• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label pengolahan ikan 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengolahan ikan 3. Tampilkan semua postingan

pengolahan ikan 3

 




mencapai hal ini  maka ventilasi udara dalam tungku 

pengasapan harus hamper tertutup. Pada situasi ini  api 

akan membakar lambat dan asap akan melalui ruangan 

kemudian diencerkan dengan udara. Sebaliknya, bila ventilasi 

udara tertutup sepenuhnya, api membakar lebih kuat 

menyebabkan tingginya api di awal pengasapan. Jika suhu 

terlalu tinggi dengan aliran udara yang cepat menyebabkan 

pengerasan pada ikan. 

        Selain suhu, kelembaban ruang pengasapan juga 

memengaruhi mutu ikan asap. Tinggi rendahnya efisiensi 

proses pengeringan dipengaruhi oleh kelembaban udara 

sekelilingnya, bila udara dingin yang masuk ke dalam unit 

pengasapan dipanasi, maka beratnya akan manjadi lebih ringan 

daripada udara di luar, dan udara ini akan masuk atau naik 

dengan cepat ke unit pengasapan dan melintasi ikan-ikan di 

dalamnya. Bila kelembaban ruang pengasapan cukup rendah, 

cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap. Dengan 

demikian, selain proses pengasapan dapat berlangsung lebih 

cepat, aktivitas bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain 

yang sering menyebabkan proses pembusukan atau ketengikan 

dapat segera dihambat atau bahkan dibunuh. 

3. Suhu dan Waktu Pengasapan 

       Menurut Rasco (2009), metode pengasapan panas pada 

ikan memerlukan 2 proses berurutan yaitu pengasapan diikuti 

oleh pemasakan. Lama waktu pengasapan tergantung pada 

flavor dan kelembaban yang diinginkan. Pengasapan kurang 

lebih 2 jam pada suhu 90 

o

F (32,2 

o

C), kemudian panas 

ditingkatkan sampai 150 atau 160 

o

F ( 65,5 

o

C) dan dimasak 

selama 30 menit. Hal ini  dilakukan untuk menguapkan 

100 

 

uap air dalam ikan dan menghindari keretakan produk dan 

memperpanjang daya simpan. 

 

Gambar 5.1. Tipe Temperatur Ikan Selama Pengasapan 

Sumber: Rasco, 2009. 

4. Sirkulasi Udara Dalam Ruang Pengasapan 

         Adanya sirkulasi udara yang baik di dalam ruang 

pengasapan menjamin mutu ikan asap yang lebih sempurna. 

Sirkulasi udara yang baik akan menjaga suhu dan kelembaban 

ruang pengasapan tetap konstan selama proses pengasapan 

berlangsung. Selain itu, aliran asap akan berjalan dengan lancar 

dan kontinu, sehingga partikel asap yang menempel pada tubuh 

akan menjadi lebih banyak dan merata.  

         Jadi pada tahap pengasapan, kecepatan penguapan air 

tergantung pada kapasitas pengering udara dan asap juga 

kecepatan pengaliran asap. Pada tahap kedua, di mana 

permukaan ikan sudah agak kering, suhu ikan akan mendekati 

suhu udara dan asap. Kecepatan pengeringan akan menjadi 

lambat sebab  air harus merembes dahulu dari lapisan dalam 

101 

 

daging ikan,bila pengeringan mula-mula dilakukan pada suhu 

yang terlalu tinggi dan terlalu cepat, maka permukaan ikan 

akan menjadi keras dan akan menghambat penguapan air 

selanjutnya dari lapisan dalam,sehingga kemungkinan daging 

ikan bagian dalam tidak mengalami efek pengeringan. 

B.  Prosedur Pengasapan Ikan 

 Ada banyak jenis ikan yang biasa diasap, mulai dari 

ikan tawar hingga ikan laut, seperti ikan bandeng, tongkol, 

cakalang, tuna, cumi-cumi, teripang. Prinsip dasar 

pengolahannya tidak jauh berbeda, meskipun beberapa 

komoditas ikan asap memerlukan cara pengolahan dan 

pengasapan yang khas. 

Beberapa prosedur pengolahan hasil perikanan dengan 

pengasapan di negara kita  di antaranya yaitu  sebagai berikut: 

1.  Ikan Bandeng Asap 

Peralatan: Pisau, telenan, timbangan, bak dan keranjang  

plastik, lemari es. 

Bahan-bahan: ikan bandeng segar berukuran 2-3 ekor/kg, 

garam, es, arang,sabut dan   tempurung kelapa, kantong plastik 

polietilen. 

Cara Pengolahan (Margono dkk, 2000) 

       Ikan dicuci bersih untuk menghilangkan lumpur dan 

kotoran lainnya. Kemudian disiangi dengan cara membelah 

bagian bawah perut ikan hingga sampai ke dekat bagian anus. 

Isi perut dan lapisan hitam yang melekat pada dinding perut 

serta insangnya dibuang, lalu dilakukan pembilasan di bawah 

air kran yang mengalir. Ikan yang telah dicuci ditampung di 

dalam keranjang plastik dan dibiarkan beberapa saat untuk 

penirisan air cucian. Ikan dimasukkan ke dalam bak yang berisi 

larutan garam jenuh (30%) yang dibuat dengan melarutkan 3 

kg garam ke dalam 10 liter air. Perendaman dilakukan selama 

102 

 

30 menit. Setelah perendaman ikan dibilas dengan air tawar 

dan ditampung dalam kerakang plastik untuk ditiriskan. 

  Ikan disusun dan digantung di atas batang besi yang 

berbentuk pancing. Bagian perut ikan dibuka dengan 

menggunakan batangan lidi atau kayu sebagai pengganjal di 

antara rongga perut. Untuk mendapatkan aliran asap yang 

merata jarak antara ikan di atas batang besi dan juga jarak 

antara batang besi di dalam lemari asap jangan terlalu rapat. 

       Sementara itu, disiapkan lemari asap dengan membakar 

arang di dalamnya, kemudian ditambahkan sabut dan 

tempurung kelapa secukupnya sehingga dihasilkan asap yang 

cukup tebal. Ikan dimasukkan ke dalam lemari asap dan pintu 

lemari ditutup rapat. Pengasapan dilakukan dengan dua tahap, 

yaitu pertama dengan pengasapan dingin (suhu lemari asap 

diatur sekitar 55-60 

o

C) selama 4 jam dan dilanjutkan dengan 

pengasapan panas (suhu lemari asap  sekitar 75-80 

o

C ) selama 

2 jam. Setelah pengasapan, ikan disimpan dalam ruangan yang 

bersih dan dibiarkan hingga mencapai suhu ruang. Kemudian 

dikemas dalam kantong plastik polietilen untuk pemasaran. 

Komposisi kimia ikan bandeng asap:  

Air: 54-59 % 

Protein: 27- 40 % 

Lemak : 2,5 – 6,0 % 

Abu : 2,5 – 5,0 % 

  Komposisi kimia bandeng asap sangat tergantung pada 

ukuran ikan dan cara pengolahan, semakin besar ukuran ikan 

semakin tinggi kadar lemaknya dan lama serta cara pengasapan 

akan memengaruhi kadar airnya. Umur simpan bandeng asap 

pada suhu ruang sekitar 2-3 hari. Kerusakan umumnya ditandai 

oleh timbulnya lendir di permukaan yang diikuti dengan 

serangan kapang. Umur simpan ini dapat diperpanjang sampai 

7 hari jika disimpan pada suhu sekitar 10 

o

C, atau jika dikemas 

dengan hampa udara (vakum). 

  

103 

 

 

Gambar 5.2. Bandeng Asap 

2. Cumi-Cumi Asap dengan Bumbu  

 Spesifikasi bahan mentah (Purnomo dan Salasa, 2002) 

         Sebagian bahan mentah harus digunakan cumi-cumi 

yang mutunya segar dengan ukuran yang cukup besar dan 

tidak mengalami rusak fisik. Penanganan dan pengawetan 

bahan mentah ini  dapat dilakukan baik dengan cara 

pengesan dan peti insulasi atau dibekukan. 

 Prosedur pengolahan 

 1). Penyiangan 

  Setiap ekor cumi-cumi dipisahkan kepala, isi perut dan 

kantung tintanya,  tulang belakang dan sirip-siripnya. 

Setelah itu dicuci dengan air bersih. 

  2). Pembuangan kulit 

Pembuangan kulit dapat dilakukan dengan tangan atau 

dengan cara perendaman dalam air hangat. Cumi-cumi 

yang telah disiangi direndam dalam air panas dengan suhu 

40-45 

o

C sambil diaduk-aduk. Dalam air panas ini  

kulit/epidermis akan hancur sebab  adanya aksi enzimatis. 

Waktu yang diperlukan untuk pembuangan kulit dengan 

cara ini yaitu antara 10-20 menit. Sedangkan cumi-cumi 

yang kurang segar hanya membutuhkan waktu sekitar 10 

menit. 

 3). Perebusan 

Cumi-cumi yang telah dikuliti ini  kemudian dicuci 

dan selanjutnya direbus pada suhu 80 – 90 

o

C selama 2-3 

menit. Setelah itu diangkat dan ditiriskan. 

104 

 

 4). Pembumbuan tahap pertama 

Cumi-cumi yang telah direbus kemudian diberi bumbu 

dengan komposisi sbb: untuk setiap 3,75 kg cumi-cumi 

rebus diberi bumbu garam 750 g, gula 940 g dan penyedap 

rasa 3,7 g. Cara pembumbuan dilakukan dengan cara 

menyusun cumi-cumi lapis demi lapis dengan bumbu, di 

dalam wadah kedap air. Di atas lapisan cumi-cumi paling 

atas diletakkan pemberat dan dibiarkan beberapa saat 

untuk memberikan kesempatan bumbu masuk dalam 

daging. 

 5). Pengasapan 

Setelah dibumbu, cumi-cumi digantung dalam cabinet 

smoker. Pengasapan dilakukan selama 7-9 jam dengan 

suhu dinaikkan secara bertingkat mulai 50-60 

o

C dan 

diakhiri pada suhu 70-60 

o

C. 

 6). Pemotongan 

Cumi-cumi kemudian dipotong atau diiris secara 

melintang dengan tebal 1-2 mm, hingga terbentuk ceperti 

cincin (ring). 

 7). Pembumbuan tahap kedua 

Potongan cumi-cumi ini  selanjutnya dibumbui lagi 

dengan komposisi sbb: Untuk sejumlah cumi-cumi yang 

diperoleh dari proses di atas, kemudian diberi bumbu yang 

terdiri dari 375 g gula, 100-110 g garam, 3,7 g penyedap 

rasa dan 55 ml air. Cumi-cumi ini  kemudian 

dicampur dengan larutan bumbu di dalam wajan atau 

wadah lainnya dan sambil diaduk-aduk agar merata. 

 8). Pengeringan 

Cumi-cumi yang telah dibumbui dalam wajan, kemudian 

dikeringkan atau digongseng di atas api hingga kelihatan 

bumbu melekat kering di permukaan cumi-cumi. 

 9). Pengemasan 

Cumi-cumi yang telah dibumbui, dikemas dalam kantung 

plastik dengan berat tertentu. Selanjutnya, disterilisasi 

105 

 

dengan alat pengukus pada suhu 85-90 

o

C selama 30-60 

menit. Penyimpanan dapat dilakukan pada suhu ± 5

o

C. 

3.  Ikan Kayu 

Ikan kayu atau arabushi yaitu  salah satu komoditas 

ekspor perikanan negara kita , khususnya ke Jepang. Katsuobushi 

yaitu  suatu produk ikan asap kering yang unik dalam 

pembuatannya dan telah lama dikenal oleh bangsa Jepang serta 

digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. 

Katsuobushi/ikan kayu merupakan makanan awetan 

berbahan baku ikan cakalang yang dikenal juga sebagai ikan 

bonito (Katsuwonus pelamis). Katsuobushi diserut menjadi 

seperti serutan kayu untuk diambil kaldunya yang merupakan 

bahan dasar masakan Jepang, ditaburkan di atas makanan 

sebagai penyedap rasa, atau dimakan begitu saja sebagai teman 

makan nasi. Katsuobushi yang sudah diserut tipis, berwarna 

cokelat muda hingga merah jambu sedikit bening umumnya 

dijual dalam kemasan plastik. Katsuobushi sebagai penyedap 

makanan biasanya ditaburkan di atas tahu dingin (Hiyayako), 

Okonomiyaki dan Takoyaki. Katsuobushi yang sudah diserut 

sering disebut Kezuribushi dan di negara kita  dikenal sebagai 

ikan kayu. Pembuatan katsuobushi ini memanfaatkan sejenis 

kapang-kapangan di antaranya yakni Aspergillus tamarii,        

A. oryzae, A. tonophilus dan A. chevalieri. A. tonophilus dan   

A. chevalieri merupakan dua jenis kapang yang termasuk         

A. glaucus grup yang merupakan kapang yang bersifat xerofilik 

dan paling banyak digunakan untuk pembuatan katsuobushi. 

 

Tahap proses Kasuobushi ( Purnomo dan Salasa,  2002). 

Bahan Baku 

          Sebagai bahan mentah terutama digunakan ikan cakalang 

(Katsuwonus pelamis), tetapi dapat juga diolah dari jenis ikan 

lain seperti: tuna, bonito, tongkol, dan lain-lain. Untuk 

pengolahan harus digunakan ikan segar dan kadar lemaknya 

106 

 

antara 1-3 persen. Kedua faktor ini akan sangat memengaruhi 

mutu produk akhir, terutama dalam hal rasa dan aroma. 

 

Peralatan Pengolahan 

         Beberapa peralatan yang diperlukan dalam pengolahan 

ikan kayu (katsuobushi) antara lain: pisau, telenan, meja 

penyiangan, pisau serut untuk meratakan permukaan dari 

berbagai bentuk, pinset untuk mengambil duri-duri halus, 

wadah perebusan, tungku api perebusan, para-para penjemuran, 

rumah asap dan eak-rak pengasapan serta sumber bahan 

pengasap (kayu keras), boks untuk penjamuran atau ruang 

khusus untuk penjamuran,  Sumber air bersih untuk pencucian. 

 

Prosedur Pengolahan 

1). Penyediaan bahan mentah 

 Dalam pengolahan ini digunakan bahan mentah ikan. 

Ikan segar disortir menurut jenis, ukuran dan kesegarannya. 

Khususnya untuk bahan mentah beku, sebelumnya perlu 

dilelehkan (thawing) terlebih dahulu dalam bak-bak dengan 

air mengalir sampai titik pusat mencapai 0

o

C. 

2). Penyiangan  

  Kepala ikan dipotong, kemudian dinding perutnya 

dibelah hingga ke anus. Selanjutnya, isi perutnya 

dikeluarkan dan kemudian  difilet dalam bentuk loin, untuk 

ikan cakalang yang beratnya kurang dari 2,25 kg difilet 

menjadi 2 loin yang menjadi kamebushi. Sedangkan ikan 

yang beratnya lebih dari 2,25 kg/ekor difilet menjadi 4 loin 

untuk diolah menjadi honbushi, dipisahkan lagi menjadi dua 

macam loin, yaitu loin bagian punggung disebut malebushi 

dan loin bagian perut disebut femalebushi. 

3). Perebusan 

 Loin selanjutnya diatur/diletakkan di atas nampan 

perebus dan jangan sampai menempel satu dngan yang 

lainnya. Honbushi ditekan di atas nampan dengan bagian 

107 

 

daging (potongan) menghadap ke bawah (ke permukaan 

nampan). Sedangkan kamebushi diletakkan dengan bagian 

kulit menghadap ke bawah. Beberapa nampan yang telah 

diisi loin kemudian disusun/ditumpuk sedemikian rupa 

sehingga loin tidak tergencet (ruang fisik). Kemudian 

direbus dalam air selama 60-80 menit (untuk ikan berukuran 

besar) atau 40-50 menit untuk ikan berukuran kecil) pada 

suhu 80-85 

0

C (untuk ikan yang mutunya segar sekali atau 

90-95 

0

C (untuk ikan yang mutunya kurang segar). 

Perebusan pada suhu 100 

0

C dapat menyebabkan daging 

retak (terutama pada ikan yang segar sekali), dimana hal ini 

tidak dikehendaki dalam pembuatan ikan kayu. Sedangkan 

untuk perebusan, paling baik apabila digunakan air tawar. 

4). Pembuangan tulang-tulang kecil 

   Selesai perebusan, kemudian nampan bersama dengan 

loinnya diangkat dari bak perebusan. Selanjutnya, 

didinginkan pada suhu kamar atau di dalam air. Selama 

pendinginan ini, tulang-tulang kecil yang terdapat pada 

setiap loin diambil dengan bantuan pinset, sedangkan lemak 

yang terdapat pada permukaan daging harus dibersihkan 

dengan pencucian dengan hati-hati. Di samping itu, khusus 

untuk kamebushi dan femalebushi (honbushi) 2/3 bagian 

kulit dari kepala harus dihilangkan atau 1/3 bagian kulit dari 

ekor harus disisakan. Hal ini dimaksudkan agar bagian 

ujung ekor dari loin tidak melengkung selama proses 

pengeringan/pengasapan. 

5). Pengeringan dan pengasapan tahap pertama 

Loin yang sudah dibersihkan dari tulang dan lemak 

ini  kemudian diatur/diletakkan di atas rak pengasapan 

dengan bagian dagingnya menghadap ke bawah. Setelah itu, 

rak yang telah diisi loin ini kemudian dimasukkan ke dalam 

lemari/ruang pengasapan, di mana kapasitas dari lemari asap 

ini diisi 6 atau 7 rak sekaligus. Jarak dari rak terbawah 

sampai sumber api kira-kira 1,5-2 m. Sedangkan sebagai 

108 

 

sumber asap dapat digunakan sabut dan batok kelapa. 

Pengasapan dilakukan dan diteruskan sampai permukaan 

loin berwarna kekuningan atau cokelat kekuningan, bahwa 

dengan keadaan ini dianggap telah cukup untuk mencegah 

terjadinya pelendiran. Waktu yang diperlukan untuk 

pengeringan atau pengasapan ini yaitu  50-60 menit pada 

suhu sekitar 85 

0

C. Selama proses pengeringan atau 

pengasapan ini tray harus dipindah-pindahkan posisinya 

agar diperoleh kondisi pengasapan/pengeringan yang 

seragam untuk setiap loin. 

6). Penambalan 

        Setelah pengeringan/pengasapan tahap pertama, 

kemudian beberapa daging yang retak/pecah ditambal 

dengan pasta daging dari jenis ikan yang sama, dengan 

bantuan spatula  atau alat lainnya, agar nantinya permukaan 

produk benar-benar rata dan halus. Agar kondisi 

penambalan baik sekali, maka bagian yang ditambal dapat 

dibungkus dengan kertas tipis berkualitas tinggi (misalnya: 

kertas minyak) dan dibuka kembali setelah kondisi 

penambalan telah menjadi kuat sekali. 

7). Pengeringan/pengasapan tahap kedua 

  Pengeringan/pengasapan tahap kedua ini dilakukan 

pada suhu 80-85

 0

C selama 1 jam, dan setelah itu produk 

didinginkan pada suhu kamar sampai keesokan harinya. 

Selanjutnya, fillet dikeringkan/diasapi untuk ketiga kalinya 

dan kemudian didinginkan sampai keesokan harinya lagi. 

Pengeringan ini harus diulangi lagi kira-kira 7-15 kali 

sampai filet benar-benar menjadi keras. Untuk mendapatkan 

mutu dan rasa produk yang baik, maka suhu 

pengeringan/pengasapan harus diturunkan hingga sekitar 

77-80

0

C setelah hari ketiga. Produk asap kering yang 

diperoleh hingga tahap pengolahan ini disebut arabushi. 

 

 

109 

 

8). Pengeringan matahari tahap pertama 

  Filet asap kering yang diperoleh dari tahap pengolahan 

di atas, kemudian diatur di atas rak-rak dan selanjutnya 

dikeringkan dengan panas matahari. Untuk fillet bagian 

punggung pengeringan harus dilakukan sampai mencapai 60 

persen derajat pengeringan dan untuk fillet bagian perut 

harus dikeringkan sampai mencapai 40 persen derajat 

pengeringan. Dalam pengeringan ini pengaruh cahaya 

matahari yang kuat harus dihindari. 

9). Penyerutan/Pembentukan Produk 

   Filet yang telah dikeringkan selanjutnya dimasukkan 

ke dalam peti kayu 3-4 hari agar teksturnya menjadi agak 

lembek kembali. Setelah itu seluruh permukaan filet 

diserut/diratakan dengan pisau serut yang khusus sehingga 

diperoleh bentuk produk yang baik dan rapi serta halus 

permukaannya. Pekerjaan ini membutuhkan keterampilan 

dan sangat penting dalam menentukan mutu produk akhir. 

10). Pengeringan Matahari tahap kedua. 

           Filet yang diperoleh dari pekerjaan di atas kemudian  

masih dikeringkan lagi 2-3 kali untuk lebih menghilangkan 

sisa-sisa air yang ada. Pekerjaan pengeringan ini dilakukan 

sama seperti pada pengeringan di atas. 

11). Penjamuran 

         Filet yang telah kering kemudian dimasukkan ke 

dalam peti yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah 

filet yang akan diisikan. Filet diatur sejajar dan disusun 

saling bersilangan sampai ke atas dan kemudian ditutup 

rapat. Dengan penyususan demikian diharapkan sedikit 

sekali sisa udara. Setelah 7-8 hari dalam peti ini  pada 

suhu 30

 0

C, maka pada seluruh permukaan  filet ini  

akan tumbuh jamur. Jamur yang pertama tumbuh ini 

yaitu  jenis Penicillium sp. Agar seluruh permukaan dari 

setiap potongan filet ditumbuhi jamur dengan merata, 

maka posisi dari susunan fillet di dalam peti harus diubah-

110 

 

ubah dan proses penyimpanan atau penjamuran terus 

dilanjutkan pada suhu 25-30 

0

C dan kelembaban relatif 85-

90 persen. Setelah seluruh permukaan filet ditumbuhi 

jamur (biasanya setelah 4-5 hari ) kemudian filet 

dikeluarkan dari peti, dijemur selama 1 jam, yaitu mula-

mula di tempat yang rindang kemudian dipindahkan ke 

tempat yang langsung kena sinar matahari. Selanjutnya 

jamur dipisahkan dari filet dengan cara disikat, kemudian 

ditempatkan di dalam peti kayu yang lain untuk 

penjamuran tahap kedua. Pada penjamuran tahap kedua 

ini, jamur akan tumbuh setelah 12-13 hari. Proses yang 

sama seperti ini  di atas harus diulangi lagi 3 hingga 5 

kali. Sesuai dengan ulangan proses penjamuran ini , 

maka warna jamur akan berubah dari hijau kebiruan, hijau 

keabu-abuan sampai abu-abu. Produk yang telah djamuri 

atau ditumbuhi jamur seperti ini disebut honkarekabi. 

Apabila filet ditumbuhi jamur pengotor, filet harus 

disterilkan dengan pengeringan di panas matahari atau 

dengan sedikit pemanggangan. Sebaliknya apabila filet 

ini  dapat ditransplantasikan atau diinokulasikan jenis-

jenis jamur tertentu yang dianggap baik. Inokulasi ini 

dapat dilakukan dengan menyemprotkan air steril yang 

mengandung spora-spora jamur tertentu. Tujuan dari 

proses penjamuran ini yaitu  untuk menimbulkan cita rasa 

yang baik dari ikan kayu dari hasil penguraian protein dan 

lemak oleh enzim jamur. Di samping itu, jamur juga 

berfungsi mengontrol kandungan air dan lemak yang ada 

dalam produk ikan kayu. Jenis jamur utama yang paling 

baik digunakan dalam proses penjamuran ikan kayu 

yaitu : Aspergillus glaucus, A.glaucus variety minimus, 

A.gymnodardae, A. melleus, Penicillium glaucum. 

12). Penyimpanan 

   Selama penyimpanan, ikan kayu biasanya mudah 

terserang oleh serangga. Serangga ini  masuk ke 

111 

 

dalam ikan kayu dan kemudian membuat lubang. 

Kerusakan ini dapat berkembang lebih cepat apabila ikan 

kayu ini  disimpan pada suhu kamar. Untuk 

menghindari kerusakan ini , sebaiknya ikan kayu 

selama penyimpanan harus selalu dijemur atau disimpan 

pada suhu 0

o

C. 

Rendemen Pengolahan 

        Rendemen pengolahan ikan kayu sangat tergantung dari 

ukuran dan berat per ekor ikan yang digunakan sebagai bahan 

mentah, di samping itu, juga faktor lainnya seperti praktik 

penanganan selama pengolahan, keterampilan pengolahannya, 

dan lain-lain. Untuk ikan jenis cakalang yang berat perekornya 

berbeda-beda, sehingga dapat diperoleh rendemen ikan kayu 

(katsuobushi) sebagai berikut: 

 

Tabel 5.1 Rendemen Ikan Kayu 

                

Penilaian Mutu Ikan Kayu 

         Umumnya penilaian mutu ikan kayu dilakukan secara 

organoleptik, di samping beberapa hal yang perlu ditentukan 

secara objektif. Beberapa faktor yang perlu dinilai dalam 

menentukan mutu ikan kayu didasarkan pada: rupa, ukuran, 

warna, kecermelangan, aroma, cita rasa, kondisi jamur yang 

tumbuh di permukaan produk, kadar air, kondisi penambalan 

pada bagian daging yang retak, mutu lemak dan minyak, 

perkembangan dari kerusakan oleh serangga. 

 

 

    

 

C. Penyimpanan Ikan Asap 

        Menurut PP No.28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu 

dan gizi pangan, definisi penyimpanan pangan yaitu  proses, 

cara dan/atau kegiatan menyimpan pangan baik di sarana 

produksi maupun distribusi. Penyimpanan ikan asap penting 

Katsuobushi Arabushi 

Katsuobushi 

(flake) 

Serutan 

Katsuobu

shi 

113 

 

bertujuan untuk menekan perubahan rasa tetapi bukan untuk 

peningkatan pengawetan.  

         Kerusakan ikan asap umumnya diawali dari kesegaran 

ikan. Untuk penjualan komersial sebaiknya ikan asap divakum 

Jenis pengemasannya sesuai pertimbangan daya tahan ikan 

asap. Umumnya ikan berdaging putih lebih baik daripada ikan 

berlemak. Pada penyimpanan pendinginan refrigerator (< 2

o

jenis  ikan asap (daging putih) dapat awet sampai 8 hari dan 

ikan asap (daging berlemak) hanya tahan sekitar 6 hari. Untuk 

memperpanjang daya awetnya harus segera dibekukan pada 

suhu    (<-10

 o

C) setelah pengasapan (Price, 2005). 

1. Karakteristik Ikan Asap  

         Ikan asap yaitu  hasil pengawetan ikan secara tradisional 

yang pengerjaannya merupakan gabungan dari penggaraman 

(perendaman dalam air garam) dan pengasapan sehingga 

memberikan rasa khas. Pengasapan yaitu  salah satu cara 

pengawetan ikan yang dapat dilakukan dengan peralatan yang 

sederhana dan mudah didapat serta murah harganya. Ikan yang 

diolah dengan cara pengasapan dapat menjadi awet disebabkan 

oleh bebrapa faktor, diantaranya berkurangnya kadar air ikan 

sampel di bawah 40 persen, adanya senyawa-senyawa di dalam 

asam kayu yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme 

pembusuk, dan terjadinya koagulasi protein pada permukaan 

ikan yang mengakibatkan jaringan pengikat menjadi lebih kuat 

dan kompak sehingga tahan terhadap serangan 

mikroorganisme. Senyawa  antimikroba yang terdapat di dalam 

asap kayu misalnya berbagai macam aldehida,alcohol, 

keton,asam dan sebagainya. Pengasapan juga dapat 

memperbaiki penampakan ikan sebab  permukaan ikan 

menjadi mengkilat. 

Ikan asap yang bermutu baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 

1. Berwarna kuning keemasan atau kuning kecoklatan seperti  

tembaga, yang mengkilap. 

114 

 

2. Berbau segar, khas ikan asap. 

3. Dagingnya keras atau kenyal. 

4. Kulitnya kencang 

5. Bau atau aroma yang khas ikan asap (bau asap yang sedap    

dan merangsang selera). 

 Ikan asap yang mutunya rendah  menunjukkan ciri-ciri sebagai 

berikut:  

1. Dagingnya lembek 

2. Kulit kusam, rusak, berlendir, atau berkapang. 

3. Berbau tidak segar (menyimpang). 

4. Terdapat kristal garam, darah, noda-noda hitam atau kotoran 

lainnya. 

         

2. Kerusakan Ikan asap Selama Penyimpanan 

          Kerusakan ikan asap terutama disebabkan oleh 

pertumbuhan mikroba sebab  kondisi penyimpanan yang tidak 

tepat. Kerusakan ini tidak selalu menyebabkan keracunan 

pangan. Jika yang tumbuh yaitu  mikroba pembusuk, maka 

akibat yang ditimbulkan yaitu  kerusakan produk yang 

membuat produk tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Tetapi, 

penting dipahami bahwa beberapa kondisi penyimpanan yang 

menyebabkan pertumbuhan mikroba pembusuk juga dapat 

menyebabkan tumbuhnya mikroba patogen penyebab 

keracunan pangan.  

 

 

        Beberapa kerusakan ikan asap yaitu  sebagai berikut:  

1. Pembentukan bau asam 

Bau asam timbul sebab  terjadinya pertumbuhan bakteri asam 

laktat (BAL) pada ikan asap, selama proses pengasapan atau 

selama penyimpanan. Pertumbuhan BAL relatif lambat dan 

menghasilkan asam organik yang merusak bau dan flavor 

produk ikan asap.  

115 

 

2. Pembentukan spot-spot berwarna putih atau warna lain di   

permukaan ikan.  

Penyebab: terjadinya pertumbuhan kapang permukaan yang 

bersifat halofilik (tahan konsentrasi garam tinggi).  

3.Pembentukan lendir  Diproduksi oleh beberapa     

Micrococcus spp.dan bakteri lainnya yang memproduksi 

lendir dipermukaan ikan asap.  

4. Pembentukan gas 

Penyebab: pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang 

memproduksi gas  

5. Pembentukan flavor tengik . Terutama pada ikan asap 

berkadar lemak tinggi. Garam meningkatkan reaksi oksidasi 

lemak selama penyimpanan dengan waktu yang lama sehingga 

terbentuk flavor tengik. 

     Adakalanya penyakit dapat berasosiasi dengan ikan asap 

sebab  kesalahan penanganan atau prosesing yang 

menyebabkan resiko kesehatan.Produk ikan asap dipahami 

oleh masyarakat tahan terhadap perubahan temperatur dan 

dimakan tanpa pemasakan. Kerusakan tidak jelas terlihat 

sebab  kilauan dan warna ikan asap dan dikemas. Pengolah 

seringkali menggunakan ikan , air garan kualitas  rendah dan 

pewarna yang menyebabkan produk tidak sehat. 

     Ada tiga  penyakit yang tidak layak disebabkan aktivitas 

bakteri  pada pengolahan ikan asap yaitu : listeriosis, keracunan 

scombroid dan botulism. 

 

 

1. Listeriosis 

        Bakteri Listeria monocytogenes umumnya terdapat di 

tanah dan air menyebabkan listeriosis. Gejala penyakit diawali 

dengan demam flu sampai kematian pada individu yang rentan 

pangan setengah masak. Bakteri ini dapat bertahan dan tumbuh 

untuk waktu lama bila temperatur serendah -1

0

C dalam 

kemasan vakum. Jumlah minum bakteri penyebab penyakit 

116 

 

belum diketahui. Regulasi di Amerika Utara dan Negara Uni 

Eropa bahwa tidak ada (negatif) L.monocytogenes yang hadir 

dalam 25 g sampel ikan asap. 

2. Keracunan Scombroid (Kontaminasi Histamin) 

        Keracunan scombroid yaitu   mendapat perhatian khusus 

pada spesies ikan yang mengandung asam amino histidin 

tinggi. Pada permukaan ikan ini ditemukan beberapa spesies 

bakteri yang mampu mengeluarkan enzim dekarboksilase 

untuk mengurai asam amino histidin menjadi histamin. 

Tingginya histamin menyebabkan keracunan mirip pada reaksi 

alergi; logam atau rasa pedas, wajah membengkak,  sakit 

kepala, mual dan muntah. Untuk mengurangi kandungan 

histamin, ikan segera didinginkan setelah penangkapan. FDA 

mensyaratkan kandungan histamin tidak lebih 50 ppm dan  Uni 

Eropa 100 ppm. 

3. Botulism 

          Botlism disebabkan oleh kelompok bakteri Clostridium 

botulinum, umumnya ditemukan di sedimen air tawar dan 

mulut beberap ikan. Strain yang menghasilkan toksin yaitu tipe 

A, B,E dan F. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 3

o

C - 45

 o

dan tahan panas. Hal ini penting ikan asap. Suhu harus 

dinaikkan untuk membunuh bakteri dan spora. Toksin ini 

hancur bila dipanaskan sampai (> 80

 o

C) selama 10 menit. Sifat 

bakteri ini anaerobic sehingga menjadi perhatian bila produk 

dikemas fakum, di mana pembusukan dapat meningkat 

desebabkan bakteri ini. 

         Penanganan yang baik diperlukan menghindari 

kontaminasi bakteri patogen seperti Escherichia coli, 

Staphylococcus aureus, Salmonella, Clostridium perfringens, 

Bacillua cereus, Vibrio parahaemoliticus, dan Vibrio cholera. 

Bakteri patogen ini  bukan spesifik untuk ikan asap tetapi 

merupakan standar bagi kondisi sanitasi pangan yang aman 

dikonsumsi. 

117 

 

3. Memperlambat Kerusakan Ikan Asap Selama 

Penyimpanan 

          Tujuan penyimpanan yaitu  untuk memperpanjang daya 

awet sebelum dikonsumsi. Pada penyimpanan yang salah 

sering terjadi kerusakan pada ikan asap. Beberapa teknik untuk 

mengurangi kerusakan ikan asap selama penyimpanan dapat 

dilakukan dengan menurunkan suhu, pengemasan vakum, 

sterilisasi dan  iradiasi. 

a.  Menurunkan Suhu 

        Ada dua pengaruh pendinginan terhadap pangan yaitu: 

1. Menurunkan suhu akan mengakibatkan penurunan proses 

kimia, mikrobiologi dan biokimia yang berhubungan dengan  

kelayuan (senescene), kerusakan (decay), pembusukan dan 

lain-lain. 

2. Pada suhu di bawah 0

o

C air akan membeku dan terpisah dari 

larutan membentuk es, yang mirip dalam hal air yang 

diuapkan pada pengeringan arau suatu penurunan aw. 

        Pembekuan dapat memengaruhi jaringan dan 

mikroorganisme. Pada pembekuan lambat akan merusak 

jaringan daging ikan, sebaliknya pada pembekuan cepat tidak 

akan merusak jaringan. Penyimpanan pangan pada suhu sekitar 

-18

o

C dan di bawahnya akan mencegah kerusakan 

mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu 

yang besar.  

 

        Beberapa teknik pembekuan antara lain: 

1. Penggunaan udara dingin yang ditiupkan atau gas dengan 

suhu rendah kontak langsung dengan pangan, misalnya 

dengan alat pembeku tiup (blast), terowongan (tunnel), 

bangku fluidasi (fluidized bed), spiral, tali (belt) dan lain-

lain. 

2. Kontak tidak langsung misalnya alat pembeku lempeng 

(plate-freezer) di mana pangan atau yang telah dikemas 

118 

 

kontak dengan permukaan logam (lempengan, silindris) 

yang telah didinginkan dengan menyirkulasikan cairan 

pendingin (alat pembeku berlempeng banyak.). 

3. Perendaman langsung pangan ke dalam cairan pendingin, 

atau menyemprotkan cairan pendingin di atas pangan 

(misalnya nitrogen cair dan Freon, larutan gula atau garam). 

        Untuk konsumsi beberapa hari, Ikan asap dapat 

didinginkan,suhu dipertahankan di bawah 3

o

C pada seluruh 

distribusi, penyimpanan ritel dan konsumen. Untuk periode 

lebih lama, iakan asap harus dibekukan dan tetap beku selama 

distribusi, penyimpanan dan penjualan ritel 

 

Tabel 5.2 Daya Awet Penyimpanan Ikan Asap 

Penyimpanan(

o

C) Daya awet 

28-32 (suhu ruang) 

5-10 (pendinginan) 

0-4 ( pembekuan) 

-10 sampai -18 (pembekuan) 

2-3 hari 

2 minggu 

3-6 bulan 

13 bulan 

Sumber: Anonimous, 2010 

b. Pengemasan Vakum  

          Kemasan pangan yaitu  bahan yang digunakan untuk 

mewadahi dan/atau membungkus pangan, baik yang 

bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak langsung. 

         Faktor penyebab kerusakan pangan dapat dibagi dua 

golongan yaitu: pertama, kerusakan secara alami sudah ada 

dalam produk dan tidak dapat dicegah hanya dengan 

pengemasan saja; kedua  kerusakan yang tergantung dari 

lingkungan sekitar dan mungkin dapat dikendalikan hampir 

semuanya oleh pengemasan. Golongan pertama termasuk 

perubahan fisik sebab  suhu, seperti pelunakan coklat atau 

pemecahan emulsi. Perubahan biokimia dan kimia sebab  

mikroorganisme atau sebab  interaksi antara berbagai 

119 

 

komponen dalam produk. Golongan kedua, faktor yang 

membawa ke pembusukan bahan pangan meliputi empat hal: 

1. Kerusakan secara mekanis 

2. Perubahan kadar air bahan pangan 

3. Penyerapan dari dan interaksi dengan oksigen 

4. Hilang atau bertambahnya citarasa. 

         Kemasan vakum atau pengemasan hampa udara yaitu  

metode penyimpanan dan penyajian suatu produk yang 

ditujukan untuk dijual atau untuk penyimpanan dalam waktu 

yang lebih lama. Tepatnya jenis pangan disimpan dalam 

lingkungan yang biasanya dalam kemasan kedap udara atau 

botol untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Kemasan 

vakum dapat mengurangi oksigen sebab  kehadiran oksigen 

dapat dimanfaatkan oleh aktivitas bakteri pembusuk. Vakum 

dapat memperpanjang umur simpan produk dengan 

menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk yang bersifat 

aerobik. vakum didasarkan pada prinsip pengeluaran udara dari 

kemasan sehingga tidak ada udara dalam kemasan yang dapat 

menyebabkan produk yang dikemas menjadi rusak. 

Mekanismenya kemasan yang telah berisi bahan dikosongkan 

udaranya, ditutup dan direkatkan. Dengan ketiadaan udara 

dalam kemasan, maka kerusakan akibat oksidasi dapat 

dihilangkan sehingga kesegaran produk yang dikemas akan 

lebih bertahan 3 – 5 kali lebih lama daripada produk yang 

dikemas dengan pengemasan nonvakum (Harlow, 1987). 

        Penggunakan kemasan vakum untuk ikan asap sangat 

penting mengingat perhatian keselamatan pada produk ini 

yaitu  pada potensi meningkatnya pembentukan toksin 

C.botulinum. Toksin C.botulinum dapat menyebabkan penyakit 

dan kematian. Pembentukan toksin disebabkan oleh kesalahan  

dari waktu atau suhu selama pengolahan, penyimpanan dan 

distribusi. 

        Hasil penelitan Fitriah, dkk (2003) bahwa ikan asap yang 

disimpan selama 20 hari pada suhu 5°C dari segi organoleptik 

120 

 

dan kandungan histaminnya masih aman untuk dikonsumsi 

terutama untuk penyimpanan vakum. Hasil penelitian Heruwati 

dan Fredrlik(1995), menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan 

kemasan vacum dan penyimpanan suhu rendah (4

o

C) 

memberikan nilai karakteristik kimia, mikrobiologi dan 

organoleptik yang lebih baik selama penyimpanan bila 

dibandingkan dengan perlakuan lain, dan belum ditolak panelis 

pada hari terakhir pengamatan (hari ke 20). Sebaliknya, ikan 

tongkol asap yang dikemas non vakum dan disimpan pada suhu 

kamar (27-28 

o

C) telah ditolak panelis pada. hari ke 8, 

sedangkan yang dikemas vakum tetapi disimpan pada suhu 

kamar dapat bertahan hingga 20 hari penyimpanan. 

        Ikan asap yang divakum daya simpannya bervariasi, 

apabila kemasan vakum telah dibuka ikan asap harus 

dikonsumsi dalam waktu 7 hari. Jika kemasannya tidak dibuka, 

ikan asap dapat awet selama 14 hari pada suhu ruang. 

 

 

  

 

c.  Sterilisasi 

         Proses pengawetan ikan asap dapat dilakukan 

menggunakan panas untuk mengurangi aktivitas biologis dan 

kimiawi agar bahan pangan aman dikonsumsi dan lebih awet. 

Hal itu dapat diwujudkan dengan metode sterilisasi komersial, 

yaitu suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan 

dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang 

cukup lama sehingga tidak ada lagi terdapat mikroorganisme 

hidup. Pengertian sterilisasi komersial  ini menunjukkan bahwa 

bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin 

masih mengandung spora bakteri (terutama bakteri non 

patogen), namun setelah proses pemanasan ini  spora 

bakteri non patogen ini  bersifat dorman (tidak dalam 

kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak 

membahayakan kalau produk ini  disimpan pada kondisi 

normal. Oleh sebab itu, produk pangan yang telah mengalami 

setrilisasi komersial akan memiliki  daya awet yang tinggi, 

yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sterilisasi 

komersial menurut FDA atau stabilitas penyimpanan menurut 

USDA yaitu  kondisi bebas dari mikroba yang dapat 

122 

 

berkembang baik dalam makanan pada kondisi penyi,panan 

atau distribusi yang normal tanpa banduan pendingin. 

        Prinsip dari sterilisasi yaitu  sebagian besar bakteri dapat 

dibunuh pada suhu 82-94

o

C, tetapi banyak spora bakteri tidak 

akan musnah pada suhu air mendidih (100

o

C) selama 30 menit. 

Agar mikroba serta sporanya dapat dihancurkan setara total, 

diperlukan pemanasan pada suhu yang tinggi, misalnya 121

o

selama 15 menit atau lebih. Hal ini biasanya dilakukan dengan 

menggunakan uap air bertekanan seperti autoklaf (Muchtadi, 

1995). 

         Jenis sterilisasi ikan asap dapat dilakukan dalam kemasan 

kaleng, botol dan kantong retort. Daya simpan ikan asap yang 

telah disterilkan dapat disimpan dalam suhu ruang selama 6 

tahun 

 

d. Iradiasi 

         Iradiasi pangan yaitu  metode penyinaran terhadap 

pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun 

akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan 

kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen. 

Aplikasi teknologi Iradiasi juga dapat dimanfaatkan dalam 

proses industri makanan, yaitu untuk pengawetan makanan siap 

saji maupun makanan olahan/segar. Hal ini berguna untuk 

mempertahankan kualitas dan meningkatkan keamanan, mutu, 

dan daya simpan bahan pangan. Radiasi ionisasi seperti sinar 

gamma, sinar x, ultra violet dan elektron yang dipercepat 

(accelerated electron) memiliki cukup energi untuk 

menyebabkan ionisasi. Pangan diiradiasi dengan berbagai 

tujuan: menghambat pertunasan (sprouting, misalnya pada 

kentang), membunuh parasit Trichinia (daging babi), 

mengontrol serangga dan meningkatkan umur simpan (sayur 

dan buah), sterilisasi (rempah), mengurangi bakteri patogen 

(daging). 

         Iradiasi merupakan proses „dingin‟ (tidak melibatkan 

panas) sehingga hanya menyebabkan sedikit perubahan 

penampakan secara fisik dan tidak menyebabkan perubahan 

124 

 

warna dan tekstur bahan pangan yang diiradiasi. Perubahan 

kimia yg mungkin terjadi yaitu  penyimpangan flavor dan 

pelunakan jaringan. Selama proses iradiasi, produk pangan 

menyerap radiasi. Radiasi akan memecah ikatan kimia pada 

DNA dari mikroba atau serangga kontaminan. Organisme 

kontaminan tidak mampu memperbaiki DNAnya yang rusak 

sehingga pertumbuhannya akan terhambat. Pada iradiasi 

pangan, dosis iradiasi tidak cukup besar untuk menyebabkan 

pangan menjadi radioaktif. Walaupun begitu, proses iradiasi 

sendiri masih menghasilkan kontroversi, baik di dalam maupun 

di luar negeri. 

      Aplikasi teknologi Iradiasi guna mempertahankan kualitas 

dan meningkatkan keamanan bahan pangan tanpa menurunkan 

nilai gizi dan cita rasa sehingga dapat dikonsumsi masyarakat. 

Makanan yang diawetkan dengan Iradiasi ini mampu bertahan 

selama 6 bulan dalam keadaan tertutup rapat. sebab nya, 

makanan ini bisa diberikan pada pasien yang rentan infeksi 

(mis. Penderita HIV Aids), personil TNI yang bertugas di 

tempat terpencil, para lanjut usia dengan kekebalan tubuh 

lemah, jemaah haji, dan juga diberikan pada korban bencana 

alam. 

        Pada prinsipnya, iradiasi peng-ion pada bahan pangan 

dapat dimanfaatkan untuk tiga tujuan yang berbeda yaitu 

pertama fitosanitasi dan pengawetan pada buah, sayuran, dan 

rimpang segar; kedua sanitasi yaitu pemanfaatan iradiasi 

sebagai proses non termal yang setara dengan pasteurisasi 

panas pada daging dan unggas, produk perikanan yang 

dibekukan, dan pangan olahan; dan ketiga sterilisasi komersial 

khususnya untuk penyediaan pangan darurat berkualitas dan 

dapat disimpan pada suhu kamar dalam jangka panjang 

(Irawati, 2010). 

        Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk 

pengawetan makanan yaitu  : sinar gamma yang dipancarkan 

oleh radio nuklida 

60

Co (kobalt-60) dan 

137

Cs (caesium-37) dan 

125 

 

berkas elektron yang terdiri dari partikel-pertikel bermuatan 

listrik.  Kedua jenis radiasi pengion ini memiliki pengaruh 

yang sama terhadap makanan. Menurut Hermana (1991), dosis 

radiasi yaitu  jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam 

bahan pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi 

pangan.  Seringkali untuk tiap jenis pangan diperlukan dosis 

khusus untuk memperoleh hasil yang diinginkan.  Kalau 

jumlah radiasi yang digunakan kurang dari dosis yang 

diperlukan, efek yang diinginkan tidak akan tercapai.  

Sebaliknya jika dosis berlebihan, pangan mungkin akan rusak 

sehingga tidak dapat diterima konsumen. 

 

       Hasil penelitian Rosa dan Bazon (1989) pada ikan salmon 

asap dengan ionisasi dosis rendah (1,5 dan 3,0 kGy) tidak ada 

kontaminasi bakteri selama periode penyimpanan 11 minggu. 

        Di negara kita  ada perusahaan ikan bandeng asap  yang 

meminta disterilisasi dengan radiasi isotop oleh Pusat Aplikasi 

Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional 

(PATIR BATAN) supaya ikan bandengnya bebas jamur dan 

kapang sehingga tahan lama tanpa pengawet (

 

 

 

PROSPEK PENGASAPAN IKAN DI negara kita  

 

negara kita  merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah 

perairan laut yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2, 

sedangkan luas wilayah daratan negara kita  hanya kurang lebih 

sekitar 1,8 juta km. Perairan laut negara kita  memiliki potensi 

sektor perikanan yang tersebar hampir di semua perairan 

negara kita . Walaupun konsumsi ikan nasional saat ini belum 

mencapai standar yang ditetapkan FAO, tetapi konsumsi ini 

diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini 

akibat peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang nilai 

gizi bagi kesehatan dan kecerdasan. Pemanfaatan sumberdaya 

ikan tidak akan menghasilkan manfaat serta nilai ekonomis 

yang tinggi, apabila tidak diikuti dengan kegiatan usaha 

pengolahan dan pemasaran yang baik. Proses pengolahan ikan 

dapat dilakukan dengan cara; penggaraman, pengeringan, 

pemindangan, pengasapan, fermentasi, pengolahan dengan 

suhu rendah, pengolahan dengan suhu tinggi dan pengolahan 

hasil sampingan. Ikan asap merupakan cara pengawetan ikan 

dengan menggunakan asap yang berasal dari pembakaran kayu 

atau bahan organik lainnya. Ikan asap yaitu  komoditas bisnis 

yang cukup menjanjikan apabila diolah dan dibumbui dengan 

cita rasa yang baik. Pengembangan produk ikan asap 

memiliki  prospek yang cukup bagus di masa mendatang, 

khususnya untuk komoditi ekspor. Mengingat bahwa di 

beberapa negara maju, tingkat konsumsi produk ikan asap 


cukup bagus. Oleh sebab  itu, upaya meningkatkan produksi 

dan kualitas bagi ikan asap di negara kita  perlu untuk dilakukan. 

Ikan asap ini memiliki nilai gizi tinggi, tahan lama dan produk 

akhir yang siap untuk dimakan artinya tanpa diolah lagi sudah 

dapat dikonsumsi. 

         Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, 230 

juta orang, prospek pasar domestik untuk ikan dan produk perikanan 

di negara kita  diyakini bakal semakin cerah. Secara potensial, 

prospek pasar ikan dan produk perikanan negara kita  sangat 

menjanjikan, sebab  tiga alasan.  Pertama, bahwa seiiring 

dengan terus bertambahya jumlah penduduk negara kita  maupun 

dunia dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan nilai gizi 

ikan dan produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan 

manusia, maka permintaan (demand) terhadap ikan dan produk 

perikanan bakal terus bertambah.  

Konsumsi ikan penduduk dunia meningkat dari 9 kg per kapita 

pada 1961 menjadi 16,5 kg/kapita pada 2003 (FAO, 2007).  

Demikian juga halnya di negara kita , yang pada 1998 baru 

mencapai 18 kg/kapita, kini sudah sebesar 28 kg/kapita.  

Jika rekomendasi Perhimpunan Ahli Gizi negara kita  terpenuhi, 

yakni konsumsi ikan penduduk negara kita  rata-rata 30 

kg/kapita, maka pada 2010 total kebutuhan ikan nasional (pasar 

domestik) sebesar 250 juta orang dikalikan 30 kg/orang, yaitu 

7,5 juta ton.  Belum lagi kebutuhan ikan dan produk perikanan 

untuk ekspor, dan untuk industri tepung ikan dan minyak ikan.  

Padahal, total produksi ikan dari penangkapan di laut yang 

maksimum diizinkan sekitar 5,2 juta/tahun (80% dari 6,4 juta 

ton/tahun, potensi lestari) dan dari penangkapan ikan di 

perairan umum sekitar 0,5 juta ton/tahun.   

Bayangkan pada 2040, ketika total penduduk negara kita  

diperkirakan mencapai 500 juta (BPS, 2006), berarti kebutuhan 

ikan nasional untuk konsumsi saja mencapai 15 juta ton.  Dan, 

penduduk dunia yang saat itu sekitar 8 miliar (PBB, 2003) akan 

memerlukan ikan untuk konsumsi saja, sebesar 132 juta ton. 

128 

 

Dengan kata lain, kita mesti meningkatkan produksi 

aquaculture, yang saat ini baru mencapai sekitar 2 juta 

ton/tahun atau 3% dari total potensi produksi aquaculture 

nasional, sekitar 57 juta ton/tahun.   

          Kedua, dengan semakin menciutnya padang 

penggembalaan dan menurunnya produksi pakan ternak, maka 

pasok protein hewani yang berasal dari sapi, babi, ayam, dan 

ternak lainnya diperkirakan bakal menurun. Ini hanya dapat 

dikompensasi oleh protein hewani dari ikan dan produk 

perikanan.   

          Meskipun prospek pasarnya begitu cerah, namun 

kenyataannya kinerja ekspor perikanan negara kita  masih jauh 

dari harapan kita bersama.  Seperti sudah diungkap di atas, 

nilai ekspor perikanan lebih rendah ketimbang Thailand, 

bahkan kalah oleh Vietnam.  

 Untuk dapat memanfaatkan peluang pasar ikan dan 

produk perikanan yang demikian besar, baik di pasar domestik 

maupun global, sekali lagi kita harus membangun perikanan 

Nusantara ini dengan menerapkan pendekatan bisnis terpadu, 

ada benang merah yang sinergis antara subsistem produksi, 

penanganan dan pengolahan, serta pemasaran. Selanjutnya, 

kunci yang menentukan daya saing produk perikanan yaitu : 

(1) kualitas dan keamanan produk, (2) harga yang bersaing 

(relatif murah), dan (3) kehandalan (reliability) pasokan 

(supply). 

Program peningkatan kesadaran publik (produsen, 

pedagang perantara, konsumen, dan lainnya) tentang arti 

penting mutu dan kemanan ikan dan produk perikanan juga 

mesti terus digalakkan sehingga sinergis antar seluruh 

stakeholders perikanan menjadi kunci keberhasilan 

pembangunan perikanan nasional, terutama yang bertalian 

dengan aspek penanganan dan pengolahan serta pemasaran 

hasil perikanan. 

129 

 

Ikan asap merupakan produk olahan yang siap untuk 

dikonsumsi, artinya tanpa dilakukan pengolahan atau 

pemasakan ikan asap sudah siap untuk disantap, sebab  selama 

proses pengasapan ikan telah mendapat perlakuan panas yang 

cukup untuk memasak daging ikan dan sekaligus membunuh 

sebahagian besar bakteri yang terdapat pada ikan. Selain itu 

pengasapan juga menghasilkan efek pengawetan yang berasal 

dan beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, 

khususnva senyawa-senyawa aldehid, keton, dan berbagai 

asam-asam organik, dan pengasapan menghasilkan rasa serta 

flavor ikan asap yang spesifik. Namun dibandingkan dengan 

hasil pengolahan atau pengawetan ikan dengan cara tradisional 

lainnya seperti cara penggaraman, pemindangan dan 

fermentasi, ikan asap kurang begitu populer. Kemungkinan hal 

ini disebabkan masyarakat konsumennya masih terbatas.  

  Salah satu produk pengasapan yang memiliki  prospek 

untuk disebarluaskan yaitu  bandeng asap. Sebagaimana 

diketahui bahwa ikan bandeng merupakan ikan hasil budidaya 

tambak yang sudah lama dikembangkan dan cukup luas dikenal 

di seiuruh wilayah negara kita . Selama ini bandeng asap hanya 

dikenal di daerah Sidoarjo dan sekitarnya dan tidak jarang 

pembeli membawanya sebagai oleh-oleh.