• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label mikro alga 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mikro alga 1. Tampilkan semua postingan

mikro alga 1








































Beberapa dekade belakangan ini dunia dilanda krisis energi, pangan, dan air. 
Kenaikan BBM sebab p semakin langkanya sumber minyak bumi, kekurangan pangan sebab p 
populasi manusia yang tak terkendali, dan krisis air yang bersumber dari masalah 
pencemaran lingkungan akibat pembuangan yang tidak terkontrol. Ketiga krisis ini 
mendorong banyak peneliti untuk melakukan langkah tepat bagaimana memecahkan 
persoalan ini . 
Salah satu solusi tepat yang diajukan untuk mengurai benang permasalahan itu adalah 
dengan memanfaatkan teknologi mikroalga. Mikroalga digadang-gadang mampu 
menyediakan stok pangan dan energi dalam waktu yang singkat, memerlukan  lahan yang 
tidak terlalu luas, dapat ditumbuhkan pada lahan non produktif, dan mudah diterapkan dalam 
kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi, mikroalga dapat dipakai  untuk mengolah limbah 
cair organik sehingga dihasilkan buangan limbah yang lebih aman dan dapat dengan mudah 
dinetralkan kembali oleh alam. Dalam penerapan yang lebih modern, mikroalga dapat 
diterapkan sekaligus untuk memecahkan ketiga batu permasalahan besar ini . Limbah 
cair organik akan lebih aman dibuang di lingkungan setelah digunakan sebagai medium 
mikroalga, sementara biomassa yang dihasilkan oleh mikroalga dapat difokuskan untuk 
pangan atau energi, sehingga sinergi antara pengolahan limbah cair dan produksi biomassa 
dapat berjalan dengan baik. 
Mikroalga adalah sejenis makhluk hidup unisel berukuran antara 1 mikrometer 
sampai ratusan mikrometer yang memiliki klorofil, hidup di air tawar atau laut, 
memerlukan  karbon dioksida, beberapa nutrien dan cahaya untuk berfotosintesis. Mikroalga 
memiliki kinerja yang hampir sama dengan tumbuhan bersel banyak, akan tetapi tidak 
memiliki akar, daun, dan batang untuk berfotosintesis. Menurut beberapa peneliti, mikroalga 
diibaratkan sebagai pabrik kecil dalam ukuran sel mikro yang mengubah karbon dioksida 
menjadi material potensial seperti biofuel, pangan, dan biomaterial melalui energi matahari. 
(Chisti, 2007). 
Keragaman mikroalga di dunia diperkirakan berada dalam kisaran jutaan species, 
sebagian besar belum dikenali dan belum bisa dikultivasi (dibiakkan sendiri). Diperkirakan 
200,000-800,000 spesies hidup di alam, 35,000 spesies dapat dikenali, dan 15,000 komponen 
kimia penyusun biomas nya telah diketahui  Sebagian besar 
mikroalga menghasilkan produk tertentu seperti karotenoid, antioksidan, enzim, polimer, 
peptida, asam lemak, hingga racun yang mematikan 
Gambar 1.1. Bentuk sel mikroalga (a) Spirulina platensis (b) Dunaliella salina
(c) Chlorella vulgaris 
Sejarah pemanfaatan mikroalga pertama kali dalam peradaban manusia masih belum 
jelas. Namun, bahwa mikroalga telah lama digunakan oleh 
suku aztec di pedalaman Meksiko. Hal ini diketahui oleh bangsa Spanyol ketika menjajah 
Meksiko, dan diketahui bahwa penduduk lokal memanfaatkan “makanan berwarna hijau 
biru” yang diperoleh dari danau setempat dan mengolahnya menjadi cake.
Lain halnya dengan orang Kanembu yang hidup di pesisir danau Chad. Mereka 
memperoleh alga basah dari lumpur yang ada  di sekitar danau Chad dan 
mengeringkannya dengan terik matahari. Alga yang kering kemudian dijual di pasar 
tradisional sebagai makanan sehari hari, atau biasa disebut dihe. Dalam budaya orang 
Kanembu, wanita hamil yang mengkonsumsi dihe percaya bahwa makanan ini  baik 
untuk keselamat bayi mereka. 
, dalam website BEAM (Biotehcnological and Environmental 
Application of Microalgae), menjelaskan sejarah budidaya mikroalga secara modern yakni 
diawali pada tahun 1890, budidaya mikroalgae diperkenalkan pertama kali oleh Beijerinck 
dengan menggunakan jenis Chlorella vulgaris, dan dikembangkan oleh Warburg pada tahun 
1900. Budidaya mikroalga mulai menjadi fokus penelitian pada tahun 1948 di Stanford 
(USA), Essen (Jerman) dan Tokyo. Sedangkan budidaya untuk komersialisasi dimulai pada 
tahun 1960 di Jepang dengan menggunakan mikroalga Chlorella dan pada tahun 1970 
menggunakan jenis Spirulina di danau Texcoco Meksiko. Pada tahun 1977, Nippon Ink and 
Chemicals Inc, mendirikan pabrik Spirulina di Thailand, dan pada tahun 1980, sudah ada  
46 pabrik budidaya mikroalga skala besar di Asia, dengan produksi rata-rata satu ton 
perbulan dengan hasil Chlorella yang paling mendominasi. Produk komersial ketiga adalah 
Dunaliella salina, sebagai sumber beta karotin, didirikan di Australia oleh Western 
Biotechnology Ltd dan Betatene Ltd pada tahun 1986. 
) memaparkan beberapa produk yang dapat dihasilkan dari 
mikroalga, diantaranya: 
1. Produk Energi 
Mikroalga berpotensi sebagai sumber energi terbarukan sebab p memiliki 
kandungan yang dapat diolah menjadi beberapa jenis senyawa seperti biodiesel, 
bioethanol, dan methana. 
a. Biodiesel 
Biodiesel Mikroalga, dalam hal ini adalah tumbuhan yang memiliki kandungan 
lemak nabati, berpotensi untuk dijadikan sumber biodiesel. Dewasa ini para peneliti 
menghindari minyak nabati yang berasal dari sumber pangan. Salah satu sumber yang 
dapat diperbaharui, memiliki pertumbuhan lebih cepat dari tanaman lain, 
memerlukan  lahan dan air yang sedikit, adalah mikroalga. Kandungan lemak pada 
mikroalga juga memiliki kandungan lemak tak jenuh yang lebih rendah sehingga 
berpotensi sebagai pengganti minyak sayur. Namun demikian masih perlu dilakukan 
kajian dan penelitian lebih lanjut agar diperoleh bibit mikroalga yang memiliki 
kandungan lipid yang lebih tinggi, selain itu juga pupuk (nutrisi) yang dikonsumsi 
tidak terlalu memakan biaya produksi. Salah satu alternatifnya yakni dengan 
membudidayakan mikroalga pada limbah cair industri yang masih memiliki kandungan 
nutrisi sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroalga sebagai media pertumbuhannya. 
b. Bioethanol 
Bioethanol dapat diproduksi dengan cara fermentasi maupun gasifikasi. Secara 
tradisional, bioethanol diproduksi dari tumbuhan jagung dan tebu. Akan tetapi seiring 
perkembangan jaman, hal ini menjadi kendala sebab p seiring krisis pangan dunia. 
Oleh sebab itu diperlukan sumber lain yang dapat menghasilkan bioethanol. 
Beberapa contoh mikroalga yang mengandung karbohidrat & protein tinggi ada  
pada Tabel 1.2
Mikroalga yang mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi dapat 
dimanfaatkan sebagai produk bioethanol dengan metode fermentasi. Namun 
berdasarkan laporan para peneliti, produk bioethanol dari mikroalga masih dalam 
tahap pengembangan sebab p secara komersial masih belum memungkinkan serta 
teknologi yang digunakan masih komplek. 
2. Produk Pangan dan Organik 
Mikroalga dapat digunakan dalam aplikasi yang lebih luas. Selain sebagai produk 
pangan, mikroalga juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, biopolimer 
penghasil plastik, sebagai suplement, obat-obatan, dan keperluan medis lainnya. 
a. Omega 3 
Mikroalga secara alami memiliki kandungan asam lemak omega-3 sehingga 
dapat dimanfaatkan untuk suplement bernilai tinggi Sumber 
omega-3 dapat ditemui dalam bentuk eicosapentanoic acid (EPA) dan 
decosahexaenoic acid (DHA). EPA secara umum digunakan untuk farmasi seperti 
obat migrain, jantung, asma, dan beberapa penyakit berbahaya lainnya. Jenis 
mikroalga penghasil EPA sebagai contoh adalah Pavlova vidiris, Nannochloropsis sp.
Sama halnya dengan EPA, DHA juga berperan penting dalam bidang medis. 
Berdasarkan laporan paramedis, DHA dapat digunakan untuk melawan kangker, 
AIDS, serangan jantung, menurunkan kolesterol, meningkatkan sistim imun, dan 
detoksifikasi (mengeluarkan racun) dari tubuh. Mikroalga yang tumbuh di air laut 
lebih dominan menghasilkan DHA. Schizochytrium mangrove, mikroalga air laut, 
dapat menghasilkan DHA 33-39% dari total asam lemak. 
b. Klorofil 
Klorofil secara medis berfungsi sebagai penawar pada organ hati, 
memperbaiki sel, dan meningkatkan haemoglobin dalam darah. Chlorofil juga dapat 
digunakan sebagai sumber pigmen pada kosmetik dan pangan. Salah satu mikroalga 
penghasil chlorofil tertinggi adalah Chlorella sp.
Mirkoalga jenis Spirulina platensis dikenal luas sebagai suplement yang 
mengandung kadar protein tinggi hingga mencapai 68% dan kandungan vitamin lain. 
Kandungan protein ini lebih tinggi dari daging, kedelai, ikan, dan telur. Beberapa 
mikroalga lain yang mengandung protein tinggi seperti Chlorella sp juga dapat 
digunakan sebagai pakan alami untuk beberapa jenis udang tertentu. Selain itu 
mikroalga penghasil protein dapat digunakan untuk suplement pakan ternak yang 
berfungsi menurunkan lemak dan menambah kadar protein pada daging. 
c. Karotenoid 
Karotenoid dihasilkan dari beberapa jenis mikroalga seperti algae hijau biru. 
Beberapa mikroalga mengakumulasi senyawa karotenoid dalam bentuk 
betakarotein, astaxanthin, dan canthaxanthin. Karoteoid ini memiliki fungsi penting 
sebagai antioksidan, penyedia vitamin A, dan pewarna alami. secara umum, 
mikroalgae penghasil karotenoid tersadi dalam Tabel 1.3. 
3. Mikroalga untuk Pengolahan Limbah 
Mikroalga dapat digunakan untuk pengolahan limbah organik. Secara teknis, 
mikroalga menyerap kandungan senyawa organik dan nutrien yang masih tersisa 
dalam limbah, dan menghasilkan oksigen yang dapat menurunkan kadar COD dan 
BOD dalam limbah lewat bantuan bakteri pengurai zat organic . Selain itu mikroalga dapat menyerapa beberapa senyawa berbahaya yang 
ada  dalam limbah. , mikroalga jenis 
Ascophyllum nodosum secara efektif dapat memindahkan metal cadmium, nikel, dan 
seng dari limbah. Fucus vesiculosus dapat menyerap metal chromium (III), dan 
sebagainya. 



Kultivasi mikroalga dapat juga disebut dengan pembudidayaan mikroalga, atau dapat 
pula disebut dengan kulturisasi. Kultivasi mikroalga bertujuan untuk meningkatkan atau 
memperbanyak jumlah sel mikroalga sehingga diperoleh biomassa sesuai dengan tujuan yang 
diinginkan. 
1. Isolasi Mikroalga 
Hal yang utama dari kutivasi adalah isolasi mikroalga dan penyeleksian yaitu untuk 
mendapatkan jenis alga yang cocok untuk dikultivasi dan dikembangkan dalam skala massal. 
Bibit baru harus diisolasi dalam berbagai kondisi lingkungan sehingga memiliki metabolisme 
yang fleksibel terhadap berbagai media. 
a. Isolasi dari Alam 
Alga dapat diisolasi dari berbagai jenis perairan di alam mulai dari air tawar sampai 
air payau, perairan pantai hingga air laut dengan salinitasi tinggi dan bahkan di tanah 
lembab. Lebih jauh, pemilihan sampel secara luas harus dilakukan untuk mewakili 
semua keadaan lingkungan dan menghindari data yang sama. Penentuan lokasi alga 
dapat diketahui melalui kombinasi peta, sistem informasi geografis (SIG) dan analisa 
menggunakan peralatan. Ekosistem yang dipilih termasuk perairan (contoh : lautan, 
danau, sungai, kolam dan mata air, yang mana termasuk di dalamnya dalam kondisi 
salinitas tinggi, tawar, payau, asam lingkungan beralkali) dan lingkungan terestrial 
dengan berbagai jenis lokasi geografis dengan keanekaragaman genetik. Kumpulan 
jenis alga ini termasuk yang ada di area umum serta yang ada di sistem taman 
nasional. Dalam semua kasus, kepemilikan isolasi strain baru juga harus 
dipertimbangkan. Sampel seharusnya tidak hanya dalam satu waktu singkat tetapi 
juga dalam beberapa jangka waktu mengingat adanya perubahan musim lingkungan. 
Sebagai tambahan, diantara habitat perairan, jenis alga yang ditemukan plantonic 
(bergerak bebas) dan bentos (menempel di lingkungan). Alga plankton mungkin dapat 
digunakan didalam kultur untuk memperoleh biomass, dimana biomassa alga dapat 
diaplikasikan untuk berbagai macam aplikasi. 
b. Teknik Isolasi
Untuk isolasi bibit baru dari habitat alam, kultivasi secara tradisional dapat digunakan 
untuk proses budidaya. Beberapa jenis alga perlu waktu berminggu-minggu hingga 
berbulan-bulan apabila diisolasi dengan metode tradisional. Untuk isolasi skala besar, 
penggunaan teknik isolasi otomatis kinerja tinggi dapat digunakan fluorescence –
activated cell sorting (FACS), yang telah dipakai secara luas dalam industri. Selain itu 
diperlukan kesamaan morfologi saat membandingkan jenis alga. Strain baru juga 
dapat diidentifikasi berdasarkan metode molekular seperti perbandingan galur RNA, 
atau dengan penanda gen lainnya. 
Gambar 2.1. Strain Mikroalga dalam cawan petri 

c. Kriteria dan Metode Pemeriksaan 
Pemeriksaan yang bagus meliputi tiga bagian utama: fisiologi pertumbuhan, 
metabolisme produksi, dan kesegaran strain alga. Fisiologis pertumbuhan meliputi 
beberapa parameter seperti laju tumbuh spesifik maksimal, kerapatan sel maksimal, 
ambang batas lingkungan ( suhu, pH, salinitas, kadar oksigen, kadar CO2 ), dan 
nutrisi yang dibutuhkan. sebab p semua parameter yang dibutuhkan sangat 
berpengaruh, otomatisasi sistem pengembangan dan informasi semua parameter 
teraktual akan sangat membantu. 
Pemeriksaan mengenai metabolisme produksi melibatkan pengaruh komposisi sel 
protein, lemak, dan karbohidrat, dan pengukuran produktivitas organisme sangat 
berguna untuk pengembangan mikroalga berbasis pangan maupun energi. 
Pemeriksaan yang dilakukkan juga tergantung dengan cara-cara pembudidayaan strain 
dan jenis produk yang akan diinginkan. Sebagai contoh, pemeriksaaan untuk produksi 
minyak memperhatikan profil asam lemaknya. Lebih jauh, banyak strain yang 
bermetabolisme ke dalam media tumbuh. Beberapa diantaranya menjajikan produk 
samping yang cukup bernilai, dan pendekatan-pendekatan baru dibutuhkan untuk 
pengembangan metode ini. Untuk kultivasi massal strain alga, penting untuk 
diperhatikan kesegaran strain ini , termasuk beberapa parameter berikut antara 
lain konsistensi budidaya, ketahanan strain, stabilitas pemasaran produk, kerentanan 
dari predator lain di lingkungan ini . Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 
hasil uji di laboratorium tidak selalu sama dengan hasil kultivasi di luar ruangan. 
Sehingga untuk menentukkan ketahanan strain, simulasi budidaya skala kecil perlu 
dilakukkan. Pengembangan skala kecil merupakan langkah penting untuk pengujian 
beribu-ribu jenis isolasi strain alga yang berbeda. 
d. Koleksi Kultur sebagai Sumber Data 
Pengoleksian kultur merupakan salah satu cara untuk melestarikan keanekaragaman 
habitat alam, melindungi bahan genetik dan sumber penyedia penelitian dasar. Saat 
ini, hanya ada beberapa pusat koleksi alga di Amerika Serikat dan negara lain. 
Mereka mengumpulkan ribuan strain mikroalga yang berbeda untuk mendukung 
penelitian dan industrialisasi mikroalga. Fungsi dari pusat koleksi tidak hanya terbatas 
sebagai tempat penyimpanan saja. Mereka juga mendukung program penelitian dalam 
menentukan karakteristik strain, cryopreservation, dan filogenik baik untuk kebutuhan 
sendiri maupun hubungannya dengan pihak luar. 
Jumlah strain alga yang tersedia dari pusat koleksi seperti UTEX (The Culture 
Collection of Algae di University of Texas at Austin, Texas ), sekitar 3000 strain, dan 
di CCMP (The Provasoli-Guillard National Center for Culture of Marine 
Phytoplankton at the Bigelow Laboratory for Ocean Sciences in West Boothbay 
Harbor, Maine) lebih dari 2500 strain. Bagaimanapun, sebab p banyaknya strain alga 
yang di kultur dalam beberapa dekade, banyak kultur asli yang hilang disebab pkan 
proses perkembangbiakan atau mengenai penggunaan nutrien yang dipakai untuk 
alga. Untuk mendapatkan berbagai kegunaan dan ketahanan strain ini , dapat 
digunakan untuk kultur massal sebagai pembuatan biofuel maupun pangan, hal itu 
akan lebih bijak apabila mengisolasi strain baru yang langsung diambil dari 
lingkungan. Modifikasi strain dapat dilakukan untuk meningkatkan karakteristik 
mikroalga, seperti aklimasi, bahkan dapat digunakan sintesis modifikasi DNA, dan 
mutasi genetik, agar diperoleh strain mikroalga yang diinginkan. 
Data yang ada pada pusat kultur alga dunia sangat berpotensi sebagai inti untuk pusat 
pengembangan penelitian mikroalga. Data- data yang ada harus mencakup beberapa 
aspek antara lain : 
Data strain : sitologi, biokimia, molekuler, dan hasil pemeriksaan 
Mutasi 
Plasmid dan fag 
Administrasi Strain (Jumlah koleksi, cadangan dll) 
Aplikasi praktis (Umum dan Industri) 
Nama Strain (Spesies, subspesies, taksonomi, referensi yang mendukung) 
Kondisi pertumbuhan (media,suhu, PH) , kondisi pencambahan 
Interaksi secara biologi (Simbiosis, patogenis, toksisitas) 
Data Omic (Genomic, transkriptomik, proteomik, metabolomik) 
Lingkungan dan riwayat strain (habitat khusus, pengkoleksi sebelumnya) 
e. Karakteristik Algae 
Kunci keberhasilan dalam menekan biaya produksi akan menjamin kestabilan kultur 
mikroalga dalam jangka waktu yang lama. Pertumbuhan yang cepat merupakan kunci 
utama untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kemampuan bertahan 
dari alga pencemar lain. Karakteristik lain seperti kemampuan tumbuh dengan 
kerapatan sel yang tinggi dalam suatu kutur budidaya yang berkelanjutan dapat 
meningkatkan ketahanan sel dan juga dapat mengurangi kandungan air saat proses 
pemanenan. Serta kemampuan untuk memflokulasi ketika ada suatu penambahan 
bahan kimia dapat mengurangi biaya pemanenan sejauh hal ini  masih dapat 
dikendalikan selama proses kultivasi. 
2. Scale up Mikroalga 
Secara umum budidaya mikroalga didasarkan pada tiga tahap. Tahap pertama dimulai 
dengan skala laboratorium / pembibitan, dilanjutkan pada skala semi massal, dan berakhir 
pada skala komersial 
a. Skala laboratorium 
Pada skala laboratorium, dilakukan kulturisasi mikroalga yang diperoleh dari 
beberapa laboratorium yang membudidayakan mikroalga jenis tunggal. Sebagai 
contoh laboratorium penyedia bibit adalah BBPBAP Jepara, BBPBAP Bogor, LIPI, 
dan sebagaianya. 
Pada tahap inokulasi (transfer ke medium yang lebih besar), mikroalga yang 
digunakan sebagai bibit harus benar-benar steril, memiliki kepekatan yang tinggi. 
Pada skala laboratorium, mikroalga ditempatkan pada erlenmeyer atau gelas kaca 
yang steril, dan benar-benar dijaga kondisi lingkungan seperti pH, intensitas cahaya, 
nutrien, dan pertumbuhannya. 
b. Skala semi massal 
Skala semi massal digunakan untuk mempersiapkan mikroalga ke skala komersial. 
menyarankan, pada fase ini sebaiknya kultur mikroalga dilakukan 
pada rumah kaca untuk menghindari kontaminan dan air hujan. Pada tahap ini 
mikroalga akan beradaptasi ke lingkungan semi steril sebelum dijadikan skala 
komersial. 
Kolam kultur berbentuk bulat dengan tinggi maksimum 50 cm, dan diameter antara 2-
5 m, dengan jumlah kultur 10-15% dari total volume. Intensitas cahaya berada pada 
range 3500-5000 lux, dengan penambahan lampu TL sebagai back-up apabila terjadi 
mendung/hujan. 
Pengadukan kultur dilakukan dengan kecepatan 50-60 cm/detik dengan durasi 2 jam 
pada pagi hari (08.00-10.00), (12.00-14.00) dan (16.00-18.00), untuk menghindari 
pengendapan, penyebaran nutrien yang merata, dan pencahayaan yang seragam. Pada 
kurun waktu selama 6-10 hari, mikroalgae sudah dapat dipindah ke skala komersial / 
skala pilot. 
c. Skala komersial 
Pada skala komersial, keberhasilan mikroalga tergantung pada cuaca luar, lingkungan 
dan kontaminan lain. Beberapa metode kultivasi skala komersial yang umum 
digunakan adalah open pond raceways (sistem bak terbuka), dan photobioreactor 
(sistem tertutup), dan masing-masing metode memiliki kelebihan serta kekurangan 
tersendiri. 
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya secara komersial adalah faktor 
kontaminan dari mikroorganisme atau mikroalga lain. Beberapa mikroalga dapat 
dimanipulasi keadaan lingkungannya untuk menghindari atau memperkecil 
kontaminan lain. Seperti contoh, Spirulina platensis dapat hidup di lingkungan ber 
pH dan salinitas yang tinggi. Kondisi ini menguntungkan bagi Spirulina dan dapat 
mematikan beberapa kontaminan mikroba lain. Hal lain yang perlu diperhatikan 
adalah durasi pemanenan, serta peremajaan medium. Beberapa mikroalga hanya dapat 
digunakan pada rentang pemanenan 3 sampai 4 kali, untuk itu perlu dilakukan 
peremajaan atau pengurasan bak. 
3. Faktor Pertumbuhan 
Faktor pertumbuhan mikroalga mempengaruhi hasil biomassa, maupun jenis produk 
yang diinginkan. Terkadang biomassa yang sedikit menghasilkan produk yang diinginkan 
dalam jumlah banyak, untuk itu diperukan optimasi komposisi yang seimbang antara 
banyaknya biomassa dan banyaknya produk dalam biomassa mikroalga. Beberapa faktor 
pertumbuhan mikroalga yang dapat menaikkan laju pertumbuhan biomass di antaranya: 
1. Intensitas Cahaya 
Cahaya menjadi faktor penting dalam pertumbuhan mikroalga sebab p dibutuhkan 
dalam proses fotosintesis. Intensitas cahaya sering disebutkan dalam satuan 
microEinsteins/m2
s atau setara dengan satu mol photons. Beberapa satuan lain seperti 
micromol/ m2
s, Lux dan W/m2
 juga digunakan. melaporkan bahwa 
aktivitas fotosintesis naik seiring kenaikan intensitas cahaya. Hal ini menjadi penting 
apabila mikroalga dibiakkan dalam kedalaman tertentu, semakin dalam medium 
mikroalga, intensitas cahaya yang dibutuhkan juga semakin tinggi. bahwa Chlorella sp dapat tumbuh dalam keadaan maksimum pada 
kondisi intensitas cahaya 5000 lux. 
Sebagian besar mikroalga tidak dapat tumbuh dengan baik dalam keadaan 
pencahayaan yang konstan, sebab p memerlukan  waktu instirahat untuk menyimpan 
makanan. Terkadang dilakukan manipulasi durasi pencahayaan light .dark (L/D) 
antara lain 16:8, 14:10 atau 12:12 waktu pencahayaan. 
2. Temperatur 
Temperatur menjadi parameter pertumbuhan mikroalgae yang cukup penting sebab p 
didasarkan pada tempat tumbuhnya, baik dalam iklim tropis maupun sub tropis. 
Sebagian besar algae dapat tumbuh pada suhu antara 15 sampai 400
C. Beberapa 
mikroalga dapat tumbuh subur pada kondisi suhu kisaran 24-260
C. Pada suhu di 
bawah 160
C, mikroalga masih dapat tumbuh dalam keadaan lambat. Namun pada 
suhu di atas 350
C, beberapa mikroalga dapat mati atau lysis (pecah). Studi tentang 
pengaruh temperatur dan growth rate mikroalga telah dilakukan oleh Goldman dan 
Carpenter (1974), dan dilaporkan bahwa kenaikan temperatur pada range tertentu 
dapat menaikkan growth rate mikroalga. 
3. Nutrien 
Nutrient adalah faktor penting dalam produksi biomass alga. Sebagian besar 
mikroalga memerlukan  makronutrien seperti karbon, (C), nitrogen (N), hidrogen 
(H), sulfur (S), kalium (K), magnesium (Mg), dan fosfor (P) Sedangkan 
mikronutrient digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan sel dan metabolisme. 
Keberadaan mikronutrien tidak bisa diganti oleh zat lain. Kebutuhan mikronutrien 
juga berbeda beda berdasarkan habitat mikroalga (air laut, payau, tawar). Beberapa 
unsur mikronutrien di antaranya, zat besi (Fe), boron (B), mangan (Mn), vanadium 
(Va), silikon (Si), selenium (Se), cuprum (Cu), nikel (Ni), dan molybdinum (Mo). 
4. Oksigen 
Oksigen menjadi faktor peganggu dalam pertumbuhan algae. Oksigen dapat 
dihasilkan dari reaksi fotosintesis algae. Level oksigen terlarut dalam medium yang 
semakin tinggi dapat membahayakan proses fotosintesis  ,Jika 
digunakan sistem budidaya bak terbuka (open pond), gas oksigen akan mudah teruap 
ke atmosfir. Sedangkan untuk kultur tertutup, gas oksigen dapat terakumulasi pada 
medium dan menjadikan racun 
5. Karbon Dioksida 
Karbon dioskida digunakan mikroalgae untuk proses fotosintetis layaknya tumbuhan 
berklorofil lainnya.  melakukan penelitian tentang transfer massa 
CO2 pada medium mempengaruhi laju pertumbuhan mikroalgae. Namun tingginya 
kadar CO2 dalam medium juga dapat mempengaruhi pH. 
melakukan penelitian ini  dan mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi kadar 
CO2 di atas 33% dari komposisi udara normal, laju pertumbuhan mikroalgae menjadi 
terhambat. 
6. pH 
Sebagian besar algae tumbuh pada kondisi pH normal antara 6 sampai 8. Akan 
tetapi beberapa algae jenis cyanobacteria seperti Spirulina platensis hanya dapat 
tumbuh pada kondisi alkali/basa. Sementara Chlorella secara umum dapat hidup 
dalam kondisi pH antara 7-8. 
7. Salinitas 
Mikroalga air laut umumnya rentan terhadap perubahan salinitas pada medium. 
Dunaliella salina dan Spirulina platensis adalah contoh mikroalga yang dapat 
tumbuh subur pada salinitas yang tinggi 
8. Pengadukan k
Pengadukan pada medium mikroalga dibutuhkan agar tidak terjadi pengendapan 
biomass, selain itu difungsikan untuk pencampuran nutrient, dan meningkatkan 
difusifitas gas CO2. Beberapa metode pengadukan yang umum digunakan adalah 
bubling menggunakan udara (dapat membahayakan sel), dan paddle atau pengaduk 
otomatis. Beberapa mikroalga dapat tumbuh baik tanpa pengadukan jika 
konsentrasinya tidak terlalu pekat. 
4. Masa Pertumbuhan Mikroalga 
Masa pertumbuhan mikroalga dapat diukur berdasarkan biomas, maupun jumlah sel 
dalam mediumnya. Fase pertumbuhan mikroalga dapat digambarkan dengan grafik dalam 
keadaan mikroalga homogen, sistem batch (terakumulasi), dengan kondisi supply nutrient 
yang ditentukan di awal pembibitan   Diagram fase pertumbuhan mikroalga 
berdasarkan Fogg dan Thake (1987) adalah sebagai berikut: 
Gambar 2.3. Grafik Pertumbuhan Mikroalga
1. Fase Lag 
Fase lag adalah fase adaptasi mikroalga dalam medium baru. Pada tahap ini 
mikroalga memerlukan  waktu untuk menyesuaikan diri sebab p lingkungan 
inokulum (bibit) cenderung berbeda dari lingkungan sebelumnya. Selama masa 
adaptasi, sel alga lebih sensitif terhadap nutrient, temperatur, dan kondisi yang 
berbeda dari kondisi aslinya. Sel alga dapat sewaktu waktu memiliki pertumbuhan 
sel yang semakin menurun, bahkan mati, apabila tidak dapat beradaptasi dengan 
baik. 
2. Fase Eksponensial (fase log) 
Pada fase ini kecepatan pertumbuhan mikroalga dapat dihitung berdasarkan kenaikan 
biomassan dan selisih waktu yang dibutuhkan. Kecepatan pertumbuhan (growth rate) 
adalah salah satu indikasti penting sel berhasil melalui fase adaptasi. Durasi fase 
eksponensial bergantung pada volume inokulum, kecepatan pertumbuhan, medium, 
dan kondisi lingkungan untuk mensupport pertumbuhan alga. Fase eksponensial 
ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang cepat, sel membelah dengan 
laju konstan, aktivitas metabolik konstan, dan keadaan pertumbuhan seimbang antara 
supply makanan dan kenaikan mikroalga. Pada fase ini dapat dilakukan pemanenan 
biomassa sehingga hasil yang didapatkan akan maksimum. 
3. Penurunan Fase Log 
Penurunan pertumbuhan secara umum dipengaruhi oleh biomassa yang telah 
mencapai tahap populasi maksimum, sehingga kebutuhan makanan pada medium 
menjadi berkurang. Selain itu fase penurunan pertumbuhan mikroalga dapat 
dipengaruhi oleh sumber cahaya, dan akumulasi oksigen yang dihasilkan dari reaksi 
fotosintesis. Akumulasi oksigen dapat mempengaruhi keasaman sel. Sedangkan 
jumlah sel yang semakin banyak dapat menghalangi cahaya masuk ke medium. 
4. Fase Stasioner 
Fase stasioner adalah fase di mana tidak adalah lagi pertumbuhan mikroalga, atau 
kecepatan pertumbuhan (growth rate) menjadi nol. Pada fase ini, terjadi akumulasi 
racun akibat metabolisme mikroalga, kekurangan nutrien, dan perubahan kondisi 
lingkungan. Jumlah sel mikroalga yang hidup sama dengan jumlah sel yang mati. 
5. Fase Kematian 
Pada fase ini jumlah sel mikroalga yang mati lebih banyak dari jumlah sel yang 
hidup. Nutrien semakin menipis (bahkan habis), cadangan makanan dalam tubuh sel 
menjadi berkurang, dan penumpukan racun semakin meningkat. Pada fase ini sel 
yang mati bahkan dapat lisis (pecah) dan larut ke dalam medium. 
5. Kultivasi Mikroalga 
Beberapa metode kultivasi mikroalga dapat diterapkan sesuai dengan kenginginan. 
Kultivasi ini dapat ditinjau dari berbagai segi seperti dari segi nutrien, cara pemanenan, dan 
sistem pond yang ingin digunakan. 
1. Sistem Kultivasi/budidaya 
Kultivasi mikroalgae dibedakan menjadi dua, open pond dan closed pond 
photobioreactor. Masing masing cara kultivasi memiliki kelebihan dan kekurangan 
ditinjau dari beberapa aspek seperti biaya investasi, kontaminasi dan sebagainya. 
a. Open Pond 
Sistem kultivasi open pond rentan terhadap serangan mikroalgae dan protozoa 
asing. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan untuk mikroalga 
jenis tertentu yang hidup pada lingkungan ekstrim seperti Spirulina yang dapat 
tumbuh pada alkalinitas yang tinggi, Dunaliella yang tumbuh pada salinitas 
yang tinggi, dan Chlorella yang tumbuh pada medium dengan nutrien yang 
tinggi dan kompleks. Ditinjau dari produktivitas biomas, sistem open pond 
kurang efisien dibanding photobioreaktor sistem tertutup. Hal ini disebab pkan 
potensi evaporasi medium, temperatur yang fluktuatif, dan pengadukan yang 
kurang sempurna. 
Pada umumnya, kultivasi mikroalgae secara komerisial menggunakan metode 
open pond sebab p dipilih berdasarkan biaya investasinya yang murah. Di antara 
desain open pond lainnya, desain raceway lazim ditemui dalam industri 
pengolahan mikroalga. Sistem raceway ini ditujukan untuk menghindari 
sedimentasi biomas dan mempermudah pencampuran nutrien dengan medium. 
Pond memiliki kedalaman 0.2-0.5 meter, dan medium diaduk menggunakan 
paddle wheel. 
Gambar 2.5. Komponen Open Pond Photobioreactor 
b. Closed Pond Photobioreactor 
Sistem kultivasi ini lebih memiliki ketahanan terhadap kontaminan bakteri dan 
algae lain dibanding sistim terbuka, sehingga spesies algae tunggal dapat terjaga 
dan menaikkan yield biomass. 

Closed pond biasanya didesain dalam bentuk tubular, plate, dan bentuk kolom. 
Sistem ini juga lebih fleksibel, reaktor dapat dioptimasi sesuai karakterisasi 
mikroalgae. Parameter seperti pH, temperatur, konsentrasi CO2 dan nutrien 
dapat dikontrol dengan mudah. Kelemahan dari sistem ini adalah biaya yang 
tinggi apabila diterapkan dalam skala komersial dan kesukaran dalam proses 
scale up. Dalam skala kecil, luas area permukaan terhadap rasio volume dapat 
dengan mudah didapatkan. Akan tetapi jika skala desain dinaikkan, rasio antara 
volume dan luas permukaan cenderung menurun. Di lain hal, terjadinya 
akumulasi oksigen pada sistem tertutup juga dapat merugikan pertumbuhan 
mikroalgae ,
 
Gambar 2.7. komponen closed pond photobioractor 

w metode kultivasi terkadang cocok dibiakkan pada kondisi lahan 
tertentu, atau mikroalga jenis tertentu, atau didasarkan pada kondisi 
iklim/pencahayaan. Beberapa metode terkadang cocok digunakan di satu 
tempat dan juga didasarkan pada aspek ekonominya, kemudahan dalam 
perawatan, efisiensi energi, dan biomas yang didapatkan. 
2. Material Pond 
Material pond secara umum memiliki karakteristik: non toxic (inert dari bahan kimia), 
mudah dibersihkan, disterilkan, dan mudah diperoleh. Beberapa mikroalga tidak 
cocok pada material pond tertentu, untuk itu perlu diperhatikan material yang akan 
dipakai. 
Beberapa material pond yang direkomendasikan di antaranya: 
Teflon (sangat mahal, biasa digunakan pada skala laboratorium) 
Polycarbonat (mahal dan dapat rusak jika dilakukan sterilisasi autoclave 
secara terus menerus) 
Polystyrene (murah, tidak bisa dilakukan sterilisasi autoclave) 
Gelas Borosilicate (dapat menghambat beberapa spesies mikroalga.) 

3. Medium Mikroalga 
Ada beberapa list medium yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga sesuai 
habitat dan jenisnya. Beberapa medium yang umum digunakan antara lain medium 
BBM (bold bassal medium) untuk mikroalga hijau jenis air tawar, BG-11 untuk jenis 
mikroalga hijau biru jenis air laut, dan medium mikroalga hijau jenis air laut 
menggunakan medium HSM (high salt medium)/ Sueoka. 
b. Sueoka (HSM) Medium 
Medium ini dapat digunakan untuk Chlamydomonas dan beberapa spesies lain seperti 
Dunaliella salina 
pH akhir medium adalah 6.8. Level pH dapat diatur menggunakan 1N HCl dan 1N 
NaOH. Perlu dilakukan autoclave dengan waktu 20 menit atau lebih jika penggunaan 
nutrient lebih dari 1 liter. Nutrien didiamkan selama semalam sebelum digunakan
c. BG-11 Medium 
Medium ini umum digunakan untuk jenis cyanobacteria, dan dapat ditambahkan 
larutan vitamin f/2 untuk beberapa spesies tertentu. 



Budidaya mikroalga terbagi dalam beberapa alternatif pilihan. Budidaya ini dapat 
dilakukan pada reaktor buatan yang disebut photobioreaktor, yakni reaktor yang 
memanfaatkan sumber cahaya sebagai sumber fotosintesis untuk pertumbuhan mikroalga. 
Pada umumnya untuk skala massal, budidaya mikroalga menggunakan suatu kolam 
terbuka yang biasa disebut Open Pond. Open pond merupakan sistem kultivasi yang sangat 
lama digunakan. Pada awalnya, kolam atau pond sebenarnya digunakan sebagai media 
pengolahan limbah cair, dengan perkembangan saat ini pond diterapkan pada kultivasi 
mikroalga skala massal. Open Pond dapat dikategorikan ke dalam perairan alami seperti 
danau dan laguna serta kolam buatan atau kontainer yang terbuat dari bahan tertentu seperti 
PVC, semen, atau tanah liat. Open Pond atau biasa disebut juga bioreaktor kolam terbuka 
merupakan salah satu jenis bioreaktor yang paling murah dan mudah dikonstruksi apabila 
dibandingkan photobioreaktor tertutup, sebab p dari pencahayaan hanya menggunakan sinar 
matahari sebagai sumber cahaya mikroalga dalam melakukan fotosintesis. 
Pemilihan jenis photobioreaktor sendiri sangat penting sebab p dapat menentukan 
hasil biomassa yang akan dihasilkan. Beberapa sistem budidaya yang umum digunakan yaitu 
kolam dangkal, kolam melingkar, dan kolam raceway dengan aliran sirkular menggunakan 1 
pedal roda (paddle wheel). Kelemahan dari sistem open pond yaitu volume sistem kultur 
yang besar sehingga sinar matahari yang masuk tidak sepenuhnya dapat terserap oleh 
mikroalga di dasar kolam. Selanjutnya akibat kontak langsung dengan udara maka evaporasi 
cairan relative besar dan proses pengadukan tidak dapat maksimal sehingga terjadi 
pengendapan atau sedimentasi sel di dasar kolam. Permasalahan lain yang muncul dari 
sistem open pond yaitu adanya kontaminasi langsung dari lingkungan sekitar. 
1. Jenis- Jenis Photobioreaktor 
Pemilihan jenis photobioreaktor sangat perlu diperhatikan. Hal ini  dapat 
berpengaruh pada tingkat produksi biomassa yang akan dihasilkan. Pada dasarnya ada dua 
jenis photobioreaktor, yaitu photobioreaktor tertutup dan photobioreaktor terbuka. 
Photobioreaktor tertutup mempunyai kondisi yang lebih terkontrol dibandingkan dengan 
photobioreaktor terbuka. Photobioreaktor sendiri merupakan sebuah bioreaktor dengan 
beberapa tipe sumber cahaya seperti sinar matahari (daylight lamp) , lampu fluorescent, atau 
led. Pada sistem tertutup juga memungkinkan pertumbuhan mikroalga semakin cepat sebab p 
adanya peningkatan konsentrasi karbondioksida, yang merupakan salah satu faktor penentu 
dalam kultivasi mikroalga. Photobioreaktor tertutup lainnya yaitu Quasi-closed system yang 
merupakan sebuah kolam yang ditutupi dengan bahan transparan (greenhouse) di semua 
bagian. 
Pada bagian ini akan lebih dibahas mengenai photobioreaktor terbuka atau yang biasa 
disebut Open pond. Kolam terbuka atau Open pond merupakan sistem kultivasi mikroalga 
yang dilakukan di luar ruangan. Sistem seperti ini hanya cukup dibuat semacam kolam 
sirkuit, sebab p faktor pencahayaan didapat secara langsung dari sinar matahari, serta 
kebutuhan akan karbondioksida diambil dari lingkungan sekitar. Pada sistem kolam sirkuit, 
bibit mikroalga, media tumbuh (pada umumya air), dan nutrisi dicampurkan secara langsung 
dalam kolam yang bergerak menyerupai aliran sirkuit. Aliran air dibuat dengan sistem 
pemompaan, sehingga mikroalga dan nutrisi tetap dapat tercampur dan tidak terjadi 
pengendapan mikroalga dan nutrisi yang ditambahkan didasar kolam. Kolam pada umumnya 
dibuat dangkal supaya mikroalga tetap dapat memperoleh sinar matahari, sebab p sinar 
matahari hanya dapat masuk pada kedalaman air yang terbatas. Variasi yang dapat diterapkan 
pada sistem Open Pond yaitu dengan memberikan atap transparan (green house) yang masih 
dapat ditembus sinar matahari untuk melindungi mikroalga dari kontaminasi luar seperti air 
hujan, kotoran yang terbawa angin dan lain-lain. Tetapi pada prakteknya,cara ini hanya dapat 
diaplikasikan pada kolam yang berukuran relatif kecil, dan belum dapat mengatasi beberapa 
masalah yang terjadi pada sistem terbuka. 
Ada banyak tipe sistem kultivasi mikroalga sistem open pond, antara lain menurut 
ukuran, bentuk, bahan yang digunakan untuk konstruksi, jenis pengadukan, dan sudut 
inklinasi. Banyak desain konstruksi yang disarankan, tetapi ada empat desain utama yang 
dapat dikembangkan dan dioperasikan pada skala massal, yaitu: 
1. Unstirred ponds 
Yang termasuk jenis pond ini adalah danau dan kolam alami. Pond tanpa 
pengadukan merupakan salah satu jenis pond yang paling ekonomis diantara jenis 
metode kultivasi skala komersial yang lain. Jenis mikroalga yang dikembangkan yaitu 
Dunailiella salina. Mikroalga jenis ini dikembangkan untuk diambil β-karoten, dan 
banyak dikembangkan di Australia Barat dan Australia Selatan. Unstirred Ponds 
mempunyai luasan yang sangat besar dengan konstruksi yang sangat sederhana, tanpa 
penutup, dan mempunyai kedalaman kurang dari setengah meter. Untuk ukuran pond 
yang lebih kecil, dapat dimodifikasi dengan adanya pelapisan plastik di atas 
permukaan kolam. Unstirred open pond sangat terbatas untuk mikroalga yang 
mempunyai kemampuan tumbuh pada kondisi yang sangat sulit dan mampu bersaing 
dengan kontaminan lain yang tumbuh seperti protozoa, mikroalga lain, virus dan 
bakteri. 
2. Inclined ponds 
Inclined pond adalah tipe pond yang menggunakan pompa untuk menggerakkan aliran 
medium dari bawah ke atas. Beberapa peneliti menyatakan bahwa dengan sistem pond 
ini diperoleh produktivitas yang tinggi.  bahwa 
produksi Chlorella dapat mencapai 25gram/m/hari dalam kurun waktu setahun. 
Inclined pond secara luas digunakan di Republik Cheko untuk perkembangbiakan 
Spirulina platensis, Chlorella sp, dan Scenedesmus sp dengan produktivitas 18 sampai 
25gram/m/hari 
Keunggulan dari sisctem ini adalah diantaranya: (1) didapatkan flow turbulen dengan 
kedalaman kultur yang relatif dangkal (kurang dari 1 cm) sehingga diperoleh 
konsentrasi sel mencapai 10gr/liter. (2) rasio volume dan permukaan relatif tinggi 
dibanding jenis pond lainnya  Sedangkan kelemahan dari pond 
ini diantaranya: (1) sedimentasi sel akan semakin tinggi jika dioperasikan pada 
turbulensi yang rendah, sehingga dimungkinkan masuknya kontaminan dan 
menurunnya produktivitas. (3) medium mudah terevaporasi, absorbsi CO2 relatif 
rendah. (3) biaya pemompaan kultur yang semakin membengkak sebab p dioperasikan 
secara kontinyu. . Pada sistem ini diperoleh produktivitas biomas yang 
relatif sama dengan metode pond lain. Akan tetapi dengan biaya operasional yang 
cukup tinggi, maintenance, dan konstruksinya, menjadikan pond ini tidak feasibel. 
3. Central pivot ponds 
Circular central pivot biasa juga disebut dengan Kultivasi sirkulasi. Umumnya sistem 
ini digunakan di negara Asia Tenggara untuk budidaya Chlorezlla sp . 
Sistem pond ini rekatif paling tua jika dibanding dengan sistem pond lain. Selain itu 
metode pond ini juga dapat digunakan untuk pengolahan limbah. 
Gambar 3.1. Berbagai macam bentuk open pond. (a) unstirred pond, (b) central pivot pond, 
(c) inclined pond (d) raceway pond. 
4. Raceways ponds
Kolam terbuka aliran sirkuit adalah paling sederhana untuk budidaya massal 
mikroalga. Dalam sistem ini, kolam dangkal biasanya sekitar 30-50cm, dan ganggang 
yang dibudidayakan dalam kondisi identik dengan lingkungan alami mereka. Kolam 
ini dirancang dalam konfigurasi raceway, di mana sebuah Paddle wheel berputar 
mencampur sel-sel alga dengan nutrien yang ditambahkan. Biasanya terbuat dari 
beton yang dibentuk, atau hanya cukup digali ke dalam tanah kemudian dilapisi 
dengan lapisan plastik untuk mencegah tanah menyerap cairan alga. Baffle dalam 
saluran mengatur aliran di sekitar putaran dan sering dioperasikan secara terus 
menerus. Untuk beberapa jenis mikroalga laut, air laut atau air dengan salinitas tinggi 
dapat digunakan sebagai medium tumbuh. Kolam dengan sistem terbuka, sering 
mengalami banyak kehilangan air sebab p penguapan. Dengan demikian, kolam 
terbuka tidak memudahkan mikroalga menyerap karbon dioksida secara efisien, dan 
produksi biomassa terbatas   Produktivitas biomassa juga dibatasi oleh 
kontaminasi dari spesies alga lain yang tidak diinginkan serta organisme yang 
memakan ganggang. Selain itu, kondisi budaya yang optimal sulit untuk 
mempertahankan di kolam terbuka 
2. Sirkulasi Pond 
Dalam beberapa kasus perancangan kolam terbuka, perlu diperhatikan beberapa aspek 
termasuk salah satunya masalah sirkulasi air kolam. Sistem sirkulasi dapat berpengaruh 
langsung terhadap siklus udara yang masuk dalam kolam. Selain itu dengan mengetahui 
adanya sistem sirkulasi, dapat diketahui sistem persebaran nutrisi yang ditambahkan 
sehingga mikroalga tidak mengalami kekurangan maupun kelebihan nutrisi yang dapat 
memicu  terhambatnya pertumbuhan mikroalga dan adanya keracunan yang berefek 
pada kematian mikroalga. Beberapa model aliran sirkulasi open pond disajikan pada Gambar 
3.2. sampai Gambar 3.5. 
3. Konstruksi Pond Raceway 
Salah satu tipe konstruksi open pond yang biasa digunakan untuk pembiakan 
mikroalga adalah jenis raceway. Beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam 
konstruksi raceway adalah ukuran rasio panjang dan lebar pond, kecepatan paddle/kincir, 
kolam intermediet, dan sump. 
a. Ukuran Pond dan Geometri
Pond kolam sirkuit merupakan salah satu cara pembudidayaan yang 
memerlukan  banyak sinar matahari, sehingga cukup memerlukan  luasan area 

yang besar. Oleh sebab p itu diperlukan suatu perhitungan luasan yang tepat sehingga 
dapat diperoleh hasil yang optimal. 
Dasar geometri dapat menentukan ukuran perancangan pond, aliran, dan rasio 
panjang dan lebar (L/W). Pemilihan dari ukuran dan bentuk pond dapat menetukan 
faktor ekonomi dan efek lain dalam sistem ini  seperti pengadukan dan 
penyebaran udara dalam pond ini . Optimasi geometri secara sederhana dapat 
menunjukkan luasan pond dengan rasio L/W (length/wide, panjang/lebar) dalam 
Gambar 3.5. ditunjukan perbandingan L/W dengan luasan pond. 
Pemilihan rasio L/W harus memperhatikan luasan minimal area yang ada dan juga 
faktor lain yang mungkin dapat berpengaruh. Contoh Pond Aliran Sirkuit (Raceway 
Ponds) disajikan dalam Gambar 3.7. 
b. Sump 
Sump merupakan bagian yang dibuat lebih dalam pada kolam yang biasa 
digunakan untuk penambahan CO2. Sump juga digunkan untuk mengurangi kecepatan 
aliran saat padatan inert dan komponen organik yang mengendap sudah terakumulasi 
dan harus dihilangkan. Untuk 8 hektar pond, kedalaman sump berkisar 1,5 meterakan 
mengakibatkan penyerapan CO2 95%. Kedalaman ini cukup untuk mencegah adanya 
pusaran air dan udara yang terjebak dalam saluran pipa. Desain untuk Sump tunggal 
yaitu dipasang menyilang sesuai dengan lebar saluran. Panjang dan lebar dari sump 
sendiri disesuaikan dengan besarnya padatan yang harus dihilangkan. Pada umumnya, 
desain panjang disesuaikan batas minimal yaitu berkisar 1 meter. Pipa distribusi CO2
dipasang pada dasar akhir dari Sump, sehingga tidak akan terjadi dekomposisi 
padatan. 
Gambar 3.8. cekungan dalam pond (disebut sump) 
c. Mixing 
Mixing merupakan bagian penting dalam pembuatan kolam raceway. Bagian ini 
berfungsi menaduk mikroalga agar tidak cepat lmengendap, selain itu juga 
berfungsi sebagai pengaduk nutrisi, dan pengaduk bagian bagian sel mikroalga 
agar mendapat cahaya matahari yang seragam, dan sebagai pencampur udara agar 
lebih cepat terdifusi ke dalam medium.Salah satu tipe pengaduk yang cukup 
terkenal digunakan dalam kultivasi mikroalga adalah paddle wheel. Selain itu 
dapat juga digunakan tipe pengaduk lain seperti propeller, gas lifting, gas 
sparging, maupun pengadukan tradisional. 
Keunggulan paddle wheel dibanding jenis mixer pond lain di antaranya yaitu (1) 
mudah diaplikasikan untuk skala komersial dan tidak memerlukan  perawatan 
yang intens (2) tidak membahayakan sel alga sehingga meningkatkan efektivitas 
pemanenan (3) mudah didesain sesuai kebutuhan. Selain memiliki kelebihan, 
paddle wheel juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya (1) biaya pembuatan 
yang relatif mahal, (2) panjang head (sirip) paddle secara aktual maksimum hanya 
0.5 meter sehingga tidak dapat diaplikasikan untuk pond dengan area diatas 20 
hektar. Secara umum, perhitungan kecepatan paddle wheel adalah sebagai berikut: 
v = kecepatan (meter/detik) 
Rh = radius hidraulik, (meter) 
s = slope hidraulik ( head loss/unit panjang) 
n = nilai kekasaran material pond 
Jika kecepatan dan panjang channel sudah diketahui, persamaan dapat 
disederhanakan untuk mencari head loss
 hL = 
di mana hL = head loss (meter) 
 L = panjang channel (meter) 
Secara umum, nilai n adalah 0.010 untuk permukaan pond yang kasar, 0.014 
untuk permukaan pond yang belum halus, 0.017-0.025 untuk permukaan yang 
cukup halus, 0.029 untuk permukaan yang halus. Sedangkan nilai 0.018 
secara umum digunakan untuk kalkulasi head loss untuk pond skala besar. 
Pada umumnya efisiensi yang digunakan berkisar 70-75% untuk pompa 
sentrifugal dan 30-40% untuk tipe paddle wheel atau pompa airlift. 
Power pompa juga dapat bergantung pada kedalaman pond. Jika pond yang 
digunakan semakin dalam, maka power pompa yang digunakan semakin besar 
(Welssman dan Gosbel, 1987). 
Untuk perhitungan power mixing, dapat dihitung dengan persamaan 
P = 
di mana p = power (watt) 
 A= pond area (meter2
e = overall efisiensi sistem pengadukan 
d. Kolam intermediet (perantara). 
Kolam intermediet digunakan untuk scale up mikroalga dari skala mikro hingga 
skala komersial. Kolam intemediet dapat juga disebut kolam pembibitan. Scale up
mikroalga dilakukan dari pond dengan ukuran 200-300 liter, dan bertahap sampai 
didapatkan volume yang diinginkan. Biasanya bibit yang digunakan untuk start 
up adalah berkisar 10-15%. 
Gambar 3.9. Kolam intermediet open pond 
e. Pertimbangan dalam desain open pond. 
ada  beberapa pertimbangan dalam pembuatan desain open pond, di 
antaranya yaitu (1) Kolam dibangun secara beriringan atau dengan bentuk kolam 
sirkuit. (2) Pengadukan secara lambat sehingga menghasilkan gelombang yang 

kecil. (3)Untuk pengadukan dapat digunakan paddle wheel, water jet (pompa air), 
dan air pump (pompa air) (4) Dimensi untuk 100 ton air yaitu 50m x 5m x 0,4m 
Dalam sistem open pond, produktivitas Spirulina yang dapat dicapai 0,35g/Lt, 
sedangkan Luasan area yang dibutuhkan untuk kapasitas 100 ton air berkisar 
sampai dengan 250 m2
. Pemilihan dimensi open pond ini dapat menjadi alternatif 
dalam budidaya mikroalga, namun harus diingat bahwa resiko kontaminan yang 
cukup tinggi, risiko sirkulasi udara yang rendah, dan pengadukan dengan efisiensi 
rendah. Selain itu semakin besar volume, maka resiko juga akan semakin besar. 
1. Open pond dengan paddle wheel
Beberapa faktor yang dipertimbangkan untuk Open Pond menggunakan Paddle 
Wheel 
- Pola pengadukan 
- Material pelapis paddle wheel ( anti air, tahan terhadap bahan kimia minimal 20 
tahun, berwarna putih/abu-abu ) 
- Jenis kultivasi yang akan dilakukan 
- Penanganan pengukuran dengan pH meter 
- Penanganan penghitungan jumlah alga 
- Saringan alga ( opsional ) 
- Panel Sinar matahari ( opsional ) 
Gambar 3.10. open pond dengan paddle wheel. 
2. Open pond dengan waterjet 
Material yang dipertimbangkan untuk Open Pond menggunakan Waterjet (Pompa 
air) 
- Mekanisme sirkulasi pompa air 

Material pelapis paddle wheel ( anti air, tahan terhadap bahan kimia minimal 20 
tahun, berwarna putih/abu-abu ) 
- Jenis kultivasi yang akan dilakukan 
- Penanganan pengukuran dengan PH meter 
- Penanganan penghitungan jumlah alga 
- Saringan alga ( opsional ) 
- Panel Sinar matahari ( opsional ) 
Gambar 3.11. Open pond dengan waterjet pump 
3. Open pond dengan Airpump 
Material yang dipertimbangkan untuk Open Pond menggunakan Airpump (Pompa 
Udara) 
- Bebas minyak 
- Material pelapis paddle wheel ( anti air, tahan terhadap bahan kimia minimal 20 
tahun, berwarna putih/abu-abu ) 
- Jenis kultivasi yang akan dilakukan 
- Penanganan pengukuran dengan pH meter 
- Penanganan penghitungan jumlah alga 
- Saringan alga ( opsional ) 
- Panel Sinar matahari ( opsional ) 



Kultivasi mikroalga secara praktis dapat digunakan dalam berbagai tujuan yang 
berbeda seperti untuk produksi hidrokarbon, protein, bahan farmasi, pengolahan limbah cair, 
konversi energi dan berbagai kombinasi dari tujuan-tujuan ini . Untuk mecapai tujuan 
itu, maka perlu dilakukan proses pemisahan yang berbeda pula. Mikroalga akan 
menghasilkan biomassa yang kemudian akan berbentuk endapan sel dalam jumlah banyak. 
Oleh sebab p itu proses pemisahan endapan sel mikroalga merupakan tahapan yang penting. 
Efisiensi dari proses pemisahan dengan air dan model pengeringan mikroalga bisa menjadi 
faktor yang mendasar dari segi kelayakan ekonomi sistem produksi mikroalga. Sebagai 
contoh, kombinasi proses kultivasi mikroalga untuk tujuan pengolahan air dan produksi 
protein, pemisahan memiliki dua tujuan yang harus dicapai, yaitu proses pengambilan 
mikroalga bebas air dan memperoleh biomassa dengan konsentrasi protein yang tinggi baik 
untuk standar pakan hewan ( feed grade ) maupun standar konsumsi manusia ( food grade ). 
Sebelum masuk mengenai masalah pemanenan alga, berikut akan disampaikan tahapan alga 
pada waktu proses pembibitan. 
1. Tahapan Pemanenan 
Pemisahan alga dari mediumnya merupakan masalah utama dalam suatu proses 
industri sebab p ukuran alga yang sangat kecil, pada alga eukariot bersel satu berkisar 3 - 
30μm, dan jenis cyanobakteria berkisar 0,2 – 5 μm. Pada umumnya kelarutan suatu kultur 
antara 200 – 600 mg/l, dan dibutuhkan volum air yang cukup banyak untuk pemrosesannya. 
Pengambilan kembali biomass alga berpengaruh 20 - 30% dari keseluruhan biaya produksi. 
Langkah-langkah pemanenan bukan hanya tentang biaya, tetapi juga sangat berpengaruh 
terhadapproses selanjutya. Metode pemanenan alga yang sudah ada saat ini yaitu secara 
kimia, mekanik, operasi berbasis listrik dan dengan berbagai kombinasi dan urutan beberapa 
metode ini   Pemanenan secara biologi 
sedang diteliti lebih lanjut sebab p dapat mengurangi biaya pemanenan. Belum ada metode
terbaik untuk pemanenan mikroalga, semua mempunyai kelebihan dan kelemahan masing￾masing. Berikut akan disampaikan beberapa metode pemanenan mikroalga ini . 
a. Cara Kimiawi 
Flokulasi secara kimia sering dilakukan sebagai pretreatment awal untuk menaikkan 
ukuran partikel sebelum digunakan metode lain seperti flotasi. Polimer elektrolit dan 
sintesis sering ditambahkan untuk mengkoagulasi dan memflokulasi sel mikroalga 
sebab p mempunyai muatan ion +3, kation besi 
alumunium, alumunium sulfat dan besi klorida sering digunakan sebagai ion penetral. 
Dengan pertimbangan proses selanjutnya, produksi bioproduk dari alga juga 
menggunakan logam garam untuk koagulasi dan flokulasi. Alumunium sulfat juga 
menunjukkan dapat menghambat aktifitas pembentukan metan dan pengasaman oleh 
bakteri dari cairan umpan (Cabirol et al., 2003). Pengolahan dengan alumunium pada 
tanah juga dapat meningkatkan logam berat dan memicu  kekurangan fosfor 
pada tanaman 
Polimer alam dapat digunakan sebagai flokulan untuk mengurangi masalah polusi 
ini , meskipun belum banyak penelitian tentang hal itu. Divakaran dan 
Sivasankara Pillai (2002) telah berhasil memflokulasi dan mengendapan alga dengan 
adanya penambahan chitosan. Kation pati juga diindikasikan dapat digunakan sebagai 
agen flokulasi (Pal et al., 2005). 
b. Cara Mekanik 
Sentrifugasi mungkin adalah metode yang paling sering digunakan untuk proses 
recovery alga yang tersuspensi. Tenaga sentrifugal dimanfaatkan untuk pemisahan 
berdasarkan perbedaan massa jenis. Jenis pipa sentrifugal mudah dibersihkan dan 
disterilisasi dan cocok untuk semua jenis mikroalga, tetapi harus dipertimbangkan 
investasi awal serta biaya operasi yang tinggi (Shelef et al., 1984). Teknologi 
sentrifugasi merupakan metode teraktual saat ini, tetapi masalah biaya menjadi 
kendala utama apabila digunakan untuk skala yang besar. 
Metode filtrasi sering digunakan untuk pemanenan strain alga berfilamen. Dijelaskan 
bahwa kolam alga dengan laju aliran tinggi lebih mudah dipanen alga berfilamennya 
dengan saringan mikro untuk mempertahankan sel yang berukuran besar dan 
mengeluarkan alga tak berfilamen yang berukuran lebih kecil (Vonshak and 
Richmond, 1988., Wood, 1987) . Penelitian lain mengungkapkan bahwa tidak dapat 
dipastikan jenis alga yang dominan dalam spesies ini  (Hoffmann, 1998). Jenis 
alga berfilamen kurang cocok untuk aplikasi sebagai biofuel sebab p memilii 
kandungan lemak yang sedikit (Mulbry et al., 2008). Untuk jenis alga tersuspensi 
yang lebih kecil, filtrasi dengan aliran tangensial perlu dipertimbangkan sebab p lebih 
mudah ditangani dari pada filtrasi sistem dead-end, tetapi adanya penyumbatan 
(fouling) memicu  membran harus sering diganti sehingga cukup berpengaruh 
pada biaya (Uduman et al., 2010), dan tenaga yang dibutuhkanpun cukup tinggi. 
Pemanenan secara sedimentasi merupakan jenis pemanenan yang paling murah dan 
mengasilkan konsentrasi padatan sekitar 1,5% (Uduman et al., 2010), tetapi sebab p 
adanya fluktuasi massa jenis sel mikroalga, kenyataanya sangat cukup sedikit 
perusahaan yang mengaplikasikan cara ini (Shen et al., 2009). Dengan kecepatan 
pengendapan 0,1 – 2,6 cm/jam, sedimentasi cukup lambat dan banyak biomassa yang 
rusak selama proses pengendapan (Greenwell et al., 2010). 
Dissolved air flotation (DAF) merupakan metode yang umum digunakan dalam 
pengolahan air limbah (Friedman et al., 1977). sebab p alga mengandung banyak air, 
DAF biasa lebih dipilih daripada metode sedimentasi. Keuntungan utama dari metode 
DAF yaitu telah terbukti dapat diaplikasikan untuk skala massal, tetapi memiliki 
kelemahan yaitu penggunaan flokulan akan berpengaruh kurang baik pada saat proses 
selanjutnya (Greenwell et al., 2010; Hoffmann, 1998). 
a. Cara berbasis Listrik 
Metode pemisahan berdasarkan elektroporesisi mikroalga merupakan salah satu cara 
yang dapat digunakan. Sel alga dapat terkonsentrasi sebab p adanya aliran arus listrik 
(Kumar et al., 1981). Keuntungan dari pendekatan cara ini yaitu tidak adanya 
penambahan bahan kimia, tetapi bagaimanapun juga perlu tenaga yang besar dan 
biaya kelistrikan yang tinggi membuat metode ini kurang menarik, apalagi untuk 
skala massal (Uduman et al., 2010). 
b. Cara Biologi 
Alga diketahui terkadang dapat secara spontan terflokulasi tanpa ada penambahan 
bahan kimia (Sukenik dan Shelef, 1984). Pengembangan dan pengendalian cara ini 
dapat secara signifikan menekan biaya panen. Meskupun penggunaan istilah 
autoflokulasi dan bioflokulasi sering digunakan bergantian, tetapi keduanya 
menggambarkan fenomena yang berbeda. 
Autiflokulasi terjadi sebab p level pH yang tinggi sebab p adanya konsumsi karbon 
dioksida terlarut dalam cairan alga. Peningkatan pH disebabkan ion kalsium dan 
phosphat yang jenuh. Jika ion kalsium berlebih, endapan kalsium phosphor akan 
bermuatan positif. Sel alga akan menjadi penyokong endapan padat ini  dan 
merubahnya menjadi bermuatan netral (Lavoie dan de la Noüe, 1987). Autoflokulasi 
mungkin tidak dijumpai pada semua jenis air. Konsentrasi optimal untuk endapan 
kalsium phosphor pada pH 8,5-9 berkisar 3,1-6,2 mg/l phospat dan 60-100 mg/l 
kalsium (Sukenik and Shelef , 1984) Masalah ini  dapat diatasi dengan 
penambahan kapur dalam kolam open pond. Cara ini akan membawa nitrogen, 
phosphor dan pengurangan alga hingga diatas 90% (Nurdogan dan Oswald, 1995). 
Bioflokulasi biasa diartikan adanya flokulasi sebab p biopolimer. Banyaknya 
fitoplangkton yang mengendap berpengaruh dengan meningkatnya konsentrasi EPS 
(ekstraseluler polimer substrat) (Bhaskar dan Bhosle, 2005). Passow dan Alldredge 
(1995) melaporkan diatom yang terkontrol mengalami flokulasi massa sesaat setelah 
adanya peningkatan jumlah sel yang tertutup oleh biopolimer. Produksi EPS 
dilaporkan akan mengalami fase maksimal pada akhir fase tumbuh (Bhaskar dan 
Bhosle, 2005; Staats et al., 1999), meskipun cahaya dan suhu juga cukup berpengaruh 
pada bioflokulasi (Wolfstein dan Stal, 2002). Pendekatan biologis lain yaitu flokulasi 
alga secara mikrobiologi.Yaitu dengan menambahkan agen mikroba pemflokulasi 
kedalam kultur alga (Lee et al., 2008). Selain itu juga diumpankan 0,1 gr/l asetat, 
glukosa atau gliserin dan diaduk selama 24 jam, maka akan didapatkn recoveri 
sebesar 90 % dengan faktor konsentrasi 226. Penelitian lain menunjukkan adanya 
efisiensi flokulasi menggunakan mikroba tanah dari pada menggunakan alumunium 
sulfat atau policrilamida untuk proses pemanenan Chlorella vulgaris (Oh, et al., 
2001). 
Cara biologi lain yaitu pemanenan menggunakan ikan planktivorous seperti tilapia. 
Proses kontrol eutrofikasi dilakukan pada kolam aliran sirkuit untuk menumbuhkan 
alga. Alga kemudian diumpankan kedalam kolam ikan, dan kotoran ikan akan 
membentuk endapan yang kemudian dibawa ke permukaan pada sabuk konveyor 
untuk kemudian dimasukkan pada digester anaerobik (Brune et al., 2007). Peneliti 
lain juga menggambarkan proses yang sama dengan mengumpankan air yang kaya 
akan nutrien melewati saringan berpori untuk menumbuhkan Periphyton. Kotoran 
dari tilapia yang dimasukkan pada alga ini , kemudian dikumpulkan pada kolom 
pengendap. Penurunan total phospor dan nitrogen masing-masing sebesar 82% dan 
23%. 
2. Teknologi Pemanenan Mikroalgae 
Proses pemanenan mikroalga merupakan suatu proses pemisahan padatan – cairan. 
Pemisahan padatan-cairan dapat diklasifikasikan dalam dua jenis proses pemisahan. Pertama, 
cairan dibatasi dalam tangki penampung, sehingga hanya partikel yang dapat bergerak bebas 
dalam badan cairan. Yang termasuk jenis ini adalah sedimentasi dan flokulasi. Kedua, gerak 
partikel dibatasi media semipermeabel, sehingga cairan tetap dapat mengalir. Filtrasi dan 
Screening merupakan contoh dari jenis kedua ini . Salah satu faktor yang sangat 
berpengaruh dalam proses pemisahan yaitu adanya perbedaan massa jenis antara padatan dan 
cairan. 
1. Filtrasi dan Screening 
Filtrasi dan penyaringan merupakan proses pemisahan padatan dari cairan melewati 
media permeabel yang dapat ditembus suatu cairan dan menahan endapan yang 
berupa padatan. Pada proses pemisahan mikroalga, padatan dapat berupa sebagai 
biomassa yang mempunyai ukuran tertentu. 
Penyaringan ( Screening ) 
 Prinsip dasar dari penyaringan yaitu melewatkan partikel melalui saringan berlubang 
dengan ukuran tertentu. Pertikel yang lolos harus sesuai dengan ukuran saringan. 
Metode ini pada umumnya digunakan untuk pemisahan padat – padat, tetapi pada 
perkembangannya juga diaplikasikan pada pemisahan padat – cair. Untuk pemanenan 
mikroalgae peralatan yang digunakan terdiri dari dua alat utama yaitu saringan mikro 
( mikrostrainers ) dan filter getar. 
Filtrasi
Proses filtrasi merupakan suatu proses dengan menggunakan adanya perbedaan 
tekanan yang mendorong suatu cairan melewati media penyaring. Besarnya perbedaan 
tekanan yang digunakan didasarkan pada tujuan penggunaan, misalnya secara 
gravitasi, tekanan vakum, maupun sentrifugal. 
Dua tipe dasar filtrasi yang biasa digunakan : 
1.Filtrasi pada permukaan ( Surface Filter ) 
Pada filtrasi ini padatan akan terdeposisi membentuk cake pada lapisan permukaan 
tipis filter. Lama-kelamaan, cake ini  akan mendekati lapisan permukaan, 
sehingga cake akan bergeser sendiri dan fiter media hanya sebagai penyokong cake. 
Saat cake semakin banyak, maka aliran akan semakin tertahan. Dengan demikian 
perlu dibuat tekanan konstan agar laju alir umpan tidak mengalami hambatan. 
2.Filtrasi pada kedalaman (Deep Filter) 
Padatan akan terdeposisi diantara filter media. Permasalahan yang terjadi untuk 
pemisahan alga yaitu media tidak akan mampu untuk menahan semua alga yang 
cenderung lebih cepat berpindah, sehingga perlu sering dilakukan pencucian. 
Hasilnya ukuran filter semakin besar dan kandungan padatan biomass akan semakin 
berkurang. Bagaimanpun juga penelitian lebih lanjut tentang filtrasi yang efektif dan 
efisien masih terus dilakukan sehingga akan didapatkan kentungan dan dapat 
mengurangi biaya dan energi. Pada pembahasan selanjutnya akan disampaikan 
beberapa peralatan Filtrasi untuk pemanenan alga. 
Alat-alat Filtrasi
1.Filter bertekanan
Pada filter bertekanan, gaya dorong (driving force) filtrasi menggunakan tekanan 
cairan yang dipompa dan dikendalikan dengan tekanan gas pada tangki umpan. Filter 
bertekanan dapat mengolah umpan hingga mencapai 10% padatan. Filter bertekanan 
dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu plate and frame filter presses dan pressure 
vessels containing filter element.
Mekanisme kerja alat ini pada umumnya, pelat dan frame penekan dipasang secara 
berurutan. Pelat dapat berbentuk persegi maupun persegi panjang tergantung pada 
bentuk rongga frame, kemudian setelah bentuk plat dan frame sudah sesuai, diberi 
tekanan secara bersama-sama dengan alat hidrolik atau sekrup penekan. Pelat ditutupi 
dengan kain penyaring yang akan menahan jelly alga. Slurry akan dipompa melalui 
frame dan filtrate akan dialirkan dari pelat. 
Jenis kedua dari Filter bertekanan yaitu adanya lapisan-lapisan penyaring dalam suatu 
tangki seperti, rotary drum pressure filter, cylindrical element filters, vertical tank 
vertical leaf filters, horizontal tank vertical leaf filters, and horizontal leaf filters. 
2. Filter vakum ( Vacuum Filters ) 
Pada filter vakum, gaya pendorong saat proses filtrasi diakibatkan sebab pn adanya 
tenaga penghisap dari sisi filtrat medium. Secara teori, kehilangan tekanan yang 
diijinkan untuk proses filtrasi vakum adalah 100 kPa, tetapi dalam prakteknya hanya 
terbatas pada 70 atau 80 kPa. Aplikasi vakum filter dimana proporsi dari partikel yang 
halus dalam umpan masuk rendah, maka relative lebih murah menggunakan filter 
vakum dibandingkan filter bertekanan sebab p dapat mengurangi kadar air lebih 
banyak. Lebih jauh, jenis filter ini dapat dikembangkan ke skala yang lebih besar 
yang dapat berguna untuk proses pencucian, pengeringan, dan proses lain yang 
diperlukan. 
3. Saringan mikro (Microstrainers)
Saringan mikro tersusun atas sebuah rotari drum yang ditutup dengan saringan kain, 
baja, ataupun poliester. Cairan disemprotkan sehingga partikel-partikel dapat 
mengumpul melalui sudut tempat yang ditentukan. Microstariner cocok untuk 
kultivasi alga dalam skala besar. Keuntungan dari mikrostrainer antar lain : konstruksi 
sederhana, operasi mudah, biaya investasi yang rendah, gesekan sebab p adanya 
pergerakan cepat partikel dapat diabaikan, kebutuhan energy rendah dan rasio filtrasi 
tinggi. 
Masalah yang dihadapi yaitu tidak semua jenis padatan dapat disaring dan sulitnya 
penanganan fluktuasi padatan. Persoalan ini  dapat diatasi dengan memvariasikan 
kecepatan putaran. Permasalahan lain yaitu adanya kemungkinan munculnya bakteri 
dan mikroalga lain dalam saringan kain ini . Pertumbuhan ini  dapat 
dihambat dengan penyinaran sinar ultraviolet. Bagaimanapun juga, penggunaan 
mikrostrainer perlu adanya pencucian secara berkala. 
Mikrostrainer digunakan secara luas untuk menghilangkan partikel dari keluaran 
limbah. dan mengurangi adanya alga dalam air. Mikrostrainer cocok digunakan untuk 
mikroalga yang memilik sel besar ( Spirulina sp.), dan kurang efektif untuk 
mengurangi mikroalga bersel kecil ( Scenedesmus; Chlorella ). Tetapi permasalahan 
ini  dapat diatasi dengan memodifikasi mikrostrainer menjadi rotating 
microstrainer dengan pencucian balik secara kontinyu. 
4. Vibrating Screen Filters 
Vibrating Screen Filter atau saringan getar banyak digunakan untuk kebutuhan 
industri seperti industri kertas dan industri makanan. Tetapi dalam perkembangannya 
juga dapat digunakan mengurangi konsentrasi sampah perkotaan. Pemanfaatan 
vibrating screen biasa digunakan untuk memisahkan Spirulina. Selain itu vibrating 
screen juga dapat diaplikasikan untuk pemisahan Coelastrum. Pemanenan secara 
kontinyu dapat meningkatkan total padatan tersuspensi hingga 5-6 %. Sedangkan 
pemanean secara diskontinyu dapat meningkatkan total padatan tersuspensi hingga 7-
8%. 
5. Catridge Filters 
Jenis saringan ini dipilih sebab p penggunaanya yang mudah dan dapat di ganti 
sewaktu-waktu. Bahan cartridge terbuat dari bahan kertas, kain, ataupun membran 
yang mempunyai ukuran pori hingga 0,2μm. Suspensi mikroalga dapat dipompa, 
disedot, maupun memanfaatkan gaya gravitasi turun melewati saringan. Untuk 
menjaga ketahanan cartridge dan frekuensi penggantiannya, saringan cartride harus 
selalu dibatasi agar padatan yang terkandung dalam cairan kurang dari 0,01% berat. 
6. Cross Flow Ultra Filtration (SUF) 
Ultra filtrasi aliran silang dikembangkan oleh Israel Desalination Engineering 
(Zarchin Process) Ltd. Sistem ini mengadopsi dari sistem pengolahan limbah alga, 
bekerja sama dengan Technion Environmental Research Center yang bertujuan untuk 
menghasilkan produksi alga konsentrasi tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai 
sumber protein. Dengan sistem ini, konsentrasi alga yang dihasilkan dapat mencapai 
20 kali lipat, tetapi energy yang diperlukan cukup tinggi, sehingga metode ini masih 
kurang ekonomis.
7. Magnetic Separation
High Gradient Magnetic Filtration (HGMF) digunakan untuk menghilangkan partikel 
tersuspensi dan menghilangkan logam berat dari limbah. Metode ini didasarkan 
sebab p adanya partikel magnetik (biasanya Fe3O4) pada larutan. Partikel bermagnet 
ini  mengalami koagulasi dengan alga dan kemudian larutan ini  melewati 
kolom magnetik pada saringan berpori yang mana alga akan tertahan. Bitton, et 
al.(1974) melaporkan bahwa efisiensi yang dihasilkan dari metode ini antara 55 – 94 
%, percobaan ini dilakukan di danau Florida Amerika Serikat dengan menggunakan 
alum sebagai flokulan dan filter magnetik komersial. Pada percobaan, didapatkan 
hasil bahwa alga yang terambil diatas 90% dengan 5-13 ppm FeCl3 sebagai flokulan 
utama dan 500-1200 ppm magnet Fe3O4 sebgai bibit magnet yang dilakukan pada 
skala laboratorium dan kolam pond. Estimasi biaya untuk skala komersial tidak 
dijelaskan lebih lanjut. 
2. Gravity Sedimentation 
Pengendapan secara gravitasi merupakan salah satu proses pemisahan padat –
cair dimana umpan yang tersuspensi dipisahkan antara slurry dengan konsentrasi 
tinggi dan air keluaran yang jernih. Untuk mengurangi partikel mikroalga yang dapat 
mengendap secara cepat, pengendapan gravitasi memberikan hasil lebih bagus. 
Bagaimanapun untuk menghilangkan partikel dengan diameter lebih kecil dari ukuran 
mikron dan untuk keperluan praktis, flokulasi harus dilakukan agar ukuran partikel 
memungkinkan untuk dilakukan pengendapan. 
Proses Sedimentasi pada umumnya dibagi menjadi a) klarifikasi dimana 
kejernihan pada lairan atas merupakan hal yang diutamakan dan umpan yang masuk 
biasa diencerkan dan b) proses pengentalan dimana ketebalan lapisan bawah adalah 
tujuan utama dan umpan slurry biasa mempunyai konsentrasi tinggi. (Svarovsky, 
1979). Proses yang pertama disarankan untuk digunakan pada pemisahan alga (Mohn 
1980), sedangkan proses yang kedua lebih ditujukan untuk proses pengonsentrasian 
bubur alga. 
a. Flotasi 
Flotasi adalah pemisahan secara gravitasi yang didasarkan adanya penambahan udara 
atau gelembung gas pada partikel padatan yang kemudian dibawa ke permukaan 
cairan dan mengapung sehingga dapat di ambil bagian yang terapung. Keberhasilan 
dari proses flotasi tergantung pada ketidakstabilan partikel tersuspensi. Semakin tidak 
stabil makan semakin tinggi kontak partikel udara. Proses flotasi dikelompokkan 
berdasarkan produksi gelembungnya yaitu antar lain : Dissolved air flotation (DAF), 
electrolytic flotation dan dispersed air flotation (Svarovsky 1979). 
1. Dissolved air Flotation (DAF)
Produksi gelembung udara pada DAF didasarkan pada tingginya kelarurat udara 
dalam air sebagai fungsi tekanan. Hal ini  dapat dicapain dengan tiga cara : 
Saturasi pada tekananatmosferik dan flotasi tekanan vakum, saturasi dibawah tekanan 
statis dan saturasi pada tekanan diatas atmosferik dan flotasi dibawah kondisi 
atmosferik (Svarovsky 1979).
Pemisahan alga dengan DAF dapat dilakukan dengan cara flokulasi. Keluaran bak 
klarifikasi tergantung pada parameter operasional seperti : kecepata recycle, takanan 
udara tangki, waktu tinggal hydrolik dan kecepatan flotasi partikel (Bare et al, 1975, 
Sandbank et al, 1979), sedangkan konsentrasi slurry tergantung pada kecepatan 
skimmer dan ketinggian permukaan air (Moraine, et al., 1980) 
Kolam alga yang mengandung banyak spesies alga dapat berhasil diklarifikasi dengan 
peralatan DAF dan tercatat konsentrasi alga mencapai 6%. Konsentrasi alga masih 
dapat ditingkatkan dengan adanya flotasi tahap kedua (Bare et al, 1975, Friedman et 
al, 1977, Moraine, et al., 1980, Viviers dan Briers 1982). Sekilas nampak bahwa 
parameter operasional untuk DAF ditentukan oleh kehandalan metode pemisahan alga 
yang tinggi, tetepi dosis flokulan yang optimal harus ditentukan untuk tiap operasi 
agar mendapatkan hasil yang maksimal. Koopman dan Lincoln (1983) meneliti 
mengenai autoflokulasi alga, dengan flokulasi menggunakan alum atau polimer C-3, 
didapatkan alga yang dapat dihilangkan mencapai 80 – 90 % pada bak flotasi dengan 
laju alir 2m/jam, dengan konsentrasi alga terflotasi lebih dari 6% padatan. 
Bagaimanapun, fenomena autiflokulasi terbatas pada konsentrasi oksigen terlarut 
diatas 16mg/l dan tidak sesuai untuk konsentrasi rendah. 
2. Electroflotasi 
Pada metode ini, gelembung gas terbentuk dari proses elektrolisi. Reaksi ada anoda 
sebagai berikut : 
2Cl-  Cl2(g) + 2e￾dan reaksi pada katoda adalah 
2H2O + 2e-  H2(g) + 2OH￾Klorin yang terbentuk terlarut dalam air dan bereaksi dengan komponen-komponen 
kimia. Gas hidrogen dengan kelarutan rendah didalam air akan mengapungkan flok 
alga. Beda potensial dibutuhkan untuk menjaga kebutuhan arus untuk pergantian 
gelembung setaiap saat dan juga tergantung pada konduktivitas elektrik dari umpan 
larutan. 
Pada penelitian skala meja, Contreras et al (1981) menjelaskan metode electrolytic 
sangat efisien sebab p flokulasi alga menggunakan hidroksida selama elektrolisis 
memicu  presipitasi Mg(OH)2 dan flokulasi lanjutan. Untuk mendapatkan 
klarifikasi yang bagus, flokulasi menggunakanalum harus diikuti dengan 
elektrofotation secara simultan, walaupun metode ini memerlukan waktu tinggal yang 
lebih singkat (Sandbank et al., 1974). 
Jenis mikroalga yang dapat dipanen dengan metode ini dapat mencapai 5% padatan 
float alga. Dekantasi setelah 24 jam dapat meningkatkan konsentrasi padatan hingga 
7-8% (Shelef et al., 1977; Sandbank, 1979). Energy yang dibutuhkan dengan metode 
elektrofoltasi cukup tinggi, tetapi secara umum untuk unit skala kecil dengan luas 5m2
atau lebih kecil, biaya operasi elektroflotasi lebih murah dibandingkan unit DAF. ay
3. Dispersed Air Flotation
Proses ini menggunakan gelembung-gelembung besar dengan diameter 1 mm, yang 
didapatkan dari kombinasi agitasi dengan injeksi udara ( flotasi buih / froth flotation) 
atau dengan penggelembungan udara melewati media berpori ( flotasi busa / foam 
flotation). Selektivitas proses berdasarkan kebasahan relatif permukaan padatan. 
Hanya partikel yang mempunyai afinitas tertentu yang dapat muncul ke permukaan 
bersama gelembung udara. Kebasahan dan pembuihan dapat dikendalikan dengan tiga 
jenis reagen kimia : a) Pembuih b) Agen lapisan permukaan aktif yang dapat 
mengendalikan kebasahan permukaan dengan variasi sudut kontak dan komponen 
elektrokinetik c) Modifikasi dengan pengaturan pH. Proses flotasi untuk pemanenan 
alga dapat dikontrol dengan pengaturan pH. Titik kritis pH berkisar pada level 4 dan 
dapat diubah sesuai dengan karakteristik permukaan alga. 
b. Sentrifugasi 
Proses pemisahan sentrifugal merupakan pemisahan dengan menggunakan tenaga 
sentrifugal sehingga membuat padatan berpindah dari cairannya. Peralatan 
sentrifugasi dibagi menjadi (hydrocyclone) dan sedimenting centrifuges. Pemisahan 
sentrifugal menggunakan prinsip dimana objek diputar secara horizontal pada jarak 
tertentu. Apabila objek berotasi di dalam tabung atau silinder yang berisi campuran 
cairan dan partikel, maka campuran ini  dapat bergerak menuju pusat rotasi, 
namun hal ini  tidak terjadi sebab p adanya gaya yang berlawanan yang menuju 
kearah dinding luar silinder atau tabung, gaya ini  adalah gaya sentrifugasi. Gaya 
inilah yang memicu  partikel-partikel menuju dinding tanbung dan terakumulasi 
membentuk endapan. 
3. Contoh Pemanenan Skala Industri 
Beberapa industri memilih menggunakan alat pemanen secara mekanik sementara 
yang lain masih terfokus pada cara biologis. Beberapa perusahaan bahkan mencoba mencari 
jalan lain untuk memotong tahapan pemisahan alga.
a. Pemanen Mekanis 
Salah satu perusahaan “Alga to Energy” (A2E) menggunakan suatu alat pemanen 
yang biasa disebut Pemanen Shepherd. Pemanen ini  menggunakan belt atau 
sebuk yang berjalan secara kontinyu melalui kutur alga dan sabuk ini  
menggunakan sistem vakum. Sabuk yang bergerak, mengumpulkan alga yang siap 
dipanen dengan sistem vakum sehingga alga akan terikut dalam sistem vakum 
sebelum sabuk ini  meleawti kultur alga lagi. Patent ini  tidak secara 
langsung membahas penggunaan dalam sistem pengolahan air limbah, tetapi 
disebutkan pula untuk budidaya alga skala massal menggunakan beberapa 
infrastruktur tambahan seperti fasilitas pengolahan limbah. 
Algaventure System, Inc. juga menggunakan pemanen sabuk kontinyu dengan 
eksraksi kapiler. Desain ini menggunakan sabuk primer untuk mengumpulkan alga 
dan sabuk kapiler sekunder yang terbuat dari polimer absorben. Sabuk sekunder 
kontak dengan bagian dasar sabuk primer sehingga air akan terserap dari alga. 
Biomassa kering di sabuk primer dikumpulkan dan oleh sabuk sekunder dikompresi 
untuk mengurangi kadar air sebelum sabuk sekunder kontak lagi dengan sabuk 
primer. Paten ini juga tidak membahas penggunaan alat panen pada sistem 
pengolahan limbah, tetapi perusahaan juga menjelaskan adanya potensi untuk limbah. 
MBD Energy Australia menggunakan pabrik pengolah limbah batu bara dan 
mencakup kolam sirkuit untuk produksi mikroalga. Perusahaan ini berkolaborasi 
dengan Evodos Jerman untuk menggunakan pemisahnya. Pemisah Evodos yaitu 
sebuah sentrifuge yang dapat menghilangkan padatan dari konsentratnya. Rakitan 
bagian dalam terbuat dari piringan yang melengkung tetapi bersifat fleksibel. Bagian 
ini  dapat dilepas dan diputar dari bentuk lengkung menjadi lurus dan padatan 
alga tidak terjepit didalam piringan. 
Scipio Biofuels megembangkan alga pada reaktor tubular terutup. Pemanenan secara 
kontinyu menggunakan sentrifuge kecepatan rendah. Sebuah ruangan melingkar 
dengan dinding kasar terus berputar yang memaksa sel alga tetap pada dinding 
ini .sebab p gumpalan atau sel alga yang besar tidak dapat melewati dinding kasar 
itu, sehingga sel yang berukuran kecil juga terhambat pada dinding ini . Sebuah 
pisau tipis kemudian melewati dinding ini  untuk mengelupas gumpalan alga 
yang menempel. Paten ini juga tidak menjelaskan penggunaann untuk pengolahan 
limbah. Beberapa perbandingan cara pemanenan mikroalga yang digunakan beberapa 
industri ditunjukkan pada tabel 4.5. 
Secara umum, teknologi pemisahan Pada proses pemanenan mikroalga, terjadi beberapa 
tahapan. Pertama endapan mikroalga masih mengandung banyak air yang berbentuk algae 
slurry (lumpur alga) harus dikurangi kadar airnya (dewatering) hingga membentuk Jeli algae 
( algae cake ). Kedua, alga yang telah berbentuk jeli alga yang mengandung sedikit air, untuk 
dilakukkan proses lanjut seperti pengeringan, ekstraksi dan lain-lain. 

a. Cara Flokulasi 
Penambahan suatu bahan kimia dalam kultivasi mikroalga merupakan salah satu cara 
untuk mendorong alga mengalami flokulasi. Hal ini  merupakan salah satu 
tahapan proses dalam teknologi pemisahan seperti halnya pengendapan 
(sedimentation), pengapungan (flotation), penyaringan (filtration) dan sentrifugasi 
(centrifugation). 
Tahapan pemanenan mikroalga: 
Jenis bahan kimia yang digunakan dalam flokulasi mikroalga secara luas dibagi 
kedalam dua kelompok, yang pertama agen anorganik ( inorganic agents ) termasuk 
ion logam polivalen (polyvalent metal ions) seperti Al3+ dan Fe3+ . Untuk pengolahan 
air dan air limbah pada umumnya digunakan Lime ( Ca(OH)2 ). Kedua, Polimer 
organik termasuk didalamnya anion, kation dan non-ion. Polimer ini  pada 
umumnya lebih dikenal sebagai Polielektrolit, termasuk juga jenis polimer nonionik, 
polimer sintetis dan juga polimer alam. Contoh untuk polimer sintetis antara lain : 
polyacrylate, polyethylene amine, polyvinyil alcohol, polystyrene sulfanate, 
polyvinyil pyridium. Sedangkan untuk polimer alam sebagai contoh yaitu : alginat 
dan chitosan. Berbagai jenis flokulan yang akan pengaruhnya terhadap kondisi 
operasi, nilai pH, dan dosis disajikan dalam tabel . 
4. Pengeringan Mikroalga 
Tahapan akhir dalam proses pengolahan alga yaitu proses pengeringan untuk 
penghilangan air slurry sehingga kadar air tinggal 12 – 15 %. Pengeringan atau dehidrasi 
yaitu mengkonversi biomassa ala ke dalam produk yang lebih stabil untuk disimpan. Proses 
dehidrasi merupakan permasalahan utama sebab p menyumbang 70 – 75% biaya proses 
(Mohn, 1978). Jenis pengeringan berbeda-beda tergantung pada investasi biaya dan 
kebutuhan energi. Pemilihan metode pengeringan tergantung juga pada skala operasi dan juga 
peruntukan suatu produk alga ini . Kebanyakan metode pengeringan digunakan untuk 
pengolahan air limbah dan tidak semua dapat diterapkan pada pengeringan alga, terutama 
ketika hal ini  diperuntukkan sebagai umpan. 
Pada tahap ini masih belum dapat diketahui secara pasti jenis pengeringan yang sesuai 
untuk masing-masing alga. Sekilas akan disampaikan beberapa metode utama pengeringan. 
j1. Flash Drying 
Flash drying merupakan metode pengeringan secara cepat dalam mengurangi 
kandungan air dengan cara menyemprotkan ataupun menginjeksikan campuran 
material kering dan basah ke dalam aliran gas panas. Flash drying lebih banyak 
digunakan untuk pengeringan lumpur pada pengolahan air limbah, namun dapat juga 
digunakan untuk mengeringkan biomassa mikroalga dengan efisien. 
2. Rotary Dryers 
Pengering rotary menggunakan silinder yang berputar untuk menggerakan material 
yang akan dikeringkan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan gravitasi. Banyak 
pebedaan pengering yang dikembangkan untuk kebutuhan industri, termasuk jenis 
pemanas langsung yang mana material akan kontak langsung dengan gas pemanas. 
Sedangkan pemanasan tak langsung, dimana gas pemanas dipisahkan dari material 
yang akan dikeringkan menggunakan suatu sekat. Pengering rotary kiln dan pengering 
drum merupakan jenis yang paling banyak digunakan untuk pengeringan lumpur 
limbah cair. Sedangakan untuk pengeringan alga, lebih cocok apabila menggunakan 
pengering drum. Pengeringan alga menggunakan pengering drum mempunyai 
keuntungan ganda yaitu sampel yang lebih steril dan dapat memecah dinding sel. 
Mohn, (1978) mencoba membandingkan penggunaan spray drying dan drum drying 
untuk pengeringan alga. Pengeringan menggunakan drum drying lebih disarankan 
sebab p lebih baik dalam hal daya serap, energi yang dibutuhkan lebih kecil, dan 
investasi yang lebih murah. Konsentrasi alga yang didapatkan mencapai 25% kering. 
3. Spray Drying
Sistem spray drying hampir sama dengan flash drying , keduanya sama-sama terjadi 
proses pengeringan secara cepat (Shelef, et al., 1984). Spray drying melibatkan 
atomisasi cairan, pencampuran gas/ droplet dan pengeringan dari droplet cair. 
Droplet yang sudah dikabutkan biasa disemprotkan turun kedalam kolom vertikal 
melewati aliran gas panas. Pengeringan akan selesai dalam beberapa detik. Produk 
hasil dapat diambil di dasar kolom dan aliran gas dikeluarkan melewati pemisah debu 
cyclon. Spray drying sangat cocok apabila bimassa alga digunakan sebagai makanan 
manusia (food grade). Tetapi metode ini cukup mahal dari segi biaya. 
4. Metode pengeringan panas lain 
Cross-flow Air Drying ( Pengeringan dengan aliran udara silang ) 
Metode pengeringan ini pertama diuji di CFRRI, Mysore, India (Becker & 
Venkataraman, 1982). Padatan Spirulina yang mengandung 55 – 60% kandungan air 
dikeringkan pada suhu 620
C selama 14 jam dengan blok pengering. Ketebalan jelly 
alga sekitar 2-3mm memberikan hasil produk yang baik dengan kandungan air 4-8%. 
Proses ini lebih murah dibandingkan drum drying dan lebih cepat dari pada 
pengeringan matahari. Pada metod ini, dinding sel Chlorella dan Scenedemus tidak 
dapat dipecah. 
Vacuum Shelf-Drying (Pengeringan vakum) 
Vacuum Shelf Drying merupakan metode lain pengeringan alga. Spirulina
dikeringkan menggunakan vacuum shelf dryer pada suhu 50 – 650
C dan tekanan 0,06 
atmosfer. Kandungan air akhir yang didapatkan 4%. Metode ini memerlukan  modal 
awal dan biaya operasi yang tinggi. 
5. Sun Drying (Pengeringan matahari)
Pengeringan dengan bantuan sinar matahari merupakan metode yang paling tua untuk 
penyediaan bahan pangan dan sampai saat ini masih digunakan terutama pada negara 
berkembang. Sun drying dilakukan dengan memanfaatkan radiasi sinar matahari 
secara langsung. Klelemahan metode ini yaitu dengan adanya pemanasan langsung 
akan membuat degradasi klorofil pada biomassa alga, yang akan memicu  
adanya perubahan warna pada produk. Disisi lain radiasi secara langsung akan 
memicu  pemanasan berlebih pada biomassa alga . Metode ini sangat bergantung 
pada kondisi cuaca. Pada proses radiasi tidak langsung, pemanasan berlebih dapat 
dicegah dan laju pengeringan lebih tinggi tetapi produk akhir yang dihasilkan kurang 
menarik. 
Pengeringan sinar matahari tidak disarankan untuk penyediaan produk alga untuk 
konsumsi manusia sebab p proses pengeringan yang lambat, sehingga moisture 
contentnya masih tinggi. 
Mikroalga dikenal sebagai tumbuhan mikro yang dapat diaplikasikan dalam berbagai 
aspek mulai dari pangan, energi, pengobatan, dan pengolahan limbah. Akan tetapi teknologi 
mikroalga masih memiliki kelemahan yakni di bagian pemanenan biomas yang masih sering 
menjadi kendala, dan terkadang dapat membengkakkan biaya operasi. Permasalahan ini 
mendorong banyak peneliti untuk melakukan riset tentang teknologi mikroalga yang lebih 
baik. 
Salah satu teknologi mikroalga yang menarik untuk diikuti adalah teknologi 
imobilisasi mikroalga. Teknologi imobilisasi biasa digunakan untuk enzim. Namun Park et al
(1966) memperkenalkan metode imobilisasi dengan sel mikroalga dengan menggunakan jenis 
Chlorella. Penelitian tentang imobilisasi mikroalga terus berlanjut, hingga pada tahun 1969, 
Hiller dan park melaporkan bahwa mikroalga jenis Anacystis nidulans, Pirpyridium cruentum
dan Chlorella pyrenoidosa dapat diimobilisasi pada glutaraldehid pada penelitian antara 
hubungan intensitas cahaya dan produksi oksigen dari mikroalga. 
Gambar 5.1. Imobilisasi Chlorella vulgaris dalam matrix polimer untuk pengolahan limbah 
Sumber: http://www.bashanfoundation.org 
Sedangkan teknologi imobilisasi mikroalga untuk aplikasi pengolahan limbah cair 
pertama kali diperkenalkan oleh Chevalier dan Prof de la Noue (1985) di Universitas Laval, 
Quebec, Canada, untuk menghilangkan kadar nitrogen dan posphor pada limbah cair. Dan 
akhirnya pada tahun 1990, sebagian besar peneliti melaporkan kajian tentang aplikasi 
imobilisasi mikroalga untuk treatment logam pada limbah cair. 
1. Imobilisasi 
Imobilisasi sel didefinisikan sebagai sel yang dipertahankan pergerakannya baik 
secara natural atau disengaja dalam fase cair dan dalam sistem tertentu dalam suatu matriks 
sehingga sebagian besar pergerakannya berkurang namun masih dapat memperlihatkan 
aktifitas katalitiknya serta dapat digunakan berulang ulang. Teknik imobilisasi ini dapat 
dilakukan pada enzim maupun sel mikroba. Berbeda dengan metode entrapment (penjeratan), 
metode imobilisasi tidak hanya terjerat pada matriks pembungkus, namun sel dapat terabsorb 
ke dalam material support (matriks) nya. 
Salah satu kelebihan metode imobilisasi adalah didapatkannya densitas kultur yang 
lebih tinggi dengan tidak memerlukan  banyak tempat dan medium seperti air jika dibanding 
dengan kultur cara biasa. Selain itu kelebihan imobilisasi sel yaitu: 
a. Imobilisasi sel dapat memberikan stabilitas sel yang lebih baik 
b. Imobilisasi sel dapat digunakan pada sistem aliran kontinyu 
c. Pemanenan biomas menjadi lebih mudah 
Selain memiliki kelebihan, imobilisasi sel juga memiliki kelemahan di antaranya: 
a. Ongkos untuk bahan matrik menjadi tinggi bila diaplikasikan dalam skala 
komersial 
b. Transfer massa yang kurang baik 
c. Kehilangan aktifitas selama imobilisasi 
d. Perubahan karakteristik 
(Mallick, 2002) 
2. Metode Immobilisasi Mikroalga 
Dalam laporannya, Mallick (2002) memaparkan beberapa metode imobilisasi yang 
cocok diterapkan untuk mikroalga, yaitu: 
a) Covalent Binding 
Metode ini sering digunakan pada imobilisasi enzim, namun sedikit peneliti yang 
melaporkan penggunaannya pada sel. Beberapa cara memasukkan sel ke dalam matrik 
pembungkus di antaranya adalah cara diazotation, amino bond, schiff`s base 
formation, metode alkilasi dan sebagainya. Kelemahan dari metode ini adalah pada 
sel yang digunakan akan mengalami perubahan karakterisasi sel. Persiapan pelekat 
matrik juga terkadang menjadi kendala sehingga dapat menurunkan kinerja matrik. 
b) Adsorption 
Metode ini menggunakan proses penyerapan reversibel. Perbedaan antara penggunaan 
sel dan enzim pada metode ini adalah pada sel yang diikat menggunakan sekat 
multipoint sehingga lebih kuat terhadap sorbent. 
c) Entrapment 
Metode entrapment ini terdiri atas penjeratan komponen aktif secara fisik pada film, 
gel, fiber, coating dan enkapsulasi. Metode ini dapat digunakan dengan cara 
mencampur sel dengan polimer matrik sehingga dihasilkan struktur yang dapat 
menjerat sel. Kelebihan dari metode ini adalah didapatkannya area permukaan yang 
lebih luas antara substrat dan sel, dengan volume yang lebih kecil dan kecenderungan 
imobilisasi yang simultan. Kelemahan metode ini terletak pada ketidakatifan sel 
selama mikroenkapsulasi sehingga dibutuhkan konsentrasi sel yang lebih tinggi. 
d) Imobilisasi afinitas 
Metode ini didasarkan pada prinsip afinitas kromatografi. Imobilisasi afinitas ini tidak 
dipengaruhi reaksi kimia antara matrik dan sel kecuali untuk material absorbent. 
Selain itu, harus diperhatikan struktur matrik yang dapat mengikat permukaan sel. 
Metode ini biasanya digunakan untuk sel yang memiliki karakteristik yang sensitif. 
3. Aplikasi 
Aplikasi mikroalga yang terimobilisasi hampir sama dengan aplikasi mikroalga secara 
umum. Akan tetapi imobilisasi mikroalga lebih mengacu pada efisiensi penggunaan biomass 
yang terjerat sehingga dapat dipanen dengan lebih mudah. 
a) Produk Bernilai Tinggi
Beberapa peneliti melaporkan bahwa teknik imobilisasi mikroalgae berperan penting 
dalam produktivitas sel alga. Produksi hidrogen dari algae Anabaena dapat 
ditingkatkan tiga kali lipat dengan bantuan imobilisasi. Brouers dan Hall (1986) 
memaparkan pengaruh kenaikan produksi ammonia dan hidrokarbon dengan spesies 
Mastigocladus laminosus dan Botrycoccus sp., dengan teknik imobilisasi. Santos-
Rosa et al (1989) juga melaporkan kenaikan produksi amonia dari alga 
Chlamidomonas reinhardtii yang diimobilisasi pada Barium-alginat. Sementara Leon 
dan Galvan (1995) mempelajari pengaruh produksi gliserol pada C.reinhardtii yang 
diimobilisasi pada Ca-alginat. Perbandingan produksinya rata-rata 7gr/L 
dibandingkan tanpa imobilisasi 4g/L. 
b) Pengurangan Logam 
Dalam perkembangan teknologi mikroalga, aplikasi pengurangan logam dan 
radionuklida menggunakan imobilisasi mikroalga pada limbah menjadi hal yang 
cukup menarik bagi para peneliti. Lebih jauh lagi mikroalga berpotensi dalam proses 
recover element penting seperti emas, perak, dan uranium. 
c) Treatment N dan P
Banyak peneliti yang melaporkan penggunaan mikroalga sebagai treatment Nitrogen 
(N) dan Phosphor (P) pada limbah dengan teknologi imobilisasi. Sebagain besar 
peneliti melaporkan bahwa teknik imobilisasi lebih efisien dalam menyerap kadar N 
dan P di banding alga tanpa diimobilisasi. Meskipun demikian, Jeanfils dan Thomas 
(1986) memaparkan bahwa mikroalga yang diimobilisasi tidak berdampak besar 
dalam penyerapan kadar N dan P. Mereka mengobservasi Scenedesmus obliquus 
yang diimobilisasi dengan alginat, dan dilaporkan bahwa penyerapan nitrit tidak 
dipengaruhi oleh faktor imobilisasi, melainkan dari faktor lamanya kultur mikroalga. 
Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Megharaj. et al., (1992) yang menyatakan 
bahwa lamanya umur mikroalga yang terimobilisasi tidak berpengaruh dalam 
penyerapan nitrogen maupun phosphor. Mereka melakukan eksperimen dengan 
Chlorella emersonii yang diimobilisasi dengan alginat pada kultur batch untuk 
pengambilan kadar phosphor. Dari penelitian ini  diperoleh hasil bahwa 
phosphor dapat terserap lima kali lebih cepat pada fase eksponensial dibanding 
mikroalga tanpa diimobilisasi pada fase stasioner. 
Mallick dan Rai (1994) melaporkan tingginya efisiensi penyerapan N dan P pada 
Chlorella dan Anabaena yang diimobilisasi dibanding sel yang bebas. Sementara 
Vilchez dan Vega (1994) menemukan bahwa C. reinhardtii secara efisien dan stabil 
dapat menurunkan kadar nitrogen yang terkandung dalam limbah. Beberapa faktor 
yang berpengaruh dalam penyerapan nitrogen dan phosphor dengan menggunakan 
mikroalga yang diimobilisasi adalah konsentrasi matrik, temperatur, pH, dan loading 
sel. 
Perkembangan teknologi pengolahan limbah dengan imobilisasi mikroalga juga 
sampai pada desain reaktor yang digunakan. Sawayama et al (1998) telah membuat 
desain photobioreaktor tubular dengan mikroalga cyanobacteria thermofil,, 
Phorpiridium laminosum¸ yang diimobilisasi pada selulosa hollow fiber. Penyerapan 
nitrat dan phosphat dilakukan pada suhu 430
C dengan medium limbah. Pengolahan 
limbah dengan menggunakan mikroalga cyanobacteria thermofil memiliki kelebihan 
sebab p meminimalisasi kontaminasi. 
Perkembangan penelitian terbaru adalah dari de-Bashan et al (2004). Mereka 
mengembangkan sistem co-imobilisasi kombinasi antara mikroalga dan bakteri. 
Mikroalga yang digunakan berupa Chlorella vulgaris atau Chlorella sorokiniana dan 
bakteri Azospirillum brasilense untuk mengolah limbah kota (selokan) yang 
mengandung nitrat dan phosphat. Bakteri A. brasilense dapat meningkatkan 
pertumbuhan, pigmen, kandungan lipid, dan ukuran sel jika diimobilisasikan pada 
matrix alginat yang kecil. Metode ini juga dapat menyerap kandungan nitrat dan 
phosphor secara signifikan dibandingkan imobilisasi mikroalga saja. Hasil efisiensi 
100% ammonium, 15% nitrat, dan 36% phosphor selama enam hari. Sedangkan 
dengan imobilisasi jenis mikroalga saja didapatkan 75% ammonium, 6% nitrat, dan 
19% phosphor. 
4. Konsep Bioreaktor untuk Imobilisasi Mikroalga 
Pada beberapa tahun yang lalu para peneliti hanya fokus pada teknik imobilisasi dan 
karakter dari sistem imobilisasi untuk mikroalga. Seiring meluasnya aplikasi imobilisasi 
mikroalga, maka kebutuhan akan penelitian bioreaktor juga semakin meningkat. Mallick 
(2002) menjelaskan beberapa konsep bioraktor untuk imobilisasi mikroalga. 
a) Fluidized Bed- Bioreactor (FBR) 
Dalam konsep bioproses, proses operasi memerlukan  waktu tinggal yang lebih 
cepat. Oleh sebab itu lebih cocok jika metode ini menggunakan sistem fluidized bed. 
Pada umumnya, katalis yang digunakan harus berukuran kecil agar bisa terfluidisasi, 
selain itu juga harus stabil penggunaannya untuk jangka waktu yang lama. Travieso et 
al. (1992) memaparkan desain reaktor fluidized bed dengan material kolom flexiglass 
volume 1 liter dan diameter internal 5.3 cm. Kolom bioreaktor diisi dengan pelet 
mikroalga yang telah diimobilisasi dengan diameter 5 mm. ketinggian bagian dalam 
penopang kolom adalah 24 cm, dan waktu retensi selama 8 jam. Efek fluidisasi 
diperoleh pada aerasi 10.8 liter/menit. Pada percobaan diperoleh hasil bahwa 
Chlorella vulgaris yang telah diimobilisasi lebih efisien dalam pengolahan limbah 
dibanding dengan menggunakan Chlorella kessleri. 
Garbisu et al. (1993) juga melakukan penelitian menggunakan bioreaktor fluidized 
bed untuk penyerapan phosphor dengan menggunakan imobilisasi cyanobacteria 
Phorpiridium laminosum dalam sistem batch maupun kontinyu. Dalam penelitian 
ini  digunakan tiga tipe fluidized bed, yakni desain funnel, tipe kolom, dan bed 
dalam gelas erlenmeyer. Bioreaktor dioperasikan pada intensitas cahaya 100 μmol 
photon mг2
 sг1
 dan suhu 450
C dengan dilakukan kontrol pada bagian bawahnya 
menggunakan waterbath. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa efisiensi untuk 
penyerapan phosphor kurang efisien. Akan tetapi penelitian ini dapat dijadikan 
rujukan sebagai bagian kemungkinan dalam penelitian lanjutan yang berpontensi. 
Berbeda dengan peneliti lain, Canizares et al (1993), yang melaporkan bahwa 
Cyanobacteria Spirulina maxima yang dibiakkan pada bioreaktor fluidized bed 
dengan medium swine dapat menyerap ammonium-nitrogen sebanyak 90% dengan 
konsentrasi limbah pada pengenceran 25 dan 50%. 
b) Packed Bed Bioreaktor 
Ada beberapa inovasi desain bioreaktor, termasuk packed bed horizontal dan kolom 
ganda. Robinson et al (1989) mendesain reaktor packed bed skala kecil dengan kolom 
khromatografi Pharmacia K9/30. Dimensi kolom memiliki panjang 30 cm dan 
diameter internal 0. 9 cm. packing reaktor berasal dari 400 alga yang telah 
diimobilisasi dari jenis Chlorella emersonii dengan matrix kalsium alginat. Operasi 
packed berada pada temperatur kamar dengan tujuan untuk menyerap kadar 
phosphor. Beberapa peneliti lain juga melakukan penelitian tentang penyerapan 
nutrien pada reaktor packed bed. Gil dan Serra (1993) melakukan penelitian dengan 
menggunakan photobioreaktor skala laboratorium dengan packing Phorpiridium 
uncinatum yang diimobilisasi pada foam polyvinyl. Pada kondisi optimum operasi, 
diperoleh hasil bahwa 90% supply nitrat pada influen (50 mg/l) telah dapat diserap 
oleh alga dengan waktu tinggal 3-4 jam. 
Tam dan Wong (2000) melakukan penelitian tentang penyerapan nitrat dan phosphor 
pada reaktor packed bed yang terbuat dari kolom PVC dengan menggunakan lima 
algal bead yang memiliki konsentrasi 4 sampai 20 bead/ml. Didapatkan hasil bahwa 
kadar NH4 + -N (30mg/l) dapat diserap tanpa sisa dan 95% kadar PO4
3- (5.5mg/l) 
dapat terserap dengan baik selama 24 jam. 
c) Bioreaktor Parallel plate (PPR) 
Bioreaktor ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 dengan nama ‘Reinberg’ 
oleh Texas Instrumen. ada  beberapa desain variasi dari reaktor ini , akan 
tetapi secara umum bagian bawahnya dibangkitkan oleh tenaga elektroda. 
Salah satu contoh penggunaan bioreaktor parallel plate adalah pada penelitian 
pemanfaatan mikroalga Chlorella untuk menurunkan kadar nitrogen dan phosphor 
pada limbah domestik. Pada penelitian ini  digunakan bioreaktor dengan material 
dari polyethylen, kontrol suhu200
C, dengan instalasi sistem bubling udara dan tanpa 
penambahan cahaya. Dari penelitian ini diperoleh hasil efisiensi pengurangan nitrogen 
60.7% dan phosphor 84%. (Zhang, et al. 2012) 
d) Bioreaktor Air-lift 
Reaktor ini cocok digunakan untuk skala laboratorium dan termasuk tipe terbaru 
dalam teknologi fermentasi. Pada reaktor ini content diaduk dengan cara pneumatik 
oleh udara atau gas lain yang diinjeksi ke dalam reaktor. Aliran ini juga memiliki 
fungsi transfer gas pada medium. Vilchez dan Vega (1995) mempelajari efisiensi 
penyerapan nitrit oleh Chlamydomonas reinhardtii yang diimobilisasi dengan 
kalsium alginat dengan menggunakan reaktor air lift sistem kontinyu dan diskontinyu. 
Pada sistem diskontinyu diperoleh hasil efisiensi penyerapan nitrit 90 mikro mol / jam 
dengan menggunakan loading rate 90 mikro gram klorofil/ gram gel setelah delapan 
hari. Sementara dengan menggunakan sistem kontinyu diperoleh hasil 120 mikro 
mol/jam selama 21 hari. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa sistem kontinyu lebih 
baik digunakan. Dan kelemahan dari metode ini tidak bagus jika digunakan pada 
skala komersial. 
e) Bioreaktor Hollow Fiber 
Salah satu kendala ketika menggunakan material gel pada sistem bioreaktor adalah 
stabilitas kinerja yang kurang baik seperti masalah struktur reaktor yang cenderung 
tidak awet. Sebagai contoh hal ini terungkap ketika Robinson (1998) melakukan 
penelitian dengan menggunakan reaktor packed bed skala kecil dan melaporkan 
bahwa perawatan sel alginat pada reaktor cenderung sukar. 
Sistem bioreaktor hollow fiber memiliki banyak ukuran. Robinson (1998) melakukan 
penelitian tentang pengurangan kadar phosphor dengan menggunakan alga yang telah 
diimobilisasi. Penelitian tahap pertama diperoleh bahwa kadar phosphat dapat diserap 
seiring kenaikan waktu dan waktu setling pada reaktor. 
Sawayama et al (1998) juga melakukan penelitian menggunakan reaktor hollow fiber 
dengan material reaktor dari PVC dan strain cyanobacteria thermofilik Phorpiridium 
laminosum. Desain reaktor seperti pada Gambar 5.2. sebelum diinokulasi, tube 
bioreaktor disterlilisasi dengan 1% larutan natrium hipochlorit dan dibilas dengan air 
distilasi. Imobilisasi dengan bioreaktor hollow fiber ini bagus digunakan untuk 
mengurangi kadar Phosphorus dibandingkan imobilisasi kitosan. 

Beberapa dekade trakhir, dunia mengalami gejolak krisis pangan, energi, dan air 
bersih. Banyak negara besar mengalami penurunan angka pendapatan, sementara populasi 
penduduk semakin meningkat. Krisis di Eropa, Amerika, dan beberapa negara belahan lain 
memberikan dampak secara tidak langsung kepada kebutuhan pangan dunia. Harga pangan 
semakin naik seiring kenaikan beberapa bahan baku lainnya. Hal ini juga pernah terjadi di 
era perang dunia, di mana harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Akhirnya para peneliti 
berbondong bondong melakukan eksperimen di bidang pangan yang dapat disediakan secara 
murah dan massal. 
Salah satu sumber pangan yang dapat dijadikan solusi dari masalah ini  adalah 
protein sel tunggal yang berasal dari fungi, yeast, bakteri, maupun mikroalga. Pada bab ini 
akan difokuskan pada pembahasan mikroalga sebagai penyedia protein. Lebih jauh lagi, 
mikroalga sebenarnya tidak tepat jika dirujuk sebagai penyedia protein sel tunggal, sebab p 
biomassanya yang memiliki lebih banyak senyawa pangan selain protein seperti pigmen, 
lipid, karbohidrat, vitamin dan mineral

Mikroalga sebagai stok pangan sebenarnya sudah lama digunakan oleh bangsa China. 
Mirkroalga yang digunakan umumnya adalah Arthospira, Nostoc, dan Aphanizamenon lebih 
dari 2000 tahun yang lalu. Diketahui juga bawah bangsa Aztec telah mengkonsumsi Spirulina
pada abad 14-16. Produksi mikroalga sebagai stok pangan mulai digalakkan besar besaran 
ketika perang dunia kedua, di mana Jepang, Amerika, dan Jerman waktu itu sedang 
menghadapi krisis. (Potvin, dan Zhang, 2010). 
Sampai saat ini mikroalga masih digunakan oleh masyarakat sebagai sumber protein, 
vitamin, dan mineral, serta diantaranya digunakan sebagai