• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label pengolahan ikan 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengolahan ikan 2. Tampilkan semua postingan

pengolahan ikan 2



 tan. 

50 

 

Tidak dipilihnya tempat penangkapan ikan tertentu pada 

berbagai waktu pada sepanjang tahun dapat menghindarkan 

banyak masalah. Angin, gelombang, kondisi air, dan pola 

migrasi juga berpengaruh pada kondisi dan kualitas ikan 

sebelum panen. Faktor-faktor ini  berpengaruh pada jenis 

dan kelimpahan organisme makanan yang tersedia, yang dapat 

memengaruhi kesehatan dan kondisi ikan. 

 

e.  Efek Jenis Kelamin dan Proses Bertelur 

        Untuk tujuan-tujuan tertentu, jantan dan betina dari 

spesies yang sama dapat memiliki nilai yang berbeda. Bahkan 

telur dari beberapa ikan tertentu dapat dinilai sebagai suatu 

komoditas dan ikan-ikan ini  dihargai hanya sebab  alasan 

ini . Jenis kelamin memainkan peranan besar dalam 

kualitas segera setelah proses bertelur. Betina dari spesies 

tertentu dapat berada dalam kondisi fisik yang buruk segera 

setelah bertelur yang memiliki kualitas yang sangat rendah. 

Akan tetapi, dalam beberapa spesies seperti salmon, kedua 

jenis kelamin dapat berada dalam kondisi buruk setelah proses 

bertelur. Tepat sebelum dan selama proses bertelur, cadangan 

makanan dalam daging dialihkan untuk perkembangan kelenjar 

kelamin. Selama proses bertelur, dan untuk beberapa periode 

setelahnya, sebagian besar ikan tidak makan. Akibatnya yaitu  

daging mereka menjadi kehabisan lemak, protein, dan 

karbohidrat, dan ikan-ikan ini  berada dalam kondisi 

buruk. Apabila ikan-ikan ini  kembali makan, mereka 

biasanya memulihkan kondisi makanan mereka kecuali  terlalu 

lemah selama proses bertelur. Bahkan pada spesies laut dan 

berlemak seperti sarden, haring, dan makerel, perubahan 

kualitas yang disebabkan proses bertelur terlihat lebih nyata. 

Antara periode tidak makan setelah proses bertelur dan 

dilanjutkannya pemberian makan, kandungan lemak ikan 

haring dapat beragam mulai kurang dari 1% sampai lebih dari 

25%. Selama perubahan dalam kandungan lemak ini , 

51 

 

berat ikan secara keseluruhan terjaga cukup konstan oleh 

penurunan yang setara dalam kandungan air. sebab  

kandungan lemak yang tinggi pada spesies ini diperlukan untuk 

pengalengan dan pengasapan, ikan dalam kondisi pasca proses 

bertelur seringkali tidak dikehendaki untuk proses ini .         

Perubahan dalam komposisi daging sebagai akibat dari 

aktivitas bertelur terlihat jelas pada semua spesies, walaupun 

kurang terlihat dalam beberapa kerang di mana perubahan 

kandungan glikogen terlihat nyata. 

 

f.  Ikan yang Secara Alami Beracun 

         Sebagian besar pangan dari ikan aman untuk dimakan, 

namun ada spesies yang secara alami beracun, baik seluruhnya 

atau sebagian, dan dapat menyebabkan penyakit atau kematian 

apabila dimakan. Sebagian besar ikan beracun ditangkap di 

wilayah tropis atau subtropis di dunia, dan hanya dalam 

wilayah ini  tindakan pengendalian, apabila ada, harus 

diterapkan. Ikan yang secara alami beracun disebut sebagai 

“biotoksin” yang berlawanan dengan ikan dan kerang yang 

dapat menjadi beracun melalui kontaminasi bahan kimia atau 

polutan. 

        Terdapat tiga jenis racun utama pada ikan atau kerang: 

ciguatera, keracunan ikan buntal, dan keracunan ubur-ubur 

yang menyebabkan kelumpuhan. 

 

 

2  Penanganan Ikan Segar 

         Ikan perlu dipertahankan kesegarannya agar dapat 

dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan untuk mempertahankan 

kesegaran ikan ini dilakukan dengan berbagai cara, pada masa 

lalu proses ini  dilakukan secara alami sehingga kesegaran 

ikan tidak berlangsung lama, sedangkan pada zaman sekarang 

proses ini  dilakukan secara modern seiring dengan 

perkembangan ilmu pengetahuan dan semakin lengkapnya 

52 

 

peralatan, sehingga proses ini  dapat dikerjakan secara 

cepat dan kesegaran ikan dapat dipertahankan dalam jangka 

waktu yang lebih lama. Untuk mempertahankan kesegaran 

ikan, suhu lingkungan atau tempat ikan disimpan harus 

dipertahankan tetap rendah atau mendekati 0

o

C, dan dicegah 

hubungan langsung dengan sinar matahari sebab  dapat 

meningkatkan suhu penyimpanan juga mempercepat proses 

pembusukan. Untuk mempertahankan agar suhu tetap rendah 

dilakukan dengan berbagai cara, misalnya: dengan menutup 

ikan-ikan dengan terpal atau karung-karung basah setelah 

diberi es, supaya tidak terjadi penguapan air namun cara ini 

tidak dapat mempertahankan suhu rendah. Cara lain yaitu  

dengan menggunakan kotak-kotak dingin yang biasanya 

terdapat pada kapal-kapal penangkap ikan. Cara lain yang biasa 

digunakan oleh kapal-kapal penangkap ikan yang lengkap 

yaitu  dengan menggunakan ”dry ice” (es kering) yang dapat 

menghasilkan suhu hingga -60

o

C, atau dengan menggunakan 

nitrogen cair.                                                                      

          Proses pendinginan yang paling sering digunakan yaitu  

dengan es yang dibuat dari air bersih agar dapat menurunkan 

suhu mendekati 0

o

C dan ditempatkan pada wadah yang 

berinsulasi, tertutup rapat dan tidak bercelah. Penurunan suhu 

pada ikan terjadi pada saat es mencair akibat panas yang 

berasal dari ikan. Air dari pencairan es akan melarutkan 

substansi yang dibutuhkan oleh organisme sehingga 

pertumbuhan bakteri pembusuk akan terhambat, selain itu suhu 

dingin juga dapat menghambat reaksi pembusukan pada ikan.  

         Beberapa cara penanganan ikan segar antara lain: 

1.Penanganan ikan segar pada tingkat produsen. 

Penanganan ikan segar di kapal atau perahu-perahu nelayan 

hingga ke pedagang perlu dilakukan untuk mempertahankan 

mutu ikan hingga ke tangan konsumen. Penangkapan ikan oleh 

perahu nelayan pada umumnya dilakukan secara tradisional 

dengan fasilitas yang terbatas, dilakukan dengan menggunakan 

53 

 

perahu-perahu dayung biasa, perahu motor kecil atau perahu 

layar. Penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tradisional 

biasanya tidak lebih dari satu hari (berangkat sore hari pulang 

pagi hari) jadi ikan yang diperoleh masih cukup segar hingga 

penjualan. Pada kondisi ini para nelayan jarang yang memberi 

es pada ikan hasil tangkapannya. Kapal penangkap ikan 

fasilitasnya lebih lengkap sehingga penanganan ikan segar 

lebih intensif dibanding yang dilakukan oleh nelayan 

tradisional. Penanganan yang umum dilakukan di kapal yaitu : 

A. Penyiangan dan pencucian 

        Ikan yang telah ditangkap menggunakan jaring 

dibersihkan dari segala kotoran dan disortir berdasar  jenis 

dan ukuran. Kemudian, dilakukan penyiangan untuk 

menghilangkan isi perut dan insang. Namun, untuk ikan-ikan 

yang kecil seperti lemuru atau kembung dan ikan-ikan yang 

dapat segera dijual di pasar, penyiangan tidak perlu dilakukan. 

Ikan kemudian dicuci untuk untuk menghilangkan sisa lendir 

dan kotoran lain yang melekat pada ikan yang dapat 

mempercepat proses pembusukan. 

B. Pemindahan ikan dalam palka 

           Ikan kemudian dipindahkan dalam palka dan 

ditambahkan es untuk dicegah kontak langsung dengan sinar 

matahari. 

C.Pendinginan  

         Untuk mempertahankan kesegaran, ikan diberi hancuran 

es yang bersih agar bebas dari gangguan bakteri. Es yang 

digunakan merupakan hancuran yang berukuran kecil agar ikan 

tidak tergenjet dan memar. Setelah sampai di pelabuhan 

Penanganan ikan segar perlu diperhatikan agar ikan dapat 

dipertahankan kesegarannya, yang perlu dilakukan setelah ikan 

sampai ke pelabuhan yaitu : pemisahan es yang dilakukan 

secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan luka pada kulit 

ikan yang dapat mempercepat proses pembusukan, 

menempatkan ikan pada wadah berpendingin selama 

54 

 

pengangkutan ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan), wadah harus 

segera ditutup agar ikan tidak terkena sinar matahari secara 

langsung. Pengangkutan ikan biasanya dilakukan dengan 

menggunakan wadah yang baik seperti ”Cool-box” dimasukkan 

refrigerator atau es kering, dan N2 cair, sarana 

pengangkutannya biasanya menggunakan truk-truk khusus atau 

gerbong kereta api yang berinsulasi atau dapat didinginkan. 

Selama pemasaran ikan tetap didinginkan agar kesegaran ikan 

dapat dipertahankan. . 

          Ikan yaitu  salah satu makanan yang sangat mudah 

mengalami kerusakan (Very perishable food). Tingginya 

kandungan air pada ikan merupakan salah satu sebab yang 

mengakibatkan ikan sangat mudah mengalami kerusakan. 

Selain itu ikan memiliki kandungan protein yang tinggi, secara 

alami ikan juga mengandung enzim yang dapat menguraikan 

protein menjadi putresin, isobutilamin, kadaverin, dan senyawa 

lain penyebab timbulnya bau tak sedap. Sementara itu lemak 

yang terdapat dalam tubuh ikan sebagian besar tersusun atas 

asam lemak tidak jenuh ganda rantai panjang, sehingga mudah 

mengalami oksidasi atau hidrolisa mengakibatkan bau tengik 

Namun, penyebab utama kerusakan pada ikan segar yaitu  

aktivitas bakteri pada ikan. Bakteri pembusuk ini mulai aktif 

sejak ikan mati atau dapat terjadi sebab  faktor kontaminasi 

selama rantai penanganan dari laut sampai ke konsumen. 

Untuk membedakan antara ikan segar dan ikan yang tidak 

segar perlu diketahui ciri-ciri dari kedua kondisi ikan ini .. 

Makanan laut yang tidak segar mengalami peningkatan kadar 

histamin sehingga jika dikonsumsi tubuh akan memunculkan 

reaksi alergi, seperti gatal-gatal, ruam kulit, mata bengkak, 

bahkan beberapa orang ada yang pingsan. Namun reaksi ini 

tidak terjadi pada setiap individu meskipun makanan yang di 

konsumsinya sama. Hal ini sangat bergantung pada kondisi 

fisik orang yang mengkonsumsi ikan dan produknya. 

55 

 

 

2. Penanganan Ikan Segar untuk Konsumsi. 

        Ikan yang akan dikonsumsi pada tingkat rumah tangga 

perlu diolah lebih lanjut. Hal-hal yang perlu dilakukan di 

rumah untuk mencegah proses pembusukan pada ikan yaitu : 

A. Membersihkan ikan dari insang dan sisik (menyiangi) hal 

ini dilakukan untuk menghilangkan bakteri-bakteri pembusuk 

yang banyak terdapat pada insang dan sisik ikan. 

B. Mencuci ikan dengan bersih untuk menghilangkan kotoran 

dan darah yang masih melekat pada permukaan ikan. 

C. Ikan langsung diolah sesuai dengan selera, untuk ikan yang 

tidak langsung dikonsumsi sebaiknya dipotong-potong sesuai 

dengan keinginan dan proses selanjutnya. 

D. Ikan disimpan di freezer dan sebaiknya dibungkus dengan 

plastik dengan ukuran sekali masak, hal ini dilakukan untuk 

mempermudah pengambilan bahan. Ketika makanan akan 

dimasak, sehari sebelumnya diambil dan disimpan di lemari 

pendingin (suhu ± 5

o

C) untuk proses pencairan (thawing), 

thawing sebaiknya tidak dilakukan di luar sebab  akan 

mengundang bakteri pembusuk. Perlu diingat juga penggunaan 

lemari es harus memperhatikan kapasitas, sebab  lemari es 

yang terlalu penuh menyebabkan pendinginan tidak optimal 

Idealnya lemari es 85% terisi dan 15% nya untuk sirkulasi 

udara. 

E. Apabila tidak memiliki lemari es, sebaiknya ikan direbus 

atau dikukus untuk mencegah kebusukan, kemudian disimpan 

dan ditutup rapat, namun ikan dengan cara seperti ini tidak 

dapat tahan lama bila dibandingkan dengan ikan yang disimpan 

di freezer. 

F. Untuk menghilangkan bau amis pada ikan dapat dilakukan 

dengan menambahkan cuka atau air jeruk, selain itu 

penambahan air jeruk juga akan menurunkan tingkat keasaman 

ikan (pH rendah) sehingga pertumbuhan mikrobia pembusuk 

dapat terhambat. 

56 

 

B. Keamanan Produk Hasil Perikanan 

           Menjamin keamanan pangan dalam rangka melindungi 

kesehatan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan 

ekonomi merupakan tantangan besar bagi negara maju maupun 

negara berkembang. Berbagai bentuk upaya untuk memperkuat 

sistem keamanan pangan telah dilakukan oleh banyak negara, 

terutama dalam mencegah dan mengurangi penyakit yang 

disebabkan oleh pangan. Selain itu, kepedulian terhadap 

kesehatan masyarakat terus meningkat seiring dengan 

banyaknya pemberitaan mengenai produk pangan 

terkontaminasi cemaran yang mengakibatkan gangguan 

terhadap kesehatan manusia. Pada kenyataannya, cemaran 

dapat terjadi di sepanjang rantai pangan.  Keberadaan cemaran 

dalam pangan mungkin ada akibat dari berbagai tahapan 

produksi atau akibat dari kontaminasi lingkungan. Tahapan 

produksi yang dimaksud yaitu  sejak dari bahan baku, proses 

pengolahan, pengemasan, transportasi hingga penyimpanan. 

         Produk perikanan merupakan salah satu jenis pangan 

yang perlu mendapat perhatian terkait dengan keamanan 

pangan. Mengingat di satu sisi, negara kita  merupakan negara 

maritim terbesar di Asia Tenggara, sehingga sektor perikanan 

memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. 

Terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber 

pendapatan nelayan dan sumber devisa negara. Selain itu, 

produk perikanan juga merupakan sumber protein hewani yang 

dibutuhkan oleh manusia. Namun, di sisi lain, produk 

perikanan dapat menjadi media perantara bagi bakteri patogen 

dan parasit yang dapat menginfeksi manusia. 

 

Cemaran Yang Umum Ditemukan Dalam Produk 

Perikanan (Anisyah, 2009). 

        Secara umum, risiko pangan terhadap kesehatan manusia 

dapat timbul secara alami maupun terkait dengan penanganan 

pangan oleh manusia baik berupa cemaran biologi, kimia atau 

57 

 

fisik. Pada produk seafood cemaran yang umum ditemukan 

antara lain: 

 

1. Cemaran biologi: 

- Vibrio parahaemolyticus 

- Vibrio kholera 

- Salmonella dan Escherichia coli 

2. Cemaran kimia: 

- Logam berat (merkuri dan timbal) 

- Histamin 

- Marine biotoxin (racun hayati laut) 

- Hormon, antibiotik, pestisida 

- Bahan berbahaya (formalin dan rhodamin B). 

Penjelasan dari cemaran-cemaran ini  yaitu  

sebagai berikut: 

1. Cemaran Biologi 

a. Vibrio parahaemolyticus 

     Vibrio parahaemolyticus yaitu  bakteri berbentuk 

koma, memiliki  flagel monotrik, Gram negatif, motil 

dan aerob, merupakan jenis utama yang banyak terdapat 

pada perairan pantai dan laut yaitu pada ikan, tiram, 

kerang-kerangan dan seafood lainnya. Bakteri ini tumbuh 

pada kadar NaCl optimum 3 persen, kisaran suhu 5-43 

o

C, 

pH 4.8-11 dan aw 0.9-0.99. Pertumbuhan berlangsung 

cepat pada kondisi suhu optimum (37

 o

C) dengan waktu 

generasi hanya 9-10 menit. Keberadaan garam, bahan gizi 

yang baik serta pH dan aw yang cocok menjadikan      

Vibrio parahaemolyticus sering terdapat sebagai flora 

normal di dalam seafood. Jumlah sel yang terdapat di 

dalam seafood biasanya di bawah 10

3

 koloni/g. 

    Bakteri Vibrio parahaemolyticus menyebabkan 

gastroenteritis disertai diare, kejang perut, mual, muntah, 

sakit kepala, demam, dan rasa dingin. Masa inkubasi 4-96 

jam dengan rata-rata 15 jam setelah tertelan bakteri ini. 

58 

 

Dosis infeksi lebih dari 10

6

 koloni/g dapat menyebabkan 

penyakit. Infeksi oleh bakteri ini disebabkan sebab  

mengonsumsi seafood mentah, dimasak tidak sempurna, 

atau terkontaminasi dengan seafood setelah pemasakan. 

 

b. Vibrio cholerae  

   Vibrio cholerae merupakan  bakteri berbentuk koma, 

berukuran 2-4µm, sangat motil sebab  memiliki  flagella 

monotrik, tidak membentuk spora, Gram negatif, bersifat 

aerob atau anaerob fakultatif, suhu optimum 37

o

C (18

o

C-

37

o

C), pH optimum 8.5-9.5, tumbuh baik pada media yang 

mengandung garam mineral dan asparagin sebagai sumber 

karbon dan nitrogen. Vibrio cholerae biasanya banyak 

terdapat di sungai dan perairan pantai serta laut. Terdapat 

pada kekerangan, tiram dan seafood lain dengan jumlah sel 

di bawah 10

3

koloni/g. 

    Vibrio cholerae menyebabkan penyakit kolera, yang 

ditandai dengan diare hebat dengan warna seperti air beras. 

Diare ini menyebabkan 60 persen penderita kolera 

meninggal sebab  dehidrasi. Setelah bakteri ini masuk ke 

dalam tubuh, turun ke saluran usus menempel pada 

epithelium dan melepaskan eksotoksin yang disebut 

koleragen. Koleragen merangsang hipersekresi air dan 

klorida dan menghambat absorbsi natrium. Akibat 

kehilangan banyak cairan dan elektrolit, terjadi dehidrasi, 

asidosis, shok dan kematian. Masa inkubasi 6 jam sampai 

5 hari dengan gejala mual, muntah, diare dan kejang perut. 

Dosis infeksi yang dapat menimbulkan penyakit yaitu 10

7

 

koloni/g. 

 

      c. Salmonella 

      Salmonella merupakan salah satu genus dari 

Enterobacteriaceae, berbentuk batang Gram negatif, 

anaerobic fakultatif dan aerogenik. Biasanya bersifat     

59 

 

motil dan memiliki  flagella peritrikus, kecuali                         

S. gallinarum-pullorum yang selalu bersifat non-motil. 

Kebanyakan strain bersifat aerogenik, dapat menggunakan 

sitrat sebagai sumber karbon, tidak membentuk H2S 

(Fardiaz, 1992). 

    Salmonella mungkin terdapat pada makanan dalam 

jumlah tinggi, tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan 

dalam hal warna, bau, maupun rasa dari makanan ini . 

Semakin tinggi jumlah Salmonella dalam suatu makanan, 

semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang 

menelan makanan ini , dan semakin cepat waktu 

inkubasi sampai timbulnya gejala infeksi. Makanan yang 

sering terkontaminasi oleh Salmonella yaitu telur dan hasil 

olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging 

sapi, serta susu dan hasil olahannya seperti es krim dan 

keju (Supardi dan Sukamto, 1999). 

 

      d. Escherichia coli 

         E. coli merupakan suatu bakteri Gram negatif, tidak 

berkapsul, berbentuk batang dengan ukuran panjang       

2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µm, tersusun tunggal atau 

berpasangan, hidup secara aerobik dan anaerobik 

fakultatif, serta bersifat motil dengan menggunakan 

flagella peritrikus (Fardiaz, 1992). Suhu pertumbuhan 

E.coli antara 10-40

o

C, dengan suhu optimum 37

o

C. 

Derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhannya 

yaitu  7-7,5; pH minimum pada 4 dan maksimum pada 

pH 9.  E. coli dapat menggunakan asetat sebagai sumber 

karbon, tetapi tidak dapat menggunakan sitrat. Glukosa 

dan beberapa karbohidrat lainnya dipecah menjadi 

piruvat, dan fermentasi lebih lanjut menghasilkan asam 

laktat dan format  (Supardi dan Sukamto, 1999). Bakteri 

ini umumnya ditemukan pada kotoran, air, usus manusia 

dan hewan. Biasanya terdapat dalam jumlah konsentrasi 

60 

 

sekitar 10

7

-10

8

 dalam 1 g feses. Bakteri ini tersebar di 

seluruh dunia dan dapat menimbulkan penyakit diare 

(Pelczar and  Chan, 2006).  

          E. coli dapat dibedakan atas flora normal yang 

tidak bersifat patogenik dan yang bersifat 

enteropatogenik (EPEC), sedangkan EPEC dapat 

dibedakan lagi atas    E. coli yang dapat memproduksi 

toksin atau bersifat enterotoksigenik (ETEC) dan yang 

tidak menghasilkan enterotoksigenik. E. coli yang 

bersifat patogenik sering menyerang ternak, terutama 

ternak unggas (Fardiaz, 1992). 

        Kontaminasi bakteri E. coli pada pangan biasanya 

berasal dari kontaminasi air yang digunakan. 

Kontaminasi bakteri E. coli pada pangan merupakan 

suatu tanda praktek sanitasi yang kurang baik. E. coli 

sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan 

pada suhu pasteurisasi  atau selama pemasakan  (Supardi 

dan Sukamto, 1998).  Selanjutnya dijelaskan bahwa, 

keberadaan E. coli dalam air dapat menjadi indikator 

adanya pencemaran air oleh tinja. E. coli digunakan 

sebagai indikator pemeriksaan kualitas bakteriologis 

secara universal dalam analisis dengan alasan sebagai 

berikut : 

a. E. coli secara normal hanya ditemukan di saluran 

pencernaan manusia (sebagai flora normal) atau hewan 

mamalia, atau bahan yang telah terkontaminasi dengan 

tinja manusia atau hewan; jarang sekali ditemukan dalam 

air dengan kualitas kebersihan yang tinggi 

b. E. coli mudah diperiksa di laboratorium dan 

sensitivitasnya tinggi jika pemeriksaan dilakukan dengan 

benar. 

c. Bila dalam air ini  ditemukan E. coli, maka air 

ini  dianggap berbahaya bagi penggunaan domestik. 

61 

 

d. Ada kemungkinan bakteri enterik patogen yang lain 

dapat ditemukan bersama-sama dengan E. coli dalam air 

ini .  

 

2. Cemaran Kimia 

a. Merkuri 

    Merkuri (Hg) berada di lingkungan dalam bentuk 

merkuri anorganik, berasal dari berbagai sumber baik 

secara alami maupun dibuat oleh manusia. Merkuri 

anorganik dapat diubah menjadi bentuk organik, metil 

merkuri, melalui reaksi biologi dalam tanah dan sedimen. 

Metil merkuri merupakan bentuk merkuri yang paling 

toksik, paling banyak ditemukan pada organisme laut dan 

terakumulasi dalam rantai pangan. Ikan predator dapat 

mengakumulasi metilmerkuri dalam kadar tinggi. Biasanya 

ditemukan pada ikan laut atau kekerangan secara alamiah 

±0,1 mg/kg. Ikan menjadi sumber utama paparan metil 

merkuri pada manusia. 

    Efek toksik metil merkuri pada manusia tercatat 

pertama kali pada orang yang mengonsumsi ikan 

terkontaminasi logam berat di teluk Minamata Jepang, 

yang terpolusi oleh industri merkuri pada tahun 1950. Bayi 

yang lahir dari ibu yang mengonsumsi ikan terkontaminasi 

menunjukkan kerusakan sistem saraf pusat. Dalam dekade 

sejak Minamata, terdapat beberapa bukti menunjukkan 

bahwa paparan metil merkuri dari pangan ialah ikan dan 

seafood memengaruhi kognitif pada orang dewasa. Nilai 

Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) yaitu          

0,005 mg/kg bb sebagai total merkuri  dan 0,0016 mg/kg 

bb sebagai metil merkuri. 

 

 

 

 

62 

 

b. Histamin 

 

Histamin merupakan senyawa turunan dari asam amino 

histidin yang banyak terdapat pada ikan. Histamin tidak 

membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang 

rendah, yaitu 8 mg/100 g ikan. Menurut Food and Drug 

Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan 

histamin akan timbul jika seseorang mengonsumsi ikan 

dengan kandungan histamin 50 mg/100 g ikan. Keracunan 

histamin pada mulanya lebih dikenal dengan nama 

„scromboid poisoning’ sebab  terjadi sesudah 

mengonsumsi ikan dari golongan scromboidae, yaitu ikan 

tongkol dan sejenisnya. Ikan dengan kandungan histamin 

lebih dari 20 mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi. 

    Gejala keracunan histamin berupa muntah, rasa 

terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, 

kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, gatal-

gatal dan badan lemas. Sekilas gejala ini  mirip 

dengan gejala alergi yang dialami oleh orang yang sensitif 

terhadap ikan atau pangan asal laut. 

 

c. Marine biotoxin (racun hayati laut) 

 

     Keberadaan marine biotoxin disebabkan adanya alga 

yang mengandung racun PSP (Paralytic Shellfish 

Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP 

(Diarrhetic Shellfish Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish 

Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Biotoxin 

ini  umumnya terdapat pada kerang-kerangan kecuali 

CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap, 

kerapu, dan lain-lain. 

d. Formalin dan rhodamin B 

    Formalin sering disalahgunakan untuk proses 

pengawetan produk perikanan. Padahal, formalin 

63 

 

peruntukannya yaitu  sebagai pembunuh hama, pengawet 

mayat, bahan desinfektan pada industri plastik, busa dan 

resin untuk kertas. Gejala kronis yang dapat timbul setelah 

mengonsumsi pangan mengandung formalin antara lain 

iritasi saluran pernafasan, muntah, pusing, rasa terbakar 

pada tenggorokan, serta dapat memicu kanker. 

   Selain formalin, bahan berbahaya yang sering 

disalahgunakan dalam produk perikanan yaitu rhodamin B 

untuk mewarnai produk kerang-kerangan yang terlihat 

pucat, atau digunakan pada ikan asap. Rhodamin B 

merupakan bahan kimia yang digunakan untuk pewarna 

merah pada industri tekstil dan plastik. Penggunaan 

pewarna ini dalam pangan sangat berbahaya sebab  dapat 

memicu kanker, merusak hati dan ginjal. 

C. Langkah Mewujudkan Jaminan Mutu 

        Melalui uraian di atas, terlihat jelas bahwa keamanan 

pangan menjadi perhatian mendasar bagi kesehatan publik dan 

mendukung kepentingan perdagangan/ekspor. Oleh sebab  itu 

produk perikanan perlu ditangani dengan benar dari hulu 

hingga hilir melalui penerapan good practice di setiap lini 

untuk menjamin mutu dan keamanannya. Pemerintah telah 

menetapkan persyaratan sanitasi yang wajib dipenuhi dalam 

kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan 

dan peredaran pangan dalam UU no.7 thn 1996 tentang 

pangan, contoh Keputusan Dirjen POM no. KH.00.04.3-3.011 

tahun 1996 tentang pedoman penerapan cara produksi makanan 

yang baik. 

         Selain itu, untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya 

pangan, pemerintah menetapkan batas maksimum cemaran 

yang diperbolehkan keberadaannya dalam pangan. Ketentuan 

ini  dituangkan dalam bentuk standar komoditas 

perikanan. Peraturan yang menetapkan persyaratan cemaran 

logam dan mikroba dalam produk pangan termasuk produk 

64 

 

olahan ikan yaitu SK Dirjen POM no. 03725/B/SK/VII/89 

tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan 

dan SK Dirjen POM no.03726/B/SK/VII/89 tentang Batas 

Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan. Pengawasan 

keamanan pangan yang dilakukan oleh Badan POM dilakukan 

sebelum (Pre-market evaluation) dan setelah (Post-market 

vigilance) pangan beredar di masyarakat. 

        Badan Internasional yang mengatur standar pangan yaitu  

Codex Alimentarius Commission (CAC). Komite Codex yang 

secara khusus menangani cemaran dalam pangan yaitu Codex 

Committee on Contaminants in Foods (CCCF) dan Codex 

Committee on Food Hygiene (CCFH). 

        CCCF telah menyusun Codex STAN 193-1995,Rev.3-

2007 tentang Codex General Standard for Contaminants and 

Toxins in Foods yang menetapkan antara lain batas maksimum 

cemaran logam dalam produk perikanan. Cemaran yang 

dimaksud yaitu  timbal dan metil merkuri dengan ketentuan 

sebagai berikut: 

- Timbal dalam ikan sebesar 0,3 mg/kg 

- Metil merkuri dalam ikan sebesar 0,5 mg/kg 

- Metal merkuri dalam ikan predator sebesar 1 mg/kg. 

 

 

 

 

 

 

 

 

65 

 

 

 

PENGASAPAN IKAN 

 

          PENGASAPAN ikan yaitu  salah satu cara mengolah 

dan mengawetkan ikan yang cukup popular di negara kita . Cara 

ini dapat dijumpai di berbagai daerah, namun jumlahnya tidak 

sebanyak produk pengasinan atau pengeringan. Pengasapan 

dapat menunda proses kemunduran mutu ikan, namun dalam 

waktu yang tidak terlalu lama, tidak seperti ikan asin atau ikan 

kering. 

        Tujuan pengasapan pada ikan ada tiga hal. Pertama, 

mengolah ikan agar siap untuk dikonsumsi langsung. Kedua, 

memberi cita rasa yang khas agar lebih disukai konsumen. 

Ketiga, memberikan daya awet melalui pemanasan, 

pengeringan dan reaksi kimiawi asap dengan jaringan daging 

ikan pada saat proses pengasapan berlangsung. 

A.  Dasar Pengolahan Ikan dengan Pengasapan 

         Pengawetan dengan pengasapan sudah lama dilakukan 

manusia dengan pemanggangan dan pengasapan, ikan dapat 

disimpan lebih lama dan memberikan cita rasa yang khas dan 

disukai. Istilah pengasapan (smoking) diartikan untuk 

penyerapan bermacam-macam senyawa kimia yang berasal 

dari asap kayu ke dalam ikan, disertai dengan setengah 

pengeringan dan biasanya didahului dengan proses 

penggaraman. Jadi istilah smoke curing meliputi seluruh proses 

yang dimulai dari tahap persiapan bahan mentah sampai ke 

pengasapan terakhir yang mengakibatkan perubahan warna, 

flavor dan tekstur ikan. Sedangkan tujuan pengasapan dalam 

pengawetan ikan yaitu  untuk mengawetkan dan memberi 

warna serta rasa asap yang khusus pada ikan. 

BAB          

IV 

66 

 

Bahan Pengasapan Ikan (Purnomo dan Salasa, 2002) 

1. Kayu sebagai bahan bakar pengasapan 

Untuk mendapatkan ikan asap yang berkualitas baik, 

harus digunakan kayu keras (non-resinous) atau sabut dan 

tempurung kelapa. Kayu lunak akan menghasilkan asap yang 

mengandung senyawa yang dapat menyebabkan hal-hal dan 

bau yang tidak diinginkan.  

    Pada pembakaran kayu, cellulose (sellular fibre) yang 

merupakan bagian terbesar dari kayu akan diuraikan menjadi 

senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti alkohol 

aliphatic yang berantai lebih pendek, aldehid, keton, dan asam 

organik yang termasuk furfural, formaldehid, dan metal 

furfural dan lain-lain. Sedangkan lignin dipecah menjadi 

turunan fenol, quinol, guaicol dan pirogallol yang merupakan 

bagian dari senyawa antioksidan dan antiseptik. Melalui 

metode kromatografi kertas telah diketahui kurang lebih 20 

macam senyawa pada asap kayu, dan persentase tiap senyawa 

pada asap kayu tergantung jenis kayu yang dipakai. 

 

Tabel 4.1 Komposisi Substansi Organik Kayu ( %) 

Dari Berat Kayu Kering. 

 

                           Sumber: Purnomo dan Salasa, 2002 

 

 

 

 

Komponen Kayu keras Kayu lunak 

Cellulosa 

Lignin 

Hemicellulosa 

- Pentosan 

- Hexosan 

Resin 

Protein 

Abu 

 

43-53 % 

18-24% 

 

22-25% 

3-6% 

1,8-3% 

0,6-1,9% 

0,3-1,2% 

54-58% 

26-29% 

 

10-11% 

12-14% 

2-3,5% 

0,7-0,8% 

0,4-0,8% 

67 

 

2. Komposisi asap 

            Asap kayu terdiri dari uap dan padatan yang berupa 

partikel sangat kecil, yang keduanya   memiliki  komposisi 

kimia yang sama tetapi dalam perbandingan yang berbeda. 

Senyawa kimia yang mudah menguap diserap oleh ikan, 

terutama dalam bentuk uap. Senyawa ini  memberikan 

warna dan rasa yang diinginkan pada ikan asap. Komposisi 

kimia asap diketahui melalui penelitian menggunakan sistem 

pembakaran tidak sempurna dan destilasi kering. berdasar  

hasil-hasil penelitian dapat dibedakan 4 kelompok hasil 

pembakaran kayu yaitu: gas, cairan, tar dan karbon. 

a. Kelompok gas-gas 

         Pembakaran 280 

o

C terhadap  kayu melepaskan hampir 

semua gas, yaitu oksigen, karbondioksida dan karbon 

monoksida. Pada suhu ini  juga terjadi reaksi eksotermis, 

yakni suhu kayu meningkat dengan mencolok, kandungan 

oksigen menurun, serta kandungan hidrogen dan hidrokarbon 

meningkat. 

b. Kelompok cairan 

(1)  Asam    : asam format, asam asetat, asam propionate,asam 

butirat,  asam valerat, asam isokaproat dan metil ester. 

(2) Alkohol   : metal, etil, propel, allil, isoamil, dan isobutyl. 

(3) Aldehid  : formaldehid, acetaldehid, furfural, metal 

furfural. 

(4) Keton    : aseton, meti-etil keton, metal propil keton, etil 

propel keton. 

(5) Hidrokarbon: xilene, cumene, cymene 

(6) Fenol (catechol) 

(7) Piridine dan metal pyridine 

c. Kelompok tar 

        Cairan tar ini terdiri dari minyak tar dengan gravitas 

rendah memiliki  titik didih di bawah 140 

o

C dan terdiri dari: 

(1) Aldehid valerat 

(2) Furan: furan, metal furan, dimetil-furan dan trimetil furan. 

68 

 

Minyak tar dengan gravitas tinggi memiliki  titik didih       

200 

o

C, yang terdiri dari: 

(1)  Fenol dan turunan fenol: o-, m- dan p- kresol, xilenol, etil 

fenol, catechol, guaicol, ester dari  pirogallol. 

(2)  Asam lignocerat. 

Aroma substansi tar terutama terjadi sebagai hasil penguraian 

lignin. 

d. Kelompok karbon 

        Kelompok ini terdiri dari karbon monoksida dan karbon 

dioksida. Jumlah karbon monoksida  dalam asap tidak 

bervariasi, tetapi karbon dioksida berfluktuasi dengan nyata.  

        Beberapa ahli juga mengklasifikasikan bahah-bahan asap 

berdasar  kelompok persenyawaannya yaitu: kelompok 

asam organik, fenol, aldehid, keton dan sebagainya. 

Tabel 4.2 Bahan Senyawa Utama Pada Asap 

Klasifikasi Unsur-unsur 

Asam organik 

 

Fenol 

 

Aldehid 

 

Keton 

 

Lain-lain 

Asam semut, asam asetat, asampropionat, 

asam butirat, asam valeriat,dst. 

Fenol, fenol metoxil, klpk kresol, klpk 

guaicol, klpk pirogallol,dst. 

Formaldehid, asetaldehid, proprioaldehid, 

furfural, metal furfural,dst. 

Aseton, metal letil keton, metal propel 

keton,dst. 

Metanol, etanol, asam semut metal, 

ammonia, metil amino, trimetil amino,dst. 

 

Sumber: Purnomo dan Salasa, 2002. 

 

3. Kandungan benzopirene dalam asap dan ikan asap 

         Pada kondisi tertentu asap dan ikan yang diasapi dapat 

mengandung polynuclear aromatic hydrocarbon C20H20 yang 

bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker atau 

tumor pada manusia atau binatang pada kondisi tertentu. 

Hampir semua jumlah kandungan 3,4 benzopirene terdapat 

69 

 

dalam tar, dan jumlahnya tergantung pada kondisi penghasil 

asap dan metode pengasapan yang diterapkan. Hasil penelitian 

mengenai kandungan 3,4 benzopirene ikan asap terdapat dalam 

Tabel 4.3. 

Tabel 4.3 Kandungan 3,4 Benzopirene Dalam Ikan Diasapi 

Dengan Berbagai Metode Pengasapan Panas. 

Hembusan untuk 

membakar 1 kg 

kayu (m3/jam) 

Temperatur 

pembakaran 

oC 

Kandungan 3,4 benzopirene 

Per m3 asap Per gram tar 

1 2 3 4 5 6 7 8 

Tanpa hembusan 

366 

460 

580 

555 

650 

750 

25,7 

58,1 

47,9 

24,5 

56,7 

47,9 

1,2 

1,4 

---- 

5,2 

5,2 

18,7 

3,3 

4,7 

7,3 

2,3 

2,1 

1,7 

      

                  Sumber :Purnomo dan Salasa, 2002 

 

   Keterangan: 

1. Temperatur pembakaran minimum 

2. Temperatur pembakaran maksimum 

3. Total 3,4 benzopirene per m

3

 asap 

4. 3,4 benzopirene per m

3

 asap, dalam tar 

5. 3,4 benzopirene per m

3

 asap, dalam cairan 

6. 3,4 benzopirene per gram tar, dari asap 

7. 3,4 benzopirene per gram tar, dari dinding pengasap 

8. 3,4 benzopirene per gram tar, dari 1 kg ikan asap 

Tabel 4.4 Hubungan Kandungan 3,4 Benzopirene Dengan 

Metode Pengasapan 

Pengasapan Bahan Bakar Rata-rata 

 Temperatur oC 

Kandungan 3,4 

benzopirene 

Dalam 

ikan(/kg) 

Dalam 

asap(/m3) 

Pengasapan dingin biasa 

+ asap cair 

Pengasapan panas biasa 

Dengan alat pengasapan, 

terowongan 

Elektrostatik 

Serbuk gergaji 

Sda 

Batangan 

Tatal 

 

Serbuk gergaji 

295 

295 

610 

770 

 

295 

0,8 

1,0 

12 

34 

 

3,1 

0,5 

-- 

35 

55 

 

-- 

Sumber: Purnomo dan Salasa, 2002 

                                         

70 

 

4. Ikan sebagai bahan baku pengasapan 

          Di negara kita  jenis-jenis ikan yang diolah dengan metode 

pengasapan di antaranya yaitu : cakalang, madidihang, 

tongkol, layang, bandeng, teripang, cumi-cumi, teri dan 

sebagainya. Jenis-jenis ikan yang berkadar lemak rendah 

sangat mudah mengering sewaktu diasapi, akan tetapi 

penampilannya kurang menarik, bau dan rasa kurang sedap. 

Sedangkan ikan yang berkadar lemak tinggi sulit mengering 

sewaktu diasapi dan mudah mengalami ketengikan. Kadar 

lemak optimum ikan untuk produk pengasapan yaitu  7-10 

persen untuk pengasapan dingin dan 10-15 persen untuk 

produk pengasapan panas. 

  Seperti halnya  pengolahan ikan pada umumnya, 

pengasapan ikan tidak dapat menyembunyikan karakteristik 

dari ikan yang sudah mundur mutunya. sebab  itu, untuk 

mendapatkan ikan asap yang bermutu harus menggunakan 

bahan mentah yang masih segar. 

a. Daya simpan 

         Dari asap, ikan menyerap zat-zat seperti aldehid, fenol 

dan asam-asam organik yang dapat menghambat pertumbuhan 

bakteri (bakteriostatik) dan membunuh bakteri (bakterisidal). 

Kelompok aldehid yang memiliki  daya sterilisasi paling kuat 

yaitu  formaldehid. Suatu penelitian mengenai dampak 

sterilisasi dari pengasapan mengungkapkan bahwa bakteri yang 

tidak membentuk spora seperti Bacterium proteus vulgaris atau 

Staphylococci, yaitu  kurang tahan terhadap asap dan dapat 

dibasmi dengan pengasapan singkat. Sementara bakteri yang 

membentuk spora seperti Bacillus subtilis dan  B. mesentericus 

memiliki  ketahanan yang lebih besar.  

  Akan tetapi jumlah zat yang bersifat bakteriostatik atau 

bakteriosidal yang dapat diserap hanya sedikit sekali, maka 

daya pengawetannya sangat terbatas. Oleh sebab  itu, 

pengawetan dengan pengasapan harus diikuti dengan cara 

71 

 

pengawetan lainnnya, terutama ikan asap akan disimpan dalam 

waktu relatif lama. 

b. Penampilan ikan 

   Kulit ikan yang sudah diasapi biasanya akan menjadi 

mengilat. Warna mengilat ini disebabkan sebab  timbulnya 

reaksi kimia dari senyawa yang terdapat dalam asap, yaitu 

formaldehid dengan fenol yang menghasilkan lapisan dammar 

tiruan pada permukaan ikan, sehingga menjadi mengilat. Untuk 

berlangsungnya reaksi ini diperlukan suasana asam, dan asam 

ini telah tersedia di dalam asap itu sendiri.                                             

c. Perubahan warna 

   Pengasapan ikan menyebabkan warna ikan akan berubah 

menjadi kuning emas kecokelatan. Warna ini dihasilkan oleh 

reaksi kimia fenol dengan oksigen dari udara. Proses oksidasi 

akan berjalan cepat bila lingkungan bersifat asam. Hal ini juga 

tersedia pada ikan yang diasapi. 

d. Cita rasa 

  Setelah diasapi, ikan memiliki  cita rasa dan aroma 

yang sangat spesifik, yaitu rasa keasap-asapan yang sedap. Cita 

rasa dan aroma ini  dihasilkan oleh senyawa asam, fenol, 

aldehid dan zat-zat lain sebagai pembantu untuk bisa 

menghasilkan rasa ini .  

B. Proses Pengasapan Ikan 

         Dalam proses pengasapan ikan pada prinsipnya terdapat 

beberapa proses pengawetan ikan yaitu: penggaraman, 

pengeringan, pemanasan dan pengasapan.  

72 

 

BBahan Baku

B

Ikan Beku

Ikan Segar

Pencucian

Pelelehan

Penyiangan

Pembentukan

Pengasapan dengan

kayu bakar

Pengasapan

degan asap cair

Perendaman

Penyusunan

Pengasapan

Perendaman

Penyusunan

Pengeringan

Pendinginan

Pengepakan

 

Gambar 4.1. Diagram Alir Proses  Ikan Asap 

Sumber: BSN, SNI 2725.3:2009. 

Secara umum proses pengasapan ikan yaitu  sebagai berikut: 

1. Perlakuan pendahuluan 

              Ikan yang akan diasapi terlebih dahulu disortir 

menurut jenis, ukuran dan mutu kesegarannya, selanjutnya 

harus dibersihkan dari kotoran yang dapat mencemari 

produk, dengan cara dicuci dengan air bersih dan disiangi 

(dikeluarkan isi perut dan insangnya). Persyaratan bahan 

baku ikan asap sebaiknya sesuai SNI 2725.2:2009. Mutu 

bahan baku  segar sesuai SNI 01-2729.2-1006: Ikan segar 

dan mutu bahan baku beku sesuai SNI 01-4110.2-2006 : 

Ikan beku. Bentuk ikan segar dan beku yang sudah atau 

belum disiangi. Bahan baku berasal dari perairan yang tidak 

tercemar. Bahan baku disimpan dalam wadah dengan  

menggunakan es dengan suhu pusat bahan baku maksimal   

o

C untuk bahan baku segar dan  -18 

o

C untuk bahan baku 

beku, disimpan secara saniter dan higienis.  

              Bila menggunakan bahan baku ikan yang dibekukan, 

ikan dicairkan pada air mengalir. Untuk proses pencairan 

73 

 

ini, penting untuk menjaga ikan tetap dalam keadaan 

setengah beku untuk keperluan proses selanjutnya. Dalam 

mengeluarkan bagian dalam ikan, harus dilakukan dengan 

hati-hati agar tidak merusak penampilan fisik hasil 

perikanan. 

        Hasil penelitian (Horner, 1992), mutu bahan baku 

memengaruhi tingkat pembentukan warna cokelat pada 

permukaan otot ikan. Oleh sebab  itu, kualitas bahan baku 

akan memengaruhi tampilan dan tekstur ikan asap. 

 

  Tabel 4.5 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku 

Jenis Uji Satuan Persyaratan 

a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7 

b. Cemaran mikroba 

- ALT 

- Escherichia coli 

- Salmonella 

- Vibrio cholerae 

 

Koloni/g 

APM/g 

per 25 g 

per 25 g 

 

Maksimal 5,0 x 10

Maksimal < 2 

Negative 

Negative 

c. Cemaran kimia* 

- Raksa (Hg) 

- Timbal (Pb) 

- Histamin 

- Cadmium (Cd) 

 

mg/kg 

mg/kg 

mg/kg 

mg/kg 

 

Maksimal 1 

Maksimal 0,4 

Maksimal 100 

Maksimal 0,1 

d. Fisika 

- Suhu pusat 

 

o

 

Maksimal -18 

e. Parasit Ekor Maksimal 0 

*) Bila diperlukan 

  Sumber: SNI 01-4110.1-2006 

     

          Penggunaan es (balok dan curai) untuk 

mempertahankan kesegaran ikan mengacu pada                  

SNI 01-4872.1-2008 di mana air sebagai bahan baku es, 

harus sesuai syarat air minum. 

 

 

74 

 

Tabel 4.6. Persyaratan Mutu dan Keamanan   Pangan Es untuk  

Penanganan Ikan 

Jenis Uji Satuan Persyaratan 

a. Organoleptik Angka (1-9) 7 

b. Cemaran Mikroba 

- ALT 

Suhu 22 

o

Suhu 37 

o

- E.Coli/coliform 

- Enterococcus* 

 

 

Koloni/ml 

Koloni/ml 

Koloni/ml 

Koloni/ml 

 

 

Maksimal 1,0x10

Maksimal 2,0x10 

c. Cemaran kimia 

-  pH 

-  Nitrat* 

- Besi 

- Klorida 

- Free klorin 

 

Angka (1-14) 

mg/ml 

mg/L 

mg/L 

mg/L 

 

6,5-8,5 

Maksimal 0,5 

Maksimal 200 

Maksimal 250 

Maksimal 0,5 

d. Fisika* 

Suhu pusat 

 

o

 

Maksimal -3 

Catatan:*untuk es balok 

          ** jika diperlukan 

Sumber: BSN; SNI 01-4872.1-2006 

2. Penggaraman 

        Ikan yang sudah bersih atau sudah mengalami 

perlakuan pendahuluan (sudah dicuci dan disiangi) 

dilakukan proses penggaraman. Penggaraman ini dapat 

dilakukan baik dengan cara penggaraman kering (dry 

salting) maupun penggaraman dengan larutan garam (brine 

salting). Penggaraman ini menyebabkan terjadinya 

penarikan air dan penggumpalan protein dalam daging ikan 

sehingga mengakibatkan tekstur ikan menjadi lebih kompak. 

  Pada konsentrasi yang agak tinggi, garam dapat 

menghambat perkembangan bakteri dan perubahan warna. 

Di samping hal ini , garam juga memberikan flavor, 

tetapi kemurnian dan kepekatan garam yang digunakan 

harus benar-benar terkontrol. Kepekatan dan lamanya proses 

penggaraman tergantung pada keinginan pengolah yang 

disesuaikan dengan selera konsumen.  

75 

 

Pada perusahaan pengasapan, umumnya menggunakan 

metode penggaraman larutan dengan kejenuhan garam        

70-80 persen. Larutan garam dengan kejenuhan 100 persen 

akan merusak produk yaitu dengan terbentuknya kristal 

garam di atas permukaan ikan. Sebaliknya, bila 

menggunakan larutan garam yang memiliki  kejenuhan   

50 persen, ikan dapat sedikit mengembang. Walaupun ikan 

dapat menyerap garam 2-3 persen, ikan juga dapat 

bertambah beratnya 2-3 persen akibat dari air yang diserap 

dan air ini harus diuapkan selama proses pengasapan.  

Penggunaan bahan pembantu garam ini sebaiknya sesuai   

SNI 01-4435-2000. 

Tabel 4.7 Syarat Mutu Garam Bahan Baku untuk    

Industri Garam Beryodium 

No. Kriteria 

Uji 

Satuan Persyaratan 

1. 

 

 

 

2. 

3. 

Keadaan: 

-Bau 

-Rasa 

-Warna 

Natrium 

klorida 

(NaCl) 

Air (H2O) 

 

%(b/b) 

 

Normal 

Asin 

Putih normal 

Min.94,7 

Maks.7 

     Sumber :SNI 01-4435-2000 

 

3. Pengeringan 

        Setelah penggaraman dan pencucian dengan air tawar, 

lalu dilakukan tahap pengeringan yaitu untuk 

menghilangkan sebagian air sebelum proses pengasapan. 

Proses pengeringan ini sangat menentukan kekompakan atau 

kekenyalan produk asap. Jika daging ikan yang sangat basah 

langsung diasapi tanpa dilakukan pengeringan maka banyak 

kandungan air dari permukaan ikan yang akan menguap dan 

terjadi destilasi. Produk destilasi dari pembakaran kayu yang 

76 

 

utama yaitu  bahan semacam tar dan akan menempel pada 

permukaan ikan, sehingga permukaan ikan berwarna cokelat 

tua gelap dan jelek. 

Untuk mengatasi fragmentasi (kerapuhan) pada ikan 

asap perlu dilakukan pengeringan selama 1 jam pada suhu    

25 

o

C dan kelembaban relatif 40-50 persen sebelum diasap 

dapat mengurangi kelembaban ikan sampai 50 persen. 

Selain itu penanganan yang berlebihan selama pengasapan 

turut berkontribusi pada kerapuhan ikan asap. 

 Pengeringan dapat dilakukan dengan cara 

menggantung ikan di atas rak-rak pengering di udara 

terbuka. Hal ini dapat dilakukan pada kondisi iklim yang 

kelembaban nisbihnya rendah. Akan tetapi, bila iklim 

setempat memiliki  kelembaban yang tinggi hingga proses 

pengeringan menjadi lambat, maka tahap pengering harus 

dilakukan dalam lemari-lemari pengering. 

Protein ikan yang larut dalam garam akan membentuk 

larutan yang agak lengket. Kondisi ini setelah kering akan 

mengakibatkan permukaan ikan menjadi mengkilap. Kilap 

ini merupakan salah satu kriteria yang diinginkan untuk ikan 

asap yang bermutu baik. Kilap yang menarik dapat 

diperoleh dengan menggunakan garam dengan kejenuhan 

70-80%. Kejenuhan yang lebih rendah atau lebih tinggi akan 

mengakibatkan rupa yang agak suram. 

Melaui pengeringan yang benar, permukaan ikan pada 

bagian dalam menjadi lebih kering. Banyak kandungan air 

menguap dari bagian interseluler ikan dan meninggalkan 

celah-celah antara sel di lapisan permukaan. Hal ini dapat 

menyebabkan ikan dapat menyerap warna dan bau asap 

dengan baik pada saat pengasapan. 

                Ikan yang berkadar lemak tinggi, pada pengeringan 

pendahuluannya harus dipersingkat dengan menaikkan 

sedikit suhunya, sebab  lemak dapat menghambat 

pengeringan permukaan. Di samping itu, lemak 

77 

 

menghambat perembesan air ke permukaan sehingga waktu 

yang diperlukan untuk proses pengeringan menjadi lebih 

lama. 

4. Penataan 

         Penataan ikan diatur sedemikian rupa dalam ruang 

pengasapan bertujuan untuk mendapatkan aliran asap dan 

panas yang merata di mana hal ini sangat menentukan 

kualitas produk akhir. Untuk mendapatkan aliran asap dan 

panas yang merata, jarak antara ikan-ikan pada rak pengasap 

dan jarak antara masing-masing rak pengasapan dalam 

ruang pengasapan tidak boleh terlalu rapat. 

5. Pengasapan 

        Tujuan pengasapan dalam pengawetan ikan yaitu  

untuk mengawetkan dan memberi warna serta rasa asap 

yang khas pada ikan. Sebenarnya, daya awet yang 

ditimbulkan oleh asap sangat terbatas, sehingga supaya ikan 

dapat tahan lama maka harus diikuti atau didahului oleh cara 

pengawetan lain. 

 Pengasapan juga bertujuan untuk mengeluarkan uap 

dari unsur-unsur senyawa fenol atau aldehid dari jenis kayu 

yang dilekatkan pada tubuh ikan atau untuk memasukkan 

unsur-unsur ini  ke dalam tubuh ikan sehingga 

menghasilkan rasa dan aroma yang khas, serta 

mengeringkan ikan sehingga didapat efek pengawetan yang 

diharapkan. Rasa lezat yang menjadi ciri khas produk ikan 

yang diasap, terutama dari senyawa fenol dan aldehid. 

Unsur fenol meleleh pada lemak yang ada pada bagian kulit 

luar ikan dan mengendalikan oksidasi otomatis pada bagian 

berlemak ini, sehingga mencegah terjadinya perubahan 

warna kemerahan pada produk akhir. Unsur dalam asap, 

yang efektif untuk menahan berkembang biaknya 

mikroorganisme yaitu  senyawa aldehid, fenol dan asam 

organik.  

78 

 

   Sveinsdttior, 1998 menyatakan bahwa senyawa asap 

dapat mengurangi pH permukaan ikan dengan demikian 

membuat lingkungan ikan asap kurang menguntungkan bagi 

sebagian besar bakteri. Dikatakan pula bahwa pembentukan 

warna selama pengasapan diduga disebabkan oleh reaksi 

Maillard di mana komponen asap memainkan peran yang 

dominan. Zat anti bakteri pada unsur aldehid sangatlah kuat. 

sebab  senyawa-senyawa yang terdapat di dalam asap yang 

mengandung zat antibakteri ini tidak ikut masuk ke dalam 

produk ikan, maka efek anti pembusukan terdapat hanya di 

sekitar permukaan kulit ikan saja. Dengan kata lain, 

meningkatnya efek pengawetan pada produk akibat 

pengasapan dihasilkan dari proses pengeringan dan 

penggaraman, yang meresap masuk (infiltrate) ke dalam 

produk ikan.  

Pada pengasapan dingin, panas yang timbul dari asap 

tidak berpengaruh banyak pada ikan. Sehingga waktu 

pengasapan harus lama sebab jarak antara sumber asap dan 

ikan cukup jauh. sebab  pengasapannya lama, maka 

kadang-kadang ikan menjadi keras seperti kayu. 

Pada pengasapan panas, jarak antara ikan dan sumber 

asap biasanya dekat. Maka suhunya cukup tinggi, sehingga 

ikan cepat matang. Panas yang tinggi dapat menghentikan 

kegiatan enzim yang tidak diinginkan, menggumpalkan 

protein, dan menguapkan sebagian air dalam badan ikan, 

sehingga daya awet ikan dapat ditingkatkan. 

Terjadinya proses pengeringan selama pengasapan 

maka pengurangan kadar air bersama-sama dengan daya 

pengawet dari asap, sehingga pengasapan memiliki  daya 

pembunuh bakteri (bactericidal), yang kekuatannya 

tergantung dari banyaknya asap yang terserap. 

Pada umumnya terdapat dua metode pengasapan yang 

telah lama dilakukan yaitu pengasapan panas dan 

pengasapan dingin. Namun dewasa ini di negara-negara 

79 

 

maju telah dikembangkan dengan menggunakan listrik 

(electric smoking). 

Untuk mengefisiensikan waktu dan tenaga, 

dikembangkan pula penggunaan asap cair (liquid smoke), 

yaitu dengan mencelupkan ikan ke dalam larutan bahan-

bahan asap (smoke concentrate) setelah itu baru 

dikeringkan. Asap cair ini diperoleh dari penyulingan kering 

(dry destilation) asap kayu. Percobaan-percobaan masih 

terus dilakukan untuk mencari jenis asap cair yang dapat 

memberikan hasil yang memuaskan tanpa menimbulkan 

akibat yang merugikan bagi konsumen. 

Selain itu, penanganan yang berlebihan selama 

pengasapan turut berkontribusi pada kerapuhan ikan asap 

(Njai,2000), maka dianjurkan untuk menggunakan baki 

sehingga mudah dipindahkan ke bagian yang berbeda dari 

tempat pengasapan agar semua ikan mendapat pengasapan 

yang merata (Horner, 1992). 

     Selanjutnya akan dijelaskan  di bawah ini, ada lima 

jenis proses pengasapan yaitu, pengasapan dingin(cold 

smoking), pengasapan hangat (warm smoking), pengasapan 

panas(hot smoking), pengasapan cair (liquid smoke), dan 

pengasapan listrik (electric smoking). 

a. Pengasapan panas (Hot smoking) 

             Pada pengasapan panas, suhu asap mencapai            

120-140 

o

C  dalam waktu 2-4 jam, dan suhu pada pusat ikan 

dapat mencapai 60 

o

C. Pada pengasapan panas ini di 

samping terjadi penyerapan asap, ikan juga menjadi matang. 

Rasa ikan asap ini sangat sedap dan berdaging lunak, tetapi 

tidak tahan lama, dengan kata lain harus dikonsumsi 

secepatnya. Kecuali bila suhu ruang penyimpanan rendah. 

Hal ini disebabkan oleh kadar air dalam daging ikan masih 

tinggi (>50%). 

    Menurut Horner (1992), untuk mengurangi akumulasi 

Polynuclear Aromatic Hydrocarbon (PAH) pada ikan, maka 

80 

 

selama pengasapan panas suhunya harus diturunkan         

(70-80 

o

C). 

b. Pengasapan hangat (warm smoking) 

         Bahan baku ikan, setelah direndam dalam larutan 

garam, diasap kering pada suhu sekitar   30 

o

C, kemudian 

secara bertahap suhu dinaikkan. Bila telah mencapai suhu 

90

 o

C, proses pengasapan selesai. Proses ini menitikberatkan 

pada pentingnya aroma dan cita rasa produk dan bertujuan 

menghasilkan produk yang diasap yang lembut dan kadar 

garam kurang dari 5 persen serta kadar air sekitar 50 persen. 

Produk yang dihasilkan dari proses ini mengandung kadar 

air yang relatif tinggi, sehingga mudah busuk, mutu 

produknya juga cepat menurun selama proses penyimpanan, 

sehingga harus disimpan dalam suhu rendah.   

c.  Pengasapan dingin (cold smoking) 

        Pada pengasapan dingin suhu asap tidak boleh melebihi 

20-40 

o

C dalam waktu 1-3 minggu, kelembaban (RH) yang 

terbaik yaitu  antara 60-70 persen. Kelembaban di atas 70 

persen menyebabkan proses pengeringan berlangsung 

sangat lambat. Bila di bawah 60 persen permukaan ikan 

mengering terlalu cepat, dan akan menghambat penguapan 

air dari dalam daging. Selama pengasapan, ikan akan 

menyerap banyak asap dan menjadi kering, sebab airnya 

terus menguap. Supaya tahan lama biasanya ikan diasapi 

dengan metode ini. Produk asap dengan cara ini disebut ikan 

kayu, sebab  memang sangat keras seperti kayu. Kadar 

airnya 20-40 persen. Produk dapat disimpan selama lebih 

dari satu bulan. 

 

d.  Pengasapan cair (liquid smoke) 

        Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel padat 

dan cair dalam medium gas (Girard, 1992). Sedangkan asap 

cair merupakan campuran larutan dari dispersi asap kayu 

dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap 

81 

 

hasil pirolisis kayu. Cara yang paling umum digunakan 

untuk menghasilkan asap pada pengasapan makanan yaitu  

dengan membakar serbuk gergaji kayu keras dalam suatu 

tempat yang disebut alat pembangkit asap ( Maga, 1987) 

kemudian asap ini  dialirkan ke rumah asap dalam 

kondisi sirkulasi udara dan temperatur yang terkontrol. 

Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran yang  tidak 

sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi sebab  

pengaruh panas, polimerisasi, dan kondensasi ( Girard, 

1992). 

        Asap cair mengandung berbagai senyawa yang 

terbentuk sebab  terjadinya pirolisis tiga komponen kayu 

yaitu : selulosa, hemiselulosa, dan ignin. Lebih dari 400 

senyawa kimia dalam asap telah berhasil diidentifikasi. 

       Dalam proses pengasapan cair, aroma asap yang akan 

dihasilkan pada proses pengasapan  didapat tanpa melalui 

proses pengasapan, melainkan melalui penambahan cairan 

bahan pengasap (smoking agent) ke dalam produk. Bahan 

baku ikan direndam dalam wood acid, yang didapat dari 

hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil 

ekstrak yang ditambahi pewangi kayu, yang hampir sama 

dengan aroma pada pengasapan, setelah itu ikan dikeringkan 

dan menjadi produk akhir. Metode penambahan bahan 

pengasap ke dalam ikan, dapat dilakukan melalui penuangan 

langsung, pengasapan, pengolesan atau penyemprotan. 

Melalui proses ini tidak diperlukan lagi ruang tempat 

pengasapan atau alat pengasap yang menjadi keuntungan 

dari proses ini, namun aroma produk yang dihasilkan jauh di 

bawah dari aroma produk yang dilakukan dengan proses 

pengasapan sesungguhnya. 

e.  Pengasapan listrik (electric smoking) 

  Metode pengasapan listrik, ikan diasapi dengan asap 

yang telah terkena pancaran gelombang listrik, ikan diasapi 

dengan asap yang telah terkena pancaran gelombang 

82 

 

elektromagnetik yang berbentuk korona yang dihasilkan 

oleh tenaga listrik (asap yang bermuatan listrik). 

   Pada metode ini asap yang bermuatan listrik ini  

dapat melekat ke permukaan ikan lebih mudah daripada 

metode pengasapan panas atau dingin. 

6. Pendinginan dan Pengemasan 

         Proses pengasapan pada umumnya diakhiri dengan 

tahap pendinginan dan pengemasan. Setelah selesai tahap 

pengasapan, produk disimpan dalam ruangan yang bersih 

dan dibiarkan sehingga mencapai suhu ruang, kemudian 

dilaksanakan pengemasan. Pengemasan dapat digunakan 

plastik polietilen dan untuk memperpanjang umur simpanan 

produk dapat dilakukan pengemasan hampa udara. 

         Penjelasan dari Sveinsdottir (1998), bahwa sebelum 

pengemasan, ikan harus didinginkan, pada saat itu banyak 

uap air menguap. Jika ikan dikemas ketika sedang hangat, 

uap air akan mengembun di permukaan dan mendorong 

pertumbuhan jamur. Kemasan merupakan bagian penting 

dari pengolahan makanan sebab  mefasilitasi penanganan 

selama penyimpanan dan distribusi dalam rantai pemasaran. 

Bahan kemasan harus memiliki karakteristik tertentu, seperti 

kekuatan yang memadai untuk melindungi produk yang 

dikemas dari kerusakan, harus siap tersedia dan mudah 

digunakan, dan harus bersih untuk mencegah kontaminasi 

oleh zat yang tidak diinginkan. 

C. Peralatan Pengasapan 

    Peralatan paling spesifik yang digunakan dalam 

pengasapan yaitu  tempat pengasapan atau mesin/alat 

pengasapan. Peralatan pengasapan yang dipergunakan dapat 

dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu peralatan pengasapan 

tradisional dan peralatan pengasap modern. 

 

 

83 

 

(1) Peralatan Pengasapan Tradisional 

         Peralatan pengasapan yang ada dan berkembang di 

negara kita  yaitu  pengasapan  tradisional, di antaranya: 

(a)  Gubug Pengasapan 

 Ukuran gubug tempat pengasapan ini biasanya yaitu  

10x5 m. Pengasapan ikan dilakukan di dalam gubug ini. Ikan 

diserakkan di atas para-para. Sumber asap berasal dari kayu 

jenis tertentu, seperti kayu seru, tempurung/sabut kelapa,dan 

lain-lain yang dibakar di dasar lantai, gubug tempat 

pengasapan ini banyak digunakan oleh nelayan. 

 

Gambar 4.2. Gubug Pengasapan 

(b)  Drum Pengasapan 

         Drum bekas yang bersih dilengkapi dengan cantelan atau 

kaitan untuk menaruh ikan, potongan bambu atau kawat 

sebagai penggantung ikan yang akan diasapi. Di atas drum ini 

diberi tutup, sekaligus sebagai pengatur ketebalan asap, atau 

bagian bawah drum itu dijadikan tungku. Kapasitas alat 

pengasap ini sangat terbatas dan kurang efisien untuk 

pengasapan ikan dalam jumlah besar. 

84 

 

 

                   Gambar 4.3. Drum Pengasapan  

(c) Rumah Pengasapan 

        Alat ini diciptakan dan diperkenalkan oleh Pusat 

Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Konstruksi alat ini 

terdiri dari tiga bagian susunan terpisah yaitu: ruang 

pengasapan, tumpukan rak dan tutup di bagian atasnya. Ukuran 

1,5x1,5 m dan tingginya tergantung dari tumpukan rak yang 

digunakan. Dinding ruang pengasapan dari seng dengan 

bingkai kayu, tinggi dapur satu meter. Sebagai tempat perapian 

digunakan drum yang diletakkan dalam ruang pengasapan yang 

dilengkapi dengan lubang yang menghadap ke atas untuk 

keluarnya panas dan asap. Rak untuk meletakkan ikan terbuat 

dari bingkai kayu, beralas krei bambu. Tutup rumah asap 

berbentuk atap rumah, terbuat dari seng dengan bingkai kayu. 

Hasil percobaan dengan alat ini menunjukkan bahwa untuk 

mengasapi 250 kg ikan dengan rendemen produk akhir sekitar 

30 persen dibutuhkan waktu ± 18 jam dengan konsumsi kayu 

bakar sekitar 2 kg/jam. 

85 

 

 

Gambar 4.4 Rumah Pengasapan 

   Menurut Amril (2007), teknik yang digunakan sebagai 

pengusaha ikan asap di Bogor pada proses pengasapan saat ini 

boleh dibilang cukup efisien. Pasalnya, hanya dalam waktu 4 

jam, ikan asap sudah matang dan siap untuk dikemas. Padahal 

para pengolah ikan asap di Sumatera rata-rata membutuhkan 

waktu tidak kurang dari 30 jam untuk proses pengasapan. 

(d)  Lemari Asap 

         Dengan menggunakan tempat pengasapan berbentuk 

lemari yang dapat ditutup rapat, panas dan asap kayu dapat 

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ikan digantungkan pada 

palang-palang kayu atau besi diletakkan pada rak dalam lemari. 

Sumber panas dan asapnya terdapat di bagian bawah, sehingga 

panas dan asap yang terbentuk dapat langsung atau melewati           

terowongan asap masuk ke dalam ruangan asap. Di bagian atas 

lemari diberi saluran untuk pengeluaran asap. 

86 

 

 

                  Gambar 4.5 Lemari asap 

 

         Alat ini mudah dioperasikan, waktu yang digunakan 

dalam setiap pemrosesan lebih cepat (10-15 menit) 

dibandingkan dengan alat tradisional (3-6 jam), kapasitas alat 

25 kg/proses, hasil ikan asapnya lebih nikmat sebab  adanya 

tambahan rempah-rempah, ikan asap tahan 3-5 hari jika 

ditambahkan asap cair, dan produk ikan asap lebih higienis 

sebab  tidak terkotori oleh lalat dan debu. Alat ini tahan karat 

sehingga akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan 

pengasap ikan (Sukoyo, dkk, 2010). 

(2)  Peralatan Pengasapan Modern 

(a)  Peralatan Pengasapan Listrik 

 Dalam ruang pengasapan listrik dipasang sepasang kabel 

yang dialiri listrik dengan arus listrik langsung (direct current) 

atau tak langsung (indirect current) dengan tegangan tinggi 

(10-20 ribu volt) yang menyebabkan pancaran gelombang 

elektromagnetik berbentuk korona. 

        Di dasar ruang asap, kayu/ serbuk gergaji dibakar seperti 

biasa. Asap yang terbentuk akan dialiri dengan listrik 

bermuatan positif dan negatif oleh pancaran elektromagnetik 

berbentuk korona. 

87 

 

          Ikan digantung pada kabel listrik yang melintas di ruang 

pengasap dengan menggunakan kawat logam, dan ikan-ikan 

ini  berperan sebagai elektroda positif(+) dan negatif (-) 

sehingga asap yang bermuatan listrik positif(+) mengalir ke      

arah ikan yang bermuatan negatif (-) dan sebaliknya asap yang 

merbuatan negatif(-) mengalir ke arah ikan yang berperan 

sebagai elektroda positif. 

 

 

 

 

Gambar  4.6 Pengasapan Listrik 

  Apabila digunakan arus listrik langsung (direct current), 

tegangan listrik dapat dinaikkan dengan neontransformer. 

Untuk pengasapan ikan kecil-kecil, sebagai elektrodanya dapat 

digunakan jarring kawat logam. Sedangkan untuk proses yang 

berjalan berkelanjutan digunakan ban berjalan. 

(b) Pengasap Mekanik 

Di beberapa negara maju telah dikembangkan berbagai 

unit pengasapan mekanik, dalam usaha untuk memperbaiki 

proses pengasapan. Dalam unit pengasapan mekanis dibuat 

perapian khusus (smoke generator) di luar ruang asap. Asap 

dialirkan ke dalam ruang asap melalui pipa. Suhu pengasapan 

88 

 

dapat dijaga dan asap yang mengalir dapat dikontrol secara 

mekanis. 

Beberapa unit pengasap mekanis yang telah dikembangkan: 

1. Mecanical kiln for smoked fish, yang dikembangkan di 

Jepang 

2. Hot smoking kiln yang digunakan di CIS 

 

D. Mutu, Sanitasi, dan Higienitas Ikan Asap 

          Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan asap, yaitu 

dengan menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Cara 

lain dengan pengujian fisik, kimiawi dan mikrobiologis yang 

tentu saja memerlukan teknik, peralatan, dan tenaga khusus 

yang tidak mudah dan tidak murah. Penilaian mutu secara 

sensori sudah sangat memadai jika dilakukan dengan baik dan 

benar. Mutu berbagai ikan yang diasapkan dapat dilihat pada 

Tabel 4.8. 

 

Tabel 4.8 Komponen Kimia Beberapa Produk Ikan Asap 

Jenis Ikan Asap Air  

Protein  

Lemak  

Abu  

Garam  

Bandeng segar 70,4 22,84 1,51 2,15 1,58 

Pindang bandeng 65,5 21,7 6,16 6,10 1,92 

Bandeng asap 54-59 27-40 2,5-6,0 2,5-5,0 - 

Sidat asap 60,9 26,4 7,5 6,0 - 

Teripang asap 18,3-53,6 19,3-79,5 0,6-2,3 25,6-16,7 - 

 

Sumber: Adawyah, 2007. 

          

 

 

89 

 

Ada lima parameter sensori utama yang perlu dinilai, yaitu 

penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Adanya jamur dan 

lendir juga perlu diamati. Kriteria dan deskripsi mutu sensoris 

ikan asap seperti pada Tabel 4.9. 

 

Tabel 4.9 Kriteria Mutu Sensoris Ikan Asap 

Parameter  Deskripsi Mutu Ikan Asap 

Penampakan Permukaan mutu ikan asap cerah, cemerlang, dan mengilap. Apabila kusam 

dan suram menunjukkan bahwa ikan yang diasap kurang bagus mutunya atau 

sebab  perlakuan dan proses pengasapan tidak dilakukan dengan baik dan 

benar. Tidak tampak adanya kotoran berupa darah yang mongering, sisa isi 

perut, abu, atau kotoran lainnya. Adanya kotoran semacam itu menjadi 

indikasi kalau pengolahan dan pengasapan tidak baik. Apabila pada 

permukaan ikan terdapat deposit Kristal garam maka hal itu menunjukkan 

bahwa penggaraman terlalu berat dan tentunya rasanya sangat asin. Tidak 

tampak tanda-tanda adanya jamur atau lendir. 

Warna Ikan asap berwarna cokelat keemasan, cokelat kekuningan, atau cokelat agak 

gelap. Warna kana sap tersebar merata. Adanya warna kemerahan di sekitar 

tulang atau berwarna gelap di bagian perut menunjukkan bahwa ikan yang 

diasap sudah bermutu rendah. 

Bau Bau asap lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau 

busuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam, dan tanpa bau apek. 

Rasa Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir atau 

pahit, dan tidak terasa tengik. 

Tekstur Tekstur kompak, cukup elastic, tidak terlalu keras (kecuali produk tertentu 

seperti ikan kayu), tidak lembek, tidak rapuh, dan tidak lengkaet. Hendaknya 

kulit ikan tidak mudah dikelupas dari dagingnya. 

                      Sumber: Adawyah,2007 

        Penilaian organoleptik atau sensori ikan asap mengacu 

pada SNI 2725.1:2009 (Lembar penilaian sensori ikan asap). 

Standar mutu ikan asap sebaiknya sesuai dengan                     

SNI 2725.1.2009. 

 

 

 

 

 

 

 

 

90 

 

Tabel 4.10 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan            

Ikan Asap 

Jenis Uji Satuan Persyaratan 

a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7 

b. Cemaran mikroba* 

-ALT 

-Escherichia coli* 

-Salmonella* 

-Vibrio cholera* 

-Staphylococcus 

aureus* 

Koloni/g,APM/g 

per 25 g 

per 25 g 

Koloni/g 

 

Maksimum 1x 10

Maksimal < 3 

Negatif 

Negatif 

Maksimal 1x 10

c. Kimia* 

-Kadar air 

-Kadar histamine 

-Kadar garam 

 

% fraksi massa 

mg/kg 

%fraksi massa 

 

Maksimal 60 

Maksimal 100 

Maksimal 4 

Catatan *) Bila diperlukan 

                Sumber: BSN; SNI 2725.1.2009 

        Daya simpan ikan asap menurut Horner (1992), 

merupakan kombinasi dari menurunnya aktivitas air dan 

serapan komponen antioksidan asap kayu sebagai 

bakteriosidal. Selain itu, suhu penyimpanan juga dapat 

memengaruhi daya awet ikan asap. Faktor lain yaitu  metode 

pengeringan, prosedur pengasapan, jumlah komponen asap, 

bahan kemasan dan kebersihan selama produksi (Sveinsdottir, 

1998).  

         Penelitian yang dilakukan oleh Susilawati dan Erna 

(2001) dengan menggunakan teknik pengasapan panas yaitu 

metode pengasapan ikan lele dumbo dengan menggunakan 

suhu tinggi (80-100 °C), dan dengan waktu 3-5 jam dengan 

berbagai bahan baku sumber asap (tempurung kelapa, sabut 

kelapa dan kayu dari pohon lamtorogung), hasil penelitian 

menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengasap tempurung 

kelapa selama penyimpanan 10 hari menghasilkan ikan lele 

dumbo asap dengan mutu terbaik dan masih layak untuk 

dikonsumsi, dengan karakteristik kadar air 48,47 persen, kadar 

91 

 

abu 4,13 persen, total mikroba anaerob 1,2 x 10

5 koloni/gram, 

bilangan peroksida 0,0098 ml/gram, asam lemak bebas 2,12 

persen, dengan uji organoleptik terbaik dengan kriteria 

penampakan cukup menarik, bersih, berwarna cokelat tua 

keemasan, aroma khas ikan asap, tekstur kompak dan kering. 

         Keamanan pangan yang perlu diperhatikan pada produk 

ikan asap yaitu  terhadap kemungkinan kontaminasi oleh 

bakteri patogen Listeria monocytogenes yang dapat                                                                                       

menghasilkan toksin listeriosis. L.monocytogenes berimplikasi 

menyebabkan gejala-gejala ringan gastrointestinal (radang 

perut),  bagi produk ready to eat pertumbuhannya di atas level 

10

2

-10

per gram (IFST, 1999).  L.monocytogenes dapat 

tumbuh di bawah kondisi  anaerobic atau  microaerophili dan 

pada temperatur (0 - 45°C) serta optimum pada 30 - 37°C. 

Faktor-faktor pembatas dan ketahanan panas untuk  

L.monocytogenes terdapat pada Tabel 4.11. 

 

Tabel 4.11 Faktor-Faktor Pembatas dan Ketahanan Panas 

Listeria Monocytogenes 

Parameter Range 

Aw >0,92 

Temperatur (

o

C) -0,4 – 45 (Optimum 30-37) 

pH 4,5 – 9,6 

NaCl <0,5-10 

Heat resistence D60=2,4-16,7 min in meat 

D60=1,95-4,48 min in fish 

Sumber: Orozco , 2000. 

          Sumber L. monocytogenes berasal dari beberapa 

lingkungan alamiah seperti air, tanah, sampah, lumpur, hewan 

dan faeces. Siklus infeksi L.monocytogenes pada manusia 

dapat dilihat pada Gambar 4.7. 

92 

 

Humans

Fish/Shellfish

FaecesWater

Fruit 

vegetables

Soil

AnimalFeed/Forage

Milk 

Meal

Insects

 

Gambar 4.7 Siklus Infeksi Listeria  monocytogenes  

Sumber: Orozco, 2000. 

 

         Produk saat ini setelah tahap-tahap  pemotongan ikan, 

penggaraman atau pengasapan dingin tidak menurunkan atau 

mengurangi L. monocytogenes. Penambahan garam 

menurunkan aktivitas air sampai 0,95 tetapi hal ini tidak cukup 

untuk menghambat pertumbuhan L. monocytogenes (Tabel 

4.11). Ketika dilakukan penggaraman dengan tiba-tiba, risiko 

re-kontaminasi dapat meningkat. Suhu normal tahap 

pengasapan dingin (± 28

o

C) terlalu rendah untuk membunuh 

bakteri pathogen dan refrigerasi serta pengemasan vakum tidak 

menghentikan pertumbuhannya, tetapi telah dianjurkan bahwa 

pengasapan dapat menghambat pengaruh  L. monocytogenes. 

Pada produk pengasapan dingin konsentrasi garam (2,5-4%) 

dihubungkan dengan suhu refrigersi dapat menurunkan  

pertumbuhan L. monocytogenes secara signifikan. Ketika 

kondisi anaerobic diikuti pengemasan vacuum pertumbuhannya 

lambat, kemungkinan saling kompetisi atau pengaruh 

hambatan dari bakteri asam laktat (Orozco, 2000). 

        Saat ini teknik pengawetan baru untuk produk ikan 

dengan pengasapan dingin sedang dipelajari. Sebagian fokus 

pada perlindungan kultur untuk menghambat pertumbuhan                  

L. monocytogenes, seperti efek penghambatan dari bakteri 

asam laktat (BAL) yang berbeda dan bakteriosin sebagai 

biopreservatif (Duffes, 1999: Nilsson et al. 1999). 

93 

 

E. Pengaruh Proses Pengasapan Terhadap Aroma,   

Citarasa dan Nilai Gizi Pangan 

        Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa 

pengolahan pangan perlu dilakukan.  Pertama, yaitu  untuk 

mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dimakan 

sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan ini  

dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kedua,  yaitu  agar 

bahan pangan ini  dapat diterima, khususnya diterima 

secara sensori, yang meliputi penampakan, aroma, warna, rasa               

(mouthfeel , aftertaste) dan tekstur (kekerasan, kelembutan, 

konsistensi, kekenyalan, kerenyahan). Di satu sisi pengolahan 

dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat yang     

diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik 

secara sensori. Di sisi lain, pengolahan juga dapat 

menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa 

toksik sehingga produk menjadi kurang atau tidak aman, 

kehilangan zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah yang 

kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, 

tekstur, bau dan rasa yang kurang atau tidak disukai. Dengan 

demikian diperlukan suatu usaha optimasi dalam suatu 

pengolahan agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang 

tidak diinginkan ditekan sampai minimal. Untuk itulah, 

pentingnya pengetahuan akan pengaruh pengolahan terhadap 

nilai gizi dan keamanan pangan. Walaupun demikian, hal yang 

lebih penting yaitu  bagaimana seharusnya melakukan suatu 

pengolahan pangan agar bahan pangan yang kita hasilkan 

bernilai gizi tinggi dan aman. 

        Pengolahan hasil perikanan merupakan suatu proses yang 

terlibat  mulai dari penanganan ikan setelah ditangkap sampai 

kepada usaha pengawetan dan pengolahan menjadi produk jadi  

serta penyimpanannya. Pemahaman yang benar dalam 

pengolahan hasil perikanan sangat perlu bagi pengolah agar 

produk yang disiapkannya aman dikonsumsi dan tidak banyak 

berkurang gizinya. 

94 

 

         Pengasapan yaitu  salah satu teknik pengolahan 

kombinasi antara perlakuan panas, komponen asap dan aliran 

gas. Pengasapan biasanya dilakukan terhadap daging dan ikan. 

Proses ini  dapat memengaruhi nilai gizi pangan melalui 

reaksi antara senyawa dalam asap dengan zat gizi bahan 

pangan. Senyawa dalam asap dapat menyebabkan reaksi 

oksidatif lemak pangan, mengganggu nilai hayati protein, dan 

merusak beberapa vitamin (Harris dan Karmas, 1989). 

 Sejak tahun 1970-an telah diketahui terdapat sejumlah 

300 senyawa kimia dalam asap. Kelompok senyawa kimia 

dalam asap kayu yaitu karbonil (aldehid dan keton), asam 

organik, fenolik, basa organik, alkohol, hidrokarbon, gas CO2, 

CO, O2, dan nitrogen. Di antara senyawa asap ini  ada 

yang bersifat melindungi, yaitu yang bersifat antioksidan, dan 

bakterisidal. Adapun kerja bakterisidal pengasapan merupakan 

gambaran pengaruh pemanasan, pengeringan dan komponen 

kimia asap. Namun demikian, faktor utama kerja bakterisidal  

yaitu senyawa kimia asap. Pengasapan dapat melindungi 

kerusakan zat gizi secara langsung, dan kerusakan 

mikrobiologis sebab  asap bersifat bakterisidal (Tejasari, 

2005). Selanjutnya, dijelaskan bahwa, bagian penting 

pengasapan yaitu perlakuan pengasapan dan pengeringan. 

Panas menyebabkan denaturasi protein daging yang dimulai 

pada suhu 40 

o

C, dan optimal pada suhu 65-68

 o

C. Peningkatan 

suhu selanjutnya hingga 70 

o

C menyebabkan daging yang 

diasap berwarna kelabu akibat denaturasi mioglobin dan 

hemoglobin. 

    Mutu protein daging dapat berubah sebab  interaksi 

antara komponen asap dengan komponen zat gizinya. Senyawa 

fenolik bereaksi dengan gugus sulfhidril daging atau ikan 

sedangkan gugus karbonil bereaksi dengan gugus amino 

daging atau ikan. Sifat kelarutan protein mengalami penurunan 

yang nyata akibat pengasapan. Pengasapan dapat mengurangi 

lisin hingga 12 persen. Susut ini disebabkan oleh pengaruh 

95 

 

senyawa formaldehida dalam asap. Pengasapan selama 10 jam 

menurunkan lisin sampai 44 persen. Kondensat asap yang 

bermuatan netral menyebabkan menurunan lisin paling besar. 

Hilangnya lisin biasanya terjadi pada tahap awal pengasapan 

dengan api yang tinggi. Oleh sebab  itu, penting bahwa suhu 

rendah digunakan pada tahap awal (pra-pengeringan) dengan 

kenaikan suhu bertahan untuk mempersiapkan waktu 

pemrosesan dan menghindari kerugian gizi (Horner, 1992). 

Kerusakan riboflavin dan niasin sebab  pengasapan relatif 

kecil yaitu sekitar 2-3 persen. Hal ini   disebabkan vitamin 

dilindungi oleh efek antioksidan dari beberapa senyawa asap 

(Sveinsdóttir, 1998). Pengasapan setelah penggaraman 

menyebabkan kehilangan tiamin sekitar 15-20 persen lebih 

tinggi dibandingkan dengan perlakuan penggaraman saja. 

Susut ini dapat disebabkan oleh pengaruh panas juga (Tejasari, 

2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa kerusakan tiamin akibat 

curing cara kering yang diikuti pengasapan sebesar 16 persen, 

lebih kecil daripada akibat curing cara basah sebesar 26 persen. 

Adapun kerusakan niasin akibat curing cara curing dan basah 

masing-masing 4 persen dan 19 persen. Sebaliknya, retensi 

riboflavin akibat curing cara kering (57%) lebih rendah 

dibandingkan retensi akibat curing cara basah (89%). Mineral 

daging yang diasap tidak mengalami penurunan melainkan 

terjadi peningkatan. Peningkatan kadar mineral daging asap 

disebakan penambahan garam selama curing, dan akibat  

penurunan kadar air selama proses pengasapan. Selain itu,sifat 

mineral cukup mantap sehingga pengaruh pengasapan relatif 

kecil.                               

 

 

 

96 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

97 

 

 

 

KEBERHASILAN DAN PROSEDUR             

PENGASAPAN IKAN 

A. Keberhasilan Proses Pengasapan Ikan 

          TINGKAT keberhasilan proses pengasapan ikan 

tergantung pada empat faktor utama (selain bahan baku) yang 

saling berkaitan, yaitu: mutu dan volume asap; suhu dan 

kelembaban ruang pengasapan;suhu dan lama pengasapan serta 

sirkulasi udara dalam ruang pengasapan. 

1. Mutu dan Volume Asap 

 Mutu dan volume asap yang dihasilkan tergantung pada 

jenis kayu yang digunakan dalam proses pengasapan. Untuk 

mendapatkan mutu dan volume asap sesuai yang diharapkan, 

sebaiknya digunakan jenis kayu yang keras (non-resinous) 

seperti kayu bakau, rasa mala, serbuk dan seratan kayu jati 

serta tempurung kelapa sebagai bahan bakar. Asap yang 

dihasilkan dari pembakaran kayu keras akan berbeda 

komposisinya dengan asap yang dihasilkan dari pembakaran 

kayu lunak. Pada umumnya kayu keras akan menghasilkan 

aroma yang lebih unggul, lebih kaya kandungan aromatik dan 

lebih banyak mengandung senyawa asam dibandingkan kayu 

lunak. Bila menggunakan kayu yang lunak (resinous), asap 

yang dihasilkan banyak mengandung senyawa yang dapat 

menimbulkan hal dan bau yang tidak diinginkan. Dengan kata 

lain, jenis kayu yang digunakan sebagai sumber asap sebaiknya 

memenuhi tiga syarat, yaitu: keras, tidak mudah/cepat terbakar, 

dapat menghasilkan asap dalam jumlah yang besar dan dalam 

waktu lama. 

BAB          

98 

 

 Untuk menghasilkan ikan asap bermutu tinggi 

sebaiknya digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan 

asap dengan kandungan unsur fenol dan asam organik yang 

cukup tinggi, sebab  kedua unsur ini lebih banyak melekat 

pada tubuh ikan dan dapat menghasilkan rasa dan warna 

daging asap yang khas. 

 Jenis kayu yang umum digunakan  untuk pengasapan 

ikan di negara kita  yaitu  kayu turi, sebab  selain mudah 

diperoleh (ditanam), kayu turi juga lebih banyak mengandung 

unsur fenol dan asam organik dibandingkan dengan jenis kayu 

lain. 

2. Suhu dan Kelembaban Ruang Pengasapan 

         Kondisi ruang pengasapan juga sangat menentukan mutu 

ikan asap. Ruangan yang baik digunakan untuk tempat 

pengasapan ikan yaitu  ruangan yang memiliki suhu dan 

kelembaban udara cukup rendah. Banyaknya uap air yang 

diserap oleh udara tergantung suhunya, jadi bila udara cukup 

dingin 30 

o

C dipanasi maka kapasitas pengeringan akan lebih 

tinggi. Dalam keadaan lembab, udara jenuh yang telah panas 

tidak dapat dipanasi lagi secara cepat untuk mengurangi 

kandungan uap airnya dan oleh sebab  itu, kapasitas menurun. 

Jika suhu ruangan pengasapan cukup rendah, asap yang 

dihasilkan lebih ringan jika dibandingkan dengan asap yang 

dihasilkan dari proses pengasapan di udara terbuka (bersuhu 

relatif lebih tinggi). Dengan demikian, volume asap yang dapat 

melekat pada tubuh ikan menjadi lebih banyak dan merata. 

Apabila proses pengasapan ikan berlangsung dalam ruangan 

bersuhu tinggi, permukaan kulit atau tubuh bagian luar akan 

menjadi cepat kering atau mengeras (dapat menghalangi proses 

penguapan cairan yang terdapat pada bagian tubuh yang lebih 

dalam), sehingga proses pembusukan masih mungkin terjadi 

pada tubuh ikan bagian dalam. 

99 

 

         Horner (1992), menemukan untuk menjaga suhu terbaik 

di dalam ruang asap pada awal proses pengasapan yaitu         

30 

o

C. Hal ini  sebab  proses pengeringan ikan ke tingkat 

tertentu serta sirkulasi asap pada permukaan ikan. Untuk