tan.
50
Tidak dipilihnya tempat penangkapan ikan tertentu pada
berbagai waktu pada sepanjang tahun dapat menghindarkan
banyak masalah. Angin, gelombang, kondisi air, dan pola
migrasi juga berpengaruh pada kondisi dan kualitas ikan
sebelum panen. Faktor-faktor ini berpengaruh pada jenis
dan kelimpahan organisme makanan yang tersedia, yang dapat
memengaruhi kesehatan dan kondisi ikan.
e. Efek Jenis Kelamin dan Proses Bertelur
Untuk tujuan-tujuan tertentu, jantan dan betina dari
spesies yang sama dapat memiliki nilai yang berbeda. Bahkan
telur dari beberapa ikan tertentu dapat dinilai sebagai suatu
komoditas dan ikan-ikan ini dihargai hanya sebab alasan
ini . Jenis kelamin memainkan peranan besar dalam
kualitas segera setelah proses bertelur. Betina dari spesies
tertentu dapat berada dalam kondisi fisik yang buruk segera
setelah bertelur yang memiliki kualitas yang sangat rendah.
Akan tetapi, dalam beberapa spesies seperti salmon, kedua
jenis kelamin dapat berada dalam kondisi buruk setelah proses
bertelur. Tepat sebelum dan selama proses bertelur, cadangan
makanan dalam daging dialihkan untuk perkembangan kelenjar
kelamin. Selama proses bertelur, dan untuk beberapa periode
setelahnya, sebagian besar ikan tidak makan. Akibatnya yaitu
daging mereka menjadi kehabisan lemak, protein, dan
karbohidrat, dan ikan-ikan ini berada dalam kondisi
buruk. Apabila ikan-ikan ini kembali makan, mereka
biasanya memulihkan kondisi makanan mereka kecuali terlalu
lemah selama proses bertelur. Bahkan pada spesies laut dan
berlemak seperti sarden, haring, dan makerel, perubahan
kualitas yang disebabkan proses bertelur terlihat lebih nyata.
Antara periode tidak makan setelah proses bertelur dan
dilanjutkannya pemberian makan, kandungan lemak ikan
haring dapat beragam mulai kurang dari 1% sampai lebih dari
25%. Selama perubahan dalam kandungan lemak ini ,
51
berat ikan secara keseluruhan terjaga cukup konstan oleh
penurunan yang setara dalam kandungan air. sebab
kandungan lemak yang tinggi pada spesies ini diperlukan untuk
pengalengan dan pengasapan, ikan dalam kondisi pasca proses
bertelur seringkali tidak dikehendaki untuk proses ini .
Perubahan dalam komposisi daging sebagai akibat dari
aktivitas bertelur terlihat jelas pada semua spesies, walaupun
kurang terlihat dalam beberapa kerang di mana perubahan
kandungan glikogen terlihat nyata.
f. Ikan yang Secara Alami Beracun
Sebagian besar pangan dari ikan aman untuk dimakan,
namun ada spesies yang secara alami beracun, baik seluruhnya
atau sebagian, dan dapat menyebabkan penyakit atau kematian
apabila dimakan. Sebagian besar ikan beracun ditangkap di
wilayah tropis atau subtropis di dunia, dan hanya dalam
wilayah ini tindakan pengendalian, apabila ada, harus
diterapkan. Ikan yang secara alami beracun disebut sebagai
“biotoksin” yang berlawanan dengan ikan dan kerang yang
dapat menjadi beracun melalui kontaminasi bahan kimia atau
polutan.
Terdapat tiga jenis racun utama pada ikan atau kerang:
ciguatera, keracunan ikan buntal, dan keracunan ubur-ubur
yang menyebabkan kelumpuhan.
2 Penanganan Ikan Segar
Ikan perlu dipertahankan kesegarannya agar dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan untuk mempertahankan
kesegaran ikan ini dilakukan dengan berbagai cara, pada masa
lalu proses ini dilakukan secara alami sehingga kesegaran
ikan tidak berlangsung lama, sedangkan pada zaman sekarang
proses ini dilakukan secara modern seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan semakin lengkapnya
52
peralatan, sehingga proses ini dapat dikerjakan secara
cepat dan kesegaran ikan dapat dipertahankan dalam jangka
waktu yang lebih lama. Untuk mempertahankan kesegaran
ikan, suhu lingkungan atau tempat ikan disimpan harus
dipertahankan tetap rendah atau mendekati 0
o
C, dan dicegah
hubungan langsung dengan sinar matahari sebab dapat
meningkatkan suhu penyimpanan juga mempercepat proses
pembusukan. Untuk mempertahankan agar suhu tetap rendah
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya: dengan menutup
ikan-ikan dengan terpal atau karung-karung basah setelah
diberi es, supaya tidak terjadi penguapan air namun cara ini
tidak dapat mempertahankan suhu rendah. Cara lain yaitu
dengan menggunakan kotak-kotak dingin yang biasanya
terdapat pada kapal-kapal penangkap ikan. Cara lain yang biasa
digunakan oleh kapal-kapal penangkap ikan yang lengkap
yaitu dengan menggunakan ”dry ice” (es kering) yang dapat
menghasilkan suhu hingga -60
o
C, atau dengan menggunakan
nitrogen cair.
Proses pendinginan yang paling sering digunakan yaitu
dengan es yang dibuat dari air bersih agar dapat menurunkan
suhu mendekati 0
o
C dan ditempatkan pada wadah yang
berinsulasi, tertutup rapat dan tidak bercelah. Penurunan suhu
pada ikan terjadi pada saat es mencair akibat panas yang
berasal dari ikan. Air dari pencairan es akan melarutkan
substansi yang dibutuhkan oleh organisme sehingga
pertumbuhan bakteri pembusuk akan terhambat, selain itu suhu
dingin juga dapat menghambat reaksi pembusukan pada ikan.
Beberapa cara penanganan ikan segar antara lain:
1.Penanganan ikan segar pada tingkat produsen.
Penanganan ikan segar di kapal atau perahu-perahu nelayan
hingga ke pedagang perlu dilakukan untuk mempertahankan
mutu ikan hingga ke tangan konsumen. Penangkapan ikan oleh
perahu nelayan pada umumnya dilakukan secara tradisional
dengan fasilitas yang terbatas, dilakukan dengan menggunakan
53
perahu-perahu dayung biasa, perahu motor kecil atau perahu
layar. Penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tradisional
biasanya tidak lebih dari satu hari (berangkat sore hari pulang
pagi hari) jadi ikan yang diperoleh masih cukup segar hingga
penjualan. Pada kondisi ini para nelayan jarang yang memberi
es pada ikan hasil tangkapannya. Kapal penangkap ikan
fasilitasnya lebih lengkap sehingga penanganan ikan segar
lebih intensif dibanding yang dilakukan oleh nelayan
tradisional. Penanganan yang umum dilakukan di kapal yaitu :
A. Penyiangan dan pencucian
Ikan yang telah ditangkap menggunakan jaring
dibersihkan dari segala kotoran dan disortir berdasar jenis
dan ukuran. Kemudian, dilakukan penyiangan untuk
menghilangkan isi perut dan insang. Namun, untuk ikan-ikan
yang kecil seperti lemuru atau kembung dan ikan-ikan yang
dapat segera dijual di pasar, penyiangan tidak perlu dilakukan.
Ikan kemudian dicuci untuk untuk menghilangkan sisa lendir
dan kotoran lain yang melekat pada ikan yang dapat
mempercepat proses pembusukan.
B. Pemindahan ikan dalam palka
Ikan kemudian dipindahkan dalam palka dan
ditambahkan es untuk dicegah kontak langsung dengan sinar
matahari.
C.Pendinginan
Untuk mempertahankan kesegaran, ikan diberi hancuran
es yang bersih agar bebas dari gangguan bakteri. Es yang
digunakan merupakan hancuran yang berukuran kecil agar ikan
tidak tergenjet dan memar. Setelah sampai di pelabuhan
Penanganan ikan segar perlu diperhatikan agar ikan dapat
dipertahankan kesegarannya, yang perlu dilakukan setelah ikan
sampai ke pelabuhan yaitu : pemisahan es yang dilakukan
secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan luka pada kulit
ikan yang dapat mempercepat proses pembusukan,
menempatkan ikan pada wadah berpendingin selama
54
pengangkutan ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan), wadah harus
segera ditutup agar ikan tidak terkena sinar matahari secara
langsung. Pengangkutan ikan biasanya dilakukan dengan
menggunakan wadah yang baik seperti ”Cool-box” dimasukkan
refrigerator atau es kering, dan N2 cair, sarana
pengangkutannya biasanya menggunakan truk-truk khusus atau
gerbong kereta api yang berinsulasi atau dapat didinginkan.
Selama pemasaran ikan tetap didinginkan agar kesegaran ikan
dapat dipertahankan. .
Ikan yaitu salah satu makanan yang sangat mudah
mengalami kerusakan (Very perishable food). Tingginya
kandungan air pada ikan merupakan salah satu sebab yang
mengakibatkan ikan sangat mudah mengalami kerusakan.
Selain itu ikan memiliki kandungan protein yang tinggi, secara
alami ikan juga mengandung enzim yang dapat menguraikan
protein menjadi putresin, isobutilamin, kadaverin, dan senyawa
lain penyebab timbulnya bau tak sedap. Sementara itu lemak
yang terdapat dalam tubuh ikan sebagian besar tersusun atas
asam lemak tidak jenuh ganda rantai panjang, sehingga mudah
mengalami oksidasi atau hidrolisa mengakibatkan bau tengik
Namun, penyebab utama kerusakan pada ikan segar yaitu
aktivitas bakteri pada ikan. Bakteri pembusuk ini mulai aktif
sejak ikan mati atau dapat terjadi sebab faktor kontaminasi
selama rantai penanganan dari laut sampai ke konsumen.
Untuk membedakan antara ikan segar dan ikan yang tidak
segar perlu diketahui ciri-ciri dari kedua kondisi ikan ini ..
Makanan laut yang tidak segar mengalami peningkatan kadar
histamin sehingga jika dikonsumsi tubuh akan memunculkan
reaksi alergi, seperti gatal-gatal, ruam kulit, mata bengkak,
bahkan beberapa orang ada yang pingsan. Namun reaksi ini
tidak terjadi pada setiap individu meskipun makanan yang di
konsumsinya sama. Hal ini sangat bergantung pada kondisi
fisik orang yang mengkonsumsi ikan dan produknya.
55
2. Penanganan Ikan Segar untuk Konsumsi.
Ikan yang akan dikonsumsi pada tingkat rumah tangga
perlu diolah lebih lanjut. Hal-hal yang perlu dilakukan di
rumah untuk mencegah proses pembusukan pada ikan yaitu :
A. Membersihkan ikan dari insang dan sisik (menyiangi) hal
ini dilakukan untuk menghilangkan bakteri-bakteri pembusuk
yang banyak terdapat pada insang dan sisik ikan.
B. Mencuci ikan dengan bersih untuk menghilangkan kotoran
dan darah yang masih melekat pada permukaan ikan.
C. Ikan langsung diolah sesuai dengan selera, untuk ikan yang
tidak langsung dikonsumsi sebaiknya dipotong-potong sesuai
dengan keinginan dan proses selanjutnya.
D. Ikan disimpan di freezer dan sebaiknya dibungkus dengan
plastik dengan ukuran sekali masak, hal ini dilakukan untuk
mempermudah pengambilan bahan. Ketika makanan akan
dimasak, sehari sebelumnya diambil dan disimpan di lemari
pendingin (suhu ± 5
o
C) untuk proses pencairan (thawing),
thawing sebaiknya tidak dilakukan di luar sebab akan
mengundang bakteri pembusuk. Perlu diingat juga penggunaan
lemari es harus memperhatikan kapasitas, sebab lemari es
yang terlalu penuh menyebabkan pendinginan tidak optimal
Idealnya lemari es 85% terisi dan 15% nya untuk sirkulasi
udara.
E. Apabila tidak memiliki lemari es, sebaiknya ikan direbus
atau dikukus untuk mencegah kebusukan, kemudian disimpan
dan ditutup rapat, namun ikan dengan cara seperti ini tidak
dapat tahan lama bila dibandingkan dengan ikan yang disimpan
di freezer.
F. Untuk menghilangkan bau amis pada ikan dapat dilakukan
dengan menambahkan cuka atau air jeruk, selain itu
penambahan air jeruk juga akan menurunkan tingkat keasaman
ikan (pH rendah) sehingga pertumbuhan mikrobia pembusuk
dapat terhambat.
56
B. Keamanan Produk Hasil Perikanan
Menjamin keamanan pangan dalam rangka melindungi
kesehatan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi merupakan tantangan besar bagi negara maju maupun
negara berkembang. Berbagai bentuk upaya untuk memperkuat
sistem keamanan pangan telah dilakukan oleh banyak negara,
terutama dalam mencegah dan mengurangi penyakit yang
disebabkan oleh pangan. Selain itu, kepedulian terhadap
kesehatan masyarakat terus meningkat seiring dengan
banyaknya pemberitaan mengenai produk pangan
terkontaminasi cemaran yang mengakibatkan gangguan
terhadap kesehatan manusia. Pada kenyataannya, cemaran
dapat terjadi di sepanjang rantai pangan. Keberadaan cemaran
dalam pangan mungkin ada akibat dari berbagai tahapan
produksi atau akibat dari kontaminasi lingkungan. Tahapan
produksi yang dimaksud yaitu sejak dari bahan baku, proses
pengolahan, pengemasan, transportasi hingga penyimpanan.
Produk perikanan merupakan salah satu jenis pangan
yang perlu mendapat perhatian terkait dengan keamanan
pangan. Mengingat di satu sisi, negara kita merupakan negara
maritim terbesar di Asia Tenggara, sehingga sektor perikanan
memegang peranan penting dalam perekonomian nasional.
Terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber
pendapatan nelayan dan sumber devisa negara. Selain itu,
produk perikanan juga merupakan sumber protein hewani yang
dibutuhkan oleh manusia. Namun, di sisi lain, produk
perikanan dapat menjadi media perantara bagi bakteri patogen
dan parasit yang dapat menginfeksi manusia.
Cemaran Yang Umum Ditemukan Dalam Produk
Perikanan (Anisyah, 2009).
Secara umum, risiko pangan terhadap kesehatan manusia
dapat timbul secara alami maupun terkait dengan penanganan
pangan oleh manusia baik berupa cemaran biologi, kimia atau
57
fisik. Pada produk seafood cemaran yang umum ditemukan
antara lain:
1. Cemaran biologi:
- Vibrio parahaemolyticus
- Vibrio kholera
- Salmonella dan Escherichia coli
2. Cemaran kimia:
- Logam berat (merkuri dan timbal)
- Histamin
- Marine biotoxin (racun hayati laut)
- Hormon, antibiotik, pestisida
- Bahan berbahaya (formalin dan rhodamin B).
Penjelasan dari cemaran-cemaran ini yaitu
sebagai berikut:
1. Cemaran Biologi
a. Vibrio parahaemolyticus
Vibrio parahaemolyticus yaitu bakteri berbentuk
koma, memiliki flagel monotrik, Gram negatif, motil
dan aerob, merupakan jenis utama yang banyak terdapat
pada perairan pantai dan laut yaitu pada ikan, tiram,
kerang-kerangan dan seafood lainnya. Bakteri ini tumbuh
pada kadar NaCl optimum 3 persen, kisaran suhu 5-43
o
C,
pH 4.8-11 dan aw 0.9-0.99. Pertumbuhan berlangsung
cepat pada kondisi suhu optimum (37
o
C) dengan waktu
generasi hanya 9-10 menit. Keberadaan garam, bahan gizi
yang baik serta pH dan aw yang cocok menjadikan
Vibrio parahaemolyticus sering terdapat sebagai flora
normal di dalam seafood. Jumlah sel yang terdapat di
dalam seafood biasanya di bawah 10
3
koloni/g.
Bakteri Vibrio parahaemolyticus menyebabkan
gastroenteritis disertai diare, kejang perut, mual, muntah,
sakit kepala, demam, dan rasa dingin. Masa inkubasi 4-96
jam dengan rata-rata 15 jam setelah tertelan bakteri ini.
58
Dosis infeksi lebih dari 10
6
koloni/g dapat menyebabkan
penyakit. Infeksi oleh bakteri ini disebabkan sebab
mengonsumsi seafood mentah, dimasak tidak sempurna,
atau terkontaminasi dengan seafood setelah pemasakan.
b. Vibrio cholerae
Vibrio cholerae merupakan bakteri berbentuk koma,
berukuran 2-4µm, sangat motil sebab memiliki flagella
monotrik, tidak membentuk spora, Gram negatif, bersifat
aerob atau anaerob fakultatif, suhu optimum 37
o
C (18
o
C-
37
o
C), pH optimum 8.5-9.5, tumbuh baik pada media yang
mengandung garam mineral dan asparagin sebagai sumber
karbon dan nitrogen. Vibrio cholerae biasanya banyak
terdapat di sungai dan perairan pantai serta laut. Terdapat
pada kekerangan, tiram dan seafood lain dengan jumlah sel
di bawah 10
3
koloni/g.
Vibrio cholerae menyebabkan penyakit kolera, yang
ditandai dengan diare hebat dengan warna seperti air beras.
Diare ini menyebabkan 60 persen penderita kolera
meninggal sebab dehidrasi. Setelah bakteri ini masuk ke
dalam tubuh, turun ke saluran usus menempel pada
epithelium dan melepaskan eksotoksin yang disebut
koleragen. Koleragen merangsang hipersekresi air dan
klorida dan menghambat absorbsi natrium. Akibat
kehilangan banyak cairan dan elektrolit, terjadi dehidrasi,
asidosis, shok dan kematian. Masa inkubasi 6 jam sampai
5 hari dengan gejala mual, muntah, diare dan kejang perut.
Dosis infeksi yang dapat menimbulkan penyakit yaitu 10
7
koloni/g.
c. Salmonella
Salmonella merupakan salah satu genus dari
Enterobacteriaceae, berbentuk batang Gram negatif,
anaerobic fakultatif dan aerogenik. Biasanya bersifat
59
motil dan memiliki flagella peritrikus, kecuali
S. gallinarum-pullorum yang selalu bersifat non-motil.
Kebanyakan strain bersifat aerogenik, dapat menggunakan
sitrat sebagai sumber karbon, tidak membentuk H2S
(Fardiaz, 1992).
Salmonella mungkin terdapat pada makanan dalam
jumlah tinggi, tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan
dalam hal warna, bau, maupun rasa dari makanan ini .
Semakin tinggi jumlah Salmonella dalam suatu makanan,
semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang
menelan makanan ini , dan semakin cepat waktu
inkubasi sampai timbulnya gejala infeksi. Makanan yang
sering terkontaminasi oleh Salmonella yaitu telur dan hasil
olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging
sapi, serta susu dan hasil olahannya seperti es krim dan
keju (Supardi dan Sukamto, 1999).
d. Escherichia coli
E. coli merupakan suatu bakteri Gram negatif, tidak
berkapsul, berbentuk batang dengan ukuran panjang
2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µm, tersusun tunggal atau
berpasangan, hidup secara aerobik dan anaerobik
fakultatif, serta bersifat motil dengan menggunakan
flagella peritrikus (Fardiaz, 1992). Suhu pertumbuhan
E.coli antara 10-40
o
C, dengan suhu optimum 37
o
C.
Derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhannya
yaitu 7-7,5; pH minimum pada 4 dan maksimum pada
pH 9. E. coli dapat menggunakan asetat sebagai sumber
karbon, tetapi tidak dapat menggunakan sitrat. Glukosa
dan beberapa karbohidrat lainnya dipecah menjadi
piruvat, dan fermentasi lebih lanjut menghasilkan asam
laktat dan format (Supardi dan Sukamto, 1999). Bakteri
ini umumnya ditemukan pada kotoran, air, usus manusia
dan hewan. Biasanya terdapat dalam jumlah konsentrasi
60
sekitar 10
7
-10
8
dalam 1 g feses. Bakteri ini tersebar di
seluruh dunia dan dapat menimbulkan penyakit diare
(Pelczar and Chan, 2006).
E. coli dapat dibedakan atas flora normal yang
tidak bersifat patogenik dan yang bersifat
enteropatogenik (EPEC), sedangkan EPEC dapat
dibedakan lagi atas E. coli yang dapat memproduksi
toksin atau bersifat enterotoksigenik (ETEC) dan yang
tidak menghasilkan enterotoksigenik. E. coli yang
bersifat patogenik sering menyerang ternak, terutama
ternak unggas (Fardiaz, 1992).
Kontaminasi bakteri E. coli pada pangan biasanya
berasal dari kontaminasi air yang digunakan.
Kontaminasi bakteri E. coli pada pangan merupakan
suatu tanda praktek sanitasi yang kurang baik. E. coli
sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan
pada suhu pasteurisasi atau selama pemasakan (Supardi
dan Sukamto, 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa,
keberadaan E. coli dalam air dapat menjadi indikator
adanya pencemaran air oleh tinja. E. coli digunakan
sebagai indikator pemeriksaan kualitas bakteriologis
secara universal dalam analisis dengan alasan sebagai
berikut :
a. E. coli secara normal hanya ditemukan di saluran
pencernaan manusia (sebagai flora normal) atau hewan
mamalia, atau bahan yang telah terkontaminasi dengan
tinja manusia atau hewan; jarang sekali ditemukan dalam
air dengan kualitas kebersihan yang tinggi
b. E. coli mudah diperiksa di laboratorium dan
sensitivitasnya tinggi jika pemeriksaan dilakukan dengan
benar.
c. Bila dalam air ini ditemukan E. coli, maka air
ini dianggap berbahaya bagi penggunaan domestik.
61
d. Ada kemungkinan bakteri enterik patogen yang lain
dapat ditemukan bersama-sama dengan E. coli dalam air
ini .
2. Cemaran Kimia
a. Merkuri
Merkuri (Hg) berada di lingkungan dalam bentuk
merkuri anorganik, berasal dari berbagai sumber baik
secara alami maupun dibuat oleh manusia. Merkuri
anorganik dapat diubah menjadi bentuk organik, metil
merkuri, melalui reaksi biologi dalam tanah dan sedimen.
Metil merkuri merupakan bentuk merkuri yang paling
toksik, paling banyak ditemukan pada organisme laut dan
terakumulasi dalam rantai pangan. Ikan predator dapat
mengakumulasi metilmerkuri dalam kadar tinggi. Biasanya
ditemukan pada ikan laut atau kekerangan secara alamiah
±0,1 mg/kg. Ikan menjadi sumber utama paparan metil
merkuri pada manusia.
Efek toksik metil merkuri pada manusia tercatat
pertama kali pada orang yang mengonsumsi ikan
terkontaminasi logam berat di teluk Minamata Jepang,
yang terpolusi oleh industri merkuri pada tahun 1950. Bayi
yang lahir dari ibu yang mengonsumsi ikan terkontaminasi
menunjukkan kerusakan sistem saraf pusat. Dalam dekade
sejak Minamata, terdapat beberapa bukti menunjukkan
bahwa paparan metil merkuri dari pangan ialah ikan dan
seafood memengaruhi kognitif pada orang dewasa. Nilai
Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) yaitu
0,005 mg/kg bb sebagai total merkuri dan 0,0016 mg/kg
bb sebagai metil merkuri.
62
b. Histamin
Histamin merupakan senyawa turunan dari asam amino
histidin yang banyak terdapat pada ikan. Histamin tidak
membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang
rendah, yaitu 8 mg/100 g ikan. Menurut Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan
histamin akan timbul jika seseorang mengonsumsi ikan
dengan kandungan histamin 50 mg/100 g ikan. Keracunan
histamin pada mulanya lebih dikenal dengan nama
„scromboid poisoning’ sebab terjadi sesudah
mengonsumsi ikan dari golongan scromboidae, yaitu ikan
tongkol dan sejenisnya. Ikan dengan kandungan histamin
lebih dari 20 mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi.
Gejala keracunan histamin berupa muntah, rasa
terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala,
kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, gatal-
gatal dan badan lemas. Sekilas gejala ini mirip
dengan gejala alergi yang dialami oleh orang yang sensitif
terhadap ikan atau pangan asal laut.
c. Marine biotoxin (racun hayati laut)
Keberadaan marine biotoxin disebabkan adanya alga
yang mengandung racun PSP (Paralytic Shellfish
Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP
(Diarrhetic Shellfish Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish
Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Biotoxin
ini umumnya terdapat pada kerang-kerangan kecuali
CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap,
kerapu, dan lain-lain.
d. Formalin dan rhodamin B
Formalin sering disalahgunakan untuk proses
pengawetan produk perikanan. Padahal, formalin
63
peruntukannya yaitu sebagai pembunuh hama, pengawet
mayat, bahan desinfektan pada industri plastik, busa dan
resin untuk kertas. Gejala kronis yang dapat timbul setelah
mengonsumsi pangan mengandung formalin antara lain
iritasi saluran pernafasan, muntah, pusing, rasa terbakar
pada tenggorokan, serta dapat memicu kanker.
Selain formalin, bahan berbahaya yang sering
disalahgunakan dalam produk perikanan yaitu rhodamin B
untuk mewarnai produk kerang-kerangan yang terlihat
pucat, atau digunakan pada ikan asap. Rhodamin B
merupakan bahan kimia yang digunakan untuk pewarna
merah pada industri tekstil dan plastik. Penggunaan
pewarna ini dalam pangan sangat berbahaya sebab dapat
memicu kanker, merusak hati dan ginjal.
C. Langkah Mewujudkan Jaminan Mutu
Melalui uraian di atas, terlihat jelas bahwa keamanan
pangan menjadi perhatian mendasar bagi kesehatan publik dan
mendukung kepentingan perdagangan/ekspor. Oleh sebab itu
produk perikanan perlu ditangani dengan benar dari hulu
hingga hilir melalui penerapan good practice di setiap lini
untuk menjamin mutu dan keamanannya. Pemerintah telah
menetapkan persyaratan sanitasi yang wajib dipenuhi dalam
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan
dan peredaran pangan dalam UU no.7 thn 1996 tentang
pangan, contoh Keputusan Dirjen POM no. KH.00.04.3-3.011
tahun 1996 tentang pedoman penerapan cara produksi makanan
yang baik.
Selain itu, untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya
pangan, pemerintah menetapkan batas maksimum cemaran
yang diperbolehkan keberadaannya dalam pangan. Ketentuan
ini dituangkan dalam bentuk standar komoditas
perikanan. Peraturan yang menetapkan persyaratan cemaran
logam dan mikroba dalam produk pangan termasuk produk
64
olahan ikan yaitu SK Dirjen POM no. 03725/B/SK/VII/89
tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan
dan SK Dirjen POM no.03726/B/SK/VII/89 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan. Pengawasan
keamanan pangan yang dilakukan oleh Badan POM dilakukan
sebelum (Pre-market evaluation) dan setelah (Post-market
vigilance) pangan beredar di masyarakat.
Badan Internasional yang mengatur standar pangan yaitu
Codex Alimentarius Commission (CAC). Komite Codex yang
secara khusus menangani cemaran dalam pangan yaitu Codex
Committee on Contaminants in Foods (CCCF) dan Codex
Committee on Food Hygiene (CCFH).
CCCF telah menyusun Codex STAN 193-1995,Rev.3-
2007 tentang Codex General Standard for Contaminants and
Toxins in Foods yang menetapkan antara lain batas maksimum
cemaran logam dalam produk perikanan. Cemaran yang
dimaksud yaitu timbal dan metil merkuri dengan ketentuan
sebagai berikut:
- Timbal dalam ikan sebesar 0,3 mg/kg
- Metil merkuri dalam ikan sebesar 0,5 mg/kg
- Metal merkuri dalam ikan predator sebesar 1 mg/kg.
65
PENGASAPAN IKAN
PENGASAPAN ikan yaitu salah satu cara mengolah
dan mengawetkan ikan yang cukup popular di negara kita . Cara
ini dapat dijumpai di berbagai daerah, namun jumlahnya tidak
sebanyak produk pengasinan atau pengeringan. Pengasapan
dapat menunda proses kemunduran mutu ikan, namun dalam
waktu yang tidak terlalu lama, tidak seperti ikan asin atau ikan
kering.
Tujuan pengasapan pada ikan ada tiga hal. Pertama,
mengolah ikan agar siap untuk dikonsumsi langsung. Kedua,
memberi cita rasa yang khas agar lebih disukai konsumen.
Ketiga, memberikan daya awet melalui pemanasan,
pengeringan dan reaksi kimiawi asap dengan jaringan daging
ikan pada saat proses pengasapan berlangsung.
A. Dasar Pengolahan Ikan dengan Pengasapan
Pengawetan dengan pengasapan sudah lama dilakukan
manusia dengan pemanggangan dan pengasapan, ikan dapat
disimpan lebih lama dan memberikan cita rasa yang khas dan
disukai. Istilah pengasapan (smoking) diartikan untuk
penyerapan bermacam-macam senyawa kimia yang berasal
dari asap kayu ke dalam ikan, disertai dengan setengah
pengeringan dan biasanya didahului dengan proses
penggaraman. Jadi istilah smoke curing meliputi seluruh proses
yang dimulai dari tahap persiapan bahan mentah sampai ke
pengasapan terakhir yang mengakibatkan perubahan warna,
flavor dan tekstur ikan. Sedangkan tujuan pengasapan dalam
pengawetan ikan yaitu untuk mengawetkan dan memberi
warna serta rasa asap yang khusus pada ikan.
BAB
IV
66
Bahan Pengasapan Ikan (Purnomo dan Salasa, 2002)
1. Kayu sebagai bahan bakar pengasapan
Untuk mendapatkan ikan asap yang berkualitas baik,
harus digunakan kayu keras (non-resinous) atau sabut dan
tempurung kelapa. Kayu lunak akan menghasilkan asap yang
mengandung senyawa yang dapat menyebabkan hal-hal dan
bau yang tidak diinginkan.
Pada pembakaran kayu, cellulose (sellular fibre) yang
merupakan bagian terbesar dari kayu akan diuraikan menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti alkohol
aliphatic yang berantai lebih pendek, aldehid, keton, dan asam
organik yang termasuk furfural, formaldehid, dan metal
furfural dan lain-lain. Sedangkan lignin dipecah menjadi
turunan fenol, quinol, guaicol dan pirogallol yang merupakan
bagian dari senyawa antioksidan dan antiseptik. Melalui
metode kromatografi kertas telah diketahui kurang lebih 20
macam senyawa pada asap kayu, dan persentase tiap senyawa
pada asap kayu tergantung jenis kayu yang dipakai.
Tabel 4.1 Komposisi Substansi Organik Kayu ( %)
Dari Berat Kayu Kering.
Sumber: Purnomo dan Salasa, 2002
Komponen Kayu keras Kayu lunak
Cellulosa
Lignin
Hemicellulosa
- Pentosan
- Hexosan
Resin
Protein
Abu
43-53 %
18-24%
22-25%
3-6%
1,8-3%
0,6-1,9%
0,3-1,2%
54-58%
26-29%
10-11%
12-14%
2-3,5%
0,7-0,8%
0,4-0,8%
67
2. Komposisi asap
Asap kayu terdiri dari uap dan padatan yang berupa
partikel sangat kecil, yang keduanya memiliki komposisi
kimia yang sama tetapi dalam perbandingan yang berbeda.
Senyawa kimia yang mudah menguap diserap oleh ikan,
terutama dalam bentuk uap. Senyawa ini memberikan
warna dan rasa yang diinginkan pada ikan asap. Komposisi
kimia asap diketahui melalui penelitian menggunakan sistem
pembakaran tidak sempurna dan destilasi kering. berdasar
hasil-hasil penelitian dapat dibedakan 4 kelompok hasil
pembakaran kayu yaitu: gas, cairan, tar dan karbon.
a. Kelompok gas-gas
Pembakaran 280
o
C terhadap kayu melepaskan hampir
semua gas, yaitu oksigen, karbondioksida dan karbon
monoksida. Pada suhu ini juga terjadi reaksi eksotermis,
yakni suhu kayu meningkat dengan mencolok, kandungan
oksigen menurun, serta kandungan hidrogen dan hidrokarbon
meningkat.
b. Kelompok cairan
(1) Asam : asam format, asam asetat, asam propionate,asam
butirat, asam valerat, asam isokaproat dan metil ester.
(2) Alkohol : metal, etil, propel, allil, isoamil, dan isobutyl.
(3) Aldehid : formaldehid, acetaldehid, furfural, metal
furfural.
(4) Keton : aseton, meti-etil keton, metal propil keton, etil
propel keton.
(5) Hidrokarbon: xilene, cumene, cymene
(6) Fenol (catechol)
(7) Piridine dan metal pyridine
c. Kelompok tar
Cairan tar ini terdiri dari minyak tar dengan gravitas
rendah memiliki titik didih di bawah 140
o
C dan terdiri dari:
(1) Aldehid valerat
(2) Furan: furan, metal furan, dimetil-furan dan trimetil furan.
68
Minyak tar dengan gravitas tinggi memiliki titik didih
200
o
C, yang terdiri dari:
(1) Fenol dan turunan fenol: o-, m- dan p- kresol, xilenol, etil
fenol, catechol, guaicol, ester dari pirogallol.
(2) Asam lignocerat.
Aroma substansi tar terutama terjadi sebagai hasil penguraian
lignin.
d. Kelompok karbon
Kelompok ini terdiri dari karbon monoksida dan karbon
dioksida. Jumlah karbon monoksida dalam asap tidak
bervariasi, tetapi karbon dioksida berfluktuasi dengan nyata.
Beberapa ahli juga mengklasifikasikan bahah-bahan asap
berdasar kelompok persenyawaannya yaitu: kelompok
asam organik, fenol, aldehid, keton dan sebagainya.
Tabel 4.2 Bahan Senyawa Utama Pada Asap
Klasifikasi Unsur-unsur
Asam organik
Fenol
Aldehid
Keton
Lain-lain
Asam semut, asam asetat, asampropionat,
asam butirat, asam valeriat,dst.
Fenol, fenol metoxil, klpk kresol, klpk
guaicol, klpk pirogallol,dst.
Formaldehid, asetaldehid, proprioaldehid,
furfural, metal furfural,dst.
Aseton, metal letil keton, metal propel
keton,dst.
Metanol, etanol, asam semut metal,
ammonia, metil amino, trimetil amino,dst.
Sumber: Purnomo dan Salasa, 2002.
3. Kandungan benzopirene dalam asap dan ikan asap
Pada kondisi tertentu asap dan ikan yang diasapi dapat
mengandung polynuclear aromatic hydrocarbon C20H20 yang
bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker atau
tumor pada manusia atau binatang pada kondisi tertentu.
Hampir semua jumlah kandungan 3,4 benzopirene terdapat
69
dalam tar, dan jumlahnya tergantung pada kondisi penghasil
asap dan metode pengasapan yang diterapkan. Hasil penelitian
mengenai kandungan 3,4 benzopirene ikan asap terdapat dalam
Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kandungan 3,4 Benzopirene Dalam Ikan Diasapi
Dengan Berbagai Metode Pengasapan Panas.
Hembusan untuk
membakar 1 kg
kayu (m3/jam)
Temperatur
pembakaran
oC
Kandungan 3,4 benzopirene
Per m3 asap Per gram tar
1 2 3 4 5 6 7 8
Tanpa hembusan
3
5
366
460
580
555
650
750
25,7
58,1
47,9
24,5
56,7
47,9
1,2
1,4
----
5,2
5,2
18,7
3,3
4,7
7,3
2,3
2,1
1,7
Sumber :Purnomo dan Salasa, 2002
Keterangan:
1. Temperatur pembakaran minimum
2. Temperatur pembakaran maksimum
3. Total 3,4 benzopirene per m
3
asap
4. 3,4 benzopirene per m
3
asap, dalam tar
5. 3,4 benzopirene per m
3
asap, dalam cairan
6. 3,4 benzopirene per gram tar, dari asap
7. 3,4 benzopirene per gram tar, dari dinding pengasap
8. 3,4 benzopirene per gram tar, dari 1 kg ikan asap
Tabel 4.4 Hubungan Kandungan 3,4 Benzopirene Dengan
Metode Pengasapan
Pengasapan Bahan Bakar Rata-rata
Temperatur oC
Kandungan 3,4
benzopirene
Dalam
ikan(/kg)
Dalam
asap(/m3)
Pengasapan dingin biasa
+ asap cair
Pengasapan panas biasa
Dengan alat pengasapan,
terowongan
Elektrostatik
Serbuk gergaji
Sda
Batangan
Tatal
Serbuk gergaji
295
295
610
770
295
0,8
1,0
12
34
3,1
0,5
--
35
55
--
Sumber: Purnomo dan Salasa, 2002
70
4. Ikan sebagai bahan baku pengasapan
Di negara kita jenis-jenis ikan yang diolah dengan metode
pengasapan di antaranya yaitu : cakalang, madidihang,
tongkol, layang, bandeng, teripang, cumi-cumi, teri dan
sebagainya. Jenis-jenis ikan yang berkadar lemak rendah
sangat mudah mengering sewaktu diasapi, akan tetapi
penampilannya kurang menarik, bau dan rasa kurang sedap.
Sedangkan ikan yang berkadar lemak tinggi sulit mengering
sewaktu diasapi dan mudah mengalami ketengikan. Kadar
lemak optimum ikan untuk produk pengasapan yaitu 7-10
persen untuk pengasapan dingin dan 10-15 persen untuk
produk pengasapan panas.
Seperti halnya pengolahan ikan pada umumnya,
pengasapan ikan tidak dapat menyembunyikan karakteristik
dari ikan yang sudah mundur mutunya. sebab itu, untuk
mendapatkan ikan asap yang bermutu harus menggunakan
bahan mentah yang masih segar.
a. Daya simpan
Dari asap, ikan menyerap zat-zat seperti aldehid, fenol
dan asam-asam organik yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri (bakteriostatik) dan membunuh bakteri (bakterisidal).
Kelompok aldehid yang memiliki daya sterilisasi paling kuat
yaitu formaldehid. Suatu penelitian mengenai dampak
sterilisasi dari pengasapan mengungkapkan bahwa bakteri yang
tidak membentuk spora seperti Bacterium proteus vulgaris atau
Staphylococci, yaitu kurang tahan terhadap asap dan dapat
dibasmi dengan pengasapan singkat. Sementara bakteri yang
membentuk spora seperti Bacillus subtilis dan B. mesentericus
memiliki ketahanan yang lebih besar.
Akan tetapi jumlah zat yang bersifat bakteriostatik atau
bakteriosidal yang dapat diserap hanya sedikit sekali, maka
daya pengawetannya sangat terbatas. Oleh sebab itu,
pengawetan dengan pengasapan harus diikuti dengan cara
71
pengawetan lainnnya, terutama ikan asap akan disimpan dalam
waktu relatif lama.
b. Penampilan ikan
Kulit ikan yang sudah diasapi biasanya akan menjadi
mengilat. Warna mengilat ini disebabkan sebab timbulnya
reaksi kimia dari senyawa yang terdapat dalam asap, yaitu
formaldehid dengan fenol yang menghasilkan lapisan dammar
tiruan pada permukaan ikan, sehingga menjadi mengilat. Untuk
berlangsungnya reaksi ini diperlukan suasana asam, dan asam
ini telah tersedia di dalam asap itu sendiri.
c. Perubahan warna
Pengasapan ikan menyebabkan warna ikan akan berubah
menjadi kuning emas kecokelatan. Warna ini dihasilkan oleh
reaksi kimia fenol dengan oksigen dari udara. Proses oksidasi
akan berjalan cepat bila lingkungan bersifat asam. Hal ini juga
tersedia pada ikan yang diasapi.
d. Cita rasa
Setelah diasapi, ikan memiliki cita rasa dan aroma
yang sangat spesifik, yaitu rasa keasap-asapan yang sedap. Cita
rasa dan aroma ini dihasilkan oleh senyawa asam, fenol,
aldehid dan zat-zat lain sebagai pembantu untuk bisa
menghasilkan rasa ini .
B. Proses Pengasapan Ikan
Dalam proses pengasapan ikan pada prinsipnya terdapat
beberapa proses pengawetan ikan yaitu: penggaraman,
pengeringan, pemanasan dan pengasapan.
72
BBahan Baku
B
Ikan Beku
Ikan Segar
Pencucian
Pelelehan
Penyiangan
Pembentukan
Pengasapan dengan
kayu bakar
Pengasapan
degan asap cair
Perendaman
Penyusunan
Pengasapan
Perendaman
Penyusunan
Pengeringan
Pendinginan
Pengepakan
Gambar 4.1. Diagram Alir Proses Ikan Asap
Sumber: BSN, SNI 2725.3:2009.
Secara umum proses pengasapan ikan yaitu sebagai berikut:
1. Perlakuan pendahuluan
Ikan yang akan diasapi terlebih dahulu disortir
menurut jenis, ukuran dan mutu kesegarannya, selanjutnya
harus dibersihkan dari kotoran yang dapat mencemari
produk, dengan cara dicuci dengan air bersih dan disiangi
(dikeluarkan isi perut dan insangnya). Persyaratan bahan
baku ikan asap sebaiknya sesuai SNI 2725.2:2009. Mutu
bahan baku segar sesuai SNI 01-2729.2-1006: Ikan segar
dan mutu bahan baku beku sesuai SNI 01-4110.2-2006 :
Ikan beku. Bentuk ikan segar dan beku yang sudah atau
belum disiangi. Bahan baku berasal dari perairan yang tidak
tercemar. Bahan baku disimpan dalam wadah dengan
menggunakan es dengan suhu pusat bahan baku maksimal
5
o
C untuk bahan baku segar dan -18
o
C untuk bahan baku
beku, disimpan secara saniter dan higienis.
Bila menggunakan bahan baku ikan yang dibekukan,
ikan dicairkan pada air mengalir. Untuk proses pencairan
73
ini, penting untuk menjaga ikan tetap dalam keadaan
setengah beku untuk keperluan proses selanjutnya. Dalam
mengeluarkan bagian dalam ikan, harus dilakukan dengan
hati-hati agar tidak merusak penampilan fisik hasil
perikanan.
Hasil penelitian (Horner, 1992), mutu bahan baku
memengaruhi tingkat pembentukan warna cokelat pada
permukaan otot ikan. Oleh sebab itu, kualitas bahan baku
akan memengaruhi tampilan dan tekstur ikan asap.
Tabel 4.5 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku
Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b. Cemaran mikroba
- ALT
- Escherichia coli
- Salmonella
- Vibrio cholerae
Koloni/g
APM/g
per 25 g
per 25 g
Maksimal 5,0 x 10
5
Maksimal < 2
Negative
Negative
c. Cemaran kimia*
- Raksa (Hg)
- Timbal (Pb)
- Histamin
- Cadmium (Cd)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maksimal 1
Maksimal 0,4
Maksimal 100
Maksimal 0,1
d. Fisika
- Suhu pusat
o
C
Maksimal -18
e. Parasit Ekor Maksimal 0
*) Bila diperlukan
Sumber: SNI 01-4110.1-2006
Penggunaan es (balok dan curai) untuk
mempertahankan kesegaran ikan mengacu pada
SNI 01-4872.1-2008 di mana air sebagai bahan baku es,
harus sesuai syarat air minum.
74
Tabel 4.6. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Es untuk
Penanganan Ikan
Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1-9) 7
b. Cemaran Mikroba
- ALT
Suhu 22
o
C
Suhu 37
o
C
- E.Coli/coliform
- Enterococcus*
Koloni/ml
Koloni/ml
Koloni/ml
Koloni/ml
Maksimal 1,0x10
5
Maksimal 2,0x10
0
0
c. Cemaran kimia
- pH
- Nitrat*
- Besi
- Klorida
- Free klorin
Angka (1-14)
mg/ml
mg/L
mg/L
mg/L
6,5-8,5
Maksimal 0,5
Maksimal 200
Maksimal 250
Maksimal 0,5
d. Fisika*
Suhu pusat
o
C
Maksimal -3
Catatan:*untuk es balok
** jika diperlukan
Sumber: BSN; SNI 01-4872.1-2006
2. Penggaraman
Ikan yang sudah bersih atau sudah mengalami
perlakuan pendahuluan (sudah dicuci dan disiangi)
dilakukan proses penggaraman. Penggaraman ini dapat
dilakukan baik dengan cara penggaraman kering (dry
salting) maupun penggaraman dengan larutan garam (brine
salting). Penggaraman ini menyebabkan terjadinya
penarikan air dan penggumpalan protein dalam daging ikan
sehingga mengakibatkan tekstur ikan menjadi lebih kompak.
Pada konsentrasi yang agak tinggi, garam dapat
menghambat perkembangan bakteri dan perubahan warna.
Di samping hal ini , garam juga memberikan flavor,
tetapi kemurnian dan kepekatan garam yang digunakan
harus benar-benar terkontrol. Kepekatan dan lamanya proses
penggaraman tergantung pada keinginan pengolah yang
disesuaikan dengan selera konsumen.
75
Pada perusahaan pengasapan, umumnya menggunakan
metode penggaraman larutan dengan kejenuhan garam
70-80 persen. Larutan garam dengan kejenuhan 100 persen
akan merusak produk yaitu dengan terbentuknya kristal
garam di atas permukaan ikan. Sebaliknya, bila
menggunakan larutan garam yang memiliki kejenuhan
50 persen, ikan dapat sedikit mengembang. Walaupun ikan
dapat menyerap garam 2-3 persen, ikan juga dapat
bertambah beratnya 2-3 persen akibat dari air yang diserap
dan air ini harus diuapkan selama proses pengasapan.
Penggunaan bahan pembantu garam ini sebaiknya sesuai
SNI 01-4435-2000.
Tabel 4.7 Syarat Mutu Garam Bahan Baku untuk
Industri Garam Beryodium
No. Kriteria
Uji
Satuan Persyaratan
1.
2.
3.
Keadaan:
-Bau
-Rasa
-Warna
Natrium
klorida
(NaCl)
Air (H2O)
-
-
-
%(b/b)
Normal
Asin
Putih normal
Min.94,7
Maks.7
Sumber :SNI 01-4435-2000
3. Pengeringan
Setelah penggaraman dan pencucian dengan air tawar,
lalu dilakukan tahap pengeringan yaitu untuk
menghilangkan sebagian air sebelum proses pengasapan.
Proses pengeringan ini sangat menentukan kekompakan atau
kekenyalan produk asap. Jika daging ikan yang sangat basah
langsung diasapi tanpa dilakukan pengeringan maka banyak
kandungan air dari permukaan ikan yang akan menguap dan
terjadi destilasi. Produk destilasi dari pembakaran kayu yang
76
utama yaitu bahan semacam tar dan akan menempel pada
permukaan ikan, sehingga permukaan ikan berwarna cokelat
tua gelap dan jelek.
Untuk mengatasi fragmentasi (kerapuhan) pada ikan
asap perlu dilakukan pengeringan selama 1 jam pada suhu
25
o
C dan kelembaban relatif 40-50 persen sebelum diasap
dapat mengurangi kelembaban ikan sampai 50 persen.
Selain itu penanganan yang berlebihan selama pengasapan
turut berkontribusi pada kerapuhan ikan asap.
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara
menggantung ikan di atas rak-rak pengering di udara
terbuka. Hal ini dapat dilakukan pada kondisi iklim yang
kelembaban nisbihnya rendah. Akan tetapi, bila iklim
setempat memiliki kelembaban yang tinggi hingga proses
pengeringan menjadi lambat, maka tahap pengering harus
dilakukan dalam lemari-lemari pengering.
Protein ikan yang larut dalam garam akan membentuk
larutan yang agak lengket. Kondisi ini setelah kering akan
mengakibatkan permukaan ikan menjadi mengkilap. Kilap
ini merupakan salah satu kriteria yang diinginkan untuk ikan
asap yang bermutu baik. Kilap yang menarik dapat
diperoleh dengan menggunakan garam dengan kejenuhan
70-80%. Kejenuhan yang lebih rendah atau lebih tinggi akan
mengakibatkan rupa yang agak suram.
Melaui pengeringan yang benar, permukaan ikan pada
bagian dalam menjadi lebih kering. Banyak kandungan air
menguap dari bagian interseluler ikan dan meninggalkan
celah-celah antara sel di lapisan permukaan. Hal ini dapat
menyebabkan ikan dapat menyerap warna dan bau asap
dengan baik pada saat pengasapan.
Ikan yang berkadar lemak tinggi, pada pengeringan
pendahuluannya harus dipersingkat dengan menaikkan
sedikit suhunya, sebab lemak dapat menghambat
pengeringan permukaan. Di samping itu, lemak
77
menghambat perembesan air ke permukaan sehingga waktu
yang diperlukan untuk proses pengeringan menjadi lebih
lama.
4. Penataan
Penataan ikan diatur sedemikian rupa dalam ruang
pengasapan bertujuan untuk mendapatkan aliran asap dan
panas yang merata di mana hal ini sangat menentukan
kualitas produk akhir. Untuk mendapatkan aliran asap dan
panas yang merata, jarak antara ikan-ikan pada rak pengasap
dan jarak antara masing-masing rak pengasapan dalam
ruang pengasapan tidak boleh terlalu rapat.
5. Pengasapan
Tujuan pengasapan dalam pengawetan ikan yaitu
untuk mengawetkan dan memberi warna serta rasa asap
yang khas pada ikan. Sebenarnya, daya awet yang
ditimbulkan oleh asap sangat terbatas, sehingga supaya ikan
dapat tahan lama maka harus diikuti atau didahului oleh cara
pengawetan lain.
Pengasapan juga bertujuan untuk mengeluarkan uap
dari unsur-unsur senyawa fenol atau aldehid dari jenis kayu
yang dilekatkan pada tubuh ikan atau untuk memasukkan
unsur-unsur ini ke dalam tubuh ikan sehingga
menghasilkan rasa dan aroma yang khas, serta
mengeringkan ikan sehingga didapat efek pengawetan yang
diharapkan. Rasa lezat yang menjadi ciri khas produk ikan
yang diasap, terutama dari senyawa fenol dan aldehid.
Unsur fenol meleleh pada lemak yang ada pada bagian kulit
luar ikan dan mengendalikan oksidasi otomatis pada bagian
berlemak ini, sehingga mencegah terjadinya perubahan
warna kemerahan pada produk akhir. Unsur dalam asap,
yang efektif untuk menahan berkembang biaknya
mikroorganisme yaitu senyawa aldehid, fenol dan asam
organik.
78
Sveinsdttior, 1998 menyatakan bahwa senyawa asap
dapat mengurangi pH permukaan ikan dengan demikian
membuat lingkungan ikan asap kurang menguntungkan bagi
sebagian besar bakteri. Dikatakan pula bahwa pembentukan
warna selama pengasapan diduga disebabkan oleh reaksi
Maillard di mana komponen asap memainkan peran yang
dominan. Zat anti bakteri pada unsur aldehid sangatlah kuat.
sebab senyawa-senyawa yang terdapat di dalam asap yang
mengandung zat antibakteri ini tidak ikut masuk ke dalam
produk ikan, maka efek anti pembusukan terdapat hanya di
sekitar permukaan kulit ikan saja. Dengan kata lain,
meningkatnya efek pengawetan pada produk akibat
pengasapan dihasilkan dari proses pengeringan dan
penggaraman, yang meresap masuk (infiltrate) ke dalam
produk ikan.
Pada pengasapan dingin, panas yang timbul dari asap
tidak berpengaruh banyak pada ikan. Sehingga waktu
pengasapan harus lama sebab jarak antara sumber asap dan
ikan cukup jauh. sebab pengasapannya lama, maka
kadang-kadang ikan menjadi keras seperti kayu.
Pada pengasapan panas, jarak antara ikan dan sumber
asap biasanya dekat. Maka suhunya cukup tinggi, sehingga
ikan cepat matang. Panas yang tinggi dapat menghentikan
kegiatan enzim yang tidak diinginkan, menggumpalkan
protein, dan menguapkan sebagian air dalam badan ikan,
sehingga daya awet ikan dapat ditingkatkan.
Terjadinya proses pengeringan selama pengasapan
maka pengurangan kadar air bersama-sama dengan daya
pengawet dari asap, sehingga pengasapan memiliki daya
pembunuh bakteri (bactericidal), yang kekuatannya
tergantung dari banyaknya asap yang terserap.
Pada umumnya terdapat dua metode pengasapan yang
telah lama dilakukan yaitu pengasapan panas dan
pengasapan dingin. Namun dewasa ini di negara-negara
79
maju telah dikembangkan dengan menggunakan listrik
(electric smoking).
Untuk mengefisiensikan waktu dan tenaga,
dikembangkan pula penggunaan asap cair (liquid smoke),
yaitu dengan mencelupkan ikan ke dalam larutan bahan-
bahan asap (smoke concentrate) setelah itu baru
dikeringkan. Asap cair ini diperoleh dari penyulingan kering
(dry destilation) asap kayu. Percobaan-percobaan masih
terus dilakukan untuk mencari jenis asap cair yang dapat
memberikan hasil yang memuaskan tanpa menimbulkan
akibat yang merugikan bagi konsumen.
Selain itu, penanganan yang berlebihan selama
pengasapan turut berkontribusi pada kerapuhan ikan asap
(Njai,2000), maka dianjurkan untuk menggunakan baki
sehingga mudah dipindahkan ke bagian yang berbeda dari
tempat pengasapan agar semua ikan mendapat pengasapan
yang merata (Horner, 1992).
Selanjutnya akan dijelaskan di bawah ini, ada lima
jenis proses pengasapan yaitu, pengasapan dingin(cold
smoking), pengasapan hangat (warm smoking), pengasapan
panas(hot smoking), pengasapan cair (liquid smoke), dan
pengasapan listrik (electric smoking).
a. Pengasapan panas (Hot smoking)
Pada pengasapan panas, suhu asap mencapai
120-140
o
C dalam waktu 2-4 jam, dan suhu pada pusat ikan
dapat mencapai 60
o
C. Pada pengasapan panas ini di
samping terjadi penyerapan asap, ikan juga menjadi matang.
Rasa ikan asap ini sangat sedap dan berdaging lunak, tetapi
tidak tahan lama, dengan kata lain harus dikonsumsi
secepatnya. Kecuali bila suhu ruang penyimpanan rendah.
Hal ini disebabkan oleh kadar air dalam daging ikan masih
tinggi (>50%).
Menurut Horner (1992), untuk mengurangi akumulasi
Polynuclear Aromatic Hydrocarbon (PAH) pada ikan, maka
80
selama pengasapan panas suhunya harus diturunkan
(70-80
o
C).
b. Pengasapan hangat (warm smoking)
Bahan baku ikan, setelah direndam dalam larutan
garam, diasap kering pada suhu sekitar 30
o
C, kemudian
secara bertahap suhu dinaikkan. Bila telah mencapai suhu
90
o
C, proses pengasapan selesai. Proses ini menitikberatkan
pada pentingnya aroma dan cita rasa produk dan bertujuan
menghasilkan produk yang diasap yang lembut dan kadar
garam kurang dari 5 persen serta kadar air sekitar 50 persen.
Produk yang dihasilkan dari proses ini mengandung kadar
air yang relatif tinggi, sehingga mudah busuk, mutu
produknya juga cepat menurun selama proses penyimpanan,
sehingga harus disimpan dalam suhu rendah.
c. Pengasapan dingin (cold smoking)
Pada pengasapan dingin suhu asap tidak boleh melebihi
20-40
o
C dalam waktu 1-3 minggu, kelembaban (RH) yang
terbaik yaitu antara 60-70 persen. Kelembaban di atas 70
persen menyebabkan proses pengeringan berlangsung
sangat lambat. Bila di bawah 60 persen permukaan ikan
mengering terlalu cepat, dan akan menghambat penguapan
air dari dalam daging. Selama pengasapan, ikan akan
menyerap banyak asap dan menjadi kering, sebab airnya
terus menguap. Supaya tahan lama biasanya ikan diasapi
dengan metode ini. Produk asap dengan cara ini disebut ikan
kayu, sebab memang sangat keras seperti kayu. Kadar
airnya 20-40 persen. Produk dapat disimpan selama lebih
dari satu bulan.
d. Pengasapan cair (liquid smoke)
Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel padat
dan cair dalam medium gas (Girard, 1992). Sedangkan asap
cair merupakan campuran larutan dari dispersi asap kayu
dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap
81
hasil pirolisis kayu. Cara yang paling umum digunakan
untuk menghasilkan asap pada pengasapan makanan yaitu
dengan membakar serbuk gergaji kayu keras dalam suatu
tempat yang disebut alat pembangkit asap ( Maga, 1987)
kemudian asap ini dialirkan ke rumah asap dalam
kondisi sirkulasi udara dan temperatur yang terkontrol.
Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran yang tidak
sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi sebab
pengaruh panas, polimerisasi, dan kondensasi ( Girard,
1992).
Asap cair mengandung berbagai senyawa yang
terbentuk sebab terjadinya pirolisis tiga komponen kayu
yaitu : selulosa, hemiselulosa, dan ignin. Lebih dari 400
senyawa kimia dalam asap telah berhasil diidentifikasi.
Dalam proses pengasapan cair, aroma asap yang akan
dihasilkan pada proses pengasapan didapat tanpa melalui
proses pengasapan, melainkan melalui penambahan cairan
bahan pengasap (smoking agent) ke dalam produk. Bahan
baku ikan direndam dalam wood acid, yang didapat dari
hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil
ekstrak yang ditambahi pewangi kayu, yang hampir sama
dengan aroma pada pengasapan, setelah itu ikan dikeringkan
dan menjadi produk akhir. Metode penambahan bahan
pengasap ke dalam ikan, dapat dilakukan melalui penuangan
langsung, pengasapan, pengolesan atau penyemprotan.
Melalui proses ini tidak diperlukan lagi ruang tempat
pengasapan atau alat pengasap yang menjadi keuntungan
dari proses ini, namun aroma produk yang dihasilkan jauh di
bawah dari aroma produk yang dilakukan dengan proses
pengasapan sesungguhnya.
e. Pengasapan listrik (electric smoking)
Metode pengasapan listrik, ikan diasapi dengan asap
yang telah terkena pancaran gelombang listrik, ikan diasapi
dengan asap yang telah terkena pancaran gelombang
82
elektromagnetik yang berbentuk korona yang dihasilkan
oleh tenaga listrik (asap yang bermuatan listrik).
Pada metode ini asap yang bermuatan listrik ini
dapat melekat ke permukaan ikan lebih mudah daripada
metode pengasapan panas atau dingin.
6. Pendinginan dan Pengemasan
Proses pengasapan pada umumnya diakhiri dengan
tahap pendinginan dan pengemasan. Setelah selesai tahap
pengasapan, produk disimpan dalam ruangan yang bersih
dan dibiarkan sehingga mencapai suhu ruang, kemudian
dilaksanakan pengemasan. Pengemasan dapat digunakan
plastik polietilen dan untuk memperpanjang umur simpanan
produk dapat dilakukan pengemasan hampa udara.
Penjelasan dari Sveinsdottir (1998), bahwa sebelum
pengemasan, ikan harus didinginkan, pada saat itu banyak
uap air menguap. Jika ikan dikemas ketika sedang hangat,
uap air akan mengembun di permukaan dan mendorong
pertumbuhan jamur. Kemasan merupakan bagian penting
dari pengolahan makanan sebab mefasilitasi penanganan
selama penyimpanan dan distribusi dalam rantai pemasaran.
Bahan kemasan harus memiliki karakteristik tertentu, seperti
kekuatan yang memadai untuk melindungi produk yang
dikemas dari kerusakan, harus siap tersedia dan mudah
digunakan, dan harus bersih untuk mencegah kontaminasi
oleh zat yang tidak diinginkan.
C. Peralatan Pengasapan
Peralatan paling spesifik yang digunakan dalam
pengasapan yaitu tempat pengasapan atau mesin/alat
pengasapan. Peralatan pengasapan yang dipergunakan dapat
dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu peralatan pengasapan
tradisional dan peralatan pengasap modern.
83
(1) Peralatan Pengasapan Tradisional
Peralatan pengasapan yang ada dan berkembang di
negara kita yaitu pengasapan tradisional, di antaranya:
(a) Gubug Pengasapan
Ukuran gubug tempat pengasapan ini biasanya yaitu
10x5 m. Pengasapan ikan dilakukan di dalam gubug ini. Ikan
diserakkan di atas para-para. Sumber asap berasal dari kayu
jenis tertentu, seperti kayu seru, tempurung/sabut kelapa,dan
lain-lain yang dibakar di dasar lantai, gubug tempat
pengasapan ini banyak digunakan oleh nelayan.
Gambar 4.2. Gubug Pengasapan
(b) Drum Pengasapan
Drum bekas yang bersih dilengkapi dengan cantelan atau
kaitan untuk menaruh ikan, potongan bambu atau kawat
sebagai penggantung ikan yang akan diasapi. Di atas drum ini
diberi tutup, sekaligus sebagai pengatur ketebalan asap, atau
bagian bawah drum itu dijadikan tungku. Kapasitas alat
pengasap ini sangat terbatas dan kurang efisien untuk
pengasapan ikan dalam jumlah besar.
84
Gambar 4.3. Drum Pengasapan
(c) Rumah Pengasapan
Alat ini diciptakan dan diperkenalkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Konstruksi alat ini
terdiri dari tiga bagian susunan terpisah yaitu: ruang
pengasapan, tumpukan rak dan tutup di bagian atasnya. Ukuran
1,5x1,5 m dan tingginya tergantung dari tumpukan rak yang
digunakan. Dinding ruang pengasapan dari seng dengan
bingkai kayu, tinggi dapur satu meter. Sebagai tempat perapian
digunakan drum yang diletakkan dalam ruang pengasapan yang
dilengkapi dengan lubang yang menghadap ke atas untuk
keluarnya panas dan asap. Rak untuk meletakkan ikan terbuat
dari bingkai kayu, beralas krei bambu. Tutup rumah asap
berbentuk atap rumah, terbuat dari seng dengan bingkai kayu.
Hasil percobaan dengan alat ini menunjukkan bahwa untuk
mengasapi 250 kg ikan dengan rendemen produk akhir sekitar
30 persen dibutuhkan waktu ± 18 jam dengan konsumsi kayu
bakar sekitar 2 kg/jam.
85
Gambar 4.4 Rumah Pengasapan
Menurut Amril (2007), teknik yang digunakan sebagai
pengusaha ikan asap di Bogor pada proses pengasapan saat ini
boleh dibilang cukup efisien. Pasalnya, hanya dalam waktu 4
jam, ikan asap sudah matang dan siap untuk dikemas. Padahal
para pengolah ikan asap di Sumatera rata-rata membutuhkan
waktu tidak kurang dari 30 jam untuk proses pengasapan.
(d) Lemari Asap
Dengan menggunakan tempat pengasapan berbentuk
lemari yang dapat ditutup rapat, panas dan asap kayu dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ikan digantungkan pada
palang-palang kayu atau besi diletakkan pada rak dalam lemari.
Sumber panas dan asapnya terdapat di bagian bawah, sehingga
panas dan asap yang terbentuk dapat langsung atau melewati
terowongan asap masuk ke dalam ruangan asap. Di bagian atas
lemari diberi saluran untuk pengeluaran asap.
86
Gambar 4.5 Lemari asap
Alat ini mudah dioperasikan, waktu yang digunakan
dalam setiap pemrosesan lebih cepat (10-15 menit)
dibandingkan dengan alat tradisional (3-6 jam), kapasitas alat
25 kg/proses, hasil ikan asapnya lebih nikmat sebab adanya
tambahan rempah-rempah, ikan asap tahan 3-5 hari jika
ditambahkan asap cair, dan produk ikan asap lebih higienis
sebab tidak terkotori oleh lalat dan debu. Alat ini tahan karat
sehingga akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan
pengasap ikan (Sukoyo, dkk, 2010).
(2) Peralatan Pengasapan Modern
(a) Peralatan Pengasapan Listrik
Dalam ruang pengasapan listrik dipasang sepasang kabel
yang dialiri listrik dengan arus listrik langsung (direct current)
atau tak langsung (indirect current) dengan tegangan tinggi
(10-20 ribu volt) yang menyebabkan pancaran gelombang
elektromagnetik berbentuk korona.
Di dasar ruang asap, kayu/ serbuk gergaji dibakar seperti
biasa. Asap yang terbentuk akan dialiri dengan listrik
bermuatan positif dan negatif oleh pancaran elektromagnetik
berbentuk korona.
87
Ikan digantung pada kabel listrik yang melintas di ruang
pengasap dengan menggunakan kawat logam, dan ikan-ikan
ini berperan sebagai elektroda positif(+) dan negatif (-)
sehingga asap yang bermuatan listrik positif(+) mengalir ke
arah ikan yang bermuatan negatif (-) dan sebaliknya asap yang
merbuatan negatif(-) mengalir ke arah ikan yang berperan
sebagai elektroda positif.
Gambar 4.6 Pengasapan Listrik
Apabila digunakan arus listrik langsung (direct current),
tegangan listrik dapat dinaikkan dengan neontransformer.
Untuk pengasapan ikan kecil-kecil, sebagai elektrodanya dapat
digunakan jarring kawat logam. Sedangkan untuk proses yang
berjalan berkelanjutan digunakan ban berjalan.
(b) Pengasap Mekanik
Di beberapa negara maju telah dikembangkan berbagai
unit pengasapan mekanik, dalam usaha untuk memperbaiki
proses pengasapan. Dalam unit pengasapan mekanis dibuat
perapian khusus (smoke generator) di luar ruang asap. Asap
dialirkan ke dalam ruang asap melalui pipa. Suhu pengasapan
88
dapat dijaga dan asap yang mengalir dapat dikontrol secara
mekanis.
Beberapa unit pengasap mekanis yang telah dikembangkan:
1. Mecanical kiln for smoked fish, yang dikembangkan di
Jepang
2. Hot smoking kiln yang digunakan di CIS
D. Mutu, Sanitasi, dan Higienitas Ikan Asap
Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan asap, yaitu
dengan menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Cara
lain dengan pengujian fisik, kimiawi dan mikrobiologis yang
tentu saja memerlukan teknik, peralatan, dan tenaga khusus
yang tidak mudah dan tidak murah. Penilaian mutu secara
sensori sudah sangat memadai jika dilakukan dengan baik dan
benar. Mutu berbagai ikan yang diasapkan dapat dilihat pada
Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Komponen Kimia Beberapa Produk Ikan Asap
Jenis Ikan Asap Air
%
Protein
%
Lemak
%
Abu
%
Garam
%
Bandeng segar 70,4 22,84 1,51 2,15 1,58
Pindang bandeng 65,5 21,7 6,16 6,10 1,92
Bandeng asap 54-59 27-40 2,5-6,0 2,5-5,0 -
Sidat asap 60,9 26,4 7,5 6,0 -
Teripang asap 18,3-53,6 19,3-79,5 0,6-2,3 25,6-16,7 -
Sumber: Adawyah, 2007.
89
Ada lima parameter sensori utama yang perlu dinilai, yaitu
penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Adanya jamur dan
lendir juga perlu diamati. Kriteria dan deskripsi mutu sensoris
ikan asap seperti pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Kriteria Mutu Sensoris Ikan Asap
Parameter Deskripsi Mutu Ikan Asap
Penampakan Permukaan mutu ikan asap cerah, cemerlang, dan mengilap. Apabila kusam
dan suram menunjukkan bahwa ikan yang diasap kurang bagus mutunya atau
sebab perlakuan dan proses pengasapan tidak dilakukan dengan baik dan
benar. Tidak tampak adanya kotoran berupa darah yang mongering, sisa isi
perut, abu, atau kotoran lainnya. Adanya kotoran semacam itu menjadi
indikasi kalau pengolahan dan pengasapan tidak baik. Apabila pada
permukaan ikan terdapat deposit Kristal garam maka hal itu menunjukkan
bahwa penggaraman terlalu berat dan tentunya rasanya sangat asin. Tidak
tampak tanda-tanda adanya jamur atau lendir.
Warna Ikan asap berwarna cokelat keemasan, cokelat kekuningan, atau cokelat agak
gelap. Warna kana sap tersebar merata. Adanya warna kemerahan di sekitar
tulang atau berwarna gelap di bagian perut menunjukkan bahwa ikan yang
diasap sudah bermutu rendah.
Bau Bau asap lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau
busuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam, dan tanpa bau apek.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir atau
pahit, dan tidak terasa tengik.
Tekstur Tekstur kompak, cukup elastic, tidak terlalu keras (kecuali produk tertentu
seperti ikan kayu), tidak lembek, tidak rapuh, dan tidak lengkaet. Hendaknya
kulit ikan tidak mudah dikelupas dari dagingnya.
Sumber: Adawyah,2007
Penilaian organoleptik atau sensori ikan asap mengacu
pada SNI 2725.1:2009 (Lembar penilaian sensori ikan asap).
Standar mutu ikan asap sebaiknya sesuai dengan
SNI 2725.1.2009.
90
Tabel 4.10 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan
Ikan Asap
Jenis Uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b. Cemaran mikroba*
-ALT
-Escherichia coli*
-Salmonella*
-Vibrio cholera*
-Staphylococcus
aureus*
Koloni/g,APM/g
per 25 g
per 25 g
Koloni/g
Maksimum 1x 10
5
Maksimal < 3
Negatif
Negatif
Maksimal 1x 10
3
c. Kimia*
-Kadar air
-Kadar histamine
-Kadar garam
% fraksi massa
mg/kg
%fraksi massa
Maksimal 60
Maksimal 100
Maksimal 4
Catatan *) Bila diperlukan
Sumber: BSN; SNI 2725.1.2009
Daya simpan ikan asap menurut Horner (1992),
merupakan kombinasi dari menurunnya aktivitas air dan
serapan komponen antioksidan asap kayu sebagai
bakteriosidal. Selain itu, suhu penyimpanan juga dapat
memengaruhi daya awet ikan asap. Faktor lain yaitu metode
pengeringan, prosedur pengasapan, jumlah komponen asap,
bahan kemasan dan kebersihan selama produksi (Sveinsdottir,
1998).
Penelitian yang dilakukan oleh Susilawati dan Erna
(2001) dengan menggunakan teknik pengasapan panas yaitu
metode pengasapan ikan lele dumbo dengan menggunakan
suhu tinggi (80-100 °C), dan dengan waktu 3-5 jam dengan
berbagai bahan baku sumber asap (tempurung kelapa, sabut
kelapa dan kayu dari pohon lamtorogung), hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengasap tempurung
kelapa selama penyimpanan 10 hari menghasilkan ikan lele
dumbo asap dengan mutu terbaik dan masih layak untuk
dikonsumsi, dengan karakteristik kadar air 48,47 persen, kadar
91
abu 4,13 persen, total mikroba anaerob 1,2 x 10
5 koloni/gram,
bilangan peroksida 0,0098 ml/gram, asam lemak bebas 2,12
persen, dengan uji organoleptik terbaik dengan kriteria
penampakan cukup menarik, bersih, berwarna cokelat tua
keemasan, aroma khas ikan asap, tekstur kompak dan kering.
Keamanan pangan yang perlu diperhatikan pada produk
ikan asap yaitu terhadap kemungkinan kontaminasi oleh
bakteri patogen Listeria monocytogenes yang dapat
menghasilkan toksin listeriosis. L.monocytogenes berimplikasi
menyebabkan gejala-gejala ringan gastrointestinal (radang
perut), bagi produk ready to eat pertumbuhannya di atas level
10
2
-10
3
per gram (IFST, 1999). L.monocytogenes dapat
tumbuh di bawah kondisi anaerobic atau microaerophili dan
pada temperatur (0 - 45°C) serta optimum pada 30 - 37°C.
Faktor-faktor pembatas dan ketahanan panas untuk
L.monocytogenes terdapat pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Faktor-Faktor Pembatas dan Ketahanan Panas
Listeria Monocytogenes
Parameter Range
Aw >0,92
Temperatur (
o
C) -0,4 – 45 (Optimum 30-37)
pH 4,5 – 9,6
NaCl <0,5-10
Heat resistence D60=2,4-16,7 min in meat
D60=1,95-4,48 min in fish
Sumber: Orozco , 2000.
Sumber L. monocytogenes berasal dari beberapa
lingkungan alamiah seperti air, tanah, sampah, lumpur, hewan
dan faeces. Siklus infeksi L.monocytogenes pada manusia
dapat dilihat pada Gambar 4.7.
92
Humans
Fish/Shellfish
FaecesWater
Fruit
vegetables
Soil
AnimalFeed/Forage
Milk
Meal
Insects
Gambar 4.7 Siklus Infeksi Listeria monocytogenes
Sumber: Orozco, 2000.
Produk saat ini setelah tahap-tahap pemotongan ikan,
penggaraman atau pengasapan dingin tidak menurunkan atau
mengurangi L. monocytogenes. Penambahan garam
menurunkan aktivitas air sampai 0,95 tetapi hal ini tidak cukup
untuk menghambat pertumbuhan L. monocytogenes (Tabel
4.11). Ketika dilakukan penggaraman dengan tiba-tiba, risiko
re-kontaminasi dapat meningkat. Suhu normal tahap
pengasapan dingin (± 28
o
C) terlalu rendah untuk membunuh
bakteri pathogen dan refrigerasi serta pengemasan vakum tidak
menghentikan pertumbuhannya, tetapi telah dianjurkan bahwa
pengasapan dapat menghambat pengaruh L. monocytogenes.
Pada produk pengasapan dingin konsentrasi garam (2,5-4%)
dihubungkan dengan suhu refrigersi dapat menurunkan
pertumbuhan L. monocytogenes secara signifikan. Ketika
kondisi anaerobic diikuti pengemasan vacuum pertumbuhannya
lambat, kemungkinan saling kompetisi atau pengaruh
hambatan dari bakteri asam laktat (Orozco, 2000).
Saat ini teknik pengawetan baru untuk produk ikan
dengan pengasapan dingin sedang dipelajari. Sebagian fokus
pada perlindungan kultur untuk menghambat pertumbuhan
L. monocytogenes, seperti efek penghambatan dari bakteri
asam laktat (BAL) yang berbeda dan bakteriosin sebagai
biopreservatif (Duffes, 1999: Nilsson et al. 1999).
93
E. Pengaruh Proses Pengasapan Terhadap Aroma,
Citarasa dan Nilai Gizi Pangan
Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa
pengolahan pangan perlu dilakukan. Pertama, yaitu untuk
mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan
sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan ini
dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kedua, yaitu agar
bahan pangan ini dapat diterima, khususnya diterima
secara sensori, yang meliputi penampakan, aroma, warna, rasa
(mouthfeel , aftertaste) dan tekstur (kekerasan, kelembutan,
konsistensi, kekenyalan, kerenyahan). Di satu sisi pengolahan
dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat yang
diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik
secara sensori. Di sisi lain, pengolahan juga dapat
menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa
toksik sehingga produk menjadi kurang atau tidak aman,
kehilangan zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah yang
kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna,
tekstur, bau dan rasa yang kurang atau tidak disukai. Dengan
demikian diperlukan suatu usaha optimasi dalam suatu
pengolahan agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang
tidak diinginkan ditekan sampai minimal. Untuk itulah,
pentingnya pengetahuan akan pengaruh pengolahan terhadap
nilai gizi dan keamanan pangan. Walaupun demikian, hal yang
lebih penting yaitu bagaimana seharusnya melakukan suatu
pengolahan pangan agar bahan pangan yang kita hasilkan
bernilai gizi tinggi dan aman.
Pengolahan hasil perikanan merupakan suatu proses yang
terlibat mulai dari penanganan ikan setelah ditangkap sampai
kepada usaha pengawetan dan pengolahan menjadi produk jadi
serta penyimpanannya. Pemahaman yang benar dalam
pengolahan hasil perikanan sangat perlu bagi pengolah agar
produk yang disiapkannya aman dikonsumsi dan tidak banyak
berkurang gizinya.
94
Pengasapan yaitu salah satu teknik pengolahan
kombinasi antara perlakuan panas, komponen asap dan aliran
gas. Pengasapan biasanya dilakukan terhadap daging dan ikan.
Proses ini dapat memengaruhi nilai gizi pangan melalui
reaksi antara senyawa dalam asap dengan zat gizi bahan
pangan. Senyawa dalam asap dapat menyebabkan reaksi
oksidatif lemak pangan, mengganggu nilai hayati protein, dan
merusak beberapa vitamin (Harris dan Karmas, 1989).
Sejak tahun 1970-an telah diketahui terdapat sejumlah
300 senyawa kimia dalam asap. Kelompok senyawa kimia
dalam asap kayu yaitu karbonil (aldehid dan keton), asam
organik, fenolik, basa organik, alkohol, hidrokarbon, gas CO2,
CO, O2, dan nitrogen. Di antara senyawa asap ini ada
yang bersifat melindungi, yaitu yang bersifat antioksidan, dan
bakterisidal. Adapun kerja bakterisidal pengasapan merupakan
gambaran pengaruh pemanasan, pengeringan dan komponen
kimia asap. Namun demikian, faktor utama kerja bakterisidal
yaitu senyawa kimia asap. Pengasapan dapat melindungi
kerusakan zat gizi secara langsung, dan kerusakan
mikrobiologis sebab asap bersifat bakterisidal (Tejasari,
2005). Selanjutnya, dijelaskan bahwa, bagian penting
pengasapan yaitu perlakuan pengasapan dan pengeringan.
Panas menyebabkan denaturasi protein daging yang dimulai
pada suhu 40
o
C, dan optimal pada suhu 65-68
o
C. Peningkatan
suhu selanjutnya hingga 70
o
C menyebabkan daging yang
diasap berwarna kelabu akibat denaturasi mioglobin dan
hemoglobin.
Mutu protein daging dapat berubah sebab interaksi
antara komponen asap dengan komponen zat gizinya. Senyawa
fenolik bereaksi dengan gugus sulfhidril daging atau ikan
sedangkan gugus karbonil bereaksi dengan gugus amino
daging atau ikan. Sifat kelarutan protein mengalami penurunan
yang nyata akibat pengasapan. Pengasapan dapat mengurangi
lisin hingga 12 persen. Susut ini disebabkan oleh pengaruh
95
senyawa formaldehida dalam asap. Pengasapan selama 10 jam
menurunkan lisin sampai 44 persen. Kondensat asap yang
bermuatan netral menyebabkan menurunan lisin paling besar.
Hilangnya lisin biasanya terjadi pada tahap awal pengasapan
dengan api yang tinggi. Oleh sebab itu, penting bahwa suhu
rendah digunakan pada tahap awal (pra-pengeringan) dengan
kenaikan suhu bertahan untuk mempersiapkan waktu
pemrosesan dan menghindari kerugian gizi (Horner, 1992).
Kerusakan riboflavin dan niasin sebab pengasapan relatif
kecil yaitu sekitar 2-3 persen. Hal ini disebabkan vitamin
dilindungi oleh efek antioksidan dari beberapa senyawa asap
(Sveinsdóttir, 1998). Pengasapan setelah penggaraman
menyebabkan kehilangan tiamin sekitar 15-20 persen lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan penggaraman saja.
Susut ini dapat disebabkan oleh pengaruh panas juga (Tejasari,
2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa kerusakan tiamin akibat
curing cara kering yang diikuti pengasapan sebesar 16 persen,
lebih kecil daripada akibat curing cara basah sebesar 26 persen.
Adapun kerusakan niasin akibat curing cara curing dan basah
masing-masing 4 persen dan 19 persen. Sebaliknya, retensi
riboflavin akibat curing cara kering (57%) lebih rendah
dibandingkan retensi akibat curing cara basah (89%). Mineral
daging yang diasap tidak mengalami penurunan melainkan
terjadi peningkatan. Peningkatan kadar mineral daging asap
disebakan penambahan garam selama curing, dan akibat
penurunan kadar air selama proses pengasapan. Selain itu,sifat
mineral cukup mantap sehingga pengaruh pengasapan relatif
kecil.
96
97
KEBERHASILAN DAN PROSEDUR
PENGASAPAN IKAN
A. Keberhasilan Proses Pengasapan Ikan
TINGKAT keberhasilan proses pengasapan ikan
tergantung pada empat faktor utama (selain bahan baku) yang
saling berkaitan, yaitu: mutu dan volume asap; suhu dan
kelembaban ruang pengasapan;suhu dan lama pengasapan serta
sirkulasi udara dalam ruang pengasapan.
1. Mutu dan Volume Asap
Mutu dan volume asap yang dihasilkan tergantung pada
jenis kayu yang digunakan dalam proses pengasapan. Untuk
mendapatkan mutu dan volume asap sesuai yang diharapkan,
sebaiknya digunakan jenis kayu yang keras (non-resinous)
seperti kayu bakau, rasa mala, serbuk dan seratan kayu jati
serta tempurung kelapa sebagai bahan bakar. Asap yang
dihasilkan dari pembakaran kayu keras akan berbeda
komposisinya dengan asap yang dihasilkan dari pembakaran
kayu lunak. Pada umumnya kayu keras akan menghasilkan
aroma yang lebih unggul, lebih kaya kandungan aromatik dan
lebih banyak mengandung senyawa asam dibandingkan kayu
lunak. Bila menggunakan kayu yang lunak (resinous), asap
yang dihasilkan banyak mengandung senyawa yang dapat
menimbulkan hal dan bau yang tidak diinginkan. Dengan kata
lain, jenis kayu yang digunakan sebagai sumber asap sebaiknya
memenuhi tiga syarat, yaitu: keras, tidak mudah/cepat terbakar,
dapat menghasilkan asap dalam jumlah yang besar dan dalam
waktu lama.
BAB
V
98
Untuk menghasilkan ikan asap bermutu tinggi
sebaiknya digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan
asap dengan kandungan unsur fenol dan asam organik yang
cukup tinggi, sebab kedua unsur ini lebih banyak melekat
pada tubuh ikan dan dapat menghasilkan rasa dan warna
daging asap yang khas.
Jenis kayu yang umum digunakan untuk pengasapan
ikan di negara kita yaitu kayu turi, sebab selain mudah
diperoleh (ditanam), kayu turi juga lebih banyak mengandung
unsur fenol dan asam organik dibandingkan dengan jenis kayu
lain.
2. Suhu dan Kelembaban Ruang Pengasapan
Kondisi ruang pengasapan juga sangat menentukan mutu
ikan asap. Ruangan yang baik digunakan untuk tempat
pengasapan ikan yaitu ruangan yang memiliki suhu dan
kelembaban udara cukup rendah. Banyaknya uap air yang
diserap oleh udara tergantung suhunya, jadi bila udara cukup
dingin 30
o
C dipanasi maka kapasitas pengeringan akan lebih
tinggi. Dalam keadaan lembab, udara jenuh yang telah panas
tidak dapat dipanasi lagi secara cepat untuk mengurangi
kandungan uap airnya dan oleh sebab itu, kapasitas menurun.
Jika suhu ruangan pengasapan cukup rendah, asap yang
dihasilkan lebih ringan jika dibandingkan dengan asap yang
dihasilkan dari proses pengasapan di udara terbuka (bersuhu
relatif lebih tinggi). Dengan demikian, volume asap yang dapat
melekat pada tubuh ikan menjadi lebih banyak dan merata.
Apabila proses pengasapan ikan berlangsung dalam ruangan
bersuhu tinggi, permukaan kulit atau tubuh bagian luar akan
menjadi cepat kering atau mengeras (dapat menghalangi proses
penguapan cairan yang terdapat pada bagian tubuh yang lebih
dalam), sehingga proses pembusukan masih mungkin terjadi
pada tubuh ikan bagian dalam.
99
Horner (1992), menemukan untuk menjaga suhu terbaik
di dalam ruang asap pada awal proses pengasapan yaitu
30
o
C. Hal ini sebab proses pengeringan ikan ke tingkat
tertentu serta sirkulasi asap pada permukaan ikan. Untuk



.jpeg)
.jpeg)