mencapai hal ini maka ventilasi udara dalam tungku
pengasapan harus hamper tertutup. Pada situasi ini api
akan membakar lambat dan asap akan melalui ruangan
kemudian diencerkan dengan udara. Sebaliknya, bila ventilasi
udara tertutup sepenuhnya, api membakar lebih kuat
menyebabkan tingginya api di awal pengasapan. Jika suhu
terlalu tinggi dengan aliran udara yang cepat menyebabkan
pengerasan pada ikan.
Selain suhu, kelembaban ruang pengasapan juga
memengaruhi mutu ikan asap. Tinggi rendahnya efisiensi
proses pengeringan dipengaruhi oleh kelembaban udara
sekelilingnya, bila udara dingin yang masuk ke dalam unit
pengasapan dipanasi, maka beratnya akan manjadi lebih ringan
daripada udara di luar, dan udara ini akan masuk atau naik
dengan cepat ke unit pengasapan dan melintasi ikan-ikan di
dalamnya. Bila kelembaban ruang pengasapan cukup rendah,
cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap. Dengan
demikian, selain proses pengasapan dapat berlangsung lebih
cepat, aktivitas bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain
yang sering menyebabkan proses pembusukan atau ketengikan
dapat segera dihambat atau bahkan dibunuh.
3. Suhu dan Waktu Pengasapan
Menurut Rasco (2009), metode pengasapan panas pada
ikan memerlukan 2 proses berurutan yaitu pengasapan diikuti
oleh pemasakan. Lama waktu pengasapan tergantung pada
flavor dan kelembaban yang diinginkan. Pengasapan kurang
lebih 2 jam pada suhu 90
o
F (32,2
o
C), kemudian panas
ditingkatkan sampai 150 atau 160
o
F ( 65,5
o
C) dan dimasak
selama 30 menit. Hal ini dilakukan untuk menguapkan
100
uap air dalam ikan dan menghindari keretakan produk dan
memperpanjang daya simpan.
Gambar 5.1. Tipe Temperatur Ikan Selama Pengasapan
Sumber: Rasco, 2009.
4. Sirkulasi Udara Dalam Ruang Pengasapan
Adanya sirkulasi udara yang baik di dalam ruang
pengasapan menjamin mutu ikan asap yang lebih sempurna.
Sirkulasi udara yang baik akan menjaga suhu dan kelembaban
ruang pengasapan tetap konstan selama proses pengasapan
berlangsung. Selain itu, aliran asap akan berjalan dengan lancar
dan kontinu, sehingga partikel asap yang menempel pada tubuh
akan menjadi lebih banyak dan merata.
Jadi pada tahap pengasapan, kecepatan penguapan air
tergantung pada kapasitas pengering udara dan asap juga
kecepatan pengaliran asap. Pada tahap kedua, di mana
permukaan ikan sudah agak kering, suhu ikan akan mendekati
suhu udara dan asap. Kecepatan pengeringan akan menjadi
lambat sebab air harus merembes dahulu dari lapisan dalam
101
daging ikan,bila pengeringan mula-mula dilakukan pada suhu
yang terlalu tinggi dan terlalu cepat, maka permukaan ikan
akan menjadi keras dan akan menghambat penguapan air
selanjutnya dari lapisan dalam,sehingga kemungkinan daging
ikan bagian dalam tidak mengalami efek pengeringan.
B. Prosedur Pengasapan Ikan
Ada banyak jenis ikan yang biasa diasap, mulai dari
ikan tawar hingga ikan laut, seperti ikan bandeng, tongkol,
cakalang, tuna, cumi-cumi, teripang. Prinsip dasar
pengolahannya tidak jauh berbeda, meskipun beberapa
komoditas ikan asap memerlukan cara pengolahan dan
pengasapan yang khas.
Beberapa prosedur pengolahan hasil perikanan dengan
pengasapan di negara kita di antaranya yaitu sebagai berikut:
1. Ikan Bandeng Asap
Peralatan: Pisau, telenan, timbangan, bak dan keranjang
plastik, lemari es.
Bahan-bahan: ikan bandeng segar berukuran 2-3 ekor/kg,
garam, es, arang,sabut dan tempurung kelapa, kantong plastik
polietilen.
Cara Pengolahan (Margono dkk, 2000)
Ikan dicuci bersih untuk menghilangkan lumpur dan
kotoran lainnya. Kemudian disiangi dengan cara membelah
bagian bawah perut ikan hingga sampai ke dekat bagian anus.
Isi perut dan lapisan hitam yang melekat pada dinding perut
serta insangnya dibuang, lalu dilakukan pembilasan di bawah
air kran yang mengalir. Ikan yang telah dicuci ditampung di
dalam keranjang plastik dan dibiarkan beberapa saat untuk
penirisan air cucian. Ikan dimasukkan ke dalam bak yang berisi
larutan garam jenuh (30%) yang dibuat dengan melarutkan 3
kg garam ke dalam 10 liter air. Perendaman dilakukan selama
102
30 menit. Setelah perendaman ikan dibilas dengan air tawar
dan ditampung dalam kerakang plastik untuk ditiriskan.
Ikan disusun dan digantung di atas batang besi yang
berbentuk pancing. Bagian perut ikan dibuka dengan
menggunakan batangan lidi atau kayu sebagai pengganjal di
antara rongga perut. Untuk mendapatkan aliran asap yang
merata jarak antara ikan di atas batang besi dan juga jarak
antara batang besi di dalam lemari asap jangan terlalu rapat.
Sementara itu, disiapkan lemari asap dengan membakar
arang di dalamnya, kemudian ditambahkan sabut dan
tempurung kelapa secukupnya sehingga dihasilkan asap yang
cukup tebal. Ikan dimasukkan ke dalam lemari asap dan pintu
lemari ditutup rapat. Pengasapan dilakukan dengan dua tahap,
yaitu pertama dengan pengasapan dingin (suhu lemari asap
diatur sekitar 55-60
o
C) selama 4 jam dan dilanjutkan dengan
pengasapan panas (suhu lemari asap sekitar 75-80
o
C ) selama
2 jam. Setelah pengasapan, ikan disimpan dalam ruangan yang
bersih dan dibiarkan hingga mencapai suhu ruang. Kemudian
dikemas dalam kantong plastik polietilen untuk pemasaran.
Komposisi kimia ikan bandeng asap:
Air: 54-59 %
Protein: 27- 40 %
Lemak : 2,5 – 6,0 %
Abu : 2,5 – 5,0 %
Komposisi kimia bandeng asap sangat tergantung pada
ukuran ikan dan cara pengolahan, semakin besar ukuran ikan
semakin tinggi kadar lemaknya dan lama serta cara pengasapan
akan memengaruhi kadar airnya. Umur simpan bandeng asap
pada suhu ruang sekitar 2-3 hari. Kerusakan umumnya ditandai
oleh timbulnya lendir di permukaan yang diikuti dengan
serangan kapang. Umur simpan ini dapat diperpanjang sampai
7 hari jika disimpan pada suhu sekitar 10
o
C, atau jika dikemas
dengan hampa udara (vakum).
103
Gambar 5.2. Bandeng Asap
2. Cumi-Cumi Asap dengan Bumbu
Spesifikasi bahan mentah (Purnomo dan Salasa, 2002)
Sebagian bahan mentah harus digunakan cumi-cumi
yang mutunya segar dengan ukuran yang cukup besar dan
tidak mengalami rusak fisik. Penanganan dan pengawetan
bahan mentah ini dapat dilakukan baik dengan cara
pengesan dan peti insulasi atau dibekukan.
Prosedur pengolahan
1). Penyiangan
Setiap ekor cumi-cumi dipisahkan kepala, isi perut dan
kantung tintanya, tulang belakang dan sirip-siripnya.
Setelah itu dicuci dengan air bersih.
2). Pembuangan kulit
Pembuangan kulit dapat dilakukan dengan tangan atau
dengan cara perendaman dalam air hangat. Cumi-cumi
yang telah disiangi direndam dalam air panas dengan suhu
40-45
o
C sambil diaduk-aduk. Dalam air panas ini
kulit/epidermis akan hancur sebab adanya aksi enzimatis.
Waktu yang diperlukan untuk pembuangan kulit dengan
cara ini yaitu antara 10-20 menit. Sedangkan cumi-cumi
yang kurang segar hanya membutuhkan waktu sekitar 10
menit.
3). Perebusan
Cumi-cumi yang telah dikuliti ini kemudian dicuci
dan selanjutnya direbus pada suhu 80 – 90
o
C selama 2-3
menit. Setelah itu diangkat dan ditiriskan.
104
4). Pembumbuan tahap pertama
Cumi-cumi yang telah direbus kemudian diberi bumbu
dengan komposisi sbb: untuk setiap 3,75 kg cumi-cumi
rebus diberi bumbu garam 750 g, gula 940 g dan penyedap
rasa 3,7 g. Cara pembumbuan dilakukan dengan cara
menyusun cumi-cumi lapis demi lapis dengan bumbu, di
dalam wadah kedap air. Di atas lapisan cumi-cumi paling
atas diletakkan pemberat dan dibiarkan beberapa saat
untuk memberikan kesempatan bumbu masuk dalam
daging.
5). Pengasapan
Setelah dibumbu, cumi-cumi digantung dalam cabinet
smoker. Pengasapan dilakukan selama 7-9 jam dengan
suhu dinaikkan secara bertingkat mulai 50-60
o
C dan
diakhiri pada suhu 70-60
o
C.
6). Pemotongan
Cumi-cumi kemudian dipotong atau diiris secara
melintang dengan tebal 1-2 mm, hingga terbentuk ceperti
cincin (ring).
7). Pembumbuan tahap kedua
Potongan cumi-cumi ini selanjutnya dibumbui lagi
dengan komposisi sbb: Untuk sejumlah cumi-cumi yang
diperoleh dari proses di atas, kemudian diberi bumbu yang
terdiri dari 375 g gula, 100-110 g garam, 3,7 g penyedap
rasa dan 55 ml air. Cumi-cumi ini kemudian
dicampur dengan larutan bumbu di dalam wajan atau
wadah lainnya dan sambil diaduk-aduk agar merata.
8). Pengeringan
Cumi-cumi yang telah dibumbui dalam wajan, kemudian
dikeringkan atau digongseng di atas api hingga kelihatan
bumbu melekat kering di permukaan cumi-cumi.
9). Pengemasan
Cumi-cumi yang telah dibumbui, dikemas dalam kantung
plastik dengan berat tertentu. Selanjutnya, disterilisasi
105
dengan alat pengukus pada suhu 85-90
o
C selama 30-60
menit. Penyimpanan dapat dilakukan pada suhu ± 5
o
C.
3. Ikan Kayu
Ikan kayu atau arabushi yaitu salah satu komoditas
ekspor perikanan negara kita , khususnya ke Jepang. Katsuobushi
yaitu suatu produk ikan asap kering yang unik dalam
pembuatannya dan telah lama dikenal oleh bangsa Jepang serta
digunakan sebagai bumbu penyedap masakan.
Katsuobushi/ikan kayu merupakan makanan awetan
berbahan baku ikan cakalang yang dikenal juga sebagai ikan
bonito (Katsuwonus pelamis). Katsuobushi diserut menjadi
seperti serutan kayu untuk diambil kaldunya yang merupakan
bahan dasar masakan Jepang, ditaburkan di atas makanan
sebagai penyedap rasa, atau dimakan begitu saja sebagai teman
makan nasi. Katsuobushi yang sudah diserut tipis, berwarna
cokelat muda hingga merah jambu sedikit bening umumnya
dijual dalam kemasan plastik. Katsuobushi sebagai penyedap
makanan biasanya ditaburkan di atas tahu dingin (Hiyayako),
Okonomiyaki dan Takoyaki. Katsuobushi yang sudah diserut
sering disebut Kezuribushi dan di negara kita dikenal sebagai
ikan kayu. Pembuatan katsuobushi ini memanfaatkan sejenis
kapang-kapangan di antaranya yakni Aspergillus tamarii,
A. oryzae, A. tonophilus dan A. chevalieri. A. tonophilus dan
A. chevalieri merupakan dua jenis kapang yang termasuk
A. glaucus grup yang merupakan kapang yang bersifat xerofilik
dan paling banyak digunakan untuk pembuatan katsuobushi.
Tahap proses Kasuobushi ( Purnomo dan Salasa, 2002).
Bahan Baku
Sebagai bahan mentah terutama digunakan ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis), tetapi dapat juga diolah dari jenis ikan
lain seperti: tuna, bonito, tongkol, dan lain-lain. Untuk
pengolahan harus digunakan ikan segar dan kadar lemaknya
106
antara 1-3 persen. Kedua faktor ini akan sangat memengaruhi
mutu produk akhir, terutama dalam hal rasa dan aroma.
Peralatan Pengolahan
Beberapa peralatan yang diperlukan dalam pengolahan
ikan kayu (katsuobushi) antara lain: pisau, telenan, meja
penyiangan, pisau serut untuk meratakan permukaan dari
berbagai bentuk, pinset untuk mengambil duri-duri halus,
wadah perebusan, tungku api perebusan, para-para penjemuran,
rumah asap dan eak-rak pengasapan serta sumber bahan
pengasap (kayu keras), boks untuk penjamuran atau ruang
khusus untuk penjamuran, Sumber air bersih untuk pencucian.
Prosedur Pengolahan
1). Penyediaan bahan mentah
Dalam pengolahan ini digunakan bahan mentah ikan.
Ikan segar disortir menurut jenis, ukuran dan kesegarannya.
Khususnya untuk bahan mentah beku, sebelumnya perlu
dilelehkan (thawing) terlebih dahulu dalam bak-bak dengan
air mengalir sampai titik pusat mencapai 0
o
C.
2). Penyiangan
Kepala ikan dipotong, kemudian dinding perutnya
dibelah hingga ke anus. Selanjutnya, isi perutnya
dikeluarkan dan kemudian difilet dalam bentuk loin, untuk
ikan cakalang yang beratnya kurang dari 2,25 kg difilet
menjadi 2 loin yang menjadi kamebushi. Sedangkan ikan
yang beratnya lebih dari 2,25 kg/ekor difilet menjadi 4 loin
untuk diolah menjadi honbushi, dipisahkan lagi menjadi dua
macam loin, yaitu loin bagian punggung disebut malebushi
dan loin bagian perut disebut femalebushi.
3). Perebusan
Loin selanjutnya diatur/diletakkan di atas nampan
perebus dan jangan sampai menempel satu dngan yang
lainnya. Honbushi ditekan di atas nampan dengan bagian
107
daging (potongan) menghadap ke bawah (ke permukaan
nampan). Sedangkan kamebushi diletakkan dengan bagian
kulit menghadap ke bawah. Beberapa nampan yang telah
diisi loin kemudian disusun/ditumpuk sedemikian rupa
sehingga loin tidak tergencet (ruang fisik). Kemudian
direbus dalam air selama 60-80 menit (untuk ikan berukuran
besar) atau 40-50 menit untuk ikan berukuran kecil) pada
suhu 80-85
0
C (untuk ikan yang mutunya segar sekali atau
90-95
0
C (untuk ikan yang mutunya kurang segar).
Perebusan pada suhu 100
0
C dapat menyebabkan daging
retak (terutama pada ikan yang segar sekali), dimana hal ini
tidak dikehendaki dalam pembuatan ikan kayu. Sedangkan
untuk perebusan, paling baik apabila digunakan air tawar.
4). Pembuangan tulang-tulang kecil
Selesai perebusan, kemudian nampan bersama dengan
loinnya diangkat dari bak perebusan. Selanjutnya,
didinginkan pada suhu kamar atau di dalam air. Selama
pendinginan ini, tulang-tulang kecil yang terdapat pada
setiap loin diambil dengan bantuan pinset, sedangkan lemak
yang terdapat pada permukaan daging harus dibersihkan
dengan pencucian dengan hati-hati. Di samping itu, khusus
untuk kamebushi dan femalebushi (honbushi) 2/3 bagian
kulit dari kepala harus dihilangkan atau 1/3 bagian kulit dari
ekor harus disisakan. Hal ini dimaksudkan agar bagian
ujung ekor dari loin tidak melengkung selama proses
pengeringan/pengasapan.
5). Pengeringan dan pengasapan tahap pertama
Loin yang sudah dibersihkan dari tulang dan lemak
ini kemudian diatur/diletakkan di atas rak pengasapan
dengan bagian dagingnya menghadap ke bawah. Setelah itu,
rak yang telah diisi loin ini kemudian dimasukkan ke dalam
lemari/ruang pengasapan, di mana kapasitas dari lemari asap
ini diisi 6 atau 7 rak sekaligus. Jarak dari rak terbawah
sampai sumber api kira-kira 1,5-2 m. Sedangkan sebagai
108
sumber asap dapat digunakan sabut dan batok kelapa.
Pengasapan dilakukan dan diteruskan sampai permukaan
loin berwarna kekuningan atau cokelat kekuningan, bahwa
dengan keadaan ini dianggap telah cukup untuk mencegah
terjadinya pelendiran. Waktu yang diperlukan untuk
pengeringan atau pengasapan ini yaitu 50-60 menit pada
suhu sekitar 85
0
C. Selama proses pengeringan atau
pengasapan ini tray harus dipindah-pindahkan posisinya
agar diperoleh kondisi pengasapan/pengeringan yang
seragam untuk setiap loin.
6). Penambalan
Setelah pengeringan/pengasapan tahap pertama,
kemudian beberapa daging yang retak/pecah ditambal
dengan pasta daging dari jenis ikan yang sama, dengan
bantuan spatula atau alat lainnya, agar nantinya permukaan
produk benar-benar rata dan halus. Agar kondisi
penambalan baik sekali, maka bagian yang ditambal dapat
dibungkus dengan kertas tipis berkualitas tinggi (misalnya:
kertas minyak) dan dibuka kembali setelah kondisi
penambalan telah menjadi kuat sekali.
7). Pengeringan/pengasapan tahap kedua
Pengeringan/pengasapan tahap kedua ini dilakukan
pada suhu 80-85
0
C selama 1 jam, dan setelah itu produk
didinginkan pada suhu kamar sampai keesokan harinya.
Selanjutnya, fillet dikeringkan/diasapi untuk ketiga kalinya
dan kemudian didinginkan sampai keesokan harinya lagi.
Pengeringan ini harus diulangi lagi kira-kira 7-15 kali
sampai filet benar-benar menjadi keras. Untuk mendapatkan
mutu dan rasa produk yang baik, maka suhu
pengeringan/pengasapan harus diturunkan hingga sekitar
77-80
0
C setelah hari ketiga. Produk asap kering yang
diperoleh hingga tahap pengolahan ini disebut arabushi.
109
8). Pengeringan matahari tahap pertama
Filet asap kering yang diperoleh dari tahap pengolahan
di atas, kemudian diatur di atas rak-rak dan selanjutnya
dikeringkan dengan panas matahari. Untuk fillet bagian
punggung pengeringan harus dilakukan sampai mencapai 60
persen derajat pengeringan dan untuk fillet bagian perut
harus dikeringkan sampai mencapai 40 persen derajat
pengeringan. Dalam pengeringan ini pengaruh cahaya
matahari yang kuat harus dihindari.
9). Penyerutan/Pembentukan Produk
Filet yang telah dikeringkan selanjutnya dimasukkan
ke dalam peti kayu 3-4 hari agar teksturnya menjadi agak
lembek kembali. Setelah itu seluruh permukaan filet
diserut/diratakan dengan pisau serut yang khusus sehingga
diperoleh bentuk produk yang baik dan rapi serta halus
permukaannya. Pekerjaan ini membutuhkan keterampilan
dan sangat penting dalam menentukan mutu produk akhir.
10). Pengeringan Matahari tahap kedua.
Filet yang diperoleh dari pekerjaan di atas kemudian
masih dikeringkan lagi 2-3 kali untuk lebih menghilangkan
sisa-sisa air yang ada. Pekerjaan pengeringan ini dilakukan
sama seperti pada pengeringan di atas.
11). Penjamuran
Filet yang telah kering kemudian dimasukkan ke
dalam peti yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah
filet yang akan diisikan. Filet diatur sejajar dan disusun
saling bersilangan sampai ke atas dan kemudian ditutup
rapat. Dengan penyususan demikian diharapkan sedikit
sekali sisa udara. Setelah 7-8 hari dalam peti ini pada
suhu 30
0
C, maka pada seluruh permukaan filet ini
akan tumbuh jamur. Jamur yang pertama tumbuh ini
yaitu jenis Penicillium sp. Agar seluruh permukaan dari
setiap potongan filet ditumbuhi jamur dengan merata,
maka posisi dari susunan fillet di dalam peti harus diubah-
110
ubah dan proses penyimpanan atau penjamuran terus
dilanjutkan pada suhu 25-30
0
C dan kelembaban relatif 85-
90 persen. Setelah seluruh permukaan filet ditumbuhi
jamur (biasanya setelah 4-5 hari ) kemudian filet
dikeluarkan dari peti, dijemur selama 1 jam, yaitu mula-
mula di tempat yang rindang kemudian dipindahkan ke
tempat yang langsung kena sinar matahari. Selanjutnya
jamur dipisahkan dari filet dengan cara disikat, kemudian
ditempatkan di dalam peti kayu yang lain untuk
penjamuran tahap kedua. Pada penjamuran tahap kedua
ini, jamur akan tumbuh setelah 12-13 hari. Proses yang
sama seperti ini di atas harus diulangi lagi 3 hingga 5
kali. Sesuai dengan ulangan proses penjamuran ini ,
maka warna jamur akan berubah dari hijau kebiruan, hijau
keabu-abuan sampai abu-abu. Produk yang telah djamuri
atau ditumbuhi jamur seperti ini disebut honkarekabi.
Apabila filet ditumbuhi jamur pengotor, filet harus
disterilkan dengan pengeringan di panas matahari atau
dengan sedikit pemanggangan. Sebaliknya apabila filet
ini dapat ditransplantasikan atau diinokulasikan jenis-
jenis jamur tertentu yang dianggap baik. Inokulasi ini
dapat dilakukan dengan menyemprotkan air steril yang
mengandung spora-spora jamur tertentu. Tujuan dari
proses penjamuran ini yaitu untuk menimbulkan cita rasa
yang baik dari ikan kayu dari hasil penguraian protein dan
lemak oleh enzim jamur. Di samping itu, jamur juga
berfungsi mengontrol kandungan air dan lemak yang ada
dalam produk ikan kayu. Jenis jamur utama yang paling
baik digunakan dalam proses penjamuran ikan kayu
yaitu : Aspergillus glaucus, A.glaucus variety minimus,
A.gymnodardae, A. melleus, Penicillium glaucum.
12). Penyimpanan
Selama penyimpanan, ikan kayu biasanya mudah
terserang oleh serangga. Serangga ini masuk ke
111
dalam ikan kayu dan kemudian membuat lubang.
Kerusakan ini dapat berkembang lebih cepat apabila ikan
kayu ini disimpan pada suhu kamar. Untuk
menghindari kerusakan ini , sebaiknya ikan kayu
selama penyimpanan harus selalu dijemur atau disimpan
pada suhu 0
o
C.
Rendemen Pengolahan
Rendemen pengolahan ikan kayu sangat tergantung dari
ukuran dan berat per ekor ikan yang digunakan sebagai bahan
mentah, di samping itu, juga faktor lainnya seperti praktik
penanganan selama pengolahan, keterampilan pengolahannya,
dan lain-lain. Untuk ikan jenis cakalang yang berat perekornya
berbeda-beda, sehingga dapat diperoleh rendemen ikan kayu
(katsuobushi) sebagai berikut:
Tabel 5.1 Rendemen Ikan Kayu
Penilaian Mutu Ikan Kayu
Umumnya penilaian mutu ikan kayu dilakukan secara
organoleptik, di samping beberapa hal yang perlu ditentukan
secara objektif. Beberapa faktor yang perlu dinilai dalam
menentukan mutu ikan kayu didasarkan pada: rupa, ukuran,
warna, kecermelangan, aroma, cita rasa, kondisi jamur yang
tumbuh di permukaan produk, kadar air, kondisi penambalan
pada bagian daging yang retak, mutu lemak dan minyak,
perkembangan dari kerusakan oleh serangga.
C. Penyimpanan Ikan Asap
Menurut PP No.28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu
dan gizi pangan, definisi penyimpanan pangan yaitu proses,
cara dan/atau kegiatan menyimpan pangan baik di sarana
produksi maupun distribusi. Penyimpanan ikan asap penting
Katsuobushi Arabushi
Katsuobushi
(flake)
Serutan
Katsuobu
shi
113
bertujuan untuk menekan perubahan rasa tetapi bukan untuk
peningkatan pengawetan.
Kerusakan ikan asap umumnya diawali dari kesegaran
ikan. Untuk penjualan komersial sebaiknya ikan asap divakum
Jenis pengemasannya sesuai pertimbangan daya tahan ikan
asap. Umumnya ikan berdaging putih lebih baik daripada ikan
berlemak. Pada penyimpanan pendinginan refrigerator (< 2
o
)
jenis ikan asap (daging putih) dapat awet sampai 8 hari dan
ikan asap (daging berlemak) hanya tahan sekitar 6 hari. Untuk
memperpanjang daya awetnya harus segera dibekukan pada
suhu (<-10
o
C) setelah pengasapan (Price, 2005).
1. Karakteristik Ikan Asap
Ikan asap yaitu hasil pengawetan ikan secara tradisional
yang pengerjaannya merupakan gabungan dari penggaraman
(perendaman dalam air garam) dan pengasapan sehingga
memberikan rasa khas. Pengasapan yaitu salah satu cara
pengawetan ikan yang dapat dilakukan dengan peralatan yang
sederhana dan mudah didapat serta murah harganya. Ikan yang
diolah dengan cara pengasapan dapat menjadi awet disebabkan
oleh bebrapa faktor, diantaranya berkurangnya kadar air ikan
sampel di bawah 40 persen, adanya senyawa-senyawa di dalam
asam kayu yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme
pembusuk, dan terjadinya koagulasi protein pada permukaan
ikan yang mengakibatkan jaringan pengikat menjadi lebih kuat
dan kompak sehingga tahan terhadap serangan
mikroorganisme. Senyawa antimikroba yang terdapat di dalam
asap kayu misalnya berbagai macam aldehida,alcohol,
keton,asam dan sebagainya. Pengasapan juga dapat
memperbaiki penampakan ikan sebab permukaan ikan
menjadi mengkilat.
Ikan asap yang bermutu baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berwarna kuning keemasan atau kuning kecoklatan seperti
tembaga, yang mengkilap.
114
2. Berbau segar, khas ikan asap.
3. Dagingnya keras atau kenyal.
4. Kulitnya kencang
5. Bau atau aroma yang khas ikan asap (bau asap yang sedap
dan merangsang selera).
Ikan asap yang mutunya rendah menunjukkan ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Dagingnya lembek
2. Kulit kusam, rusak, berlendir, atau berkapang.
3. Berbau tidak segar (menyimpang).
4. Terdapat kristal garam, darah, noda-noda hitam atau kotoran
lainnya.
2. Kerusakan Ikan asap Selama Penyimpanan
Kerusakan ikan asap terutama disebabkan oleh
pertumbuhan mikroba sebab kondisi penyimpanan yang tidak
tepat. Kerusakan ini tidak selalu menyebabkan keracunan
pangan. Jika yang tumbuh yaitu mikroba pembusuk, maka
akibat yang ditimbulkan yaitu kerusakan produk yang
membuat produk tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Tetapi,
penting dipahami bahwa beberapa kondisi penyimpanan yang
menyebabkan pertumbuhan mikroba pembusuk juga dapat
menyebabkan tumbuhnya mikroba patogen penyebab
keracunan pangan.
Beberapa kerusakan ikan asap yaitu sebagai berikut:
1. Pembentukan bau asam
Bau asam timbul sebab terjadinya pertumbuhan bakteri asam
laktat (BAL) pada ikan asap, selama proses pengasapan atau
selama penyimpanan. Pertumbuhan BAL relatif lambat dan
menghasilkan asam organik yang merusak bau dan flavor
produk ikan asap.
115
2. Pembentukan spot-spot berwarna putih atau warna lain di
permukaan ikan.
Penyebab: terjadinya pertumbuhan kapang permukaan yang
bersifat halofilik (tahan konsentrasi garam tinggi).
3.Pembentukan lendir Diproduksi oleh beberapa
Micrococcus spp.dan bakteri lainnya yang memproduksi
lendir dipermukaan ikan asap.
4. Pembentukan gas
Penyebab: pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang
memproduksi gas
5. Pembentukan flavor tengik . Terutama pada ikan asap
berkadar lemak tinggi. Garam meningkatkan reaksi oksidasi
lemak selama penyimpanan dengan waktu yang lama sehingga
terbentuk flavor tengik.
Adakalanya penyakit dapat berasosiasi dengan ikan asap
sebab kesalahan penanganan atau prosesing yang
menyebabkan resiko kesehatan.Produk ikan asap dipahami
oleh masyarakat tahan terhadap perubahan temperatur dan
dimakan tanpa pemasakan. Kerusakan tidak jelas terlihat
sebab kilauan dan warna ikan asap dan dikemas. Pengolah
seringkali menggunakan ikan , air garan kualitas rendah dan
pewarna yang menyebabkan produk tidak sehat.
Ada tiga penyakit yang tidak layak disebabkan aktivitas
bakteri pada pengolahan ikan asap yaitu : listeriosis, keracunan
scombroid dan botulism.
1. Listeriosis
Bakteri Listeria monocytogenes umumnya terdapat di
tanah dan air menyebabkan listeriosis. Gejala penyakit diawali
dengan demam flu sampai kematian pada individu yang rentan
pangan setengah masak. Bakteri ini dapat bertahan dan tumbuh
untuk waktu lama bila temperatur serendah -1
0
C dalam
kemasan vakum. Jumlah minum bakteri penyebab penyakit
116
belum diketahui. Regulasi di Amerika Utara dan Negara Uni
Eropa bahwa tidak ada (negatif) L.monocytogenes yang hadir
dalam 25 g sampel ikan asap.
2. Keracunan Scombroid (Kontaminasi Histamin)
Keracunan scombroid yaitu mendapat perhatian khusus
pada spesies ikan yang mengandung asam amino histidin
tinggi. Pada permukaan ikan ini ditemukan beberapa spesies
bakteri yang mampu mengeluarkan enzim dekarboksilase
untuk mengurai asam amino histidin menjadi histamin.
Tingginya histamin menyebabkan keracunan mirip pada reaksi
alergi; logam atau rasa pedas, wajah membengkak, sakit
kepala, mual dan muntah. Untuk mengurangi kandungan
histamin, ikan segera didinginkan setelah penangkapan. FDA
mensyaratkan kandungan histamin tidak lebih 50 ppm dan Uni
Eropa 100 ppm.
3. Botulism
Botlism disebabkan oleh kelompok bakteri Clostridium
botulinum, umumnya ditemukan di sedimen air tawar dan
mulut beberap ikan. Strain yang menghasilkan toksin yaitu tipe
A, B,E dan F. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 3
o
C - 45
o
C
dan tahan panas. Hal ini penting ikan asap. Suhu harus
dinaikkan untuk membunuh bakteri dan spora. Toksin ini
hancur bila dipanaskan sampai (> 80
o
C) selama 10 menit. Sifat
bakteri ini anaerobic sehingga menjadi perhatian bila produk
dikemas fakum, di mana pembusukan dapat meningkat
desebabkan bakteri ini.
Penanganan yang baik diperlukan menghindari
kontaminasi bakteri patogen seperti Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Salmonella, Clostridium perfringens,
Bacillua cereus, Vibrio parahaemoliticus, dan Vibrio cholera.
Bakteri patogen ini bukan spesifik untuk ikan asap tetapi
merupakan standar bagi kondisi sanitasi pangan yang aman
dikonsumsi.
117
3. Memperlambat Kerusakan Ikan Asap Selama
Penyimpanan
Tujuan penyimpanan yaitu untuk memperpanjang daya
awet sebelum dikonsumsi. Pada penyimpanan yang salah
sering terjadi kerusakan pada ikan asap. Beberapa teknik untuk
mengurangi kerusakan ikan asap selama penyimpanan dapat
dilakukan dengan menurunkan suhu, pengemasan vakum,
sterilisasi dan iradiasi.
a. Menurunkan Suhu
Ada dua pengaruh pendinginan terhadap pangan yaitu:
1. Menurunkan suhu akan mengakibatkan penurunan proses
kimia, mikrobiologi dan biokimia yang berhubungan dengan
kelayuan (senescene), kerusakan (decay), pembusukan dan
lain-lain.
2. Pada suhu di bawah 0
o
C air akan membeku dan terpisah dari
larutan membentuk es, yang mirip dalam hal air yang
diuapkan pada pengeringan arau suatu penurunan aw.
Pembekuan dapat memengaruhi jaringan dan
mikroorganisme. Pada pembekuan lambat akan merusak
jaringan daging ikan, sebaliknya pada pembekuan cepat tidak
akan merusak jaringan. Penyimpanan pangan pada suhu sekitar
-18
o
C dan di bawahnya akan mencegah kerusakan
mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu
yang besar.
Beberapa teknik pembekuan antara lain:
1. Penggunaan udara dingin yang ditiupkan atau gas dengan
suhu rendah kontak langsung dengan pangan, misalnya
dengan alat pembeku tiup (blast), terowongan (tunnel),
bangku fluidasi (fluidized bed), spiral, tali (belt) dan lain-
lain.
2. Kontak tidak langsung misalnya alat pembeku lempeng
(plate-freezer) di mana pangan atau yang telah dikemas
118
kontak dengan permukaan logam (lempengan, silindris)
yang telah didinginkan dengan menyirkulasikan cairan
pendingin (alat pembeku berlempeng banyak.).
3. Perendaman langsung pangan ke dalam cairan pendingin,
atau menyemprotkan cairan pendingin di atas pangan
(misalnya nitrogen cair dan Freon, larutan gula atau garam).
Untuk konsumsi beberapa hari, Ikan asap dapat
didinginkan,suhu dipertahankan di bawah 3
o
C pada seluruh
distribusi, penyimpanan ritel dan konsumen. Untuk periode
lebih lama, iakan asap harus dibekukan dan tetap beku selama
distribusi, penyimpanan dan penjualan ritel
Tabel 5.2 Daya Awet Penyimpanan Ikan Asap
Penyimpanan(
o
C) Daya awet
28-32 (suhu ruang)
5-10 (pendinginan)
0-4 ( pembekuan)
-10 sampai -18 (pembekuan)
2-3 hari
2 minggu
3-6 bulan
13 bulan
Sumber: Anonimous, 2010
b. Pengemasan Vakum
Kemasan pangan yaitu bahan yang digunakan untuk
mewadahi dan/atau membungkus pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak langsung.
Faktor penyebab kerusakan pangan dapat dibagi dua
golongan yaitu: pertama, kerusakan secara alami sudah ada
dalam produk dan tidak dapat dicegah hanya dengan
pengemasan saja; kedua kerusakan yang tergantung dari
lingkungan sekitar dan mungkin dapat dikendalikan hampir
semuanya oleh pengemasan. Golongan pertama termasuk
perubahan fisik sebab suhu, seperti pelunakan coklat atau
pemecahan emulsi. Perubahan biokimia dan kimia sebab
mikroorganisme atau sebab interaksi antara berbagai
119
komponen dalam produk. Golongan kedua, faktor yang
membawa ke pembusukan bahan pangan meliputi empat hal:
1. Kerusakan secara mekanis
2. Perubahan kadar air bahan pangan
3. Penyerapan dari dan interaksi dengan oksigen
4. Hilang atau bertambahnya citarasa.
Kemasan vakum atau pengemasan hampa udara yaitu
metode penyimpanan dan penyajian suatu produk yang
ditujukan untuk dijual atau untuk penyimpanan dalam waktu
yang lebih lama. Tepatnya jenis pangan disimpan dalam
lingkungan yang biasanya dalam kemasan kedap udara atau
botol untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Kemasan
vakum dapat mengurangi oksigen sebab kehadiran oksigen
dapat dimanfaatkan oleh aktivitas bakteri pembusuk. Vakum
dapat memperpanjang umur simpan produk dengan
menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk yang bersifat
aerobik. vakum didasarkan pada prinsip pengeluaran udara dari
kemasan sehingga tidak ada udara dalam kemasan yang dapat
menyebabkan produk yang dikemas menjadi rusak.
Mekanismenya kemasan yang telah berisi bahan dikosongkan
udaranya, ditutup dan direkatkan. Dengan ketiadaan udara
dalam kemasan, maka kerusakan akibat oksidasi dapat
dihilangkan sehingga kesegaran produk yang dikemas akan
lebih bertahan 3 – 5 kali lebih lama daripada produk yang
dikemas dengan pengemasan nonvakum (Harlow, 1987).
Penggunakan kemasan vakum untuk ikan asap sangat
penting mengingat perhatian keselamatan pada produk ini
yaitu pada potensi meningkatnya pembentukan toksin
C.botulinum. Toksin C.botulinum dapat menyebabkan penyakit
dan kematian. Pembentukan toksin disebabkan oleh kesalahan
dari waktu atau suhu selama pengolahan, penyimpanan dan
distribusi.
Hasil penelitan Fitriah, dkk (2003) bahwa ikan asap yang
disimpan selama 20 hari pada suhu 5°C dari segi organoleptik
120
dan kandungan histaminnya masih aman untuk dikonsumsi
terutama untuk penyimpanan vakum. Hasil penelitian Heruwati
dan Fredrlik(1995), menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan
kemasan vacum dan penyimpanan suhu rendah (4
o
C)
memberikan nilai karakteristik kimia, mikrobiologi dan
organoleptik yang lebih baik selama penyimpanan bila
dibandingkan dengan perlakuan lain, dan belum ditolak panelis
pada hari terakhir pengamatan (hari ke 20). Sebaliknya, ikan
tongkol asap yang dikemas non vakum dan disimpan pada suhu
kamar (27-28
o
C) telah ditolak panelis pada. hari ke 8,
sedangkan yang dikemas vakum tetapi disimpan pada suhu
kamar dapat bertahan hingga 20 hari penyimpanan.
Ikan asap yang divakum daya simpannya bervariasi,
apabila kemasan vakum telah dibuka ikan asap harus
dikonsumsi dalam waktu 7 hari. Jika kemasannya tidak dibuka,
ikan asap dapat awet selama 14 hari pada suhu ruang.
c. Sterilisasi
Proses pengawetan ikan asap dapat dilakukan
menggunakan panas untuk mengurangi aktivitas biologis dan
kimiawi agar bahan pangan aman dikonsumsi dan lebih awet.
Hal itu dapat diwujudkan dengan metode sterilisasi komersial,
yaitu suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan
dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang
cukup lama sehingga tidak ada lagi terdapat mikroorganisme
hidup. Pengertian sterilisasi komersial ini menunjukkan bahwa
bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin
masih mengandung spora bakteri (terutama bakteri non
patogen), namun setelah proses pemanasan ini spora
bakteri non patogen ini bersifat dorman (tidak dalam
kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak
membahayakan kalau produk ini disimpan pada kondisi
normal. Oleh sebab itu, produk pangan yang telah mengalami
setrilisasi komersial akan memiliki daya awet yang tinggi,
yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sterilisasi
komersial menurut FDA atau stabilitas penyimpanan menurut
USDA yaitu kondisi bebas dari mikroba yang dapat
122
berkembang baik dalam makanan pada kondisi penyi,panan
atau distribusi yang normal tanpa banduan pendingin.
Prinsip dari sterilisasi yaitu sebagian besar bakteri dapat
dibunuh pada suhu 82-94
o
C, tetapi banyak spora bakteri tidak
akan musnah pada suhu air mendidih (100
o
C) selama 30 menit.
Agar mikroba serta sporanya dapat dihancurkan setara total,
diperlukan pemanasan pada suhu yang tinggi, misalnya 121
o
C
selama 15 menit atau lebih. Hal ini biasanya dilakukan dengan
menggunakan uap air bertekanan seperti autoklaf (Muchtadi,
1995).
Jenis sterilisasi ikan asap dapat dilakukan dalam kemasan
kaleng, botol dan kantong retort. Daya simpan ikan asap yang
telah disterilkan dapat disimpan dalam suhu ruang selama 6
tahun
d. Iradiasi
Iradiasi pangan yaitu metode penyinaran terhadap
pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun
akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan
kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen.
Aplikasi teknologi Iradiasi juga dapat dimanfaatkan dalam
proses industri makanan, yaitu untuk pengawetan makanan siap
saji maupun makanan olahan/segar. Hal ini berguna untuk
mempertahankan kualitas dan meningkatkan keamanan, mutu,
dan daya simpan bahan pangan. Radiasi ionisasi seperti sinar
gamma, sinar x, ultra violet dan elektron yang dipercepat
(accelerated electron) memiliki cukup energi untuk
menyebabkan ionisasi. Pangan diiradiasi dengan berbagai
tujuan: menghambat pertunasan (sprouting, misalnya pada
kentang), membunuh parasit Trichinia (daging babi),
mengontrol serangga dan meningkatkan umur simpan (sayur
dan buah), sterilisasi (rempah), mengurangi bakteri patogen
(daging).
Iradiasi merupakan proses „dingin‟ (tidak melibatkan
panas) sehingga hanya menyebabkan sedikit perubahan
penampakan secara fisik dan tidak menyebabkan perubahan
124
warna dan tekstur bahan pangan yang diiradiasi. Perubahan
kimia yg mungkin terjadi yaitu penyimpangan flavor dan
pelunakan jaringan. Selama proses iradiasi, produk pangan
menyerap radiasi. Radiasi akan memecah ikatan kimia pada
DNA dari mikroba atau serangga kontaminan. Organisme
kontaminan tidak mampu memperbaiki DNAnya yang rusak
sehingga pertumbuhannya akan terhambat. Pada iradiasi
pangan, dosis iradiasi tidak cukup besar untuk menyebabkan
pangan menjadi radioaktif. Walaupun begitu, proses iradiasi
sendiri masih menghasilkan kontroversi, baik di dalam maupun
di luar negeri.
Aplikasi teknologi Iradiasi guna mempertahankan kualitas
dan meningkatkan keamanan bahan pangan tanpa menurunkan
nilai gizi dan cita rasa sehingga dapat dikonsumsi masyarakat.
Makanan yang diawetkan dengan Iradiasi ini mampu bertahan
selama 6 bulan dalam keadaan tertutup rapat. sebab nya,
makanan ini bisa diberikan pada pasien yang rentan infeksi
(mis. Penderita HIV Aids), personil TNI yang bertugas di
tempat terpencil, para lanjut usia dengan kekebalan tubuh
lemah, jemaah haji, dan juga diberikan pada korban bencana
alam.
Pada prinsipnya, iradiasi peng-ion pada bahan pangan
dapat dimanfaatkan untuk tiga tujuan yang berbeda yaitu
pertama fitosanitasi dan pengawetan pada buah, sayuran, dan
rimpang segar; kedua sanitasi yaitu pemanfaatan iradiasi
sebagai proses non termal yang setara dengan pasteurisasi
panas pada daging dan unggas, produk perikanan yang
dibekukan, dan pangan olahan; dan ketiga sterilisasi komersial
khususnya untuk penyediaan pangan darurat berkualitas dan
dapat disimpan pada suhu kamar dalam jangka panjang
(Irawati, 2010).
Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk
pengawetan makanan yaitu : sinar gamma yang dipancarkan
oleh radio nuklida
60
Co (kobalt-60) dan
137
Cs (caesium-37) dan
125
berkas elektron yang terdiri dari partikel-pertikel bermuatan
listrik. Kedua jenis radiasi pengion ini memiliki pengaruh
yang sama terhadap makanan. Menurut Hermana (1991), dosis
radiasi yaitu jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam
bahan pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi
pangan. Seringkali untuk tiap jenis pangan diperlukan dosis
khusus untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Kalau
jumlah radiasi yang digunakan kurang dari dosis yang
diperlukan, efek yang diinginkan tidak akan tercapai.
Sebaliknya jika dosis berlebihan, pangan mungkin akan rusak
sehingga tidak dapat diterima konsumen.
Hasil penelitian Rosa dan Bazon (1989) pada ikan salmon
asap dengan ionisasi dosis rendah (1,5 dan 3,0 kGy) tidak ada
kontaminasi bakteri selama periode penyimpanan 11 minggu.
Di negara kita ada perusahaan ikan bandeng asap yang
meminta disterilisasi dengan radiasi isotop oleh Pusat Aplikasi
Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional
(PATIR BATAN) supaya ikan bandengnya bebas jamur dan
kapang sehingga tahan lama tanpa pengawet (
PROSPEK PENGASAPAN IKAN DI negara kita
negara kita merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah
perairan laut yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2,
sedangkan luas wilayah daratan negara kita hanya kurang lebih
sekitar 1,8 juta km. Perairan laut negara kita memiliki potensi
sektor perikanan yang tersebar hampir di semua perairan
negara kita . Walaupun konsumsi ikan nasional saat ini belum
mencapai standar yang ditetapkan FAO, tetapi konsumsi ini
diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini
akibat peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang nilai
gizi bagi kesehatan dan kecerdasan. Pemanfaatan sumberdaya
ikan tidak akan menghasilkan manfaat serta nilai ekonomis
yang tinggi, apabila tidak diikuti dengan kegiatan usaha
pengolahan dan pemasaran yang baik. Proses pengolahan ikan
dapat dilakukan dengan cara; penggaraman, pengeringan,
pemindangan, pengasapan, fermentasi, pengolahan dengan
suhu rendah, pengolahan dengan suhu tinggi dan pengolahan
hasil sampingan. Ikan asap merupakan cara pengawetan ikan
dengan menggunakan asap yang berasal dari pembakaran kayu
atau bahan organik lainnya. Ikan asap yaitu komoditas bisnis
yang cukup menjanjikan apabila diolah dan dibumbui dengan
cita rasa yang baik. Pengembangan produk ikan asap
memiliki prospek yang cukup bagus di masa mendatang,
khususnya untuk komoditi ekspor. Mengingat bahwa di
beberapa negara maju, tingkat konsumsi produk ikan asap
cukup bagus. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan produksi
dan kualitas bagi ikan asap di negara kita perlu untuk dilakukan.
Ikan asap ini memiliki nilai gizi tinggi, tahan lama dan produk
akhir yang siap untuk dimakan artinya tanpa diolah lagi sudah
dapat dikonsumsi.
Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, 230
juta orang, prospek pasar domestik untuk ikan dan produk perikanan
di negara kita diyakini bakal semakin cerah. Secara potensial,
prospek pasar ikan dan produk perikanan negara kita sangat
menjanjikan, sebab tiga alasan. Pertama, bahwa seiiring
dengan terus bertambahya jumlah penduduk negara kita maupun
dunia dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan nilai gizi
ikan dan produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan
manusia, maka permintaan (demand) terhadap ikan dan produk
perikanan bakal terus bertambah.
Konsumsi ikan penduduk dunia meningkat dari 9 kg per kapita
pada 1961 menjadi 16,5 kg/kapita pada 2003 (FAO, 2007).
Demikian juga halnya di negara kita , yang pada 1998 baru
mencapai 18 kg/kapita, kini sudah sebesar 28 kg/kapita.
Jika rekomendasi Perhimpunan Ahli Gizi negara kita terpenuhi,
yakni konsumsi ikan penduduk negara kita rata-rata 30
kg/kapita, maka pada 2010 total kebutuhan ikan nasional (pasar
domestik) sebesar 250 juta orang dikalikan 30 kg/orang, yaitu
7,5 juta ton. Belum lagi kebutuhan ikan dan produk perikanan
untuk ekspor, dan untuk industri tepung ikan dan minyak ikan.
Padahal, total produksi ikan dari penangkapan di laut yang
maksimum diizinkan sekitar 5,2 juta/tahun (80% dari 6,4 juta
ton/tahun, potensi lestari) dan dari penangkapan ikan di
perairan umum sekitar 0,5 juta ton/tahun.
Bayangkan pada 2040, ketika total penduduk negara kita
diperkirakan mencapai 500 juta (BPS, 2006), berarti kebutuhan
ikan nasional untuk konsumsi saja mencapai 15 juta ton. Dan,
penduduk dunia yang saat itu sekitar 8 miliar (PBB, 2003) akan
memerlukan ikan untuk konsumsi saja, sebesar 132 juta ton.
128
Dengan kata lain, kita mesti meningkatkan produksi
aquaculture, yang saat ini baru mencapai sekitar 2 juta
ton/tahun atau 3% dari total potensi produksi aquaculture
nasional, sekitar 57 juta ton/tahun.
Kedua, dengan semakin menciutnya padang
penggembalaan dan menurunnya produksi pakan ternak, maka
pasok protein hewani yang berasal dari sapi, babi, ayam, dan
ternak lainnya diperkirakan bakal menurun. Ini hanya dapat
dikompensasi oleh protein hewani dari ikan dan produk
perikanan.
Meskipun prospek pasarnya begitu cerah, namun
kenyataannya kinerja ekspor perikanan negara kita masih jauh
dari harapan kita bersama. Seperti sudah diungkap di atas,
nilai ekspor perikanan lebih rendah ketimbang Thailand,
bahkan kalah oleh Vietnam.
Untuk dapat memanfaatkan peluang pasar ikan dan
produk perikanan yang demikian besar, baik di pasar domestik
maupun global, sekali lagi kita harus membangun perikanan
Nusantara ini dengan menerapkan pendekatan bisnis terpadu,
ada benang merah yang sinergis antara subsistem produksi,
penanganan dan pengolahan, serta pemasaran. Selanjutnya,
kunci yang menentukan daya saing produk perikanan yaitu :
(1) kualitas dan keamanan produk, (2) harga yang bersaing
(relatif murah), dan (3) kehandalan (reliability) pasokan
(supply).
Program peningkatan kesadaran publik (produsen,
pedagang perantara, konsumen, dan lainnya) tentang arti
penting mutu dan kemanan ikan dan produk perikanan juga
mesti terus digalakkan sehingga sinergis antar seluruh
stakeholders perikanan menjadi kunci keberhasilan
pembangunan perikanan nasional, terutama yang bertalian
dengan aspek penanganan dan pengolahan serta pemasaran
hasil perikanan.
129
Ikan asap merupakan produk olahan yang siap untuk
dikonsumsi, artinya tanpa dilakukan pengolahan atau
pemasakan ikan asap sudah siap untuk disantap, sebab selama
proses pengasapan ikan telah mendapat perlakuan panas yang
cukup untuk memasak daging ikan dan sekaligus membunuh
sebahagian besar bakteri yang terdapat pada ikan. Selain itu
pengasapan juga menghasilkan efek pengawetan yang berasal
dan beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalamnya,
khususnva senyawa-senyawa aldehid, keton, dan berbagai
asam-asam organik, dan pengasapan menghasilkan rasa serta
flavor ikan asap yang spesifik. Namun dibandingkan dengan
hasil pengolahan atau pengawetan ikan dengan cara tradisional
lainnya seperti cara penggaraman, pemindangan dan
fermentasi, ikan asap kurang begitu populer. Kemungkinan hal
ini disebabkan masyarakat konsumennya masih terbatas.
Salah satu produk pengasapan yang memiliki prospek
untuk disebarluaskan yaitu bandeng asap. Sebagaimana
diketahui bahwa ikan bandeng merupakan ikan hasil budidaya
tambak yang sudah lama dikembangkan dan cukup luas dikenal
di seiuruh wilayah negara kita . Selama ini bandeng asap hanya
dikenal di daerah Sidoarjo dan sekitarnya dan tidak jarang
pembeli membawanya sebagai oleh-oleh.




.jpeg)
.jpeg)