• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label ternak kambing 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ternak kambing 6. Tampilkan semua postingan

ternak kambing 6


 Ternak kambing tersebar di berbagai daerah,mampu 

beradaptasi pada kondisi lingkungan dan sumberdaya yang 

minimum, menghasilkan nilai fungsional sebagai kambing 

pedaging, kambing penghasil susu dan bulu, disamping 

juga multi guna sebagai hewan penghasil daging, susu 

dan jasa (Dinas Kesehatan Hewan, 2010). Investasi yang 

sedikit, dewasa tubuh dan kelamin yang cepat, jumlah anak 

per kelahiran lebih dari satu, kidding interval yang pendek 

serta masa kebuntingan yang relatif cepat menyebabkan 

perputaran modal menjadi relatif lebih cepat jika 

dibandingkan dengan ternak lain. Beberapa keunggulan 

ternak kambing yaitu tidak membutuhkan lahan yang luas, 

tenaga kerja sedikit dan kemampuan adaptasi yang tinggi 

terhadap lingkungan dan pakan yang terbatas. Hal tersebut 

mendukung sebaran ternak tersebut yang hampir merata di 

seluruh Indonesia terutama di wilayah pedesaan di Pulau 

Jawa. Kurangnya pemahaman petani terhadap manfaat 

ternak kambing, berpengaruh terhadap sistem pemeliharaan 

yang subsisten, disamping peranaannya hanya sebagai 

usaha sambilan dan tabungan keluarga untuk memenuhi 

kebutuhan yang mendesak. 

Data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 

(2011), menunjukkan bahwa peningkatan terbesar populasi 

kambing terjadi di Provinsi Jawa Tengah, sebagai salah 

satu sentra ternak kambing nasional dengan populasi 

kambing terbesar (3.691.096 ekor pada tahun 2010). Jawa 

Timur merupakan urutan ke dua dengan populasi 2.822.912 

ekor, dikuti oleh Jawa Barat berada pada urutan ketiga 

dengan populasi 1.801.320 ekor.Secara nasional,populasi 

ternak kecil pada tahun 2010 mengalami peningkatan bila 

dibandingkan dengan populasi pada tahun 2009 yaitu: 

kambing 16,62 juta ekor (5,08%), domba 10,72 juta ekor 

(5,16%), dan babi 7,47 juta ekor (7,19%). Menurut BPS 

(2011), rata-rata peningkatan populasi ternak kambing 

setiap tahun adalah sebesar 2,91%/tahun dan merupakan 

salah satu komoditas unggulan di provinsi Jawa Barat dan  

berpotensi untuk dikembangkan.

Di Indonesia, hasil perkawinan kambing Etawah 

dengan kambing lokal menghasilkan kambing yang disebut 

Peranakan Etawah (PE). Karakteristik produksi hampir 

sama dengan kambing Etawah yaitu mampu beradaptasi 

terhadap kondisi lokal dan merupakan ternak penghasil 

daging serta susu yang lebih tinggi dari kambing lokal 

(Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). 

Menurut Mastika, (1993), daya adaptasi ternak lokal cukup 

tinggi meliputi anatomis, respon morfologis dan fisiologis, 

tingkah laku makan, metabolisme dan produksi.

Lahan pasca penambangan pasir di Kabupaten 

Sumedang merupakan lahan kritis yang kurang produktif, 

jenis tanah berpasir, kurang subur disertai kondisi 

lingkungan yang gersang dan panas. Keberadaan ternak 

kambing PE di lokasi tersebut merupakan suatu keunikan 

tersendiri karena kondisi tersebut kurang cocok untuk 

produksi dan reproduksi tenak perah secara optimal. 

Namun, daya adaptasi yang tinggi menyebabkan ternak 

ruminansia tersebut mampu beradaptasi terhadap pakan 

terbatas dan manajemen pemeliharaan yang kurang 

memadai. Kambing PE berkontribusi secara signifikan 

terhadap pendapatan kelompok tani dan masyarakat. 

Kambing PE di Sumedang dapat dikembangkan apabila 

didukung oleh manajemen produksi dan reproduksi yang 

baik, SDM terlatih, serta ketersediaan pakan yang memadai. 

Oleh karena itu, evaluasi terhadap karakteristik produksi 

dan reproduksi serta analisis terhadap perkembangan 

populasi ternak kambing PE perlu dilakukan. Selain itu, 

identifikasi faktor faktor yang berpengaruh nyata terhadap 

sukses tidaknya program pengembangan usaha ternak 

kambing PE penting untuk dirumuskan dengan strategi 

pengembangan yang sesuai.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi 

karakteristik reproduksi dan menganalisis perkembangan 

populasi kambing PE termasuk identifikasi faktor-faktor 

yang berpengaruh terhadap perkembangan populasi 

kambing PE di lahan pasca tambang pasir di kecamatan 

Cimalaka dan Paseh, Sumedang. Hasil yang diperoleh 

dapat digunakan sebagai rekomendasi oleh institusi 

terkait dalam merumuskan program pengembangan ternak 

kambing PE di wilayak sejenis.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di desa Cibereum 

Wetan, kecamatan Cimalaka dan Paseh Kaler, kecamatan 

Paseh, kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang dilakukan 

pada bulan Juli-Agustus 2011. Penelitian dilakukan 

menggunakan metode survey ke lokasi penelitian, 

wawancara dengan peternak kambing tentang karakteristik 

reproduksi, jumlah kepemilikkan dan manajemen 

pemeliharaan ternak disertai pengamatan ke lokasi 

peternak. Responden yang diwawancara berjumlah 

36 orang; 17 orang dari Kelompok Peternak Simpay 

Tampomas dan19 orang dari Kelompok Ternak Hutan 

Tampomas Sejahtera. Kriteria penetuan responden adalah 

petani ternak yang memiliki ternak kambing lebih dari 3 

ekor.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan 

data sekunder. Data primer didapat dari petani melalui 

wawancara dengan pengisian kuisioner. Data sekunder 

didapat dari UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan 

Perikanan Kabupaten Sumedang serta recording dari ketua 

kelompok. Data primer merupakan data peternak yang 

terdiri dari umur peternak, pendidikan formal dan non 

formal, jumlah anggota keluarga, serta pendapatan beternak 

dan usaha lain/tahun. Data produksi kambing meliputi: 

1) populasi yang terdiri atas jumlah ternak pada awal dan 

perubahan yang terjadi dalam periode satu tahun termasuk 

jumlah ternak yang dijual, didasarkan pada struktur umur 

dan jenis kelamin; 2) karakteristik reproduksi meliputi 

jumlah induk yang bunting, lama bunting, laktasi, kering 

bunting dan tidak bunting, umur pertama birahi, kawin, 

dan beranak, umur sapih, jumlah anak perkelahiran 

dan dalam satu tahun, kidding interval, bobotlahir dan 

rasio jantan betina. Disamping itu, observasi ke lokasi 

peternak dilakukan untuk memperoleh data perkandangan, 

manajemen pemeliharaan , pakan dan data pendukung lain 

dalam usaha ternak kambing perah. Faktor-faktor yang 

mempengaruhi usaha dan perkembangan ternak kambing 

diidentifikasi dan disajikan secara deskriptif 

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan kondisi geografis kabupaten Sumedang 

merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat dengan luas  

wilayah 152.220 Ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 

272 desa.Wilayah Sumedang beriklim tropis dengan 

temperatur berkisar antara 27-28 o

C, rata rata kelembaban 

49,56% (BPS Kabupaten Sumedang, 2010), kondisi 

lingkungan tersebut cocok untuk perkembangbiakan ternak 

kambing.

Kecamatan Cimalaka; daerah yang berada di kaki 

Gunung Tampomas tersebut sebelumnya adalah area 

penambangan pasir dan saat inimerupakan daerah sentra 

pertanian dipadukan dengan kambing PE. Tanaman yang 

ditanam oleh petani adalah jenis leguminosa termasuk 

gamal (Gliricidia sepium) dan Caliandra sp., disamping 

untuk menghijaukan lahan bekas galian pasir, berfungsi 

sebagai sumber pakan ternak karena keberadaan Caliandra 

sp. cukup banyak di kaki gunung Tampomas. Ternak 

kambing yang dipelihara adalah jenis Jawarandu, yakni 

ternak penghasil daging. Namun, dengan alasan kurang 

efisien untuk produksi daging karena membutuhkan waktu 

yang lama, petani memilih jenis kambing Peranakan 

Etawah (PE) untuk budidaya. Kambing PE memiliki dua 

fungsi yaitu sebagai penghasil susu dan penghasil daging, 

disamping sebagai sumber bibit.

Kecamatan Paseh; merupakan sentra kambing PE 

kedua setelah kecamatan Cimalaka dengan kondisi yang 

tidak jauh berbeda kecamatan Cimalaka. Penanaman 

gamal, dan keberadaan tanaman semak belukar di daerah 

tersebut merupakan sumber pakan untuk ternak kambing 

Peranakan Etawah (PE) yang dipelihara oleh petani 

dan kelompok tani di daerah tersebut. Sebagian besar 

responden (95%), dari Cimalaka dan Paseh menyelesaikan 

pendidikan dasar (SD), dan sebagian kecil sudah mengikuti 

beberapa pelatihan dalam bidang pertanian/ peternakan. 

Berdasarkan data Tabel 1, diperoleh tingkat pendapatan 

petani bervariasi antara dua kecamatan dengan sumber 

pendapatan tertinggi baik sebagai penghasilkan utama 

maupun sambilan berasal dari ternak.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa petani di Ci malaka memelihara ternak sebagai usaha utama, sedangkan 

petani di Paseh beternak kambing sebagai usaha sambilan 

karena pendapatan utama berasal dari kegiatan bertani, pen grajin furniture dan kuli tambang pasir. Ternak dijadikan 

tabungan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tenaga kerja 

sebagian besar berasal dari tenaga kerja keluarga, sebagian 

kecil apabila diperlukan diperoleh dari keluarga sekitar.  

Penerimaan usahatani ternak dari hasil penjualan ter nak, selama satu tahun 1-15 juta, 16-30 juta, dan lebih dari 

30 juta dengan masing-masing kepemilikkan ternak kurang 

dari 10 ekor, 11-20 ekor, dan lebih dari 30 ekor.  

Pendapatan beternak/tahun pada petani di kecamatan 

Cimalaka lebih bervariasi dibandingkan dengan hasil 

pendapatan petani di kecamatan Paseh. Hal ini disebabkan 

Kelompok Peternak Simpay Tampomas, kecamatan Cimal aka sudah lama terbentuk yaitu ±15 tahun sehingga lebih 

berpengalaman dalam beternak dibandingkan Kelompok 

Ternak Hutan Tampomas Sejahtera, kecamatan Paseh yang 

baru terbentuk ±4 tahun. Selain itu juga, petani di kecamatan 

Cimalaka sudah mendapatkan pendidikan non formal yang 

lebih banyak, sehingga pengetahuan petani di kecamatan 

Cimalaka lebih luas wawasannya dibandingkan petani di 

kecamatan Paseh. 

Pendapatan petani dari usaha lain/tahun pada kedua 

kecamatan bervariasi. Namun petani di kecamatan Cimala ka memiliki pendapatan usaha lain lebih rendah dibanding kan petani di kecamatan Paseh. Hal ini dikarenakan mata 

pencaharian utama petani di kecamatan Cimalaka adalah 

petani, sedangkan petani di kecamatan Paseh memiliki mata 

pencaharian utama beragam yakni sebagai petani, pengrajin 

furniture dan kuli galian pasir, sedangkan usaha peternakan 

hanya dijadikan sebagai usaha sambilan dan hobi karena 

mereka belum terlalu paham bahwa usaha peternakan ber potensi untuk dikembangkan. 

Ternak di kecamatan Cimalaka didominasi oleh domba 

dan kambing. Populasi domba sebanyak 5.596 ekor sedang kan populasi kambing sebanyak 3.441 ekor. Populasi ternak 

di kecamatan Paseh yang paling banyak adalah domba den gan jumlah populasi sebanyak 3.142 ekor dan sapi potong 

peringkat kedua dengan jumlah populasi sebanyak 1.382 

ekor (UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan Perikanan ka bupaten Sumedang, 2011).Data jumlah ternak kambing ber dasarkan umur dan jenis kelamin di kecamatan Cimalaka 

dan Paseh dapat dilihat pada Tabel 2. 

Dari data pada Tabel 2 terlihat bahwa rataan kepemi likan ternak kambing di Kecamatan Cimalaka,40 ekor/pe ternak terdiri dari 23 ekor ternak dewasa, 5 ekor ternak 

muda dan 12 ekor anak, kecamatan Paseh, 14 ekor/peternak 

yang meliputi: 6 ekor ternak dewasa, 4 ekor ternak muda 4 

ekor ternak anak.Perbedaan jumlah ternak yang dipelihara 

berbeda antar kedua kecamatan,disebabkan adanya bantuan 

dari pemerintah pada petani di kecamatan Cimalaka berupa 

ternakdan pakan konsentrat. Bantuan tersebut didukung 

dengan program penyuluhan dan pelatihanpetani dalam 

budi daya ternak kambing. Hasil penelitian menunjukkan 

bahwa sesuai dengan jumlah ternak kambing yang berbeda, 

jumlah penjualan dan pendapatan yang diperoleh petani 

di kecamatan Cimalaka lebih tinggi dari petani kecamatan 

Paseh. Hal ini dikarenakan ternak di kecamatan Paseh be lum berproduksi banyak. 

Karakteristik Reproduksi Kambing PE

Data reproduksi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ter nak kambing di kedua kecamatan cukup prolifik ditandai 

dengan jumlah anak/kelahiran yang cukup baik. Siklus bi rahi 22,79 hari, hasil ini lebih tinggi dari kambing Saanen 

yang dilaporkan oleh Atabany (2001), yakni 21, 73 hari. 

Dari Tabel 3 terlihat adanya perbedaan antara umur 

pertama kawin dan beranak di dua kecamatan, kemungki nan ada kaitannya dengan kurangnya pemahaman peternak  

terhadap tanda-tanda birahi pada kambing. Sutama et al. 

(1995) melaporkan bahwa kambing betina PE mencapai 

pubertas pada umur 10-12 bulan pada saat mencapai bobot 

badan sekitar 13,5-22,5 kg (rataan 18,5 kg) yakni sekitar 

55-60% dari berat badan dewasa, dan berahi pertama selalu 

diikuti dengan ovulasi. Menurut Mulyono (1999), pubertas 

(birahi pertama) pada ternak kambing dan domba, terjadi 

pada umur 6-12 bulan, dewasa kelamin pada umur 4-6 bulan 

namun untuk tujuan perkawinan, sebaiknya pejantan digu nakan setelah mencapai antara 10-18 bulan (Willamson dan 

Payne, 1993). Peternak di kecamatan Paseh tidak langsung 

mengawinkan ternaknya tetapi menunggu ternaknya sampai 

dewasa tubuh baru dikawinkan tetapi terkadang peternak di 

Kecamatan Paseh membeli ternak yang sudah dewasa tu buh sehingga ketika birahi langsung dikawinkan. Sutama 

dan Budiarsana (1997), menyatakan bahwa penundaan 

umur perkawinan pertama perlu dilakukan, untuk mem beri kesempatan ternak untuk mencapai kondisi dan berat 

badan yang cukup untuk mempertahankan kebuntingan dan 

kinerja produksi dan reproduksi selanjutnya. 

Sistem perkawinan ternak kambing di kedua kecamatan 

masih secara alamiah, ternak betina yang sedang birahi 

dikeluarkan dari kandang, dan dikawinkan dengan pejantan 

unggul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seks rasio ter nak di kecamatan Cimalaka 1:3 dandi kecamatan Paseh 1:5. 

Hasil ini mengindikasikan bahwa sistem perkawinan ternak 

kambing di kedua kecamatan terlihat kurang efisien, menu rut Atabany (2001), perbandingan antara jantan dan betina 

dewasa (induk laktasi, induk kering, dara bunting, dan dara 

siap kawin) pada peternakan kambing PE yang ideal 1:14 

dan pada peternakan kambing Saanen 1:3. Menurut Blakely 

dan Bade (1991), seekor jantan sehat dapat mengawini betina 

sebanyak 30 ekor. Devendra dan Burn (1994) berpendapat 

bahwa seekor kambing jantan dewasa dapat mengawini 25 

ekor betina. Sistem perkawinan pada ternak di kecamatan 

Cimalaka ditentukan oleh peternaknya sendiri dengan pe jantan dan induk milik sendiri sedangkan perkawinan pada 

ternak di Kecamatan Paseh diatur oleh kelompok. Peternak 

belum memiliki pejantan sendiri, oleh karena itu ketua ke lompok memberi pinjaman pejantannya untuk dikawinkan 

denganternak betina yang sedang birahi. Sistem perkawinan 

adalah mengawinkan satu pejantan dengan lima ekor betina 

yang siap kawin.

Rata-rata umur kambing pertama kali kawin di keca matan Cimalaka dan Paseh masing-masing 10,56±1,55 bu lan dan 13,26±3,39 bulan. Hasil penelitian ini lebih tinggi 

dibandingkan hasil penelitian Sukendar (2004), bahwa 

umur pertama kali ternak kambing kawin 7,50±2,50 bu lan, Atabany (2001), melaporkan umur kawin pertama kali 

kambing betina di Peternakan Barokah dicapai pada 403,32 

hari atau 13,44 bulan. Tujuan mengatur umur kawin ternak 

betina adalah untuk menjaga produktivitas, disarankan pada 

saat dikawinkan ternak sudah mendekati masa dewasa tu buh. Manajemen tersebut dilakukan agar segera setelah 

perkawinan tingkat kebuntingan kambing optimum. Menu rut Budi (2005), waktu kawin yang kurang tepat dapat ber dampak terhadap kegagalan bunting.

Lama bunting ternak kambing dan domba rata rata 148 

hari atau antara 140-159 hari (Mulyono, 1999). Selama masa 

kebuntingan kondisi induk harus dijaga agar perkembangan 

anak dalam kandungan terjadi secara normal (Blakely dan 

Bade, 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama  

kebuntingan ternak kambing PE antara 150-180 hari (5-6 

bulan), hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil 

penelitian Atabany (2001), bahwa rataan lama kebuntingan 

kambing PE di peternakan Barokah yaitu 148,87 hari. Rata rata umur pertama kali kambing PE di kecamatan Cimalaka 

dan kecamatan Paseh beranak, masing masing 15,44±1,50 

bulan dan 19,47±0,61 bulan. Perbedaan ini disebabkan 

kambing petani di kecamatan Cimalaka dikawinkan pada 

umur lebih muda dibandingkan dengan kecamatan Paseh. 

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Ata bany (2001), yakni umur beranak pertama pada kambing 

PE 643,24 hari (21,44 bulan). Berdasarkan laporan, kamb ing PE beranak pertama pada umur 16–18 bulan, dalam 2 

tahun dapat beranak 3 kali dengan masa produktif 5 tahun 

(Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011).Selang 

beranak per induk di kedua kecamatan termasuk baik yaitu 

7,75±0,58 dan 7,17±1,11bulan. Berdasarkan laporan pene litian Sutama et al. (1997), aktivitas seksual setelah beranak 

pada kambing PE terjadi relatif cepat (semasa ternak masih 

menyusui anaknya), sehingga interval beranak bisa dicapai 

pada umur 7-8 bulan. Oleh karena itu, menurut Mulyono 

(1999), diperlukan suatu pola reproduksi dan perkawinan 

yang efektif dalam rang meningkatkan jumlah bakalan 

kambing.

Data litter size kambing PE di kecamatan Cimalaka 

dan Paseh masing-masing 2,13±0,5 dan 1,75±0,62. Hasil 

ini mengindikasikan bahwa kambing bibit yang digunakan 

di kecamatan Cimalaka relatif lebih produktif dibandingkan 

dengan di kecamatan Paseh, hasil ini juga lebih tinggi dari 

hasil Budiarsana et al. (2003),di desa Panulisan Timur yaitu 

1,75±0,45 dan 1,29±0,46 di desa Cariu.

Rataan bobot lahir anak kambing di kecamatan Ci malaka yaitu 3,25 kg, sementara dari kecamatan Paseh tidak 

diperoleh data hasil penimbangan. Keterbatasan fasilitas 

dan alat timbang serta kurangnya pengetahuan peternak 

merupakan kendala pengembangan ternak kambing di ke camatan Paseh. Umur sapih anak kambing di kecamatan Ci malaka dilakukan lebih dini dari kecamatan Paseh, keadaan 

ini berkaitan dengan manajemen pemeliharaan induk anak 

yang berbeda antar petani. Peternak di kecamatan Cimalaka, 

menerapkan pola pemisahan anak dari induk setelah disapih 

terutama anak kambing yang memiliki kemampuan pertum buhan yang cepat. Anak kambing yang memiliki performa 

pertumbuhan yang cepat diberi kesempatan menyususi lebih 

lama dari induknya agar dapat dijadikan sumber bibit.

Tingkat kematian anak kambing di kecamatan Ci malaka (17,53%), hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan 

ternak di kecamatan Paseh (77,78%). Demikian juga degan 

kematian induk di Cimalaka dan Paseh, masing masing 

3.87% dan %.62%. Menurut Devendra dan Burn (1994), 

empat faktor yang mempengaruhi kematian anak kambing 

meliputi faktor lingkungan yakni cuaca yang sangat dingin, 

kekurangan pakan, penyakit, dan kesulitan saat beranak 

(distokia). Penyakit scabies (kudis) merupakan faktor uta ma yang menyebabkan kematian pada ternak di kecamatan 

Paseh. Munculnya penyakit scabies (kudis) disebabkan 

kelembaban yang tinggi, sanitasi (kebersihan) kandang yang 

kurang memadai dan kondisi ternak yang memprihatinkan. 

Berbeda dengan kecamatan Paseh, tingkat kematian anak di 

kecamatan Cimalaka dikarenakan faktor kekurangan pakan 

karena pada musim kemarau dengan kondisi cuaca panas 

dan kelembaban tinggi, berdampak terhadap ketersediaan 

pakan yang terbatas dan rendahnya kualitas pakan yang di berikan pada ternak. Anak kambing yang dipisahkan dari 

induk sesaat setelah lahir di kedua kecamatan mengalami 

tingkat kematian sebesar 28,57% dan 57,14%. Umur sapih 

yang lebih lama, mencapai enam minggu setelah melahir kan, tidak mengakibatkan kematian yang signifikan pada 

anak kambing.

Dinamika Populasi Kambing PE

Potensi pengembangan kambing lokal dipedesaan per lu diketahui untuk mengestimasi pertambahan populasinya 

persatuan waktu, sehingga dapat diperoleh informasi tentang 

nilai perubahan dalam populasi dan program pengembangan 

kambing di waktu yang akan datang (Sukendar et al., 2005). 

Pada Tabel 4 disajikan hasil analisis berupa proyeksi induk 

kambing PE selama enam tahun pengembangan.

Peningkatan populasi ternak kambing PE yang ter jadi di kecamatan Cimalaka sebesar 11,43%, sementara di 

kecamatan Paseh terjadi penurunan sebesar 23,37%. Pen ingkatan ternak di Kecamatan Cimalaka dipengaruhi oleh 

beberapa faktor antara lain jumlah ternak betina produktif 

yang lebih banyak, litter size yang tinggi, dan manajemen 

perkawinan yang lebih baik. Penurunan populasi ternak di 

kecamatan Paseh dipengaruhi oleh antara lain, tingkat ke matian anak yang tinggi yang disebabkan penyakit scabies

dan manejemen pemeliharaan yang kurang memadai. Ber dasarkan karakteristik reproduksi dan potensi sumberdaya 

yang tersedia, selama enam tahun periode pengembangan, 

perlu disiapkan 79 ekor betina pengganti di kecamatan Ci malaka sebanyak. Dalam upaya pengembangan populasi 

ternak kambing di kecamatan Paseh, sesuai hasil analisis, 

diperlukan 8 ekor betina induk untuk mempertahankan 

populasi kambing yang ada di lokasi tersebut. Jumlah ter nak betina yang dihasilkan di kecamatan Cimalaka dalam 

kurun waktu enam tahun, adalah 308 ekor sedangkan di  

kecamatan Paseh adalah 41 ekor. Hasil ini menunjukkan 

adanya pola dan praktik manajemen yang berbeda antara 

masing masing wilayah, sehingga dalam rangka pengem banganjumlah ternak yang bisa dijual di masing masing 

kecamatanjuga berbeda. Peternak dari Cimalaka dapat 

menjual ternak sejumlah 29 ekor, sedangkan peternak di 

daerah Paseh disarankan untuk sementara tidak menjual 

ternaknya, sehingga populasi yang ada dapat dipertahank an dalam rangka peningkatan produktivitas melalui mane jemen reproduksi yang lebih baik.  



Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas waktu ekuilibrasi sebelum pembekuan 

spermatozoa kambing sapera sesudah  Electric Separating Sperm (ESS) terhadap motilitas, viabilitas, integritas 

membran, normalitas dan abnormalitas spermatozoa. Spermatozoa pada kambing sapera dikumpulkan 

menggunakan vagina buatan kemudian dipisahkan menggunakan metode EES. Penelitian ini menggunakan 

rumus acak lengkap dengan tiga perlakuan yaitu waktu kesetimbangan P1 (1 jam), P2 (3 jam), dan P3 (4 jam), 

dengan enam pengulangan. Analisis dalam penelitian ini meggunakan uji ANOVA dilanjutkan dengan uji 

Duncan untuk mengetahui perbedaan nyata antar perlakuan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan 

presentase motilitas, viabilitas, integritas membram, normalitas spermatozoa kambing sapera tertinggi pada 

perlakuan 1 jam, untuk persentase kelainan terendah pada perlakuan 1 jam. Hasil yang berbeda nyata (p<0,05) 

pada sisi anoda dan katoda pada semua perlakuan dengan perbedan waktu. 

Kambing Sapera merupakan hasil dari 

persilangan antara kambing Saanen dan kambing 

Peranakan Etawah (PE). Kambing jenis Sapera 

ini yaitu  kambing perah yang memiliki 

produktifitas susu yang tinggi  Persilangan antara kambing Saanen dan 

Peranakan Etawa ini menghasilkan Jenis kambing 

yang mempunyai sifat mudah beradaptasi 

terhadap iklim yang ada di Indonesia, memiliki 

postur tubuh yang cukup besar dan mampu 

memproduksi susu yang tinggi serta mudah untuk 

di budidayakan.

Usaha dalam menunjang peningkatan 

populasi kambing Sapera di Indonesia, diperlukan 

suatu pendekatan bioteknologi reproduksi. Salah 

satu cara pendekatan tersebut melalui teknologi 

inseminasi buatan (IB) 

Inseminasi Buatan penggunaannya bertujuan 

untuk memperbaiki kualitas ternak, 

meningkatkan angka kelahiran, efisiensi biaya, 

mencegah perkawinan sedarah dan mencegah 

penularan penyakit kelamin perkembangan bioteknologi pada 

Inseminasi Buatan sudah mengalami kemajuan 

salah satunya sexing spermatozoa. Sexing 

spermatozoa merupakan salah satu metode yang 

dapat dipilih untuk efisiensi usaha peternakan dan 

pengontrolan jenis kelamin pada ternak . Teknologi sexing pada spermatozoa 

memudahkan peternak dalam usaha peternakan, 

karena jenis kelamin bibit yang diinginkan bisa 

disesuaikan dengan tujuan peternakan tersebut. 

Peternakan yang menghasilkan dan memasarkan 

produk berupa susu, membutuhkan lebih banyak 

bibit berjenis kelamin betina daripada jantan. 

untuk meningkatkan rasio kelahiran anakan 

berjenis kelamin betina, dapat menggunakan 

teknologi inseminasi buatan dengan melakukan 

sexing terhadap spermatozoa,

Teknik-teknik sexing spermatozoa 

kromosom X dan Y yang pernah dikembangkan 

yaitu  elektroforesis, sentrifuse, sedimentasi, 

pemilihan selektif, perbedaan tekanan, viskositas, 

filtrasi, dan pemilihan sel ,

Electric Separating Sperm (ESS) merupakan alat 

metode sexing elektroforesis yang digunakan 

untuk memisahkan spermatozoa kromosom X 

dan Y dengan aliran listrik searah, terdapat dua 

elektroda yang berbeda pada ESS yaitu katoda 

dan anoda. Spermatozoa dengan kromosom X 

akan menuju katoda dan sebaliknya spermatozoa 

dengan kromosom Y akan bergerak menuju 

anoda . Hasil dari sexing 

spermatozoa digunakan untuk inseminasi buatan 

dipengaruhi oleh proses pembekuan spermatozoa, 

masalah yang sering timbul pada proses 

pembekuan yaitu  pengaruh cold shock yang 

dapat merusak membran plasma sel pada saat 

pembekuan serta terjadi pembentukan kristal-

kristal es dan berakibat kematian spermatozoa. 

Penambahan krioprotektan seperti gliserol dapat 

mengatasi rendahnya kualitas spermatozoa 

karena peranan gliserol dapat masuk ke dalam 

spermatozoa menggantikan kristal es yang 

terbentuk ,efisiensi gliserol pada masa pembekuan 

sangat ditentukan oleh proses ekuilibrasi yang 

merupakan periode yang diperlukan spermatozoa 

sebelum pembekuan untuk menyesuaikan diri 

dengan diluter, sebagai upaya dalam waktu 

pembekuan kematian spermatozoa yang 

berlebihan dapat di cegah. 

Sampel Penelitian yang digunakan yaitu 

semen Kambing Sapera yang berasal dari satu 

ekor pejantan unggul yang berusia 2-3 tahun. 

Pengambilan semen dilakukan satu kali dalam 

seminggu dan besar sampel diambil berdasar  

rumus Rancangan Acak Lengkap dengan 3 

perlakuan yang didapatkan 6 kali ulangan. 

 

Alat dan Bahan 

Bahan untuk pemeriksaan hidup dan mati 

spermatozoa yaitu pewarna Eosin-Nigrosin, Nacl 

fisiologis, gelas objek, gelas penutup. Bahan 

diluter semen yaitu Tris Kuning Telur. 

Bahan untuk pemeriksaan membran plasma 

spermatozoa yaitu hyposmotic swelling test (HOS 

Test) dilakukan dengan cara mencampur 0,1 ml 

semen dengan 9,9 ml medium hipoosmotik. 

Medium hipoosmotik dibuat dengan melarutkan 

0,3 gram fruktosa dan 0,7 gram NaCitrat kedalam 

100 ml aquabidestilata. Sediaan yang sudah 

dicampurkan kemudian di inkubasi dalam 

waterbath bersuhu 370C selama 30 menit 

Alat yang digunakan untuk penelitian 

meliputi: vagina buatan kambing lengkap dengan 

tabung penampung berskala iwaki®, air panas 

(40-52oC), thermometer 100oC, gelas ukur 

iwaki®, gelas beker iwaki®, erlenmeyer iwaki®, 

kertas pH indicator universal, micropipet, 

pemanas bunsen, pengaduk, pipet pasteur, 

counter, aluminum foil, kertas saring, mikroskop 

binocular Nicon Eclips E200 LED, microskop, 

timbangan mikro ohaus, pinset, show case dan 

ESS. 

Penampungan semen kambing Sapera 

menggunakan vagina buatan. Vagina buatan 

merupakan alat yang dirancang untuk 

menstimulasikan reproduksi saluran betina 

dengan keunggulan mudah digunakan, semen 

yang dikumpulkan umumnya relatif bersih dan 

Ejakulasi mirip dengan ejakulasi alami  Semen yang 

sudah ditampung harus memiliki kualitas yang 

baik dengan dilakukan pemeriksaan secara 

makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan 

makroskopis terdiri atas pemeriksaan volume 

semen, warna, bau, dan konsistensi (kekentalan), 

sedangkan pemeriksaan mikroskopik bertujuan 

untuk mengevaluasi motilitas (gerakan individu 

spermatozoa), gerakan massa, konsentrasi, 

viabilitas, abnormalitas, dan membran plasma 

utuh ,

Metode ESS dan Pemeriksaan Spermatozoa 

Proses sexing spermatozoa dengan alat ESS 

dilakukan dengan penyampuran semen dan 

diluter (larutan A) terlebih dahulu.. Larutan A ini 

merupakan larutan yang dimasukan kedalam alat 

ESS, yang nantinya larutan A akan dicampurkan 

oleh larutan B pada proses ekuilibrasi. 

Proses ekuilibrasi dimulai dengan 

penampungan semen kambing Sapera kemudian 

di lihat kualitas makroskopis meliputi volume, 

warna, bau, konsistensi dan mikroskopis meliputi 

viabilitas dan abnormalitas, sesudah  pemeriksaan 

semen selesai dan dinyatakan baik dengan 

presentasi progresif yang layak tidak kurang dari 

70% maka selanjutnya di lakukan penambahan 

diluter dengan tris kuning telur, sesudah  dilakukan 

pencampuran, kemudian dilakukan mekanisme 

sexing spermatozoa dengan menggunakan ESS 

yang selanjutnya dilakukan penambahan gliserol 

6%. Penambahan gliserol dilakukan dengan 

membuat dua diluter yaitu antara larutan A yang 

berisi (diluter dan semen), dan larutan B berisi 

(gliserol dan diluter). Diluter beserta glisrol telah 

dicampur maka masukan ke dalam tabung 

microtube sesuai volume yang sudah di tentukan 

dengan rumus pegenceran, kemudian sesudah  

selesai dimasukan kedalam lemari pendingin 

dengan suhu 50C, sesudah  dimasukan kedalam 

lemari pendingin di tunggu waktu ekuilibrasi 

selam 1 jam, 3 jam , dan 4 jam sedangkan setiap 

jamnya dilakukan pengecekan secara 

makroskopis dan mikroskopis meliputi motilitas, 

viabilitas, membran plasma utuh, dan 

abnormalitas. 

Semen segar kambing Sapera sebelum diberi 

perlakuan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan 

makroskopis dan mikroskopis untuk mengetahui 

semen layak atau tidak sebelum dilakukan proses 

selanjutnya. Rata- rata volume semen Kambing 

Sapera 1,07 ml ± 0,10. pH rata-rata semen 

kambing Sapera 6,8%. Motilitas spermatozoa 

kambing Sapera rata-rata yaitu  85%±3,16 yang 

artinya spermatozoa kambing Sapera yang 

bergerak progresif 85% dengan kecepatan 3 yang 

menandakan spermatozoa bergerak dengan cepat. 

Viabilitas spermatozoa kambing Sapera berkisar 

89% sampai 95% dengan rata-rata 91%±2,73 

perhitungan spermatozoa dilakukan pada 100 

spermatozoa. Abnormalitas spermatozoa 

kambing Sapera berkisar antara 2 sampai 5% 

dengan rata-rata 3,0%±1,41 perhitungan 

dilakukan pada 100 Spermatozoa (Tabel 1). 

Data persentasi motilitas kambing Sapera 

sesudah  diberi perlakuan waktu ekuilibrasi dengan 

tiga perlakuan menunjukan rata-rata dan standart 

deviasi berturut-turut yaitu (P1) sebesar 

71,50%±3,94, (P2) sebesar 66,00%±2,60, dan 

(P3) sebesar 60,33%±2,42. Data presentasi 

viabilitas spermatozoa Kambing Sapera sesudah  di 

berikan perlakuan waktu ekuilibrasi dengan tiga 

perlakuan yaitu menunjukan rata-rata dan 

standart deviasi berturut-turut yaitu P1 sebesar 

83,00%±6,16, P2 sebesar 75,17%±4,70, dan P3 

sebesar 69,00%±3,40. Data presentasi membran 

plasma utuh spermatozoa kambing Sapera sesudah  

diberi perlakuan waktu ekuilibrasi dengan tiga 

perlakuan menunjukan rata-rata dan standard 


Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).  

Perlakuan ekuilibrasi dilakukan selama 1 jam (P1), 3 jam (P2), dan 4 jam (P3). 

 

deviasi berturut-turut yaitu P1 sebesar 

79.50%±8.50, P2 sebesar 72.67%±5,28, dan (P3) 

sebesar 65.67%±3),78. dapat dilihat pada Tabel 1. 

Data presentasi abnormalitas spermatozoa 

Kambing Sapera sesudah  diberi perlakuan waktu 

ekuilibrasi dengan tiga perlakuan yaitu 

menunjukan rata-rata dan standar deviasi 

berturut-turut yaitu (P1) sebesaar 2,50%±0,55, 

(P2) sebesar 3,33%±1,18, dan (P3) sebesar 

6,50%±2,88. 1 jam (P1), 3 jam (P2) dan 4 jam 

(P3).  

Hasil analisis statistik dengan menggunakan 

Anova One Way dan dilanjutkan dengan Uji 

Duncan, menunjukan bahwa terdapat efek 

perbedaan waktu ekeulibrasi memberikan 

perbedaan nyata (p<0,05) terhadap motilitas dan 

viabilitas spermatozoa kambing Sapera. Waktu 

ekuilibrasi 1 jam (P1) menunjukan perbedaan 

nyata dengan waktu ekuilibrasi 3 jam (P2) dan 4 

jam (P3), terhadap membran plasma utuh 

spermatozoa kambing Sapera. Waktu ekuilibrasi 

1 jam (P1) menunjukan perbedaan nyata dengan 

waktu ekuilibrasi 4 jam (P3), waktu ekuilibrasi 3 

jam (P2) menunjukan hasil tidak berbeda 

terhadap waktu ekuilibrasi 1 jam (P1), dan waktu 

4 jam (P3) menunjukan bahwa abnormalitas 

waktu ekuilibrasi 1 jam (P1) menunjukan 

perbedaan nyata dengan waktu 4 jam (P3) waktu 

3 jam (P2) juga menunjukan perbedaan nyata 

pada waktu 4 jam (P3), sedangkan waktu 

ekuilibrasi 3 jam (P2) tidak berbeda nyata dengan 

waktu 1 jam (P1) (Tabel 1). 

Indikator yang bisa digunakan untuk 

mengetahui kromosom penentuan jenis kelamin 

yang terkandung pada kepala spermatozoa yaitu 

ukuran kepala spermatozoa. Ukuran kepala 

spermatozoa pada kambing memiliki rata-rata 

panjang 8,5 µm, lebar 4,2 µm, luas 29 µm, dan  

keliling 17 µm. Spermatozoa mengandung gugus 

yang bermuatan berbeda, Spermatozoa yang 

mengandung DNA lebih dari 4% pada kromosom 

X menyebabkan adanya perbedaan muatan. 

Perbedaan muatan tersebut menyebabkan 

spermatozoa dengan kromosom X akan bergerak 

menuju kutub positif. Muatan yang terdapat pada 

spermatozoa dipengaruhi oleh kandungan ion 

kalium intraseluler. Spermatozoa yang memiliki 

kandungan ion kalium lebih besar, diasumsikan 

memiliki muatan positif sehingga akan berenang 

menuju sisi katoda. Begitu pula sebaliknya, pada 

spermatozoa yang mengandung lebih sedikit ion 

kalium dianggap memiliki muatan negatif 

sehingga akan bergerak menuju sisi anoda 

Mekanisme pendeasaan dan migrasi 

spermatozoa pada epididimis, terjadi rekasi kimia 

dengan asam silikat dan membran 

glikopolipeptida pada CD52. CD52 yaitu  gen 

penyandi protein sekretori yang terekspresi 

spesifik pada cauda epididimis dan regulasinya 

dipengaruhi oleh androgen faktor testikular dan 

perkembangan pasca lahir ,

CD52 yang menyebabkan permukaan 

spermatozoa mengandung muatan negatif. 

Ekpresi yang ditunjukkan oleh CD52 tersebut 

normal terjadi pada morfologi dan kapasitasi 

spermatozoa dan merupakan landasan dari 

metode sexing spermatozoa dengan elektroforesis 

Penentuan jenis kelamin pada sexing 

spermatozoa didasarkan pada kandungan 

kromosom yang terdapat pada kepala 

spermatozoa. Spermatozoa kromosom X yang 

membuahi sel telur akan menghasilkan embrio 

berjenis kelamin betina, sedangkan kromosom Y 

akan menghasilkan embrio jantan. Kromosom X 

dan Y dapat dibedakan berdasar  muatan listrik 

permukaan, ukuran, protein makromolekul, 

perbedaan efek terhadap pH dan efek terhadap 

tekanan udara 

berdasar  muatan listrik yang terdapat 

pada permukaan sel spermatozoa, maka 

pemisahan spermatozoa kromosom X dan Y bisa 

dilakukan dengan memanfaatkan muatan listrik. 

Spermatozoa jika diletakkan pada daerah yang 

mengandung muatan listrik, maka spermatozoa Y 

akan dipindahkan menuju anoda  Pemisahan spermatozoa 

menggunakan arus listrik mampu menyebabkan 

terbentuknya reactive oxygen species (ROS), 

karena tegangan listrik tersebut akan berubah 

menjadi panas. Panas yang terjadi dapat 

menyebabkan kerusakan sel terutama pada lipid, 

protein dan DNA (Priyanto dkk., 2015). Electric 

Separating Sperm (ESS) bekerja pada tegangan 

listrik rendah yaitu 1.5 Volt. Tegangan listrik 

yang rendah ini dapat meminimalisir 

pembentukan ROS. berdasar  penelitian yang 

dilakukan oleh ,alat ini 

mampu memisahkan kromosom X dan Y pada 

spermatozoa dalam waktu yang relatif singkat 

pada domba Merino. 

Hasil temuan kami ekuilibrasi 1 jam pada P1 

menunjukan motilitas yang baik. Waktu 

ekuilibrasi merupakan waktu yang dibutuhkan 

spermatozoa beradaptasi dengan diluter agar saat 

pembekuan kematian spermatozoa dapat dicegah 

. Kerusakan spermatozoa akibat 

pembekuan terjadi karena peningkatan 

konsentrasi elektrolit, dehidrasi, dan terbentuknya 

kristalisasi es intraselular yang dapat 

mempengaruhi permiabilitas dinding sel sehingga 

spermatozoa kehilangan daya motilitasnya 

Waktu ekuilibrasi yang tepat dapat memicu 

gliserol yang berada di dalam diluter Tris kuning 

telur mencapai keseimbangan elektrolit intra dan 

ekstraseluler sehingga dapat melindungi 

terbentuknya kristalisasi pada spermatozoa dan 

kerusakan spermatozoa disaat proses pembekuan 

dapat dicegah ,Penurunan 

motilitas spermatozoa dapat terjadi karena sudah 

terbentuknya asam laktat sehingga menghasilkan 

motilitas progresif yang lebih rendah , Motilitas yang tinggi pada spermatozoa 

juga membutuhkan energi yang tinggi, yang 

dihasilkan dari metabolisme mitokondria 

sehingga menyebabkan tingginya tingkat reactive 

oxygen spesies (ROS) sehingga viabilitas 

spermatozoa akan menurun ,

Pengaruh waktu ekuilibrasi terhadap 

presentasi viabilitas dan membran plasma utuh 

spermatozoa kambing Sapera sesudah  diberi 

perlakuan menunjukan perbedaan nyata (p<0.05) 

antara, waktu ekuilibrasi 1 jam (P1), 3 jam (P2) , 

dan 4 jam (P3). Viabilitas dan membran plasma 

utuh spermatozoa tertinggi terdapat pada 

perlakuan P1 dengan waktu ekuilibrasi 1 jam. 

Waktu ekuilibrasi 1 jam pada temuan kami sudah 

terjadi keseimbangan elektrolit dengan gliserol 

secara baik dan merata di dalam spermatozoa 

sehingga kerusakan selama proses pembekuan 

dapat diminimalisir. Kerusakan pada membran 

plasma spermatozoa yang akan membuat 

viabilitas spermatozoa menjadi rendah dapat 

disebabkan efek waktu ekuilibrasi yang lama 

selain itu penurunan viabilitas 

spermatozoa dikarenakan perubahan biokimia 

karena kerusakan membran, osmotik dan cold 

shock yang berkaitan dengan Penurunan suhu dan 

durasi penyimpanan,

Penurunan persentase viabilitas spermatozoa 

disebakan oleh kondisi membran plasma yang 

telah rusak. Membran plasma spermatozoa 

berfungsi sebagai penjaga organel sel dan 

pengatur keseimbangan elektrolit dalam 

metabolisme , ROS memiliki peran yang 

penting dalam fosforilasi tirosin, oksidasi sterol, 

dan penembusan kolesterol dari membran plasma 

dalam proses kapasitasi spermatozoa dalam 

proses fertilisasi dan lemak dalam membran 

plasma spermatozoa kambing memiliki 

konsentrasi asam lemak tak jenuh yang lebih 

tinggi di bandingkan ruminansia lainya. Karena 

itu, dalam proses pendinginan, lemak dari 

membran plasma dapat rusak, yang 

mengakibatkan peroksidasi lipid. Pengamatan 

membran plasma utuh sangat penting karena 

spermatozoa yang memiliki membran plasma 

utuh akan dapat mempertahankan kehidupannya 

dan berhasil dalam proses pembuahan. Fungsi 

dari membran plasma yaitu  mengatur keluar 

masuknya zat-zat makanan, melindungi organel 

organel intraseluler secara fisik, serta menjaga 

keseimbangan elektrolit intra dan ektraseluler 

Abnormalitas spermatozoa merupakan 

penyimpangan bentuk morfologi dari struktur 

spermatozoa normal. Abnormalitas spermatozoa 

di bagi menjadi dua yaitu abnormalitas primer dan 

abnormalitas skunder. Abnormalitas primer 

merupakan kelainan spermatogenesis sejak 

berada di dalam tubulus seminifirus berupa 

kelainan yang meliputi ukuran kepala 

macrochepalic atau microchepalic, kepala 

pendek melebar, pipih memanjang, piriformis, 

kepala rangkap, ekor ganda, bagian tengah 

melipat, membengkok, membesar, ekor 

melingkar, putus dan terbelah,

Abnormalitas sekunder merupakan kelainan 

yang terjadi sesudah spermatozoa meninggalkan 

tubulus seminifirus selama perjalanan melalui 

epididimis, selama ejakulasi, manipulasi dan 

perlakuan lainyaPerbedaan presentasi 

abnormalitas spermatozoa pada setiap perlakuan 

dikarenakan dalam larutan diluter keseimbangan 

intraseluler dan ekstraseluler dengan spermatozoa 

tidak stabil karena adanya penurunan suhu pada 

saat ekuilibrasi ,perbedaan konsentrasi cairan 

intraseluler dengan ekstraseluler akan 

menimbulkan perubahan tekanan osmotik sel 

selama pembekuan, sehingga akan menyebabkan 

selubung lipoprotein pecah dan membran sel 

mengalami kerusakan. Kondisi tersebut dapat 

menyebabkan spermatozoa menjadi abnormal. 

Hasil temuan kami waktu ekuilibrasi terbaik 

didapat pada (P1) dengan perlakuan waktu 1 jam 

ekuilibrasi di lihat dari hasil kualitas spermatozoa 

berdasar  motilitas, viabilitas, dan membran 

plasma utuh. Abnormalitas spermatozoa kambing 

Sapera menggunakan tris kuning telur dengan 

waktu ekuilibrasi terbaik 1 dan 3 jam.