masuk. Atap
kandang di bagian yang tertengah minimal setinggi 2 m agar pada siap hari
tidak terlalu panas dan memudahkan perawatan.
Ukuran kandang tergantung dari banyaknya sapi, sistem pengandangan,
dan umur sapi. Sapi dapat dikandangkan secara individual atau berkelompok.
Anak sapi umur kurang dari satu tahun memerlukan ruang minimal 1,5 m2/
ekor, sapi umur 1 - 2 tahun memerlukan kandang 3 - 3,5 m2
/ekor, dan sapi
dewasa 6 - 7,5 m2
/ekor. Kandang sapi yang dibudidayakan secara intensif
atau semi intensif, sebaiknya diberi ren yang dipagar. Kandang sapi jantan
sebaiknya diletakkan terpisah.
Pemilihan Bibit
Sapi yang dibudidayakan disarankan menggunakan sapi yang telah teruji
ketahanannya pada iklim tropis seperti sapi Bali, sapi Angola, dan sapi
Madura. Secara lebih khusus, pilihlah sapi yang telah teruji tumbuh baik di
lingkungan dimana sapi tersebut akan dibudidayakan.
Sapi Bali, sapi Angola, dan sapi Madura dapat dimanfaatkan tenaga kerjanya
untuk mengolah lahan. Untuk tujuan penggemukan, jenis sapi lainnya yang
pertumbuhannya lebih cepat, seperti Brahman dan Aberdeen Angus, dapat
dipilih tetapi harus dibudidayakan secara intensif.
Bibit sapi yang baik memenuhi persyaratan sebagai berikut (Sugeng, 1994):
1) Sehat; lincah; bulunya licin, halus dan mengkilat; selaput lendir dan
gusi berwarna merah muda; hidungnya bersih, basah dan dingin,
napasnya teratur dan suhu badannya normal;
2) Tubuhnya segi empat, punggungnya lurus dengan garis badan bagian
atas dan bawah sejajar; rusuknya panjang; perutnya tampak membulat
dengan kulit lembut, kenyal dan mudah dilipat; kakinya kuat dan kukuh;
3) Sapi terlihat tegap, aktif, reaktif, matanya bersih dan cerah dengan
pandangan yang tajam.
Pemeliharaan
Sapi dapat dipelihara secara intesif atau semi intensif. Sapi yang dipelihara
secara intensif, seluruh pakannya diberikan dalam kandang. Sedangkan
yang dipelihara secara semi intensif, siang harinya digembalakan, lalu sore
dan malam harinya dikandangkan dan diberi pakan tambahan. Sapi yang
dipelihara secara ekstensif (non intensif), dilepas di padang penggembalaan
lalu sorenya dimasukkan ke kandang (biasanya tanpa atap) dan tanpa pakan
tambahan. Khusus sapi Bali sebaiknya tidak dipelihara secara intensif dengan
dikandangkan selama 24 jam karena jenis ini lebih suka dilepas bebas.
Pemeliharaan sapi yang penting antara lain pemberian pakan dan
pengendalian penyakit.
Penyiapan Pakan
Pakan sapi terdiri atas air, protein, hidrat arang, lemak, mineral, dan vita￾min. Air termasuk pakan utama karena tubuh hewan ini mengandung kurang
lebih 70% air. Bila sampai terjadi pengurangan air hingga 20 %, sapi akan
mati. Sebagai pedoman, sapi memerlukan 3-6 liter air per 1 kg pakan kering.
Protein bisa diperoleh dari tumbuhan golongan leguminoceae, biji-bijian,
bungkil kedelai, dan bungkil kacang tanah. Hidrat arang bisa diperoleh dari
rumput-rumputan, hijauan lainnya, biji-bijian dan lain-lain. Sedangkan lemak
selain dari bungkil kacang tanah dan bungkil kelapa juga dari hidrat arang
yang dicadangkan di dalam tubuh.
Ditinjau dari jenis bahan pakannya, pakan sapi bisa dibagi menjadi tiga
yaitu pakan hijauan, pakan penguat dan pakan tambahan. Pakan hijauan
adalah pakan yang mengandung serat kasar cukup banyak. Jumlah hijauan
yang diperlukan kurang lebih 10 % dari berat badan/hari. Bahan ini berasal
dari rumput-rumputan, leguminoceae, dan daun-daunan lainnya. Pakan-pakan
ini perlu dipersiapkan sebelumnya dengan penanaman tanaman leguminoceae
seperti Centrocema pubescens (centro), Calopogoneum mucunoides (kacang
asu), Desmodium uncinatum, Pueraria phaseoloides (kacang ruji),
Stylosanthes guyanensis (kacang ruji), Leucaena glauca (lamtora), Sesbania
grandiflora (turi); dan rumput potong seperti Pennisentum purpureum (rumput
gajah), Pannicum maximum (rumput benggala), Euclaena mexicana (rumput
meksico), Setaria S. Panicum C, dan Sudan grass (rumput sudan). Batang
padi (jerami) juga merupakan salah satu pakan hijauan yang penting.
Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kandungan
serat rendah dan mudah dicerna seperti bungkil kacang, bungkil kelapa,
dan biji-bijian. Jumlah pakan penguat yang diberikan kurang lebih 1% dari
berat badan/hari.
Pakan tambahan terdiri atas bahan yang banyak mengandung vitamin, mine￾ral, urea, garam dapur, kapur (mengandung Ca), tepung tulang (mengandung
Ca dan P), dan kapur makan (mengandung Ca dan P). Selain itu, pakan
sapi di lahan rawa juga perlu diberikan tambahan mineral-mineral Cu dan Zn
karena biasanya hijauan di daerah ini kekurangan unsur-unsur tersebut.
Pada sapi yang dipelihara secara intensif, seluruh pakan tersebut (Tabel 42)
diberikan sedikit-demi sedikit atau 4 - 5 kali sehari. Sapi yang dipelihara
secara semi intensif, digembalakan pada siang hari untuk memperoleh
hijauan. Pada malam hari, mereka diberi pakan tambahan berupa hijauan
dan penguat yang diberi garam. Kadang-kadang mereka juga perlu diberi
pakan tambanan yang mengandung vitamin dan mineral.
Anak sapi yang baru lahir hanya memperoleh pakan dari induknya berupa
air susu. Sesudah itu, diberi pakan hijauan dan tambahan berupa konsentrat
1 kg sehari.
Pengendalian penyakit
Penyakit penting yang sering menyerang sapi antara lain adalah antrax,
penyakit mulut dan kuku, radang paru-paru, radang paha, cacingan dan
kembung. Tabel 43 menyajikan gejala dan cara pengendalian penyakit
tersebut.
Pembersihan kandang dan sapi
Untuk mencegah timbulnya penyakit, kandang sapi harus bersih. Kandang
yang terbuat dari ubin atau kayu dibersihkan dengan disiram air. Bila perlu
atau bila ada wabah penyakit, ditambahkan disinfektan seperti karbol dan
formalin.
Sapi juga perlu dimandikan setiap sore agar badannya bersih, sehat, dan
segar. Caranya, sapi disiram air lalu disikat dengan kain atau spon.
Pengawinan Sapi
Sapi biasanya akan mengalami pendewasaan kelamin pada umur 8-12 bulan.
Sebelum mengalami pendewasaan, sapi betina dan jantan harus
dikandangkan secara terpisah agar tidak terjadi bunting sebelum umur
optimalnya. Sapi sebaiknya dikawinkan setelah umur 18-20 bulan.
Pengawinan sapi sebaiknya dilakukan pada saat sapi betina birahi yang
terjadi setiap tiga minggu sekali selama 18 jam. Tanda-tanda sebagai berikut:
1) Gelisah, suka melenguh dan suka menaiki sapi lain;
2) Pangkal ekornya terangkat;
3) Vulva bengkak, memerah dan mengeluarkan lendir.
Pangawinan dilakukan sesudah 9 jam tanda-tanda birahi muncul. Bila pagi
birahi, sorenya dikawinkan atau bila sore birahi, paginya dikawinkan.
Pengawinan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu kawin suntik yang
dilakukan oleh mantri atau dokter hewan, atau pengawinan secara alamiah.
Pengawinan secara alamiah dilakukan dengan membawa sapi betina ke
kandang pejantan.
Produksi
Produksi yang dapat diambil dari pembudidayaan sapi adalah tenaga kerja,
pupuk kandang, dan daging sapi. Ternak sapi bisa dimanfaatkan sebagai
ternak kerja. Namun sapi muda berumur kurang dari 1,5 tahun dan sapi
bunting tidak boleh dipekerjakan. Jam kerja sapi maksimal 3 jam berturut￾turut. Setelah itu, perlu diistirahatkan selama 1 jam dan diberi minum.
Setelah istirahat, boleh bekerja lagi.
Kotoran sapi dapat diproses menjadi pupuk kandang dengan cara ditumpuk
di tempat khusus hingga kotoran matang. Proses pematangan dapat
dipercepat dengan menggunakan pupuk organik cair seperti EM4 atau Biota.
Kotoran sapi tersebut juga dapat diproses menjadi kompos dan bokasi
(lihat Bab 6).
Penjualan sapi dapat berupa :
1. Anak sapi berumur 4-6 bulan atau setelah disapih;
2. Sapi hasil penggemukan, berumur 2 - 2,5 tahun;
3. Induk sapi betina/pejantan;
4. Induk sapi betina/jantan afkir.
Kerbau
Kerbau di lahan rawa lebih dikenal dengan kerbau rawa (swamp buffalo)
yang tidak dikandangkan melainkan dibiarkan mencari rumput dan pulang
ke kandang sendiri. Rumput yang banyak terdapat di lahan rawa merupakan
pakan utama. Kerbau rawa merupakan kerbau liar, tetapi jumlah dan
kepemilikannya telah diketahui oleh masyarakat di sekitar rawa. Populasi
setiap tahunnya terus bertambah dan diperkirakan ribuan ekor menyebar di
kawasan rerumputan rawa sebagai habitatnya.


Kerbau Rawa di sekitar kawasan PLG Kalimantan Tengah
(Koesnadi Wirasapoetra)
Baruang baruh atau hadangan baruh, begitulah penduduk sekitar Barito
menyebutnya. Orang dari daerah lain menyebutnya kerbau rawa. Hewan ini
hidup dalam kondisi alam berawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS)
Barito, yang masuk juga dalam areal pembukaan lahan PLG Kalimantan
Tengah.
Bagi penduduk Desa Rantau Bahuang, desa Tampulang, dan sekitar Danau
Panggang, baruang baruh adalah hewan yang menghasilkan nilai ekonomi
dan mendukung budaya masyarakat setempat dalam rangka menyambut
pesta perkawinan, hari raya Idul Adha dan Idul Fitri serta pesta adat setempat
Penduduk setempat di salah satu desa sekitar PLG, yakni Desa Rantau
Bahuang banyak memelihara kerbau dengan jumlah ribuan ekor. Data tahun
1995, jumlah kerbau sebanyak 3.000 ekor dengan jumlah kalang (kandang)
sebanyak 92 buah. Pada tahun 1996, jumlahnya meningkat menjadi 4.000
ekor yang dimiliki oleh 80% jumlah penduduk Bahuang. Pada tahun 1997,
jumlahnya meningkat lagi menjadi 6.000 ekor. Meskipun hewan ini dilepas
bebas, setiap pemilik akan mengetahui jumlah kerbaunya.
Ciri kepemilikan, dibuat pada telinga kerbau oleh masing-masing pemilik.
Ciri tersebut diberikan untuk mencegah terjadinya penjualan gelap oleh pihak
lain, biasanya pembeli tidak mau membeli bila kerbau tidak jelas
kepemilikannya.
Saat ini, harga kerbau rawa sangat bervariasi. Pejantan umur 1 tahun berharga
sekitar Rp 900.000,-/ekor dan betina Rp 1.100.000,-/ekor. Harga kerbau
dewasa betina sekitar 1.750.000/ekor dan pejantan Rp 1.200.000,-/ekor.
Kerbau mendiami areal hutan berawa yang ditumbuhi juga semak belukar.
Hewan ini mencari rumput sampai berkilo-kilo meter jauhnya. Kawasan jelajah
mencapai 50 km2 untuk sekitar 4.000 ekor. Mereka membuat jalur-jalur khusus
secara tetap. Tetapi kondisi ini berubah setelah adanya pembuatan saluran
irigasi/drainase yang dibuat oleh proyek PLG.
Kambing
Kambing cukup disukai oleh petani untuk dibudidayakan karena tidak banyak
memerlukan modal, cepat berkembang biak, mudah dipelihara dan sebagai
tabungan. Disamping itu, kotorannya dapat dijadikan pupuk dan beberapa
jenis dapat diambil air susunya. Jenis yang umum dipelihara adalah kambing
Jawa atau kambing Kacang, kambing Etawa dan Jawa Randu atau peranakan
kambing Etawa dengan kambing Jawa.
Pemilihan Bibit
Bibit kambing untuk diternakkan dipilih yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
1) Baik jantan maupun betina, umurnya masih muda (+ 1 tahun);
2) Pilih anak yang bobot lahirnya 2 - 4 kg dari induk yang mampu
menghasilkan anak 2 - 3 ekor setiap melahirkan;
3) Pilih dari anak kambing yang kembar;
4) Sehat, aktif, tidak cacat, bulunya halus dan mengkilat;
5) Pertumbuhannya cepat. Jika kambing berumur 120 hari, pilih yang
bobotnya mendekati 120 kg;
6) Terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan makanan
di lahan rawa sehingga tidak mudah terserang penyakit;
7) Bentuknya sebagai berikut:
a) Dilihat dari depan : badan lebar, kaki lurus;
b) Dilihat dari samping : badan tinggi, panjang, punggung lurus;
c) Dilihat dari belakang : badan lebar, kaki belakang kuat dan gemuk,
dada luas;
d) Khusus perahan : putingnya besar tetapi lunak.
8) Pilih dari petani langsung, jangan dari pasar. Maksudnya agar induknya
diketahui jenis dan kualitasnya.
Perkandangan
Untuk menjaga kesehatan kambing, kandang kambing perlu memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) Tanah di sekitar kandang harus kering sehingga drainase harus baik;
2) Kandang berbentuk panggung dan memiliki ventilasi yang memadai tetapi
tidak berangin. Untuk itu, dinding belakang, kanan, dan kiri ditutup
untuk menghindari aliran angin;
3) Sebaiknya menghadap ke timur sehingga sinar matahari pagi dapat
masuk;
4) Mudah dibersihkan;
5) Letak kandang minimal 10 m dari perumahan;
6) Kandang pejantan terpisah dari kandang betina.
Bagian-bagian kandang terdiri atas:
1) Ruang utama. Ruang ini merupakan tempat hewan bergerak dan
berbaring. Tiap ekor kambing membutuhkan ruang 1 x 1,5 m. Lantai
ruang ini dibuat bercelah 1,5 cm agar kotoran dan air kecing kambing
dapat langsung jatuh ke kolong;
2) Tempat makan (palungan) dan minum. Palungan dibuat menempal
kandang pada sisi depan. Ukuran dasar biasanya 25 cm, lebar 50 cm,
dan tinggi 50 cm. Ketinggian dasar palungan dari lantai kandang 25
cm. Ruji-ruji tempat mengeluarkan kepala kambing sewaktu makan
berjarak 20-30 cm. Di dalam kandang dan di halaman diberi tempat
minum, biasanya berupa ember yang diisi air terus menerus;
3) Pintu kandang;
4) Tempat menyimpan hijauan. Hijauan pakan ternak biasanya disimpan
di luar bagian kandang bagian belakang;
5) Tangga. Tangga dibuat landai dan beri alur-alur melintang agar tidak
licin;
6) Tempat pupuk kandang. Kotoran kambing ditampung dan dikumpulkan
di bawah kolong kandang. Bila sudah penuh, diambil untuk dijadikan
pupuk;
7) Halaman kandang. Tempat ini diperlukan terutama bagi kambing yang
dipelihara dengan sistem kandang. Fungsinya untuk kambing bergerak
badan, bermain, dan memperoleh sinar matahari pagi 
Pemeliharaan
Pemeliharaan kambing dapat dilakukan melalui sistem penggembalaan atau
dikandangkan. Penggembalaan memerlukan areal yang cukup luas karena
sifatnya yang bergerak mencari rumput secara berkelompok. Dalam
pengembalaannya harus diawasi karena dikhawatirkan masuk ke areal
perladangan/perkebunan milik orang lain. Meskipun digembalakan, kambing
juga perlu kandang untuk istirahat pada sore/malam hari.
Pakan
Makanan kambing dapat dibagi menjadi tiga yaitu hijauan, konsentrat dan
makanan tambahan. Hijauan berupa daun-daun seperti lamtoro, nangka,
dadap, turi, kacang-kacangan, ketela rambat dan lain-lain. Makan tersebut
jangan diberikan dalam keadaan basah (hujan atau berembun) karena akan
memicu  penyakit kembung. Jumlah hijauan yang diperlukan oleh
kambing dewasa sekitar 7 kg/ekor/hari. Pakan tersebut diberikan secara
bertahap sebanyak 5 kali sehari.
Konsentrat diberikan sebagai makanan penguat. Pakan ini diberikan
bersamaan dengan makanan tambahan berupa campuran dedak halus,
bungkil kelapa, tepung tulang, dan sedikit garam. Banyaknya makanan
penguat yang diberikan sebesar 0,5 - 1 kg/ekor/hari. Vitamin dan mineral
(terutama Ca, Fe, Cu, dan Co) perlu ditambahkan sesekali untuk menjaga
kesehatan ternak.
Seluruh jaringan tubuh hewan mengandung air. Kekurangan air dapat
memicu  kematian. Oleh sebab itu, penyediaan air secara terus￾menerus dalam kandang ataupun di halaman kandang penting untuk dilakukan.
Untuk mengurangi keasaman air, biasanya ditambahkan sedikit kapur atau
garam.
Pengendalian Penyakit
Penyakit yang sering menyerang kambing adalah:
a) Kembung Perut. Kembung perut disebabkan oleh: makanan yang kurang
baik, seperti: basah, berjamur, daun terlalu muda; terlalu banyak makan;
kekurangan dan kelebihan minum; atau kehujanan. Tanda-tanda
kambing yang mengalami kembung perut: tidak ada nafsu makan, tidaklincah, mengerang kesakitan, susah buang air atau mencret. Penyakit
ini kalau dibiarkan akan memicu  kematian. Pengobatannya dengan
memberi minum asam yang direbus dan dicampur gula. Gas dalam
perut kambing perlu dikeluarkan dengan cara sebagai berikut: (1) Kaki
depan dinaikkan/ditopang dengan ketinggian 50 cm; (2) Mulut dibuka
dengan memasukkan sepotong kayu untuk dikunyah. Sementara itu,
perut diurut dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan;
b) Penyakit eksim. Penyakit ini menyerang bibir, meluas ke kuku dan
kambing betina. Kambing yang sakit sebaiknya dipisah karena mudah
menular dan diobati dengan salep seperti Leucomicyn;
c) Kudis atau Scabies. Penyakit ini disebabkan karena tempat yang kotor
sehingga banyak kutunya. Gejalanya, kambing menggaruk-garuk,
gelisah, kulit merah dan menebal, dan bulu rontok. Bagian yang diserang
biasanya kulit muka, leher, telinga dan ekor. Kambing yang terserang
harus diasingkan dan diobati. Caranya, bulu dicukur lalu dimandikan.
Bagian yang sakit diobati dengan serbuk belerang atau salep seperti
Asuntol dan Benzyl Benzoate;
d) Cacing. Penyakit ini disebabkan karena kambing makan atau minum
yang mengandung tempayak cacing. Gejala serangan cacing antara
lain kurus. Lesu, dan lemah meskipun banyak makan, muka pucat
dan perut besar. Untuk mencegah serangan, jaga kebersihan dan beri
rumput dan air minum yang bebas tempayak cacing, kotoran hewan
dibakar. Seluruh kambing diberi obat cacing atau buah pinang 5-10
gram secara teratur 3 bulan sekali;
e) Kuku busuk. Penyakit ini disebabkan karena bakteri yang berkembang
bila tempatnya kotor dan basah, serta kuku tidak dirawat dan dipotong
secara teratur. Pengobatan dilakukan dengan memotong dan
membersihkan kuku menggunakan lisol kemudian diobati dengan salep
antibiotik seperti Leucomycin;
f) Pneumonia atau paru-paru basah. Penyakit ini berkembang bila kambing
kurang gizi serta udara kotor, dingin, dan lembab. Tanda-tandanya:
kambing tidak nafsu makan, kedinginan, kurus, batuk, dan napas
berbunyi. Pengobatan dilakukan dengan menempatkan kambing pada
tempat yang hangat dan diberi obat tablet antibiotik seperti leucomycin.
Pengawinan
Kambing betina mulai baliq atau dewasa kelamin pada umur 8-12 bulan.
Namun jangan buru-buru dikawinkan jika belum cukup umur sehingga hasilnya
kurang baik. Pengawinan sebaiknya setelah berumur 15-18 bulan. Untuk
menghindari kawin muda, sejak umur 5 bulan, kambing betina sudah harus
dipisah dari kambing jantan.
Birahi kambing timbul tiap 18 - 21 hari selama 24 - 48 jam. Tanda-tandanya,
kambing gelisah; mengembik; mendekati kambing jantan; ekor dikibas-kibas;
sering kencing; kemaluan membengkak, memerah, dan mengeluarkan lendir
jernih. Jika tanda-tanda tersebut nampak pagi, sorenya perlu dikawinkan.
Caranya kambing betina di bawa ke kandang kambing jantan atau sebaliknya.
Kambing dapat beranak mulai berumur 2 - 3 tahun dengan masa bunting 5
bulan. Dalam setahun kambing dapat melahirkan 2 kali atau 6 bulan sekali
dengan jumlah anak 1 - 3 ekor. Untuk memperoleh anak kembar, 2 - 3
minggu sebelum dikawinkan, induk betina dan pejantan diberi pakan
tambahan yang banyak mengandung protein, vitamin, dan mineral.





























Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan
dan perairan, selalu tergenang sepanjang tahun atau selama kurun waktu
tertentu, genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena drainase yang
terhambat. Lahan rawa dapat dibedakan dari danau, karena genangan danau
umumnya lebih dalam dan tidak bervegetasi kecuali tumbuhan air yang
terapung.
Lahan rawa umumnya ditumbuhi oleh vegetasi semak berupa herba dan
tamanan air seperti Bakung, Rumput air, Purun, dan Pandan; atau ditumbuhi
oleh pohon-pohon yang tingginya lebih dari 5 m dan bertajuk rapat seperti
Meranti rawa, Jelutung, Ramin, dan Gelam. Lahan rawa yang didominasi
oleh tumbuhan semak sering disebut rawa non hutan, sedangkan yang
vegetasinya berupa pohon-pohon tinggi sering disebut rawa berhutan atau
hutan rawa.
Tipologi atau klasifikasi lahan rawa dapat dilihat dari berbagai dimensi.
Pertama adalah tipologi berdasarkan kekuatan pasang dan arus sungai,
kedua tipologi berdasarkan jenis dan kondisi tanah.Antara bumi dan bulan terdapat kekuatan tarik menarik yang secara langsung
berpengaruh terhadap permukaan air laut. Ketika posisi bulan di suatu
lokasi berada 90o
, permukaan air laut mengalami pasang karena daya tarik
bulan. Secara berangsur, pasang akan turun ketika posisi bulan bergeser
ke arah barat. Pada bulan mati atau bulan tidak tampak, air laut akan
surut.
Pasang surutnya air laut terjadi dalam siklus harian. Berdasarkan
ketinggiannya, air pasang dibedakan menjadi dua yaitu pasang besar/
maksimum (spring tide) dan pasang kecil/minimum (neap tide). Pasang
besar terjadi pada sekitar bulan purnama. Pasang kecil terjadi pada sekitar
bulan sabit.
Ketika laut pasang, air laut akan mendesak ke arah daratan melalui sungai
dan memicu  naiknya permukaan air sungai. Naiknya permukaan air
sungai, memicu  permukaan air pada lahan yang berdekatan dengan
sungai akan meninggi pula (kadang menimbulkan banjir akibat adanya luapan
air sungai). Berdasarkan besarnya kekuatan arus air pasang dan arus air
sungai, lahan rawa dapat dibagi menjadi dua yaitu rawa pasang surut dan
rawa non pasang surut atau lebak. Di negara kita , luas lahan rawa mencapai
33,4 juta ha (Nugroho et al., 1992) atau sekitar 17% dari luas daratan Indo￾nesia. Luasan rawa tersebut terdiri dari 20,1 juta ha lahan pasang surut dan
13,3 juta ha rawa non pasang surut.
Lahan Rawa Pasang Surut
Rawa pasang surut adalah lahan rawa yang genangan airnya terpengaruh
oleh pasang surutnya air laut. Selanjutnya, rawa semacam ini dibedakan
berdasarkan kekuatan air pasang dan kandungan garam didalam airnya
(asin/payau atau tawar) serta jauhnya jangkauan luapan air.
Tipologi Rawa Pasang Surut Salinitas Air (Kadar Garam)
Berdasarkan salinitas air, rawa pasang surut dibedakan menjadi dua yaitu
pasang surut air salin dan pasang surut air tawar.
1. Pasang surut air salin/asin atau payau
Pasang surut air salin berada pada posisi Zona I (lihat Gambar 1). Di wilayah
ini, genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut
sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat. Akibatnya, air di wilayah
tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang
kecil, selama musim hujan dan musim kemarau.
Lahan rawa yang salinitas air (kadar garamnya) antara 0,8 – 1,5 % dan
mendapat intrusi air laut lebih dari 3 bulan dalam setahun (Ismail dkk, 1993)
disebut sebagai lahan salin atau lahan pasang surut air asin. Lahan seperti
itu biasanya didominasi oleh tumbuhan bakau. jika  kadar garamnya
hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2 bulan, disebut
sebagai lahan rawa peralihan.
Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin karena sering
mengalami keracunan. Lahan seperti ini direkomendasikan untuk hutan
bakau/mangrove, budidaya tanaman kelapa, dan tambak. Khusus untuk
tambak, harus memenuhi persyaratan adanya pasokan air tawar dalam jumlah
yang memadai sebagai pengencer air asin.
2. Pasang surut air tawar
Lahan rawa pasang surut air tawar berada pada posisi Zona II (lihat Gambar
1). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau
sama dengan kekuatan arus/dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena
energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai,
lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian, namun air asin/
payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus
pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin
berkurang, dan akhirnya air pasang tidak memicu  terjadinya genangan
lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air
tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya
airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri.
Di daerah perbatasan/peralihan antara Zona I dengan Zona II, salinitas air
sering meningkat pada musim kemarau panjang sehingga air menjadi payau.
Lahan seperti ini sering pula disebut sebagai lahan rawa peralihan. Meskipun
airnya tawar di musim hujan, di bawah permukaan tanah pada zona ini
terdapat lapisan berupa endapan laut (campuran liat dan lumpur) yang dicirikan
oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 - 120 cm di
bawah permukaan tanah.
Pasang surutnya air laut berpengaruh terhadap ketinggian dan kedalaman
air tanah di dalam lahan. Berdasarkan jangkauan luapan air pasang di
dalam lahan, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu
Tipe A, B, C, dan Tipe D (lihat Tabel 2).
Ketinggian air pasang besar di musim hujan dan kemarau biasanya berbeda,
sehingga luas Tipe luapan A, B, C, dan D selalu berubah menurut musim.
Pada waktu musim hujan, suatu kawasan dapat tergolong Tipe A, tetapi
pada musim kemarau termasuk Tipe B atau C. Hal ini dikarenakan
permukaan air sungai meninggi di musim hujan dan menurun di musim
kemarau. Oleh sebab itu, informasi tentang tipe luapan biasanya disertai
dengan informasi tentang musim pada saat pengamatan dilakukan.
Selanjutnya hubungan antara bentuk lahan (landform) dengan keempat tipe
luapan disajikan pada Gambar 2.
Lahan rawa non pasang surut, atau sering disebut rawa lebak, memiliki
kekuatan arus pasang dari laut jauh lebih kecil (atau bahkan sudah tidak
tampak sama sekali) daripada kekuatan arus dari hulu sungai. Tipe ini
menduduki posisi pada Zona III (lihat Gambar 1). Pada zona ini, pengaruh
kekuatan arus sungai jauh lebih dominan. Tanda pasang surut harian yang
biasanya tampak sebagai gerakan naik turunnya air sungai, sudah tidak
nampak lagi. Sejak batas dimana gerak naik turunnya air tanah tidak terlihat
lagi, maka lahan rawa pada lokasi ini termasuk sebagai rawa non pasang
surut atau lahan rawa lebak. Rawa lebak merupakan istilah lain dari rawa
non pasang surut di daerah Sumatera Selatan. Di tempat lain disebut rawa
payo (Jambi), rawa rintak atau surung (Kalimantan Selatan), rawa rapak
atau kelan (Kalimantan Timur), dan rawa pedalaman atau rawa monoton.
Berdasarkan kedalaman dan lamanya genangan, rawa lebak dibedakan
menjadi tiga (Nugroho et al., 1992) yaitu :
1. Lebak dangkal atau lebak pematang yaitu rawa lebak dengan genangan
air kurang dari 50 cm. Lahan ini biasanya terletak di sepanjang tanggul
sungai dengan lama genangan kurang dari 3 bulan;
2. Lebak tengahan yaitu lebak dengan kedalaman genangan 50 - 100 cm.
Genangan biasanya terjadi selama 3 - 6 bulan;
3. Lebak dalam yaitu lebak dengan kedalaman genangan air lebih dari
100 cm. Lahan ini biasanya terletak di sebelah dalam menjauhi sungai
dengan lama genangan lebih dari 6 bulan.
Ciri khas yang membedakan antara lahan rawa pasang surut dan lebak
adalah tutupan vegetasi alami yang tumbuh di atasnya. Lahan rawa pasang
surut air salin umumnya ditumbuhi dengan tanaman jenis mangrove, Nipah,
Galam dan lain-lain. Sedangkan lahan rawa lebak sering ditumbuhi dengan
jenis tanaman rawa seperti Pule, Nibung, Serdang, Nyatoh, Putat, Meranti,
Belangiran, dan Kapor naga.
Di lahan rawa, terdapat dua jenis tanah yaitu tanah mineral (terdiri atas
tanah aluvial dan gleihumus) dan tanah gambut (peat soils), Gambar 3.
Tanah mineral yang dijumpai di wilayah pasang surut umumnya terbentuk
dari bahan endapan marin/laut karena proses pengendapannya dipengaruhi
oleh air laut. Pada wilayah agak ke pedalaman dimana pengaruh arus sungai
relatif kuat, tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai dan pada
kedalaman tertentu terdapat bahan sulfidik (pirit).
Seperti halnya tanah mineral, dengan adanya pengaruh air payau/laut dan
air tawar, tanah gambut yang dijumpai di wilayah pasang surut air laut akan
membentuk tanah gambut dalam lingkungan marin. Pada wilayah agak ke
pedalaman dimana pengaruh sungai relatif masih kuat, tanah-tanahnya berada
dalam lingkungan air tawar.
Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang sifat, proses pembentukan
dan bahan penyusun dari tanah aluvial, gleihumus dan tanah gambut (peat
soils).
Tanah Aluvial
Aluvial adalah tanah yang belum mengalami perkembangan profil. Tanahnya
selalu jenuh air, terbentuk dari bahan endapan muda (recent) seperti endapan
lumpur, liat, pasir dan bahan organik. Proses pembetukan tanahnya
merupakan hasil dari aktivitas air sungai atau laut. Pada daerah yang
berdekatan dengan pantai atau dipengaruhi pasang surut air salin/payau,
akan terbentuk tanah aluvial bersulflat (sulfat masam aktual) dan aluvial
bersulfida (sulfat masam potensial). Tanah Aluvial yang letaknya jauh dari
pantai dan tidak dipengaruhi lingkungan marin/laut, atau aktivitas air sungai/
tawar-nya lebih dominan akan membentuk tanah aluvial potensial (non sulfat
masam). Tanah-tanah aluvial ini menurut klasifikasi Soil Taxonomy (UDSA,
1998) tergolong Sulfaquents/Sulfaquepts, Fluvaquents, Endoaquents/
Endoaquepts.
Tanah Gleihumus
Gleihumus atau yang dikenal dengan tanah aluvial bergambut merupakan
tanah peralihan ke tanah organosol. Tanahnya belum atau sedikit mengalami
perkembangan profil. Tanah terbentuk dari endapan lumpur dan bahan organik
dalam suasana jenuh air (hydromorphic). Lapisan atas berwarna gelap karena
banyak mengandung bahan organik. Tanah ini memiliki  ketebalan bahan
organik 20 - 50 cm. jika  proses pembentukan dipengaruhi lingkungan
marin/laut, tanah digolongkan pada jenis aluvial bersulfida bergambut (sulfat
masam bergambut). Tanah-tanah ini menurut klasifikasi Soil Taxonomy
(UDSA,1998) digolongkan kedalam Hydraquents.
Tanah Organosol (Gambut)
Tanah organosol atau tanah histosol yang saat ini lebih populer disebut
tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik
seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu
yang cukup lama. Tanah Gambut umumnya selalu jenuh air atau terendam
sepanjang tahun kecuali didrainase.
Beberapa ahli mendefinisikan gambut dengan cara yang berbeda-beda.
Berikut beberapa definisi yang sering digunakan sebagai acuan:
• Menurut Driessen (1978), gambut adalah tanah yang memiliki kandungan
bahan organik lebih dari 65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih
dari 0,5 m; Menurut Soil Taxonomy, gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan
organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari
berat jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya;
• Menurut Soil Survey Staff (1998), tanah disebut gambut jika  memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a). Dalam kondisi jenuh air
• jika kandungan liatnya 60% atau lebih, harus memiliki 
kandungan C-organik paling sedikit 18%;
• Jika kandungan liat antara 0 – 60%, harus memiliki  C-organik
lebih dari (12 + persen liat x 0,1) persen;
• jika tidak memiliki  liat, harus memiliki C-organik 12% atau
lebih.
b). jika  tidak jenuh air, kandungan C-organik minimal 20%. Tanah￾tanah gambut ini menurut klasifikasi Soil Taxonomy (UDSA,1998)
digolongkan kedalam Typic/Sulfisaprists/Sulfihemists/Haplosaprists/
Haplohemists/Haplofibrits.
Tipologi Rawa Berdasarkan Kondisi Tanah
Berdasakan kondisi tanahnya (kedalaman lapisan pirit, kadar garam, dan
ketebalan gambut), lahan rawa dibagi menjadi 14 tipe seperti dalam Tabel
4. Dalam tabel tersebut terlihat adanya perbedaan nama tipe lahan antara
versi lama dan versi baru.
Berikut ini adalah uraian singkat tentang lahan gambut, lahan rawa potensial,
sulfat masam, serta lahan berpirit.
Lahan Gambut
Secara alami, tanah gambut terdapat pada lapisan tanah paling atas. Di
bawahnya terdapat lapisan tanah aluvial pada kedalaman yang bervariasi.
Disebut sebagai lahan gambut jika  ketebalan gambut lebih dari 50 cm.
Dengan demikian, lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut
lebih dari 50 cm.
Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut dibedakan atas empat kelas
(Widjaja-Adhi, 1995), yaitu gambut dangkal (50 – 100 cm), gambut sedang
(100 – 200 cm), gambut dalam (200 – 300 cm), dan gambut sangat dalam
(>300 cm). Tanah dengan ketebalan lapisan gambut 0 - 50 cm,
dikelompokkan sebagai lahan bergambut (peaty soils).
Gambut merupakan lahan yang rapuh dan mudah rusak. Oleh sebab itu,
lahan gambut harus diperlakukan secara arif agar tidak menimbulkan bahaya
dan kendala. Pengelolaan yang sembarangan dan tanpa mengindahkan
kaedah-kaedah konsevasi lahan akan memicu  ongkos produksi mahal
dan kalau sudah terlanjur rusak, biaya pemulihannya sangat besar. Agar
lebih mendalam dalam mengenal lahan gambut, uraian lebih jauh tentang
tipe lahan ini akan dibahas secara khusus dalam Bab 3.
Lahan Bergambut
Lahan dengan ketebalan/kedalaman tanah gambut kurang dari 50 cm disebut
sebagai lahan bergambut. Yang perlu diperhatikan dalam mengelola lahan
bergambut adalah lapisan yang berada di bawah gambut. Jika di bawah
gambut terdapat tanah aluvial tanpa pirit, maka lahan ini cukup subur dan
hampir mirip dengan lahan potensial. Namun jika  di bawah gambut
terdapat lapisan pasir, sebaiknya tidak usah digunakan untuk pertanian,
karena disamping tidak subur, kalau gambutnya habis akan menjadi padang
pasir. jika  di bawah gambut terdapat lapisan pirit, pengelolaannya harus
hati-hati dan tanahnya harus dijaga agar selalu dalam keadaan berair (agar
piritnya tidak teroksidasi) atau dibuatkan sistem drainase yang
memungkinkan tercucinya materi pirit.
Lahan Rawa Potensial dan Sulfat Masam
Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki
lapisan pirit, atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman lebih dari 50 cm
disebut sebagai lahan rawa potensial. Lahan ini merupakan rawa paling
subur dan potensial untuk pertanian. Tanah yang mendominasi lahan rawa
tersebut adalah tanah aluvial hasil pengendapan yang dibawa oleh air hujan,
air sungai, atau air laut.Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya
kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan aluvial bersulfida dangkal atau
sering disebut lahan sulfat masam potesial. jika  lahan aluvial bersulfida
memiliki lapisan gambut dengan ketebalan kurang dari 50 cm disebut lahan
aluvial bersulfida bergambut (Tabel 4). Lahan yang lapisan piritnya sudah
teroksidasi sering disebut sebagai lahan bersulfat atau lahan sulfat
masam aktual. Lahan seperti ini tidak direkomendasikan untuk budi daya
pertanian.
Tanah di daerah pantai (juga disebut tanah marin) terbentuk dari hasil
pengendapan (sedimentasi) dalam suasana payau atau asin. Tanah tersebut
umumnya mengandung bahan sulfidik (FeS2
) yang sering disebut pirit.
Lapisan tanah yang mengandung pirit lebih dari 0,75% disebut sebagai
lapisan pirit. Pengelompokan letak kedalaman lapisan pirit adalah sebagai
berikut: dangkal (< 50 cm), sedang (51 - 100 cm), dalam (101 - 150 cm) dan
sangat dalam (>150 cm).
Adanya lapisan pirit pada lahan dapat diketahui dari tanda-tanda sebagai
berikut (Widjaja-Adhi, 1995):
(1) Lahan dipenuhi oleh tumbuhan purun tikus;
(2) Di tanggul saluran terdapat bongkah-bongkah tanah berwarna kuning
jerami (jarosit). Pada bagian yang terkena alir terdapat garis-garis
berwarna kuning jerami;
(3) Di saluran drainase, terdapat air yang mengandung karat besi berwarna
kuning kemerahan;
(4) jika  tanah yang mengandung pirit ditetesi dengan larutan hidrogen
peroksida (H2
O2
) 30%, maka ia akan mengeluarkan busa/berbuih.
Berikut ini adalah cara-cara praktis untuk mengetahui secara pasti adanya
pirit dan letak kedalaman pirit:
(1) Tanah dibor dengan menggunakan alat bor gambut. jika  tidak ada
bor, tanah dapat diambil dengan menggunakan cangkul, tetapi tanah
dari berbagai lapisan kedalaman harus dipisahkan;
(2) Tanah ditetesi dengan larutan peroksida (H2
O2) 30%. Penetesan
peroksida harus merata mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah.
Tanah akan bereaksi (membuih dan mengeluarkan asap berbau belerang)
jika terdapat pirit;
(3) Tanah yang menunjukkan adanya pirit, terlihat dari adanya perubahan
warna dari kelabu menjadi kekuningan setelah ditetesi H2
O2
 dan adanya
penurunan pH sangat drastis (sebelum ditetesi dengan peroksida pH
tanah harus dicek terlebih dahulu)
(4) jika  larutan peroksida tidak ada, biarkan saja tanah di dalam bor
mengering. Sesudah kering, lapisan tanah yang mengandung pirit akan
berubah warna menjadi kuning karat seperti jerami. Warna ini akan
nampak, biasanya setelah 8 minggu.
jika  tanah marin yang mengandung pirit direklamasi (misalnya dengan
dibukanya saluran-saluran drainase sehingga air tanah menjadi turun dan
lingkungan pirit menjadi terbuka dalam suasana aerobik) maka akan terjadi
oksidasi pirit, yang menghasilkan asam sulfat. Reaksinya digambarkan
sebagai berikut:
FeS2
 + 14/4O2
 + 7/2 H2
O ——> Fe (OH)3
 + 2(SO4
)2- + 4 H+ ........ I)
Pirit Oksigen Besi-III Asam Sulfat
Hasil reaksi adalah terbentuknya asam sulfat, dengan terbebasnya ion H+,
yang mengakibatkan pH sangat rendah (pH 1,9 sampai <3,5). Terlalu
banyaknya ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur kisi (lattice)
mineral liat, dan terbebasnya ion-ion Al3+ yang bersifat toksis terhadap
tanaman. Pertumbuhan tanaman menjadi sangat terganggu karena adanya
kombinasi pH sangat rendah dengan ion Al3+ bersifat toksis dan tidak
tersedianya fosfat.
jika  drainase dilakukan secara drastis, lapisan pirit akan teroksidasi
secara kuat dan menghasilkan mineral jarosit yang nampak seperti karat
berwarna kuning jerami. Reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
FeS2
 + 15/4 O2
 + 5/2 H2
O + 1/3 K+ ----> 1/3 KFe3
(SO4
)2
(OH)6
 + 4/3 (SO4
)2- + 3 H+ ....II)
Pirit Oksigen Jarosit Asam Sulfat
Terlalu banyaknya ion-ion H+ dalam larutan tanah, disamping memicu 
terjadinya pertukaran ion yang mendesak keluar semua basa-basa tanah
(Ca, Mg, K dan Na) dalam kompleks adsorpsi liat dan humus, ion-ion H+
tersebut juga membentuk senyawa hidrat dengan molekul air (yang bersifat
bipoler) dan masuk ke dalam struktur kisi (lattice) mineral liat untuk
menggantikan tempat ion Al3+ dalam kisi mineral. Mineral liat menjadi tidak
stabil, kisinya runtuh (collapsed), dan strukturnya rusak, sehingga dibebaskan
banyak sekali ion Al3+ dalam larutan tanah. Kondisi melimpahnya berbagai
senyawa yang tidak lazim ini, akan mengakibatkan timbulnya permasalahan
agronomis yang sangat serius bagi pertumbuhan tanaman seperti keracunan
aluminium dan besi serta defisiensi unsur hara.
Pada kondisi sangat masam (pH<4), kelarutan ion aluminium meningkat
drastis. Konsentrasi Al3+ dapat meningkat 10 kali lipat setiap penurunan
satu unit pH. Pada pH 5,5 konsentrasi Al3+ sebesar 0,44 ppm (me/liter) dan
pada pH 5,5 meningkat menjadi 54 ppm (Menurut Van Breemen (1976) dalam
Ismunadji dan Supa). Padahal, konsentrasi Aluminium sebesar 1 - 2 ppm
sudah dapat meracuni tanaman (Rumawas, 1986).
Peningkatan pH karena kondisi tergenang akan memicu  reduksi Fe3+
menjadi Fe2+. Oleh karena itu, konsentrasi Fe2+ menjadi sangat meningkat.
Pada konsentrasi Fe2+ yang cukup rendah, misalnya 30–50 ppm (me/liter),
sudah dapat meracuni tanaman (Ismunadji dan Supardi, 1982). Keracunan
besi seringkali terjadi pada lapisan bahan sulfidik yang sudah teroksidasi,
yaitu pada tanah Sulfat Masam Aktual yang digenangi kembali oleh air hujan
atau irigasi. Konsentrasi besi Fe2+ dapat mencapai 300 - 400 ppm sehingga
sangat meracuni tanaman.
Akibat melimpahnya ion Al3+ dan besi Ferro (Fe2+) di dalam larutan tanah,
maka setiap ion fosfat yang tersedia, baik sebagai (H2
PO4
)
1- maupun (HPO4
)
2
,
akan bereaksi atau diikat kuat oleh ion Al3+ dan Fe2+. Akibatnya, terjadi
defisiensi atau kahat P di dalam tanah.

Pada kondisi Al3+ dan Fe2+ yang melimpah, kompleks pertukaran liat dan
humus akan dijenuhi oleh kedua ion tersebut. Ion-ion basa lain (K, Ca, Mg
dan Na) tercuci keluar dan hanyut terbawa air mengalir, sehingga kandungan
basa-basa tanah (sebagai hara) menjadi sangat berkurang. Tanah sulfat
masam yang mengalami proses pencucian dalam waktu lama, akan
mengalami defisiensi atau kahat hara tanah. Bloomfield dan Coulter (1973)
melaporkan bahwa telah terjadi defisiensi Ca, Mg, K, Mn, Zn, Cu dan Mo
pada berbagai tanah sulfat masam di daerah tropis.
Kondisi seperti diuraikan di atas dapat berlangsung sangat lama, bahkan
bertahun-tahun, sampai bahan-bahan pengganggu yang disebutkan di atas
habis terbawa/tercuci oleh aliran air. jika  oksidasi pirit sudah terlanjur
terjadi, biaya pemulihannya akan sangat mahal. Salah satu cara untuk
mengatasi kemasaman tanah adalah dengan pemakaian  pupuk fosfat alam
(rock phosphate), atau pemberian senyawa kapur misalnya kapur pertanian
(kaptan) [Ca(CO3
)2
], atau dolomit [Ca, Mg (CO3
)2] untuk menetralisir ion H+
dan Al3+. Namun di daerah pasang surut, sumber-sumber batuan fosfat dan
kapur tersebut praktis tidak ada, demikian juga tanah sedikit sekali
mengandung ion Ca dan Mg, oleh karena miskinnya batuan asal di daerah
aliran sungai (DAS) bagian hulu (hinterland).
Pengapuran tanah masam yang tidak mengandung pirit, membutuhkan kapur
tidak terlalu banyak. Namun untuk tanah sulfat masam aktual, dibutuhkan
kapur sangat banyak. Perhitungan teoritis yang dilakukan Driessen dan
Soepraptohardjo (1974), menunjukkan bahwa untuk menaikan pH dari 3,5
menjadi 5,5 dari tanah lapisan atas (topsoil) yang mengandung 40 persen
liat, 1 persen humus dan BD 1,35 gram/cc setebal 20 cm, diperlukan kaptan
sebanyak 12 ton/hektar, meskipun pemakaian  7 ton lebih realistis. Oleh
karena itu, oksidasi pirit harus dihindarkan. Caranya, lapisan pirit harus
dipertahankan dalam kondisi basah dan tidak dibiarkan kering.

Lahan gambut memiliki  potensi yang cukup baik untuk usaha budidaya
pertanian tetapi memiliki kendala cukup banyak yang dapat memicu 
produktivitas rendah. Dengan mengetahui karakternya, dapat ditentukan cara
pengelolaan yang bijak dan tepat sehingga usaha tani yang dikembangkan
dapat menguntungkan tanpa membahayakan lingkungan.
 Fisiografi Lahan Gambut
Lahan gambut di negara kita  pada umumnya membentuk kubah gambut (peat
dome). Pada bagian pinggiran kubah, didominasi oleh tumbuhan kayu yang
masih memperoleh pasokan hara dari air tanah dan sungai sehingga banyak
jenisnya dan umumnya berdiameter besar. Hutan seperti itu, disebut hutan
rawa campuran (mixed swamp forests).
Menuju ke bagian tengah, letak air tanah sudah terlalu dalam sehingga perakaran
tumbuhan kayu hutan tidak mampu mencapainya. Akibatnya, vegetasi hutan
hanya memperoleh sumber hara yang semata-mata berasal dari air hujan.
Vegetasi hutan lambat laun berubah, jenis-jenis spesies kayu hutan semakin
sedikit, vegetasi hutan relatif kurus dengan rata-rata berdiameter kecil. Vegetasi
hutan seperti ini disebut hutan padang. Gambut tebal yang terbentuk, umumnya
bersifat masam dan miskin hara sehingga memiliki kesuburan alami yang rendah
sampai sangat rendah. Perubahan dari wilayah pinggiran gambut yang relatif
kaya hara menjadi wilayah gambut ombrogen yang miskin, diperkirakan terjadi
pada kedalaman gambut antara 200-300 cm (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
Di kawasan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar
Kalimantan Tengah, kubah gambut berbentuk hampir bujur telur, terletak di
antara Sungai Kapuas dan Sungai Dadahup/Sungai Barito. Kubah gambut
pertama, terletak di antara Sungai Kapuas dan Sungai Mantangai, berukuran
sekitar 22 km x 17 km, dengan ketebalan gambut terdalam antara 8 - 9 m.
Kubah gambut kedua, terletak diantara Sungai Mantangai dan Sungai
Dadahup, berukuran lebih besar yaitu sekitar 45 km x 23 km, dengan
ketebalan gambut terdalam mencapai 13 m (Subagjo et al., 2000).
Tanah gambut terbentuk di dataran rendah berawa-rawa. Sebagian kecil,
ditemukan pada dataran pasang surut yang umumnya berupa gambut topogen
dangkal sampai sedang. Sebagian besar tanah gambut dijumpai di dataran
rendah sepanjang pantai di antara sungai-sungai besar dan umumnya berupa
gambut ombrogen dengan kedalaman gambut sedang sampai sangat dalam.
Luasnya di negara kita  diperkirakan sekitar 18,586 juta ha (Tabel 5, dikutip
dari berbagai sumber).
Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya
akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama.
Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan
laju penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan basah.
Proses pembentukan gambut hampir selalu terjadi pada hutan dalam kondisi
tergenang dengan produksi bahan organik dalam jumlah yang banyak.
Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai negara kita  diperkirakan
dimulai sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu.
Proses pembentukan gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar
10.000 tahun yang lalu (Brady, 1997 dalam Murdiyarso dkk, 2004). Seperti
gambut tropis lainnya, gambut di negara kita  dibentuk oleh akumulasi residu
vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa (Brady, 1997 dalam
Murdiyarso dkk, 2004). Karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem
rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang, dan akar tumbuhan
yang besar.
Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga
proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi.
Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan),
susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu (Andriesse, 1988).
Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi
dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena
drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini
ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah;
(2) Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan
melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi
tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang
telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan
membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus;
(3) Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi
setelah pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup
menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme.
3.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut
Sifat tanah gambut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sifat fisik dan
kimia. Sifat-sifat fisik dan kimia gambut, tidak saja ditentukan oleh tingkat
dekomposisi bahan organik tetapi juga oleh tipe vegetasi asal bahan organik.
Sifat Fisik
Sifat fisik gambut yang penting untuk diketahui antara lain tingkat
kematangan, berat jenis, kapasitas menahan air, daya dukung (bearing ca￾pacity), penurunan tanah, daya hantar hidrolik, dan warna.
Tingkat Kematangan Gambut
Karena dibentuk dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang berbeda,
tingkat kematangan gambut bervariasi. Gambut yang telah matang akan
cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya yang belum matang,
banyak mengandung serat kasar dan kurang subur. Serat kasar merupakan
bagian gambut yang tidak lolos saringan 100 mesh (100 lubang/inci persegi).
Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposis bahan organik, gambut
dibedakan menjadi tiga yakni:
1) Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan
lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya, bila
gambut diperas dengan telapak tangan dalam keadaaan basah, maka
kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah
pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>¾);
2) Hemik, yaitu gambut yang memiliki  tingkat pelapukan sedang
(setengah matang), sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan
sebagian lagi berupa serat. Bila diperas dengan telapak tangan dalam
keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari-jari dan
kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah
pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat
bagian atau lebih (¼ dan <¾);
3) Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang).
Bila diperas, gambut sangat mudah melewati sela jari-jari dan serat
yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian
(<¼).
Untuk mempercepat kematangan gambut, biasanya digunakan tanaman
ubikayu, pemberian pupuk kandang atau kompos, pemberian pupuk organik
cair, dan drainase. Tanaman ubikayu tahan terhadap keasaman tinggi, dan
mikroorganisme (jasad renik) yang terdapat pada perakarannya akan
mempercepat pematangan gambut. Demikian pula mikroorganisme yang
terdapat dalam kompos, pupuk kandang, dan pupuk organik cair. Sedangkan
drainase yang memadai akan memberikan suasana yang baik bagi
perkembangbiakan mikroorganisme [catatan: drainase harus dilakukan
secara ekstra hati-hati, yaitu dengan tetap mempertahankan tinggi muka
air tanah gambut sesuai kebutuhan tanaman. Kondisi over-drainase akan
sangat membahayakan, karena selain gambut akan menjadi kering dan
rentan terhadap api, juga terjadi subsidence/amblasan pada tanah gambut
yang dapat menumbangkan tanaman di atasnya sebagai akibat dari
mencuatnya perakaran ke permukaan tanah gambut].
Warna
Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi
setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap
sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna
gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang,
gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna
coklat tua, dan saprik berwarna hitam (Darmawijaya, 1990). Dalam keadaan
basah, warna gambut biasanya semakin gelap.
Bobot Jenis (Bulk Density/BD)
Gambut memiliki berat jenis yang jauh lebih rendah dari pada tanah aluvial.
Makin matang gambut, semakin besar berat jenisnya. Wahyunto et al.,
2003 membuat klasifiksi nilai berat jenis atau bobot isi (bulk density) tanah
gambut di Sumatera sebagai berikut: gambut saprik nilai bobot isinya sekitar
0,28 gr/cc, hemik 0,17 gr/cc dan fibrik 0,10 gr/cc. Akibat berat jenisnya
yang ringan, gambut kering mudah tererosi/terapung terbawa aliran air.
Kapasitas Menahan Air
Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga memiliki  daya menyerap
air yang sangat besar. jika  jenuh, kandungan air pada gambut saprik,
hemik dan fibrik berturut-turut adalah <450%, 450 - 850%, dan >850% dari
bobot keringnya atau 90% volumenya (Suhardjo dan Dreissen, 1975). Oleh
sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat air (reservoir)
yang dapat menahan banjir saat musim hujan dan melepaskan air saat
musim kemarau sehingga intrusi air laut saat kemarau dapat dicegahnya.
Kering Tak Balik (Hydrophobia Irreversible)
Lahan gambut yang sudah dibuka dan telah didrainase dengan membuat
parit atau kanal, kandungan airnya menurun secara berlebihan. Penurunan
air permukaan akan memicu  lahan gambut menjadi kekeringan.
Gambut memiliki  sifat kering tak balik. Artinya, gambut yang sudah
mengalami kekeringan yang ekstrim, akan sulit menyerap air kembali.
Gambut yang telah mengalami kekeringan ekstrim ini memiliki bobot isi
yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, strukturnya
lepas-lepas seperti lembaran serasah, mudah terbakar, dan sulit ditanami
kembali.
Daya Hantar Hidrolik
Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horisontal
(mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur
hara ke saluran drainase. Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertikal
(ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering
mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga
menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air ke atas
hanya sekitar 40 - 50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini, perlu dilakukan
usaha  untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman tertentu. Untuk
tanaman semusim, kedalaman muka air tanah yang ideal adalah kurang
dari 100 cm. Sedangkan untuk tanaman tahunan disarankan untuk
mempertahankan muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan
gambut sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah.
Daya Tumpu
Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena
memiliki  ruang pori yang besar sehingga kerapatan tanahnya rendah
dan bobotnya ringan. Ruang pori total untuk bahan fibrik/hemik adalah 86 -
91% (volume) dan untuk bahan hemik/saprik 88 - 92 %, atau rata-rata sekitar
90% volume (Suhardjo dan Dreissen, 1977). Sebagai akibatnya, pohon
yang tumbuh di atasnya menjadi mudah rebah. Rendahnya daya tumpu
akan menjadi masalah dalam pembuatan saluran irrigasi, jalan, pemukiman
dan pencetakan sawah (kecuali gambut dengan kedalaman kurang dari 75
cm).
Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)
Setelah dilakukan drainase atau reklamasi, gambut berangsur akan kempes
dan mengalami subsidence/amblas yaitu penurunan permukaan tanah, kondisi
ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan
air. Lama dan kecepatan penurunan tersebut tergantung pada kedalaman
gambut. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan
berlangsungnya semakin lama. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3
- 0,8 cm/bulan, dan terjadi selama 3 - 7 tahun setelah drainase dan pengolahan
tanah.
Di Delta Upang Sumatera Selatan, penurunan permukaan terjadi selama 8
tahun dengan rata-rata penurunan antara 2 - 5 cm/tahun pada gambut￾dangkal (Chambers, 1979). Di Barambai, Kalimantan Selatan tercatat
penurunan gambut dangkal sebesar 1,6- 5,5 cm/tahun dan lahan bergambut
sebesar 2,4 - 3,2 cm/tahun (Dradjat et al., 1989). Kecepatan penurunan
permukaan gambut rata-rata di negara kita  dan Malaysia, berdasarkan data
terakhir adalah antara 2 - 4 cm/tahun, sesudah penurunan awal pada tahun￾tahun pertama yang terkadang mencapai 60 cm/tahun (Andriesse, 1997).
Akibat sifat gambut seperti ini mengakibatkan terjadinya genangan, pohon
mudah rebah, dan konstruksi bangunan (jembatan, jalan, saluran drainase)
akan cepat menggantung dan cepat roboh.
Masalah penurunan gambut pada tanaman tahunan, biasanya ditanggulangi
dengan cara sebagai berikut:
1) Penanaman tanaman tahunan didahului dengan penanaman tanaman
semusim minimal tiga kali musim tanam.
2) Dilakukan pemadatan sebelum penanaman tanaman tahunan.
3) Membuat lubang tanam bertingkat.
Mudah Terbakar
Lahan gambut cenderung mudah terbakar karena kandungan bahan organik
yang tinggi dan memiliki sifat kering tak balik, porositas tinggi, dan daya
hantar hidrolik vertikal yang rendah. Kebakaran di tanah gambut sangat
sulit untuk dipadamkan karena dapat menembus di bawah permukaan tanah.
Bara api yang dikira sudah padam ternyata masih tersimpan di dalam tanah
dan menjalar ke tempat-tempat sekitarnya tanpa disadari. Bara di lahan
gambut dalam biasanya hanya dapat dipadamkan oleh air hujan yang lebat.
Oleh sebab itu, kebakaran gambut harus dicegah dengan cara tidak membakar
lahan, tidak membuang bara api sekecil apapun seperti puntung rokok secara
sembarangan terutama di musim kemarau, dan menjaga kelembaban tanah
gambut dengan tidak membuat drainase secara berlebihan.
Kebakaran hutan dan lahan gambut memiliki  dampak negatif ekologi
berupa musnahnya sebagian besar sumber keanekaragaman hayati;
terbunuhnya ratusan satwa liar seperti Orang utan dan Beruang; polusi udara
yang memicu  gangguan kesehatan, aktivitas ekonomi, dan
transportasi. Polusi udara yang ditimbulkan, secara langsung meningkatkan
jumlah penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA).
Sifat Kimia
Sifat kimia gambut yang penting untuk diketahui adalah tingkat kesuburan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan tersebut.
Kesuburan Gambut
Friesher dalam Driessen dan Soepraptohardjo (1974) membagi gambut dalam
tiga tingkatan kesuburan yaitu Eutropik (subur), mesotropik (sedang), dan
oligotropik (tidak subur). Secara umum gambut topogen yang dangkal dan
dipengaruhi air tanah dan sungai umumnya tergolong gambut mesotropik
sampai eutropik sehingga memiliki  potensi kesuburan alami yang lebih
baik dari pada gambut ombrogen (kesuburan hanya terpengaruh oleh air
hujan) yang sebagian besar oligotropik.
Kadar abu merupakan petunjuk yang tepat untuk mengetahui keadaan tingkat
kesuburan alami gambut.  telah meneliti kadar abu tanah gambut untuk tujuan
reklamasi lahan di daerah Riau. Pada umumnya gambut dangkal (<1 m)
yang terdapat di bagian tepi kubah memiliki  kadar abu sekitar 15%,
bagian lereng dengan kedalaman 1 - 3 meter berkadar abu sekitar 10%,
sedangkan di pusat kubah yang dalamnya lebih dari 3 meter, berkadar abu
kurang dari 10% bahkan kadang-kadang kurang dari 5%. Hal ini sejalan
dengan pengayaan oleh air sungai atau air laut atau kontak dengan dasar
depresi. Sifat kimia indikatif gambut ombrogen dan topogen di negara kita 
disajikan pada Tabel 6
Tanah gambut umumnya memiliki kesuburan yang rendah, ditandai dengan
pH rendah (masam), ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K, Ca, Mg,
P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah, mengandung asam-asam
organik yang beracun, serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang
tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) rendah.
KTK yang tinggi dan KB yang rendah memicu  pH rendah dan sejumlah
pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit diambil oleh tanaman.
Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki pH antara 3 - 4,5. Gambut
dangkal memiliki  pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) dari pada gambut dalam
(pH 3,1 - 3,9). Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai
sedang, berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total
termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman, oleh karena
rasio C/N yang tinggi.
Dekomposisi bahan organik dalam suasana anaerob menghasilkan senyawa￾senyawa organik seperti protein, asam-asam organik, dan senyawa pembentuk
humus. Asam-asam organik tersebut berwarna hitam dan membuat suasana
tanah menjadi masam dan beracun bagi tanaman. Kisaran pH tanah gambut
antara 3 hingga 5. Rendahnya pH ini memicu  sejumlah unsur hara
seperti N, Ca, Mg, K, Bo, Cu, dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. Unsur
hara makro Fospat juga berada dalam jumlah yang rendah karena gambut
sulit mengikat unsur ini sehingga mudah tercuci. Keasaman yang tinggi
(pH rendah) juga memicu  tidak aktifnya mikroorganisme, terutama
bakteri tanah, sehingga pertumbuhan cendawan merajalela dan reaksi tanah
yang didukung oleh bakteri seperti fiksasi nitrogen dan mineralisasi gambut
menjadi terhambat. Tingkat pH yang ideal bagi ketersediaan unsur hara di
tanah gambut adalah 5 hingga 6,0 (FAO, 1999). Tetapi menjadikan pH
tanah gambut lebih dari 5 membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga
angka 5 dijadikan rujukan untuk budidaya pertanian.
Faktor kesuburan lainnya adalah Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan
Kejenuhan Basa (KB). KTK adalah kemampuan tanah untuk mengikat
(menyerap) dan mempertukarkan kation yang dinyatakan dalam miliekuifalen
per 100 gram tanah. Sedangkan kejenuhan basa adalah persentase kation
basa (Ca, Mg, K, dan Na) yang dapat dipertukarkan terhadap nilai KTK-nya.
KTK tanah gambut umumnya tinggi dan meningkat dengan meningkatnya
kandungan bahan organik. Tetapi KB-nya rendah karena jumlah kation
basanya rendah. KB yang rendah memicu  pH rendah dan sejumlah
pupuk yang diberikan ke dalam tanah sulit diambil oleh tanaman.
Penambahan bahan yang mengandung Ca, Mg, K dan Na akan meningkatkan
KB, meningkatkan pH, dan mengusir senyawa asam organik. Tabel 7
memperlihatkan nilai-nilai parameter fisik dan kimia tanah gambut yang
terdapat di beberapa lokasi proyek CCFPI di Sumatera (Jambi dan Musi
Banyuasin, Sumsel) dan Kalimantan Tengah (Kapuas dan Barito Selatan).
Faktor yang Mempengaruhi Kesuburan
Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu ketebalan
gambut, bahan asal, kualitas air, kematangan gambut dan kondisi tanah di
bawah gambut. Secara umum, gambut yang berasal dari tumbuhan
berbatang lunak lebih subur dari pada gambut yang berasal dari tumbuhan
berkayu. Gambut yang lebih matang lebih subur dari pada gambut yang
belum matang. Gambut yang mendapat luapan air sungai atau air payau
lebih subur dari pada gambut yang hanya memperoleh luapan atau curahan
air hujan. Gambut yang terbentuk di atas lapisan liat/lumpur lebih subur
dari pada yang terdapat di atas lapisan pasir. Gambut dangkal lebih subur
dari pada gambut dalam.
Pembentukan gambut dangkal dipengaruhi oleh banjir sungai yang banyak
membawa hara, sehingga lebih subur dari pada gambut dalam yang haranya
semata-mata berasal dari air hujan dan dekomposisi reruntuhan vegetasi di
atasnya. Penelitian menunjukkan bahwa
pada tanah bergambut (ketebalan sekitar 20 cm) sampai gambut sedang
(ketebalan 180 cm), produksi gabah kering semakin merosot dengan semakin
tebalnya gambut. Semakin tebal gambut, kandungan abu (ash) semakin
rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanahnya menjadi lebih
masam.Di bawah lapisan gambut di lahan pasang surut, sering terdapat lapisan pirit
(lihat Bab 2). Semakin dangkal letak lapisan pirit, maka gambutnya semakin
tidak subur karena ancaman pirit teroksidasi semakin besar. Jika oksidasi
terjadi, akar tanaman akan terganggu, unsur hara sulit diserap oleh tanaman,
unsur besi dan aluminium akan larut hingga meracuni tanaman. Kondisi
semacam ini akan berlangsung sangat lama, bertahun-tahun, sampai racun
tersebut habis terbawa/tercuci oleh aliran air.
Untuk mengatasi masalah ini, hal pertama yang harus diperhatikan adalah
tidak menggunakan tanah yang kedalaman piritnya terletak kurang dari 50
cm, kecuali dijamin dapat diairi/tersedianya air sepanjang tahun. Kedua,
lapisan pirit harus selalu dijaga agar tidak kekeringan dengan cara
mempertahankan kelembaban tanah sampai kedalaman lapisan pirit.
memperlihatkan secara garis besar sifat-sifat fisik dan kimia tanah
gambut yang menjadi faktor pembatas kesuburan gambut. Dengan
mengetahui sifat-sifat ini maka setiap langkah yang akan diambil dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan (khususnya pertanian) di atasnya mesti
mempertimbangkan kondisi ini secara mendalam.Perilaku gambut seperti yang telah diuraikan di atas, cenderung menjadi
kendala bagi pengembangan pertanian. Untuk menjadikan gambut sebagai
lahan pertanian yang produktif, berikut adalah langkah-langkah yang perlu
dikerjakan:
1. Melakukan budidaya tanaman hanya di lahan gambut dengan kedalaman
kurang dari 3 m. Semakin tipis gambutnya, semakin layak untuk
pertanian;
2. Tidak menggunakan lahan gambut yang membentang di atas lapisan
pasir dan tidak menggunakan lahan yang letak lapisan piritnya dangkal
kecuali ada jaminan irigasi sepanjang tahun;
3. Pembangunan jaringan drainase harus disertai dengan pembangunan
jaringan irigasi dan pintu-pintu yang dapat menjamin keberadaan air
dalam jumlah memadai di lahan gambut;
4. Tidak melakukan penyiapan lahan dengan cara bakar, tidak melakukan
pembakaran gambut, serta tidak membakar serasah dan membuang
bara seperti puntung rokok secara sembarangan di lahan gambut;
5. Melakukan penataan lahan dan memilih jenis dan varietas tanaman
yang sesuai dengan ketebalan gambut, kondisi air, dan kesuburan tanah;
6. Mengolah tanah dengan minimum tillage (olah tanah minimum). Sebelum
dimanfaatkan terutama untuk tanaman tahunan, gambut perlu dipadatkan
terlebih dahulu atau ditanami tanaman semusim;
7. Tanah gambut yang masih sulit ditanami karena belum matang, dapat
ditanami ubikayu untuk mempercepat kematangan gambut. Tanaman
ubikayu bisa beradaptasi dengan baik pada pH rendah dan
mikroorganisme yang terdapat pada perakarannya mampu mempercepat
peruraian gambut;
8. Menggunakan amelioran untuk memperbaiki sifat fisik dan kesuburan
gambut, seperti pupuk kandang, kompos/bokasi, kapur, tanah mineral,
lumpur, dan abu. Abu berasal dari serasah dan pangkasan gulma yang
dibakar di tempat yang dikelilingi parit berair. Terutama untuk tanaman
semusim, tanah perlu ditambah dengan pupuk mikro.



Memilih lahan yang sesuai kemudian menatanya secara tepat merupakan
salah satu kunci sukses bertani di lahan gambut. Kesalahan dalam memilih
dan menata lahan dapat memicu  biaya tinggi, pengorbanan waktu,
dan kegagalan bertani. Lebih jauh lagi, kesalahan tersebut dapat merusak
dan membahayakan lingkungan.
 Pemanfaatan Lahan Rawa Gambut
Meskipun sifat lahan gambut unik dan rentan, namun ia memiliki  banyak
manfaat. Diantaranya adalah untuk mencegah banjir di musim hujan dan
mencegah kekeringan di musim kemarau; sebagai penyerap dan penyimpan
karbon sehingga dapat berperan dalam pengendalian perubahan iklim dunia;
sebagai habitat bagi hidupnya berbagai macam satwa, tumbuhan, dan
mikroorganisme; serta lahan budidaya pertanian yang menguntungkan.
Agar dapat berfungsi secara baik, lahan rawa (termasuk gambut) perlu
dimanfaatkan sesuai fungsinya dengan memperhatikan keseimbangan antara
kawasan budidaya, kawasan non budidaya, dan kawasan preservasi
 Pemerintah sudah menetapkan kawasan-kawasan
tersebut. Kita wajib mentaatinya agar lahan rawa (termasuk gambut) tetap
lestari dan memberikan manfaat secara berkesinambungan.
Kawasan non budidaya merupakan kawasan yang tidak boleh digunakan
untuk usaha dan harus dibiarkan sebagaimana adanya. Kawasan tersebut
antara lain meliputi kawasan lindung dan kawasan pengawetan. Kawasan
lindung atau suaka alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem khas
atau merupakan habitat alami bagi flora dan fauna yang dilindungi untuk
keanekaragaman hayati.
Lahan gambut dalam, karena kemampuannya untuk menahan air yang sangat
besar, perlu dipertahankan sebagai kawasan pengawetan bagi setiap Daerah
Aliran Sungai (DAS) terutama jika  di bagian hilirnya terdapat pemukiman/
kota atau di sekitarnya terdapat daerah pertanian (catatan : kemampuan
gambut menahan air berkisar antara 300 - 800 % bobot keringnya).
Kawasan pengawetan atau preservasi adalah kawasan yang dengan
pertimbangan tertentu harus dibiarkan sebagaimana aslinya dengan status
masa kini sebagai kawasan non budidaya. Kawasan semacam ini nantinya
boleh saja dikembangkan jika  kemajuan ilmu pengetahuan telah mampu
mengatasi berbagai kendala dalam proses budidaya di lahan ini sehingga
pemanfaatannya memberikan nilai tambah dan manfaat. Sedangkan
kawasan pengawetan dalam hal ini meliputi gambut dalam-sangat dalam,
sepadan pantai, sepadan sungai, kawasan sekitar danau rawa, dan kawasan
pantai berhutan bakau, lahan aluvial bersulfat, dan rawa dengan tanah pasir.
Bertani hanya boleh dilakukan pada kawasan budidaya. Bertani pada kawasan
non budidaya dan kawasan preservasi disamping melanggar aturan, karena
akan merusak lingkungan juga membutuhkan biaya mahal karena umumnya
lahan tidak subur dan bermasalah. Jikapun dipaksakan, petani akan merugi.
Kawasan budidaya adalah kawasan yang dinilai layak untuk usaha di bidang
pertanian dan berada di luar kawasan non budidaya dan preservasi.
Pemanfaatan lahan rawa di kawasan budidaya selanjutnya harus disesuaikan
dengan tipologinya, yaitu:
a. Lahan potensial, bergambut, aluvial bersulfida dalam, gambut dangkal
sampai kedalaman 75 cm dapat ditata sebagai sawah;
b. Gambut dengan kedalaman 75 - 150 cm untuk hortikultura semusim,
Padi gogo, Palawija, dan tanaman tahunan;
c. Gambut hingga kedalaman 2,5 m hanya untuk perkebunan seperti
Kelapa, Kelapa sawit, dan Karet;
d. Gambut lebih dari 2,5 m sebaiknya digunakan untuk budidaya tanaman
kehutanan seperti Sengon, Sungkai, Jelutung/Pantung, Meranti, Pulai,
dan Ramin.
Sistem penataan lahan dan penentuan jenis komoditas yang sesuai sangat
tergantung pada tipe lahan dan kondisi airnya. Lahan rawa lebak dan pasang
surut dengan berbagai tipe luapan dan kedalaman gambut, ditata dengan
cara yang berbeda-beda. Secara garis besar, cara penataan lahan di lahan
rawa dapat dibagi menjadi empat yakni sawah, tegalan, surjan, dan caren.
Pencetakan Sawah
Sawah adalah lahan untuk usaha tani yang bisa tergenang air pada waktu
dibutuhkan terutama untuk menanam Padi sawah. Pada waktu-waktu tertentu,
airnya dapat dikeluarkan sehingga tanah menjadi macak-macak atau kering.
Sawah hanya dibuat pada lahan potensial, bergambut, dan gambut dangkal
dengan kedalaman kurang dari 75 cm. Tanah gambut dengan kedalaman
lebih dari 75 cm terutama yang belum matang, sulit dibuat sawah. Hal ini
karena dalam keadaan tergenang, lahan seperti itu akan amblas jika diinjak.
Disamping itu, lapisan kedap air sulit dibentuk sehinggga banyak memerlukan
pasokan air.
Tahap-tahap mencetak sawah di lahan rawa sebagai berikut:
a) Membersihkan tanah dari tunggul. Jika lapisan piritnya dangkal,
pencabutan tunggul harus dilakukan bertahap. Tahap pertama adalah
mencabut tunggul yang kecil. Setiap periode tanam, tunggul yang lebih
besar dicabut. Tunggul besar berdiameter >50 cm sebaiknya dibiarkan
melapuk dengan sendirinya;
b) Melakukan pelumpuran. Pelumpuran dimaksudkan untuk membuat
lapisan kedap air di bawah lapisan olah tanah sedalam 25-30 cm.
Pelumpuran dilakukan dengan cara mencangkul atau membajak
sebanyak dua kali sedalam 20 cm dalam keadaan basah, lalu diratakan
dan diaduk. Pada tanah bergambut dan gambut dangkal, pengadukan
tersebut harus sampai pada tanah aluvial di bawah gambut setebal 10
cm. Jarak antara pengolahan tanah pertama dan kedua antara 7 - 19
hari. Lapisan kedap air umumnya baru terbentuk setelah 5 - 7 kali
musim tanam, karena tanah rawa umumnya lebih porous. Pengolahan
tanah tidak boleh melebihi kedalaman lapisan pirit;
c) Membuat saluran drainase dan irigasi yang seimbang di dalam petakan
sawah. Pembuatan saluran ini dimaksudkan agar distribusi air dapat
merata, drainase lancar, dan pencucian senyawa beracun dapat
berlangsung dengan baik. Saluran yang dibuat terdiri atas saluran
kolektor dan saluran cacing. Saluran kolektor berukuran 40 x 40 cm,
dibuat mengelilingi lahan dan tegak lurus saluran kuarter pada setiap
jarak 20 - 25 m. Saluran cacing dibuat berukuran 30 x 30 cm, setiap
jarak 6 - 12 m, tegak lurus saluran kolektor (lihat Gambar 8). Semakin
lama sawah diolah, jarak saluran ini dapat diperjarang. Bahkan dapat
dihilangkan jika  senyawa-senyawa beracun seperti asam-asam
organik sudah tidak ada.
Pembuatan Surjan
Pemanfaatan lahan gambut dangkal (< 75 cm) untuk budidaya pertanian
dengan sistem surjan sudah sejak lama dikenal dan diterapkan petani di
beberapa lokasi di Sumatera dan Kalimantan. Walaupun teknik budidayanya
masih tradisional sehingga produksinya tidak memadai, namum sistem ini
memiliki  kearifan tradisional yang ramah lingkungan.
Surjan dibangun untuk memperoleh/membentuk lahan sawah yang bisa
ditanami padi dan lahan kering yang bisa ditanami palawija, sayuran, atau
tanaman tahunan dalam waktu yang bersamaan. Sistem penataan lahan
ini sering dibuat petani karena lahan tidak terluapi air atau pasokan air terbatas
sehingga tidak dapat membuat sawah pada seluruh lahan. Keuntungan
pembuatan surjan adalah petani dapat menganekaragamkan komoditas
sehingga mengurangi resiko kegagalan. Selain itu, surjan juga dapat
digunakan sebagai sarana suksesi dari pertanaman Padi dan Palawija menjadi
tanaman perkebunan kelapa/kebun karet/pohon buah-buahan dan perikanan.
Pembuatan surjan dilakukan dengan cara merendahkan/menggali sebagian
permukaan tanah dan meninggikan permukaan tanah lainnya secara
beraturan. Bagian yang direndahkan disebut tabukan atau sawah, digunakan
untuk bertanam padi terutama di musim hujan. Pada musim kemarau,
lahan sawah masih dapat digunakan untuk bertanam Palawija atau sayuran.
Bagian yang ditinggikan disebut guludan atau baluran untuk bertanam
Palawija, sayuran, Padi gogo, atau tanaman tahunan seperti Pisang, Kelapa,
Kelapa sawit dan Karet. jika  bagian guludan surjan digunakan untuk
tanaman tahunan, penataan lahan ini disebut pula sebagai sistem lorong
atau wanatani.
Surjan dibuat memanjang tegak lurus saluran kolektor. Ukuran surjan
tergantung pada kemampuan tenaga kerja, selera, kedalaman pirit,
ketersediaan/kedalaman air, dan komoditas yang akan ditanam. Jika
menghendaki sawah lebih luas, dan airnya memungkinkan, lebar tabukan
bisa berukuran 5 - 15 m dan guludan 1 - 6 m. Jika airnya terbatas, bisa
menggunakan perbandingan satu bagian untuk tabukan dan dua bagian untuk
guludan. Lebar tabukan dan guludan untuk tanaman tahunan biasanya
disesuaikan dengan jarak tanaman tahunan tersebut.
Pembuatan surjan di lahan yang mengandung pirit, dilakukan secara bertahap.
Pertama-tama hanya berupa guludan memanjang saja kemudian diperlebar
setiap kali habis panen hingga memperoleh ukuran yang dikehendaki. Jika
pitritnya dangkal, sebaiknya tidak dibuat surjan tetapi disawahkan saja.Namun jika dikehendaki benar, pertama-tama hanya boleh membuat
puntukan-puntukan saja. Puntukan dapat diperlebar sedikit-demi sedikit
setiap habis panen. Penggalian tanahnya tidak boleh sampai mengangkat
lapisan pirit ke permukaan tanah.
Pada lahan gambut, pembuatan surjan untuk tanaman pangan tidak
dianjurkan karena guludan akan mudah mengalami kekeringan di musim
kemarau. Tetapi jika  terpaksa, hanya dapat dibuat pada gambut dengan
ketebalan kurang dari 0,75 cm. Ketinggian guludan surjan pada lahan ini
tidak boleh terlalu tinggi untuk mencegah gambut mengalami kekeringan.
Surjan yang guludannya akan digunakan untuk menanam tanaman tahunan
sebaiknya membujur ke arah timur barat, meskipun tidak tegak lurus terhadap
saluran kuarter. Hal ini dimaksudkan agar tanaman di tabukan memperoleh
penyinaran matahari secara optimal.
Pembuatan surjan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a) Pembuatan surjan dimulai dengan merintis dan menebas pohon-pohon
kecil, gulma atau rerumputan di atas lahan;
b) Membuat parit keliling dengan ukuran dalam dan lebar 0,5 m yang
mengelilingi lahan;
c) Menentukan lebar dan panjang guludan/tabukan yang akan dibangun
serta menandainya dengan ajir (bambu kecil). Arah guludan dan tabukan
dibuat membujur ke arah timur barat, sehingga tanaman mendapatkan
cahaya sinar matahari dengan merata (tidak ternaungi);
d) Tanah yang akan menjadi tabukan digali sedalam 15 - 25 cm dan ditimbun
di bagian yang akan menjadi guludan. Khusus lahan gambut dan sulfat
masam, jangan terlalu dalam;
e) Membuat parit/saluran cacing dengan ukuran lebar dan dalam 30 cm
untuk mempercepat pembuangan kelebihan air yang ada di petakan.
Parit cacing dapat dibuat melintang guludan dengan jarak antar saluran
tergantung kebutuhan. Saluran ini juga berfungsi untuk menahan air,
terutama pada musim kemarau;
f) Tanah di dalam tabukan diolah dengan cara pelumpuran seperti dalam
membuat sawah sedangkan tanah guludan dibiarkan dalam keadaan
lembab dan diratakan.
Lahan tegalan adalah lahan yang permukaan tanahnya tidak tergenangi air.
Lahan ini dibuat di lahan rawa jika airnya terbatas atau tidak mungkin
disawahkan dan tidak dapat dibuat surjan. Lahan ini digunakan untuk
bertanam padi gogo, palawija, sayuran, dan tanaman tahunan.
Meskipun tidak tergenang air, tegalan di lahan rawa perlu dijaga
kelembabannya terutama bila piritnya dangkal atau tanahnya gambut.
Drainase di lahan ini juga harus lancar untuk membuang senyawa-senyawa
beracun terutama di lahan sulfat masam, lahan gambut, dan lahan bukaan
baru. Untuk itu, lahan perlu dilengkapi dengan tata saluran yang tepat dan
dilengkapi dengan pintu-pintu air yang berfungsi baik.
Saluran pengendali (terdiri atas saluran cacing dan saluran kolektor) adalah
saluran yang berada di dalam lahan pertanaman. Saluran ini dibuat terutama
di lahan sulfat masam dan gambut dengan tujuan untuk memperlancar
distribusi air, memperlancar drainase, mempertahankan kelembaban tanah,
dan mencuci senyawa beracun. Saluran kolektor dimaksudkan untuk
mempertahkan muka air tanah, sedangkan saluran cacing untuk
memperlancar distribusi air dan drainase dalam petakan lahan.
Saluran kolektor berukuran 40 x 40 cm, dibuat mengelilingi lahan dan tegak
lurus saluran kuarter pada setiap jarak 20 - 25 m. Saluran cacing dibuat
berukuran 30 x 30 cm, setiap jarak 6 - 12 m, dan tegak lurus saluran kolektor.
Semakin dangkal letak lapisan pirit, jarak antar saluran semakin sempit
tetapi tidak terlalu dalam sehingga pirit tidak terusik. Pada tanaman tahunan,
panjang saluran cacing disesuaikan dengan jarak barisan tanaman. Biasanya
setiap satu atau dua barisan tanaman, dibuat saluran cacing. Saluran cacing
dibuat sesudah pengolahan tanah.
Pembuatan Caren
Rawa lebak tengahan ditata dengan sistem caren yang dikombinasikan
dengan surjan atau saluran cacing. Prinsip pembuatan caren adalah seperti
membuat embung atau tandon air di masing-masing lahan sehingga bisa
mengurangi genangan di musim hujan dan menjadi sumber air di musim
kemarau. Caren biasanya dibuat pada masing-masing lahan petani. Satu
unit caren umumnya berkisar antara 0,25 - 0,5 ha.
Cara membuat caren sebagai berikut:
a. Bagian pinggir lahan digali selebar 1 - 4 m membentuk kolam/parit
memanjang dan mengelilingi lahan. Kolam ini disebut sebagai caren.
Tanah galian ditumpuk di bagian luar dan berfungsi sebagai tanggul
yang mengelilingi caren;
b. Caren dihubungkan dengan saluran drainase kuarter. Kedalaman caren
maksimal 10 cm lebih dangkal dari letak lapisan pirit (bila ada). Volume
caren diperhitungkan agar mampu menampung air hujan dari dalam
lahan;
c. Bagian caren digunakan untuk memelihara ikan. Menjelang musim
kemarau, caren dapat pula digunakan untuk bertanam padi. Bagian
tanggul ditanami sayuran atau untuk jalan. Bagian tengah ditata untuk
sawah, surjan, atau tegalan dan dilengkapi dengan saluran cacing.
4.3 Mengenal Sistem Pertanaman
Sistem pertanaman adalah pengaturan jenis tanaman dan pola tanam dalam
suatu lahan untuk memperoleh produksi dan keuntungan yang optimum.
Beberapa sistem pertanaman yang perlu diketahui diantaranya adalah
monokultur, tumpangsari, tumpang gilir, sistem lorong atau wanatani, dan
sistem terpadu.
Monokultur
Monokultur adalah sistem pertanaman dalam suatu lahan dengan satu jenis
tanaman. Tanaman yang diusahakan dapat berupa tanaman semusim atau
tanaman tahunan. Monokultur memiliki  kelebihan karena pelaksanaan
budidayanya lebih mudah, serta kebutuhan tenaga kerja per satuan luas
lahan lebih sedikit. Kelemahannya, memiliki  resiko kegagalan yang lebih
besar. Di samping itu, kebutuhan tenaga kerja biasanya menumpuk pada
waktu tertentu. Di waktu lain, petani menganggur karena tidak ada pekerjaan.
Tumpang sari
Tumpang sari adalah sistem pertanaman dalam suatu lahan dengan dua
jenis tanaman atau lebih yang ditanam pada waktu yang bersamaan. Jenis
tanaman yang diusahakan biasanya tanaman semusim dengan tanaman
semusim lainnya. Tetapi bisa juga antara tanaman tahunan dengan tanaman
tahunan lainnya atau antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim.
Biasanya dipilih jenis tanaman yang memiliki perbedaan tinggi agar distribusi
cahaya matahari lebih merata, memiliki perbedaan umur sehingga memiliki
waktu panen yang tidak sama, dan memiliki sistem perakaran yang berbeda
agar tidak terjadi perebutan unsur hara. Sebagai contoh adalah tumpang
sari antara tanaman jagung dengan tanaman kedelai, atau jagung dengan
kacang tanah.
Tumpang sari memiliki kelebihan diantaranya karena distribusi kebutuhan
tenaga kerja dan pendapatan lebih menyebar. Di samping itu, resiko
kegagalan menjadi lebih kecil. Kegagalan panen umumnya hanya terjadi
untuk satu jenis tanaman. jika  satu jenis tanaman gagal panen karena
suatu hal, petani masih dapat mengharapkan keberhasilan dari tanaman
lainnya.

Tumpang gilir adalah sistem pertanaman dengan membudidayakan lebih
dari satu jenis tanaman pada tempat yang sama tetapi dengan waktu tanam
yang berbeda. Jenis yang ditanam merupakan tanaman semusim yang
memiliki perbedaan ketinggian. Sebagai contoh, tanaman jagung ditanam
terlebih dahulu dengan sistem monokultur. Dua hingga tiga minggu sebelum
panen, tanaman kacang tanah ditanam di sela-sela barisan tanaman jagung.
Sistem ini digunakan biasanya untuk mengejar berakhirnya musim hujan
sehingga tanaman yang kedua masih dapat memperoleh suplai air. Di
samping itu, juga untuk menghemat waktu dan lahan sehingga diperoleh
produktivitas lahan yang lebih tinggi.
Sistem Lorong atau Wanatani
Sistem lorong atau wanatani merupakan sistem budidaya tanaman tahunan
dan semusim dalam waktu yang bersamaan. Tanaman semusim ditanam
diantara satu hingga dua barisan tanaman tahunan. Guludan surjan yang
ditanami tanaman tahunan, juga termasuk budidaya wanatani.
Jenis tanaman tahunan yang dibudidayakan bisa berupa tanaman
perkebunan, buah-buahan, atau tanaman kehutanan. Kelebihan sistem ini,
petani dapat memperoleh penghasilan dari tanaman semusim sambil
menunggu tanaman tahunan memberikan pendapatan. Di samping itu,
sistem ini dapat mencegah kerusakan lahan karena erosi. Di lahan rawa,
sistem ini dapat mencegah kebakaran karena petani cenderung tidak
mengolah lahan dengan cara bakar.
Hal yang perlu diperhatikan dalam sistem wanatani adalah barisan tanaman
tahunan harus membujur ke arah timur dan barat serta jarak tanamnya tidak
terlalu dekat. Maksudnya, agar distribusi sinar matahari dapat merata
sehingga tanaman semusim tetap dapat memperoleh sinar matahari
sepanjang hari.
Sistem Terpadu
Pertanian terpadu merupakan sistem budidaya dua jenis komoditas pertanian
atau lebih dalam satu siklus yang saling berkaitan. Sebagai contoh adalah
pemeliharaan ternak ayam, dipadukan dengan budidaya ikan, dan tanaman
sayuran (Gambar 10). Ikan dan ayam dipelihara dengan sistem longyam,
yaitu pembuatan kolam ikan di bawah kolong kandang ayam. Sisa pakan
ayam dapat dimakan oleh ikan. Kotoran ayam digunakan untuk membuat
pupuk kandang atau kompos/bokasi. Sisa seleksi hasil sayuran dapat
digunakan untuk pakan ayam dan pakan ikan.
Dalam sistem ini, petani juga dapat bertanam tanaman tahunan agar memiliki
tabungan jangka panjang. Pupuk kandang dan kompos yang dihasilkan
dapat digunakan untuk memupuk tanaman sayuran atau tanaman tahunan.
Sementara daun-daun tanaman tahunan dan tanaman penutup tanah dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan kompos. Tanaman penutup tanah,
dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia (Sapi atau
Kambing). Oleh sebab itu, tanaman tahunan sering dipadukan dengan ternak
ruminansia (Gambar 10).

Lahan lebak yang telah direklamasi, kondisi airnya sudah tidak terlalu dalam.
Tetapi berhubung permukaan tanah umumnya tidak rata, di beberapa tempat
masih ditemukan lebak tengahan dan lebak dalam. Jika genangan/ketinggian
air lebih dari 0,5 meter hingga satu meter dapat dibuat sistem caren dengan
komoditas ikan, padi, dan palawija/sayuran. Ketinggian air lebih dari satu
meter sebaiknya untuk retarder atau tandon air yang dapat dimanfaatkan
untuk budidaya ikan.
Lahan bergambut dan lahan gambut dengan ketebalan kurang dari 75 cm,
dapat ditata sebagai sawah atau surjan. Padi dikembangkan pada lahan
sawah dan tabukan surjan. Palawija dan sayuran dikembangkan pada
guludan surjan. Gambut berketebalan lebih dari 75 cm atau kurang dari 2,5
meter digunakan untuk budidaya tanaman tahunan, dan gambut lebih dari
2,5 meter untuk budidaya tanaman kehutanan atau untuk areal kehutanan.
Peternakan juga dapat dikembangkan di lahan rawa. Jenis ternak yang
umumnya diusahakan diantaranya adalah Ayam, Itik, dan Sapi atau Kerbau.
Penataan lahan pasang surut tergantung dari tipe lahan dan tipe luapan
airnya. Tanah aluvial bersulfat sebaiknya dibiarkan sebagaimana adanya,
untuk kehutanan. Lahan sulfat masam potensial sebaiknya hanya dikelola
kalau ada irigasi atau tersedia pintu-pintu air yang dapat dibuka dan ditutup
sehingga kelembaban lahan terjamin sepanjang tahun. Jika syarat tersebut
tidak ada, sebaiknya lahan sulfat masam tidak dimanfaatkan untuk budidaya
pertanian.
Surjan hanya dibuat pada lahan potensial, bergambut, dan gambut hingga
kedalaman kurang dari 100 cm dengan tipe genangan air B dan C. Pada
lahan dengan tipe luapan D, tidak perlu dibuat surjan kecuali bila ada irigasi
yang menjamin tersedianya suplai air. Bahkan di lahan seperti ini
memungkinkan untuk dibuat sawah bila ada irigasi yang mencukupi. Akan
tetapi Lahan dengan tipe luapan D umumnya ditata sebagai sawah tadah
hujan, tegalan dan perkebunan ( ).
Gambut dengan kedalaman lebih dari 100 cm dengan tipe luapan A dan B
sebaiknya untuk hutan atau tampung hujan. Demikian pula gambut dalam
dan sangat dalam pada berbagai tipe luapan air. Gambut dengan ketebalan
lebih dari 100 cm, pada tipe luapan C, ditata sesuai dengan ketebalan
gambutnya:
a. Ketebalan antara 100 - 150 cm digunakan untuk tegalan tanaman
semusim secara monokultur atau tumpang sari;
b. Ketebalan gambut antara 150 - 200 cm digunakan untuk tegalan tanaman
semusim dan tanaman tahunan yang dibudidayakan secara wanatani
atau monokultur. Dalam hal ini, dipilih tanaman tahunan yang tahan
terhadap air tanah dangkal seperti Pisang, Kelapa, dan Jeruk;
c. Ketebalan gambut antara 200 - 250 cm digunakan untuk tanaman
tahunan secara monokultur. Biasanya, piringan tanaman (bagian lahan
yang ditanami selebar tajuk tanaman) dibuat puntukan-puntukan;
d. Ketebalan gambut 250 - 300 cm digunakan untuk budidaya tanaman
kehutanan. Dalam hal ini, harus dipilih jenis tanaman yang toleran
terhadap air tanah dangkal;
e. Ketebalan gambut lebih dari 300 cm digunakan untuk tampung hujan/
kehutanan dan dibiarkan sesuai habitat alaminya.
Lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 100 cm dan dengan tipe luapan
D, juga ditata sesuai dengan ketebalan gambutnya:
a. Ketebalan gambut 100 - 150 cm: ditata untuk (a) tegalan tanaman
semusim secara monokultur atau tumpangsari; atau (b) tegalan tanaman
tahunan secara monokultur atau wanatani. Tanaman tahunan dapat
berupa tanaman perkebunan, buah-buahan, dan tanaman perkebunan;
b. Ketebalan gambut 150 - 250 cm: ditata untuk tegalan tanaman tahunan
secara monokultur atau wanatani;
c. Ketebalan gambut 250 - 300 cm: ditata untuk budidaya tanaman
kehutanan;
d. Ketebalan gambut lebih dari 300 cm digunakan untuk konservasi atau
hutan lindung dan dibiarkan sebagaimana adanya.
Penataan lahan juga ditentukan oleh lapisan aluvial yang berada di bawah
tanah gambut. Apa yang diuraikan di atas hanya berlaku kalau lapisan di
bawah gambut adalah tanah liat atau humus. jika  tanah di bawah gambut
adalah pasir, sebaiknya tidak digunakan untuk budidaya pertanian tetapi
digunakan untuk perumahan atau kehutanan. Hal ini karena gambut umumnya
sangat tidak subur. Selain itu, jika  gambut sudah menipis dan habis,
lahan akan menjadi padang pasir

Dampak Pembukaan PLG Sejuta Hektar
Pembahasan mengenai Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di
Kalimantan Tengah telah banyak menarik perhatian, baik di dalam negeri
maupun dunia internasional. Pertama karena belum pernah terjadi
sebelumnya pembukaan/penggarapan lahan seluas ini di atas lahan gambut
sehingga resiko kegagalannya menjadi sangat tinggi. Kedua, dana yang
dialokasikan berkisar 3 sampai 5 trilyun rupiah (saat itu 1 USD = Rp 2200,-),
yang menjadikan proyek ini berskala mega. Ketiga, proyek ini mengakibatkan
hilangnya fungsi ekologis “air hitam” yang khas dan menurunkan
keanekaragaman hayati.
Dilaporkan sekitar 300.000 ha hutan di hamparan rawa gambut sepanjang
DAS Barito, Kapuas, Kahayan dan Sebangau telah sirna karena ditebang.
Bersamaan itu, hilang pula keanekaragaman hayatinya. Hutan rawa ini juga
merupakan sumber kehidupan secara tradisional sehingga penduduk asli
sangat tergantung terhadap hutan. Mereka saat ini tidak memiliki  pilihan
lain kecuali ikut dalam program transmigrasi Ex PLG, atau menjadi buruh
membalak di hutan rawa gambut 
Pembukaan lahan gambut melalui pembuatan saluran drainase yang
menghubungkan Sungai Kahayan, Kapuas dan Barito serta anak-anak sungai
lainnya (total panjang saluran 2.114 km), telah mengakibatkan perubahan
pola tata air dan kualitasnya. Pembuatan saluran drainase, terutama SPI
(Saluran Primer Induk), telah memotong kubah gambut yang mengakibatkan
terjadinya penurunan (subsidence) dan pengeringan permukaan tanah gambut
serta oksidasi pirit yang bersifat racun dan masam. Senyawa-senyawa beracun
ini kemudian masuk pada saluran dan perairan sungai. Kejadian ini telah
mengakibatkan kematian ikan secara masal di Sungai Mengkatip dan anak￾anak Sungai Barito Disamping itu, pembuatan saluran
drainase juga mengakibatkan penurunan produktivitas perikanan terutama
hilangnya kolam-kolam beje di beberapa desa seperti Dadahup, Lamunti,
dan Terantang ,
Dampak lain dari pembukaan PLG Sejuta Hektar adalah banyaknya saluran￾saluran yang saat ini dimanfaatkan sebagai sarana transportasi pengambilan
kayu secara besar-besaran oleh para penebang kayu liar (illegal loging). Hal
ini telah mempercepat penurunan kualitas lahan dan mengakibatkan adanya
perubahan iklim secara mikro maupun global, serta telah menimbulkan banjir
dan kekeringan berkepanjangan. Kekeringan berkepanjangan menstimulasi
kebakaran hutan dan lahan gambut.

Gambut, sepotong kata yang boleh jadi tidak dimengerti maknanya oleh
kebanyakan orang tetapi menjadi banyak arti bagi yang lainnya. Gambut
memang dapat diartikan menjadi banyak pengertian tergantung dari sudut
mana orang memandangnya. Seorang petani, mengartikan lahan gambut
sebagai prasarana untuk budidaya. Pengusaha dapat melihatnya sebagai
sumber komoditas hasil hutan (kayu maupun non kayu), media tanam yang
dapat diekspor, sumber energi, atau lahan pengembangan bagi komoditas
perkebunan yang lebih luas. Peneliti menganggapnya sebagai obyek penelitian,
sosiolog mengartikannya sebagai lingkungan sosial dimana komunitas hidup
dan mencari penghidupan, pemerintah memandangnya sebagai potensi
sumberdaya alam yang dapat dikelola untuk lebih banyak lagi mencukupi
pangan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sementara pakar lingkungan
menobatkannya sebagai pengatur air/hidrologi, sarana konservasi
keanekaragaman hayati, serta penyerap dan penyimpan karbon yang mampu
meredam perubahan iklim global.
Sumberdaya alam yang bersifat multifungsi, itulah predikat tepat yang
pantas diberikan kepada lahan gambut. Dengan predikat semacam ini, gambut
terpaksa harus menampung banyak kepentingan dan harapan. Padahal,
gambut merupakan ekosistem yang marjinal dan rapuh sehingga mudah rusak.
Kondisi semacam ini menuntut kesadaran semua pihak untuk bersikap bijak
dan harus melihat gambut dari berbagai sudut pandang. Kesadaran terhadap
pentingnya keseimbangan antar berbagai fungsi gambut, akan lebih menjamin
keberlanjutan pemenuhan fungsi sosial, ekonomi, dan kelestarian lingkungan.
 Antara Potensi dan Ancaman Kerusakan
Sungguh besar rahmat Tuhan bagi bangsa negara kita  ini. Kita tidak saja
dikaruniai kebhinekaan di bidang budaya tetapi juga keanakeragaman
sumberdaya alam. Luas wilayah negara kita  yang meliputi sekitar 980 juta
ha ini terdiri atas 790 juta ha daratan (termasuk Zone Ekonomi Eksklusif),
156,6 juta ha daratan kering, dan 33,5 juta ha lahan rawa,
Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha. negara kita 
merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut terluas di dunia,
yaitu sekitar 17,2 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta ha, Uni Soviet
seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Euroconsult,
1984a). Namun demikian, dari berbagai laporan (lihat Tabel 1), negara kita 
sesungguhnya merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas
di dunia, yaitu antara 13,5 – 26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika luas
gambut negara kita  adalah 20 juta ha, maka sekitar 50% gambut tropika
dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha berada di negara kita  [catatan: hingga
kini data luas lahan gambut di negara kita  belum dibakukan, karenanya data
luasan yang dapat digunakan masih dalam kisaran 13,5 – 26,5 juta ha
sesuai Tabel 1 di bawah].
Luasnya lahan gambut dan fungsinya yang kompleks, menunjukkan betapa
gambut memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia
Tetapi kesadaran
semacam ini ternyata
belum dimiliki oleh semua
pihak sehingga kerusakan
gambut cenderung
mengalami peningkatan.
Disamping perambahan
hutan, kegiatan pertanian
dan perkebunan (termasuk
Hutan Tanaman Industri
dan Kelapa sawit; lihat
Kotak 1) juga memberikan
kontribusi yang nyata bagi
rusaknya ekosistem
gambut. Dalam hal ini,
reklamasi dengan sistem
drainase berlebihan yang
memicu  keringnya
gambut dan kegiatan
pembukaan lahan gambut
dengan cara bakar,
menjadi faktor pemicu 
Kotak 1
HTI dan Kebun Kelapa Sawit Mulai Terbakar
Jambi, Kompas - Pada hari Kamis (12/6/2003)
sore, sekitar 1.000 hektar Hutan Tanaman
Industri (HTI) Jelutung milik PT Dyera Hutan
Lestari (DHL) sudah musnah terbakar. HTI milik
patungan antara PT DHL dan PT Inhutani V itu
terletak di lahan gambut Kecamatan Kumpeh
Hilir, Kabupaten Muaro Jambi, Propinsi Jambi.
Meskipun Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan (Pusdalkarhutla) Propinsi Jambi
telah mengirim satu regu pemadam kebakaran
lengkap dengan peralatannya, api yang berkobar
dan merambat dengan cepat belum bisa
dikendalikan. Kebakaran melanda kawasan itu
sejak hari Senin lalu.
Selain di HTI, api juga berkobar di perkebunan
kelapa sawit PT Bahari Gembira Ria (BGR) yang
terletak di lahan gambut Sungai Gelam, Muaro
Jambi. Di lokasi ini pun kobaran api belum
berhasil dipadamkan. Regu pemadam
kebakaran dari Pusdalkarhutla dibantu
transmigran dan petugas pemadaman dari PT
BGR bekerja keras mengendalikan dan
memadamkan api.
kerusakan lahan gambut yang cukup signifikan. Pada tahun 1997/1998
tercatat sekitar 2.124.000 ha hutan gambut di negara kita  terbakar (Tacconi,
2003). Sejumlah wilayah lahan gambut bekas terbakar tersebut di musim
hujan tergenangi air dan membentuk habitat danau-danau yang bersifat
sementara. Sedangkan di musim kemarau, lahan ini berbentuk hamparan
terbuka yang gersang dan kering sehingga sangat mudah terbakar kembali
(Wibisono dkk, 2004).
Kebakaran lahan gambut jauh lebih berbahaya dan merugikan dibandingkan
dengan kebakaran hutan biasa. Pertama, karena kebakaran di lahan gambut
sangat sulit untuk dipadamkan mengingat bara apinya dapat berada di bawah
permukaan tanah [lihat Kotak 2]. Bara ini selanjutnya menjalar ke mana
saja tanpa disadari dan sulit diprediksi. Oleh sebab itu, hanya hujan lebat
yang dapat
memadamkannya. Kedua,
rehabilitasi hutan gambut
bekas terbakar sulit
dilakukan dan biayanya
jauh lebih mahal
dibandingkan dengan hutan
biasa mengingat
banyaknya hambatan,
seperti adanya genangan,
sulitnya aksesibilitas,
rawan terbakar, dan
membutuhkan jenis
tanaman spesifik yang
tahan genangan dan tanah
asam (Wibisono dkk,
2004). Ketiga, jika gambut
habis dan di bawahnya
terdapat lapisan pasir
maka akan terbentuk
kawasan padang pasir baru
yang gersang dan sulit
untuk dipulihkan kembali.
Keempat, meskipun
secara alami areal gambut
bekas kebakaran ringan
memiliki kemampuan
untuk memulihkan diri
secara alami, beberapa
riset membuktikan bahwa
habitat asli sulit untuk
tumbuh kembali.
Kebakaran gambut tergolong dalam
kebakaran bawah (ground fire). Pada tipe
ini, api menyebar tidak menentu secara
perlahan di bawah permukaan karena tanpa
dipengaruhi oleh angin. Api membakar bahan
organik dengan pembakaran yang tidak
menyala (smoldering) sehingga hanya asap
berwarna putih saja yang tampak di atas
permukaan. Kebakaran bawah ini tidak terjadi
dengan sendirinya, biasanya api berasal dari
permukaan, kemudian menjalar ke bawah
membakar bahan organik melalui pori-pori
gambut. Potongan-potongan kayu yang
tertimbun gambut sekalipun akan ikut terbakar
melalui akar semak belukar yang bagian
atasnya terbakar. Dalam perkembangannya,
api menjalar secara vertikal dan horisontal
berbentuk seperti cerobong asap. Akar dari
suatu tegakan pohon di lahan gambut pun
dapat terbakar, sehingga jika akarnya hancur
pohonnya pun menjadi labil dan akhirnya
tumbang. Gejala tumbangnya pohon yang
tajuknya masih hijau dapat atau bahkan sering
dijumpai pada kebakaran gambut. Mengingat
tipe kebakaran yang terjadi di dalam tanah
dan hanya asapnya saja yang muncul di
permukaan, maka kegiatan pemadaman
akan mengalami banyak kesulitan.
Fenomena kerusakan lahan gambut yang terus meningkat menarik
keprihatian dunia, terutama setelah disadari bahwa gambut memiliki fungsi
penting dalam pengaturan iklim secara global yang akan berdampak sangat
luas terhadap berbagai kehidupan di muka bumi. Gambut dinilai sebagai
habitat lahan basah yang mampu menyerap (sequester) dan menyimpan
(sink) karbon dalam jumlah besar sehingga dapat mencegah larinya gas
rumah kaca (terutama CO2
) ke atmosfer bumi yang dapat berdampak terhadap
perubahan iklim. Perhatian dunia yang semakin besar tersebut ditunjukkan
dengan telah diratifikasinya Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB
(UNFCCC) oleh berbagai negara termasuk negara kita .
Tidak seluruh lahan rawa gambut di negara kita  sesuai dan layak dimanfaatkan
untuk pertanian karena adanya berbagai kendala, seperti: ketebalan gambut,
kesuburan rendah, kemasaman tinggi, lapisan pirit, dan substratum sub￾soil (di bawah gambut ) dapat berupa pasir kuarsa. Dari luas gambut Indo￾nesia sekitar 20 juta ha, diperkirakan hanya 9 juta ha yang dapat dimanfaatkan
untuk pertanian. Sampai tahun 1998, lahan rawa (gambut dan non-gambut)
yang telah dibuka diperkirakan mencapai 5,39 juta ha, terdiri atas 4 juta ha
dibuka oleh masyarakat dan 1,39 juta ha dibuka melalui program yang dibiayai
oleh pemerintah (Dept. Pekerjaan Umum dalam Subagjo, 2002). Dengan
demikian dilihat dari sisi kuantitas, pertanian di lahan gambut masih memiliki
prospek untuk dikembangkan. Namun pengembangngannya harus
dilakukan secara sangat hati-hati dan sesuai peruntukannya mengingat
kendalanya yang cukup banyak. Selain itu juga mengingat telah
diratifikasinya Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC)
oleh berbagai negara termasuk negara kita .
Pengalaman menunjukkan bahwa tidak semua pengembangan pertanian di
lahan gambut bisa sukses, namun tidak semuanya juga mengalami
kegagalan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa?
Sebetulnya, sudah sejak lama lahan gambut digunakan untuk budidaya
pertanian. Di negara kita , budidaya pertanian di lahan gambut secara tradisional
sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu oleh suku Dayak, Bugis, Banjar, dan
Melayu dalam skala kecil. Mereka memilih lokasi dengan cara yang cermat,
memilih komoditas yang telah teruji, dan dalam skala yang masih dapat
terjangkau oleh daya dukung/layanan alam.
Perkembangan ekonomi diikuti oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang
pesat sejak era orde baru, menuntut adanya pemenuhan kebutuhan di segala
aspek kehidupan. Penebangan kayu merajalela, sistem perladangan dan
penyiapan lahan perkebunan dengan cara bakar semakin meluas, dan
eksploitasi hutan gambut menjadi tak terkendali.Pemerintah dengan segala usaha nya berusaha untuk memacu pembangunan
di segala bidang sambil memikirkan terpenuhinya kebutuhan pangan melalui
program swasembada pangan. Pembangunan perkebunan, pertanian,
transmigrasi, dan Hutan Tanaman Industri dimaksudkan tidak lain untuk
memajukan perekonomian dan menyejahterakan kehidupan rakyat Indone￾sia. Untuk itu, lahan gambut dipandang sebagai salah satu alternatif
sumberdaya alam potensial yang dapat dikembangkan untuk pertanian.
Pengembangan lahan gambut yang sesuai peruntukannya umumnya
memang berhasil. Reklamasi lahan rawa gambut di Kawasan Karang Agung
Sumatera Selatan merupakan contoh yang dapat memberikan gambaran
secara lebih variatif. Tetapi ketidak-berhasilan juga ditunjukkan di berbagai
lokasi. Pengembangan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di
Kalimantan Tengah merupakan salah satu contoh ketidakberhasilan reklamasi
lahan gambut yang paling spektakuler sepanjang sejarah negara kita .
Reklamasi berupa pembuatan kanal dan saluran terbuka sepanjang 2.114
km (Jaya, 2003) pada lahan gambut dengan kisaran ketebalan 0,5 hingga
lebih dari 13 m tanpa diimbangi dengan fasilitas irigasi yang memadai telah
memicu  kekeringan gambut disertai dengan peningkatan kemasaman
pada taraf yang memprihatinkan. Pengembangan komoditas pertanian yang
digalakkan oleh pemerintah menyusul reklamasi lahan tersebut nyaris dapat
dikatakan gagal karena lahan menjadi tidak layak usaha. Berapapun input
yang diberikan, petani mengalami defisit modal mengingat hasil yang diperoleh
tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Kini, proyek yang menelan
dana dan perhatian sangat besar tersebut telah dihentikan dan dinyatakan
gagal , dan usaha  rehabilitasinya diperkirakan
akan menelan biaya jauh lebih besar dari pada reklamasinya.
Beberapa faktor yang memicu  ketidakberhasilan pengembangan
pertanian di lahan gambut antara lain perencanaan yang tidak matang
sehingga terjadi banyak pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukannya,
kurangnya implementasi kaidah-kaidah konservasi lahan, dan kurangnya
pemahaman terhadap perilaku lahan rawa gambut sehingga pemakaian 
teknologi cenderung kurang tepat.

Bertani di lahan gambut memang harus dilakukan secara hati-hati karena
menghadapi banyak kendala antara lain kematangan dan ketebalan gambut
yang bervariasi, penurunan permukaan gambut, rendahnya daya tumpu,
rendahnya kesuburan tanah, adanya lapisan pirit dan pasir, pH tanah yang
sangat masam, kondisi lahan gambut yang jenuh air (tergenang) pada musim
hujan dan kekeringan saat kemarau, serta rawan kebakaran.
Kunci keberhasilan pertanian di lahan gambut adalah bertani secara bijak
dengan memperhatikan faktor-faktor pembatas yang dimikinya. Ada 10
langkah bijak agar sukses bertani di lahan gambut, yaitu :
1. Mengenali dan memahami tipe dan perilaku lahan;
2. Memanfaatkan dan menata lahan sesuai dengan tipologinya dengan
tidak merubah lingkungan secara drastis;
3. Menerapkan sistem tata air yang dapat menjamin kelembaban tanah/
menghindari kekeringan di musim kemarau dan mencegah banjir di
musim hujan;
4. Tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar.
5. Bertani secara terpadu dengan mengkombinasikan tanaman semusim
dan tanaman tahunan, ternak, dan ikan;
6. Memilih jenis dan varietas tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan
dan permintaan pasar;
7. Menggunakan bahan amelioran seperti kompos dan pupuk kandang
untuk memperbaiki kualitas lahan;
8. Mengolah tanah secara minimum (minimum tillage) dalam kondisi tanah
yang berair atau lembab;
9. Menggunakan pupuk mikro bagi budi daya tanaman semusim;
10. Melakukan penanaman tanaman tahunan di lahan gambut tebal didahului
dengan pemadatan dan penanaman tanaman semusim untuk
meningkatkan daya dukung tanah.