• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label bertani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bertani. Tampilkan semua postingan

bertani




pertanian adalah sumber kehidupan. Pernyataan ini tentu 
lazim diyakini karena disadari fungsi pertanian sebagai 
sumber produksi segala jenis bahan pangan. Tanpa ada 
produksi pertanian tentu keberlangsungan hidup manusia dan 
makhluk hidup lain akan terganggu bahkan terancam punah. 
Fungsi strategis sektor pertanian tersebut sampai kapan pun tidak 
tergantikan oleh sektor lain. Oleh karena itu, pertanian senantiasa 
menjadi prioritas dalam sederet program pembangunan nasional. 
Kemajuan pertanian memberi kontribusi penting bagi jaminan 
bahan pangan, kelayakan hidup, kecukupan pangan dan gizi, pe￾ningkatan status kesehatan, stabilitas keamanan dan pertahanan 
nasional serta kualitas sumber daya manusia di masa kini dan 
mendatang. 
Sebelum membahas lebih mendalam tentang perkembangan 
pembangunan pertanian maka terlebih dahulu kita wajib me￾mahami secara jelas dan lengkap apakah sebenarnya yang di￾maksud dengan pertanian itu sendiri. Mosher (1987) mendefinisi￾kan pertanian adalah sejenis proses produksi khas yang didasar￾
kan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Para petani 
mengatur dan menggiatkan pertumbuhan tanaman dan hewan 
tersebut dalam usaha tani (farm). Secara lebih kompleks Reijntjes, 
Haverkort dan Bayer (1999) menyebutkan bahwa pertanian seba￾gai suatu sistem (farming system) adalah suatu pola pengaturan 
usaha tani yang stabil dan unik serta layak dikelola menurut 
praktik yang dijabarkan sesuai kondisi lingkungan fisik, biologis 
dan sosio-ekonomi menurut target yang menjadi tujuan, referensi 
dan sumber daya rumahtangga. 
Pertanian dikenal semenjak manusia memanfaatkan ber￾bagai jenis tanaman, hewan dan ikan sebagai bahan pangan. 
Kepandaian tersebut meningkat karena manusia yang berakal 
budi mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan hewan 
dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat 
langsung. Selama ini kita telah mengenal adanya perbedaan 
antara pertanian primitif, tradisional, semi modern, modern dan 
super modern. Keempat fase perkembangan pertanian tersebut 
pada prinsipnya dibedakan atas dasar tingkat ilmiah dan primitif 
dalam penggunaan teknologi yang diterapkan. Perkembangan 
pertanian pada keempat fase terinci pada Gambar 3. Keberadaan pertanian tidak terlepas dari sejarah awal 
kemunculan peradaban manusia. Pertanian primitif berlangsung 
saat jumlah populasi manusia masih sedikit. Segala kebutuhan 
pangan terpenuhi dan siap tersedia di alam sekitar. Manusia 
melakukan tindakan berburu dan meramu berbagai bahan pangan 
untuk dikonsumsi. Setiap individu bebas mengumpulkan, 
memburu lalu meramu bahan pangan untuk melangsungkan ke￾hidupan. Akan tetapi, sewaktu jumlah populasi manusia semakin 
meningkat maka ketersediaan bahan pangan di alami kian ter￾batas. Manusia belajar dari alam bagaimana proses kejadian 
pertumbuhan dan perkembangan tanaman hingga menghasilkan 
buah dan biji. Tindakan membuang biji-bijian sisa makanan, yang 
tumbuh lalu berkembang dan berbuah hingga siap dikumpul 
sekaligus diramu menjadi bahan pangan merupakan suatu penga￾laman awal bagi manusia untuk memulai proses budidaya tanam￾an. Corak pertanian pada fase primitif terlihat pada Gambar 4Kesulitan berburu hewan sebagai bahan pangan yang 
jumlahnya makin terbatas mengajarkan manusia tentang teknik 
penjinakan. Beberapa jenis hewan dan ikan dipelihara sekaligus 
dibudidayakan dengan teknik sederhana. Kepandaian manusia 
melakukan berbagai kegiatan bertani pada fase pertanian primitif 
belum diwarnai sesuatu yang mengandung prinsip ilmiah. Akan 
tetapi, segala tindakan bertani hanya didasarkan dari pengalaman 
sehari-hari. 
Ketika dihadapkan pada masalah tuntutan peningkatan 
kebutuhan pangan maka kegiatan bertani mulai diatur dengan 
cara alami. Budidaya tanaman, hewan dan ikan dilakukan dengan 
teknik tertentu yang diperoleh dari warisan generasi terdahulu 
dan digabung pengalaman sehari-hari melalui pengamatan dan uji 
coba secara sederhana. Kondisi demikian, menunjukkan fase 
pertanian primitif secara perlahan mulai beralih ke fase pertanian 
tradisional. 
Pertanian tradisional yang masih sangat sederhana dicirikan 
dari keadaan di mana petani sebagai pengelola usaha tani bersedia 
menerima kondisi tanah, curah hujan, kelembaban, iklim, varietas 
tanaman dengan apa adanya. Petani berperan menyebarkan biji 
tanaman, menjinakkan hewan dan membantu menyingkirkan atau 
mencegah pertumbuhan tanaman lain yang dianggap meng￾ganggu dan merusak tanamannya dalam memperoleh air dan 
matahari. Secara sederhana sudah dilakukan usaha perlindungan 
tanaman dari serangan hewan liar. Beberapa hewan tertentu yang 
dijinakkan secara tidak langsung dikembangbiakkan untuk di￾ambil manfaat atau hasil dari padanya. Kegiatan pertanian 
tradisional cenderung disesuaikan petani dengan siklus gejala 
alam. Beberapa kegiatan pertanian tradisional tercantum pada 
Gambar 5. Pertanian tradisional lebih mengacu pada arti sempit 
sehubungan dengan kegiatan bercocok tanam secara menetap 
pada sebidang lahan tertentu. Peralatan yang digunakan untuk 
bercocok tanam sederhana berupa tugal yakni alat pelubang tanah 
manual dari kayu atau bambu yang salah satu ujungnyadiperuncing. Semua input produksi yang digunakan berasal dari 
bahan organik. Intervensi atau campur tangan manusia relatif 
sedikit terhadap proses produksi pada fase pertanian tradisional. 
Kepandaian petani memproduksi hasil pertanian bersumber 
dari pengetahuan yang disampaikan oleh generasi sebelumnya, 
berbagi pengalaman dengan petani lain dan pengalaman sendiri. 
Cara bertani pada fase ini telah diwarnai prinsip ilmiah yang 
masih memiliki kadar rendah. Orientasi bertani cenderung untuk 
kepentingan pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga. Meski￾pun demikian, beberapa petani mulai memiliki orientasi ekonomi. 
Sebagian hasil panen disisihkan untuk dijual ke warga masyarakat 
lain yang menjadi konsumen. 
Sejalan dengan tuntutan peningkatan kebutuhan pangan 
maka teknik bertani yang dilakukan semakin intensif dengan 
memanfaatkan teknologi sederhana yang lebih beragam seperti 
tugal, cangkul, arit, parang, hewan pembajak dan lainnya. Peng￾gunaan peralatan bekerja untuk mengolah lahan, menanam, 
mengairi, memupuk, menyiangi, mengendalikan hama penyakit 
dan memanen makin beragam menunjukkan bahwa tahapan per￾tanian memasuki fase semi modern. Petani sudah berusaha 
meningkatkan hasil panen melalui teknik ekstensifikasi dan 
intensifikasi. 
Kegiatan ekstensifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan 
hasil produksi usaha pertanian melalui perluasan lahan ke 
wilayah yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. 
Perluasan lahan dilakukan karena masih memungkinkan untuk 
memanfaatkan pengolahan lahan tidur, lahan marginal, padang 
rumput, lahan rawa dan lahan berkemiringan tinggi. Adapun 
intensifikasi pertanian ditunjukkan dari kegiatan petani mening￾katkan hasil produksi pada sebidang lahan melalui pemanfaatanteknologi pertanian mulai dari pengolahan lahan, pemilihan benih 
dan bibit, pengaturan sistem pengairan, pemupukan, obat 
pengendali hama penyakit, peralatan bertani manual dan sebagian 
mekanis. Pertanian semi modern sudah mulai menerapkan 
teknologi mekanisasi misalnya hand tractor untuk mengolah lahan 
dan alat tanam benih langsung (atabela) untuk menanam bibit 
padi dan jagung. Peningkatan kesuburan lahan pertanian 
dilakukan dengan pemakaian pupuk anorganik buatan pabrik. 
Sistem pengairan diatur melalui pemakaian fasilitas bendungan 
atau waduk. Air dialirkan ke lokasi lahan usaha tani secara 
teratur. Corak pertanian fase tradisional teramati pada Gambar 6. 
Upaya lain yang dilakukan petani pada tahap semi modern 
ialah reboisasi atau penghijauan kembali dan rehabilitasi lahan 
atau mengembalikan kesuburan lahan. Kegiatan rehabilitasi lahan 
ditujukan untuk memperbaiki, mempertahankan dan meningkat￾kan kesuburan melalui pengayaan jenis tanaman dan praktik 
teknik bertani yang memegang prinsip konservasi. Realisasi 
pertanian semi modern dapat dilihat pada Gambar 7. 
Petani mengelola usaha tani pada fase semi modern sudah 
berorientasi pada pencapaian keuntungan. Prinsip petani mulai 
komersial karena berupaya menghemat biaya produksi untuk 
memperoleh keuntungan maksimal. Meskipun demikian, masih 
banyak ditemukan petani subsisten yang mengelola usaha tani 
untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. 
Pertanian pada fase semi modern memiliki corak khas yakni 
kondisi petani yang relatif aktif membentuk dan memfungsikan 
kelembagaan sosial ekonomi. Hal tersebut ditujukan untuk 
menjadi sarana kebersamaan dalam mengembangkan pengelolaan 
usaha tani. Petani memanfaatkan keberadaan kelompok tani 
sebagai media penghubung dalam memperoleh informasi harga, 
pasar dan teknologi pertanian. Berbagai permasalahan petani juga 
disampaikan saat perkumpulan anggota kelompok tani dengan 
harapan solusi ditemukan melalui berbagi pengalaman. 
Keberadaan agen pembaharu pertanian seperti penyuluh 
pertanian lapangan dan petugas pengatur air irigasi teknis me￾miliki fungsi penting. Petani menyampaikan informasi tentang 
kondisi usaha tani. Hubungan agen pembaharu pertanian dengan 
petani saling mengisi dengan pola kemitraan. 
Komunikasi dan interaksi sosial antar pelaku pertanian 
penting dan dibutuhkan pada fase semi tradisional. Petani ber￾kumpul dalam kelompok untuk menerima berbagai informasi 
teknologi produksi dan segmen pasar yang potensial bagi hasil 
panen. Teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman juga 
sering diperoleh petani dari kelompok tani. Teknik pengaturan 
jarak tanam pola jajar legowo termasuk informasi berharga yang 
diterima petani dari para agen pembaharu pertanian. Tampilan 
corak pertanian semi modern tercermati secara saksama pada 
Gambar 8.
Pertanian modern sudah mengenal penerapan teknologi yang 
berdasarkan prinsip ilmiah. Arus pertanian modern digerakkan 
oleh kekuatan sumber daya teknologi dan kapital. Petani dituntut 
untuk menyesuaikan kemampuannya agar terampil dalam 
mengendalikan ragam teknologi produksi. Fungsi teknologi tidak 
hanya terletak pada proses produksi namun juga berperan penting 
dalam pra dan pasca produksi. Oleh karena itu, pertanian modern 
dikenal dengan kegiatan bertani padat modal. Difusi teknologi 
pada pertanian modern mengenai seluruh sub sektor pertanian 
tanaman pangan, hortikultura, tanaman hias, perkebunan, peter-
nakan, perikanan, kelautan dan kehutanan. Kontribusi pemerintah 
dan investor dibutuhkan dalam pengembangan berbagai inovasi 
yang memacu peningkatan produksi dan produktivitas. Orientasi 
pertanian sudah mengarah pada komersialisasi dan keuntungan 
maksimal. Padat karya beralih ke padat modal sehingga 
dikhawatirkan pertanian modern rentan menyebabkan risiko 
kehilangan pekerjaan pada daerah agraris yang padat penduduk. 
Pemanfaatan mekanisasi pertanian bergerak cepat dalam 
pertanian modern. Fungsi tenaga kerja buruh tani dalam meng￾olah lahan dapat digantikan oleh mesin bajak, yang dikendalikan 
cukup oleh seorang operator pengatur remote control. Penyiangan 
tanaman dengan mulsa plastik. Pekerjaan menanam padi di￾lakukan oleh alat tanam benih langsung secara mekanis. Penyi￾raman, pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman 
dilaksanakan dengan pemanfaatan pesawat tanpa awak atau 
drone. 
Pertanian modern tidak hanya juga berlangsung pada on 
farm namun juga dikembangkan pada kegiatan produktif off farm. 
Program industrialisasi pertanian termasuk bagian dari perkem￾bangan fase pertanian modern. Unit usaha industrialisasi per￾tanian berskala mikro, kecil , menengah dan besar berkembang 
menghasilkan produk bernilai tambah untuk memenuhi kebu￾tuhan berbagai segmen pasar. Pengolahan susu menjadi keju, 
kefir, yogurt, krim, pancake, es krim dan aneka produk lain ter￾masuk bagian dari pertanian modern pada kegiatan off farm. 
Pertanian modern memang memiliki berbagai kemanfaatan 
bagi kehidupan manusia dan industri. Meskipun demikian, per￾tanian modern juga memiliki kelemahan yang muncul dari efek 
padat teknologi dan padat modal terhadap petani kecil yang 
berstatus penggarap dan buruh tani. Kategori petani kecil 
dijumpai dengan mudah di berbagai negara agraris. Jumlahnya 
lebih banyak dari petani yang bermodal kuat dan berlahan luas. 
Bila keberlangsungan pertanian modern tidak diatur sesuai 
potensi sumber daya manusia yang tersedia tentu petani kecil 
rawan mengalami risiko kehilangan pekerjaan. Ancaman ketuna￾karyaan sulit dielakkan. Sementara, proses peralihan pekerjaan 
dari pertanian ke non-pertanian bukanlah hal mudah bagi petani 
kecil. Alternatif solusi ialah sejak dini mengembangkan potensi 
dan kemampuan skill petani kecil dalam diversifikasi mata 
pencaharian on farm dan off farm. Pertanian modern dikembangkan 
bukan hanya di wilayah pedesaan dengan luas lahan pertanian 
yang mencukupi. Akan tetapi, pertanian modern dapat juga di￾kembangkan pada lahan terbatas termasuk di wilayah perkotaan. 
Pertanian modern yang sarat dengan penggunaan input luar 
tinggi bagi proses produksi menimbulkan efek buruk yang meru￾gikan bagi keseimbangan sumber daya alam dan sumber daya 
manusia. Tumpahan atau tetesan bahan bakar solar dari mesin 
perontok atau hand tractor padi dapat mencemari ekosistem lahan 
usaha tani dan daerah bagian hillir karena terbawa aliran air. 
Penggunaan teknologi hand sprayer yang tidak tepat mengakibat￾kan gangguan kesehatan bagi petani. Begitu juga dengan pema￾kaian pupuk anorganik yang tidak tepat waktu dan tidak tepat 
dosis memberikan dampak pencemaran yang fatal tidak hanya 
pada ekosistem alam lahan namun juga termasuk pada bagian 
hilir. Eutrofikasi atau pencemaran ekosistem air tawar terjadi 
karena penambahan unsur hara Fosfat yang berlebihan. Fosfat 
terbawa aliran air dari lahan pertanian dengan tanaman yang 
dipupuk secara berlebihan hingga mempercepat air bersifat 
eutropik dan mempercepat pertumbuhan biomassa. Eutrofikasi 
termasuk permasalahan lingkungan hidup pada ekosistem air
tawar termasuk sungai dan danau. Beberapa bentuk usaha per￾tanian modern yang menggunakan teknologi green house dan 
inovasi pendukung terlihat pada Gambar 9. 
Gambar 9. Green House Salah Satu Inovasi Pertanian Modern 
Penggunaan lahan secara intensif dengan pola tanam yang 
dipacu maksimal termasuk kriteria dari pertanian modern untuk 
mengoptimalkan produktivitas usaha pertanian. Pengolahan 
lahan secara mekanis dan pola tanam monokultur misal padi￾padi-padi sepanjang tahun tentu dalam waktu tidak lama menim￾bulkan masalah reduksi kesuburan lahan akibat pengikisan top 
soil. Permukaan lahan tergerus dan terbawa aliran air ke hilir 
hingga akhirnya mendangkalkan sungai. Semua permasalahan 
yang ditimbulkan dari pertanian modern yang kurang mem￾perhatikan kaidah konservasi tentu perlu dicegah sejak dini. 
Pengembangan konsep pertanian modern yang ramah lingkungan 
dan pro komunitas petani tanpa terkecuali merupakan suatu awal 
penemuan inovasi terbaik sebagai alternatif solusi. Corak 
pertanian modern secara terinci dapat dilihat pada 
Pertanian modern di Indonesia telah dimulai sejak awal 
Revolusi Hijau Tahun 1979. Revolusi Hijau merupakan konsep 
pembangunan pertanian yang fundamental di budi daya bidang tanaman pangan melalui adopsi teknologi produksi. Tujuan 
Revolusi Hijau ialah mencapai swasembada pangan. Puncak 
keberhasilan Revolusi Hijau di Indonesia tercapai ketika tahun 
1983 tercapai swasembada pangan nasional. Gerakan Revolusi 
Hijau didukung Pemerintah Republik Indonesia melalui Program 
Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas) dan 
dilanjutkan Intensifikasi Khusus (Insus) yang intinya yaitu Panca 
Usaha tani. Bimbingan Massal merupakan perangkat terpadu dari 
kegiatan penyuluhan pertanian yang dilengkapi dengan penga￾daan sarana produksi dan kredit untuk peningkatan produksi 
pertanian melalui intensifikasi tanaman padi, palawija, horti￾kultura, peternakan, perikanan dan perkebunan guna mening￾katkan kesejahteraan petani dan keluarga. Paket teknologi dan 
penyediaan sarana produksi yang dikembangkan dalam Panca 
Usaha tani mencakup: 
(1) Penggunaan bibit unggul berlabel biru 
(2) Pengaturan jarak tanam 
(3) Penggunaan sistem irigasi 
(4) Pemupukan teratur tepat dosis dan tepat waktu 
(5) Pengendalian hama penyakit secara intensif. 
Pertanian sedang mengalami revolusi teknologi baru yang 
didukung oleh pembuat kebijakan di seluruh dunia. Sementara 
teknologi pintar, seperti Artificial Intelligence (AI), robotika, dan 
Internet of Things (IoT), dapat memainkan peran penting dalam 
mencapai peningkatan produktivitas dan eko-efisiensi yang lebih 
besar, para kritikus telah menyarankan bahwa pertimbangan 
implikasi sosial dikesampingkan. Penelitian menggambarkan 
bahwa beberapa praktisi pertanian prihatin tentang penggunaan 
teknologi pintar tertentu. Memang, beberapa studi berpendapat 
bahwa masyarakat pertanian dapat diubah, atau "ditulis ulang," dengan cara yang tidak diinginkan, dan ada preseden yang 
menyarankan bahwa masyarakat luas mungkin prihatin tentang 
teknologi pertanian baru yang radikal. Oleh karena itu kami 
mendorong para pembuat kebijakan, penyandang dana, per￾usahaan teknologi, dan peneliti untuk mempertimbangkan pan￾dangan dari komunitas petani dan masyarakat luas. 
Di bidang pertanian, konsep inovasi yang bertanggung 
jawab belum dipertimbangkan secara luas, meskipun beberapa 
makalah terbaru telah memberikan saran yang baik. Kami 
membangun intervensi ini dengan menyatakan bahwa dimensi 
utama dari inovasi yang bertanggung jawab - antisipasi, inklusi, 
reflektivitas, dan daya tanggap harus diterapkan pada revolusi 
pertanian keempat ini. Kami berpendapat, bagaimanapun, bahwa 
ide inovasi yang bertanggung jawab harus dikembangkan lebih 
lanjut untuk membuatnya relevan dan kuat untuk teknologi per￾tanian yang sedang berkembang, dan bahwa kerangka kerja harus 
diuji dalam praktik untuk melihat apakah mereka dapat secara 
aktif membentuk lintasan inovasi. 
Dalam memberikan saran tentang bagaimana membangun 
kerangka kerja yang lebih komprehensif untuk inovasi yang 
bertanggung jawab dalam pertanian berkelanjutan, kami menye￾rukan: (i) pendekatan yang lebih sistemis yang memetakan dan 
memperhatikan ekologi inovasi yang lebih luas yang terkait 
dengan revolusi pertanian keempat ini; (ii) perluasan pengertian 
tentang "inklusi" dalam inovasi yang bertanggung jawab untuk 
menjelaskan ruang partisipasi yang lebih baik dan sudah ada 
dalam teknologi pertanian, dan (iii) pengujian yang lebih besar 
dari kerangka kerja dalam praktik untuk melihat apakah mereka 
mampu membuat proses inovasi lebih bertanggung jawab secara 
sosial.
Dinamika pertanian modern terus berkembang melalui 
proses yang revolusioner. Revolusi pertanian generasi keempat 4.0 
yang super modern telah dimulai (Lejon dan Frankelius, 2015; 
Bartmer dalam Frankelius et al., 2019). Setiap revolusi pertanian 
sebelumnya bersifat radikal pada saat itu ketika pertanian gene￾rasi pertama mewakili transisi dari berburu dan mengumpulkan 
beralih ke pertanian menetap. Pertanian generasi kedua berkaitan 
dengan revolusi pertanian dan yang ketiga terkait dengan 
peningkatan produktivitas dengan mekanisasi dan Revolusi Hijau 
di negara berkembang. 
Pertanian super modern tidak dapat dilepaskan dari inovasi 
teknologi informasi umpama internet, program penyimpanan data 
pada program komputer, robotika dan Artificial Intelligence (AI) 
yang memiliki potensi untuk mengubah pertanian menuju 
generasi 4.0 (Wolfert et al., 2017). Pertanian super modern yang 
cerdas tentu saja tidak lagi mengandalkan tenaga kerja manusia. 
Realisasi pertanian 4.0 dengan penggunaan inovasi terkini telah 
dimulai untuk kegiatan on farm yang dengan jelas terlihat pada 
Gambar 11. 
Kegiatan pemilihan bibit berkualitas, pengolahan lahan, 
penyiraman, pengaturan jarak tanam, pemupukan, penyemprotan 
obat pengendali hama dan penyakit telah menggunakan aplikasi 
program komputer seperti Microsoft Cortana Intelligence Suite. 
Ketepatan waktu dan dosis serta kualitas yang dibutuhkan tentu 
lebih tinggi pada pertanian modern terbaru. Hanya saja, pertanian 
cerdas ini membutuhkan biaya tinggi. Pesawat tanpa awak atau 
drone digunakan untuk membantu mengidentifikasi gulma (Lottes 
et al., 2017). Robot cerdas membantu peternak untuk memerah 
susu sapi (Driessen dan Heutinck, 2015). Pemanfaatan robot 
cerdas juga dapat menyiangi tanaman dari gangguan gulma 
(Fennimore, 2017). Setiawan (2008) menjelaskan bahwa corporate 
farming memiliki beberapa ciri yang tertera pada 
Perkembangan pertanian super modern 4.0 membutuhkan 
dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah dan investor 
yang saling bahu membahu membantu petani agar tetap dapat 
berperan dalam kegiatan on farm dan off farm. Intensifikasi berke￾lanjutan, ramah lingkungan dan pro petani dengan pengem￾bangan corporate farming
Teknologi awal yang lazim dimanfaatkan oleh petani adalah 
irigasi atau drainase dan penambahan zat hara tanaman ke tanah. 
Pemuliaan tanaman mulai dilakukan untuk mendapatkan varietas 
(tanaman dan hewan) unggul yang lebih tahan terhadap serangan 
hama dan penyakit serta lebih toleran terhadap kekeringan, lebih 
cepat panen dengan hasil yang lebih memuaskan. 
Selama perkembangan pertanian berlangsung dari waktu ke 
waktu maka dikenal beberapa sistem usaha pertanian yang 
dikelola petani. Agar lebih memudahkan pemahaman tentang 
dunia pertanian, menguraikan berbagai jenis 
sistem usaha pertanian yang tertera pada 
Sistem pertanian alami sebenarnya ditemukan oleh seorang 
bangsa Jepang yaitu Masanobu Fukuoka yang berupaya untuk 
mengikuti alam dengan cara meminimalkan campur tangan ma￾nusia dalam kegiatan pertanian. Pada sistem pertanian alami tidak 
digunakan mekanisasi. Proses produksi tanpa pupuk sintetis atau 
kompos yang telah disiapkan. Pengendalian hama penyakit tanaman terjadi secara alami tanpa penyiangan dengan teknik yang 
memakai bahan kimiawi. Sistem pertanian alami tidak melakukan 
pengendalian/pemberantasan hama dan penyakit tanaman de￾ngan penggunaan herbisida/pestisida ataupun jenis insektisida 
lain. 
Keberlangsungan proses produksi tanpa ketergantungan 
terhadap bahan kimiawi seperti hormon pengatur tumbuh (ZPT). 
Sistem pertanian alami pada masa sekarang tengah mendapat 
sambutan yang positif dari kalangan masyarakat khususnya kaum 
elite perkotaan karena bahan pangan hasil produksi pertanian 
alami bebas dari zat kimiawi dan bermanfaat membangun ke￾sehatan tubuh yang lebih baik. 
Pertanian ladang berpindah merupakan suatu bentuk ke￾giatan bertani, yang artinya kesuburan tanah tetap dipertahankan 
dengan cara melakukan perputaran lahan. Sepetak lahan di￾budidayakan oleh sekelompok petani sampai lahan tersebut 
menunjukkan ciri kelelahan atau terlalu banyak ditumbuhi gulma 
(weed) yakni tanaman yang tidak dikehendaki oleh manusia atau 
tanaman pengganggu. Jika lahan lelah maka dibiarkan berege￾nerasi secara alami sementara kegiatan bertani lalu dipindah ke 
lahan lain. Umumnya setiap pembukaan lahan baru, para petani 
terlebih dahulu melakukan pembersihan lahan dengan membakar 
(sistem tebas-bakar). 
Sebagian pihak beranggapan sistem pertanian ladang ber￾pindah potensial merusak kelestarian lingkungan alam. Semen￾tara, pihak lain menyatakan tindakan petani ladang berpindah 
justru memperhatikan kaidah kelestarian alam (hutan) dengan 
tetap berupaya turut menyuburkan kembali dengan cara budi￾daya yang dilakukan tidak terbatas hanya pada sepetak lahan 
tertentu saja. Akan tetapi, petani melakukan kegiatan bercocok tanam dengan sistem berpindah dari satu lahan ke lahan lain 
secara periodik. 
Pertanian subsisten cenderung bersifat tradisional. Petani 
melakukan pertanian subsisten dengan maksud bagian terbesar 
dari hasil panen dikonsumsi oleh produsen yakni petani dan 
keluarga. Sebagian kecil hasil panen dari sistem pertanian 
subsisten yang berupa beberapa jenis tanaman dan hewan dijual 
ke konsumen. Hasil penjualan selanjutnya digunakan untuk 
kepentingan biaya konsumsi petani dan keluarga sehari-hari. 
Rasio hasil produksi pertanian subsisten antara yang 
dikonsumsi dengan yang dijual berbeda dari tahun ke tahun. 
Batasan rasio selalu tergantung pada kebutuhan petani. Praktik 
pertanian subsisten saat ini masih dapat ditemukan di daerah 
pedesaan agraris dan marginal. Kondisi kesubsistenan mendorong 
pengambilan keputusan petani untuk menjual hasil produksi 
langsung begitu selesai panen ke pedagang pengumpul. Petani 
pengelola pertanian subsisten hampir tidak sempat menyisihkan 
sebagian dari uang penjualan hasil panen untuk ditabung atau 
kepentingan pengembangan usaha produktif lain. Petani subsisten 
sering kali berada pada ambang batas etika pertanian dalam 
mempertahankan ekonomi keluarga. 
Pertanian tradisional didasarkan pada pengetahuan dan 
praktik lokal yang asli dimiliki oleh masyarakat setempat dan 
telah berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya. 
Sistem pertanian tradisional yang mudah diamati adalah pola 
bertanam padi gogo pada masyarakat desa tepian hutan dengan 
kondisi lahan yang memiliki kemiringan tinggi atau rawan erosi. 
Petani pembudidaya padi gogo menggunakan varietas lokal dan 
kurang memakai teknik olah tanah dengan berpegang pada 
konsep konservasi alam. Pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang 
mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui praktik 
pendaur-ulangan unsur hara yang dibutuhkan tanah dari aneka 
bahan organik (seperti kompos dan sampah tanaman), rotasi 
tanaman, pengolahan lahan yang tepat, menghindari pemakaian 
pupuk sintetis dan pestisida. Produk yang dihasilkan disenangi 
konsumen seperti halnya sistem pertanian alami. 
Pertanian bio-dinamik merupakan suatu sistem pertanian 
terpadu dan berupaya mencapai tujuan untuk menciptakan suatu 
organisme pertanian yang secara menyeluruh sesuai habitatnya. 
Sistem ini ditemukan oleh Rudolf Steiner yang berusaha meng￾hubungkan alam dengan kekuatan kosmik yang kreatif. Hampir 
serupa dengan pertanian organik maka pertanian bio-dinamik 
tidak memakai pupuk sintetis dan pestisida kimiawi melainkan 
yang dimanfaatkan yakni pupuk kandang atau kompos dan 
persiapan khusus umpama semprotan berbahan organik berasal 
dari olahan limbah hasil pertanian. 
Sistem pertanian bio-dinamik belum banyak dikenal masya￾rakat petani, namun untuk kalangan komunitas petani seperti 
masyarakat tradisional misal petani dari Suku Badui di Banten 
sejak zaman dahulu sampai sekarang berupaya menghubungkan 
potensi alam dengan kekuatan kosmik dalam setiap kegiatan 
pertanian. Waktu tanam dan panen disesuaikan dengan letak 
bulan yang berada pada posisi tertentu. 
Pertanian ekologi merupakan kegiatan usaha tani yang 
utamanya diorientasikan untuk meningkatkan mutu lingkungan 
atau setidaknya tidak membahayakan ekosistem lingkungan alam. 
Pada sistem pertanian ekologi, penggunaan zat-zat kimia ditekan 
seminimal mungkin. Hal ini membedakannya dengan pertanian 
organik yang sama sekali menghindari pemakaian zat-zat kimia. Pertanian ekologi juga disebut istilah eco-farming yang secara tidak 
sadar kadang-kadang telah diadopsi secara sederhana oleh petani 
yang melakukan budidaya tanaman rumput gajah tersebut selain 
untuk menahan tanah agar tidak erosi juga sekaligus untuk 
makanan ternak. 
Pertanian bergilir dengan peternakan merupakan usaha tani 
yang menyelang-nyelingi tanaman pangan dengan tanaman untuk 
pakan ternak pada lahan yang sama. Setelah dibudidayakan 
beberapa tahun, tanaman pakan ternak dikembangkan atau 
membentuk sendiri dan dimanfaatkan untuk penggembalaan. 
Setelah beberapa tahun kemudian diganti dengan budidaya 
tanaman pangan. 
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber 
daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia 
sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan 
dan pelestarian sumber daya alam. Pertanian berkelanjutan yang 
rendah input luar menunjukkan sebagian besar input usaha tani 
yang dipakai berasal dari lahan, desa atau wilayah setempat. 
Dengan modal lokal yang dimiliki, diusahakan tindakan tepat dan 
mampu menjamin dan menjaga keberlanjutan daya dukung 
(kesuburan) lahan pertanian. Semua sistem pertanian yang 
diuraikan di atas perlu dikelola dengan profesional. Diperkenal￾kan kepada petani yang memang serius berminat untuk menerap￾kan sistem pertanian tersebut. 
Perkembangan sistem pertanian dapat juga dibedakan 
berdasarkan pergeseran penguasaan sumber daya. Beberapa tahap 
perkembangan ekonomi berdasarkan shift in occupational distri￾bution (pergeseran dari bentuk pengusahaan sumber daya): 
 Tahap usaha primitif (savage) 
 Tahap padang rumput (pastoral) Tahap pertanian menetap (agricultural)
 Tahap pertanian yang berkaitan manufaktur 
(agricultural manufacturing)
 Tahap pertanian dengan manufaktur dan perdagangan 
(agricultural manufacturing commercial). 
Gambaran tentang bagaimana kebijaksanaan pertanian 
diatur untuk menghadapi perubahan sistem pertanian yang makin 
mengglobal. Visi pembangunan pertanian Indonesia yang disusun 
oleh Departemen Pertanian dalam jangka panjang dari tahun 2005 
sampai tahun 2025 ditekankan pada “terwujudnya sistem 
pertanian industrial berkelanjutan yang berdaya saing dan 
mampu menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan petani”. 
Berpedoman pada visi tersebut maka kegiatan pembangunan 
pertanian dirumuskan dalam tiga program utama yaitu Program 
Peningkatan Ketahanan Pangan, Program Pengembangan 
Agribisnis, dan Program Peningkatan Kesejahteraan Petani 
(Deptan, 2005). Beberapa kegiatan pendukung ketiga program 
tersebut teramati pada Tabel 1. 
Proses pengelolaan setiap sistem pertanian memiliki titik 
fokus pada keberadaan petani sebagai subjek sekaligus objek atau 
figur pelaksana dan sasaran strategis. Kondisi ini yang urgen dan 
krusial diperhatikan oleh penyusun kebijakan agar mendahulukan 
kepentingan petani tanpa terkecuali dalam setiap pembangunan 
pertanian. Selayaknya program pembangunan pertanian meng￾utamakan pemberdayaan petani secara partisipatif dengan 
memanfaatkan sumber daya lokal. Cakupan petani yang penting 
diberdayakan termasuk kalangan petani penggarap dan buruh 
tani. Akses petani kecil yang berlahan sempit, petani tunakisma atau tidak memiliki lahan (penggarap dan buruh tani) terhadap 
sumber daya usaha pertanian produktif kreatif dan inovatif perlu 
ditingkatkan secara intensif. Begitu juga dengan, pengembangan 
kelembagaan, dan perlindungan terhadap petani merupakan hal 
penting dalam pembangunan pertanian. Syahyuti (2007) menge￾mukakan empat kegiatan sehubungan dengan pembangunan 
pertanian yang berbasis pemberdayaan petani yakni: 
1. Kegiatan Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani￾Nelayan Kecil (P4K) 
3. Participatory Integrated Development in Rainfed Areas
(PIDRA) 
4. Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui 
Inovasi (P4MI) atau Poor Farmer’s Income Improvement 
through Inovation Project (PFI3P) 
5. Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan 
Inovasi Teknologi Pertanian (Primatani). 










pertanian merupakan salah satu sektor prioritas dalam pem￾bangunan nasional yang berkelanjutan di negara agraris. 
Sektor pertanian menjadi kunci pembuka bagi keber￾hasilan ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi, perkembangan 
sosial budaya, kelestarian lingkungan, stabilitas dan keamanan. 
Ketergantungan masyarakat tinggi terhadap keberadaan per￾tanian. Pertanian melekat dalam kehidupan masyarakat petani di 
pedesaan. Ragam kegiatan pertanian ditekuni oleh petani se￾hingga menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari ke￾hidupan masyarakat di pedesaan agraris. 
Kemampuan pertanian berfungsi sebagai katup pengaman 
sumber pendapatan pokok bagi petani dan keluarga sudah tidak 
diragukan lagi. Keterbukaan sektor pertanian menyerap tenaga 
kerja tanpa melalui seleksi menjadi nilai esensial tersendiri. 
Dengan demikian, sektor pertanian patut terpilih sebagai salah 
satu prioritas untuk pengembangan kesempatan pekerjaan pro￾duktif, kreatif dan inovatif. 
Pertanian memiliki cakupan yang luas, dinamis dan 
kompleks. Hakikat pertanian mencakup atas semua kegiatan 
pengelolaan sumber daya alam biotik dan abiotik oleh sumber 
daya manusia dengan memanfaatkan fasilitas teknologi dan sarana prasarana pendukung dalam menghasilkan bahan pangan, 
bahan baku industri, sumber energi dan tata lingkungan alam. 
Kontribusi pertanian sangat besar bagi keberlangsungan hidup 
manusia sehingga dari waktu ke waktu selalu memerlukan proses 
pembangunan yang terencana dan terprogram secara sistematis. 
Kemampuan pertanian sebagai sektor terkuat dalam penye￾rapan tenaga kerja termasuk saat krisis ekonomi membuktikan 
fungsi yang strategis dalam pemberdayaan masyarakat petani di 
pedesaan. Pembangunan pertanian yang terangkai beriringan baik 
pada on farm maupun off farm memiliki nilai potensial untuk 
meningkatkan kelayakan dan taraf hidup masyarakat petani. 
Meski demikian, gerak pembangunan pertanian pada usaha tani 
berskala kecil masih relatif berjalan perlahan hingga rawan me￾munculkan realitas sosial yang cenderung memilah petani masuk 
dalam komunitas maju dan tertinggal. 
Beberapa ciri komunitas petani yang tertinggal ditandai dari 
status pekerjaan bertani sebagai penyakap atau penggarap dan 
buruh tani yang tunakisma (Dumasari, et al., 2020). Komunitas 
petani yang tertinggal bertani berdasarkan sistem kerja pesanan, 
panggilan dan suruhan dari petani pemilik atau penyewa lahan 
pertanian, yang membutuhkan tenaga mereka untuk mengerjakan 
usaha tani on farm baik secara temporal pada waktu tertentu 
maupun sepanjang musim tanam. Petani tunakisma yang ber￾status buruh tani tidak berhak mengambil keputusan atas peng￾gunaan teknologi pada usaha tani. Pekerjaan bertani dilakukan 
dalam batasan waktu tertentu dengan sistem upah harian/ming￾guan atau bagi hasil. Kerawanan sosial ekonomi mendekatkan 
komunitas petani tertinggal dengan kemiskinan. Salah satu solusi 
atas persoalan kerawanan sosial ekonomi petani tertinggal ialah 
melalui peningkatan kemampuan kewirausahaan, strategi mana-jemen, kerja sama berpola kemitraan, aksesibilitas harga dan 
pasar, posisi tawar dan adopsi teknologi tepat guna (Dumasari, 
2014; Dumasari dan Rahayu, 2016; Dumasari, et al., 2017; 
Dumasari, et al., 2019). Inti dari pembangunan pertanian berbasis 
komunitas petani yang tertinggal terletak pada urgensi 
peningkatan kualitas sumber daya manusia petani melalui 
pemanfaatan sumber daya lokal. 
Eksistensi pertanian juga merupakan motor penggerak bagi 
perkembangan dan kemajuan sektor lain. Tidak dapat disangkal, 
pertanian adalah penyedia bahan baku bagi agroindustri primer, 
sekunder, tersier dan kuartener. Agroindustri primer merupakan 
proses produksi sumber daya alam hasil pertanian menjadi bahan 
baku berupa produk atau perlengkapan yang dibutuhkan industri 
atau rumahtangga untuk keperluan konsumsi. Hasil produksi 
agroindustri primer antara lain ialah karet, benang sutra, susu, 
ikan, daging, sayuran, gandum, buah-buahan, dan kayu. Agro￾industri primer mengekstraksi sumber daya hasil pertanian 
melalui pemanfaatan teknologi konvensional dan modern dengan 
tenaga kerja terampil. 
Agroindustri sekunder merupakan proses pengolahan 
sumber daya hasil pertanian dari produk agroindustri primer 
dengan menggunakan teknologi konvensional atau modern untuk 
memproduksi produk berupa bahan baku bagi keperluan industri 
lain (capital goods) atau bahan jadi yang siap pakai (consumer goods). 
Produk hasil agroindustri sekunder memiliki nilai tambah. Ragam 
produk agroindustri sekunder yakni pangan olahan, gula, jamu, 
obat herbal, minuman penyegar, tekstil, bahan konstruksi, mebel, 
produk olahan karet, minyak goreng, terpentin, minyak atsiri, 
bumbu masak, kerajinan, minyak kayu putih, kopi, teh, tepung, pupuk organik, pestisida hayati, biogas, kosmetik herbal dan 
sebagainya. 
Agroindustri tersier dicirikan dari rangkaian proses 
produksi pertanian yang menghasilkan jasa. Produk agroindustri 
tersier umpama jasa pelayanan informasi harga dan pasar, per￾bankan, pergudangan simpan barang, jasa angkutan, promosi, pe￾masaran dan lainnya. Agroindustri jasa yang tengah berkembang 
ialah jasa kuliner (restoran), tour guide untuk agrowisata, karangan 
bunga, penyewaan tanaman hias untuk pesta dan acara ritual atau 
seremonial. 
Perkembangan agroindustri kuartener menunjukkan proses 
produksi pertanian tidak terpisahkan dari keberadaan ilmu 
pengetahuan dan skill dalam penyediaan layanan informasi. Biro 
konsultan bisnis, advokasi inovasi, fasilitator e-commerce, peneliti 
dan pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian 
termasuk bagian dari produk agroindustri kuartener. Keempat 
jenis agroindustri tersebut menunjukkan realitas bahwa sektor 
pertanian ternyata terus berkembang mengikuti tuntutan arus 
globalisasi. Keempat jenis agroindustri saling melengkapi dalam 
memenuhi kebutuhan pasar dan konsumen baik di tingkat lokal, 
regional, nasional dan internasional. 
Pertanian berbasis agribisnis dan agroindustri memang ber￾sifat multidimensi. Ragam kepentingan termuat dengan deretan 
kegiatan mulai dari hulu sampai hilir baik berbentuk on farm
maupun off farm. Kegiatan on farm yang berkenaan dengan proses 
produksi dengan usaha tani budidaya tanaman, ternak dan ikan 
selama ini menjadi fokus aktivitas pertanian. Kegiatan off farm
yang dikenal sebagai proses produksi usaha tani di luar budidaya 
yang bergerak pada pengolahan untuk memberikan nilai tambah 
pada produk pertanian yang dapat dikembangkan pada pra-produksi dan pasca-produksi. Keluasan kegiatan pertanian yang 
berbasis agribisnis dan agroindustri dengan bentuk on farm dan off 
farm memberikan sinyal bahwa daya serap pertanian terhadap 
tenaga kerja tidak ada hentinya. Hanya saja, fokus dan orientasi 
kebijakan pemerintah dan dukungan para investor yang perlu 
seimbang dalam membangun kedua sistem secara terencana, 
sistematis dan terpadu. Signifikansi pertanian terpadu on farm dan 
off farm dalam mendukung pembangunan nasional sudah tidak 
diragukan lagi. Jalin hubungan harmoni antara pertanian on farm
dan off farm dalam suatu siklus berkelanjutan dapat diamati secara 
jelas pada Gambar 1. Jalin hubungan harmoni dalam pengembangan on farm dan 
off farm tergantung pada kadar kualitas sumber daya manusia dan 
fasilitas pendukung disertai dukungan komitmen pemerintah 
bersama investor serta pihak lain yang terkait. Keselarasan antara 
kebijakan pertanian dari pemerintah dengan kondisi, permasalah￾an dan kebutuhan sumber daya petani menjadi sesuatu yang 
penting guna menghindari penyimpangan dan kemubaziran 
program. Kesiapan sumber daya manusia petani menjadi titik 
tolak dalam mengembangkan pertanian on farm dan off farm secara 
terpadu. Peran petani sebagai subjek sekaligus objek tidak dapat 
diabaikan dalam jalin hubungan harmoni on farm dan off farm
bersiklus berkelanjutan. 
Otoritas peran petani dalam mengambil keputusan guna 
mengembangkan usaha tani on farm dan off farm pada awalnya 
memerlukan pendampingan berupa advokasi konsultatif. Meski 
demikian, secara perlahan kadar pendampingan dikurangi secara 
bertahap untuk meningkatkan kemandirian petani. Pengem￾bangan sumber daya manusia pada sektor pertanian yang cakap, 
responsif, bertanggungjawab, terbuka, saling percaya, mandiri, 
terampil, bijak dan humanis tentu menjadi salah satu syarat pokok 
dalam pengelolaan kegiatan pertanian on farm dan off farm yang 
bergerak pada setiap sumbu agroindustri primer, sekunder, tersier 
dan kuartener. 
1.2. Petani Berdikari 
Semangat berdikari menjadi modal bagi petani mandiri 
dalam mengembangkan kemampuan kewirausahaan. Figur petani 
yang kekinian juga mensyaratkan kesadaran dan kemauan untuk 
melek usaha dan melek teknologi. Penguatan kapasitas diri dalam 
berkomunikasi dan berinteraksi termasuk syarat petani agar mampu mengikuti arus perkembangan informasi harga, pasar, 
teknologi dan hubungan kerja sama kemitraan. Petani perlu mem￾punyai posisi tawar yang agar terhindar dari risiko eksploitasi 
keterpurukan harga oleh pihak pedagang ketika musim panen 
raya tiba. 
Petani tangguh terbentuk melalui proses yang tidak cepat. 
Upaya membangkitkan kesadaran dan motivasi petani merupakan 
langkah awal ketika memulai usaha mendekatkan petani dengan 
jalin hubungan harmoni on farm dan off farm secara terpadu. 
Deretan kemanfaatan praktis, ekonomis dan ekologis termasuk 
bagian yang melekat pada tahap penyadaran petani, yang dapat 
dilakukan melalui kampanye dan sosialisasi yang menggunakan 
media tatap muka, media kelompok, media massa dan media 
online. Beberapa ciri sumber daya manusia pertanian berdikari 
jalin harmoni on farm dan off farm dapat diamati pada Gambar 2
Selain berbagai syarat yang tertera pada Gambar 2 maka 
petani tanggung juga perlu memiliki kemampuan manajemen 
dalam memadukan kegiatan on farm dan off farm secara harmoni. 
Dengan menerapkan manajemen usaha yang kondusif tentu 
sumber daya manusia petani lebih luwes dan mudah menjalankan 
usaha tani dengan efisien dan efektif. Walau masih taraf mana￾jemen sederhana atau konvensional namun petani lebih mampu 
mengatur alokasi unsur pembentuk sistem pertanian tenaga kerja, 
modal, input dan proses produksi, lokasi bertani, waktu bertani, 
metode atau teknik bertani, teknologi, penanganan pascapanen, 
harga dan pasar. 
Petani yang menerapkan prinsip manajemen tentu sejak dini 
dapat mengantisipasi solusi berbagai efek dari perubahan yang 
rawan menimpa pertanian. Ancaman kekeringan dan kelangkaan 
air untuk irigasi akibat musim kemarau akan diatasi dengan 
mempersiapkan teknologi pompanisasi atau pengadaan situ 
penampung air. Begitu juga dengan kecenderungan harga produk 
pertanian yang fluktuatif dan merugikan petani khususnya saat 
panen raya tentu dapat segera terselesaikan dengan pemanfaatan 
teknik pemasaran bersistem lelang. Bisa juga menggunakan tek￾nologi pengolahan hasil panen sehingga menghasilkan produk 
dengan nilai tambah. Dengan pengembangan manajemen usaha 
tani maka petani lebih aman dari ragam risiko kegagalan dan 
kerugian dalam memadu usaha tani on farm dan off farm. 
Jalin hubungan harmoni antara on farm dengan off farm
merupakan salah satu strategi pemberdayaan masyarakat petani 
yang berbasis sumber daya lokal melalui pengembangan diver￾sifikasi mata pencaharian. Strategi tersebut mempunyai nilai 
esensial sebagai alternatif solusi yang tepat guna dan tepat sasaran 
sewaktu petani menghadapi persoalan kelangkaan lahan per-
tanian yang subur. Pengembangan mata pencaharian petani pada 
on farm dan off farm juga relevan dan signifikan dengan persoalan 
kebertahanan tenaga kerja usia muda di sektor pertanian akibat 
perolehan pendapatan yang minim dari on farm. 
Pemberdayaan petani tunakisma yang tertinggal melalui 
pengembangan diversifikasi mata pencaharian dengan peman￾faatan jalin hubungan harmoni on farm dengan off farm potensial 
untuk membangun keyakinan petani mengenai jaminan pen￾dapatan (Dumasari, et al., 2020). Upaya jalin hubungan harmoni on 
farm dan off farm urgen dan krusial untuk meningkatkan kemam￾puan fungsi pertanian sebagai katup pengaman dalam penye￾rapan tenaga kerja. Meskipun demikian, pengembangan jalin 
hubungan harmoni on farm dengan off farm tetap menjadi bagian 
integral dari pembangunan pertanian yang berkelanjutan baik di 
tingkat makro maupun mikro. 
Pembangunan pertanian yang mendukung realisasi jalinan 
hubungan harmoni on farm dan off farm membutuhkan kajian 
tentang makna, ragam unsur dan lingkup tujuan pembangunan 
pertanian secara mendalam. Kajian tersebut merupakan titik tolak 
dalam merekonstruksi konsep dan teori pembangunan pertanian 
yang berpusat pada kepentingan sumber daya manusia petani 
sebagai individu yang empati terhadap kebutuhan pangan masya￾rakat luas dan bahan baku untuk sektor lain. Oleh karena itu, 
kajian pembangunan pertanian dilakukan berdasarkan hasil pene￾litian empiris yang relevan dengan paduan teori dan konsep 
terkait.

etani adalah sentral dari semua kegiatan pertanian mulai 
hulu sampai hilir. Tanpa eksistensi petani maka kegiatan 
pertanian mandeg. Kaum petani ibarat lokomotif penggerak 
rangkaian gerbong program pembangunan pertanian. Petani 
memegang kunci keberhasilan pencapaian tujuan pertanian. Oleh 
karena itu, petani menjadi salah satu unsur pokok pengembangan 
pertanian baik pada on farm maupun off farm. 
Kehidupan petani cenderung harmonis di pedesaan. Petani 
lebih memilih hidup tenang dan sederhana bersahaja walau 
tengah bergelut dengan dilema ekonomi yang beretika subsistensi. 
Kegagalan panen hal biasa bagi petani. Tingkat upah yang rendah 
bagi petani penggarap dan buruh tani jadi hal lumrah. Petani 
menerima berapa pun jumlah hasil jerih payah bekerja sepanjang 
musim. Nyaris tidak ada petani yang memberi protes terhadap 
kejadian alam ketika musim kemarau berkepanjangan hingga 
menyebabkan kekeringan dan kegagalan panen. Petani hanya 
terdiam dan cenderung pasrah menerima saat harga pupuk naik 
tak terjangkau daya belinya. 
Beban ekonomi yang berat seolah luput dari kesadaran 
petani akibat harga hasil produksi panen raya anjlok turun drastis. Tidak bergejolak karena ekspresi petani dingin dalam renungan 
sambil bertanya pada diri sendiri kami akan makan apa esok hari? 
Petani penyakap atau penggarap dan buruh tani jarang ber￾negosiasi tentang tingkat upah atau sistem bagi hasil yang di￾terima atas curahan tenaga dan waktu mengerjakan kegiatan 
usaha tani. 
 Masalah ini dimaklumi karena menyandang peran ganda 
petani di satu sisi sebagai produsen bahan pangan untuk 
masyarakat. Sementara, di sisi lain peran petani adalah konsumen 
yang sering ragu akan jaminan bahan pangan sendiri. 
Petani sering kali menjual semua bahan pangan dari hasil 
panen untuk memperoleh sejumlah nilai rupiah untuk membiayai 
berbagai kebutuhan hidup keluarga. Selanjutnya, petani di￾hadapkan pada realitas sosial yakni mengeluarkan sejumlah nilai 
rupiah membeli bahan pangan pokok untuk dikonsumsi keluarga. 
Alokasi pendapatan hasil panen yang teralokasi pada ragam 
kebutuhan menyebabkan petani mengambil keputusan mengon￾sumsi bahan pangan pokok berkualitas lebih rendah dari hasil 
produksi sendiri. Petani memiliki sederet strategi bertahan untuk 
melanjutkan usaha tani dan memenuhi kebutuhan keluarga. 
Strategi bertahan tersebut dapat berupa pengambilan keputusan 
untuk melakukan transaksi pinjam atau hutang, mengurangi 
frekuensi dan menu makan, menunda pengeluaran untuk hal 
tidak pokok, menambah sumber pendapatan dari anggota 
keluarga (istri dan anak) serta menekuni usaha lain di luar 
pertanian. Petani sebagai produsen bahan pangan melakukan 
kegiatan pertanian on farm dengan tingkat teknologi bervariasi se￾perti dapat dilihat pada Gambar 14. 

Petani memiliki keragaman profil. Kondisi dan potensi profil 
petani dapat ditelusuri dan diidentifikasi melalui kegiatan 
penelitian. Potret profil petani merupakan informasi berharga 
sebagai dasar pertimbangan penyusunan rencana kebijakan dan 
pembangunan pertanian dengan pendekatan bottom up atau 
berarus bawah. 
Ragam informasi yang digali dari profil petani memberikan 
pemahaman sekaligus pengetahuan yang riil mengenai kondisi, 
potensi, kebutuhan dan permasalahan. Cakupan informasi 
berdasarkan profil lebih lanjut dapat dianalisis dan diinterpretasi 
sesuai skala prioritas. Data profil petani menjadi modal awal 
dalam menyusun perencanaan pembangunan pertanian dan 
pemberdayaan masyarakat petani. Data profil yang memiliki nilai 
reliabilitas dan validitas tinggi tentu lebih sesuai dengan rencana 
pembangunan pertanian. Kesesuaian tersebut mampu mengu￾rangi penyimpangan atau bias tujuan yang ditarget. Dengan 
demikian, kemubaziran program pembangunan pertanian dapat 
dihindari sejak dini. 
Profil petani mencakup segala sesuatu informasi atau data 
yang menyangkut identitas, kondisi dan potensi diri dan keluarga 
petani. Profil individu petani sering juga disebut dengan 
karakteristik diri (Dumasari dan Watemin, 2013). Profil atau 
karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, jenis kelamin, tingkat 
pendidikan formal, tingkat pendidikan tak formal dan alamat 
mukim. Indikator profil diri petani yang lain ialah mata 
pencaharian pokok, mata pencaharian sampingan, tingkat 
pendapatan, tingkat pengeluaran, jumlah tanggungan keluarga, 
mobilitas sosial vertikal dan horizontal. Aksesibilitas teknologi, 
lama pengalaman berusaha tani, jaringan kerja sama, nilai dan 
norma, pranata sosial, tingkat adopsi inovasi juga termasuk 
bagian dari indikator profil individu petani. 
Profil lain bersumber dari keragaman usaha tani. Informasi 
yang berkenaan tentang jenis varietas tanaman, input produksi, 
jumlah dan sumber modal produksi, volume produksi, jenis 
produk, jenis teknologi, aset, manajemen usaha, frekuensi 
produksi, upah tenaga kerja, jumlah tenaga kerja, lokasi tempat 
usaha tani, pemasaran dan harga produk termasuk bagian penting 
dari profil usaha tani. Data profil merupakan data dasar sehingga 
memiliki nilai signifikan bagi ketepatan perencanaan kebijakan 
pembangunan pertanian dan pemberdayaan masyarakat petani. 
Data profil bersifat temporal dan dinamis sehingga membutuhkan 
data yang up date pada waktu tertentu. Ragam profil petani 
terlihat pada Gambar 15. 
Gambar 15. Ragam Profil Petani dan Lingkungan 
Profil menggambarkan latar belakang sosial ekonomi petani. 
Jika ditinjau dari status kepemilikan lahan pertanian maka dikenal 
petani pemilik lahan, petani pemilik penggarap, petani penyewa, 
petani penyewa penggarap, petani penggarap dan buruh tani. 
Klasifikasi petani berdasarkan latar belakang jumlah luas lahan 
garapan menunjukkan ada petani yang tergolong berlahan luas, 
berlahan sedang dan berlahan sempit. Kriteria lain dijelaskan oleh 
Rogers and Shoemaker (1971) mengenai tingkat keinovatifan 
individu petani sehingga klasifikasi petani dibedakan menjadi 
inovator, perintis atau pelopor, penerap dini, penerap lambat dan 
Latar belakang status sosial ekonomi petani juga 
menjadi salah satu kriteria pembeda antara petani dengan 
kondisi ekonomi miskin sekali, miskin, mendekati miskin, 
sedang dan kaya. Status dan kondisi pengelolaan usaha tani 
termasuk kriteria untuk mengenali petani komersial, semi 
komersial dan subsisten. 
Jenis produk yang dibudidayakan turut menjadi dasar 
pertimbangan dalam membedakan petani menjadi petani 
padi, petani sayuran, petani tanaman hias, petani buah￾buahan, petani palawija dan lainnya. 
Kriteria selanjutnya yakni latar belakang jenis usaha 
tani yang dikelola menyebabkan adanya kelompok petani 
pembudidaya tanaman, petani pembudidaya ikan air tawar 
(petambak), petani pembudidaya ternak (peternak), petani 
pembudidaya tanaman tahunan (pekebun) dan sebagainya. 
Hakikat seorang petani terletak pada jenis kegiatan yang 
ditekuni dan dikelola secara rutin. Setiap individu petani 
memiliki ciri sebagai bagian dari pertanian secara luas baik 
yang berbentuk on farm maupun off farm. 
Petani bekerja sepanjang hari karena merasa rangkaian 
kegiatan pengolahan lahan, penyemaian, penanaman, 
pengaturan jarak tanam, pengairan, pemupukan, penyiang￾an, pengendalian hama penyakit tanaman, pemanenan 
sampai penanganan pascapanen adalah bagian dari hidup 
yang perlu disyukuri. Petani melayani kebutuhan masya￾rakat dan keluarga sendiri. 
Sumber daya manusia petani memegang nilai dan 
norma lokal yang diwarnai kebersamaan kolektif atau keguyupan. Budaya agraris berlaku dan membentuk perilaku 
petani yang toleran. Petani enggan berdebat sehingga bersedia 
menerima berapa pun tingkat harga produk hasil panen yang 
cenderung diputuskan secara sepihak oleh pedagang pengumpul. 
Rutinitas petani bekerja sepanjang hari mengakibatkan 
petani tidak sempat mencari informasi harga yang layak dari 
berbagai segmen pasar. Kebanyakan petani jarang keluar dari 
lingkungan desa. Orang luar yang mengamati menyatakan 
kondisi demikian menunjukkan tentang posisi tawar petani lemah 
dalam setiap transaksi pemasaran hasil panen. Walau demikian, 
sebagian petani mempunyai strategi bertahan dalam posisi tawar 
seperti melalui pemasaran atau pemanfaatan sistem lelang. 
Petani memang pandai dan pintar dalam dunia pertanian 
karena belajar dari pengalaman diri dan petani lain. Berbagai 
gejala tanaman yang terserang hama dan penyakit dapat 
terdeteksi oleh petani secara otodidak, tanpa melalui hasil uji 
laboratorium. Petani mahir memberi pupuk pada tanaman dengan 
dosis yang mendekati tepat tanpa harus menggunakan alat 
timbangan. Pengaturan jarak antar tanaman ditata secara teratur 
oleh petani walau tidak menggunakan alat ukur. Teknik pergiliran 
dan tumpang sari beberapa jenis tanaman juga dapat dilaksanakan 
petani dengan trampil. 
Petani luwes mengenali ciri benih dan bibit yang tahan 
hama dan toleran kekeringan. Indra peraba dan naluri petani peka 
mendeteksi rendemen gabah hasil panen tanpa harus uji dengan 
alat grain analize tester. Rendemen merupakan berat beras dari 100 
kilogram gabah setelah dikurangi penyusutan kadar air dan kulit 
gabah sewaktu dilakukan proses penggilingan padi. Akan tetapi, 
keterbatasan dalam sikap, pengetahuan, keterampilan, akses 
fasilitas informasi dan modal terbatas menyebabkan petani tidak melek teknologi. Padahal teknologi berfungsi penting dalam 
mencapai hasil proses produksi yang efektif dan efisien. 
Kalangan petani yang menetap di pedesaan lebih memilih 
menggunakan teknologi bertani yang sederhana dan berbiaya 
murah. Inovasi yang dinilai mempunyai tingkat kerumitan dan 
komplesitas yang tinggi tidak disukai oleh petani. Petani yang 
termasuk kategori subsisten merasa cukup dengan pemakaian 
teknologi yang diperoleh dari warisan generasi terdahulu. 
Tampilan petani dengan ragam pekerjaan bertani tertera pada 
Gambar 16. Komunitas dapat diartikan sebagai masyarakat setempat 
(Soekanto, 1999). Komunitas juga dimaknai sebagai kumpulan 
anggota masyarakat yang hidup bersama sedemikian rupa saling 
berinteraksi guna memenuhi kebutuhan kepentingan hidup 
bersama. Warga dalam komunitas memiliki jalinan hubungan 
sosial yang kuat. Komunitas memiliki kekhasan tertentu dan 
dibatasi ruang geografis. Komunitas atau community diuraikan 
oleh Syahyuti (2005) dan Dumasari (2014) merupakan sekelompok 
orang yang hidup bersama pada lokasi dan waktu tertentu lalu 
berkembang menjadi “kelompok hidup” (group lives), yang me￾miliki sentimen komunitas dan terikat oleh kesamaan kepentingan 
(common interests). Dari sudut epidemiologi diketahui bahwa 
komunitas berasal dari bahasa Latin yakni munus, yang berarti 
memberi (the gift) dan cum atau kebersamaan (together). Dengan 
demikian, pengertian komunitas ialah sekelompok orang yang 
saling berhubungan, saling berinteraksi, saling berbagi dan saling 
mendukung antara satu dengan lain. 
Komunitas mempunyai beberapa elemen dasar. Kekuatan 
elemen menentukan kolektivitas dan solidaritas dari komunitas. 
Kebutuhan dan kepentingan yang sama berfungsi sebagai ciri dari 
komunitas. Sentimen komunitas termasuk elemen inti yang unik 
dan khas pada suatu komunitas. Fungsi sentimen komunitas ialah 
menggerakkan arah dan orientasi dinamika komunitas. Sentimen 
komunitas bermakna kesamaan perasaan dan lokalitas sebagai 
suatu kumpulan masyarakat tertentu yang saling membutuhkan 
antara sesama. Komunitas petani pembudidaya tanaman sayuran 
di dataran tinggi mempunyai sentimen komunitas yang peka 
terhadap kepentingan bersama dalam berproduksi dengan 
kemiripan kondisi lahan yang rawan terkena erosi akibat terletak ada lokasi berkemiringan tinggi. Sentimen komunitas berfungsi 
sebagai energi sosial komunitas sehingga dapat dikelola menjadi 
daya penggerak dalam setiap upaya pembangunan pertanian 
yang berbasis pemberdayaan dengan strategi pengembangan 
masyarakat partisipatif (Dumasari, 2014). Beberapa elemen 
pembentuk komunitas petani dan fungsi terinci pada Tabel 3Komunitas pada masyarakat petani dapat dicirikan dari 
status kepemilikan lahan. Petani tunakisma yang berstatus sebagai 
buruh tani dan petani penyakap atau penggarap mempunyai 
komunitas tertentu. 
Elemen interaksi yang intensif berlangsung di antara 
anggota komunitas petani dibandingkan dengan orang di luar 
batas wilayah. Ukuran derajat hubungan sosial tentu terkait 
dengan kesamaan tujuan adalah pemenuhan kebutuhan utama 
individu dan anggota pembentuk kelompok dalam masyarakat 
misal untuk meningkatkan produksi padi gogo di lahan tadah 
hujan. Menurut Syahyuti (2005), pada sebuah komunitas di￾temukan dua hal utama, yaitu kesamaan dan identitas (similarity 
or identity). Selain itu, juga selalu terdapat sikap berbagi (sharing), 
partisipasi dan fellowship. 
Elemen lain pembentuk komunitas petani yakni kepen￾tingan yang sama (common interests) atau community of interest. 
Elemen sikap kesediaan petani untuk berbagi termasuk pem￾bentuk komunitas. Kontribusi dari elemen kesediaan berbagi 
sangat berarti bagi anggota komunitas petani dalam pemenuhan 
kebutuhan hidup/turut menentukan rambu penentu arah 
perilaku anggota dalam komunitas petani. Tindakan yang 
bertentangan dengan nilai dan norma sosial akan mengalami 
benturan kepentingan dalam komunitas petani. Nilai kekerasan 
dan intoleransi tidak termasuk hal yang baik dalam membangun 
komunitas petani. 
Elemen kolektivitas memegang peran penting dalam 
membangun kekuatan komunitas petani. Secara konseptual, 
kolektivitas berarti ikatan kebersamaan dari suatu kelompok 
masyarakat (forming a distinct segment of society) yang bermukim 
pada suatu wilayah tertentu dan memiliki kesamaan profil atau karakteristik etnik dan kultural. Dengan keberadaan kolektivitas 
menunjukkan bahwa pada suatu kelompok masyarakat terdapat 
sesuatu yang dimiliki secara bersama-sama (common ownership). 
Komunitas juga dibentuk oleh elemen kohesi sosial. 
Eksistensi kohesi sosial merekat kebersamaan anggota komunitas 
petani secara lekat. Fungsi kohesi sosial mampu menciptakan rasa 
bersama dan aman dalam memenuhi kebutuhan hidup termasuk 
ketika mengelola kegiatan usaha tani. Kohesi sosial pada 
komunitas petani penggarap atau penyakap dan buruh tani efektif 
mengurangi perbedaan kepentingan yang berakibat terhadap 
kemunculan pertentangan, konflik dan perselisihan. Kohesi sosial 
dapat dikelola untuk menggerakkan pemberdayaan petani 
tunakisma melalui pengembangan diversifikasi mata pencaharian 
produktif (Dumasari, et al., 2019; Dumasari, et al., 2020; Dumasari, 
et al., 2021). Kohesi sosial merupakan lem perekat menyatukan 
anggota komunitas berdasarkan mekanisme kerja solidaritas 
mekanis dan organis. Kohesi sosial membentuk kondisi keter￾ikatan antar warga komunitas yang saling tergantung. Pem￾bentukan kohesi sosial dapat berawal dari rasa saling memiliki 
nilai, norma, potensi, peluang, tantangan, kesempatan, keyakinan 
dan tantangan dalam peningkatan produktivitas usaha tani. 
Kemampuan bekerja sama juga dapat menjadi modal 
pembentukan kohesi sosial. Kohesi sosial tidak dapat tercipta 
secara teknis namun cenderung didasari pengalaman empiris. 
Kohesi sosial mempunyai tiga karakteristik yakni (1) komitmen 
individu untuk norma dan nilai umum, (2) ketergantungan yang 
muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan (3) 
individu yang mengidentifikasikan dirinya pada grup tertentu 
(Mitchell, 1994). Konsep komunitas mengandung elemen waktu dan lokasi 
yang menunjukkan identitas secara lebih luas. Kesatuan hidup 
yang berada dalam satu wilayah tertentu disebut sebagai 
community of places, sedangkan hubungan yang diikat arena 
kesamaan kepentingan namun tidak tinggal dalam satu wilayah 
geografis tertentu (borderless) disebut dengan community of interest
(Syahyuti, 2005). Ciri komunitas yang solid tercermin dari suasana 
keharmonisan, egalitarian, dan sikap saling berbagi. 
Komunitas petani terbentuk dari beberapa elemen yang 
menentukan peran dan partisipasi aktif dalam pembangunan 
pertanian. Sepanjang sejarah perkembangan pertanian maka peran 
petani dan komunitasnya strategis untuk pencapaian hasil 
produksi. Petani dengan segala keterbatasan cenderung setia 
mengerjakan kegiatan bertani walau dibayar dengan bagi hasil 
atau upah yang belum sesuai standar upah minimum daerah. 
Petani adalah ujung tombak pertanian dari masa ke masa. Tanpa 
petani maka sudah tentu pertanian tiada dapat lanjut berproses 
produksi. Walau hanya berstatus sebagai petani penggarap atau 
penyakap dan buruh tani namun peran mereka menjadi pelaku 
setiap kegiatan pertanian yang tengah ditekuni. Mengingat nilai 
esensial dari petani dan komunitasnya sebagai sentral dalam 
pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan ramah 
lingkungan maka sejak awal perencanaan sampai akhir kegiatan 
perlu komitmen untuk mendahulukan partisipasi barisan petani 
khususnya yang termasuk kategori tunakisma dan tertinggal


akikat petani sebagai individu berbudaya agraris 
sesungguhnya perlu ditingkatkan melalui pengem￾bangan perilaku yang kreatif, produktif dan inovatif. 
Pengembangan perilaku petani disertai peningkatan fasilitas 
pertanian pendukung yang memadai merupakan bagian dari 
proses pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian berasal 
dari terjemahan Bahasa Inggris yakni: pertanian (agricultural) dan 
pembangunan (development). Makna dari pembangunan dapat 
berarti growth, change, modernization dan progress menuju ke arah 
kondisi yang lebih maju di sektor pertanian. 
Pertanian merupakan kegiatan produktif yang melekat pada 
kehidupan manusia. Kedekatan hubungan antara pertanian 
dengan manusia senantiasa abadi selama bahan pangan masih 
bersumber dari hasil produksi usaha tani. Pencapaian fungsi 
pertanian yang maksimal bagi kehidupan manusia tentu mem￾butuhkan sederet upaya terencana, sistematis, terprogram dan 
berkelanjutan. Ragam upaya tersebut berupa proses dinamis oleh 
berbagai pihak terkait bersama petani mengembangkan sumber 
daya pertanian agar tercapai peningkatan produksi, pendapatan, 
kelayakan hidup, peningkatan perilaku bertani, fungsi kelem￾bagaan pertanian, tata nilai, budaya, kelestarian ekosistem ling￾kungan alam, jaminan pasar, kelayakan harga, ketahanan pangan 
dan lainnya. Berdasarkan pemikiran Mosher (1987) diketahui 
bahwa pembangunan pertanian merupakan suatu bagian integral 
dari pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum. 
Pembangunan pertanian adalah bagian dari pembangunan 
ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena 
itu, pembangunan pertanian secara lebih luas ditafsirkan sebagai 
proses perubahan sosial menuju kemajuan atau progres demi 
mencapai pertumbuhan, perkembangan dan distribusi ekonomi, 
peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat serta ke￾lestarian lingkungan alam. 
Pembangunan pertanian merupakan proses perubahan yang 
mencakup multi-aspek kehidupan manusia baik secara individual, 
kelompok, organisasi selaku warga masyarakat. Proses pem￾bangunan pertanian terkait erat dengan pemanfaatan teknologi 
baru atau inovasi terpilih yang tepat sasaran dan tepat guna. 
Setiap realisasi pembangunan pertanian mengandung multi￾dimensi yakni sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, 
lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikat pem￾bangunan pertanian mengacu pada setiap upaya sadar dan 
terencana untuk melaksanakan perubahan yang mengarah pada 
pertumbuhan ekonomi dan perbaikan mutu hidup serta 
kesejahteraan petani dan seluruh warga masyarakat untuk jangka 
panjang yang dilaksanakan oleh pemerintah dan didukung oleh 
partisipasi masyarakat dengan menggunakan teknologi terpilih. 
Adapun inti dari pembangunan pertanian dapat dilihat pada 
Gambar 17. 
 
 
Gambar 17. Inti Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian bukan merupakan suatu proses 
pembaharuan yang berlangsung secara sepotong-sepotong. Proses 
pembangunan pertanian berupa siklus yang berkelanjutan dalam 
meningkatkan kapasitas sekaligus kompetensi sumber daya 
manusia petani baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. 
Pembangunan sumber daya manusia merupakan tumpuan 
pembangunan pertanian berkelanjutan. Pembangunan pertanian 
yang berkelanjutan membutuhkan beberapa syarat yaitu keter￾sediaan sumber daya manusia petani, lingkungan sumber daya 
alam, fasilitas input produksi, pasar produk, kelayakan harga 
produk, kebijakan pemerintah yang mendukung, kerja sama 
berpola kemitraan, dan teknologi terpilih. Semua syarat tersebut 
saling berhubungan dan saling melengkapi untuk mencapai 
pembangunan pertanian yang bermanfaat praktis dan ekonomis, 
menguntungkan, mengamankan kelestarian lingkungan dan 
menyejahterakan petani. 

Kesadaran dan partisipasi aktif sumber daya manusia petani 
menjadi kunci pembuka dan penggerak pembangunan pertanian 
berkelanjutan. Partisipasi aktif petani memiliki kontribusi penting 
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi 
dan re-konsiderasi. Hubungan antar tahapan berbentuk siklus dan 
dapat diamati pada Gambar 18. 
Gambar 18. Tahapan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan 
Tahap perencanaan merupakan awal dari setiap proses 
pembangunan pertanian. Pengambilan keputusan pada tahap 
perencanaan memerlukan kelengkapan data tentang potensi, ke￾adaan, kebutuhan, permasalahan, alternatif solusi dan profil yang 
sedang dialami oleh objek pembangunan pertanian. Penetapan 
tujuan, sasaran, kegiatan program atau proyek, sumber biaya, 
batasan waktu, keberadaan dan kontribusi sumber daya manusia, 
kondisi sumber daya alam, monitoring, teknik evaluasi dan 
rekonsiderasi termasuk hal penting yang ditentukan pada tahap 
perencanaan. Partisipasi aktif petani juga termasuk bagian penting 
dari setiap perencanaan pembangunan pertanian berkelanjutan. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan 
salah satu target tujuan pembangunan nasional yang ditujukan 
untuk berbagai kepentingan. Pelaksanaan pembangunan per￾tanian berkelanjutan sebagai suatu perubahan berencana seyogia￾nya mempunyai multiplier effect bagi berbagai pihak. Oleh karena 
itu, pembangunan pertanian dapat berlangsung pada individu, 
rumahtangga, kelompok, komunitas atau masyarakat dan 
organisasi petani dalam arti yang luas. Dalam arti pembaharuan 
berencana, tahapan pembangunan pertanian berkelanjutan terurai 
rinci pada Gambar 19. Pelaksanaan uraian tahapan yang tertera pada Gambar 17 
membutuhkan kerja sama dan komitmen yang solid antara agen 
pembaharu sebagai fasilitator pembangunan pertanian dengan 
petani. Permasalahan yang rawan merintangi pada setiap tahapan diantisipasi sejak dini pada tahap perencanaan. Tidak hanya 
mengidentifikasi dan menganalisis masalah namun upaya lain 
yang penting diperhatikan ialah menyusun alternatif solusi. Setiap 
rancangan kegiatan pada tiap tahapan pembangunan pertanian 
berkelanjutan dilengkapi kategori masalah dan alternatif solusi 
yang berbentuk matriks atau peta sosial berdasarkan skala 
prioritas. Kategori masalah secara jelas dan rinci disusun dalam 
suatu alur pikir akar permasalahan sehingga dapat dibedakan 
antara masalah primer, sekunder dan tersier. Pemetaan akar 
permasalahan berfungsi sebagai pedoman perumusan alternatif 
solusi terbaik. 
Rumusan solusi masalah pembangunan pertanian ber￾kelanjutan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan budaya 
masyarakat petani. Alternatif solusi disesuaikan dengan norma 
dan nilai masyarakat petani agar saat dilaksanakan tidak 
mengalami gegar budaya (culture shock). Solusi atas masalah 
pembangunan pertanian berkelanjutan yang menyimpang dari 
budaya masyarakat petani sering mengalami penolakan. 
Penolakan dapat berlangsung secara manifest atau laten. 
Penolakan berbentuk manifest terwujud dalam pengambilan 
keputusan dan tindakan petani yang tidak bersedia mengikuti 
program pembangunan pertanian secara nyata, teramati langsung 
dan terbuka. Sebaliknya, penolakan yang bersifat laten ditun￾jukkan dari tindakan petani yang tersembunyi dan terpendam 
untuk tidak menerima program pembangunan pertanian yang 
disampaikan. Petani hadir dalam kegiatan penyuluhan, pelatihan 
dan demonstrasi cara teknologi pertanian yang ditransfer namun 
tidak bersedia menerapkan teknologi tersebut dalam proses 
produksi. Kehadiran petani hanya untuk menghormati undangan 
penyuluh pertanian. Kondisi demikian seyogianya dihindari 

Peningkatan peran dan fungsi agen pembaharu sebagai 
penggerak pembangunan pertanian berkelanjutan dituntut untuk 
mempercepat penularan dan perembesan atau difusi ide/ inovasi 
kepada petani dalam cakupan lebih luas. Pendekatan lain untuk 
mempercepat reseptivitas masyarakat petani ialah melalui peng￾ulangan materi, pembujukan, peniruan atau imitasi, pendidikan 
lapang, propaganda atau promosi, kampanye dan uji coba skala 
kecil untuk pembuktian hasil capaian. Semua pendekatan tersebut 
dapat dikombinasikan secara selaras sesuai kondisi, kebutuhan 
dan permasalahan petani. 
4.2. Urgensi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dan 
Ramah Lingkungan 
Salah satu bentuk usaha pertanian yang sesuai dengan 
prinsip pembangunan pertanian ramah lingkungan dan ber￾kelanjutan ialah pertanian organik. Pertanian organik pada 
hakikatnya termasuk salah satu bentuk usaha pertanian tradi￾sional. Petani memulai usaha pertanian organik yang tradisional 
sejak ribuan tahun lalu dan berlangsung di seluruh dunia. 
Pertanian organik mengandung makna mengenai pengelolaan 
usaha pertanian yang tidak atau mengurangi penggunaan bahan 
kimia sintetis. Salah satu teknik pengelolaan pertanian organik 
melalui pemanfaatan ekologi hutan termasuk kebun hutan 
(McConnell, Douglas., 2003). Pertanian organik ramah lingkungan 
karena adopsi petani terhadap input produksi luar rendah. 
Konsep pertanian organik yang ramah lingkungan juga memuat 
prinsip berkelanjutan. 
Pertanian organik merupakan sistem produksi yang intensif 
dan berkelanjutan karena menerapkan kaidah ekologis sehingga 
mendapat responden dari petani agar dikembangkan di seluruh dunia (Eyhorn, et al., 2019; Willer, et al., 2019). Walau hasil 
produksi pertanian organik lebih rendah dari pertanian anorganik 
namun karena sebanding dengan pertanian konvensional maka 
petani tetap merasa diuntungkan secara ekologis dan ekonomis 
untuk masa waktu yang panjang. 
Kemanfaatan dari sistem pertanian organik terletak pada 
keberlanjutan ekosistem alam khususnya keanekaragaman hayati, 
hasil panen yang bermutu bagi kualitas tanah, profitabilitas 
terjamin, harga produk pertanian organik layak, pasar terjamin 
dan adanya variabilitas sistem produksi dari waktu ke waktu. 
Penerapan pembangunan pertanian yang ramah lingkungan 
dan berkelanjutan merupakan salah satu upaya urgent dan krusial 
untuk merevolusi Revolusi Hijau. Pemanfaatan input luar yang 
tinggi pada pertanian berkonsep Revolusi Hijau sesungguhnya 
mengakibatkan ketergantungan petani terhadap penggunaan 
unsur agrokimia yang cenderung berlebihan. Hasrat ekonomi 
petani untuk mencapai produktivitas usaha tani yang lebih tinggi 
dan menguntungkan melatarbelakangi penggunaan input luar 
yang tinggi. Pupuk sintetis dan pestisida kimia menjadi andalan 
petani dalam memacu laju produksi semaksimal mungkin. 
Pupuk sintetis sesungguhnya telah dibuat pada abad ke 18, 
berupa superfosfat. Lalu pupuk berbahan dasar amoniak mulai 
diproduksi secara masal ketika proses Habes dikembangkan 
semasa Perang Dunia I. Pupuk kimia ini murah, bernutrisi, dan 
mudah ditransportasikan dalam bentuk curah. Hasil penelitian 
Horne (2008) membuktikan bahwa perkembangan juga terjadi 
pada pestisida kimia mulai digunakan petani sejak tahun 1940-an, 
yang memicu penggunaan bahan kimia secara besar-besaran di 
seluruh dunia. Akan tetapi, Stinner (2007) mengemukakan sistem 
pertanian dengan input luar tinggi membawa dampak serius 
dalam waktu jangka panjang terutama pada pemadatan tanah, 
erosi, penurunan kesuburan tanah secara keseluruhan dan 
gangguan kesehatan pada manusia akibat mengonsumsi bahan 
pangan berunsur kimia. Beberapa dampak Revolusi Hijau tertera 
pada Gambar 21. 
Gambar 21. Beberapa Dampak Negatif Revolusi Hijau 
(Reijntjes, et al., 1999) 
Penerapan konsep pertanian organik secara praktik di 
lapangan menunjukkan bahwa keberadaannya berfungsi sebagai 
upaya mencari bentuk pengelolaan sumber daya lahan permanen, 
baik dalam satu komoditi maupun kombinasi antara komoditi 
pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan secara simultan 
atau secara bergantian pada unit lahan yang sama. Adapun tujuan 
penerapan pertanian organik ialah memperoleh produktivitas 
optimal, berkelanjutan dan bermanfaat dengan menggunakan 
teknologi tepat guna dan tepat sasaran dengan tetap konsisten 
mempertahankan sekaligus meningkatkan mutu kondisi ke￾lestarian lahan pada lingkungan alam sekitar. Dengan demikian, 
konsep pertanian organik mencakup kepentingan aspek struktur
ekosistem (structural attribute of ecosystem), fungsi ekosistem 
(functional attribute of ecosystem) dan eksistensi sumber daya 
manusia beserta lingkungan sosial seperti kelembagaan, tenaga 
kerja, pemasaran, teknik pengelolaan dan sosial ekonomi lain. 
Pertanian organik mengandung prinsip penerapan kaidah 
ekologi konservatif. Menurut pemikiran Warren, et al. (2008) di￾ketahui bahwa ekologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang ber￾makna mengenai pemahaman tentang alasan mengapa suatu 
spesies berada di wilayah tertentu dan menjadi bagian dari bidang 
pertanian sebagai proses domestikasi, yang mengubah habitat 
alami dari spesies tanaman atau hewan tertentu, sehingga dapat 
dimanfaatkan untuk kebutuhan makanan manusia. Proses 
domestikasi tersebut dapat berupa modifikasi ataupun seleksi. 
Reijntjes, et al., (1999) menegaskan gerakan revolusi hijau yang 
menggunakan pendekatan input luar tinggi (HEISA) layak 
digantikan dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan 
yakni pertanian masa depan dengan menggunakan konsep Low 
Input for Sustainable Agriculture (LEISA) 
Peningkatan kesadaran lingkungan secara umum pada po￾pulasi manusia masa modern telah mengubah gerakan pertanian 
organik yang awalnya dikendalikan oleh suplai (supply), kini 
dikendalikan oleh permintaan pasar (demand). Harga yang tinggi 
dan subsidi dari pemerintah menarik perhatian petani. Di 
berbagai negara yang berkembang, berbagai produsen pertanian 
yang bekerja dengan prinsip tradisional dapat dikatakan setara 
dengan pertanian organik namun tidak bersertifikat dan tidak 
mengikuti perkembangan ilmiah dalam pertanian organik. 
Perbedaan antara sistem pertanian HEISA dengan LEISA dapat 
dilihat pada Gambar 22. 
negara di Eropa Utara saat ini menyaksikan ledakan penjualan 
makanan organik. Di Swedia, penjualan meningkat 18% pada 2016 
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan produk organik 
sekarang merupakan 8,7% dari total penjualan makanan (Ekoweb, 
2017). Pertanian organik muncul sebagai reaksi terhadap 
industrialisasi pertanian yang mengandalkan input luar tinggi. 
Deretan masalah lingkungan dan kesehatan serta biaya produksi 
tinggi merupakan bagian dari masalah sistem pertanian dengan 
konsep HEISA. Ragam masalah tersebut juga rawan dialami oleh 
masyarakat petani di pedesaan 
Pembangunan pertanian organik masih berjalan dengan 
prinsip keberlanjutan dan penghematan biaya produksi. Akan 
tetapi, hasil panen cenderung lebih rendah daripada pertanian 
konvensional (Röös, et al., 2018). Hasil penelitian tersebut selan￾jutnya menjelaskan bahwa sekarang ada minat meningkatkan 
hasil di pertanian organik untuk menyediakan lebih banyak 
makanan organik untuk pertumbuhan dan laju pertumbuhan 
populasi. Hasil lain dari pertanian organik mampu meningkatkan 
keanekaragaman hayati, mereduksi emisi gas rumah kaca, 
mencegah kehilangan unsur hara, menjaga kesuburan tanah, 
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta menaik￾kan keuntungan pertanian. 
Prinsip fundamental pertanian organik terkait dengan daur 
ulang limbah hasil pertanian di masyarakat. Produk ikutan dari 
pertanian organik berupa pupuk kompos dan pupuk kandang 
kaya unsur hara dan energi alternatif terbarukan dari pengolahan 
produksi limbah hewan. Ditinjau dari sisi ekonomi maka beberapa 
pihak menjelaskan tentang posisi pertanian organik masih 
dilematik dan kurang memberikan kontribusi keuntungan yang 
optimal bagi petani. Tentu pendapat tersebut muncul bilakalkulasi ekonomi hanya dipandang dari rentang waktu produksi 
jangka pendek. Betapa pun kontroversialnya pertanian organik 
justru beberapa hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa 
sistem pertanian organik adalah pertanian masa depan yang lebih 
menguntungkan, ramah lingkungan serta berkelanjutan (Reganold 
and Wachter 2016; Connor and Mínguez 2012). 
Kritik terhadap pertanian organik mengalir ketika muncul 
peningkatan permintaan bahan pangan global yang kurang 
terpenuhi karena keterbatasan penggunaan lahan pertanian. 
Sementara, ekstensifikasi atau perluasan lahan semakin terbatas 
akibat kelangkaan sumber daya lahan. Hanya program inten￾sifikasi dengan pemanfaatan teknologi produksi yang disarankan 
untuk meningkatkan penyediaan bahan pangan. 
Pengelolaan pertanian organik dengan hasil panen optimal 
dan menguntungkan pada hakikatnya dapat dicapai ketika petani 
menerapkan sistem pertanian terpadu dengan terap manajemen 
agroekosistem berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengelolaan 
usaha tani dengan manajemen agroekosistem mampu mengontrol 
penggunaan input luar seminimal mungkin. Kemanfaatan praktis 
lain yakni menjaga keanekaragaman hayati dari ancaman bahaya 
antropogenik. Ancaman antropogenik berupa bahaya yang timbul 
akibat aktivitas manusia yang merugikan manusia sendiri, 
organisme biotik abiotik, bioma dan ekosistem alam. 
Penggunaan pendekatan manajemen agroekosistem poten￾sial dikembangkan sebagai pelayanan jasa dalam pembangunan 
pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pendekatan ini 
adalah pilihan terbaik untuk memenuhi fungsi pertanian organik 
dalam upaya memenuhi permintaan pangan masa depan secara 
berkelanjutan sekaligus mengurangi tekanan kerusakan ling￾kungan 
Metode pengelolaan pertanian organik tertuju pada 
intensifikasi beberapa kegiatan yang memanfaatkan daur ulang 
sumber daya alam yang tersedia di sekitar lingkungan lokal. 
Pengolahan limbah hasil pertanian menjadi andalan dalam meng￾hasilkan pupuk organik dan pengendali hama alami. Keyakinan 
terhadap fungsi pembangunan pertanian organik yang meng￾gunakan pola terpadu on farm dan off farm semakin kuat terhadap 
kemampuan menyerap tenaga kerja. Pertanian organik terpadu 
adalah katup pengaman yang membuka kesempatan kerja 
produktif bagi kalangan petani tunakisma atau buruh tani , yang 
tidak mempunyai hak milik atas sebidang lahan pertanian. 
Rangkaian kegiatan pertanian organik dari hulu sampai hilir 
potensial dikembangkan sebagai peluang diversifikasi mata 
pencaharian produktif, kreatif dan inovatif bagi petani tunakisma. 
Kegiatan off farm pada hulu terbuka untuk produksi pupuk 
organik kaya hara berbentuk padat, tabur dan cair yang berbahan 
limbah hasil pertanian. Usaha lain yakni memproduksi bio￾pestisida atau pestisida hayati. Usaha off farm lain yang berpotensi 
dikembangkan ialah penyediaan jasa konsultasi untuk rancang 
bangun pertanian organik secara terpadu berteknologi vertikultur, 
hidroponik, akuaponik, aeroponik, mina padi dan lainnya. 
Berbagai aktivitas pertanian organik terutama pada beberapa 
kegiatan penting dalam proses produksi selama musim tanam 
tercantum pada Gambar 24. 

Realisasi pelaksanaan sistem pembangunan pertanian ber￾kelanjutan dan ramah lingkungan membutuhkan komitmen tinggi 
dari pola perilaku petani sebagai pengelola usaha tani. Komitmen 
tersebut bukan hanya dari sisi capaian target ekonomi dan 
teknologi saja namun harus seiring dengan target capaian jaminan 
energi dan kepentingan sumber daya manusia serta kondisi 
lingkungan alam yang lestari. 
Pengelolaan pertanian organik yang ramah lingkungan dan 
berkelanjutan juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak 
terkait terutama pemerintah sebagai pengampu kebijakan, agen 
pembaharu, investor, warga konsumen dan pihak pengelola 
berbagai segmen pasar. Kerja sama yang integratif perlu men￾dukung kemampuan petani dalam meningkatkan daya terap 
manajemen agroekosistem, berprinsip agroekologi. 
Pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan ber￾dimensi luas dari sisi ekonomi, sosial budaya dan lingkungan 
untuk rentang waktu yang panjang. Keuntungan pertanian 
organik tidak hanya bermanfaat bagi produsen dan konsumen 
namun juga menimbulkan perbaikan kesuburan lahan pada 
sumber daya alam yang lebih lestari. Beberapa keuntungan yang 
dimaksud secara jelas tampak pada Tabel 4. 
Penerapan dari konsep agroekologi secara praktik di 
lapangan menunjukkan bahwa keberadaannya berfungsi sebagai 
upaya mencari bentuk pengelolaan sumber daya lahan permanen, 
baik dalam satu komoditi maupun kombinasi antara komoditi 
pertanian dengan kehutanan, peternakan dan perikanan secara 
simultan atau secara bergantian pada unit lahan yang sama. 
Adapun tujuan penerapan agroekologi ialah memperoleh produk-tivitas optimal, berkelanjutan, bermanfaat dengan penggunaan 
teknologi tepat guna dan tepat sasaran dengan tetap konsisten 
mempertahankan sekaligus meningkatkan mutu kondisi keles￾tarian lahan pada lingkungan alam sekitar. Dengan demikian, 
konsep agroekologi dalam pembangunan pertanian yang ber￾kelanjutan dan ramah lingkungan mencakup kepentingan aspek 
struktur ekosistem (structural attribute of ecosystem), fungsi 
ekosistem (functional attribute of ecosystem) dan eksistensi sumber 
daya manusia beserta lingkungan sosial seperti kelembagaan, 
ketenagakerjaan, pemasaran, teknik pengelolaan pasca panen dan 
sosial ekonomi lain. 
Warren, et al. (2008) menjelaskan bahwa ekologi ialah suatu 
ilmu pengetahuan yang bermakna mengenai pemahaman tentang 
alasan mengapa suatu spesies berada di wilayah tertentu dan 
menjadi bagian dari bidang pertanian sebagai proses domestikasi, 
yang mengubah habitat alami dari spesies tanaman atau hewan 
tertentu, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan makanan 
manusia. Proses domestikasi tersebut dapat berupa modifikasi 
ataupun seleksi. Reijntjes, et al., (1999) menegaskan gerakan 
revolusi hijau yang menggunakan pendekatan input luar tinggi 
(HEISA) layak digantikan dengan pendekatan yang lebih ramah 
lingkungan yakni pertanian masa depan dengan penggunaan 
konsep Low Input for Sustainable Agriculture (LEISA). Agroekolo￾gidibutuhkan dalam pengembangan pertanian ramah lingkungan 
dan berkelanjutan. 

pertanian merupakan suatu proses dinamis 
yang memberikan kontribusi berarti bagi peningkatan 
kualitas dan kuantitas pengelolaan usaha pertanian baik 
sumber daya manusia maupun sumber daya alam secara ber￾imbang. Ragam kepentingan dan pemenuhan kebutuhan sumber 
daya manusia terkait secara langsung dengan proses pem￾bangunan pertanian. Pembangunan pertanian berperan strategis 
dalam pemenuhan kebutuhan pangan dengan gizi ideal. Peran 
tersebut vital karena sulit dan tidak dapat digantikan sektor lain. 
Tidak dapat diingkari pembangunan pertanian adalah penentu 
kualitas sumber daya manusia. 
Kontribusi lain dari pembangunan pertanian terletak pada 
kemampuannya sebagai katup pengaman dalam penyediaan 
kesempatan kerja bagi penduduk dunia. Pembangunan pertanian 
juga berperan sebagai penentu kualitas sumber daya alam lestari. 
Aktivitas dalam pengelolaan usaha pertanian turut memberikan 
kontribusi kuat terhadap status lingkungan hidup apakah meng￾arah pada suatu kerusakan atau kelestarian? Hasil capaian 
pembangunan pertanian memiliki peran besar terhadap tingkat 
perekonomian nasional. Mengingat ragam peran strategis pem￾bangunan pertanian mengakibatkan kegiatan pelaksanaannya 
perlu dilakukan secara serius dan intensif. Pencapaian ragam 
peran strategis tersebut tentu tidak terlepas dari beberapa syarat 
pembangunan pertanian yang perlu dipenuhi dan dilengkapi 
secara memadai. Apabila syarat pembangunan pertanian belum 
atau kurang terpenuhi maka diyakini realisasi peran strategis akan 
terhambat oleh berbagai gangguan. 
Menurut Mosher (1987) terdapat syarat pembangunan 
pertanian yang bersifat pokok dan pelancar. Syarat pokok meli￾puti pasaran hasil produksi pertanian, teknologi baru, tersedianya 
bahan dan alat produksi secara lokal, perangsang produksi bagi 
petani, dan pengangkutan. Pasar menjadi syarat pokok karena 
untuk memenuhi kebutuhan petani dalam upaya menjual hasil 
produksi saat panen tiba. Peningkatan hasil produksi yang 
diperoleh petani setelah mengadopsi teknologi pemupukan tepat 
dosis dan tepat waktu tentu membutuhkan kemudahan dalam 
akses pasar. Aksesibilitas petani yang mudah dan lancar terhadap 
fasilitas pasar memberikan kepastian pendapatan bagi petani. 
Tanpa memiliki akses terhadap fasilitas pasar tentu hasil produksi 
dari panen akan memunculkan persoalan bagi petani yakni 
ancaman kerusakan hasil panen yang dapat terbuang percuma. 
Keberadaan pasar yang mudah dan cepat diakses sangat penting 
bagi petani guna menghindari risiko kerugian akibat gagal 
menjual hasil panen. Kedekatan pasar dengan petani juga 
bermanfaat untuk mencegah risiko harga hasil panen yang rendah 
karena saluran pemasaran yang terlalu panjang. 
Pembangunan pertanian akan berjalan lamban atau bahkan 
berhenti tanpa diikuti dengan perkembangan ilmu dan teknologi 
baru hasil penelitian pada balai percobaan pemerintah dan swasta. 
Teknologi yang dimanfaatkan dalam Revolusi Hijau di sektor 
pertanian didorong dengan adanya perkembangan ilmu penge￾tahuan melalui penelitian yang berlanjut. Teknologi informasi 
merupakan salah satu inovasi yang dibutuhkan petani masa kini. 
Pemanfaatan teknologi informasi menolong petani secara cepat 
dalam mengakses harga, pasar, teknologi dan input produksi. 
Kemampuan menggunakan teknologi informasi juga membantu 
petani mengakses transportasi untuk menyalurkan hasil produksi 
ke pasar dan konsumen tujuan. 
Dalam menerapkan inovasi hasil pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian perlu adanya 
input produksi berupa alat dan bahan untuk mendukung penge￾lolaan usaha tani efisien dan efektif. Ragam alat dan bahan yang 
digunakan harus dapat memberikan kenaikan hasil produksi 
pertanian yang lebih tinggi untuk setiap masa produksi. Alat dan 
bahan dibutuhkan untuk kegiatan on farm dan off farm. Sifat alat 
pertanian ada yang manual tradisional, semi manual-mekanik dan 
mekanis. Pemilihan dan keputusan tentang alat dan bagan yang 
digunakan oleh petani tergantung pada kebutuhan dan kondisi 
daya beli. Petani cenderung membutuhkan alat dan bahan yang 
berbiaya murah dan mudah diperoleh serta dirawat sehingga bila 
aus dapat segera diperbaiki hingga berfungsi kembali. 
Selain pasar, teknologi baru dan bahan atau alat pertanian 
maka petani juga membutuhkan perangsang agar lebih semangat 
dalam mengelola usaha tani. Perangsang atau insentif dalam 
pembangunan pertanian termasuk syarat pokok sehingga mutlak 
dipenuhi. Beberapa insentif yang merangsang partisipasi aktif 
petani terintegrasi dalam pembangunan pertanian ialah kebijakan 
subsidi harga pupuk, modal tambahan berupa kredit berbiaya 
ringan, jaminan input produksi, bantuan kredit usaha tani dan 
jaminan harga produk oleh pemerintah. Pemberian penghargaan 
kepada petani berprestasi sebagai inventor teknologi pengendali 
hama tikus pada tanaman padi ramah lingkungan juga termasuk 
insentif yang memotivasi agar warga tani semakin mandiri dan 
kreatif menyelesaikan masalah. 
Syarat pokok lain dari pembangunan pertanian ialah ter￾sedia sarana prasarana transportasi. Fasilitas pengangkutan diper￾lukan untuk mempermudah dan memperlancar distribusi hasil 
produksi dari petani produsen ke pasar dan konsumen. Fasilitas 
pelayanan pengangkutan yang memadai dan mendukung pem￾bangunan pertanian bukan hanya ditunjukkan dari sarana 
prasarana fisik semata misal jalan raya beraspal tebal, bandara dan 
pelabuhan, stasiun kereta api dan terminal bis yang megah 
dilengkapi truk kontainer dan angkutan umum lain yang serba 
modern. Akan tetapi, fasilitas transportasi yang potensial menjadi 
syarat pokok pembangunan pertanian adalah memiliki ciri 
kemanfaatan praktis, ekonomis, lancar, aman, ongkos murah dan 
mudah terjangkau petani. Kelima syarat pokok pembangunan 
pertanian yang dikemukakan oleh Mosher (1987) dapat dicermati 
pada Gambar 25. 
Syarat pokok bersifat esensial sehingga mutlak dipenuhi 
demi kelancaran dan keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan 
peran strategis pembangunan pertanian. Sehubungan dengan 
gerak dinamika pembangunan pertanian yang mengikuti per￾ubahan sosial yang berupa modernisasi dan globalisasi berarus 
kekinian maka kelima syarat pokok yang tertera pada Gambar 23 
masih perlu dilengkapi sesuai kondisi, kebutuhan dan perma￾salahan masa sekarang. Syarat pokok pembangunan pertanian 
yang perlu dilengkapi fasilitas pelayanan harga dan kebijakan 
yang melindungi produsen sekaligus konsumen. 
Syarat pokok fasilitas pelayanan informasi harga penting 
diadakan agar petani tidak mengalami kerugian fatal akibat harga 
hasil produksi yang rendah dan lamban naik. Petani cenderung 
pasrah menerima patokan berapa pun yang ditetapkan pedagang 
karena memang tidak mengetahui secara pasti harga yang se￾wajarnya. Tindakan petani menjual hasil panen dengan tingkat 
harga berapa pun memiliki rasionalitas untuk menyelamatkan 
usaha tani dari kerugian total akibat hasil produksi pertanian 
rusak, berbau dan membusuk. Fasilitas pelayanan harga dapat 
dikembangkan secara spesifik lokasi melalui media massa dan 
media sosial online secara terkoordinasi 
Kebijakan pemerintah yang melindungi produsen dan 
konsumen termasuk syarat pokok yang perlu ditambahkan dalam 
mendukung keberhasilan pembangunan pertanian. Fungsi ke￾bijakan pertanian penting mengendalikan tindakan berisiko dari 
pihak yang berbuat kecurangan mulai dari hulu sampai akhir 
kegiatan pertanian. Kekuatan kebijakan pertanian berfungsi 
sebagai kontrol terhadap keamanan bahan pangan, mekanisme 
harga, rekayasa pangan tidak higienis, arus impor hasil pertanian 
yang menekan pemasaran produk lokal, kerusakan lingkungan 
sumber daya alam dan sebagainya. 
Rekonstruksi syarat pokok Mosher yang paling urgen dan 
krusial secara hakiki terletak pada upaya peningkatan kualitas 
sumberdaya manusia. Modal sumberdaya manusia petani yang 
mandiri adalah syarat pokok yang harus terpenuhi dalam setiap 
proses pembangunan pertanian (Sumardjo, 2020; Sumardjo, 2021). 
Mandiri bermakna memiliki daya saring, daya saing, daya san￾ding dan daya adaptasi. Daya saring berarti memiliki wawasan 
luas dan tujuan yang jelas. Daya saing menunjukkan petani 
mempunyai kemampuan berperilaku efektif, efisien dan bermutu. 
Daya sanding bermakna petani memiliki daya kemampuan ber￾mitra sejajar secara sinergis dan berjaringan yang didukung trust 
dan truth. Daya adaptasi bermakna mampu secara antisipatif atau 
setidaknya proaktif dalam menyikapi perubahan lingkungan stra￾tegis yang dihadapinya dan tidak bersikap reaktif atau 
apatis/fatalis. 
Semakin dipahami dan diyakini, tanpa eksistensi dan peran 
sumberdaya manusia petani yang bermutu dan mandiri tentu 
proses pembangunan pertanian akan mengalami kegamangan 
dalam mencapai tujuan dan sasaran. Kecanggihan teknologi per￾tanian dalam on farm dan off farm tentu mubazir bila petani belum 
atau tidak sanggup menggunakannya secara tepat guna dan tepat 
waktu. 
5.2. Syarat Pelancar Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian tidak hanya memerlukan syarat 
pokok. Mosher (1987) menguraikan pembangunan pertanian juga 
perlu didukung oleh syarat pelancar. Rincian syarat pelancar 
meliputi pendidikan petani, kredit produksi, kebersamaan petani, 
perbaikan dan perluasan lahan serta perencanaan pembangunan 
pertanian. Keberadaan syarat pelancar juga penting diperhatikan 
dalam menggerakkan pembangunan pertanian berkelanjutan dan 
ramah lingkungan. Uraian mengenai syarat pelancar pem￾bangunan pertanian dapat dilihat pada Gambar
Pendidikan bagi petani merupakan salah satu syarat 
pelancar pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan ramah 
lingkungan. Fungsi pendidikan penting untuk meningkatkan 
potensi diri dan perilaku petani. Adapun pendidikan yang 
dibutuhkan petani terutama yang bersifat tak formal umpama 
sekolah lapangan dan kegiatan penyuluhan, pelatihan, demon￾strasi cara, demonstrasi plot, karya wisata, diskusi interaktif 
kelompok terfokus. Pendidikan tak formal berfungsi sebagai 
jembatan bagi penyampaian materi inovasi pertanian dari agen 
pembaharu dan peneliti kepada khalayak petani melalui berbagai 
metode dengan beragam alat bantu dan alat peraga sehingga 
terjadi pengembangan perilaku usaha tani yang lebih baik dari 
keadaan semula. Teknologi pendidikan tak formal sering kali 
digunakan sebagai sarana transfer inovasi. 
Pendidikan tak formal bertujuan untuk meningkatkan peri￾laku petani dalam mengelola usaha tani sehingga tercapai better 
farming. Lebih lanjut, disusul kemampuan berbisnis yang makin 
baik (better business) dan perbaikan kehidupan petani beserta 
keluarganya (better living). Ranah perilaku yang dikembangkan 
mencakup sikap mental (afektif), pengetahuan (kognitif) dan 
keterampilan (psikomotorik). Dengan aktif berpartisipasi dalam 
pendidikan tak formal akan mendorong petani makin mahir 
dalam uji dan terap teknologi terpilih. Akses petani terhadap 
pasar dan harga produk membaik. Petani produktif, kreatif, 
inovatif, mandiri muncul dengan daya saing kuat dan mampu 
bekerja sama dengan mitra baik pada on farm maupun off farm. 
Rutinitas pendidikan tak formal disesuaikan dengan waktu 
dan tempat yang disepakati bersama antara agen pembaharu 
dengan petani. Khalayak sasaran strategis pada pendidikan tak 
formal akan dipilih adil dan merata. Petani kecil yang tinggal di 
lokasi mukim yang sulit terjangkau karena kondisi geografis 
berbukit terjal tetap diundang mengikuti pendidikan tak formal. 
Hal tersebut memang penting mengingat permasalahan usaha tani yang tengah dihadapinya sesuai dengan materi pendidikan tak 
formal yang disampaikan oleh agen pembaharu. 
Profesionalisme dan kompetensi agen pembaharu termasuk 
penyuluh pertanian sebagai fasilitator pendidikan tak formal bagi 
petani menjadi bagian dari syarat pelancar pembangunan 
pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan. Peran penyuluh 
dan agen pembaharu pertanian tidak boleh seolah menggurui 
petani namun yang lebih tepat justru mengarah pada pola belajar 
bersama sambil langsung melakukan uji coba inovasi (learning by 
doing). Sharing pengalaman usaha tani termasuk bagian teknik 
belajar bersama yang memperkaya pengetahuan dan keterampilan 
petani untuk menyelesaikan masalah usaha tani. 
Agen pembaharu termasuk penyuluh mempunyai peran 
ganda bahkan multi kompleks dalam pendidikan tak formal bagi 
petani di pedesaan. Tidak hanya berperan sebagai sumber 
informasi ide dan teknologi baru namun agen pembaharu harus 
mampu memainkan peran sebagai mitra, fasilitator, konsultan, 
motivator, guru dan pengisi kehampaan pedesaan. Peran agen 
pembaharu pada setiap kegiatan pendidikan tak formal diwarnai 
suasana kekeluargaan, keakraban, ramah tamah dan saling 
menghargai. Sikap agen pembaharu perlu adaptif dan empati 
dengan kondisi permasalahan petani. Kemampuan agen pem￾baharu dalam berkomunikasi dan berinteraksi juga menjadi titik 
sentral keberhasilan pendidikan tak formal pada kalangan petani. 
Tanpa memiliki jaringan yang difasilitasi teknologi yang 
perlu dilengkapi yakni fasilitas informasi harga dan kebijakan 
pemerintah yang melindungi produsen dan konsumen. Kredit 
produksi usaha tani memiliki fungsi penting dalam membantu 
petani memenuhi biaya pengadaan sarana input produksi. Kredit 
produksi dimaknai sebagai pemberian pinjaman sejumlah uangkepada petani untuk dimanfaatkan membeli input produksi yang 
dibutuhkan selama rentang waktu mulai dari penyediaan bibit 
sampai panen. Petani dapat memanfaatkan berbagai bentuk kredit 
produksi. Sumber kredit produksi beragam. Ada yang berasal dari 
perbankan milik pemerintah dan swasta, bank plecit, koperasi 
simpan pinjam, debitur potensial dan lainnya. Prosedur penya￾luran kredit produksi usaha tani seyogianya tidak prosedural dan 
bertele-tele. Hal ini dimaksudkan agar petani mudah mengakses 
kredit dan menggunakannya untuk tambahan biaya produksi. 
Kredit produksi yang diharapkan petani berbunga ringan. 
Cicilan yang harus dibayarkan setiap waktu secara rutin 
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi petani. Pemberian 
kredit pada petani tidak boleh menjadi beban yang memberatkan. 
Lembaga penyedia kredit produksi usaha tani sebagai suatu 
syarat pelancar pembangunan pertanian wajib mengerti tentang 
sifat usaha pertanian yang khas dan situasional. Perubahan 
lingkungan alam yang sulit dikendalikan misal musim kekeringan 
panjang menyebabkan petani gagal panen. Tentu persoalan 
tersebut menyebabkan petani kesulitan membayar cicilan kredit 
secara teratur. Beberapa kasus yang menimpa petani akhirnya 
terbebani dengan persoalan kredit macet. 
Menyadari kondisi usaha tani rakyat yang berskala mikro 
dan yang rawan dengan ketidakpastian alam mensyaratkan agar 
pemberian kredit produksi dilengkapi keterikatan dengan 
asuransi. Kesertaan asuransi dalam kredit produksi menolong 
petani dalam membayar dan melunasi cicilan tanpa terhalang oleh 
berbagai risiko kegagalan panen dan harga produk yang anjlok di 
pasar. Dengan ikut menjadi peserta asuransi juga meringankan 
beban ekonomi petani sehingga tidak terjebak dalam masalah 
kredit macet. Syarat pelancar berupa kebersamaan petani memiliki nilai 
yang signifikan dalam meningkatkan kolektivitas dan solidaritas 
sesama petani. Ikatan kebersamaan petani yang diwujudkan 
dalam pembentukan kelompok tani tentu memudahkan penyam￾paian ide dan teknologi baru secara partisipatif. Syarat pelancar 
berupa kebersamaan petani mencerminkan nilai keguyupan dan, 
gotong royong, tolong menolong , kerja bakti dan toleransi yang 
khas terdapat pada masyarakat berbudaya agraris. Kebersamaan 
petani merupakan modal berharga dalam pembangunan 
pertanian. Jalinan kebersamaan yang melekat dalam masyarakat 
petani berfungsi sebagai energi sosial yang menggerakkan 
partisipasi aktif dalam kegiatan pembaharuan teknik bertani dan 
penanganan pasca panen yang menguntungkan. Kelompok tani 
dan kelembagaan lokal termasuk bagian dari realisasi keber￾samaan warga tani di pedesaan. 
Kebersamaan petani menjadi magnet dalam menggerakkan 
pembangunan pertanian di pedesaan. Oleh karena itu, kegiatan 
petani yang menunjukkan rasa kebersamaan penting dikelola agar 
berfungsi produktif, kreatif dan inovatif. Syarat pelancar pem￾bangunan pertanian lain yakni berkenaan dengan perbaikan dan 
perluasan lahan pertanian. Perbaikan lahan pertanian untuk 
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan dapat dilaksana￾kan melalui optimalisasi kegiatan intensifikasi atau pemanfaatan 
ragam teknologi tepat guna dan tepat sasaran pada sebidang 
lahan tertentu guna meningkatkan hasil produksi. Perbaikan 
lahan dapat juga dilaksanakan melalui kegiatan reboisasi dan 
rehabilitasi khususnya lahan marginal agar produktif kembali. 
Perluasan lahan pertanian atau ekstensifikasi menunjukkan 
aktivitas pertanian di daerah yang berpenduduk relatif jarang. 
Perluasan lahan pertanian dapat juga dilaksanakan melalui ke-giatan pemanfaatan lahan rawa dan gambut untuk pengembangan 
usaha pertanian khususnya tanaman pangan. Syarat pelancar 
perbaikan dan lahan perluasan lahan pertanian membutuhkan 
modal besar sehingga petani perlu didukung oleh pemerintah, 
investor dan pihak swasta lain yang terkait. 
Syarat pelancar pembangunan pertanian berkelanjutan 
ramah lingkungan berupa perbaikan dan perluasan lahan poten￾sial mengoptimalkan produktivitas dan pendapatan petani. 
Pemenuhan syarat pelancar tersebut juga perlu memperhatikan 
prinsip kelestarian ekosistem lingkungan sumber daya alam. 
Beberapa teknik perbaikan dan perluasan lahan dapat dikombi￾nasikan untuk saling melengkapi. Ketika lahan berkemiringan 
tinggi untuk kepentingan pengembangan areal persawahan dan 
perkebunan sayuran, buah-buahan dan tanaman tahunan dengan 
teknik terasering. Istilah lain dari tersering adalah sengkedan yang 
merupakan salah satu teknik pengolahan lahan bersifat mekanis 
dan menggunakan prinsip konservasi tanah dan air melalui peng￾galian sekaligus pengurukan tanah secara melintang guna 
memperpendek panjang lereng atau mengurangi kemiringan 
lereng sehingga aliran air pada permukaan tanah (run off) tertahan 
atau lebih lamban dan kesempatan air meresap ke dalam tanah 
meningkat. Penataan tanah dengan teknik konservasi terasering 
dilakukan membuat dan membentuk deretan teras datar secara 
bertingkat untuk dimanfaatkan sebagai lahan penanaman ber￾bagai jenis tanaman. 
Terasering memiliki manfaat dalam mendukung fungsi 
unsur pelancar yang berhubungan dengan upaya perbaikan dan 
perluasan lahan pertanian. Beberapa manfaat terasering yang 
potensial memperlancar pembangunan pertanian berkelanjutan 
dan ramah lingkungan tercantum pada Gambar 27.
Terasering dibutuhkan untuk penataan lahan yang semula 
marginal karena berkemiringan tinggi. Pemanfaatan teknik 
konservasi lahan dengan terasering perlu disesuaikan dengan 
kondisi lahan. Beberapa tipe terasering teramati pada Tabel 5. 
Jika penggunaan syarat pelancar perbaikan dan perluasan 
lahan didukung teknologi konservasi yang tepat seperti dengan 
terasering maka kawasan pertanian memiliki efek ganda. Petani 
tidak hanya memperoleh pendapatan dari hasil panen. Akan 
tetapi, pertanian difungsikan sebagai kawasan agrowisata seperti 
pada petani di Jatiluwih, Bali. Pengelolaan kawasan pertanian 
berbasis pariwisata membutuhkan modal produksi besar dan 
dukungan kerja sama yang kuat dari pihak pemerintah daerah, 
investor, mitra pengelola pasar wisata dan kelembagaan lokal 
petani. Kawasan pertanian yang menerapkan terasering berbentuk 
bangku atau tangga di Jatiluwih, Bali teramati pada Gambar 28. 
ebagai suatu aktivitas produktif, pertanian disebutkan oleh 
Mosher (1987) mempunyai berbagai unsur yang meliputi: 
(a) Proses produksi, (b) Petani, (c) Usaha tani dan (d) Usaha 
tani sebagai perusahaan. Jika dikaitkan dengan upaya pengem￾bangan kegiatan produktif pertanian yang berkelanjutan dan me￾miliki prinsip wawasan lingkungan maka selain unsur pertanian 
yang disebutkan Mosher, terdapat unsur penting lain yaitu ling￾kungan fisik (misalnya kelestarian alam) dan lingkungan sosial 
(misalnya pengembangan kelembagaan). Rangkaian unsur perta￾nian lebih jelas diterangkan sebagai berikut. 
a. Unsur pertama yaitu kegiatan produksi. 
Dalam setiap usaha tani yang telah merupakan suatu 
kegiatan usaha (business), biaya dan penerimaan menjadi 
aspek yang penting diperhitungkan. Produksi, tanaman 
dianggap sebagai pabrik pertanian primer, yang mengambil 
gas karbon dioksida dari udara melalui daunnya. Air dan 
zat hara diserap dari dalam tanah oleh akar. Semua bahan 
makanan diolah di daun dengan bantuan sinar matahari 
untuk menghasilkan ragam hasil pertanian umpama bahan 
pangan, ikan, buah, bunga, biji, serat, minyak dan lainnya. 
Semua hasil panen pertanian bermanfaat bagi kelangsungan 
hidup manusia. 
Hewan atau ternak pada proses produksi merupakan 
pabrik pertanian sekunder karena makanan yang dibutuh￾kannya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Mayoritas makanan 
ternak adalah bagian dari tanaman yang tidak dikonsumsi 
manusia seperti batang tumbuhan dan rumput-rumputan. 
Ternak mengolah makanannya menjadi produk berguna 
bagi manusia misalnya susu, telur, daging, wol dan kulit. 
Mulanya tumbuhan dan hewan liar bebas secara alami 
hidup dan berkembang-biak tanpa campur tangan manusia. 
Namun karena jumlah penduduk meningkat terus pada 
akhirnya mengakibatkan kebutuhan manusia akan makanan 
yang bersumber dari nabati (tumbuh-tumbuhan) dan 
hewani (ternak) turut mengalami kenaikan. Untuk meme￾nuhi kenaikan permintaan tersebut, proses produksi tum￾buhan dan hewan direkayasa dengan berbagai perangkat 
teknologi sehingga mampu untuk menghasilkan produk 
yang jumlahnya semakin meningkat dan mutu semakin 
baik. 
Tumbuh berkembangnya tanaman maupun ternak 
mempunyai beberapa syarat tersendiri sehingga dikenal 
adanya komoditas spesifik lokasi. Artinya, suatu tumbuhan 
atau ternak dapat hidup berkembang dengan baik pada 
suatu daerah tertentu, pada musim tertentu, jumlah air 
tertentu dan sifat tanah tertentu. Proses produksi pertanian 
berlangsung dalam siklus produksi yang bersifat biologis. 
Siklus produksi pertanian berupa mata rantai tak terputus 
dilukiskan oleh Mosher (1987) pada Gambar 29. 
Dengan menyadari sifat proses biologis dari kegiatan 
produksi pertanian yang khas maka seyogianya hal tersebut 
menjadi pedoman bagi penentuan arah tujuan pem￾bangunan pertanian dengan senantiasa memperhatikan 
beberapa hal pokok berikut: 
1. Kesadaran akan kenyataan bahwa kegiatan pem￾bangunan pertanian berkelanjutan dan ramah ling￾kungan harus tetap dilakukan terpencar-pencar. 
Proses pembangunan pertanian harus lebih didasarkan 
pada kenyataan bahwa petani tidak dapat ditempat￾kan pada lingkungan produksi yang dikuasai dan 
diatur. Artinya, petani tidaklah dapat diserupakan 
dengan pekerja pabrik yang dapat disatukan bekerja 
dalam suatu kawasan yang jauh dari tempat 
tinggalnya. Dalam aktivitas pertanian, upaya pening￾katan produktivitas setiap musim tanam sebaiknya 
dilakukan ditengah-tengah struktur sosial masyarakat 
petani dalam ikatan nilai norma budaya tradisional 
yang menjadi bagian dari pengaruh desa. Kehidupan 
petani dipengaruhi dengan ikatan tradisi, sentimen 
komunitas, kohesi sosial, nilai dan norma sosial yang 
masih kuat. 
2. Jika diperhatikan dengan saksama maka teramati 
bahwa setiap aktivitas pertanian memang mempunyai 
ciri perbedaan yang jelas dari satu tempat ke tempat 
lain walaupun jarak keduanya dekat. Pernyataan ini 
berkaitan dengan potensi sumber daya alam yang cen￾derung berbeda antara tempat seperti kondisi topo￾grafi dan kandungan hara tanah, iklim, kelembaban, 
ketersediaan air sehingga mampu memengaruhi jenis 
tanaman yang mudah dipelihara dan hasil capaian 
produksi. Untuk merespons keadaan yang demikian, 
perlu digalakkan kegiatan diversifikasi usaha tani. 
Pada suatu wilayah (desa) dimungkinkan penganeka￾ragaman jenis tanaman padi dengan palawija, sayuran, 
buah-buahan bahkan dapat divariasi bersama usaha 
pemeliharaan ternak, ikan (mina padi). Berbagai per￾bedaan potensi sumber daya alam memberikan impli￾kasi tentang pentingnya langkah awal pembangunan 
pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan yang 
sangat baik dilakukan yakni terlebih dahulu menyam￾paikan berbagai informasi mengenai perbedaan alam 
kepada petani agar mereka segera membuat penye￾suaian (adaptasi) serasi sewaktu mengelola usaha tani. 
Perlu diingat, sudah selayaknya dengan kondisi alam 
yang tidak seragam maka kita menyerahkan sepenuh￾nya keputusan pengelolaan usaha tani langsung ke￾pada petani. Langkah ini sangat diperlukan untuk 
menghindari program pembangunan pertanian yang 
mubazir. 
3. Penetapan waktu untuk kegiatan usaha tani harus 
disesuaikan dengan keadaan cuaca dan serangan hama 
penyakit yang sering menyerang tanaman di suatu 
lokasi pertanian. Proses produksi pertanian diketahui 
mempunyai ketergantungan yang tinggi pada faktor 
lingkungan alam yang sulit diprediksi dan diken￾dalikan oleh kekuatan manusia seperti cuaca, iklim, 
kelembaban, serangan hama dan penyakit, curah hujan 
dan yang lain. Kondisi yang demikian mengisyaratkan 
bahwa kegiatan pertanian sesungguhnya tidak dapat 
direncanakan secara pasti dan ketat sesuai jadwal dari 
jauh hari sebelumnya. Rencana kerja pertanian harus￾lah bersifat luwes (fleksibel) untuk memungkinkan 
setiap petani sewaktu-waktu bisa mengambil kepu-
tusan dan tindakan di tempatnya sendiri berdasarkan 
kondisi sumber daya lokal waktu tertentu. 
b. Unsur kedua yaitu petani. 
Petani sebagai manusia dalam pertanian berperan 
sebagai pengendali bertumbuh kembangnya aneka tanaman 
dan hewan sekaligus juga sebagai pengguna berbagai hasil￾hasil yang diproduksi. Secara sederhana diuraikan oleh 
Mosher (1987) dalam menjalankan usaha tani, setiap petani 
memegang peranan penting yakni sebagai seorang juru tani 
(cultivator) dan sebagai seorang pengelola (manager). 
Berdasarkan ciri yang dimiliki dikenal perbedaan 
antara petani subsisten dengan petani rasional. Sott (1976) 
menyebutkan ciri petani subsisten pada dasarnya hanya 
mengutamakan prinsip selamat, sulit melakukan pem￾baruan, enggan menanggung risiko dan sering mengalami 
kegagalan. Sementara, ciri-ciri pada petani rasional 
diuraikan oleh Popkin (1961) sebagai anggota masyarakat 
mereka selalu ingin memperbaiki nasib dengan cara mencari 
dan memilih peluang-peluang terbaik yang mungkin dapat 
dipilih dan dilakukannya. 
Kedudukan petani sebagai salah satu unsur pokok 
pertanian menunjukkan bahwa dalam setiap program pem￾bangunan pertanian petani tidak boleh hanya dijadikan 
objek melainkan juga harus menjadi subjek pelaku yang 
turut menentukan arah tujuan pembangunan yang ditar￾getkan. Oleh sebab itu, pada saat ingin menggerakkan 
dinamika masyarakat petani ke dalam proses pembaharuan 
berencana dituntut upaya pengenalan yang lebih mendalam 
tentang keberadaan figur setiap individu petani beserta 
keluarganya. 
Pemahaman kita lebih lanjut mengenai figur petani 
perlu dilandasi pemikiran Wolf (1985) yang menunjukkan 
bahwa dunia petani tidaklah tanpa bentuk (amorphous) 
melainkan sebagai sesuatu dunia yang bergerak teratur dan 
mempunyai bentuk organisasi yang khas. Menurut Wolf 
(1985) petani dapat dibedakan antara peasant dengan farmer. 
Peasant mencakup orang desa yang bercocok tanam dan 
beternak di daerah pedesaan. Usaha yang mereka lakukan 
bukan atas motif ekonomi; ia mengelola sebuah rumah 
tangga bukan sebuah perusahaan bisnis. Usaha tani yang 
dilakukan tidaklah berada di dalam ruangan tertutup 
(greenhouse) di tengah kota atau dalam kotak aspidistra yang 
diletakkan di atas ambang jendela. Peasant berbeda dengan 
farmer yang merupakan pengusaha (agricultural entrepreneur) 
sebuah atau lebih perusahaan yang telah mampu mengom￾binasikan ragam faktor produksi sehingga memperoleh 
produk yang diunggulkan dan memberi keuntungan 
optimal bila diperdagangkan di pasar hasil bumi. 
Adapun dari sudut pandang perbedaan tingkat ino￾vatif, maka dalam setiap struktur sosial petani oleh Rogers 
(1971) diperinci adanya petani yang termasuk golongan 
perintis (2,5 persen), pelopor (13,5 persen), penganut dini (34 
persen), penganut lambat (34 persen) dan kaum kolot (16 
persen). Petani yang dimaksudkan dalam setiap kegiatan 
pertanian mencakup petani dan keluarganya yaitu bapak 
tani, ibu tani dan anak-anaknya (taruna tani). Pemahaman 
seutuhnya terhadap sosok petani membantu dan memudah￾kan para penentu dan penyusun kebijakan dalam menetap￾kan orientasi program pembangunan pertanian atau pem￾bangunan masyarakat desa berdasarkan inti permasalahan 
yang paling mendesak untuk segera diselesaikan. Sesuatu 
yang penting disadari dalam memberdayakan petani beserta 
keluarganya adalah kenyataan bahwa sebagai manusia, 
petani sangat memiliki perbedaan profil, potensi dan peri￾laku antara satu sama dengan yang lain. Meskipun demi￾kian, dunia petani bergerak teratur dengan berbagai corak 
ragam perbedaan organisasi yang khas. 
Mayoritas petani hidup jauh di bawah kemampuan 
yang sesungguhnya mereka miliki. Kepercayaan dasar 
tentang makna kehidupan mewarnai sikap dan perbuatan 
dari sekelompok petani dalam komunitasnya. Tujuan pem￾bangunan pertanian yang terlalu berorientasi pada target 
ekonomi dan teknologi kurang memperhatikan aspek per￾baikan kualitas sumber daya manusia petani atau terlalu 
ditekankan pada aspek kuantitatif produksi semata kurang 
relevan digunakan pada masa sekarang dan masa men￾datang. Sepantasnya dalam setiap program pembangunan 
pertanian sosok petani dikedepankan khususnya untuk 
mengembangkan perilaku usaha tani baik pada penge￾tahuan, sikap maupun keterampilannya. Pendekatan pem￾bangunan pertanian yang berbasis komunitas petani mem￾punyai nilai signifikan dengan pemberdayaan masyarakat 
secara partisipatif. 
c. Unsur ketiga yaitu usaha tani 
Sebuah usaha tani merupakan sebagian dari permuka￾an bumi dimana seorang petani, sebuah keluarga tani atau 
badan usaha lain yang bercocok tanam atau memelihara 
ternak (Mosher, 1987). Modal dasar usaha tani adalah se￾bidang tanah. Meninjau dari kajian pembangunan pertanian 
maka usaha tani seyogianya berkembang, berubah baik dalam hal ukuran, kombinasi komoditas yang dibudidaya￾kan, metode bercocok tanam, perilaku petani saat peng￾gunaan input produksi, pemanfaatan produk yang di￾harapkan berlangsung secara efisien dalam ketersediaan 
waktu, dana dan tenaga. 
Sejarah menunjukkan corak pertanian yang dilakukan 
manusia beragam. Corak pertama yang dikenal manusia 
pada saat sumber daya alam belum terdesak oleh jumlah 
penduduk bumi yang terus meningkat adalah pertanian 
ladang berpindah-pindah atau shifting cultivation. Corak 
pertanian tersebut adalah salah satu contoh bentuk 
pertanian primitif yang dilakukan dengan sistem ladang 
berpindah atau sistem tebas dan bakar, dimana pohon￾pohon ditebangi dan dibakar sehingga tanah bisa ditanami 
dengan jenis tanaman tertentu. Sistem shifting cultivation 
umumnya dilakukan tanpa pembajakan tanah terlebih 
dahulu dan biasanya diterapkan oleh petani di daerah hutan 
tropik. Sistem ini dalam sejarah perkembangan pertanian 
merupakan tahap yang paling rendah. 
Setelah manusia mulai mampu mengolah sebidang 
tanah barulah sistem ladang berpindah mulai ditinggalkan. 
Corak pertanian berikutnya adalah pertanian menetap 
(settled agricultural). Usaha tani yang bercorak settled 
agricultural masih bersifat primitif dan dilakukan di tempat 
lahan subur dan dapat dipertahankan kesuburannya pada 
tingkat yang memadai meskipun digunakan secara terus 
menerus. Usaha tani menetap pada sebidang tanah yang 
digarap dari tahun ke tahun seharusnya memerlukan waktu 
untuk bera secara periodik agar tanah dapat istirahat se￾hingga kesuburannya tetap terjaga. Mosher (1987) meng-uraikan bahwa terdapat lima macam tindakan pemerintah 
yang dibutuhkan untuk menjamin petani menguasai tanah 
mereka secara efektif dan memberikan peluang agar usaha 
tani lebih efisien: 
1. Pemetaan tanah dan pendaftaran hak milik. 
2. Pemagaran tanah untuk menghindari penggembalaan 
yang dilaksanakan sewenang-wenang. 
3. Penyatuan pemilikan tanah yang terpencar-pencar. 
4. Re-distribusi tanah untuk membentuk satuan-satuan 
manajemen yang efisien. 
5. Pengubahan syarat penyakapan (tenancy). 
Sehubungan dengan pembangunan pertanian yang 
berkelanjutan dan ramah lingkungan maka kelima hal 
kebijakan tersebut perlu dilengkapi dengan penjaminan hak 
milik atas sebidang tanah berdasarkan pengakuan remi 
pemerintah melalui kepemilikan sertifikat. Kebijakan ter￾sebut penting guna mengetahui kepastian hukum seseorang 
petani atas lahan yang menjadi hak milik dan tanggung 
jawabnya. Kebijakan pemerintah mengenai hak guna petani 
atas sebidang lahan pertanian perlu guna kepastian dan 
perlindungan kepentingan batas waktu pengelolaan. 
Kebijakan pemerintah dalam upaya pengaturan distri￾busi, pasar dan harga komoditas pertanian dibutuhkan 
untuk melindungi produsen dan konsumen dari risiko 
tekanan pasar yang terbatas dan ketidak-berpihakan harga 
pada petani. Harga dan pasar layak menjadi syarat pokok 
yang mutlak menjadi penentu keberhasilan pencapaian 
tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah 
lingkungan berbasis sumber daya lokal. Kebijakan pemerintah dalam perlindungan sumber 
daya alam dibutuhkan guna menghindarkan tindakan 
bertani yang merusak dan mengeksploitasi alam secara 
bebas dan berlebihan. Kebijakan sumber daya alam ber￾fungsi sebagai penegak hukum agar aktivitas usaha per￾tanian yang mencemari ekosistem lingkungan alam dapat 
ditekan sejak dini dan seminimal mungkin. Kebijakan 
tersebut efektif bagi pengendalian perilaku petani dalam 
menerobos kegiatan usaha pertanian yang dapat meng￾ancam kepunahan plasma nutfah dan mikro organisme 
biotik abiotik lain. 
Keamanan produk pertanian bagi kesehatan termasuk 
bagian penting dari kebijakan pemerintah. Kebijakan 
pemerintah dalam hal keamanan pangan menjadi sesuatu 
yang urgen dan krusial sewaktu disyaratkan agar setiap 
bahan pangan bebas dari penggunaan zat kimia yang mem￾bahayakan kesehatan konsumen. Penggunaan pewarna 
tekstil pada bahan makanan dan pengawet dengan formalin 
dan boraks termasuk bagian dari kebijakan pemerintah 
dalam pertanian bersama Badan Pengawasan Obat dan 
Makanan Republik Indonesia (BPOM. RI). Adanya perbe￾daan bentuk, susunan dan ukuran usaha tani pada satu 
tempat dengan tempat lainnya menjadi pertimbangan kru￾sial dalam menetapkan kebijakan pembangunan pertanian. 
d. Unsur keempat yaitu usaha tani sebagai perusahaan 
Jika diamati pada pekerjaan yang dilakukan sehari￾harinya pada masa sekarang, maka seorang petani baik yang 
disebutkan Wolf (1985) baik sebagai peasant maupun farmer 
pada hakikatnya tidak ubah dengan seseorang yang tengah menjalankan roda perusahaan. Hanya besarnya skala usaha 
yang dikelola beragam. 
Tujuan petani di pedesaan saat ini umumnya telah 
berorientasi ekonomis; hasil panen akan langsung dijual 
tanpa disimpan. Usaha tani yang berorientasi perusahaan 
bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi 
melalui alokasi sumber daya input produksi secara efektif 
dan efisien pada waktu tertentu (Soekartawi, 2016). Penger￾tian efektif ditunjukkan dari kondisi petani atau produsen 
yang mampu mengalokasikan sumber daya dan input 
produksi sebaik mungkin. Sementara, dinyatakan efisien 
bilamana penggunaan sumber daya menghasilkan luaran 
atau output yang melebihi masukan atau input. Mosher 
(1987) menegaskan bahwa ditinjau dari segi produksi, usaha 
tani memanglah suatu perusahaan karena rangkaian ke￾giatan usaha tani senantiasa tersangkut-paut dengan 
aktivitas jual beli atau membentuk pasar. Dengan demikian, 
bilamana ingin mengembangkannya maka seharusnya kita 
perlu mengenali petani dan memperhatikan secara serius 
apa saja permasalahan yang sedang dihadapi. Sebagai se￾suatu perusahaan, telah diketahui setiap aktivitas produksi 
pertanian memerlukan masukan (input produksi) dan 
menghasilkan keluaran (output produksi). 
Masukan (input produksi) adalah segala sesuatu yang 
diikutsertakan di dalam proses produksi atau dikenal juga dengan 
istilah faktor produksi. Dengan kata lain, input pertanian 
merupakan ragam unsur yang ditambahkan oleh petani ke dalam 
sumber daya pertanian untuk memengaruhi produktivitas, 
stabilitas dan kelangsungan. Input pertanian yang paling ele￾menter adalah air, energi, nutrisi dan informasi. Beberapa contoh 
input pertanian yang dibutuhkan dalam kegiatan produksi 
pertanian tertera pada Gambar 30. 
Gambar 30. Ragam Input Produksi Usaha Pertanian 
Input produksi pertanian terdiri dari input dalam (internal 
inputs) yakni yang berasal dari dalam sistem seperti lahan dan 
input luar (external inputs) yakni berasal dari luar sistem. Input 
luar buatan adalah input yang membutuhkan sejumlah besar 
bahan bakar minyak untuk diproduksi atau didistribusikan seperti 
pupuk sintetis, pestisida dan irigasi dengan pompa. 
Adapun keluaran atau output produksi merupakan hasil 
tanaman dan ternak yang diproduksi dari proses usaha tani. 
Keluaran atau luput diartikan juga sebagai produk hasil dari 
fungsi yang diperoleh melalui kegiatan usaha tani dan yang 
dikonsumsi oleh keluarga petani, diinvestasikan kembali dalam 
pengelolaan usaha tani atau dimanfaatkan menjadi input dalam 
atau dikeluarkan dengan cara ditukar atau dijual. 
Keberlangsungan pembangunan pertanian berkelanjutan 
dan ramah lingkungan sampai kapan pun tidak dapat dipisahkan 
dari keberadaan sumber daya manusia dan sumber daya alam. 
Posisi sumber daya manusia sebagai sentral pengendali dalam 
pengelolaan pembangunan pertanian menjadi hal penting yang 
patut diperhatikan oleh para penyusun dan pembuat kebijakan di 
pusat dan daerah. Sistem sosial ekonomi masyarakat petani 
menentukan kondisi pertanian dan hasil panen. 
Posisi strategis sumber daya manusia pada proses pem￾bangunan pertanian telah dibuktikan dari hasil penelitian Singh 
(2016) yang menemukan bahwa setelah beberapa waktu lamanya 
pertanian pada beberapa desa di India mengalami penurunan 
produksi setiap musim panen. Walau hasil tersebut belum terlihat 
riil dalam pembangunan pertanian nasional di India namun 
penurunan produksi tersebut dikemukakan oleh Singh (2016) 
sebagai salah satu dampak dari adopsi teknologi pertanian mo￾dern. Sistem pembangunan pertanian modern diwarnai dengan 
kondisi petani yang sarat dalam penggunaan input luar tinggi 
berupa unsur agrokimia (pupuk, pestisida, zat perangsang 
tumbuh) dan mekanisasi padat modal yang rawan merusak 
ekosistem lingkungan terutama struktur dan kesuburan lahan. 
Tidak hanya terjadi kerusakan pada lahan pertanian saja tetapi 
lebih parah juga mengakibatkan ekosistem air turut tercemar. 
Ketersediaan air sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan terus 
dari waktu ke waktu berkurang dan dikhawatirkan mengalami 
kelangkaan untuk beberapa waktu di masa mendatang. 
Kebijakan Pemerintah India untuk menyelesaikan persoalan 
pertanian yang mengalami masa krisis terpusat pada program 
penerapan prinsip agroekologi. Warga petani diarahkan mela-kukan teknik bertani yang berkaidah konservasi dan rehabilitasi 
lahan pertanian. Di samping, pemerintah India berkomitmen tetap 
mengembangkan pembangunan pertanian dari sisi peningkatan 
kualitas sumber daya manusia dan lingkungan sosial (kelem￾bagaan ekonomi, penyuluhan, harga dan pemasaran). 
Permasalahan penurunan produksi pertanian di India mulai 
dapat diatasi setelah Pemerintah India meningkatkan kapasitas 
dan kemampuan petani dengan berbagai pengetahuan dan tekno￾logi produksi sehingga terampil mengembangkan usaha tani 
berpola mix farming (tanaman-ternak) dengan prinsip konservasi. 
Perilaku petani yang mengadopsi teknologi mix farming pada 
gilirannya membuahkan hasil yang berarti yakni berupa pening￾katan pendapatan secara signifikan (Singh, 2016). Kehidupan 
petani di pedesaan India membaik. 
Kondisi pertanian di pedesaan India yang berada dalam 
kondisi kritis juga diteliti oleh peneliti lain. Devi (2016) menge￾mukakan bahwa salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah 
pencemaran dan kelangkaan air di pedesaan India ialah melalu 
kerja sama antara masyarakat petani dengan pemerintah dan 
pihak swasta terkait untuk membangun sistem manajemen 
sumber daya air yang berkelanjutan. Sustainable Water Management
(SWM) tersebut perlu mempunyai jaringan kerja sama dengan 
pihak pemerintah, masyarakat, petani pengguna, pengelola 
industri pertanian, pengelola lingkungan hidup, rumahtangga dan 
pengelola usaha perikanan. Pemanfaatan konsep SWM) 
terkandung penerapan prinsip agroekologi sehingga potensial 
mendukung pembangunan pertanian yang ramah lingkungan dan 
berkelanjutan. 
Agroekologi termasuk salah satu konsep terpenting dalam 
pengelolaan sistem pertanian berkelanjutan dan ramah ling-
kungan. Secara konseptual agroekologi dapat diartikan sebagai 
upaya untuk mempertemukan keadaan sumber daya alam dan 
energi, teknologi dengan kondisi manusia secara ekologis guna 
memperoleh manfaat produksi optimal dalam jangka panjang. 
Dalam agroekologi dibahas tentang beberapa pilar yang 
membangun agroekosistem, agribisnis, agroindustri, agroforestri, 
hutan tanaman industri (industrial forest plantation), silvofishery, 
ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dan ekosistem hutan 
secara bersamaan. Hubungan yang saling terkait antar unsur 
dalam pembangunan pertanian yang berbasis agroekologi dapat 
dicermati pada Gambar 31. 
Cakupan lain menyangkut pilar usaha peternakan, per￾kebunan, perikanan air tawar beserta pengembangan proses in￾dustrialisasi dari sektor hulu hingga hilir. Semua hubungan antar 
sub sektor senantiasa mempunyai simpul yang saling terkait 
sebagai bagian dari pertanian terpadu. Beberapa unsur agro￾ekologi yang mempunyai hubungan saling terkait satu dengan 
lainnya dapat dicermati pada Gambar 32.Penerapan konsep agroekologi secara praktik di lapangan 
menunjukkan bahwa keberadaannya berfungsi sebagai upaya 
mencari bentuk pengelolaan sumber daya lahan permanen, baik 
dalam satu komoditi maupun kombinasi antara komoditi per￾tanian dan kehutanan dan atau peternakan/perikanan secara 
simultan atau secara bergantian pada unit lahan yang sama. 
Adapun tujuan penerapan agroekologi ialah memperoleh produk￾tivitas optimal, berkelanjutan, bermanfaat melalui penggunaan 
teknologi tepat guna dan tepat sasaran dengan tetap konsisten 
mempertahankan sekaligus meningkatkan mutu kondisi keles￾tarian lahan pada lingkungan alam sekitar. Dengan demikian, 
konsep agroekologi berpegang pada prinsip keseimbangan antara 
kepentingan ekosistem (structural attribute of ecosystem), fungsi 
ekosistem (functional attribute of ecosystem) dan eksistensi sumber 
daya manusia beserta lingkungan sosial. 
Agroekologi dibutuhkan dalam pengembangan pertanian 
berkelanjutan dan ramah lingkungan. 
Todaro dan Smith (2011) mengatakan bahwa strategi pem￾bangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas pertanian 
dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur 
pelengkap. Pertama, percepatan pertumbuhan output melalui 
beragam penyesuaian teknologi, institusional dan insentif harga 
yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para 
petani kecil. Kedua, peningkatan permintaan domestik terhadap 
output pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan 
perkotaan yang berorientasikan pada berbagai upaya pembinaan 
ketenagakerjaan. Ketiga, diversifikasi kegiatan pembangunan 
daerah pedesaan yang bersifat padat karya (non-pertanian), yang 
secara langsung dan tidak langsung akan menunjang dan 
ditunjang oleh sektor pertanian. 
Tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah 
lingkungan yang dilakukan terutama pada negara yang ber￾pendapatan rendah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan 
penduduk (Mellor, 1974). Hubungan ketiga unsur pelengkap 
tersebut saling melengkapi seperti terlihat pada Gambar 33. 

seluruh penduduk baik di masa sekarang maupun masa 
mendatang. Telah dipahami komoditas pangan merupakan 
produk strategis yang bernilai ekonomi, politik, budaya dan 
jika jaminan persediaan bahan pangan terganggu maka 
kondisi tersebut potensial menimbulkan instabilitas ke￾amanan dan ketahanan nasional. Sebagai konsekuensi 
lanjutan yang lebih buruk akan terjadi masyarakat yang 
lapar atau rawan pangan dan lebih mudah marah serta 
memicu disintegrasi bangsa, yang pada akhirnya meng￾hambat proses pembangunan nasional secara keseluruhan. 
c. Kontribusi sektor pertanian terhadap devisa negara cukup 
besar baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi. Jika 
sebelum krisis ekonomi Thun 1997 berlangsung sumbangan 
sektor pertanian pada Produk Domestik Bruto (PDB) 
Nasional Tahun 1996 adalah sebesar 15,4 persen maka 
setelah krisis berlangsung PDB sektor pertanian tetap 
tumbuh positif 0,83 persen dan kontribusinya naik menjadi 
17,3 persen pada Tahun 1999. 
d. Sektor pertanian berperan juga sebagai sektor yang paling 
kekeh bertahan dalam menghadapi berbagai jenis gun￾cangan krisis perekonomian. 
e. Sektor pertanian berperan sebagai penyerap tenaga kerja 
terbesar dibandingkan sektor lain. Meskipun secara absolut 
mengalami penyusutan mencapai 41 persen dalam menye￾rap tenaga kerja pada periode Tahun 1990-1997 akan tetapi 
dampak krisis ekonomi telah mengakibatkan sektor ini 
harus siap menampung tambahan tenaga kerja menjadi 45 
persen pada tahun 1998. Data tersebut memberikan gam￾baran bahwa dari segi positifnya sektor pertanian telah ikut 
berjasa meredam dampak negatif dari krisis ekonomi. f. Sektor pertanian berperan sebagai hulu bagi sektor lain. 
Dalam artian sektor pertanian menyediakan bahan baku, 
tenaga kerja yang murah, modal, konsumen produk minimal 
bagi pembangunan awal sektor industri dan sektor lain. 
g. Pembangunan yang digalakkan pada sektor pertanian ber￾peran sebagai salah satu strategi pokok dalam upaya 
pemberdayaan masyarakat khususnya di pedesaan. 
h. Pembangunan pertanian harus mampu berperan sebagai 
jaminan bagai kelestarian alam sekitar. Artinya, setiap 
aktivitas usaha tani yang dilakukan memiliki kepedulian 
terhadap pengurangan bahkan peniadaan kerusakan lahan, 
air dan sumber daya hayati khususnya yang ada di hutan 
baik pada masa sekarang maupun pada masa mendatang. 
Cakupan peranan strategis sektor pertanian seperti diurai￾kan di atas menjadi pedoman dalam mengembangkan pem￾bangunan pertanian yang tidak dapat lagi dilakukan hanya ber￾sifat sepotong-sepotong atau berdimensi waktu sementara 
(temporal). Akan tetapi yang justru lebih mendesak diperlukan 
adalah proses pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah 
lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah 
lingkungan, peranan yang diemban semakin kompleks yaitu 
menyangkut kemampuan dalam: 
a. Pembimbingan teknik bertani yang dipakai harus 
aman bagi kesehatan produsen sekaligus konsumen, 
lingkungan alam sekitar. 
b. Mengajak petani agar menggunakan masukan atau 
input produksi luar serendah mungkin. 
c. Mengupayakan berlangsungnya transformasi petani 
dan dunia pertanian menuju dunia yang lebih ber-keadilan baik dalam produktivitas, kreativitas dan 
inovasi. 
d. Memperjuangkan tercapainya posisi sebagai petani 
sejati. Hal ini merupakan peranan yang penting untuk 
diperjuangkan melalui pembangunan pertanian meng￾ingat selama ini telah terjadi proses dehumanisasi di 
dunia pertanian. 
Proses dehumanisasi sebenarnya sudah lama berlangsung. 
Dalam proses produksi yang feodalistis, dehumanisasi terjadi 
ketika petani tidak berlahan menjadi penggarap lahan tuan tanah 
atau pemilik tanah. Lambat laun petani tak berlahan berubah 
menjadi petani gurem yang menurut Reijntjes, et al., (999) tidak 
lagi merupakan petani sejati. Petani sejati dicerminkan dari kon￾disi seorang petani lelaki dan petani perempuan yang mengalami 
proses kehidupan yang manusiawi tanpa menghadapi dehuma￾nisasi. Artinya, petani dalam proses usaha tani dapat memperoleh 
hak-hal yang menurut FAO paling tidak terdiri dari : 
a. Hak memperoleh keragaman hayati 
b. Hak untuk melestarikan dan memuliakan, mengem￾bangkan, saling menukar dan menjual benih 
c. Hak memperoleh makanan yang aman dan menye￾hatkan 
d. Hak memperoleh keadilan harga atas komoditas yang 
diproduksi 
f. Hak memperoleh informasi untuk berkelanjutan usaha 
tani yang dikelolanya 
g. Hak atas sebidang tanah 
h. Hak memperoleh kembali benih-benih padi lokal dan 
jenis benih lain yang sebagian tersimpan pada bank￾bank benih internasional. 
Pembangunan pertanian berperan sebagai akselerator pem￾baruan sosial budaya bukan hanya terbatas pada ekonomi semata. 
Pernyataan tersebut sesuai pemikiran Dahama and Bhatnagar 
(1980) yang menguraikan bahwa setiap pembangunan berkonotasi 
dengan pertumbuhan atau kematangan. Para ahli lain berpan￾dangan bahwa pembangunan menuju pada suatu hal yang 
menuju arah lebih baik. Pembangunan diartikan sebagai kemajuan 
sosial (social progess) menuju efisiensi yang lebih besar dan 
kompleksitas yang lebih besar. Mardikanto (1992) merinci peran 
pembangunan sebagai: 
1. Proses yang diupayakan secara sadar dan terencana. 
2. Proses perubahan yang mencakup banyak aspek 
kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun 
sebagai warga masyarakat. 
3. Proses pertumbuhan ekonomi. 
4. Proses atau upaya yang dilaksanakan untuk memper￾baiki mutu hidup atau kesejahteraan setiap individu 
dan seluruh warga masyarakat. 
5. Pemanfaatan teknologi baru atau inovasi terpilih. 
Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan pertanian 
adalah salah satu proses yang terjadi secara berangsur-angsur dan 
akibatnya terjadi dalam tahap demi tahap menuju perubahan 
yang lebih baik dan selalu mengandung nilai positif. Dengan 
demikian, pembangunan pertanian secara garis besar berperan 
sebagai suatu proses terencana dan sistematis untuk melaksana￾kan perubahan pada bidang pertanian dengan tujuan tercapainya 
peningkatan pendapatan dan kebaikan kualitas hidup serta kese￾jahteraan rumahtangga petani khususnya dan seluruh masyarakat 
pada umumnya untuk jangka panjang didukung berbagai pihak 
terkait dengan menggunakan seperangkat teknologi terpilih. 
Pembangunan pertanian merupakan suatu konsep per￾ubahan atau proses transformasi yang direncanakan. Artinya 
dalam setiap proses pembangunan pertanian terkandung makna 
adanya transformasi dari sistem pertanian tradisional ke arah 
sistem pertanian modern. Beberapa ahli menegaskan sesung￾guhnya proses peralihan tersebut semata-mata bukan hanya 
menyangkut perubahan pada sistem pertanian saja, tetapi juga 
merupakan transformasi sosial masyarakat (social change). Per￾nyataan tersebut rasional karena kita menyadari bahwa sistem 
pertanian tradisional melekat erat dengan sistem sosial yang 
dipegang oleh masyarakat. Setiap upaya untuk melaksanakan per￾ubahan sistem pertanian pada masyarakat tradisional seharusnya 
konsisten untuk memperhatikan sistem sosial yang berlaku pada 
masyarakat yang bersangkutan termasuk ciri pertanian tradisional 
ke modern. 
Jika tidak berhati-hati, gejala modernisasi yang diakibatkan 
oleh pembangunan pada bidang pertanian potensial memuncul￾kan ketidakseimbangan atau krisis budaya pada masyarakat 
setempat. Rangkaian proses peralihan sistem pertanian tradisional 
ke modern berserta cirinya, terinci pada Gambar 34. Pembangunan pertanian merupakan suatu konsep per￾ubahan atau proses transformasi yang direncanakan. Artinya 
dalam setiap proses pembangunan pertanian terkandung makna 
adanya transformasi dari sistem pertanian tradisional ke arah 
sistem pertanian modern. Beberapa ahli menegaskan sesung￾guhnya proses peralihan tersebut semata-mata bukan hanya 
menyangkut perubahan pada sistem pertanian saja, tetapi juga 
merupakan transformasi sosial masyarakat (social change). Per￾nyataan tersebut rasional karena kita menyadari bahwa sistem 
pertanian tradisional melekat erat dengan sistem sosial yang 
dipegang oleh masyarakat. Setiap upaya untuk melaksanakan per￾ubahan sistem pertanian pada masyarakat tradisional seharusnya 
konsisten untuk memperhatikan sistem sosial yang berlaku pada 
masyarakat yang bersangkutan termasuk ciri pertanian tradisional 
ke modern. 
Jika tidak berhati-hati, gejala modernisasi yang diakibatkan 
oleh pembangunan pada bidang pertanian potensial memuncul￾kan ketidakseimbangan atau krisis budaya pada masyarakat 
setempat. Rangkaian proses peralihan sistem pertanian tradisional 
ke modern berserta cirinya, terinci pada Gambar 34. 
Eksistensi pembangunan pertanian ditentukan oleh dukung￾an kebijakan dan peraturan pemerintah dengan partisipasi seluruh 
warga masyarakat petani. Sepanjang implementasi program pem￾bangunan pertanian maka hubungan dengan masyarakat petani 
perlu terjalin secara harmonis. Partisipasi petani disertakan sejak 
perencanaan hingga akhir kegiatan sehingga merasa turut 
memiliki dan bertanggungjawab terhadap program pembangunan 
pertanian. Pemerintah perlu menggunakan pendekatan sosial yang 
kondusif untuk menggerakkan setiap warga tani agar sadar ber￾sedia menyiapkan diri berpartisipasi mendukung program￾program pembangunan pertanian. Dukungan dan partisipasi 
penuh dari masyarakat tercapai bila program yang ditawarkan, 
merupakan cerminan permasalahan yang sedang dihadapi 
bersama. 
Pembangunan pertanian berperan sebagai jembatan peng￾hubung proses penerapan inovasi atau teknologi baru terpilih 
dalam pembangunan pengelolaan usaha tani yang lebih efisien 
dan lebih efektif. Untuk itu, jalinan komunikasi, interaksi dan 
kerja sama yang akrab antara peneliti, penyuluh dan masyarakat 
pengguna dibutuhkan khususnya yang berkaitan dengan masalah 
penyebarluasan penemuan hasil penelitian dan pemberian bim￾bingan kepada petani untuk menerapkan teknologi yang dianjur￾kan. Pembangunan pertanian juga berperan dalam proses peme￾cahan masalah, baik masalah yang dihadapi oleh setiap aparat 
penyuluh, peneliti, aparat pemerintah dan masyarakat petani 
pengguna. 
7.2. Tujuan Pembangunan Pertanian 
Tujuan pokok pembangunan pertanian berkelanjutan dan 
ramah lingkungan adalah meningkatkan kesejahteraan petani dan 
keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Cakupan 
tujuan pembangunan pertanian dapat dibedakan berdasarkan 
kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Dari kepen￾tingan ekonomi tujuan yang dicapai adalah untuk: 
1. Meningkatkan produktivitas komoditas yang 
dihasilkan setiap musim tanam untuk setiap luasan 
lahan tertentu. 
2. Meningkatkan pendapatan rumahtangga petani di 
pedesaan. 
3. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal 
desa, regional dan nasional. 
4. Menyumbang bagi devisa negara. 
5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi 
usaha pertanian. 5. Meningkatkan posisi tawar petani. 
7. Menjamin pemasaran hasil pertanian. 
8. Mengembangkan diversifikasi usaha pertanian on farm
dan off farm. 
9. Meningkatkan semangat dan kemampuan ke￾wirausahaan petani. 
10. Meningkatkan daya saing hasil produksi petani. 
Tujuan kepentingan sosial budaya meliputi : 
1. Memperbaiki perilaku bertani agar pengelolaan usaha 
tani lebih efisien dan efektif berorientasi masa depan 
tidak hanya untuk masa sekarang. 
2. Memberdayakan kreativitas tenaga kerja pertanian. 
3. Mengembangkan kualitas hidup petani. 
4. Menumbuhkankembangkan semangat dan sikap 
optimistik kepada generasi muda bahwa pertanian 
juga mempunyai prospek cerah untuk kehidupan yang 
layak. 
5. Mengentaskan petani dari belenggu kemiskinan yang 
berlarut. 
6. Memberdayakan petani sebagai individu yang lebih 
mandiri. 
Tujuan yang berkepentingan dengan politik: 
1. Menyiapkan bahan pangan yang cukup bagi seluruh 
penduduk. Dalam suatu negara yang penduduknya 
lapar maka sulit membangun bangsa. 
2. Mencerdaskan anak bangsa dengan tercukupinya gizi 
seimbang yang bersumber dari pangan nabati dan 
hewani. 
3. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Tujuan pembangunan pertanian untuk kepentingan 
lingkungan hidup: 
1. Menjaga kelestarian sumber daya alam. 
2. Memelihara dan memperbaiki kualitas lingkungan 
hidup. 
3. Memelihara dan menjaga keanekaragaman hayati atau 
biodiversitas. 
4. Mencegah kepunahan plasma nutfah atau substansi 
yang membawa sifat keturunan berupa organ utuh 
atau bagian dari tumbuhan dan hewan serta jasad 
renik. Keberadaan plasma nutfah sangat berharga 
sebab merupakan bagian dari kekayaan alam yang 
berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi termasuk dalam bidang pertanian. 
Tujuan pembangunan pertanian ada yang dapat dicapai 
dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. 
Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan pertanian dibutuh￾kan keseriusan dari setiap komponen terkait seperti pemerintah, 
masyarakat petani, penyuluh, swasta dan lembaga swadaya 
masyarakat serta pihak lainnya. Semua tujuan pembangunan 
pertanian yang diuraikan cenderung bersifat makro. Pada tingkat 
mikro atau rumahtangga petani maka tujuan akan berkenaan 
dengan proses dan hasil usaha tani yang merupakan pusat 
sekaligus objek pengambilan keputusan. Harus disadari oleh 
setiap pihak, bahwa dibutuhkan konsistensi atau kesesuaian 
antara tujuan pembangunan pertanian yang digariskan secara 
makro dengan yang menjadi keinginan anggota keluarga petani 
ditingkat mikro. Reijntjes, et al., (1999) menyatakan tiap rumah 
tangga petani dan tiap individu di dalamnya memiliki kebutuhan 
dan keinginan khusus. Akan tetapi, ketika dilihat dari pernyataan rumahtangga petani berlahan sempit, baik yang ditulis dalam 
literatur maupun yang diamati sendiri oleh Dumasari, et al., (2020) 
maka rumahtangga petani umumnya mempunyai tujuan sebagai 
berikut: 
1. Peningkatan produktivitas 
Produktivitas merupakan hasil persatuan input 
produksi: lahan, tenaga kerja, modal (misalnya ternak dan 
uang), waktu, energi, air, unsur hara dan lainnya. Peng￾ukuran produktivitas usaha tani yang biasanya dilakukan 
dengan cara menjumlahkan hasil total biomassa, hasil kom￾ponen-komponen tertentu (seperti jerami, gabah, protein), 
hasil ekonomi dan keuntungan per musiman tanam untuk 
luasan tertentu. Pengukuran semacam ini sering kali me￾maksakan kondisi yang menyuarakan petani harus selalu 
memaksimalkan hasil per satuan luas lahan karena ang￾gapannya mereka mengalami kerugian dari satu musim 
panen ke musim panen berikutnya. 
Kenyataan yang terlupa bahwa pada keluarga petani 
sebenarnya semua anggota keluarga mempunyai cara 
mereka sendiri untuk merumuskan dan menafsirkan apa 
yang dimaksud dengan produktivitas. Ada yang mengarti￾kan produktivitas sebagai satuan tenaga kerja yang di￾butuhkan pada saat penanaman dan penyiangan atau cukup 
dengan menjumlahkan total luas lahan yang digarap dan 
mengetahui satuan air irigasi yang digunakan. Satu hal 
penting yang perlu diketahui bahwa umumnya petani 
menganggap produktivitas memang merupakan tujuan 
utama usaha tani yang dikelolanya. Meskipun mungkin 
mereka menilainya bukan hanya berpedoman pada se￾jumlah nilai rupiah yang diterima dari pasar. Oleh karena itu, produktivitas yang diperoleh dapat dimanfaatkan secara 
efektif untuk memenuhi kebutuhan untuk konsumsi, 
pendidikan, kesehatan, keamanan, hubungan sosial dan 
sebagainya. 
Nilai produktivitas bagi petani tidak hanya berupa 
produk yang terukur dari segi kuantitas melainkan yang 
tidak kalah penting petani perasa terhadap kualitas produk 
yang dihasilkan baik dalam masalah rasa, keawetan atau 
bisa tidaknya disimpan lama, kandungan gizi, kualitas 
kematangan, ketahanan terhadap hama penyakit. Kondisi 
seperti ini menjawab keheranan kita mengapa petani tetap 
setia menanam varietas lokal daripada varietas unggul yang 
telah teruji memberikan hasil panen yang lebih tinggi. Bagi 
petani berlahan sempit, tujuan produktivitas yang lebih 
penting dicapai adalah mendapatkan distribusi produksi 
yang merata dari waktu ke waktu sehingga ada katup 
pengaman ekonomi sepanjang tahun dan mereka mampu 
mendayagunakan potensi sumber daya manusia yang 
tersedia dalam rumahtangganya. 
2. Jaminan keamanan. 
Adanya kepastian jaminan keamanan merupakan 
tujuan petani dalam mengelola usaha taninya dari waktu ke 
waktu. Mencari keamanan menunjukkan bagaimana petani 
berupaya meminimalkan risiko produksi atau kerugian yang 
mungkin ditanggung sebagai akibat dari kegamangan 
adopsi teknologi baik melalui proses ekologis, ekonomis 
maupun sosial politik. Kegamangan petani terkait juga dari 
tekanan pengaruh alam yang sedang tidak bersahabat 
misalnya iklim, cuaca, curah hujan, banjir, erosi, kekeringan, 
salinitas dan lainnya. Kegamangan petani suatu waktu bisa berubah menjadi 
sikap optimistik. Optimistik petani dapat timbul dari 
pengaruh kenaikan permintaan pasar, ketersediaan tenaga 
kerja, harga input produksi yang terjangkau dan kelayakan 
harga hasil pertanian. Bagi petani yang berluas lahan agak 
memadai cenderung menilai keamanan sistem usaha tani 
mereka berdasarkan ketersediaan pangan atau menurut 
tingkat ketidakbergantungan dalam mendapatkan input 
atau kepastian dalam pemasaran hasil. Sementara, bagi 
petani berlahan sempit keamanan berproduksi atau 
berpendapatan menjadi sesuatu hasil yang penting untuk 
dicermati menyadari bahwa tingginya ketergantungan 
hidup mereka pada kegiatan bertani. Dengan demikian, 
yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan 
pembangunan pertanian adalah menyadari bahwa petani 
membutuhkan akses yang aman pada sumber daya lokal 
misalnya lahan, air dan pepohonan. 
Kepada petani harus diberikan tawaran pilihan atau 
alternatif terbaik dalam pengembangan usaha taninya. 
Seperti pada kasus petani padi di lahan marginal atau 
kering, strategi terbaik untuk mempertahankan kelanjutan 
hidup adalah dengan melakukan diversifikasi usaha tani 
yakni membudidayakan padi gogo yang tahan kekeringan 
sekaligus memelihara ternak yang juga tahan hidup di 
daerah kering. Dari uraian di atas, semakin jelas bahwa 
tujuan petani dalam berproduktivitas dan memperoleh 
jaminan dan keamanan berhubungan dengan upaya 
pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan ramah 
lingkungan.3. Adanya kesinambungan dalam berproduksi 
Kesinambungan usaha tani yang berproduksi merupa￾kan hal yang selalu diimpikan setiap petani dan anggota 
keluarganya. Keseimbangan bagi petani mempunyai kepen￾tingan dalam mempertahankan potensi sistem usaha tani 
untuk menghasilkan produk, yaitu dalam mempertahankan 
sumber daya yang mewakili modal usaha tani mereka. 
Diketahui modal berupa kesuburan lahan tersebut bisa 
hilang karena terkena erosi, tereduksi unsur hara tanah, 
perambahan hutan, ternak mati, polusi, hilangnya penge￾tahuan lokal dan kemerosotan pemakaian peralatan per￾tanian. Untuk menghindari hilangnya modal usaha tani 
maka petani dianjurkan melakukan konservasi sumber daya 
alam, sehingga mendukung kesinambungan produksi yang 
diharapkan. Kesinambungan usaha tani terukur misalnya 
melalui: 
a. Kondisi lahan dengan mengetahui tingkat erosi, kan￾dungan hara, struktur tanah, tingkat kemiringan tanah 
dan kesuburan lahan serta status hak pemilik￾an/penggarapan lahan. 
b. Jumlah ketersediaan air dengan mengetahui tingkat 
kedalaman air tanah, curah hujan, fasilitas irigasi. 
c. Modal dan sarana prasarana lain terukur dengan 
mengetahui jumlah uang yang tersedia bagi keperluan 
biaya produksi, kemudahan mendapatkan pupuk, 
kemampuan membiayai teknologi dan ketersediaan 
tenaga kerja. 
Jaminan kelangsungan pengelolaan usaha tani dengan 
cara hidup petani yang berbudaya agraris maka terdapat 
beberapa kemampuan sebagai bagian dari kebutuhan strategis. Beberapa kemampuan yang dimaksud tercantum 
pada Gambar 35. 
Gambar 35. Ragam Kemampuan Petani dalam Kelangsungan Pengelolaan 
Usaha tani
Tujuan petani selaras dan seiring dengan tujuan pem￾bangunan pertanian nasional. Penetapan tujuan memerlu￾kan kejelasan kriteria agar terukur secara kuantitatif dan 
kualitatif. Tujuan juga memerlukan kepastian waktu capaian 
dan memiliki target yang saling berkaitan dan berkelanjutan 
dalam mencapai keseimbangan sekaligus keserasian antara 
kepentingan ekonomi, sosial budaya, lingkungan ekologis 
dan keamanan bagi kesehatan petani produsen serta masya￾rakat konsumen. Tujuan pembangunan pertanian me￾merlukan adaptasi dengan kondisi, permasalahan, kebu￾tuhan dan harapan petani. 
Petani menghendaki tetap memiliki tradisi budaya 
lokal walau mengadopsi teknologi pertanian modern. 
Perawatan lingkungan sosial juga dibutuhkan tersosialisasi
kembali misal gotong royong, kerja bakti, tolong menolong. 
Di samping itu, tujuan kesinambungan bagi petani bukan 
hanya menyangkut soal biofisik tetapi juga meliputi ke￾sanggupannya dalam mengelola pendidikan, kesehatan, 
gizi, hubungan dengan masyarakat dan lainnya. 
4. Pemilikan identitas 
Identitas didefinisikan oleh Reijntjes, et al., (1999) seba￾gai tingkat dimana sistem usaha tani dan teknik pertanian 
secara perorangan selaras dengan budaya setempat dan visi 
masyarakat terhadap kedudukan mereka di dalam alam. 
Identitas mencakup beberapa aspek: 
a. Kemampuan pribadi misalnya dalam hal memelihara 
tanaman dan ternak. 
b. Kemampuan mencapai status sosial misalnya banyak 
ternak yang dimiliki pertanda tingkat kekayaan lebih 
memadai dan seyogianya semakin mampu membantu 
petani lain. 
c. Kemampuan menyelenggarakan tradisi budaya 
(upacara seremonial dan religius: adat dan agama). 
d. Kemampuan menerapkan nilai dan norma sosial 
seperti menempatkan peran laki-laki wanita dalam 
struktur sosial yang sesuai gender. 
e. Kemampuan dalam pencapaian kepuasan spiritual 
khususnya yang berkaitan dengan penyatuan diri 
dengan alam dan Tuhan. 
Tujuan petani memperoleh identitas jika dihubungkan 
dengan proses pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah 
lingkungan dapat dijelaskan dalam bentuk keadilan dan ke￾manusiaan. Dengan menyadari petani juga mempunyai tujuan 
hidup seperti dipaparkan maka penting bagi para penyusun kebijakan pembangunan pertanian untuk selalu menyesuaikan 
keselarasan dengan tujuan petani. Tentu ke berimbangan tersebut 
membutuhkan pendekatan top down dengan bottom up dilengkapi 
pendekatan etik dan emik. 
Pendekatan etik dimaksudkan dalam proses pembangunan 
pertanian digunakan analisis terhadap fenomena dan realitas 
sosial masyarakat petani yang berdasarkan sudut pandang orang 
luar seperti pemerintahan desa, pemerintah pusat, penyusun 
kebijakan, peneliti, agen pembaharu dan lainnya. Adapun pende￾katan emik berkenaan dengan pemanfaatan analisis dari sudut 
pandang masyarakat petani guna menentukan kegiatan dan 
program pembangunan pertanian. Pendekatan etik dan emik 
memiliki kelemahan dan keunggulan. Guna menutupi kelemahan 
dari setiap pendekatan tersebut, maka dalam beberapa kesem￾patan keduanya dimanfaatkan sekaligus agar saling melengkapi 
dan memberikan alhasil analisis yang mendalam dan terperinci 
secara jelas. 
Rencana pembangunan nasional di berbagai negara berkembang 
termasuk Indonesia untuk periode jangka panjang disusun secara 
sistematis dan bersifat komprehensif integratif sebagai pedoman 
pelaksanaan pembaharuan. Pembangunan berkelanjutan merupa￾kan salah satu instrumen akuntabilitas dan kredibilitas peme￾rintah. Pada awalnya telah diketahui bersama, sebelum digantikan 
Pemerintahan Reformasi maka Pemerintahan Orde Baru telah 
menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap I dan II 
untuk jangka waktu Tahun 1969-1993 dan 1993-2018. Akan tetapi, 
proses pembangunan yang terancang tersebut ambruk terhempas 
oleh badai krisis yang berlangsung sejak media tahun 1997. 
Kehancuran ekonomi Indonesia termasuk gagalnya berbagai 
pelaksanaan program pembangunan pertanian menuntut per￾hatian untuk menelusuri permasalahan yang dihadapi selama ini. 
Beberapa permasalahan pokok pembangunan pertanian yang 
telah dijelaskan oleh Simatupang dan Syafa’at (2000) mencakup: a. Kebijakan pada perdagangan dan penetapan harga 
yang merupakan modus paling umum dilakukan 
untuk merangsang dan mengendalikan arah pem￾bangunan ekonomi. Intensitas kebijakan perdagangan 
harga dapat diukur secara kuantitatif dengan Tingkat 
Proteksi Nominal (NPR atau Nominal Rate of Protection) 
dan Tingkat Proteksi Efektif (EPR atau Effective Rate of 
Protection). 
b. Kebijakan fiskal yang dalam hal ini didasarkan pada 
alokasi anggaran pembangunan pemerintah yang 
disahkan dalam keputusan politik untuk sektor per￾tanian justru cenderung menurun terus sebesar 10 
persen pada periode Tahun 1994-1996. 
c. Kebijakan perbankan tidak efektif mendukung strategi 
pembangunan yang meletakkan prioritas pada sektor 
pertanian. 
d. Arah penanaman modal swasta baik Penanaman 
Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman 
Modal Asing (PMA) sama halnya dengan kasus 
alokasi kredit. Meskipun tidak sepenuhnya merupa￾kan keputusan pemerintah, tetapi pengaruh pemerin￾tah terhadap trend investasi cukup besar sehingga 
investasi swasta terhadap pembangunan di sektor 
pertanian rendah dan cenderung menurun sejak Pelita 
I. Kenyataan tersebut memberikan bukti bahwa ke￾bijakan pemerintah yang berkenaan dengan investasi 
relatif kurang mendukung strategi pembangunan yang 
menetapkan sektor pertanian sebagai prioritas utama. 
e. Kebijakan industri kecil; apakah benar pembangunan sektor 
industri dilakukan secara bertahap, diawali dari industri pendukung sektor pertanian (agroindustri) dan industri hilir 
(down stream) ke industri hulu (up stream). Ternyata hal 
tersebut tidak benar terbukti dari kebijakan yang ditetapkan 
oleh Soehoed yang menganjurkan dari industri hulu dulu ke 
industri hilir atau yang dikenal dengan paradigma big push
(Soehoed, 1988). Kecuali Soehoed, salah seorang mantan 
menteri perindustrian lain yakni Hartarto mengakui bahwa 
peran industri hulu yang disebutnya sebagai industri kunci 
lebih disenangi dengan memakai pendekatan berspektrum 
luas yakni membangun semua kelompok industri secara 
bersamaan dengan misi berbeda. Kedua pernyataan tersebut 
menampakkan agroindustri pada hakikatnya tidak disebut 
sebagai titik berat pembangunan industri. Oleh sebab itu, di 
Indonesia terbentuk struktur industri yang rapuh meng￾andalkan modal besar, substitusi impor atau tidak ber￾basiskan kekuatan domestik dan lemah dalam mengem￾bangkan keterkaitan antara industri kecil. 
Secara umum kegagalan Orde Baru menciptakan struktur 
ekonomi yang seimbang dan tangguh secara berkelanjutan adalah 
akibat dari akar permasalahan berikut : 
a. Sindrom pertumbuhan tanpa transformasi (growth 
without transformation) 
b. Sindrom kemunduran ketahanan pangan (food security 
backwardation) 
c. Sindrom ketergantungan ekonomi (external economic 
dependency) 
Rangkaian permasalahan yang diuraikan menjadi beban 
berat bagi pengembangan dinamika pembangunan pertanian yang 
berkelanjutan. Di samping permasalahan yang berkenaan dengan 
kebijakan pembangunan yang dianggap melenceng dari kese-pakatan mengutamakan pembangunan pertanian maka terdapat 
juga beberapa permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya 
untuk segera dipecah secara bersungguh-sungguh. Permasalahan 
agraria telah dijelaskan Jamal (2000) suatu hal yang bernilai 
krusial karena mengingat eratnya hubungan antara lahan dengan 
kegiatan pertanian. Keeratan hubungan tersebut telah menim￾bulkan kesadaran bahwa upaya perbaikan kesejahteraan petani 
tidak cukup hanya melalui perbaikan teknologi dan perbaikan 
fungsi kelembagaan terkait dengan proses produksi, distribusi 
hasil, pengolahan hasil dan pemasaran. Perbaikan akses petani 
terhadap lahan akan banyak menentukan keberhasilan upaya 
peningkatan kelayakan kehidupan masyarakat pedesaan secara 
keseluruhan. Beberapa permasalahan yang menyangkut lahan 
sehubungan dengan proses pembangunan pertanian: 
Akibat pola pewarisan yang dianut masyarakat cenderung 
memakai sistem waris berbagi yang disebut oleh Wolf (1985) 
dengan istilah partible inheritance maka gejala fragmentasi tanah 
semakin menjadi-jadi. Diperkirakan secara pasti rata-rata 
penguasaan atas sebidang lahan semakin sempit dari tahun ke 
tahun. Jumlah petani tidak belahan (tunakisma) bertambah hingga 
Tahun 1993 mencapai 28 persen dari total rumahtangga petani 
(Bachriadi, 1999). Data hasil Sensus Pertanian Tahun 2018 
menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga petani pengguna lahan 
mengalami kenaikan sejumlah 1.471.506 rumahtangga atau 5, 71 
persen. Peningkatan tersebut terjadi dari yang semula tahun 2013 
sejumlah 25.751.267 rumahtangga menjadi 27.222. 773.571. Ada￾pun jumlah peningkatan rumahtangga petani gurem juga 
mengalami peningkatan sebanyak 1.560.534 atau 10,95 persen dari 
yang semula tahun 2013 sejumlah 14.248.864 rumahtangga men￾jadi 15.809.398 pada tahun 2018. Mayoritas rumahtangga petani mempunyai hak penguasaan atas sebidang <0,05 hektar. Jika 
kondisi tersebut diteruskan maka diperkirakan pembangunan 
pertanian akan menghadapi berbagai hambatan khususnya yang 
berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas lahan dan 
pencapaian efisiensi usaha. 
Permasalahan lain yang penting diperhatikan yakni ter￾jadinya konversi lahan produktif yang semula dimanfaatkan 
untuk kepentingan kegiatan pertanian ke penggunaan non 
pertanian seperti untuk kepentingan perumahan, sarana rekreasi, 
perkantoran, industri dan sebagainya. Terjadinya ketimpangan 
dalam pemilikan lahan pertanian yaitu terakumulasi lahan 
tertentu pada sekelompok elite desa.
Petani mudah terbujuk menjual lahan produktif ke pemilik 
modal dengan tingkat harga yang menggiurkan mereka. Tindakan 
ini di satu sisi rasional bagi petani yang tidak mampu mem￾bendung tekanan keluar dari proses pemiskinan. Di sisi lain petani 
sulit mengelak daya tarik perkotaan yang mendorong ber￾urbanisasi atau mengikuti pola hidup konsumtif dan hedonis 
akibat pengaruh kota, media massa dan media sosial yang berarus 
global.
Pelaksanaan pembangunan pertanian berkelanjutan dan 
ramah lingkungan juga dihadapkan pada permasalahan yang ber￾talian dengan ketenagakerjaan. Permasalahan pokok yang ter￾dapat pada aspek ketenagakerjaan pertanian antara lain meliputi: 
a. Masih rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki 
petani dalam mengelola usaha tani seefisien mungkin. 
b. Pada beberapa desa sudah menunjukkan gejala 
kelangkaan tenaga kerja sebagai dampak dari proses 
urbanisasi atau berpindahnya penduduk desa ke kota 
tujuan. c. Minimnya informasi tentang pengembangan diver￾sifikasi usaha tani on farm dan off farm berbasis 
agribisnis yang diterima petani sehingga tingkat 
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki relatif 
masih terbatas. 
d. Sebagian petani yang aktif bekerja terdiri dari kaum 
lanjut usia, sehingga memengaruhi keadaan sulitnya 
mengintegrasikan mereka ke dalam proses pem￾bangunan pertanian. 
e. Petani kurang memiliki akses terhadap lahan yang 
dikelolanya karena sebagian dari mereka berstatus 
sebagai petani tunakisma baik penggarap ataupun 
buruh tani. 
Dari untaian permasalahan tersebut telah memberikan 
gambaran mengenai cakupan permasalahan keseluruhan dari 
proses pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah ling￾kungan maka untuk melengkapi pengetahuan tentang hambatan 
lain yang menghadang pencapaian keberhasilan pembangunan 
pertanian tidak kalah pentingnya kita menaruh perhatian pada 
dilema petani yang dikatakan oleh Wolf (1985) sebagai ‘masalah 
abadi kaum tani’. Adapun bagi Wolf (1985) masalah abadi petani 
adalah masalah mencari keseimbangan antara tuntutan dari dunia 
luar dan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya. Usaha 
untuk mengatasi masalah yang mendasar tersebut dilakukan 
melalui dua strategi yang saling tidak bertentangan : 
a. Memperbesar produksi 
b. Mengurangi konsumsi. 
Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) mengemukakan bahwa 
masalah hakiki pembangunan pedesaan termasuk di bidang 
pertanian adalah sangat kecil peluang penduduk desa untuk mendapatkan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang 
memadai. Jika pun dinyatakan ada tersedia peluang kerja namun 
mereka tidak mampu meraih karena keterampilan yang di￾syaratkan tidak terpenuhi. Permasalahan lain menyangkut adanya 
hambatan kekakuan akses dari kelembagaan petani yang kurang 
mampu merespons dan menyesuaikan kegiatan dengan tujuan 
program pembangunan pertanian yang ditawarkan oleh agen 
pembaharu. Partisipasi petani rendah dalam kelembagaan khusus￾nya yang berstatus tunakisma. 
Kompleksitas permasalahan pembangunan pertanian akan 
semakin rumit jika dihubungkan dengan keterbatasan modal yang 
dimiliki petani, sulitnya memperoleh kepastian harga yang 
menguntungkan petani, ketidakpastian pasar dan konsumen yang 
siap menampung hasil produksi. Semua permasalahan yang 
diungkapkan menuntut solusi yang tidak hanya berpihak pada 
satu kepentingan pihak tertentu saja. Akan tetapi, yang lebih 
dibutuhkan adalah keterpaduan langkah terintegrasi antara peme￾rintah, petani, agen pembaharu, pihak swasta atau investor, mitra 
kerja sama pertanian, pedagang hasil pertanian, pengelola pasar, 
konsumen dan lembaga pendukung lain yang bahu-membahu 
mengangkat produk pertanian Indonesia yang berkualitas tinggi 
dan bernilai kompetitif hingga berdaya saing terhadap produk 
dari luar negeri atau paling tidak menjadi tuan di negara sendiri. 
8.2. Pendekatan Pembangunan Pertanian 
Gambaran tentang pendekatan pembangunan desa terpadu 
model Camilia di Bangladesh yang dimulai sejak tahun 1960 
disponsori oleh Dinas Pertanian melalui Direktur Pembangunan 
Pedesaan setempat. Pada pendekatan dengan Pola Camilia yang 
pertama perlu dikembangkan adalah koperasi primer yang kemudian diperluas dengan irigasi, pendidikan, pendidikan 
wanita, Keluarga Berencana, listrik masuk desa dan administrasi 
pedesaan. Prinsip pokok dari program ini adalah: 
1. Memberikan kepada petani sarana produksi yang 
baru, pengetahuan baru dan ketrampilan baru; 
2. Melatih petani menggunakan faktor-faktor produksi 
yang baru dan; 
3. Menjamin keuntungan tertentu bagi pemakaian faktor￾faktor produksi tersebut. 
Pola Pedesaan RRC seperti dinyatakan oleh Mubyarto dan 
Kartodirdjo (1988) diakui banyak menarik perhatian karena 
keberhasilannya dalam melaksanakan program yang lebih merata 
dan langsung terkait dengan partisipasi masyarakat. Satu hal yang 
paling menarik dari pendekatan berpola Pedesaan RRC yaitu 
keberhasilannya dalam mengarahkan keseluruhan program kerja 
pada pemberian kesempatan kerja bagi setiap warga hampir 
secara merata. Ciri dari pendekatan ini adalah desentralisasi 
dalam tim produksi dengan kontrol yang kuat, disiplin, semangat 
dan kepercayaan yang tinggi dari setiap warga. 
Pendekatan pembangunan pertanian yang telah diterapkan 
antara Bimas atau Bimbingan Massal. Pendekatan ini dilakukan 
secara terpadu dan pada awalnya berupaya mencapai tujuan 
peningkatan produksi beras. Pendekatan dengan metode Bimas 
sesungguhnya hampir serupa dengan Pola Camilia di Bangladesh. 
Sekarang metode Bimas tidak lagi hanya diterapkan pada 
pembangunan pertanian pangan (beras), tetapi juga sudah 
dikembangkan pada berbagai komoditas lain seperti palawija, 
buah-buahan, ternak, ikan dan sebagainya. Implementasi Program 
Bimas yang paling intensif dilakukan pada tanaman padi hingga 
sekarang pendekatan ini telah ditingkatkan dalam Program Inten-sifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus 
dan Supra Insus Plus. Rangkaian pendekatan pembangunan 
pertanian dengan Program Bimas pada prinsipnya intinya yaitu 
penerapan Panca Usaha yaitu: 
1. Penyediaan bibit unggul 
2. Pemupukan 
3. Pengairan 
4. Pemberantasan hama dan penyakit 
5. Metode bercocok tanam yang lebih baik 
Penyediaan sarana produksi dilengkapi pelayanan informasi 
dari sistem penyuluhan disertai pengaturan pemasaran, kebijakan 
harga dan lainnya. Departemen Pertanian telah melakukan pen￾dekatan pembangunan pertanian terpadu melalui konsep Tri 
Matra yang terdiri dari: 
a. Komoditi Terpadu 
Pendekatan ini ditujukan untuk menjawab kritik ter￾hadap pertanyaan yang mempermasalahkan titik perhatian 
pembangunan pertanian pada Pelita Pertama Orde Baru 
yang terlalu berat pada komoditas beras dengan mengor￾bankan komoditi palawija, buah-buahan, sayuran dan 
tanaman penting lainnya. Oleh karena itu, melalui pen￾dekatan komoditi terpadu diusahakan agar komoditi yang 
dibudidayakan di kelompok untuk kemudian dikelola 
secara intensif mulai dari masa pra produksi (pembibitan 
dan pengolahan lahan), proses produksi sampai pasca panen 
(pengolahan hasil produksi). 
b. Usaha tani Terpadu 
Pembinaan terhadap petani khususnya pada tingkat 
usaha tani pedesaan termasuk usaha ternak dan ikan di￾upayakan secara bersama untuk mencukupi kebutuhan biaya hidup petani sehari-hari. Setiap jengkal tanah yang 
dimiliki keluarga petani diharapkan untuk ditanami. Pada 
pendekatan ini diperkenalkan pengelolaan usaha tani yang 
berlangsung secara berkelompok dan diharapkan sangat 
menolong petani gurem, yang jika bergerak sendiri-sendiri 
kurang efisien. Akan tetapi, bila disatukan dalam kerja sama 
mampu menimbulkan kekuatan ekonomi berskala lebih 
besar. 
c. Wilayah Terpadu 
Pendekatan ini memandang masalah pembangunan 
pertanian dari sisi pengembangan suatu area atau wilayah, 
yang kemungkinan mempunyai potensi fisik tertentu untuk 
usaha produktif yang beraneka ragam baik di bidang 
pertanian maupun non pertanian. 
8.3. Mendahulukan yang Tertinggal 
Pengembangan pembangunan pertanian yang berkelanjutan 
dan ramah lingkungan seyogianya memiliki prinsip berke￾pedulian, berkeadilan dan berbasis sumber daya lokal dengan 
mengedepankan kepentingan kaum petani tanpa terkecuali. 
Spesifikasi makna petani yang berbeda status dalam berbagai hal 
menuntut pembangunan pertanian agar menyertakan partisipasi 
secara aktif sepanjang kegiatan berlangsung dalam periode waktu 
tertentu. Hal ini penting karena petani adalah pelaku usaha tani 
yang paling mengerti, mengetahui dan memahami secara riil 
tentang lingkup permasalahan, kondisi, kebutuhan dan target 
tujuan yang diharapkan terpenuhi dalam upaya peningkatan 
produktivitas usaha taninya secara efisien dan efektif. 
Pendekatan pembangunan pertanian yang digerakkan oleh 
kekuatan dan kecanggihan teknologi, padat modal dengan pen-dekatan top down dan menggunakan sudut pandang etik tentu 
rentan mengalami penyimpangan tujuan akibat kurang konsisten 
dengan kondisi, permasalahan dan kebutuhan petani di wilayah 
pedesaan. Dengan penggunaan pendekatan top down yang berarus 
dari atas ke bawah diketahui bahwa pengambilan keputusan dan 
penyusunan program kekuatan pembangunan pertanian ber￾sumber dari pemerintah pusat dan dikomunikasikan sekaligus 
disosialisasikan untuk ditujukan pada khalayak pertanian yang 
menjadi target sasaran strategis. Pendekatan top down bersifat 
sentralistis. Kemampuan analisis kondisi, permasalahan dan ke￾butuhan yang nyata di tengah sistem sosial masyarakat petani 
dengan pendekatan top down lemah sebab para penyusun program 
pembangunan pertanian kurang merekam dan mengenal realitas 
yang tengah terjadi. Tentu saja untuk mereduksi kelemahan pen￾dekatan top down perlu dimanfaatkan pendekatan pembangunan 
pertanian bottom up atau berarus bawah ke atas. 
Pendekatan bottom up menyertakan partisipasi petani yang 
dilaksanakan sejak awal kegiatan pembangunan pertanian. Pelak￾sanaan analisis ini bersifat desentralisasi dengan jenis kegiatan 
berupa pendataan atau survei, observasi, diskusi interaktif dan 
bentuk penelusuran lain yang dilakukan sejak awal pra-peren￾canaan. Kegiatan identifikasi dan kategorisasi informasi yang 
dibutuhkan dari masyarakat petani dan usaha pertanian lain 
dapat disusun berdasarkan skala prioritas guna dimanfaatkan 
sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan. Pendekatan 
bottom up memang membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang 
besar. Akan tetapi, kelemahan tersebut dapat diatasi dengan men￾jalin rutinitas interaksi sosial dan komunikasi antara masyarakat 
petani dengan agen pembaharu sebagai fasilitator yang men￾jembatani antara kepentingan pihak penyusun program dengan petani sasaran strategis. Paduan pendekatan top down dengan 
bottom up termasuk pilihan yang tepat untuk pengembangan 
partisipasi petani dalam pembangunan pertanian yang berbasis 
komunitas dan sumber daya lokal. 
Bergulirnya konsep bekerja bersama komunitas merupakan 
bentuk kritik terhadap pendekatan pembangunan top down dan 
kurang memperhatikan keunikan, kespesifikan, keragaman, 
kekhasan dari kondisi, kemampuan, permasalahan dan kebutuhan 
tiap kelompok masyarakat. Bentuk aktivitas pembangunan 
dengan komunitas (community practice) mencakup tiga aktivitas 
yakni social action, social planning and community development (Adi, 
2003). Pembangunan berbasis komunitas merupakan paradigma 
baru pembangunan ke pedesaan, karena gagalnya pendekatan 
individual yang menjadi landasan selama ini (Syahyuti, 2005). 
Beberapa konsep pembangunan yang bertolak dari paradigma 
tersebut antara lain Community Development, Community based 
Management, Community Empowerment, Pengembangan Masya￾rakat Pedesaan Berbasis Sumber daya Manusia dan Capacity 
Building. Pemaknaan pengembangan masyarakat menurut PBB 
adalah “… a process whereby the efforts of Government are united with 
those of the people to improve the social, cultural, and economic 
conditions in communities” (PBB, 2005). Pengembangan masyarakat 
merupakan proses dinamika (Dumasari, 2014). Pengembangan 
masyarakat merupakan usaha bersama antara pemerintah, 
masyarakat dan pihak lain dalam upaya meningkatkan kapasitas 
sosial, kultural dan ekonomi masyarakat. Konsep community 
development pada hakikatnya berdimensi luas mencakup ragam 
upaya peningkatan kelayakan hidup komunitas petani dengan 
mengaplikasikan teori dan praktik secara seimbang. Pendekatan pengembangan masyarakat dalam pem￾bangunan pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan ber￾gerak dari inisiatif masyarakat tani. Mendahulukan petani yang 
selama ini tertinggal adalah inti dari pendekatan pembangunan 
pertanian berbasis komunitas. Kesempatan disediakan bagi petani 
kecil yang berlahan sempit dan yang tidak memiliki lahan atau 
berstatus sebagai penyakap (penggarap) dan buruh tani. Bentuk 
kesempatan yang diberikan berupa peningkatan kapasitas diri dan 
perilaku melalui ragam pendidikan yang tidak formal seperti 
sekolah lapang, penyuluhan interaktif, pelatihan partisipatif 
dengan teknik belajar sambil bekerja (learning by doing), anjang 
sana, latihan dan kunjungan serta diskusi kelompok terfokus. 
Peningkatan kompetensi petani tunakisma yang tidak memiliki 
lahan pertanian dapat dikembangkan melalui transformasi hard 
skill dan soft skill tidak hanya pada on farm namun juga off farm. 
Pengembangan produktivitas dan kreativitas petani 
tunakisma pada on farm dapat melalui transfer teknologi penganan 
berbagai kegiatan produktif pada tahap pra produksi dan pasca 
panen. Beberapa kebutuhan strategis pengembangan masyarakat 
(community development) yang penting diperhatikan ketika meng￾gerakkan pembangunan pertanian berbasis komunitas dengan 
mendahulukan yang terbelakang dapat diamati secara rinci pada 
Gambar 36. Kegiatan produktif yang menggerakkan partisipasi masya￾rakat petani kecil terutama yang berstatus tunakisma tidak 
semudah membalik tangan. Posisi marginal sebagai pekerja atau 
buruh upahan dalam masyarakat petani menyebabkan sederet 
kesulitan untuk menyadarkan kaum tani yang tertinggal agar sadar dan bersedia aktif berpartisipasi dalam berbagai program 
pembangunan pertanian. Petani yang tertinggal didahulukan 
dengan meningkatkan motivasi dan semangat kewirausahaan 
agar mempunyai kemampuan sebagai agriecopreneur. Seorang 
agriecopreneur adalah figur petani yang mengelola usaha pertanian 
dari hulu sampai hilir secara produktif, kreatif dan inovatif 
dengan berani menanggung risiko dan mampu memanfaatkan 
setiap kesempatan yang bernilai ekonomi tanpa mengabaikan 
etika nilai sosial dan kelestarian lingkungan alam. Keberadaan 
agriecopreneur perlu didukung dengan fasilitas modal usaha, 
inovasi teknologi, kerja sama kemitraan, ruang pendidikan 
learning by doing yang kreatif inovatif, dukungan kelembagaan 
lokal, dukungan pemerintah, asuransi tani, jaminan kepastian 
harga dan pasar serta kelengkapan fasilitas transportasi dan 
aksesibilitas teknologi informasi. 
 Mengingat status petani tunakisma bukan pemilik lahan 
pertanian menyebabkan mereka terlupakan untuk diundang 
dalam kegiatan transfer teknologi atau bentuk penyuluhan dan 
pelatihan lain. Golongan petani tunakisma yang berada pada 
posisi tertinggal enggan juga menghadiri kegiatan program 
pembangunan pertanian karena merasa tidak memiliki hak dalam 
pengambilan keputusan tentang adopsi inovasi pertanian. Meski 
demikian, pembangunan pertanian berbasis komunitas tetap perlu 
dilaksanakan melalui pendekatan pengembangan masyarakat 
dengan mendahulukan yang tertinggal. Pendekatan pem￾bangunan pertanian dengan konsep mendahulukan yang ter￾tinggal berpegang pada beberapa prinsip yang tertera pada TabelSemua prinsip pembangunan pertanian dengan pendekatan 
komunitas mendahulukan yang tertinggal tidak terlepas dari konsep Community based Management, yang muncul dari per￾kembangan pendekatan Community based Natural Resource 
Management (CBNRM) dengan tekanan pada sumber daya alam. 
Menurut Adhikari (2001) dan Gibbs dan Bromley (1989) diketahui 
bahwa prinsip pendekatan CBNRM adalah suatu aktivitas yang 
menekankan pada manajemen sumber daya alam oleh petani 
untuk dan dengan komunitas lokal. Cakupan tujuan utama 
CBNRM: 
1) Peningkatan kesejahteraan dan jaminan hidup 
masyarakat lokal 
2) Peningkatan konservasi sumber daya alam, dan 
3) Pemberdayaan masyarakat lokal. 
Pendekatan CBM dapat dimulai dari kegiatan focus group 
discussion yang membahas konsep kerangka kerja atau model yang 
umum yang akan digunakan, kisaran ukuran keberhasilan, serta 
ragam bentuk intervensi luar yang dibutuhkan. Tahapan awal dari 
pendekatan CBM penuh tantangan terletak pada aktivitas yang 
menjadi pondasi dasar yakni membangkitkan semangat, motivasi 
dan kesadaran serta kesertaan partisipasi masyarakat petani. 
Tahapan awal ini dilakukan tanpa tekanan yang membebani 
komunitas petani. Kegiatan represif dihindari dan diganti per￾suasif yang memiliki motif agar komunitas petani merasa 
membutuhkan dan merasa memiliki untuk bertanggungjawab. 
Beberapa tahapan kegiatan pembangunan pertanian dengan yang 
dijelaskan oleh Crawford, et al., (2000) tertera rinci pada Gambar Pengembangan kapasitas masyarakat harus menganut 
pendekatan co-management dimana masyarakat dan pemerintah 
secara aktif bekerja bersama, dan adanya pemimpin lokal yang 
kuat dan mendukung (Syahyuti, 2005). Strategi pengembangan 
kapasitas (Capacity Building) merupakan suatu aktivitas pem￾bangunan terutama yang intinya yaitu pemberdayaan komunitas 
dengan bertolak dari kekayaan tata nilai dan memprioritaskan 
kebutuhan serta mengorganisasikan mereka untuk melakukan 
sendiri (Eade and William, 1995). Pengembangan kapasitas 
sumber daya manusia dimaksudkan untuk meningkatkan ke￾mampuan dalam menyelesaikan permasalahan (Mildeberger, 1999). Capacity building tidak dapat diselenggarakan sendirian oleh 
pihak tertentu namun perlu dukungan dari berbagai pihak terkait. 
Pelaksanaan capacity building pada petani memiliki beberapa 
langkah penting yang dapat diamati pada Gambar 38. 
Gambar 38. Beberapa Langkah dalam Proses Capacity Building Petani 
Pembangunan pertanian berkelanjutan dan ramah ling￾kungan yang berbasis komunitas dan berkonsep mendahulukan 
yang tertinggal serta intinya yaitu pemberdayaan dengan capacity 
building memiliki beberapa model. Eade (1997) memaparkan 
beberapa model yang dimaksud: 
1) Bekerja dengan posisi sebagai intermediaries
2) Menciptakan sinergi dalam komunitas 
3) Mempromosikan organisasi yang representatif 
4) Menciptakan organisasi yang independen 
5) Pemerintah dan NGO bekerja secara paralel bersama￾sama. 
Target capaian capacity building, yaitu tidak hanya pada level 
individu namun juga meliputi level kelompok kecil (small group) 
dan level institusi dan organisasi serta level sistem sosial petani 
secara keseluruhan. Sejak dini, beberapa rintangan yang rentan terjadi dalam pembangunan pertanian yang berbasis komunitas 
perlu diantisipasi. Menurut Chambers (1997) ada sejumlah bias 
orang luar yang menyebabkan terjadinya hambatan untuk 
memahami kemiskinan dan orang miskin, yang tertinggal, 
terbelakang dan terisolir yaitu: 
1) Bias musim: Orang luar yang terdiri dari agen 
pembaharu, peneliti, akademisi dan lainnya yang ingin 
mendalami persoalan warga marginal termasuk petani 
kecil dan tunakisma datang pada saat musim 
kemarau/kering; atau pasca panen sehingga persoalan 
petani yang dialami selama masa paceklik luput dari 
perhatian. 
2) Bias tempat: Orang luar yang akan mendampingi 
kegiatan pemberdayaan datang hanya pada lokasi 
yang mudah dijangkau 
3) Bias tokoh: Orang luar hanya menemui kelompok elite 
masyarakat 
4) Bias gender: Orang luar cenderung hanya berbicara 
dengan kelompok laki-laki 
5) Bias program: Orang luar cenderung menggunakan 
program untuk ‘pamer’ kesuksesan 
6) Bias kesopanan: Orang luar berkecenderungan untuk 
menyembunyikan hal buruk dan memainkan peran 
yang berbasa-basi 
7) Bias profesi: Orang luar berkecenderungan untuk 
memahami masyarakat dari aspek yang diminatinya 
saja (parsial). 
Semua bias tersebut seyogianya dihindari sejak awal. 
Chambers selanjutnya menjelaskan strategi pemberdayaan masya￾rakat marginal yang terbelakang menggunakan pendekatanpembalikan (reversal) sikap dan perilaku orang luar yang bekerja 
di masyarakat, agar lebih peka dan memahami situasi dan 
persoalan masyarakat terutama yang paling lemah dan miskin 
termasuk petani kecil yang tunakisma. Proses belajar tentang 
pendekatan pengembangan masyarakat dalam pembangunan 
pertanian yang berbasis pemberdayaan melalui pendekatan 
pembalikan cara kerja orang luar yaitu dari tergesa-gesa, berjarak, 
dan seolah terpintar menjadi melebur, mendengarkan, dan belajar 
dari masyarakat petani yang terbelakang. Pembalikan (reversal) 
yang menjadi titik tolak dalam pembangunan pertanian dengan 
pendekatan mendahulukan yang terbelakang.