Ternak kambing tersebar di berbagai daerah,mampu
beradaptasi pada kondisi lingkungan dan sumberdaya yang
minimum, menghasilkan nilai fungsional sebagai kambing
pedaging, kambing penghasil susu dan bulu, disamping
juga multi guna sebagai hewan penghasil daging, susu
dan jasa (Dinas Kesehatan Hewan, 2010). Investasi yang
sedikit, dewasa tubuh dan kelamin yang cepat, jumlah anak
per kelahiran lebih dari satu, kidding interval yang pendek
serta masa kebuntingan yang relatif cepat menyebabkan
perputaran modal menjadi relatif lebih cepat jika
dibandingkan dengan ternak lain. Beberapa keunggulan
ternak kambing yaitu tidak membutuhkan lahan yang luas,
tenaga kerja sedikit dan kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan dan pakan yang terbatas. Hal tersebut
mendukung sebaran ternak tersebut yang hampir merata di
seluruh Indonesia terutama di wilayah pedesaan di Pulau
Jawa. Kurangnya pemahaman petani terhadap manfaat
ternak kambing, berpengaruh terhadap sistem pemeliharaan
yang subsisten, disamping peranaannya hanya sebagai
usaha sambilan dan tabungan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan yang mendesak.
Data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan
(2011), menunjukkan bahwa peningkatan terbesar populasi
kambing terjadi di Provinsi Jawa Tengah, sebagai salah
satu sentra ternak kambing nasional dengan populasi
kambing terbesar (3.691.096 ekor pada tahun 2010). Jawa
Timur merupakan urutan ke dua dengan populasi 2.822.912
ekor, dikuti oleh Jawa Barat berada pada urutan ketiga
dengan populasi 1.801.320 ekor.Secara nasional,populasi
ternak kecil pada tahun 2010 mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan populasi pada tahun 2009 yaitu:
kambing 16,62 juta ekor (5,08%), domba 10,72 juta ekor
(5,16%), dan babi 7,47 juta ekor (7,19%). Menurut BPS
(2011), rata-rata peningkatan populasi ternak kambing
setiap tahun adalah sebesar 2,91%/tahun dan merupakan
salah satu komoditas unggulan di provinsi Jawa Barat dan
berpotensi untuk dikembangkan.
Di Indonesia, hasil perkawinan kambing Etawah
dengan kambing lokal menghasilkan kambing yang disebut
Peranakan Etawah (PE). Karakteristik produksi hampir
sama dengan kambing Etawah yaitu mampu beradaptasi
terhadap kondisi lokal dan merupakan ternak penghasil
daging serta susu yang lebih tinggi dari kambing lokal
(Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011).
Menurut Mastika, (1993), daya adaptasi ternak lokal cukup
tinggi meliputi anatomis, respon morfologis dan fisiologis,
tingkah laku makan, metabolisme dan produksi.
Lahan pasca penambangan pasir di Kabupaten
Sumedang merupakan lahan kritis yang kurang produktif,
jenis tanah berpasir, kurang subur disertai kondisi
lingkungan yang gersang dan panas. Keberadaan ternak
kambing PE di lokasi tersebut merupakan suatu keunikan
tersendiri karena kondisi tersebut kurang cocok untuk
produksi dan reproduksi tenak perah secara optimal.
Namun, daya adaptasi yang tinggi menyebabkan ternak
ruminansia tersebut mampu beradaptasi terhadap pakan
terbatas dan manajemen pemeliharaan yang kurang
memadai. Kambing PE berkontribusi secara signifikan
terhadap pendapatan kelompok tani dan masyarakat.
Kambing PE di Sumedang dapat dikembangkan apabila
didukung oleh manajemen produksi dan reproduksi yang
baik, SDM terlatih, serta ketersediaan pakan yang memadai.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap karakteristik produksi
dan reproduksi serta analisis terhadap perkembangan
populasi ternak kambing PE perlu dilakukan. Selain itu,
identifikasi faktor faktor yang berpengaruh nyata terhadap
sukses tidaknya program pengembangan usaha ternak
kambing PE penting untuk dirumuskan dengan strategi
pengembangan yang sesuai.
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi
karakteristik reproduksi dan menganalisis perkembangan
populasi kambing PE termasuk identifikasi faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap perkembangan populasi
kambing PE di lahan pasca tambang pasir di kecamatan
Cimalaka dan Paseh, Sumedang. Hasil yang diperoleh
dapat digunakan sebagai rekomendasi oleh institusi
terkait dalam merumuskan program pengembangan ternak
kambing PE di wilayak sejenis.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di desa Cibereum
Wetan, kecamatan Cimalaka dan Paseh Kaler, kecamatan
Paseh, kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang dilakukan
pada bulan Juli-Agustus 2011. Penelitian dilakukan
menggunakan metode survey ke lokasi penelitian,
wawancara dengan peternak kambing tentang karakteristik
reproduksi, jumlah kepemilikkan dan manajemen
pemeliharaan ternak disertai pengamatan ke lokasi
peternak. Responden yang diwawancara berjumlah
36 orang; 17 orang dari Kelompok Peternak Simpay
Tampomas dan19 orang dari Kelompok Ternak Hutan
Tampomas Sejahtera. Kriteria penetuan responden adalah
petani ternak yang memiliki ternak kambing lebih dari 3
ekor.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer didapat dari petani melalui
wawancara dengan pengisian kuisioner. Data sekunder
didapat dari UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Sumedang serta recording dari ketua
kelompok. Data primer merupakan data peternak yang
terdiri dari umur peternak, pendidikan formal dan non
formal, jumlah anggota keluarga, serta pendapatan beternak
dan usaha lain/tahun. Data produksi kambing meliputi:
1) populasi yang terdiri atas jumlah ternak pada awal dan
perubahan yang terjadi dalam periode satu tahun termasuk
jumlah ternak yang dijual, didasarkan pada struktur umur
dan jenis kelamin; 2) karakteristik reproduksi meliputi
jumlah induk yang bunting, lama bunting, laktasi, kering
bunting dan tidak bunting, umur pertama birahi, kawin,
dan beranak, umur sapih, jumlah anak perkelahiran
dan dalam satu tahun, kidding interval, bobotlahir dan
rasio jantan betina. Disamping itu, observasi ke lokasi
peternak dilakukan untuk memperoleh data perkandangan,
manajemen pemeliharaan , pakan dan data pendukung lain
dalam usaha ternak kambing perah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi usaha dan perkembangan ternak kambing
diidentifikasi dan disajikan secara deskriptif
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan kondisi geografis kabupaten Sumedang
merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat dengan luas
wilayah 152.220 Ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan
272 desa.Wilayah Sumedang beriklim tropis dengan
temperatur berkisar antara 27-28 o
C, rata rata kelembaban
49,56% (BPS Kabupaten Sumedang, 2010), kondisi
lingkungan tersebut cocok untuk perkembangbiakan ternak
kambing.
Kecamatan Cimalaka; daerah yang berada di kaki
Gunung Tampomas tersebut sebelumnya adalah area
penambangan pasir dan saat inimerupakan daerah sentra
pertanian dipadukan dengan kambing PE. Tanaman yang
ditanam oleh petani adalah jenis leguminosa termasuk
gamal (Gliricidia sepium) dan Caliandra sp., disamping
untuk menghijaukan lahan bekas galian pasir, berfungsi
sebagai sumber pakan ternak karena keberadaan Caliandra
sp. cukup banyak di kaki gunung Tampomas. Ternak
kambing yang dipelihara adalah jenis Jawarandu, yakni
ternak penghasil daging. Namun, dengan alasan kurang
efisien untuk produksi daging karena membutuhkan waktu
yang lama, petani memilih jenis kambing Peranakan
Etawah (PE) untuk budidaya. Kambing PE memiliki dua
fungsi yaitu sebagai penghasil susu dan penghasil daging,
disamping sebagai sumber bibit.
Kecamatan Paseh; merupakan sentra kambing PE
kedua setelah kecamatan Cimalaka dengan kondisi yang
tidak jauh berbeda kecamatan Cimalaka. Penanaman
gamal, dan keberadaan tanaman semak belukar di daerah
tersebut merupakan sumber pakan untuk ternak kambing
Peranakan Etawah (PE) yang dipelihara oleh petani
dan kelompok tani di daerah tersebut. Sebagian besar
responden (95%), dari Cimalaka dan Paseh menyelesaikan
pendidikan dasar (SD), dan sebagian kecil sudah mengikuti
beberapa pelatihan dalam bidang pertanian/ peternakan.
Berdasarkan data Tabel 1, diperoleh tingkat pendapatan
petani bervariasi antara dua kecamatan dengan sumber
pendapatan tertinggi baik sebagai penghasilkan utama
maupun sambilan berasal dari ternak.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa petani di Ci malaka memelihara ternak sebagai usaha utama, sedangkan
petani di Paseh beternak kambing sebagai usaha sambilan
karena pendapatan utama berasal dari kegiatan bertani, pen grajin furniture dan kuli tambang pasir. Ternak dijadikan
tabungan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tenaga kerja
sebagian besar berasal dari tenaga kerja keluarga, sebagian
kecil apabila diperlukan diperoleh dari keluarga sekitar.
Penerimaan usahatani ternak dari hasil penjualan ter nak, selama satu tahun 1-15 juta, 16-30 juta, dan lebih dari
30 juta dengan masing-masing kepemilikkan ternak kurang
dari 10 ekor, 11-20 ekor, dan lebih dari 30 ekor.
Pendapatan beternak/tahun pada petani di kecamatan
Cimalaka lebih bervariasi dibandingkan dengan hasil
pendapatan petani di kecamatan Paseh. Hal ini disebabkan
Kelompok Peternak Simpay Tampomas, kecamatan Cimal aka sudah lama terbentuk yaitu ±15 tahun sehingga lebih
berpengalaman dalam beternak dibandingkan Kelompok
Ternak Hutan Tampomas Sejahtera, kecamatan Paseh yang
baru terbentuk ±4 tahun. Selain itu juga, petani di kecamatan
Cimalaka sudah mendapatkan pendidikan non formal yang
lebih banyak, sehingga pengetahuan petani di kecamatan
Cimalaka lebih luas wawasannya dibandingkan petani di
kecamatan Paseh.
Pendapatan petani dari usaha lain/tahun pada kedua
kecamatan bervariasi. Namun petani di kecamatan Cimala ka memiliki pendapatan usaha lain lebih rendah dibanding kan petani di kecamatan Paseh. Hal ini dikarenakan mata
pencaharian utama petani di kecamatan Cimalaka adalah
petani, sedangkan petani di kecamatan Paseh memiliki mata
pencaharian utama beragam yakni sebagai petani, pengrajin
furniture dan kuli galian pasir, sedangkan usaha peternakan
hanya dijadikan sebagai usaha sambilan dan hobi karena
mereka belum terlalu paham bahwa usaha peternakan ber potensi untuk dikembangkan.
Ternak di kecamatan Cimalaka didominasi oleh domba
dan kambing. Populasi domba sebanyak 5.596 ekor sedang kan populasi kambing sebanyak 3.441 ekor. Populasi ternak
di kecamatan Paseh yang paling banyak adalah domba den gan jumlah populasi sebanyak 3.142 ekor dan sapi potong
peringkat kedua dengan jumlah populasi sebanyak 1.382
ekor (UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan Perikanan ka bupaten Sumedang, 2011).Data jumlah ternak kambing ber dasarkan umur dan jenis kelamin di kecamatan Cimalaka
dan Paseh dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari data pada Tabel 2 terlihat bahwa rataan kepemi likan ternak kambing di Kecamatan Cimalaka,40 ekor/pe ternak terdiri dari 23 ekor ternak dewasa, 5 ekor ternak
muda dan 12 ekor anak, kecamatan Paseh, 14 ekor/peternak
yang meliputi: 6 ekor ternak dewasa, 4 ekor ternak muda 4
ekor ternak anak.Perbedaan jumlah ternak yang dipelihara
berbeda antar kedua kecamatan,disebabkan adanya bantuan
dari pemerintah pada petani di kecamatan Cimalaka berupa
ternakdan pakan konsentrat. Bantuan tersebut didukung
dengan program penyuluhan dan pelatihanpetani dalam
budi daya ternak kambing. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sesuai dengan jumlah ternak kambing yang berbeda,
jumlah penjualan dan pendapatan yang diperoleh petani
di kecamatan Cimalaka lebih tinggi dari petani kecamatan
Paseh. Hal ini dikarenakan ternak di kecamatan Paseh be lum berproduksi banyak.
Karakteristik Reproduksi Kambing PE
Data reproduksi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ter nak kambing di kedua kecamatan cukup prolifik ditandai
dengan jumlah anak/kelahiran yang cukup baik. Siklus bi rahi 22,79 hari, hasil ini lebih tinggi dari kambing Saanen
yang dilaporkan oleh Atabany (2001), yakni 21, 73 hari.
Dari Tabel 3 terlihat adanya perbedaan antara umur
pertama kawin dan beranak di dua kecamatan, kemungki nan ada kaitannya dengan kurangnya pemahaman peternak
terhadap tanda-tanda birahi pada kambing. Sutama et al.
(1995) melaporkan bahwa kambing betina PE mencapai
pubertas pada umur 10-12 bulan pada saat mencapai bobot
badan sekitar 13,5-22,5 kg (rataan 18,5 kg) yakni sekitar
55-60% dari berat badan dewasa, dan berahi pertama selalu
diikuti dengan ovulasi. Menurut Mulyono (1999), pubertas
(birahi pertama) pada ternak kambing dan domba, terjadi
pada umur 6-12 bulan, dewasa kelamin pada umur 4-6 bulan
namun untuk tujuan perkawinan, sebaiknya pejantan digu nakan setelah mencapai antara 10-18 bulan (Willamson dan
Payne, 1993). Peternak di kecamatan Paseh tidak langsung
mengawinkan ternaknya tetapi menunggu ternaknya sampai
dewasa tubuh baru dikawinkan tetapi terkadang peternak di
Kecamatan Paseh membeli ternak yang sudah dewasa tu buh sehingga ketika birahi langsung dikawinkan. Sutama
dan Budiarsana (1997), menyatakan bahwa penundaan
umur perkawinan pertama perlu dilakukan, untuk mem beri kesempatan ternak untuk mencapai kondisi dan berat
badan yang cukup untuk mempertahankan kebuntingan dan
kinerja produksi dan reproduksi selanjutnya.
Sistem perkawinan ternak kambing di kedua kecamatan
masih secara alamiah, ternak betina yang sedang birahi
dikeluarkan dari kandang, dan dikawinkan dengan pejantan
unggul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seks rasio ter nak di kecamatan Cimalaka 1:3 dandi kecamatan Paseh 1:5.
Hasil ini mengindikasikan bahwa sistem perkawinan ternak
kambing di kedua kecamatan terlihat kurang efisien, menu rut Atabany (2001), perbandingan antara jantan dan betina
dewasa (induk laktasi, induk kering, dara bunting, dan dara
siap kawin) pada peternakan kambing PE yang ideal 1:14
dan pada peternakan kambing Saanen 1:3. Menurut Blakely
dan Bade (1991), seekor jantan sehat dapat mengawini betina
sebanyak 30 ekor. Devendra dan Burn (1994) berpendapat
bahwa seekor kambing jantan dewasa dapat mengawini 25
ekor betina. Sistem perkawinan pada ternak di kecamatan
Cimalaka ditentukan oleh peternaknya sendiri dengan pe jantan dan induk milik sendiri sedangkan perkawinan pada
ternak di Kecamatan Paseh diatur oleh kelompok. Peternak
belum memiliki pejantan sendiri, oleh karena itu ketua ke lompok memberi pinjaman pejantannya untuk dikawinkan
denganternak betina yang sedang birahi. Sistem perkawinan
adalah mengawinkan satu pejantan dengan lima ekor betina
yang siap kawin.
Rata-rata umur kambing pertama kali kawin di keca matan Cimalaka dan Paseh masing-masing 10,56±1,55 bu lan dan 13,26±3,39 bulan. Hasil penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan hasil penelitian Sukendar (2004), bahwa
umur pertama kali ternak kambing kawin 7,50±2,50 bu lan, Atabany (2001), melaporkan umur kawin pertama kali
kambing betina di Peternakan Barokah dicapai pada 403,32
hari atau 13,44 bulan. Tujuan mengatur umur kawin ternak
betina adalah untuk menjaga produktivitas, disarankan pada
saat dikawinkan ternak sudah mendekati masa dewasa tu buh. Manajemen tersebut dilakukan agar segera setelah
perkawinan tingkat kebuntingan kambing optimum. Menu rut Budi (2005), waktu kawin yang kurang tepat dapat ber dampak terhadap kegagalan bunting.
Lama bunting ternak kambing dan domba rata rata 148
hari atau antara 140-159 hari (Mulyono, 1999). Selama masa
kebuntingan kondisi induk harus dijaga agar perkembangan
anak dalam kandungan terjadi secara normal (Blakely dan
Bade, 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama
kebuntingan ternak kambing PE antara 150-180 hari (5-6
bulan), hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil
penelitian Atabany (2001), bahwa rataan lama kebuntingan
kambing PE di peternakan Barokah yaitu 148,87 hari. Rata rata umur pertama kali kambing PE di kecamatan Cimalaka
dan kecamatan Paseh beranak, masing masing 15,44±1,50
bulan dan 19,47±0,61 bulan. Perbedaan ini disebabkan
kambing petani di kecamatan Cimalaka dikawinkan pada
umur lebih muda dibandingkan dengan kecamatan Paseh.
Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Ata bany (2001), yakni umur beranak pertama pada kambing
PE 643,24 hari (21,44 bulan). Berdasarkan laporan, kamb ing PE beranak pertama pada umur 16–18 bulan, dalam 2
tahun dapat beranak 3 kali dengan masa produktif 5 tahun
(Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011).Selang
beranak per induk di kedua kecamatan termasuk baik yaitu
7,75±0,58 dan 7,17±1,11bulan. Berdasarkan laporan pene litian Sutama et al. (1997), aktivitas seksual setelah beranak
pada kambing PE terjadi relatif cepat (semasa ternak masih
menyusui anaknya), sehingga interval beranak bisa dicapai
pada umur 7-8 bulan. Oleh karena itu, menurut Mulyono
(1999), diperlukan suatu pola reproduksi dan perkawinan
yang efektif dalam rang meningkatkan jumlah bakalan
kambing.
Data litter size kambing PE di kecamatan Cimalaka
dan Paseh masing-masing 2,13±0,5 dan 1,75±0,62. Hasil
ini mengindikasikan bahwa kambing bibit yang digunakan
di kecamatan Cimalaka relatif lebih produktif dibandingkan
dengan di kecamatan Paseh, hasil ini juga lebih tinggi dari
hasil Budiarsana et al. (2003),di desa Panulisan Timur yaitu
1,75±0,45 dan 1,29±0,46 di desa Cariu.
Rataan bobot lahir anak kambing di kecamatan Ci malaka yaitu 3,25 kg, sementara dari kecamatan Paseh tidak
diperoleh data hasil penimbangan. Keterbatasan fasilitas
dan alat timbang serta kurangnya pengetahuan peternak
merupakan kendala pengembangan ternak kambing di ke camatan Paseh. Umur sapih anak kambing di kecamatan Ci malaka dilakukan lebih dini dari kecamatan Paseh, keadaan
ini berkaitan dengan manajemen pemeliharaan induk anak
yang berbeda antar petani. Peternak di kecamatan Cimalaka,
menerapkan pola pemisahan anak dari induk setelah disapih
terutama anak kambing yang memiliki kemampuan pertum buhan yang cepat. Anak kambing yang memiliki performa
pertumbuhan yang cepat diberi kesempatan menyususi lebih
lama dari induknya agar dapat dijadikan sumber bibit.
Tingkat kematian anak kambing di kecamatan Ci malaka (17,53%), hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan
ternak di kecamatan Paseh (77,78%). Demikian juga degan
kematian induk di Cimalaka dan Paseh, masing masing
3.87% dan %.62%. Menurut Devendra dan Burn (1994),
empat faktor yang mempengaruhi kematian anak kambing
meliputi faktor lingkungan yakni cuaca yang sangat dingin,
kekurangan pakan, penyakit, dan kesulitan saat beranak
(distokia). Penyakit scabies (kudis) merupakan faktor uta ma yang menyebabkan kematian pada ternak di kecamatan
Paseh. Munculnya penyakit scabies (kudis) disebabkan
kelembaban yang tinggi, sanitasi (kebersihan) kandang yang
kurang memadai dan kondisi ternak yang memprihatinkan.
Berbeda dengan kecamatan Paseh, tingkat kematian anak di
kecamatan Cimalaka dikarenakan faktor kekurangan pakan
karena pada musim kemarau dengan kondisi cuaca panas
dan kelembaban tinggi, berdampak terhadap ketersediaan
pakan yang terbatas dan rendahnya kualitas pakan yang di berikan pada ternak. Anak kambing yang dipisahkan dari
induk sesaat setelah lahir di kedua kecamatan mengalami
tingkat kematian sebesar 28,57% dan 57,14%. Umur sapih
yang lebih lama, mencapai enam minggu setelah melahir kan, tidak mengakibatkan kematian yang signifikan pada
anak kambing.
Dinamika Populasi Kambing PE
Potensi pengembangan kambing lokal dipedesaan per lu diketahui untuk mengestimasi pertambahan populasinya
persatuan waktu, sehingga dapat diperoleh informasi tentang
nilai perubahan dalam populasi dan program pengembangan
kambing di waktu yang akan datang (Sukendar et al., 2005).
Pada Tabel 4 disajikan hasil analisis berupa proyeksi induk
kambing PE selama enam tahun pengembangan.
Peningkatan populasi ternak kambing PE yang ter jadi di kecamatan Cimalaka sebesar 11,43%, sementara di
kecamatan Paseh terjadi penurunan sebesar 23,37%. Pen ingkatan ternak di Kecamatan Cimalaka dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain jumlah ternak betina produktif
yang lebih banyak, litter size yang tinggi, dan manajemen
perkawinan yang lebih baik. Penurunan populasi ternak di
kecamatan Paseh dipengaruhi oleh antara lain, tingkat ke matian anak yang tinggi yang disebabkan penyakit scabies
dan manejemen pemeliharaan yang kurang memadai. Ber dasarkan karakteristik reproduksi dan potensi sumberdaya
yang tersedia, selama enam tahun periode pengembangan,
perlu disiapkan 79 ekor betina pengganti di kecamatan Ci malaka sebanyak. Dalam upaya pengembangan populasi
ternak kambing di kecamatan Paseh, sesuai hasil analisis,
diperlukan 8 ekor betina induk untuk mempertahankan
populasi kambing yang ada di lokasi tersebut. Jumlah ter nak betina yang dihasilkan di kecamatan Cimalaka dalam
kurun waktu enam tahun, adalah 308 ekor sedangkan di
kecamatan Paseh adalah 41 ekor. Hasil ini menunjukkan
adanya pola dan praktik manajemen yang berbeda antara
masing masing wilayah, sehingga dalam rangka pengem banganjumlah ternak yang bisa dijual di masing masing
kecamatanjuga berbeda. Peternak dari Cimalaka dapat
menjual ternak sejumlah 29 ekor, sedangkan peternak di
daerah Paseh disarankan untuk sementara tidak menjual
ternaknya, sehingga populasi yang ada dapat dipertahank an dalam rangka peningkatan produktivitas melalui mane jemen reproduksi yang lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas waktu ekuilibrasi sebelum pembekuan
spermatozoa kambing sapera sesudah Electric Separating Sperm (ESS) terhadap motilitas, viabilitas, integritas
membran, normalitas dan abnormalitas spermatozoa. Spermatozoa pada kambing sapera dikumpulkan
menggunakan vagina buatan kemudian dipisahkan menggunakan metode EES. Penelitian ini menggunakan
rumus acak lengkap dengan tiga perlakuan yaitu waktu kesetimbangan P1 (1 jam), P2 (3 jam), dan P3 (4 jam),
dengan enam pengulangan. Analisis dalam penelitian ini meggunakan uji ANOVA dilanjutkan dengan uji
Duncan untuk mengetahui perbedaan nyata antar perlakuan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan
presentase motilitas, viabilitas, integritas membram, normalitas spermatozoa kambing sapera tertinggi pada
perlakuan 1 jam, untuk persentase kelainan terendah pada perlakuan 1 jam. Hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
pada sisi anoda dan katoda pada semua perlakuan dengan perbedan waktu.
Kambing Sapera merupakan hasil dari
persilangan antara kambing Saanen dan kambing
Peranakan Etawah (PE). Kambing jenis Sapera
ini yaitu kambing perah yang memiliki
produktifitas susu yang tinggi Persilangan antara kambing Saanen dan
Peranakan Etawa ini menghasilkan Jenis kambing
yang mempunyai sifat mudah beradaptasi
terhadap iklim yang ada di Indonesia, memiliki
postur tubuh yang cukup besar dan mampu
memproduksi susu yang tinggi serta mudah untuk
di budidayakan.
Usaha dalam menunjang peningkatan
populasi kambing Sapera di Indonesia, diperlukan
suatu pendekatan bioteknologi reproduksi. Salah
satu cara pendekatan tersebut melalui teknologi
inseminasi buatan (IB)
Inseminasi Buatan penggunaannya bertujuan
untuk memperbaiki kualitas ternak,
meningkatkan angka kelahiran, efisiensi biaya,
mencegah perkawinan sedarah dan mencegah
penularan penyakit kelamin perkembangan bioteknologi pada
Inseminasi Buatan sudah mengalami kemajuan
salah satunya sexing spermatozoa. Sexing
spermatozoa merupakan salah satu metode yang
dapat dipilih untuk efisiensi usaha peternakan dan
pengontrolan jenis kelamin pada ternak . Teknologi sexing pada spermatozoa
memudahkan peternak dalam usaha peternakan,
karena jenis kelamin bibit yang diinginkan bisa
disesuaikan dengan tujuan peternakan tersebut.
Peternakan yang menghasilkan dan memasarkan
produk berupa susu, membutuhkan lebih banyak
bibit berjenis kelamin betina daripada jantan.
untuk meningkatkan rasio kelahiran anakan
berjenis kelamin betina, dapat menggunakan
teknologi inseminasi buatan dengan melakukan
sexing terhadap spermatozoa,
Teknik-teknik sexing spermatozoa
kromosom X dan Y yang pernah dikembangkan
yaitu elektroforesis, sentrifuse, sedimentasi,
pemilihan selektif, perbedaan tekanan, viskositas,
filtrasi, dan pemilihan sel ,
Electric Separating Sperm (ESS) merupakan alat
metode sexing elektroforesis yang digunakan
untuk memisahkan spermatozoa kromosom X
dan Y dengan aliran listrik searah, terdapat dua
elektroda yang berbeda pada ESS yaitu katoda
dan anoda. Spermatozoa dengan kromosom X
akan menuju katoda dan sebaliknya spermatozoa
dengan kromosom Y akan bergerak menuju
anoda . Hasil dari sexing
spermatozoa digunakan untuk inseminasi buatan
dipengaruhi oleh proses pembekuan spermatozoa,
masalah yang sering timbul pada proses
pembekuan yaitu pengaruh cold shock yang
dapat merusak membran plasma sel pada saat
pembekuan serta terjadi pembentukan kristal-
kristal es dan berakibat kematian spermatozoa.
Penambahan krioprotektan seperti gliserol dapat
mengatasi rendahnya kualitas spermatozoa
karena peranan gliserol dapat masuk ke dalam
spermatozoa menggantikan kristal es yang
terbentuk ,efisiensi gliserol pada masa pembekuan
sangat ditentukan oleh proses ekuilibrasi yang
merupakan periode yang diperlukan spermatozoa
sebelum pembekuan untuk menyesuaikan diri
dengan diluter, sebagai upaya dalam waktu
pembekuan kematian spermatozoa yang
berlebihan dapat di cegah.
Sampel Penelitian yang digunakan yaitu
semen Kambing Sapera yang berasal dari satu
ekor pejantan unggul yang berusia 2-3 tahun.
Pengambilan semen dilakukan satu kali dalam
seminggu dan besar sampel diambil berdasar
rumus Rancangan Acak Lengkap dengan 3
perlakuan yang didapatkan 6 kali ulangan.
Alat dan Bahan
Bahan untuk pemeriksaan hidup dan mati
spermatozoa yaitu pewarna Eosin-Nigrosin, Nacl
fisiologis, gelas objek, gelas penutup. Bahan
diluter semen yaitu Tris Kuning Telur.
Bahan untuk pemeriksaan membran plasma
spermatozoa yaitu hyposmotic swelling test (HOS
Test) dilakukan dengan cara mencampur 0,1 ml
semen dengan 9,9 ml medium hipoosmotik.
Medium hipoosmotik dibuat dengan melarutkan
0,3 gram fruktosa dan 0,7 gram NaCitrat kedalam
100 ml aquabidestilata. Sediaan yang sudah
dicampurkan kemudian di inkubasi dalam
waterbath bersuhu 370C selama 30 menit
Alat yang digunakan untuk penelitian
meliputi: vagina buatan kambing lengkap dengan
tabung penampung berskala iwaki®, air panas
(40-52oC), thermometer 100oC, gelas ukur
iwaki®, gelas beker iwaki®, erlenmeyer iwaki®,
kertas pH indicator universal, micropipet,
pemanas bunsen, pengaduk, pipet pasteur,
counter, aluminum foil, kertas saring, mikroskop
binocular Nicon Eclips E200 LED, microskop,
timbangan mikro ohaus, pinset, show case dan
ESS.
Penampungan semen kambing Sapera
menggunakan vagina buatan. Vagina buatan
merupakan alat yang dirancang untuk
menstimulasikan reproduksi saluran betina
dengan keunggulan mudah digunakan, semen
yang dikumpulkan umumnya relatif bersih dan
Ejakulasi mirip dengan ejakulasi alami Semen yang
sudah ditampung harus memiliki kualitas yang
baik dengan dilakukan pemeriksaan secara
makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan
makroskopis terdiri atas pemeriksaan volume
semen, warna, bau, dan konsistensi (kekentalan),
sedangkan pemeriksaan mikroskopik bertujuan
untuk mengevaluasi motilitas (gerakan individu
spermatozoa), gerakan massa, konsentrasi,
viabilitas, abnormalitas, dan membran plasma
utuh ,
Metode ESS dan Pemeriksaan Spermatozoa
Proses sexing spermatozoa dengan alat ESS
dilakukan dengan penyampuran semen dan
diluter (larutan A) terlebih dahulu.. Larutan A ini
merupakan larutan yang dimasukan kedalam alat
ESS, yang nantinya larutan A akan dicampurkan
oleh larutan B pada proses ekuilibrasi.
Proses ekuilibrasi dimulai dengan
penampungan semen kambing Sapera kemudian
di lihat kualitas makroskopis meliputi volume,
warna, bau, konsistensi dan mikroskopis meliputi
viabilitas dan abnormalitas, sesudah pemeriksaan
semen selesai dan dinyatakan baik dengan
presentasi progresif yang layak tidak kurang dari
70% maka selanjutnya di lakukan penambahan
diluter dengan tris kuning telur, sesudah dilakukan
pencampuran, kemudian dilakukan mekanisme
sexing spermatozoa dengan menggunakan ESS
yang selanjutnya dilakukan penambahan gliserol
6%. Penambahan gliserol dilakukan dengan
membuat dua diluter yaitu antara larutan A yang
berisi (diluter dan semen), dan larutan B berisi
(gliserol dan diluter). Diluter beserta glisrol telah
dicampur maka masukan ke dalam tabung
microtube sesuai volume yang sudah di tentukan
dengan rumus pegenceran, kemudian sesudah
selesai dimasukan kedalam lemari pendingin
dengan suhu 50C, sesudah dimasukan kedalam
lemari pendingin di tunggu waktu ekuilibrasi
selam 1 jam, 3 jam , dan 4 jam sedangkan setiap
jamnya dilakukan pengecekan secara
makroskopis dan mikroskopis meliputi motilitas,
viabilitas, membran plasma utuh, dan
abnormalitas.
Semen segar kambing Sapera sebelum diberi
perlakuan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
makroskopis dan mikroskopis untuk mengetahui
semen layak atau tidak sebelum dilakukan proses
selanjutnya. Rata- rata volume semen Kambing
Sapera 1,07 ml ± 0,10. pH rata-rata semen
kambing Sapera 6,8%. Motilitas spermatozoa
kambing Sapera rata-rata yaitu 85%±3,16 yang
artinya spermatozoa kambing Sapera yang
bergerak progresif 85% dengan kecepatan 3 yang
menandakan spermatozoa bergerak dengan cepat.
Viabilitas spermatozoa kambing Sapera berkisar
89% sampai 95% dengan rata-rata 91%±2,73
perhitungan spermatozoa dilakukan pada 100
spermatozoa. Abnormalitas spermatozoa
kambing Sapera berkisar antara 2 sampai 5%
dengan rata-rata 3,0%±1,41 perhitungan
dilakukan pada 100 Spermatozoa (Tabel 1).
Data persentasi motilitas kambing Sapera
sesudah diberi perlakuan waktu ekuilibrasi dengan
tiga perlakuan menunjukan rata-rata dan standart
deviasi berturut-turut yaitu (P1) sebesar
71,50%±3,94, (P2) sebesar 66,00%±2,60, dan
(P3) sebesar 60,33%±2,42. Data presentasi
viabilitas spermatozoa Kambing Sapera sesudah di
berikan perlakuan waktu ekuilibrasi dengan tiga
perlakuan yaitu menunjukan rata-rata dan
standart deviasi berturut-turut yaitu P1 sebesar
83,00%±6,16, P2 sebesar 75,17%±4,70, dan P3
sebesar 69,00%±3,40. Data presentasi membran
plasma utuh spermatozoa kambing Sapera sesudah
diberi perlakuan waktu ekuilibrasi dengan tiga
perlakuan menunjukan rata-rata dan standard
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Perlakuan ekuilibrasi dilakukan selama 1 jam (P1), 3 jam (P2), dan 4 jam (P3).
deviasi berturut-turut yaitu P1 sebesar
79.50%±8.50, P2 sebesar 72.67%±5,28, dan (P3)
sebesar 65.67%±3),78. dapat dilihat pada Tabel 1.
Data presentasi abnormalitas spermatozoa
Kambing Sapera sesudah diberi perlakuan waktu
ekuilibrasi dengan tiga perlakuan yaitu
menunjukan rata-rata dan standar deviasi
berturut-turut yaitu (P1) sebesaar 2,50%±0,55,
(P2) sebesar 3,33%±1,18, dan (P3) sebesar
6,50%±2,88. 1 jam (P1), 3 jam (P2) dan 4 jam
(P3).
Hasil analisis statistik dengan menggunakan
Anova One Way dan dilanjutkan dengan Uji
Duncan, menunjukan bahwa terdapat efek
perbedaan waktu ekeulibrasi memberikan
perbedaan nyata (p<0,05) terhadap motilitas dan
viabilitas spermatozoa kambing Sapera. Waktu
ekuilibrasi 1 jam (P1) menunjukan perbedaan
nyata dengan waktu ekuilibrasi 3 jam (P2) dan 4
jam (P3), terhadap membran plasma utuh
spermatozoa kambing Sapera. Waktu ekuilibrasi
1 jam (P1) menunjukan perbedaan nyata dengan
waktu ekuilibrasi 4 jam (P3), waktu ekuilibrasi 3
jam (P2) menunjukan hasil tidak berbeda
terhadap waktu ekuilibrasi 1 jam (P1), dan waktu
4 jam (P3) menunjukan bahwa abnormalitas
waktu ekuilibrasi 1 jam (P1) menunjukan
perbedaan nyata dengan waktu 4 jam (P3) waktu
3 jam (P2) juga menunjukan perbedaan nyata
pada waktu 4 jam (P3), sedangkan waktu
ekuilibrasi 3 jam (P2) tidak berbeda nyata dengan
waktu 1 jam (P1) (Tabel 1).
Indikator yang bisa digunakan untuk
mengetahui kromosom penentuan jenis kelamin
yang terkandung pada kepala spermatozoa yaitu
ukuran kepala spermatozoa. Ukuran kepala
spermatozoa pada kambing memiliki rata-rata
panjang 8,5 µm, lebar 4,2 µm, luas 29 µm, dan
keliling 17 µm. Spermatozoa mengandung gugus
yang bermuatan berbeda, Spermatozoa yang
mengandung DNA lebih dari 4% pada kromosom
X menyebabkan adanya perbedaan muatan.
Perbedaan muatan tersebut menyebabkan
spermatozoa dengan kromosom X akan bergerak
menuju kutub positif. Muatan yang terdapat pada
spermatozoa dipengaruhi oleh kandungan ion
kalium intraseluler. Spermatozoa yang memiliki
kandungan ion kalium lebih besar, diasumsikan
memiliki muatan positif sehingga akan berenang
menuju sisi katoda. Begitu pula sebaliknya, pada
spermatozoa yang mengandung lebih sedikit ion
kalium dianggap memiliki muatan negatif
sehingga akan bergerak menuju sisi anoda
Mekanisme pendeasaan dan migrasi
spermatozoa pada epididimis, terjadi rekasi kimia
dengan asam silikat dan membran
glikopolipeptida pada CD52. CD52 yaitu gen
penyandi protein sekretori yang terekspresi
spesifik pada cauda epididimis dan regulasinya
dipengaruhi oleh androgen faktor testikular dan
perkembangan pasca lahir ,
CD52 yang menyebabkan permukaan
spermatozoa mengandung muatan negatif.
Ekpresi yang ditunjukkan oleh CD52 tersebut
normal terjadi pada morfologi dan kapasitasi
spermatozoa dan merupakan landasan dari
metode sexing spermatozoa dengan elektroforesis
Penentuan jenis kelamin pada sexing
spermatozoa didasarkan pada kandungan
kromosom yang terdapat pada kepala
spermatozoa. Spermatozoa kromosom X yang
membuahi sel telur akan menghasilkan embrio
berjenis kelamin betina, sedangkan kromosom Y
akan menghasilkan embrio jantan. Kromosom X
dan Y dapat dibedakan berdasar muatan listrik
permukaan, ukuran, protein makromolekul,
perbedaan efek terhadap pH dan efek terhadap
tekanan udara
berdasar muatan listrik yang terdapat
pada permukaan sel spermatozoa, maka
pemisahan spermatozoa kromosom X dan Y bisa
dilakukan dengan memanfaatkan muatan listrik.
Spermatozoa jika diletakkan pada daerah yang
mengandung muatan listrik, maka spermatozoa Y
akan dipindahkan menuju anoda Pemisahan spermatozoa
menggunakan arus listrik mampu menyebabkan
terbentuknya reactive oxygen species (ROS),
karena tegangan listrik tersebut akan berubah
menjadi panas. Panas yang terjadi dapat
menyebabkan kerusakan sel terutama pada lipid,
protein dan DNA (Priyanto dkk., 2015). Electric
Separating Sperm (ESS) bekerja pada tegangan
listrik rendah yaitu 1.5 Volt. Tegangan listrik
yang rendah ini dapat meminimalisir
pembentukan ROS. berdasar penelitian yang
dilakukan oleh ,alat ini
mampu memisahkan kromosom X dan Y pada
spermatozoa dalam waktu yang relatif singkat
pada domba Merino.
Hasil temuan kami ekuilibrasi 1 jam pada P1
menunjukan motilitas yang baik. Waktu
ekuilibrasi merupakan waktu yang dibutuhkan
spermatozoa beradaptasi dengan diluter agar saat
pembekuan kematian spermatozoa dapat dicegah
. Kerusakan spermatozoa akibat
pembekuan terjadi karena peningkatan
konsentrasi elektrolit, dehidrasi, dan terbentuknya
kristalisasi es intraselular yang dapat
mempengaruhi permiabilitas dinding sel sehingga
spermatozoa kehilangan daya motilitasnya
Waktu ekuilibrasi yang tepat dapat memicu
gliserol yang berada di dalam diluter Tris kuning
telur mencapai keseimbangan elektrolit intra dan
ekstraseluler sehingga dapat melindungi
terbentuknya kristalisasi pada spermatozoa dan
kerusakan spermatozoa disaat proses pembekuan
dapat dicegah ,Penurunan
motilitas spermatozoa dapat terjadi karena sudah
terbentuknya asam laktat sehingga menghasilkan
motilitas progresif yang lebih rendah , Motilitas yang tinggi pada spermatozoa
juga membutuhkan energi yang tinggi, yang
dihasilkan dari metabolisme mitokondria
sehingga menyebabkan tingginya tingkat reactive
oxygen spesies (ROS) sehingga viabilitas
spermatozoa akan menurun ,
Pengaruh waktu ekuilibrasi terhadap
presentasi viabilitas dan membran plasma utuh
spermatozoa kambing Sapera sesudah diberi
perlakuan menunjukan perbedaan nyata (p<0.05)
antara, waktu ekuilibrasi 1 jam (P1), 3 jam (P2) ,
dan 4 jam (P3). Viabilitas dan membran plasma
utuh spermatozoa tertinggi terdapat pada
perlakuan P1 dengan waktu ekuilibrasi 1 jam.
Waktu ekuilibrasi 1 jam pada temuan kami sudah
terjadi keseimbangan elektrolit dengan gliserol
secara baik dan merata di dalam spermatozoa
sehingga kerusakan selama proses pembekuan
dapat diminimalisir. Kerusakan pada membran
plasma spermatozoa yang akan membuat
viabilitas spermatozoa menjadi rendah dapat
disebabkan efek waktu ekuilibrasi yang lama
selain itu penurunan viabilitas
spermatozoa dikarenakan perubahan biokimia
karena kerusakan membran, osmotik dan cold
shock yang berkaitan dengan Penurunan suhu dan
durasi penyimpanan,
Penurunan persentase viabilitas spermatozoa
disebakan oleh kondisi membran plasma yang
telah rusak. Membran plasma spermatozoa
berfungsi sebagai penjaga organel sel dan
pengatur keseimbangan elektrolit dalam
metabolisme , ROS memiliki peran yang
penting dalam fosforilasi tirosin, oksidasi sterol,
dan penembusan kolesterol dari membran plasma
dalam proses kapasitasi spermatozoa dalam
proses fertilisasi dan lemak dalam membran
plasma spermatozoa kambing memiliki
konsentrasi asam lemak tak jenuh yang lebih
tinggi di bandingkan ruminansia lainya. Karena
itu, dalam proses pendinginan, lemak dari
membran plasma dapat rusak, yang
mengakibatkan peroksidasi lipid. Pengamatan
membran plasma utuh sangat penting karena
spermatozoa yang memiliki membran plasma
utuh akan dapat mempertahankan kehidupannya
dan berhasil dalam proses pembuahan. Fungsi
dari membran plasma yaitu mengatur keluar
masuknya zat-zat makanan, melindungi organel
organel intraseluler secara fisik, serta menjaga
keseimbangan elektrolit intra dan ektraseluler
Abnormalitas spermatozoa merupakan
penyimpangan bentuk morfologi dari struktur
spermatozoa normal. Abnormalitas spermatozoa
di bagi menjadi dua yaitu abnormalitas primer dan
abnormalitas skunder. Abnormalitas primer
merupakan kelainan spermatogenesis sejak
berada di dalam tubulus seminifirus berupa
kelainan yang meliputi ukuran kepala
macrochepalic atau microchepalic, kepala
pendek melebar, pipih memanjang, piriformis,
kepala rangkap, ekor ganda, bagian tengah
melipat, membengkok, membesar, ekor
melingkar, putus dan terbelah,
Abnormalitas sekunder merupakan kelainan
yang terjadi sesudah spermatozoa meninggalkan
tubulus seminifirus selama perjalanan melalui
epididimis, selama ejakulasi, manipulasi dan
perlakuan lainyaPerbedaan presentasi
abnormalitas spermatozoa pada setiap perlakuan
dikarenakan dalam larutan diluter keseimbangan
intraseluler dan ekstraseluler dengan spermatozoa
tidak stabil karena adanya penurunan suhu pada
saat ekuilibrasi ,perbedaan konsentrasi cairan
intraseluler dengan ekstraseluler akan
menimbulkan perubahan tekanan osmotik sel
selama pembekuan, sehingga akan menyebabkan
selubung lipoprotein pecah dan membran sel
mengalami kerusakan. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan spermatozoa menjadi abnormal.
Hasil temuan kami waktu ekuilibrasi terbaik
didapat pada (P1) dengan perlakuan waktu 1 jam
ekuilibrasi di lihat dari hasil kualitas spermatozoa
berdasar motilitas, viabilitas, dan membran
plasma utuh. Abnormalitas spermatozoa kambing
Sapera menggunakan tris kuning telur dengan
waktu ekuilibrasi terbaik 1 dan 3 jam.