Pisang budidaya yang ada sekarang dipercaya berasal
dari Musa balbisiana dan Musa acuminata ,Kedua species ini merupakan
pisang diploid dengan grup genom BB (M. balbisiana)
dan AA (M. acuminata). Evolusi memicu fertilitas
bunga yang tinggi menurun dan kemampuan
menghasilkan biji pada pisang diploid berubah
menjadi steril dan sedikit menghasilkan biji ,
Keanekaragaman pisang dapat dilihat dari rasa,
bentuk, dan warna daging buah. Species dan kultivar
pisang di Indonesia belum semua diklasifikasikan
. Pendekatan molekuler
dan kariotipe kromosom telah digunakan untuk
menggambarkan hubungan kekerabatan pada
beberapa species pisang ,Selain pendekatan
molekuler dan kariotipe kromosom, pendekatan
anatomi dapat digunakan untuk menggambarkan
hubungan kekerabatan pada tanaman.
bahwa karakter anatomi daun
dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan
kekerabatan pada beberapa species Microcos Linn.
sect. Eumicrocos Burret. Kelimpahan, distribusi, dan
tipe trikoma merupakan karakter pembeda pada
Solanum sect. Polytrichum
Set kromosom pada pisang budidaya dapat berupa
dioloid, triploid, atau tetraploid . Pada
kebanyakan tanaman budidaya, peningkatan jumlah
set kromosom akan meningkatkan produktivitas
tanaman. Pisang Ambon (AAA) misalnya, memiliki
tandan dan buah yang lebih besar dibandingkan pisang
mas (AA) (Simmonds, 1966). Level ploidi tidak hanya
berpengaruh pada karakter morfologi tetapi juga pada
karakter anatomi.
bahwa sel stomata pada jeruk triploid lebih besar dari
pada sel stomata jeruk diploid. bahwa ukuran dan jumlah
stomata, jumlah lapisan hypodermal, struktur dan
jumlah palisade parenkim, ukuran aerenkim pada
petiol dan mesofil daun berbeda antara pisang diploid
(M. acuminata ‘Penjalin’ dan M. balbisiana ‘Khlutuk
Warangan’) dan pisang triploid (M. acuminata ‘Ambon
Warangan’, M. paradisiaca ‘Raja Nangka’, dan M.
paradisiaca ‘Khlutuk Susu’).
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan
karakter morfologi dan anatomi pisang diploid (M.
balbisiana) dan pisang triploid (M. paradisiaca
‘Kepok’). Karakter anatomi sangat penting sebagai data
pendukung untuk klasifikasi dan upaya peningkatan
kualitas pisang budidaya di masa depan.
Sampel pisang diploid (M. balbisiana) diambil dari Desa
Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu
Raya. Sedangkan sampel pisang triploid (M. paradisiaca
‘Kepok’) diambil di Kota Pontianak. Karakter morfologi
kedua jenis pisang didokumentasikan memakai kamera
digital. Karakterisasi morfologi pisang diploid dan triploid
mengikuti panduan pada ‘Descriptors for Banana (Musa
spp.)’ Karakter morfologi yang diamati
meliputi:karakter pseudostem, karakter petiol, karakter
daun, karakter tangkai bunga (penduncle), karakter ‘jantung’
pisang, karakter bunga, karakter buah, dan khusus untuk
pisang diploid, karakter biji juga diamati.
Preparat anatomi organ vegetative (akar, petiole, dan
daun) pisang diploid dan triploid dibuat memakai
metode paraffin. Akar, petiole, dan daun difiksasi pada
larutan FAA selama 24 jam. Akar, petiole, dan daun
selanjutnya didehidarasi dan dijernihkan memakai seri
larutan Johansen I–VII (Johansen, 1940), ditanamkan pada
lilin paraffin, dan dipotong memakai mikrotom putar
dengan ketebalan 10 µm. Potongan akar, petiole, dan daun
selanjutnya diwarnai dengan safranin 2% dan alcian blue
1%, dan diamati memakai mikroskop cahaya.
Pseudostem M. balbisiana (diploid) berwarna hijau
kekuningan, tipe petiole margins curved inward;
bentuk pangkal daun satu sisi membulat dan sisi lainya
runcing, warna permukaan atas dan bawah daun hijau,
permukaan dorsal tulang daun berwarna hijau cerah
dan permukaan ventral tulang daun berwarna hijau;
panjang tangkai bunga (penduncle) 30–40 cm, lebar
4,0–4,5 cm, warna hijau tua; bentuk jantung pisang
intermediate, membulat, jumlah braktea yang terbuka
dua atau lebih, braktea tidak menggulung; tepal
majemuk berwarna cream, lobe tepal majemuk
berwarna kuning, warna tepal bebas putih transparan,
oval, triangular, kedudukan tangkai putik terhadap
tepal majemuk sama tinggi, lurus; jumlah buah dalam
satu sisir 7–14 buah, panjang buah 6–7 cm, lurus,
lengthily pointed, persistent style; permukaan biji
berkerut, berbentuk bulat, berwarna coklat (Table 1
dan Gambar 1).
Terdapat perbedaan karakter warna pseudostem,
tipe petiole, bentuk jantung pisang, bentuk ujung
braktea, bentuk ujung tepal bebas, dan bentuk ujung
buah antara M. balbisiana pada penelitian ini dengan M.
balbisiana di Jawa dan Sulawesi. Warna pseudostem M.
balbisiana di pulau Jawa berwarna hitam-keunguan
dan hijau, tipe petiole margin overlapping, bentuk
jantung pisang ovoid, bentuk ujung braktea membulat
dan terbelah, bentuk ujung tepal bebas triangular atau
seperti jarum, bentuk ujung buah runcing ,Pseudostem M. balbisiana di Sulawesi berwarna
coklat keunguan, tipe petiole curved inward, jantung
pisang berbentuk ovoid, bentuk ujung braktea
intermediate, bentuk ujung tepal bebas triangular, dan
bentuk ujung buah tumpul
Musa paradisiaca ‘Kepok’ (triploid) memiliki
pseudostem yang berwarna hijau, tipe petiole straight
with erect margins; bentuk pangkal daun kedua sisi
membulat, warna permukaan atas daun hijau tua dan
bawah daun hijau, permukaan dorsal tulang daun
berwarna hijau cerah dan permukaan ventral tulang
daun berwarna hijau; panjang tangkai bunga
(penduncle) 41 cm, lebar 3,5 cm, warna hijau; bentuk
jantung pisang ovoid, membulat dan terbelah, jumlah
braktea yang terbuka satu, braktea tidak menggulung;
tepal majemuk berwarna cream, lobe tepal majemuk
berwarna kuning, warna tepal bebas putih transparan,
oval, triangular, kedudukan tangkai putik terhadap
tepal majemuk lebih tinggi, melengkung pada bagian
pangkal; jumlah buah dalam satu sisir 13 buah, panjang
buah 9 cm, lurus, tumpul, dasar tangkai bunga
menonjol (Tabel 1 dan Gambar 2).
Tabel 1. Karakter morfologi Musa balbisiana dan Musa paradisiacal ‘Kepok’
Karakter Morfologi Musa balbisiana (BB) Musa paradisiaca ‘Kepok’ (ABB)
Leaf habit Tegak Tegak
Warna Pseudostem Hijau Kekuningan Hijau
Warna cairan batang Seperti Air Seperti Air
Posisi anakan Tumbuh Membentuk Sudut Tumbuh Vertical
Petiol canal leaf III Margins curved inward Straight with erect margins
Panjang Daun (cm) 120 – 157 1.21 – 2.1
Lebar Daun (cm) 36 – 56 49 – 64
Warna Permukaan Atas Daun Hijau Hijau Tua
Warna Permukaan Bawah Daun Hijau Hijau
Bentuk Pangakal Daun One side rounded, one pointed Both sides rounded
Warna Permukaan Dorsal Tulang Daun Hijau cerah Hijau cerah
Warna Permukaan Ventral Tulang Daun Hijau Hijau
Panjang Peduncle (cm) 30 – 40 41
Lebar Peduncle (cm) 4 – 4.5 3.5
Warna Peduncle Hijau Tua Hijau
Posisi Rachis Falling vertically Falling vertically
Tipe Jantung Pisang Normal Normal
Bentuk Jantung Pisang Intermediate Ovoid
Bentuk Ujung Braktea Obtuse Obtuse and split
Warna Permukaan Luar Braktea Merah Keungguan Merah Keungguan
Warna Ujung Braktea Tinted with yellow Tinted with yellow
Jumlah Braktea yang terbuka Dua atau lebih Satu
Keadaan Braktea Sebelum Jatuh Tidak Menggulung Tidak Menggulung
Warna Tepal Majemuk Cream Cream
Pigmentasi Pada Tepal Majemuk Tanpa Pigmentasi Pink
Warna Lobe pada Tepal Majemuk Kuning Kuning
Warna Tepal Bebas Translucent white Translucent white
Bentuk Tepal Bebas Oval Oval
Bentuk Ujung Tepal Bebas Triangular Triangular
Kedudukan Style Terhadap Tepal Majemuk Sama Tinggi Lebih Tinggi
Bentuk Style Lurus Melengkung Pada bagian Pangkal
Bentuk Ovary Lurus Lurus
Jumlah Buah dalam satu sisir 7 – 14 13
Panjang Buah (cm) 6 – 7 9
Bentuk Buah Straight Straight
Bentuk Ujung Buah Lengthily pointed Blunt-tipped
Remains of flower relicts Persistent style Base of the style prominent
Gambar 1. Foto karakter morfologi Musa balbisiana (diploid).
A. Pangkal daun, B.Petiole, C. Jantung Pisang, D. Bunga jantan, E. Sisir pisang, F. Potongan membujur buah pisang
Gambar 3. Foto struktur anatomi Musa paradisiaca ‘Kepok’ (triploid).
Daun (A) :a, adaxial epidermis; b, hypodermis; c, jaringan palisade ; d, xylem; e, phloem; f, bundle sheath; g, jaringan bunga karang;
h, sclerenchyma; i, rongga udara; j, laticifer; k, abaxial epidermis; l, stomata. Petiole (B) :a, epidermis; b, parenchyma cells; c, xylem;
d, phloem. Akar (C):a, epidermis; b, cortex; c, endodermis; d, vessel; e, phloem; f, aerenkim. Bar = 100µm.
Gambar 2. Foto karakter morfologi Musa paradisiaca ‘Kepok’ (triploid).
A. Pangkal daun, B. Petiole, C. Jantung pisang, D. Bunga jantan, E. Sisir pisang, F. Irisan melintang buah pisang
Gambar 4. Foto struktur anatomi Musa balbisiana (diploid).
Daun (A) :a, adaxial epidermis; b, hypodermis; c, jaringan palisade ; d, xylem; e, phloem; f, jaringan bunga karang; g, stomata;
h, rongga udara; i, sclerenchyma; j, laticifer; k, abaxial epidermis. Petiole (B) :a, epidermis; b, parenchyma cells; c, xylem; d, phloem.
Akar (C):a, epidermis; b, cortex; c, endodermis; d, vessel; e, phloem; f, aerenkim. Bar = 100 µm
Pisang kepok memiliki kulit yang tebal, berwarna
kuning dengan bintik coklat yang gelap. Morfologi buah
pisang kapok sangat tidak menarik, buah perlu
dimasak dahulu sebelum dikonsumsi dan memiliki
rasa buah yang tidak terlalu manis .
Secara anatomi, daun M. balbisiana dan M.
paradisiaca ‘Kepok’ tersusun atas adaxial epidermis,
hypodermis, palisade, bunga karang, bundle sheat cell,
abaxial epidermis, dan laticifer. Sel epidermis
M.balbisiana berbentuk bulat sedangkan sel epidermis
M. paradisiaca ‘Kepok’ berbentuk persegi panjang.
Jaringan hypodermis ditemukan pada sisi adaxial dan
abaxial daun M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’.
M. balbisiana memiliki dua lapis jaringan hypodermis
pada sisi adaxial dan satu lapis pada sisi abaxial.
Sedangkan M. paradisiaca ‘Kepok’ memiliki satu lapis
jaringan hypodermis pada sisi adaxial dan abaxial
daun. bahwa
jaringan hypodermis hanya ditemukan pada sisi
adaxial daun M. paradisiaca ‘Kepok’. Dua lapis jaringan
hypodermis juga ditemukan pada M. paradisiacal
‘Kluthuk Susu’ dan M.
paradisiaca ‘Kepok’ . Tiga lapis
jaringan hypodermis ditemukan pada M.
branchyacarpa, M. sapietum dan M. cavendish (Harijati
et al., 2013). Hypodermis yang tersusun atas 2 sampai
3 lapis merupakan karakter Musaceae (Tomlison,
1969). Jaringan hypodermis pada daun memiliki
beberapa fungsi. Pada Musa sapientum, hypodermis
berfungsi agar daun muda tidak menggulung bahwa
jaringan hypodermis berfungsi untuk menurunkan
kerusakan jaringan fotosintesis akibat cahaya
matahari.
Jaringan mesofil pada daun disusun oleh jaringan
palisade dan bunga karang. M. balbisiana dan M.
paradisiaca ‘Kepok’ memiliki dua lapis jaringan
palisade dan tersusun rapat (Gambar 3 dan 4). Dua
lapis jaringan palisade juga ditemukan pada M.
branchyacarpa dan M. sapietum .
Jaringan bunga karang pada M. balbisiana dan M.
paradisiaca ‘Kepok’ memiliki bentuk sel yang tidak
beraturan, yang berfusi membentuk aerenkim.
Aerenkim pada M. balbisiana dan M. paradisiaca
‘Kepok’ terletak diantara dua berkas angkut. Kondisi
ini juga ditemukan pada Penjalin, Kluthuk warangan,
Ambon warangan, Raja nangka dan Kluthuk susu
, M. branchyacarpa, M.
sapietum, M. paradisiaca ‘Kepok’ dan M. cavendish
dan merupakan kondisi yang
umum pada daun pisang
Jaringan angkut ditemukan di mesofil. Berkas
angkut pada M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’
terdiri atas xylem dan floem. Berkas angkut dikelilingi
oleh sel sklerenkim. Berkas angkut yang dikelilingi
oleh sel sklerenkin juga ditemukan pada Penjalin,
Kluthuk warangan, Ambon warangan, Raja nangka dan
Kluthuk susu . Laticifer
pada M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’
ditemukan berasosiasi dengan berkas angkut (Gambar
3 dan 4). Laticifer adalah sel atau kelompok sel yang
berisi latek atau getah . Laticifer
ditemukan di jaringan palisade dan berkas angkut
Namun, laticifer juga
dapat ditemukan di abaxial epidermis
Petiole M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’
disusun oleh tiga jaringan yaitu:jaringan epidermis,
parenkim, dan berkas angkut. Jaringan epidermis pada
M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’ tersusun atas
satu lapis, kompak, dan berbentuk persegi panjang. Sel
parenkim ditemukan pada bagian tengah petiole
(Gambar 3 dan 4). M. acuminata ‘Penjalin’ and M.
acuminata ‘Ambon warangan’ memiliki satu lapis sel
epidermis yang berbentuk persegi panjang, kompak,
dan dilindungi oleh kutikula. M. acuminata ‘Penjalin’
and M. acuminata ‘Ambon warangan’ juga memiliki sel
parenkim yang terletak pada bagian tengah petiole,
berbentuk seperti bintang dan terdapat rongga udara
yang besar .
Akar M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’
tersusun atas tiga jaringan yaitu:epidermis, parenkim,
dan jaringan angkut. M. balbisiana dan M. paradisiaca
‘Kepok’ memiliki satu lapis jaringan epidermis. Satu
atau dua lapis jaringan epidermis juga ditemukan pada
M. acuminata ‘Penjalin’ and M. paradisiaca ‘Raja
Nangka’ . Aerenkim
ditemukan pada akar M. balbisiana dan M. paradisiaca
‘Kepok’. Adanya aerenkim yang terhubung dari tajuk
hingga ke akar akan meningkatkan difusi oksigen dari
daun ke akar akan mendukung proses respirasi (Evert,
2006). Aerenkim juga ditemukan pada M. acuminata
‘Penjalin’, M. balbisiana ‘Kluthuk Warangan’, M.
acuminata ‘Ambon warangan’, dan M. paradisiaca
‘Kluthuk’, namun tidak ditemukan pada M. paradisiaca
‘Raja Nangka’ .
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tanaman
pisang dengan tingkatan ploidi yang berbeda, dalam
hal ini M. balbisiana (diploid) dan M. paradisiaca
(triploid) memiliki karakter morofologi dan anatomi
yang berbeda pula.
Tanaman pisang dengan tingkatan ploidi yang berbeda
antara M. balbisiana diploid dan M. paradisiaca triploid
menunjukkan perbedaan karakter morfologi pada tipe
saluran pada petiole, bentuk pangkal daun, bentuk
jantung pisang, bentuk ujung braktea, jumlah braktea
yang terbuka, kedudukan style terhadap tepal bebas,
bentuk style, bentuk ujung buah, dan sisa bagian bunga
yang tertinggal pada buah, serta pada karakter anatomi
pada jumlah lapisan hypodermis.
Jawa Barat yaitu produsen pisang
(Musa spp.) terbesar ke tiga di negara kita ,
sesudah Propinsi Lampung (21,59%) dan
hutan larangan (19,48%), dengan kontribusi produksi
sekitar 18,03% dari total produksi pisang
nasional . Sentra pisang di Jawa Barat yang
dominan berada di bagian selatan Jawa Barat
yaitu di Kabupaten Pangandaran, Ciamis,
Tasikmalaya, Garut, Cianur dan Sukabumi.
berdasar kajian pengembangan budidaya
dan industri pisang di Jawa Barat , Jenis
pisang yang ditanam sangat bervariasi baik
pisang konsumsi maupun pisang olahan
(Gambar 1). Jenis pisang yang paling banyak
dibudidayakan di Jawa Barat Selatan yaitu
Pisang Nangka, Ambon, Raja Cere, Raja Bulu,
Kapas, Tanduk, Siem, Lampeneng, Muli,
Kepok, dan Ambon Putih . Keragaman
pisang tertinggi ada di Selatan Jawa Barat
dengan ketinggian tempat sampai 200 m dpl.
Gambar 1. Pisang meja (banana) antara lain Ambon, Raja Cere dan Raja Bulu (atas) dan pisang
olahan (plantain) Barangan, Kapas dan Kepok (bawah) yang ditanam di Jawa Barat Selatan
warga biasanya menganggap
pisang tidak memerlukan teknik budidaya
yang rumit, termasuk pemupukan sehingga
petani sekedar menanam meskipun pisang
berkontribusi terhadap pendapatan keluarga.
Di lain pihak, pemupukan berimbang Urea,
SP-36 dan kompos meningkatan diameter
batang, jumlah daun dan anakan .
Metode budidaya yang belum optimal
dipicu faktor kesadaran, pengetahuan dan
modal petani serta kondisi agroekosistem
terutama ketersediaan air. Permasalahan
utama keterbatasan produksi pisang di
negara kita umumya yaitu : 1. Pola tanam yang
belum jelas dan teratur. 2. teknologi budidaya
pisang tidak diterapkan dengan benar. 3.
Kultivar pisang masih beragam. 4.
Ketersediaan dan pemakaian bibit pisang
yang sehat dan kultivar unggul masih terbatas.
5. Penyebaran hama dan penyakit yang cukup
luas di sentra produksi pisang .
Pisang yaitu tanaman ekonomis dan
penting di Jawa Barat tetapi belum ada
dokumen tentang aspek budidaya pisang di
kebun warga . Penyusunan dokumen
perlu diawali dengan pendataan metode
budidaya secara umum di beberapa sentra
pisang. Tiga wilayah kerja yang menjadi
sasaran kajian ini yaitu Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, dan
Kabupaten Pangandaran. berdasar survey
tahun 2016 tidak banyak wilayah yang benar-
benar cocok untuk pendirian perkebunan
pisang jika dilihat dari kesesuaian lahan .
Data survey menjelaskan bahwa dari 29 titik
sampel di Kecamatan Tegalbuleud Sukabumi,
hanya satu yang cocok dan sisanya agak
cocok, dari 12 titik di Kecamatan Cipatujah
hanya satu cocok dan lainnya agak cocok
sedangkan dari 13 titik sampel di Kecamatan
Parigi hanya ada dua lokasi yang agak cocok
untuk budidaya pisang.
Pemerintah melalui Balai Penelitian
Tanaman Buah Badan Litbang Pertanian
Kementan telah menerbitkan dokumen metode
budidaya tanaman pisang terstandar baik
untuk bibit anakan, asal bonggol maupun
kultur jaringan [6,7,8]. Namun petani di Jawa
Barat selatan berdasar studi pendahuluan
tidak pernah mendapatkan penjelasan
budidaya pisang baik dari Dinas Pertanian
setempat maupun Perguruan Tinggi.
Identifikasi metode budidaya yaitu penting
untuk mendapatkan data dasar yang akan
menjadi acuan pemerintah untuk memperbaiki
atau memodifikasi metode budidaya pisang di
lokasi tertentu. Kajian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kendala umum budidaya
pisang dan menginventarisasi metode
budidaya pisang di kebun warga Jawa
Barat Selatan.
Kajian dilakukan di tiga desa Jawa Barat
Selatan pada Mei - September 2018 yaitu Desa
Buniasih Kecamatan Tegalbuleud Kabupaten
Sukabumi, Desa Sindangkerta Kecamatan
Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya dan Desa
Margacinta Kecamatan Cijulang Kabupaten
Pangandaran (Gambar 2). Metode untuk
mendapatkan data primer yaitu kajian
lapangan yang diperkuat dengan wawancara
dan diskusi kelompok terfokus.
Petani informan ditetapkan secara
purposive yaitu petani yang telah
membudidayakan pisang selama sedikitnya 10
tahun, mengakui telah memelihara
tanamannya, dan telah merasakan manfaat
pisang untuk ekonomi keluarga. Pada kajian
ini dilibatkan lima petani di setiap lokasi.
Wawancara dan diskusi terfokus tidak
melibatkan staf pemerintah daerah supaya
objektivitas informan terjaga.
Diskusi mengenai kendala budidaya
pisang meliputi aspek hulu seperti
ketersediaan air dan kesuburan tanah,
penyediaan nutrisi dan integrasi dengan
peternakan, sampai masalah pemasaran.
Wawancara aspek budidaya meliputi
pengolahan lahan, pembibitan, penanaman,
pemberian nutrisi, pemeliharaan tanaman,
pengendalian hama penyakit, dan irigasi. Data
sekunder diperoleh dari dokumen resmi yang
diterbitkan oleh Dinas Pertanian setempat dan
Balai Penelitian Tanah Kementerian
Pertanian. Metode budidaya setempat
dibandingkan dengan metode budidaya pisang
yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian
Tanaman Buah dan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Kementan.
Gambar 2. Lokasi kajian pisang di Kabupaten Sukabumi,
Tasikmalaya dan Pangandaran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kendala Budidaya Pisang
Beberapa kendala yang telah
diidentifikasi dari lapangan terkait dengan
pengembangan pisang di warga , dapat
dikelompokan ke dalam lima kategori:
1. Sumber daya lahan dan air
2. Metode budidaya
3. Manajemen nutrisi
4. Pemasaran
5. Perilaku
berdasar diskusi lebih mendalam diperoleh
kendala yang menjadi masalah peningkatan
produktivitas lahan dan juga produksi serta
kualitas pisang yang dipasarkan (Tabel 1) baik
dari sudut Sumber daya alam maupun Sumber
daya manusia.
Tabel 1. Kedala sumber daya alam dan sumber daya manusia pada produksi pisang di Jawa
Barat selatan
Komponen
(1)
Kendala dan Masalah
(2)
Sumber daya
alam
a. Keterbatasan sumber air untuk pisang yang ditanam di bukit.
b. Perubahan iklim yang kurang dikomunikasi oleh kantor meteorologi
c. Kelas kesesuaian lahan dengan pisang biasanya S2 dan S3
Metode
budidaya
a. Keterbatasan bibit yang berkualitas.
b. Persiapan lahan tidak optimal
c. Tanaman tidak dipelihara
d. Pisang dipanen sebelum umur petik
Manajemen
nutrisi
a. Keterbatasan akses terhadap input nutrisi baik pupuk organik maupun
anorganik
b. Ketidaktahuan pemberian nutrisi yang tepat metode, tepat waktu dan tepat
jumlah
c. Keterbatasan pengetahuan penyediaan nutrisi secara mandiri
d. Belum adanya penjelasan konsep integrasi tanaman-ternak dalam produksi
pisang
Pemasaran a. Belum adanya jaminan pasar dan harga yang cukup sebagai insentif bagi
peningkatan produktivitas pisang yang dilakukan warga .
b. Pasar menerima buah pisang dengan kualitas rendah bahkan yang masih
muda sehingga petani tidak memperhatikan aspek pemeliharaan
c. Agribisnis pisang masih belum ditata dengan baik
Perilaku a. petani yang masih menganggap budidaya pisang kurang penting sebagai
sumber pendapatan, dibandingkan kegiatan ekonomi lainnya.
b. Sebagian besar petani membudidayakan pisang pada luas lahan terbatas,
atau tanaman sela, sehingga jumlah batang pohon hanya sedikit.
Konsekuensinya jumlah dan nilai panen kecil.
c. Pengalaman turun temurun memperlihatkan bahwa pisang tetap berbuah
meskipun tidak dipelihara
d. Kompleksitas pemeliharaan pisang dan potensi penurunan hasil
menyebabkan petani beralih ke budidaya tanaman tahunan seperti albasia
e. Keterbatasan pengetahuan mengenai kualitas lahan dan ketersediaan air
irigasi serta konsekuensinya terhadap produksi dan kualitas pisang.
Kebijakan
Pemerintah
a. Kebijakan politik negara belum ada yang menganggap bahwa pisang
merupakan komoditas penting dalam struktur ekonomi warga
b. Belum ada kebijakan pemerintah Jawa Barat untuk intensifikasi
penenaman pisang untuk meningkatkan produktivitas pisang.
c. Ketiadaan tenaga penyuluh dan dukungan teknis
d. tidak ada kelembagaan yang mengelola pisang antara lain kelompok tani
pisang, maupun dukungan permodalan dan fasilitasi lainnya.
berdasar sistem klasifikasi tanah
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1983
(sekarang yaitu Balai Besar Sumber Daya
Lahan dan Pertanian) Badan Litbang
Kementan, di Jawa Barat selatan ada
delapan jenis tanah yaitu Alluvial, Andosol,
Grumosol, Latosol, Podsolik Merah Kuning,
Brown Forest, Mediteran dan Regosol. Jenis
tanah Podsolik Merah Kuning (PMK)
mendominasi Jawa Barat Selatan dengan
sebaran luas >50 persen. Tanah PMK yaitu
tanah mineral tua dengan pencucian intesif
sehingga tingkat kesuburan tanahnya relatif
rendah .
Nutrisi tanaman di bagian atas tanah
sudah teruci ke bagian bawah dan menyisakan
besi dan aluminum yang menyebabkan warna
merah dan kuning. Pisang yaitu tanaman
tahunan dengan syarat kesesuian lahan tidak
seketat tanaman semusim namum kesuburan
tanah rendah akan menjadi kendala optimasi
produksi . Selain tanah, faktor ketersediaan
air juga membatasi produksi pisang di Jabar
Selatan. Pisang memerlukan irigasi dengan
kuantitas dan frekuensi tergantung dari laju
infiltrasi, kondisi fisik tanah, kapasitas tanah
menahan air dan evapotranspirasi . Irigasi
meningkatkan bobot tandan, bobot dan
diameter buah serta panjang buah . Kendala
ketersediaan air menyebabkan kebun pisang
bersifat tadah hujan yang menjadi penghambat
pula untuk pemberian nutrisi yang tepat waktu.
Keterbatasan pengetahuan budidaya
pisang menyebabkan ketidaktahuan manfaat
penyiapan lahan: pengolahan tanah minimum,
pembuatan teras, penguatan teras dengan
tanaman, dan pengaturan guludan dan jalan
air. Pemeliharaan tanaman dilakukan sangat
terbatas padahal pemberian nutrisi,
pemangkasan daun tua, penyapihan anakan,
pembuangan buang betina dan jantan,
penebangan pohon sesudah panen, dan umur
panen akan berkaitan dengan kuantitas,
kualitas dan nilai gizi pisang. Ketidaktahuan
petani mengenai pentingnya pemeliharaan
tanaman dan lingkungan kebun menyebabkan
penyakit di kebun petani daerah kerja menjadi
cukup masif.
Metode Budidaya
Secara umum tidak ada pembeda
teknologi budidaya pisang di tiga lokasi kajian.
Metode budidaya yang dilakukan oleh petani
di ketiga lokasi keseluruhannya dilakukan
berdasar kebiasaan setempat.
a. Pengolahan tanah
Minimum, berupa pembersihan
gulma di sekitar lokasi lubang
tanam dan di lahan miring tidak ada
penterasan yang baik.
Lubang tanam berukuran 30 cm x30
cmx 30 cm, 40 cm x 40 cm x 40 cm,
atau 50cm x 50 cm x 50 cm dan
dibiarkan 1-4 minggu.
b. Sumber bibit
Bibit anakan (anakan pedang)
dengan tinggi sekitar 60 cm yang
dipisahkan dari induk dan langsung
ditanam atau dijemur selama 2 hari
untuk mengurangi getah.
Tidak ada kebun induk untuk bibit;
anakan diperoleh dari tanaman baru
maupun lama sehingga kualitas
bibit menurun
Sejumlah kecil petani membuat
bibit bonggol; tidak tersedia bibit
kultur jaringan
Bibit lokal adaptif dengan
agroekoklimat setempat; bukan
bibit unggul pisang nasional
c. Penanaman
Jarak lubang tanaman yaitu 2x2
m; 2x2,5 m atau 3x3 m tergantung
jenis pisang dengan memperhatikan
besar kecilnya pohon.
Kotoran ternak (sapi, kerbau,
domba kambing) dicampur dengan
tanah mineral sebagai media tanam
di lubang tanam. Tidak diketahui
berapa perbadingan antara tanah
dan pupuk organik.
d. Pemberian nutrisi
Pupuk kandang sekitar 5-15 kg per
lubang tanam; dan disebarkan ke
permukaan tanah sesudah tanaman
tumbuh dengan intensitas sekitar 1
tahun sekali.
Petani tidak menggunakan pupuk
anorganik. Ada anggapan jika diberi
pupuk tanaman mati atau sebaliknya
tanaman lebih baik.
e. Pemeliharaan tanaman
Tanaman pisang dibiarkan tumbuh
hampir tanpa pemeliharaan.
Kadang-kadang petani membuang
daun kering dan membersihkan
gulma.
Tidak ada pemangkasan daun
Penjarangan anakan jarangan
dilakukan kecuali saat memerlukan
bibit anakan.
f. Pengendalian hama penyakit
Sanitasi kebun rutin tidak dilakukan
Petani tidak pernah secara sengaja
mengendalikan penyakit darah oleh
bakteri Pseudomonas, layu oleh
Fusarium.
Bibit kemungkinan besar tidak
bebas dari penyakit layu Fusarium
g. Irigasi
Kebun pisang bersifat tadah hujan
Petani terkendala modal untuk
membuat sumur atau mengadakan
pompa air.
Jika dibandingkan dengan petunjuk budidaya
pisang Kementrian Pertanian, Petani belum
melakukannya dengan baik. Persiapan lahan
hanya sekedar mengolah lahan untuk lubang
tanama. Namun gulma yang intensif akibat
pengolahan lahan minimal dapat menahan
erosi meskipun di lahan miring resiko erosi
besar karena tidak ada penterasan. Ukuran
lubang tanam masih bervariasi padahal
menurut petunjuk teknis tanam pisang dari
perkebunan pisang skala komerisal lubang
tanaman terbaik yaitu 50 cm x 50 cm x 50 cm
. Lubang tanam di petani lokasi penelitian masih
banyak yang terlalu kecil dan berpotensi
menghambat perkembangan akar, terutama di
tanah berliat seperti di Sukabumi. Jarak tanam
pisang ditetapkan berdasar ukuran tanaman
tanpa membedakan spesifikasi jenis. Menurut
BB PTP Kementan, jarak tanah pisang
Ambon, Cavendish, Raja Sereh, dan Raja
Nangka seharusnya 3 x 3 m. Jenis pisang
Kepok dan Tanduk 3 x 3 m atau 3 x 3,5 m.
pemakaian bibit anakan sudah tepat
namun ketiadaan kebun bibit menyebabkan
anakan diambil dari sembarang tanaman
sehingga bibit dapat tidak berkualitas.
Pemerintah menganjurkan pemakaian bibit
asal kultur jaringan belum banyak tersedia di
Jawa Barat selatan . Jenis pisang yang
ditanam masih berupa pisang lokal sesuai
pasaran. Sebenarnya Balai Penelitian Buah
Tropika memiliki bibit unggul pisang nasional
seperti pisang Raja Kinalun, Kepok Tanjung,
Ketan-01 dan Raja Siem namun belum
tersedia di tingkat petani.
Petani memberikan pupuk kotoran
ternak di lubang tanam yang sesuai dengan
anjuran yaitu 10 kg/lobang dan dibiarkan 1-2
minggu. Pupuk anoganik hampir tidak pernah
dberikan. Badan litbang pertanian
menganjurkan 350 kg Urea + 150 kg SP-36,
dan 150 kg KCL per ha/tahun atau 0,233 kg
Urea, 0,10 kg SP-36 dan 0,10 kg KCl per
tanaman. Pupuk diletakkan pada alur dangkal
berjarak 60-70 cm dari tanaman dan ditutup
tanah. Jumlah anakan per rumpun dan jumlah
daun per tanaman tidak dianggap penting oleh
petani lokal padahal pada satu rumpun
seharusnya hanya ada 3 tanaman dan jumlah
daun 6-8 helai untuk tanaman dewasa
produktif.
Pemeliharaan yang minim memicu
intensifikasi penyakit tanaman pisang
(Gambar 3). Menurut petani, budidaya pisang
campuran yang dilakukan petani di Jabar
Selatan dapat menghindarkan penyakit darah
oleh Pseudomonas dan layu oleh Fusarium.
Pengendalian penyakit pisang
dianjurkan lebih bersifat kuratif melalui
sanitasi. Sanitasi seharusnya dilakukan 45 hari
sekali meliputi kegiatan pembersihan daun
kering, penjarangan anakan dan pembuangan
sisa tanaman bekas panen .
Selain masalah di hulu, penguatan
produktivitas pisang di Jawa Barat selatan
yaitu umur panen dan pascapanen. Pisang
dipanen lebih awal dari umur panen karena
permintaan konsumen tidak dapat ditolak
meskipun mengorbankan kualitas pisang.
Pematangan buah yang masih muda tersebut
dipercepat dengan hormon ethylene (etilen)
dan zat kimia calcium carbide (dikenal sebagai
karbit). Jika zat padat calcium carbide
bercampur dengan air akan dihasilkan gas
acethylene yang efeknya terhadap pematangan
buah sangat mirip dengan agen pematangan
alami oleh etilen. Proses ini menyebabkan
kulit pisang berwarna kuning merata namun
rasa, aroma dan tekstur buah tidak sebaik
pisang matang alami.
Gambar 3. Daun tua dan kering dibiarkan menyebab-
kan tanaman rentan serangan penyakit
Petani belum membudidayakan pisang
dengan metode terstandard dari instansi
berwenang; petani sekadar menanam dan
menjadikan pisang sebagai tanaman sela,
beberap petani menanam pisang sebagai
tanaman utama. Pemeliharaan di semua kebun
petani tidak optimal bahkan dapat dikatakan
pisang tidak dipelihara. Sistem nutrisi yang
penting untuk pertumbuhan tanaman belum
menjadi prioritas padahal potensi lokal untuk
dijadikan pupuk seperti sampah rumah tangga,
sisa-sisa tanaman termasuk bonggol pisang,
dan kotoran ternak tersedia.
Perbaikan metode budidaya harus diawali
dengan peningkatan pengetahuan disertai
pendampingan oleh Penyuluh Pertanian
Lapangan dan Perguruan Tinggi lokal.
Percobaan lapangan juga diperlukan untuk
memperoleh sistem pemberian nutrisi dan
pengendlian hama/penyakit yang tepat.
Penyedian bibit yang sehat dan mencukupi
serta nutrisi internal untuk budidaya pisang
yang berorientasi ekonomis perlu didukung
oleh kebijakan pemerintah setempat.