Penelitian ini menggunakan 2 variabel yaitu Komoditi beras (X) dan Inflasi
bahan makanan (Y). Hubungan positif antara krisis keuangan dan harga pangan
menyiratkan pentingnya komoditas pangan sebagai instrumen keuangan
(finansialisasi). Ketika inflasi memasuki fase krisis, maka pasar komoditas juga
akan memasuki fase krisis. Krisis keuangan dianggap lebih relevan menciptakan
volatilitas harga daripada sebuah spekulasi. Namun, ketika kegiatan spekulatif
terjadi pada pasar komoditas maka secara tidak langsung dapat terungkap
adanya hubungan antara krisis keuangan dan pasar komoditas (Braun &
Tadesse,2012).
Menurut Jogwanich & Park (2009) Inflasi yang terjadi pada negaranegara berkembang di Asia menjelaskan bahwa inflasi muncul sebagai
tantangan makro ekonomi terbesar yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang di Asia. Hasil empiris menunjukkan bahwa laju inflasi disebabkan
sebagian besar oleh adanya guncangan dari komoditas pangan. Ada 9 negara
berkembang yang menjadi fokus dalam penelitian tersebut, antara lain: RRC,
India, Indonesia, Korea, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand, dan
Vietnam. Di negara berkembang, misalnya Pakistan, masyarakatnya akan
mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka. Kenaikan harga komoditas pangan mampu menurunkan daya beli
masyarakat terhadap konsumsi komoditas pangan tersebut, sehingga akan
menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan di dalam masyarakat. Oleh
karena itu, tingkat stabilitas harga komoditas pangan berfungsi sebagai indikator
untuk mengukur seberapa baik atau buruknya perekonomian di suatu negara
(Moshin & Zaman, 2012). Perubahan harga komoditas pangan di Indonesia
merupakan salah satu faktor dominan yang menjadi penyumbang penentuan
inflasi. Dengan menelaah bahwa volatilitas inflasi harga komoditas pangan
sedemikan tinggi, maka akan menyebabkan unsur resiko dan ketidakpastian
yang relatif tinggi pula dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, sangat
dibutuhkan suatu model peramalan laju inflasi yang mampu menjadi dasar bagi
pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam mengendalikan inflasi (Santoso,
2011).
Pergerakan harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators
inflasi. Alasannya adalah, yang pertama yaitu, harga komoditas mampu
merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum,
seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga
komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks, seperti:
banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur
distribusi dari komoditas tersebut. Pergerakan harga komoditas pangan akan
selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun
besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat
memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul,
sehingga tekanan inflasi meningkat.
Menentukan persamaan analisis sederhana terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi klasik dimana uji normalitas diolah menggunakan SPSS 20 yang
hasilnya variabel Komoditi Beras (X) dan Inflasi bahan makanan (Y) berdistribusi
normal. Uji multikolineritas dimana nilai tolerance > 0.100 dan VIF < 10,
sehingga di simpulkan bahwa model regresi untuk upah minimum dan inflasi
tidak ada gejala multikolineritas dan model regresi layak digunakan. Uji
heterokedastisitas dapat dilihat dari output residuals satistic dari hasil regresi
berganda SPSS 20 dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala
heterokedastisitas dalam model regresi sederhana. Sedangkan pengujian
hipotesis itu sendiri terdiri dari uji R2
dapat dilihat dari output residuals satistic
dari hasil regresi sederhana Nilai R menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
kuat dimana variabel komoditi beras (X) mempengaruhi Inflasi bahan makanan
(Y) sedangkan Nilai R square sendiri menunjukkan bahwa variabel Y yaitu
Inflasi bahan makanan dipengaruhi oleh komoditi beras (X). Uji F dapat dilihat
dari output residuals satistic dari hasil regresi sederhana bahwa komoditi beras
(X) secara simultan berpengaruh terhadap Inflasi bahan makanan (Y).
sedangkan Nilai F hitung dapat disimpulkan bahwa variable komoditi beras (X)
secara simultan berpengaruh terhadap variable inflasi bahan makanan (Y). Uji T
parsial dapat dilihat dari output residuals satistic dari hasil regresi sederhana
untuk Variable komoditi beras (X) dapat disimpulkan bahwa variable komoditi
beras (X) memiliki kontribusi terhadap variable inflasi bahan makanan (Y), Hasil regresi sederhana yang diolah menggunakan metode SPSS 20
maka diperoleh persamaan Y = a + b1X1 , yang ketika di transformasi kedalam
angka sama dengan Y = (-109.559) + 1.290 artinya angka tersebut menunjukkan
bahwa komoditi bahan makanan (X) sangat berpengaruh terhadap Inflasi bahan
makanan (Y)., b1X1 = 1.290 artinya jika harga mengalami peningkatan maka
inflasi bahan makanan akan semakin meningkat pula, Sehingga dapat dijelaskan
bahwa komoditi beras (X) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Inflasi
bahan makanan di provinsi Sulawesi selatan (
Harga komoditis beras merupakan salah satu penyumbang inflasi
komoditas bahan makanan di provinsi Sulawesi Selatan. Distribusi penawaran
dan permintaan yang tidak stabil menyebabkan harga komoditi beras sering
mengalami fluktuasi. Ketika produksi beras mengalami gagal panen akibat
cuaca, gangguan hama, serta faktor perkembangan harga pupuk akan
mengganggu jalannya distribusi dan mengakibatkan cost push inflation.
Sementara dari sisi permintaan akan mengakibatkan demand pull inflation
karena tingginya permintaan terhadap beras. Namun tingginya permintaan
tersebut relatif terhadap ketersediaannya sehingga akan menciptakan kejutan
harga yang cenderung naik yang nantinya akan berpengaruh terhadap besarnya
inflasi bahan makanan.
Beras merupakan komoditi pangan yang sering mengalami fluktuasi
harga dan berdampak pada besarnya inflasi bahan makanan, mengingat pula
komoditi beras merupakan komoditi yang mendominasi dalam komoditas bahan
makanan. Sesuai dengan hasil analisis, Hasil regresi sederhana yang diolah
menggunakan metode SPSS 20 maka diperoleh persamaan Y = a + b1X1 , yang
ketika di transformasi kedalam angka sama dengan Y = (-109.559) + 1.290
artinya angka tersebut menunjukkan bahwa komoditi bahan makanan (X) sangat
berpengaruh terhadap Inflasi bahan makanan (Y)., b1X1 = 1.290 artinya jika
harga mengalami peningkatan maka inflasi bahan makanan akan semakin
meningkat pula, Sehingga dapat dijelaskan bahwa komoditi beras (X)
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Inflasi bahan makanan di provinsi
Sulawesi selatan (Y).
B. SARAN
Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah daerah tempat
sentra produksi beras agar menerapkan pola tanam jenis komoditi tersebut guna
mengurangi produksi yang berlebihan pada musim panen tiba. Disamping itu
perlu penanaman di luar musim agar defisit komoditi tersebut tidak terlalu besar
sehingga harga akan cukup stabil dan tidak berdampak besar terhadap besarnya
inflasi bahan makanan.
Perbaikan sistem tata niaga atau distribusi dengan menerapkan supply
chain management akan membuat komoditas bahan makanan jenis beras
menjadi lebih efisien. Perbaikan logistik dan pasca panen memungkinkan
komoditi tersebut tersedia bagi konsumen tepat waktu dan bahkan dapat
disalurkan di luar musim panen. Mj
Pangan merupakan komoditas strategis yang sering dikaitkan dengan
aspek ekonomi dan politik di Indonesia, Komoditas bahan pangan mempunyai
peranan yang sangat penting dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik (Prabowo,
2014). Hal ini disebabkan karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
untuk mempertahankan hidup. Oleh karenanya
pemenuhan kebutuhan pangan
bagi setiap penduduk setiap waktu merupakan hak azasi manusia yang harus
diupayakan oleh pemerintah. Kewenangan juga memberlakukan kontrol harga
langsung untuk melindungi pasar lokal dari yang terpengaruh oleh volatilitas
harga di pasar dunia, dan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi harga
lokal dan dengan demikian permintaan beras lokal dapat terjaga (Chung dan Tan,
2015). Konsumsi pangan diperlukan aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap
pangan. Aksesibilitas tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi
oleh rumah tangga. Sehingga data konsumsi pangan secara riil dapat
menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan
menggambarkan tingkat kecukupan pangan rumah tangga (Riyanto, dkk, 2013).
Bagi Negara berkembang seperti Indonesia, pasar produk makanan
merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran dalam penentuan
laju inflasi. Namun demikian, kunci utama dalam pengendalian inflasi yaitu
kemampuan memitigasi fluktasi harga komoditas pangan (Prastowo et al., 2011)
Dari tabel 1.1, terlihat komoditas bahan makanan menjadi komoditas yang
sering menjadi penyumbang inflasi inti terbesar di antara komoditas yang lain,
tahun 2010 menjadi tahun dengan kontribusi tertinggi pasca kritis pangan 2008
yaitu sebesar 15,54%, kemudian hingga tahun 2016 mengalami fluktuasi
kontribusi namun masih tetap mendominasi. Salah satu komoditas yang selalu
menjadi perhatian dalam inflasi dari sektor bahan makanan yaitu komoditas
pangan dari sektor pertanian. Indonesia merupakan Negara yang masih memiliki
ketergantungan yang besar terhadap sektor pertanian terutama sub sektor bahan
pangan padi yang dikendalikan melalui penetapan harga dasar dan hargaharga
tertinggi bahan pangan. Pelaksaan kebijakan tersebut diharapkan dapat
membantu petani untuk memproduksi, menjual panen dan juga agar dapat
menjaga kestabilan harga produk pertanian baik saat terjadi over produksi
maupun saat terjadi masa kegagalan panen sehingga tidak akan terjadi gejolak
harga produk pertanian yang dapat memberikan dampak buruk pada kestabilan
harga-harga barang dan jasa pada umumnya (Ilham, 2007:67). Komoditas
pangan yang mempunyai harga fluktuatif diantaranya meliputi beras, kedelai,
daging ayam, bawang merah, cabai merah dan daging sapi. Beberapa komoditas
tersebut tertuang dalaqm peraturan menteri perdagangan
No.63/m.dag/per/09/2016 yang merupakan tindak lanjut dalam peraturan presiden
No.71/2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang penting. Adapun
pembagian bahan makanan seperti yang termaksud diatas adalahsebagai berikut:
Berdasarkan gambar 1.1, sebagai salah satu sektor yang sangat
mempengaruhi inflasi umum di provinsi Sulawesi selatan yakni sektor kelompok
pengeluaran Bahan makanan, adapun subkelompok bahan makanan andil
terbesar dalam kelompok ini adalah kelompok Beras dengan andil sebesar 32%,
adapun sub kelompok pengeluaran yang menahan laju inflasi agar tidak semakin
tinggi adalah subkelompok pengeluaran daging dan hasilnya, kacang-kacangan,
sayur-sayuran,bumbu-bumbuan, susu telur dan hasilnya serta bahan makanan
lainnya.
Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk
Indonesia. Erwidodo (2011) mengutip data Susenas yang menunjukkan bahwa
98% penduduk Indonesia menkonsumsi beras sebagai bahan makanan
pokoknya. Hal ini yang kemudian menjadi faktor utama yang membuat komoditas
beras menjadi kunci inflasi bahan makanan yang mempunyai andil terbesar
dalam hal mendorong inflasi secara umun dan inflasi bahan makanan secara
khusus. Sementara itu kebijakan pemerintah dalam perberasan mempunyai
pengaruh yang sangat besar pada stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia.
Beras merupakan salah satu unsur yang sangat penting yang menentukan tingkat
inflasi pada gilirannya tingkat stabilitas perekonomian normal. Karena itu
pemerintah Indonesia berusaha agar persediaan beras nasional selalu memadai
dan harganya terkendali. Guna mencapai sasaran tersebut pemerintah
menetapkan berbagai kebijakan perberasan dalam berbagai bidang seperti
kebijakan harga. Pengadaan sarana dan prasarana produksi, investasi dalam
bidang penelitian dan penyuluhan di sektor pertanian serta rekayasa
kelembagaan.
Peranan sektor pertanian yang tangguh seperti yang diharapkan dalam
proses pembangunan, sedikitnya mencakup empat aspek: Pertama,
kemampuannya dalam menyediakan pangan bagi rakyat. Kedua, memberikan
kesempatan kerja bagi masyarakat. Ketiga, menghemat dan menghimpun devisa
dan yang keempat, sebagai dasar yang memberikan dukungan terhadap sektor
yang lain (Laksono, 2008). Menurut teori ekonomi neoklasik perilaku konsumen,
setiap konsumen individu dihadapkan dengan harga pasar ditentukan dari
berbagai komoditas, dengan konsumen yang hanya memiliki penghasilan uang
dikenal dan tetap (Odusina, 2008).
Salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki posisi paling penting
dalam pembangunan pertanian adalah beras. Beras adalah bahan makanan
pokok yang dikonsumsi oleh hampir 90% penduduk Indonesia. Beras
mengandung nilai gizi lebih baik dibandingkan dengan makanan pokok lainnya.
Setiap 100 gr beras giling mengandung energi 360 KKal dan menghasilkan 6 gr
protein. Hal ini bisa dibandingkan dengan bahan makanan lain seperti jagung
kuning yang mengandung 307 KKal dan 7,9 gr protein ataupun singkong yang
mengandung 146 KKal dan 1,2 gr protein. Oleh karena itu, komoditas beras dapat
dipergunakan untuk memperbaiki gizi masyarakat yang umumnya masih
kekurangan energi dan protein (Amang, 2007).
Pengembangan komoditas pertanian memerlukan pemahaman tentang
prospek pasar, kemampuan sumberdaya dan potensi teknologi.
Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan mempengaruhi
harga dan profitabilitas, sehingga memerlukan kebijakan intervensi dan
perencanaan untuk menghadapi keadaan tersebut. Proyeksi permintaan ataupun
penawaran sangat penting bagi perencanaan produksi yang akan berdampak
pada berapa besar tingkat pasokan untuk menjaga stabilitas harga. Hasil proyeksi
permintaan komoditas pangan berguna sebagai salah satu bahan masukan
dalam menentukan target produksi komoditas pangan, berapa besar yang
dibutuhkan serta gambaran perkembangan harga kedepan. Sementara itu
proyeksi penawaran komoditas pangan berguna sebagai gambaran tingkat
produksi komoditas pertanian bersangkutan yang dapat dicapai berdasarkan
asumsi-asumsi yang digunakan. Dengan membandingkan hasil proyeksi
permintaan dan penawaran dapat diketahui status neraca permintaan dan
penawaran komoditas bersangkutan apakah dalam keadaan surplus atau defisit.
Dalam jangka pendek dan menengah kondisi ini akan terkait dengan arus
distribusi komoditi pangan yang berdampak pada stabilitas harga (Yudha., dkk,
2012).
Perkembangan konsumsi beras per kapita di Indonesia tahun 2011-2015
berfluktuasi tetapi cenderung meningkat. Tahun 2011 rata-rata konsumsi beras
115,5 kg/kapita/tahun. Tahun 2012 turun menjadi 109,7 kg/kapita/tahun.
Penurunan ini terjadi karena masyarakat mulai mengkonsumsi pangan hasil
diversifikasi pangan. Namun tahun 2013, konsumsi beras naik drastis menjadi
138,81 kg/kapita/tahun, dan pada 2011-2014 sebesar 139,15 kg/kapita/tahun.
Tahun 2013 konsumsi beras nasional sekitar 139 kg/kapita/tahun dan jumlah ini
berlangsung sampai tahun 2014 (Sukri, 2015). Faktor yang mempengaruhi
peningkatan konsumsi beras telah diidentifikasi untuk menyertakan meningkatnya
pendapatan, liberalisasi perdagangan, promosi yang luas dan strategi pemasaran
yang efektif dari importir beras dan kemudahan memasak (Danquah dan Egyir,
2014).
Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber
daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang
sangat subur. Oleh karena hal tersebut, Indonesia memiliki peran penting sebagai
produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia merupakan produsen beras
terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap
produksi beras dunia sebesar 8,5 persen atau 51 juta ton. China dan India
sebagai produsen utama beras berkontribusi 54 persen. Vietnam dan Thailand
yang secara tradisional merupakan Negara eksportir beras hanya berkontribusi
5,4 persen dan 3,9 persen. Penduduk Indonesia merupakan konsumen beras
terbesar di dunia dengan jumlah konsumsi mencapai 154 kg per orang per tahun,
apabila dibandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India
74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal tersebut mengakibatkan
kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan
produksi dalam negeri, dan oleh karena hal tersebut Indonesia harus
mengimpornya dari negara lain (Sri Rahyu, dkk, 2014: 46).
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi yang mengalami
pertumbuhan ekonomi cukup baik. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
dari tahun ke tahun yang membaik di Provinsi Sulawesi Selatan diharapkan
senantiasa dapat dijaga dengan semakin mengoptimalkan sumber daya manusia
dan sumber daya alam yang dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu
provinsi Sulawesi selatan juga merupakan provinsi ketiga setalah jawa tengah
dan jawwa timur sebagai provinsi dengan konsumsi beras tertingguu di
iIndonesia, dengan Rata-rata jumlah konsumsi beras masyarakat di Provinsi
Sulawesi Selatan sebesar 92,87 kg/orang/tahun. Jumlah produksi, ketersedian,
konsumsi dan kelebihan beras di Sulawesi selatan tahun 2014-2018 data dilihat
pada tabel berikut:
Berdasarkan tabel 1.2 diketahui bahwa ketersediaan beras di Provinsi
Sulawesi Selatan berfluktuatif dan cenderung mengalami peningkatan. Dinamika
penawaran yang demikian fluktuatif sangat rentan mengingkat jumlah penduduk
yang terus meningkat sehingga meningkatkan konsumsi. Disisi lain permintaan
beras di Sulawesi Selatan meningkat setiap tahunnya, walaupun pada tahun
2016 mengalami penurunan dikarenakan musin kemarau berkepanjangan,
setelah mengalami penurunan pada tahun berikutnya permintan beras di
Provinsi Sulawesi Selatan cenderung mengalami peningkatan. Semakin
meningkatnya permintaan beras di Provinsi Sulawesi Selatan ini mendorong
peneliti untuk menganalisis tentang tingkat permintaan beras di Provinsi
Sulawesi Selatan.
Meneliti fenomena produk pangan di atas, terdapat harapan agar
produsen dan konsumen domestik dapat dilindungi. Hal ini tidak terlepas dari
peran penting pemerintah dalam uapaya untuk menjaga kestabilan produk
pangan. Peran tersebut diharapkan mampu pula mempercepat tercapainya
tujuan pembangunan nasional. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional,
diperlukan tujuan antara, dalam konteks ini adalah stabilitas harga pangan yang
dapat dilakukan melalui kebijakan harga pangan. Salah satu tujuan kebijakan
harga pangan adalah menstabilkan harga pangan agar mengurangi
ketidakpastian petani dan menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen
dan stabilitas harga di tingkat makro.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Sulawesi selatan dapat terlihat persentase inflasi di Sulawesi selatan
tahun 2016 sebesar 4,05 persen dan menduduki urutan ke-4 dari 10 kota
IHK di Sulawesi selatan, sedangkan pada tahun 2015, persentase inflasi
tahunan provinsi Sulawesi selatan sebesar 3,32 persen dan menduduki urutan
pertama di wilayah timur IHK di provinsi Sulawesi selatan Sepuluh komoditas
bahan pangan yang turut berpengaruh dalam besarnya inflasi di tahun2015
antara lain: Beras, cabe merah, bawang merah, beras, telur ayam ras,
angkutan udara, cabe rawit, daging ayam ras, bawang putih, tarif listrik dan
daging.
Beras merupakan komoditas pokok yang sangat berpotensi
mengalami perubahan harga karena komoditas tersebut harganya cenderung
tidak stabil. Hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan iklim yang berdampak
pada kegagalan panen sehingga terjadi kelangkaan dan perubahan harga
yang signifikan. Penelitian Braun & Tadesse (2014) menjelaskan bahwa
volatilitas harga komoditas pangan memiliki pengaruh yang sangat
tinggi terhadap penentuan besarnya inflasi. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut apakah komoditas tersebut
mempengaruhi besarnya inflasi di Provinsi Sulawesi selatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah “Apakah sektor komoditi beras yang terdiri dari produksi
beras nasional dan beras impor berpengaruh terhadap inflasi bahan makanan di
Provinsi Sulawesi Selatan?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dengan melihat permasalahan diatas adalah
untuk mengetahui pengaruh sektor komoditi beras yang terdiri dari produksi
beras nasional dan beras impor terhdap inflasi bahan makanan di Provinsi
Sulawesi Selatan!
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan
acuan untuk di gunakan:
1. Sebagai suatu karya ilmiah yang dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan sebagai bahan masukan yang dapat mendukung bagi
peneliti maupun pihak lain yang ingin melakukan penelitian yang sama.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak pemerintah
khususnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam upaya menjaga
ketersediaan dan stabilisasi inflasi bahan makanan di Sulawesi selatan.
Komoditas adalah sesuatu benda nyata yang relatif mudah
diperdagangkan, dapat diserahkan secara fisik, dapat disimpan untuk suatu
jangka waktu tertentu dan dapat dipertukarkan dengan produk lainnya dengan
jenis yang sama, yang biasanya dapat dibeli atau dijual oleh investor melalui
bursa berjangka. Secara lebih umum, komoditas adalah suatu produk yang
diperdagangkan, termasuk valuta asing, instrumen keuangan dan indeks.
Karakteristik dari Komoditas yaitu harga adalah ditentukan oleh penawaran dan
permintaan pasar bukannya ditentukan oleh penyalur ataupun penjual dan harga
tersebut adalah berdasarkan perhitungan harga masing-masing pelaku
Komoditas.
Indonesia merupakan daerah yang memiliki potensi yang sangat
baik pada sektor pertanian, sehingga Indonesia di tingkat internasional
merupakan salah satu produsen sekaligus konsumen beras terbesar dunia di
bawah Cina. Kondisi tersebut menuntut kreativitas dari masyarakat Indonesia
untuk berkreasi supaya produksi padi Indonesia menjadi meningkat atau
minimal stabil. Dengan kestabilan produksi, Indonesia dapat menjaga
ketahanan pangan nasional. Indonesia yang memiliki berbagai potensi dan
permasalahan terkait dengan pangan, sehingga sangat menarik untuk
dilakukan pengamatan. Pengembangan pertanian di lahan pasang surut
merupakan perwujudan dan upaya pemanfaatan potensi alam secara
optimal, penyeimbangan penduduk, pemerataan pembangunan,
peningkatan produktivitas dan taraf hidup masyarakat. Pemanfaatan dan
pengembangan lahan pasang surut secara optimal akan memberikan
sumbangan besar terhadap pencapaian dan pelestarian swasembada pangan
khususnya beras.
Studi Pustaka BPS dan Deptan (1999) mendefinisikan luas panen
merupakan luas lahan sawah yang biasa diambil hasilnya. Luas tanam
merupakan luas lahan sawah yang ditanami. Sedangkan produktivitas
merupakan hasil yang diperoleh tiap satuan luas, dan produksi merupakan
suatu besaran berat yang mengukur hasil total padi yang diperoleh, juga
merupakan hasil kali antara produktivitas dan luas panen. Usaha tani padi
menyediakan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan bagi sekitar
21 juta rumah tangga pertanian. Selain itu, beras juga merupakan
komoditas politik yang sangat strategis sehingga produksi beras dalam negeri
menjadi tolok ukur ketersediaan pangan bagi Indonesia (Suryana, 2002). Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan jika campur tangan pemerintah
Indonesia sangat besar dalam upaya peningkatan produksi dan stabilitas
harga beras. Kecukupan pangan (terutama beras) dengan harga yang
terjangkau telah menjadi tujuan utama kebijakan pembangunan pertanian.
Kekurangan pangan bias menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik
yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional.
Irawan (2003) melaporkan bahwa selama 1978-1998 sekitar 1,07 juta ha
lahan (30,8%) telah terkonversi menjadi lahan non pertanian. Selama periode
yang sama, terdapat pembukaan sawah baru sekitar 0,91 juta ha. Namun,
sejak krisis ekonomi yang berkepanjangan, pembukaan sawah baru hampir
tidak mungkin karena keterbatasan dana pembangunan. Dengan demikian,
adalah sangat sulit mempertahankan luas areal tanam padi di Jawa. Di lain
pihak, sekitar 48% padi ditanam di Jawa, mempunyai kontribusi produksi
sekitar 58% dari produksi padi nasional. Ini berarti bahwa konversi lahan
di Jawa akan berpengaruh buruk terhadap produksi beras nasional dan
dengan sendirinya memperlemah ketahanan pangan (Sudaryanto et al., 2006).
Machmud (2005) menjelaskan bahwa harga beras memiliki
keunikan dalam proses penentuannya sehingga perlu kehati-hatian dalam
menentukan harganya. Keunikan tersebut antara lain beras sebagai makanan
pokok masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan petani
perlu adanya kenaikan harga beras, namun jika harga beras tinggi
penduduk miskin akan meningkat. Keunikan yang lain meskipun pemerintah
telah menaikkan harga dasar penjualan padi tetap saja petani akan miskin.
Kajian lain yang dilakukan Bank Dunia (2004) menyimpulkan bahwa
kenaikan harga beras hingga 33% telah menyebabkan kenaikan angka
kemiskinan sebanyak 3,1 juta orang.
Kesimpulan ini berarti setiap kali ada 3 kenaikan harga beras akan
terjadi pertambahan penduduk miskin. Sebaliknya, penurunan harga
beras akan menurunkan angka kemiskinan, tetapi akan meningkatkan
kemiskinan pada kelompok pertanian. Kajian lain yang dikeluarkan Ketua
Divisi Ilmu Sosial International Rice Reserach Institute (IRRI), Mahbub
Hosain (2006), menyimpulkan bahwa petani dan para pekerja lainnya di
usaha pertanian kususnya padi akan terdorong untuk berusaha lebih giat
ketika harga beras membaik sehingga proteksi pasar domestik akan
memberikan jaminan perbaikan pada harga beras. Akibatnya, ekonomi
desa akan bergerak begitu harga komoditas di desa mengalami
perbaikan.
Hosain mencontohkan, usaha tani padi di China mulai kurang menarik
setelah harga beras selalu rendah. Sihono (2007) menyimpulkan dalam
penelitiannya tentang Deferensiasi Harga Beras di Indonesia Pasca Krisis
Ekonomi, menyebutkan bahwa persediaan beras di tingkat pengepul (penebas)
sangat mempengaruhi harga beras pada tingkat daerah, sedangkan musim juga
berpengaruh signifikan terhadap harga beras karena jika musim kemarau
hasil beras akan lebih baik jika dibandingkan pada musim penghujan.
Namun, faktor yang paling berpengaruh terhadap harga beras adalah
kebijakan impor beras oleh pemerintah. Dengan melihat fenomena yang
terjadi di atas, maka penentuan harga beras di Indonesia harus hati-hati
sehingga dalam mengamati dampak kebijakan penentuan harga beras harus
melihat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Akan makin jernih
permasalahan tentang harga beras jika kita menangkap keluhan dari
masyarakat dengan kita bertemu langsung dengan mereka. Untuk menjaga
ketersediaan beras di Indonesia, perlu ditingkatkan peran dari masyarakat dan
pemerintah daerah guna menjaga ketersediaan beras di tingkat nasional.
Salah satu cara untuk meningkatkan peran masyarakat guna menjaga
ketersediaan beras pada tingkat daerah dan pedesaan adalah dengan tetap
menanam padi dan meningkatkan hasil produksinya. Sedangkan peran
pemerintah adalah menjaga ketersediaan bahan-bahan pendukung guna
melakukan produksi beras.
Ketersediaan beras akan mempengaruhi harga beras, selain itu harga
beras juga dipengaruhi oleh harga barang lain serta kebijakan dari pemerintah
(Agus, 2006). Berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi padi seperti
pembangunan sarana irigasi, subsidi benih, pupuk, dan pestisida, kredit
usahatani bersubsidi, dan pembinaan kelembagaan usaha tani telah
ditempuh. Demikian juga dalam pemasaran hasil, pemerintah mengeluarkan
kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) atau Harga Dasar Pembelian Pemerintah
(HDPP), untuk melindungi petani dari jatuhnya harga dibawah biaya produksi.
Sementara itu, kebijakan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri yang terus meningkat, dan agar harga beras terjangkau oleh
sebagian besar konsumen. Campur tangan yang sangat besar dan bersifat
protektif telah membuahkan hasil, yaitu tercapainya swasembada beras pada
tahun 1984. Namun demikian, swasembada yang dicapai hanya sesaat.
Secara umum, selama lebih dari tiga dekade produksi beras dalam negeri belum
mampu memenuhi kebutuhan. Dengan kata lain, Indonesia hamper selalu
defisit sehingga masih tergantung pada impor (Sudaryanto, 2006).
Beras merupakan makanan sumber karbohidrat yang utama di
kebanyakan Negara Asia. Negara-negara lain seperti di benua Eropa, Australia
dan Amerika mengkonsumsi beras dalam jumlah Analisis Produksi yang jauh
lebih kecil daripada negara Asia. Kebutuhan beras nasional tidak terpenuhi oleh
produksi beras dalam negeri karena itu kita masih selalu mengimpor beras.
Dengan memperhatikan hal di atas seharusnya agribisnis padi dapat menarik
banyak para investor. Namun demikian, di lain pihak, harga beras sangat
ditentukan pemerintah dan tidak dinamis seperti halnya tanaman hortikultur atau
perkebunan sehingga umumnya petani padi sering merugi. Tanpa perubahan
tata niaga beras dan pengurangan campur tangan pemerintah, agribisnis padi
akan tetap tidak banyak diperhitungkan dan diminati oleh investor di bidang
pertanian.
Peningkatan produksi padi masih merupakan prioritas dalam mendukung
program ketahanan pangan dan agribisnis. Produksi padi terus dipacu untuk
memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Namun demikian, segala
upaya untuk meningkatkan produksi selalu mendapat gangguan, antara lain
berupa kekeringan, banjir, serangan hama, dan penyakit. Penggunaan pupuk
secara rasional dan berimbang merupakan faktor kunci dalam peningkatan
produksi padi. Sedangkan rekomendasi pupuk yang berlaku saat ini masih
bersifat umum dan belum mempertimbangkan kandungan atau status hara tanah
sehingga penggunaan pupuk tidak efisien.
Kenaikan produksi padi tahun 2009 terjadi di beberapa propinsi terutama
di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Sedangkan penurunan produksi tahun 2009 terjadi di Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Produksi padi tahun
2009 sebesar 64,33 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Dibandingkan produksi
tahun 2008, terjadi peningkatan sebanyak 4,00 juta ton (6,64%). Kenaikan
produksi terjadi karena peningkatan luas panen seluas 550,61 ribu hektar
(4,47%) dan juga produktivitas sebesar 1,01 kuintal/hektar (2,06%). Kenaikan
produksi padi tahun 2009 tersebut terjadi di Jawa sebesar 2,49 juta ton (7,69%)
dan di luar Jawa sebesar 1,51 juta ton (5,42%). Di Jawa, peningkatan produksi
disebabkan oleh naiknya luas panen seluas 349,28 ribu hektar (6,08%) dan
produktivitas sebesar 0,86 kuintal/hektar (1,53%). Demikian juga di luar Jawa,
kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas panen seluas 201,33 ribu
hektar (3,06%), dan produktivitas sebesar 0,97 kuintal/hektar (2,28%).
Angka ramalan produksi padi tahun 2010 diperkirakan sebesar 64,90 juta
ton Gabah Kering Giling (GKG) dibandingkan produksi tahun 2009, terjadi
peningkatan sebanyak 568,37 ribu ton (0,88%). Kenaikan produksi diperkirakan
terjadi karena peningkatan luas panen seluas 13,71 ribu hektar (0,11%) dan juga
produktivitas sebesar 0,39 kuintal/hektar (0,78%). Kenaikan produksi padi tahun
2010 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 183,08 ribu ton (0,53%) dan
di luar Jawa sebesar 385,29 ribu ton (1,31%). Di Jawa, peningkatan produksi
disebabkan oleh naiknya produktivitas sebesar 0,79 kuintal/hektar (1,38%),
sedangkan luas panen diperkirakan mengalami penurunan sebesar 52,16 ribu
hektar (0,86%). Sementara di luar Jawa, kenaikan produksi terjadi karena
peningkatan luas panen seluas 65,87 ribu hektar (0,97%) dan juga produktivitas
sebesar 0,14 kuintal/hektar (0,32%). Perkiraan kenaikan produksi padi tahun
2010 yang relatif besar terdapat di beberapa daerah terutama di Jawa Tengah,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan perkiraan penurunan
produksi tahun 2010 yang relatif besar terdapat di Jawa Barat dan Nusa
Tenggara Barat. Berikut adalah pola panen padi per bulan dari tahun 2007-2009.
Dari grafik tersebut terlihat pola penen padi tidak mengalami peningkatan
yang berarti, pola penen tersebut hanya mengalami sedikit peningkatan
penurunan jika dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun-tahun
sebelumnya sehingga perlu dilakukan suatu usaha peningkatan produksi padi,
karena peningkatan produksi lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan
jumlah penduduk Indonesia. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka Indonesia
akan tergantung dengan impor beras, yang mengakibatkan dampak yang buruk
bagi perekonomian serta kestabilan politik.
B. Teori Analisis Cobweb (Sarang laba-laba)
Teori analisis cobweb menjelaskan tentang siklus harga produk pertanian
yang menunjukkan fluktuasi tertentu dari musim ke musim. Penyebab dari
fluktuasi tersebut yaitu adanya reaksi yang terlambat dari pihak produsen
terhadap harga. Berikut kurva dari teori analisis cobwe
Kurva diatas menggambarkan teori cobweb (sarang laba-laba) pada kondisi
permintaan yang lebih elastis dibandingkan penawaran. Misalnya pada musim 1
jumlah produk yang dihasilkan (di panen) sebanyak Q1. Dengan kurva
permintaan D, maka harga yang terjadi di pasar pada musim ke 1 adalah P1.
Barang-barang atau segala sesuatu dari hasil pertanian merupakan barang non
durabel (tidak tahan lama) sehingga dengan jumlah produk sebanyak Q1 tadi
harus terjual habis pada musim itu juga dengan harga P1.
Selanjutnya, atas dasar harga yang berlaku tersebut produsen
merencanakan produksinya untuk musim ke 2 (harga P1 dianggap oleh
produsen akan tetap berlaku pada musim 2). Dengan asumsi harga tetap
produsen meningkatkan hasilnya pada musim berikutnya sebesar Q2, akibatnya
produksi hasil pertanian melimpah dan hal ini dapat menurunkan harga menjadi
P2. Begitu juga pada musim ke 3, dengan asumsi harga tetap seperti yang
berlaku pada musim ke 2 maka produsen mengurangi produksinya pada musim
ke 3. Berdasarkan hal tersebut, akibatnya produksi di pasar berkurang dan
harga menjadi naik sebesar P3. Dari asumsi harga tetap kemudian dijadikan
dasar bagi rencana produksi musim ke 4, demikian seterusnya.
Apabila proses ini terus berlangsung, fluktuasinya akan semakin
mengecil dan akhirnya mencapai titik keseimbangan (equilibrium). Pada titik
tersebut, harga keseimbangannya adalah Pe dan jumlah yang diproduksi
sebanyak Qe. Pada tingkat ini terjadi kestabilan. Dalam proses tersebut tingkat
harga menunjukkan fluktuasi (naik turun) dari satu musim ke musim lainnya.
Proses ini disebut cobweb atau sarang laba-laba, hal tersebut disebabkan
gambarnya menyerupai sarang laba-laba.
C. Masalah sektor pertanian
Pada periode jangka pendek, harga hasil-hasil pertanian cenderung
mengalami naik dan turun yang relatif besar. Harga bisa mencapai tingkat yang
sangat tinggi pada suatu masa, sebaliknya akan mengalami kemerosotan yang
buruk pada masa berikutnya. Ketidakstabilan harga tersebut dapat disebabkan
oleh permintaan dan penawaran terhadap barang pertanian yang sifatnya tidak
elastis. Sifat ini menyebabkan perubahan yang sangat besar terhadap tingkat
harga apabila permintaan atau penawaran mengalami perubahan. Faktor yang
menimbulkan ketidakstabilan harga pertanian dalam jangka pendek dapat
dibedakan menjadi dua sumber yaitu naik turunnya penawaran dan
ketidakstabilan permintaan (Sukirno, 2005).
a) Ketidakstabilan yang bersumber dari perubahan penawaran
Tingkat produksi sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh
faktorfaktor yang berada di luar kemampuan petani untuk
mengendalikannya. Produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor
alamiah. Pada umumnya produksi hasil pertanian selalu berubah-ubah dari
satu musim ke musim lainnya. Perubahan musim ini terutama dipengaruhi
oleh keadaan cuaca iklim dan faktor-faktor alamiah yang lain seperti banjir,
hujan yang terlalu banyak/kemarau panjang. Selain itu, serangan hama
tanaman dan binatang pengganggu dapat menimbulkan pengaruh yang
penting terhadap perubahan produksi hasil pertanian. Pada periode jangka
pendek maupun jangka panjang, permintaan terhadap barang pertanian
bersifat tidak elastis. Di dalam jangka panjang, hal ini disebabkan karena
elastisitas permintaan pendapatan terhadap barang pertanian rendah, yaitu
kenaikan yang kecil saja terhadap permintaan. Di dalam jangka pendek,
permintaan terhadap barang pertanian bersifat tidak elastis karena
kebanyakan hasil-hasil p ertanian merupakan barang kebutuhan pokok
harian, yaitu digunakan setiap hari. Walaupun harganya sangat meningkat
namun jumlah yang sama masih tetap harus dikonsumsi. Sebaliknya pada
waktu harga sangat merosot, konsumsi tidak akan banyak bertambah
karena kebutuhan konsumsi yang relatif tetap. Oleh karena sifat permintaan
atas barang pertanian yang tidak elastis tersebut, maka harga akan
mengalami perubahan yang sangat besar sekiranya penawaran hasil
pertanian mengalami perubahan.
Gambar 2.2 diatas menggambarkan keadaan penawaran dan permintaan
barang pertanian. Kurva S adalah penawaran, kurva D adalah permintaan,
dan titik keseimbangan pada titik E. Perubahan sisi supply membuat E
berubah dari E ke E1 yang berarti harga mengalami penurunan dari P ke
P1. akan tetapi jumlah barang yang diminta mengalami peningkatan
b) Ketidakstabilan yang ditimbulkan oleh perubahan permintaan
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penawaran terhadap
barang pertanian bersifat tidak elastis, yaitu yang pertama adalah karena
barang-barang pertanian dihasilkan secara musiman. Misalnya tanaman
yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu dan dari tahun ke tahun
kebiasaan ini tidak akan berubah walaupun terjadi perubahan harga yang
cukup besar. Kedua, beberapa jenis tanaman memerlukan waktu bertahuntahun sebelum hasilnya dapat diperoleh. Tanaman ini seperti tanaman
buah-buahan dan bahan mentah. Penawaran barang pertanian yang sukar
berubah tersebut diikuti pula oleh ketidakelastisan permintaannya dapat
menyebabkan perubahan harga yang sangat besar apabila berlaku
perubahan permintaan. Hal ini dapat dengan jelas ditunjukkan secara grafik
sebagai berikut.
Gambar 2.3
Pengaruh perubahan permintaan
Gambar 2.3 merupakan kurva permintaan dan penawaran masing masing
digambarkan dengan D dan S. Sesuai dengan sifat permintaan dan
penawaran terhadap barang pertanian yaitu keduanya bersifat tidak elastis,
maka kurva D dan S adalah tidak elastis. Keseimbangan terjadi di titik E dan
berarti harga adalah P dan jumlah barang adalah Q. Selanjutnya dimisalkan
oleh beberapa faktor tertentu perekonomian mengalami resesi, kemunduran
ekonomi ini menyebabkan permintaan ke atas. Barang pertanian berpindah
di D ke D1 karena penawaran tidak mengalami perubahan maka
keseimbangan yang baru tercapai di titik E. Harga turun dan barang yang
dijual turun.
Fluktuasi Harga
Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat
ketidakseimbangan antara kuantitas pasokan dan kuantitas permintaan yang
dibutuhkan konsumen. Jika terjadi kelebihan pasokan maka harga komoditas
akan turun, sebaliknya jika terjadi kekurangan pasokan. Dalam proses
pembentukan harga tersebut perilaku petani dan pedagang memiliki peranan
penting karena mereka dapat mengatur volume penjualannya yang disesuaikan
dengan kebutuhan konsumen. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan
bahwa fluktuasi harga yang relatif tinggi pada komoditas beras pada dasarnya
terjadi akibat kegagalan petani mengatur volume pasokannya sesuai dengan
kebutuhan konsumen (Bambang, 2007). Kondisi demikian dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu:
a. Produksi sayuran cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu saja,
misalnya sekitar 90 persen produksi bawang merah nasional hanya
dihasilkan di 6 provinsi dan 82 persen produksi cabe dihasilkan di 7 provinsi.
Struktur produksi demikian tidak kondusif bagi stabilitas harga karena jika
terjadi anomali produksi (misalnya gagal panen akibat hama atau lonjakan
produksi akibat pengaruh iklim) di salah satu daerah sentra produksi maka
akan berpengaruh besar terhadap keseimbangan pasar secara
keseluruhan.
b. Struktur produksi yang terkonsentrasi secara regional diperparah pula oleh
pola produksi yang tidak sinkron antar daerah produsen. Setiap daerah
produsen sayuran umumnya memiliki pola produksi bulanan yang relative
sama sehingga total produksi sayuran cenderung terkonsentrasi pada
bulanbulan tertentu. Konsentrasi produksi secara temporer tersebut
misalnya dapat disimak pada pola produksi kentang dan kubis di Sumatera
Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menyumbang
sekitar 90 persen dan 78 persen produksi nasional. Di keempat provinsi
tersebut sekitar 60-65 persen produksi kentang dan kubis hanya dihasilkan
pada bulan Januari hingga Mei, sehingga pada bulan-bulan tersebut harga
kedua komoditas tersebut cenderung mengalami penurunan tajam.
c. Permintaan komoditas sayuran umumnya sangat sensitif terhadap
perubahan kesegaran produk. Sementara itu komoditas sayuran umumnya
relatif cepat busuk sehingga petani dan pedagang tidak mampu menahan
penjualannya terlalu lama dalam rangka mengatur volume pasokan yang
sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal itu dapat berdampak pada penurunan
harga jual yang disebabkan oleh penurunan kesegaran produk. Akibatnya,
pengaturan volume pasokan yang disesuaikan dengan kebutuhan
konsumen tidak mudah dilakukan karena setelah dipanen petani cenderung
segera menjual hasil panennya agar sayuran yang dipasarkan masih dalam
keadaan segar.
d. Untuk dapat mengatur volume pasokan yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen maka dibutuhkan sarana penyimpanan yang mampu
mempertahankan kesegaran produk secara efisien. Namun ketersediaan
sarana penyimpanan tersebut umumnya relatif terbatas akibat kebutuhan
investasi yang cukup besar sedangkan teknologi penyimpanan sederhana
yang dapat diterapkan oleh petani sangat terbatas.
E. Pengertian Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga secara umum, atau Inflasi dapat juga
dikatakan sebagai penurunan daya beli uang. Makin tinggi kenaikan harga makin
turun nilai uang. Defenisi di atas memberikan makna bahwa, kenaikan harga
barang tertentu atau kenaikan harga karena panen yang gagal misalnya, tidak
termasuk Inflasi. Ukuran Inflasi yang paling banyak adalah digunakan adalah:
Consumer price indeks” atau “ cost of living indeks”.Indeks ini berdasarkan pada
harga dari satu paket barang yang dipilih dan mewakili pola pengeluaran
konsumen. (Kuncoro, 2011:46) adalah: kecenderungan dari harga untuk
meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua
barang tidak dapat disebut Inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
mengakibatkan kenaikan kepada barang lainnya. Menurut Boediono (2008:155)
definisi singkat dari Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik
secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang
saja tidak disebut Inflasi. Syarat adanya kecenderungan menaik yang terus
menerus juga perlu digaris-bawahi. Kenaikan harga-harga karena, misalnya,
musiman, menjelang hari raya, bencana, dan sebagainya, yang sifatnya hanya
sementara tidak disebut Inflasi. A.W. Phillips dari London School of Economics
berhasil menemukan hubungan yang erat antara tingkat pengangguran dan
tingkat perubahan upah nominal (Samuelsondan Nordhaus, 1997:327).
Penemuan tersebut diperoleh dari hasil pengolahan data empirik perekonomian
Inggris periode 1861-1957 dan kemudian menghasilkan teori yang dikenal
dengan Kurva Phillips.
Rahardja dan Manurung (2008) mengungkapkan bahwa ada tiga syarat
yang harus dipenuhi agar keadaan dapat dikatakan terjadi inflasi, yaitu kenaikan
harga, bersifat umum, dan berlangsung terus menerus. Dimana dalam hal
kenaikan harga, harga suatu barang dikatakan naik jika harganya lebih tinggi
daripada harga barang di periode sebelumnya. Bersifat umum, kenaikan harga
komoditas bisa dikatakan mengalami inflasi jika menyebabkan harga-harga
secara secara umum naik. Dan yang dimaksud berlangsung terus-menerus
yaitu terjadinya dalam rentang waktu yang lama, bukan hanya sesaat saja.
F. Indeks Harga Konsumen (IHK)
Consumer Price Index adalah indeks yang yang paling banyak digunakan
dalam penghitungan inflasi. Indeks ini disusun dari harga barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh masyarakat. Jumlah barang dan jasa yang digunakan dalam
penghitungan angka indeks tersebut berbeda antarnegara dan antar waktu,
bergantung pada pola konsumsi masyarakat akan barang dan jasa tersebut.
Sebagai contoh, di Indonesia pada awalnya hanya digunakan Sembilan bahan
pokok (meliputi pangan, sandang, dan perumahan) yang dikonsumsi
masyarakat. Dalam perkembangannya, jumlah barang dan jasa tersebut
berkembang menjadi semakin banyak dan tidak hanya meliputi pangan,
sandang, dan papan, tetapi juga mencakup jasa kesehatan dan pendidikan (Diah
Utari,2015)
Indeks Harga Produsen (IHP)
Indeks Harga Produsen (IHP) adalah angka indeks yang
menggambarkan tingkat perubahan harga di tingkat produsen. Pengguna data
dapat memanfaatkan perkembangan harga produsen sebagai indikator dini
harga grosir maupun harga eceran. Selain itu dapat juga digunakan untuk
membantu penyusunan neraca ekonomi (PDB/PDRB), distribusi barang, margin
perdagangan, dan sebagainya. Sesuai dengan Manual Producer Price Index
(PPI), penghitungan IHP yang ideal dirancang menurut tingkatan produksi -
Stage of Production (SoP), yakni preliminary demand (produk awal),
intermediate demand (produk antara), dan final demand (produk akhir). Namun
IHP (2010=100) yang disajikan BPS baru mencakup final demand (produk akhir).
IHP dihitung menggunakan formula Laspeyres yang dimodifikasi, dengan tahun
dasar 2010=100. Hal ini berkaitan dengan sumber data yang digunakan untuk
menyusun diagram timbang yaitu Tabel Input-Output 2010 Updating. Data IHP
tersebut disajikan BPS secara triwulanan, dan baru sampai tingkat/level nasional
dalam bentuk indeks gabungan, indeks sektor dan indeks subsektor.
Harga yang digunakan untuk menghitung IHP bersumber dari Survei
Harga Produsen dan data sekunder. Pengumpulan harga dilakukan setiap bulan
(tanggal 1-15). Pemilihan responden dilakukan secara purposive, sedangkan
pemilihan komoditas menggunakan kriteria cut off point. Pengelompokan
komoditas dalam IHP didasarkan pada Klasifikasi Baku Komoditi Indonesia
(KBKI). Mulai tahun 2014, pengumpulan data Survei Harga Produsen mengalami
perluasan cakupan yaitu Sektor Akomodasi, Makanan dan Minuman.
Pengumpulan data dilakukan setiap bulan, tanggal 1-15 di 18 provinsi (Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Papua).
Sejak triwulan I-2015, penyajian data IHP (2010=100) selain terdiri dari IHP
Gabungan yang meliputi Sektor Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, dan
Industri Pengolahan, juga disajikan IHP Sektor Akomodasi, Makanan dan
Minuman.
H. Gross Domestik Produk (GDP)
Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) adalah total nilai
produksi barang dan jasa di dalam suatu negara selama satu tahun.
Penghitungan GDP ini meliputi keuntungan dan pendapatan yang dihasilkan
oleh nonpenduduk dan perusahaan asing di dalam negara yang bersangkutan,
tetapi tidak termasuk penduduk dan perusahaan dari negera yang bersangkutan
di negara lain (luar negeri
Sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
dalam 10 tahun terakhir mengalami kenaikan yang tidak terlalu signifikan.
Menurut Lutful Hakim dari Pusat Data dan Informasi, Kementerian Pertanian, hal
ini wajar terjadi karena Indonesia sedang mengalami transformasi struktural dari
agraris menuju negara industri. Pada beberapa negara maju manapun, dulunya
ekonomi ditopang dominan dari sektor agraris dan berangsur semakin maju
digantikan sektor industri dan jasa.
Data BPS menyebutkan PDB pertanian 2017 sebesar Rp 1.344 triliun
naik Rp 350 triliun dibandingkan 2013 sebesar Rp 995 triliun. Kemiskinan
penduduk di desa Maret 2018 sebesar 15,81 juta jiwa, turun 10,88%
dibandingkan Maret 2013 sebesar 17,74 juta jiwa dan mampu mengendalikan
inflasi bahan makanan 2017 sebesar 1,26% turun 88,9% dibandingkan 2013
sebesar 11,35%. Sumber data BPS pun menunjukkan ekspor pertanian 2017
sebesar Rp 441 triliun naik 24,47 persen dibandingkan 2016 sebesar Rp 387
triliun. Terk ait kemajuan investasi, data BKPM menunjukkan investasi di sektor
pertanian 2017 sebesar Rp 45,9 triliun naik rerata 14 persen per tahun
dibandingkan 2013 sebesar Rp 29,3 triliun. Selain itu, indeks ketahanan pangan
Indonesia di tahun 2018 mengalami lompatan. Berdasarkan Global Food
Security Index (GFSI) 2018, peringkat ketahanan pangan Indonesia membaik
yakni dari 72 di tahun 2014 menjadi 65 di tahun 2018 dari 113 negara.
Komponen Inflasi
1) Inflasi Inti
Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau
persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi
oleh faktor fundamental, seperti: interaksi permintaan penawaran, lingkungan
eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang), dan
ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen. Menurut Quah dan Vahey
(1995) Inflasi inti didefinisikan sebagai komponen inflasi yang tidak memiliki
pengaruh terhadap output riil dalam jangka menengah-panjang. Secara
implisit mereka ingin mengatakan bahwa inflasi inti merupakan fenomena
moneter. Oleh karena itu, komponen inflasi yang persisten ini akan tercermin
pada ekspektasi masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut, maka supply shock yang memberikan
pengaruh permanen terhadap tingkat harga (misalnya, pengenaan tarif bea
masuk atas produk impor oleh pemerintah), namun tidak memberikan
pengaruh terhadap laju inflasi dalam jangka menengah-panjang, tidak
termasuk di dalam pengertian inflasi inti. Oleh karena itu, inflasi inti terkait
dengan inflasi yang dapat diantisipasi; sedangkan inflasi sesaat terkait
dengan unsur inflasi yang tidak dapat diantisipasi kejadiannya. Inflasi inti
atau core inflation pada beberapa literatur disebut juga dengan underlying
inflation. Inflasi inti inilah yang dapat dipengaruhi atau dikendalikan oleh bank
sentral, karena lebih mencerminkan karakteristik perkembangan harga yang
bersifat persisten. Hal ini menyebabkan penggunaan inflasi inti sebagai
sasaran operasional dapat memberikan sinyal yang tepat dalam
memformulasikan kebijakan moneter. Sebagai contoh, dalam hal terjadi
gangguan permintaan (demand shock) yang mengakibatkan inflasi tinggi,
respon bank sentral akan mengetatkan uang beredar sehingga tingkat inflasi
dapat ditekan. Di samping itu, kebijakan tersebut dapat juga untuk
menyesuaikan kembali pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang sesuai
dengan kapasitas perekonomian. Sebaliknya, jika inflasi meningkat karena
terjadinya gangguan penurunan di sisi penawaran (supply side), misalnya
kenaikan makanan karena musim kering, maka kebijakan uang ketat justru
dapat memperburuk tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi. Respon yang
dapat dilakukan oleh bank sentral adalah kebijakan melonggarkan likuiditas
perekonomian untuk menstimulir peningkatan penawaran.
2) Inflasi Non Inti
Inflasi non inti adalah komponen inflasi dengan volatilitas cenderung
tinggi karena dipengaruhi faktor non fundamental yang cenderung bersifat
sementara. Inflasi non inti dapat didefinisikan sebagai inflasi yang
disebabkan gangguan dari penawaran dan di luar kendali otoritas moneter
serta bersifat sesaat. Inflasi non inti sering disebut noises inflation. Okun
(1970) dalam (Tjahjono, 2000) menyatakan bahwa inflasi non inti merupakan
komponen perubahan harga relatif, terutama akibat gangguangangguan dari
sisi supply (supply disturbances). Gangguan atau perubahan harga relatif
dalam hal ini dipandang sebagai inflasi sesaat karena secara teoritis atau
perubahan harga relatif tidak dapat mendorong terjadinya kecenderungan
kenaikan harga-harga secara umum yang bersifat persisten, kecuali bila
diakomodasi oleh kebijakan moneter. Komponen inflasi non inti sendiri dapat
dibagi kedalam dua kelompok yaitu:
1) Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok
bahan makanan, seperti: panen, gangguan alam, atau perkembangan
harga komoditas pangan domestik maupun internasional. Sebagai
contoh: inflasi beras, cabe, dan beberapa jenis sayuran sering
berfluktuasi tajam karena dipengaruhi kondisi kecukupan pasokan
komoditas tersebut, seperti faktor musim panen, gangguan distribusi,
bencana alam maupun hama.
2) Inflasi Komponen Harga yang Diatur Pemerintah (Administered Prices):
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) kebijakan harga
Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan
lain-lain
J. Jenis inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam
pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat
bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Jenis-jenis inflasi dibedakan
sebagai:
a. Menurut Derajatnya:
1. Inflasi ringan di bawah 10% (single digit)
2. Inflasi sedang 10% - 30%.
3. Inflasi tinggi 30% - 100%.
4. Hyperinflasion di atas 100%.
Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat
mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu
wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan
golongan masyarakat manakah yang terkena imbas (yang menderita) dari
inflasi yang sedang terjadi.
b. Menurut Penyebabnya
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi penawaran (cost-push
inflation), dari sisi permintaan (demand- pull inflation) dan ekspektasi.
1. Cost-Push Inflation
Cost-push inflation, yaitu inflasi yang disebabkan bergesernya aggregat
supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor terjadinya cost-push inflation
dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri
terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga
komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative
supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
2. Demand-Pull Inflation
Demand-pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kuatnya
peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditas.
Akibatnya akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan
atas, sehingga terjadi excess demand, yang merupakan inflationary gap.
Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil
yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate
demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.
3. Ekspektasi inflasi
Faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku
ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan
kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung
bersifat adaptif atau forward looking (Bank Indonesia, 2012) . Ada
beberapa model ekonometrika yang dapat diaplikasikan untuk mengetahui
pengaruh kenaikan harga dengan inflasi, diantaranya adalah: Error
Correction Model (ECM) yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi harga eceran gula serta menganalisis hubungan
antara sistem distribusi gula terhadap laju inflasi (Susila & Munadi, 2008).
K. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang
otoritas utamanya berada di tangan pemerintah dan diwakili oleh Kementerian
Keuangan, hal tersebut tertuang dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa presiden
memberikan kuasa pengelolaan keuangan dan kekayaan Negara kepada
Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan
kekayaan negara. Menurut Restrepo tahun 2011 dalam (Mahpud 2011)
Kebijakan fiscal mempuyai peranan yang sangat penting dalam menjalankan
perekonomian suatu negara, fungsi dan kegunaan kebijakan fiskal antara lain
adalah untuk memobilisasi sumber daya seperti meningkatkan investasi,
menyediakan infrastruktur dan pengelolaan energi. Fungsi lain dari kebijakan
fiskal adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan
mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Selain itu kebijakan fiskal
dapat pula digunakan untuk menstabilkan harga, karena kebijakan ini dapat
mempengaruhi efek inflasi atau deflasi dalam suatu perekonomian, seperti
operasi pasar, penerapan pajak dan subsidi. Yang tak kalah penting dari fungsi
kebijakan fiskal adalah sebagai instrumen untuk meminimalkan ketidakmerataan
pendapatan dan kekayaan masyarakat, sehingga adan fungsi distribusi dan
alokasi dalam sebuah kebijakan fiskal yang diambil antara lain pengenaan pajak
kepada orang kaya dan pemberian subsidi kepada orang miskin Restrepo,2011
dalam (Mahpud, 2011).
L. Inflation Targeting
Inflation targeting adalah sebuah kerangka kerja untuk kebijakan moneter
yang ditandai dengan pengumuman kepada masyarakat tentang angka target
inflasi dalam satu periode tertentu. Inflation targeting secara eksplisit
menyatakan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan
menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Dalam prakteknya, moneter
ditujukan untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, yang dicerminkan oleh: (1)
stabilitas harga (rendahnya laju inflasi); (2) membaiknya perkembangan output
riil (pertumbuhan ekonomi) dan (3) cukup luasnya lapangan kerja yang tersedia
(Warjiyo, 2004).
Inflation targeting merupakan strategi kebijakan moneter yang mencakup
lima elemen utama: 1) pengumuman publik jangka menengah untuk target
angka inflasi; 2) komitmen institusional terhadap stabilitas harga sebagai tujuan
utama dari kebijakan moneter, dimana tujuan lainnya adalah subordinasi; 3)
strategi informasi inklusif dimana banyak variabel, dan tidak hanya agregat
moneter atau kurs, digunakan untuk menentukan penetapan instrumen
kebijakan; 4) meningkatkan strategi transparansi kebijakan moneter melalui
komunikasi dengan masyarakat dan pasar tentang rencana, tujuan, dan
keputusan dari otoritas moneter; dan 5 ) peningkatan akuntabilitas Bank Sentral
untuk mencapai tujuan obyektif inflasi. Inflation targeting memiliki beberapa
keuntungan sebagai strategi jangka menengah untuk kebijakan moneter.
Berbeda dengan nilai tukar tetap, Inflation targeting memungkinkan kebijakan
moneter untuk fokus pada pertimbangan domestic dan untuk merespon
guncangan terhadap perekonomian domestik. Sasaran inflasi memiliki
keuntungan bahwa hubungan yang stabil antara uang dan inflasi tidak penting
untuk kesuksesan: strategi tidak bergantung pada hubungan tersebut, melainkan
menggunakan semua informasi yang tersedia untuk menentukan pengaturan
terbaik untuk instrumn kebijakan moneter. Inflation targeting juga memiliki
keuntungan kunci yang mudah dipahami oleh publik dan dengan demikian
sangat transparan. Tujuan inflation targeting, yaitu untuk mencapai laju inflasi
yang rendah dan stabil dalam jangka panjang, maka pemerintah dan BI
menetapkan bahwa sasaran inflasi jangka menengah dan panjang yang ingin
dicapai adalah sebesar 3%. Dalam mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa
digunakan tiga indikator yaitu: (1) Perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK)
atau Indeks Biaya Hidup (IBH). (2) Perubahan Indeks Harga Perdagangan Besar
(IHPB). (3) Perubahan Deflator GDP/GDY. Masing-masing indikator punya
kelebihan dan kekurangan, namun yang utama adalah kita bagaimana
menggunakan jenis indikator sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pengukuran.
Di Indonesia, indikator yang sering digunakan untuk mengukur inflasi ini adalah
IHK Laju inflasi yang tinggi tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi
juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi makro lainnya, seperti mengganggu
keseimbangan neraca pembayaran dan memperlemah nilai tukar rupiah
terhadap mata uang negara lain. Penyebab terjadinya inflasi dapat dilihat dari
beberapa sisi, sisi permintaan, sisi penawaran, atau campuran antara keduanya.
Proses dinamika harga ini dapat berlangsung secara natural melalui mekanisme
menganalisa interaksi simultan antara permintaan dan penawaran baik pada
pasar barang dan pasar uang adalah kerangka IS-LM. Kerangka ini secara
gamblang dapat menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dan fiskal mampu
mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000).
M. Keterkaitan antara Harga Komoditas dan Inflasi
Hubungan positif antara krisis keuangan dan harga pangan menyiratkan
pentingnya komoditas pangan sebagai instrumen keuangan (finansialisasi).
Ketika inflasi memasuki fase krisis, maka pasar komoditas juga akan memasuki
fase krisis. Krisis keuangan dianggap lebih relevan menciptakan volatilitas harga
daripada sebuah spekulasi. Namun, ketika kegiatan spekulatif terjadi pada pasar
komoditas maka secara tidak langsung dapat terungkap adanya hubungan
antara krisis keuangan dan pasar komoditas (Braun & Tadesse,2012). Menurut Jogwanich & Park (2009) Inflasi yang terjadi pada negaranegara berkembang di Asia menjelaskan bahwa inflasi muncul sebagai
tantangan makro ekonomi terbesar yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang di Asia. Hasil empiris menunjukkan bahwa laju inflasi disebabkan
sebagian besar oleh adanya guncangan dari komoditas pangan. Ada 9 negara
berkembang yang menjadi fokus dalam penelitian tersebut, antara lain: RRC,
India, Indonesia, Korea, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand, dan
Vietnam. Di negara berkembang, misalnya Pakistan, masyarakatnya akan
mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka.
Kenaikan harga komoditas pangan mampu menurunkan daya beli
masyarakat terhadap konsumsi komoditas pangan tersebut, sehingga akan
menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan di dalam masyarakat. Oleh
karena itu, tingkat stabilitas harga komoditas pangan berfungsi sebagai indikator
untuk mengukur seberapa baik atau buruknya perekonomian di suatu negara
(Moshin & Zaman, 2012). Perubahan harga komoditas pangan di Indonesia
merupakan salah satu faktor dominan yang menjadi penyumbang penentuan
inflasi. Dengan menelaah bahwa volatilitas inflasi harga komoditas pangan
sedemikan tinggi, maka akan menyebabkan unsur resiko dan ketidakpastian
yang relatif tinggi pula dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, sangat
dibutuhkan suatu model peramalan laju inflasi yang mampu menjadi dasar bagi
pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam mengendalikan inflasi (Santoso,
2011).
Pergerakan harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators
inflasi. Alasannya adalah, yang pertama yaitu, harga komoditas mampu
merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum,
seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga
komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shocks, seperti:
banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur
distribusi dari komoditas tersebut. Pergerakan harga komoditas pangan akan
selaras dengan perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun
besarannya akan berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat
memberikan sinyal bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul,
sehingga tekanan inflasi meningkat.
N. Tinjauan Empiris
Dalam penelitian ini penulis memaparkan tiga penelitian terdahulu yang
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu dengan Pengaruh Harga
Komoditas Terhadap Inflasi (studi kasus komoditas bawang merah dan cabe
rawit). Penelitian oleh Christanty (2013) menguji volatilitas harga beras dan
kentang pada empat pasar (Giant, Hypermart, Pasar Dinoyo, Pasar Besar) di
Kota Makassar. Berdasarkan Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik Kota
Makassar, kelompok komoditi yang memberikan andil atau sumbangan terbesar
untuk inflasi pada periode 2010.10-2012.07 berasal dari kelompok bahan
makanan. Dua komoditas yang akan menjadi objek penelitian, yaitu: beras dan
kentang, dimana kedua komoditas tersebut masuk dalam kelompok bahan
makanan. Hasil peramalan ARIMA dan melalui perhitungan nilai MAPE
menerangkan bahwa tingkat volatilitas harga tertinggi pada kedua komoditas
tersebut terjadi di Giant. Tingkat volatilitas harga yang relatif tinggi di Giant dan
Pasar Dinoyo mampu mengidikasikan bahwa volatilitas harga, khususnya harga
komoditas pangan (beras dan kentang) berpengaruh signifikan terhadap inflasi di
Kota Makassar. Pembuktian ini, dilakukan melalui estimasi dengan pendekatan
model ARCH/GARCH. Selanjutnya, oleh Widiarsih (2012) meneliti tentang
pengaruh sektor komoditas beras terhadap inflasi bahan makanan dan
menganalisis dampak harga dasar gabah yang ditetapkan oleh pemerintah,
jumlah impor beras, dan jumlah produksi beras nasional terhadap stabilitas
ekonomi makro yang diinterpretasikan dengan inflasi bahan makanan. Hasil
penelitian dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM)
menunjukkan bahwa Variabel harga dasar gabah berpengaruh signifikan
terhadap Inflasi bahan makanan baik dalam jangka panjang maupun jangka
pendek. Variabel jumlah impor beras memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel inflasi bahan makanan dalam jangka pendek namun tidak untuk jangka
panjang.
Dalam jangka panjang, variabel jumlah produksi padi berpengaruh
signifikan terhadap inflasi bahan makanan. Namun dalam jangka pendek,
variabel ini tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap inflasi bahan makanan.
Selanjutnya, oleh Fithaloka (2016) meneliti tentang pengaruh volatilitas harga
beras terhadap inflasi bahan makanan di Kota Makassar. Data yang digunakan
adalah data sekunder beras periode Januari 2014-Desember 2015 yang
diperoleh dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) dan inflasi
bahan makanan periode tahun 2014 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) di provinsi sulawesi selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komoditas daging sapi dan cabe rawit tidak mengalami volatilitas yang tinggi
meskipun mengalami kejutan harga yang tinggi dan berlangsung lama. Untuk
model peramalan yang cocok pada harga komoditas daging sapi adalah ARIMA
(1,1,1) dan dilanjutkan dengan model ARCH (1) karena model memiliki sifat
heteroskedastisitas. Hampir sama dengan harga daging sapi, model peramalan
yang terpilih untuk harga komoditas cabe rawit adalah ARIMA (1,0,1) dan
GARCH (2,1). Tentang bagaimana pengaruh volatilitas harga terhadap inflasi
bahan makanan di Kota Makassar, volatilitas harga daging sapi dan cabe rawit
sama-sama memiliki pengaruh terhadap inflasi bahan makanan. Volatilitas harga
beras menjukkan hubungan yang negatif terhadap inflasi bahan makanan di
Kota Makassar.
O. Kerangka Pikir
Hubungan harga dengan inflasi adalah keadaan dimana distribusi
penawaran dan permintaan yang tidak stabil mengakibatkan kejutan harga pada
bahan pokok. Adapun beberapa hal yang mempengaruhi harga komoditas beras
antara lain Indek Harga Konsumen (IHK) Indeks ini disusun dari harga barang
dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Jumlah barang dan jasa yang
digunakan dalam penghitungan angka indeks tersebut, selanjutnya Indeks Harga
Produsen (IHP) merupakan perbandingan perubahan barang dan juga jasa yang
dibeli oleh para produsen pada kurun waktu tertentu, dan Gross Domestik Bruto
(GDP) total nilai produksi barang dan jasa di dalam suatu negara selama satu
tahun. Ketika produksi bahan pokok mengalami gagal panen akibat cuaca,
gangguan hama, serta faktor perkembangan harga bahan pokok akan
mengganggu jalannya distribusi dan mengakibatkan cost push inflation.
Sementara dari sisi permintaan akan mengakibatkan demand pull inflation
karena tingginya permintaan terhadap barang pokok. Namun tingginya
permintaan tersebut relative terhadap
Gambar 2.4
Kerangka piker
P. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan pernyataan yang bersifat sementara mengenai
pengaruh variabel-variabel dependen dan independen berdasarkan kerangka
teoritis maupun penelitian terdahulu. Adapun hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah “Diduga Ketersediaan Sektor Komoditi Beras yang terdiri
dari produksi beras nasional dan beras impor berpengaruh terhadap besarnya
Inflasi Bahan Makanan di Provinsi Sulawesi Selatan
Secara geografis, Provinsi Sulawesi Selatan dengan ibu kota
Makassar memiliki posisi yang sangat strategis, karena terletak di
tengah-tengah Kepulauan Indonesia. Tentunya dilihat secara ekonomis
daerah ini memiliki keunggulan komparatif,dimana Selat Makassar telah
menjadi salah satu jalur pelayaran internasional,disamping itu Kota
Makassar telah pula ditetapkan sebagai pintu gerbang Kawasan Timur
Indonesia (KTI).Selain memiliki keunggulan dari letak geografis tersebut,
Sulawesi Selatan juga memiliki keunggulan lain dilihat dari sisi etnik
budaya, dimana masyarakat Sulawesi Selatan yang terdiri dari berbagai
etnik budaya memiliki nilai-nilai luhur yang diangkat dari nilai tradisional
dan budaya lokal, dan secara universal dapat dipadukan dengan cara
pandang global.
Nilai tersebut berfungsi sebagai rambu-rambu/koridor dalam
pelaksanaan semua aktivitas pembangunan yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat. Setidaknya ada tiga etnis besar yang
mewarnai nilai-nilai luhur tersebut, yaitu etnis bugis, makassar, dan toraja,
serta etnis mandar.Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari setiap
keunggulan yang dimiliki dalam mewujudkan tujuan pembangunan, maka
kemampuan untuk memadukan secara bijak antara potensi alam yang
strategis dengan sumber daya manusia yang telah terbekali dengan nilainilai luhur di atasperludilakukan. Pengembangan potensi harus selalu
direncanakan dengan sebaik mungkin dan dilaksanakan seefektif dan
seefisien mungkin melalui berbagai aspek yang saling terkait, saling
mempengaruhi dan secara keseluruhan dikelola seoptimal mungkin dan
diharapkan bermuara pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak
pada bagian selatan Pulau Sulawesi memiliki luas wilayah kurang lebih
45.764,53km2,. , bahwa diantara 24 kabupaten/kota yang terdapat diwilayah
Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten yang
memiliki luas wilayah terbesar yakni sekitar 7.502,68 km2atau
16,40persen dari luas wilayah Sulawesi Selatan, sementara itu
kabupaten/kota dengan luas wilayah terkecil adalah Kota Parepare
dengan luas sekitar 99,33km2 atau kurang lebih 0,22 persen dari seluruh
wilayah Sulawesi Selatan. Diantara kabupaten/kota tersebut, Kabupaten
Toraja Utara merupakan daerah otonom baru di daerah ini, yang merupakan
pemekaran dari KabupatenTana Toraja. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah kurang lebih 1.151,47km atau 2,52 persen dari luas wilayah
Sulawesi Selatan.Secara geografis posisi Provinsi Sulawesi Selatan terletak
antara 116° 48’-122°36’ Bujur Timur dan 0° 12’ -8° Lintang Selatan.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Prov.
Sulsel Tahun 2016 Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan TA. 2014 berbatasan
dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara, Teluk Bone dan
Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur. Batas Sebelah Barat dan
Selatan masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut Flores .
Berdasarkan pengamatan pada tiga Stasiun Klimatologi (Maros,
Hasanuddin dan Maritim Paotere) bahwa selama tahun 2013rata-rata
suhu udara 27.3°C di Kota Makassar dan sekitarnya tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Suhu udara maksiumum di Stasiun Klimatologi Hasanuddin
32.6°C.2.Topografi Provinsi Sulawesi Selatan dialiri 67 aliran sungai,
dimana sebahagian besar aliran sungai tersebut terdapat di Kabupaten
Luwu yakni 25 aliran sungai. Sungai terpanjang di daerah ini yaitu
Sungai Saddang dengan panjang kurang lebih 150 km dengan melalui 3
kabupaten yakni Kabupaten Tator, Enrekang dan Pinrang. Selain aliran
sungai, daerah ini juga memiliki sejumlah danau yaitu Danau Tempe di
Kabupaten Wajo dan Danau Sidenreng di Kabupaten Sidrap, serta
Danau Matana dan Danau Towuti di Kabupaten Luwu. Disamping
memiliki sejumlah sungai dan danau.Selain itu, daerah ini juga memiliki 7
buah gunung, dimana Gunung Rantemario dengan ketinggian 3.470 m di
atas permukaan laut merupakan yang tertinggi di daerah.Gunung ini
berdiri tegak di perbatasan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Luwu.