• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label pisang 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pisang 5. Tampilkan semua postingan

pisang 5












Pisang budidaya yang ada sekarang dipercaya berasal 
dari Musa balbisiana dan Musa acuminata ,Kedua species ini merupakan 
pisang diploid dengan grup genom BB (M. balbisiana) 
dan AA (M. acuminata). Evolusi memicu  fertilitas 
bunga yang tinggi menurun dan kemampuan 
menghasilkan biji pada pisang diploid berubah 
menjadi steril dan sedikit menghasilkan biji ,
Keanekaragaman pisang dapat dilihat dari rasa, 
bentuk, dan warna daging buah. Species dan kultivar 
pisang di Indonesia belum semua diklasifikasikan 
. Pendekatan molekuler 
dan kariotipe kromosom telah digunakan untuk 
menggambarkan hubungan kekerabatan pada 
beberapa species pisang ,Selain pendekatan 
molekuler dan kariotipe kromosom, pendekatan 
anatomi dapat digunakan untuk menggambarkan 
hubungan kekerabatan pada tanaman. 
 bahwa karakter anatomi daun 
dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan 
kekerabatan pada beberapa species Microcos Linn. 
sect. Eumicrocos Burret. Kelimpahan, distribusi, dan 
tipe trikoma merupakan karakter pembeda pada 
Solanum sect. Polytrichum 
Set kromosom pada pisang budidaya dapat berupa 
dioloid, triploid, atau tetraploid . Pada 
kebanyakan tanaman budidaya, peningkatan jumlah 
set kromosom akan meningkatkan produktivitas 
tanaman. Pisang Ambon (AAA) misalnya, memiliki 
tandan dan buah yang lebih besar dibandingkan pisang 
mas (AA) (Simmonds, 1966). Level ploidi tidak hanya 
berpengaruh pada karakter morfologi tetapi juga pada 
karakter anatomi. 
bahwa sel stomata pada jeruk triploid lebih besar dari 
pada sel stomata jeruk diploid.  bahwa ukuran dan jumlah 
stomata, jumlah lapisan hypodermal, struktur dan 
jumlah palisade parenkim, ukuran aerenkim pada 
petiol dan mesofil daun berbeda antara pisang diploid 
(M. acuminata ‘Penjalin’ dan M. balbisiana ‘Khlutuk 
Warangan’) dan pisang triploid (M. acuminata ‘Ambon 
Warangan’, M. paradisiaca ‘Raja Nangka’, dan M. 
paradisiaca ‘Khlutuk Susu’). 
 Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan 
karakter morfologi dan anatomi pisang diploid (M. 
balbisiana) dan pisang triploid (M. paradisiaca 
‘Kepok’). Karakter anatomi sangat penting sebagai data 
pendukung untuk klasifikasi dan upaya peningkatan 
kualitas pisang budidaya di masa depan.  
Sampel pisang diploid (M. balbisiana) diambil dari Desa 
Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu 
Raya. Sedangkan sampel pisang triploid (M. paradisiaca 
‘Kepok’) diambil di Kota Pontianak. Karakter morfologi 
kedua jenis pisang didokumentasikan memakai  kamera 
digital. Karakterisasi morfologi pisang diploid dan triploid 
mengikuti panduan pada ‘Descriptors for Banana (Musa 
spp.)’   Karakter morfologi yang diamati 
meliputi:karakter pseudostem, karakter petiol, karakter 
daun, karakter tangkai bunga (penduncle), karakter ‘jantung’ 
pisang, karakter bunga, karakter buah, dan khusus untuk 
pisang diploid, karakter biji juga diamati. 
Preparat anatomi organ vegetative (akar, petiole, dan 
daun) pisang diploid dan triploid dibuat memakai  
metode paraffin. Akar, petiole, dan daun difiksasi pada 
larutan FAA selama 24 jam. Akar, petiole, dan daun 
selanjutnya didehidarasi dan dijernihkan memakai  seri 
larutan Johansen I–VII (Johansen, 1940), ditanamkan pada 
lilin paraffin, dan dipotong memakai  mikrotom putar 
dengan ketebalan 10 µm. Potongan akar, petiole, dan daun 
selanjutnya diwarnai dengan safranin 2% dan alcian blue 
1%, dan diamati memakai  mikroskop cahaya.  
 
Pseudostem M. balbisiana (diploid) berwarna hijau 
kekuningan, tipe petiole margins curved inward; 
bentuk pangkal daun satu sisi membulat dan sisi lainya 
runcing, warna permukaan atas dan bawah daun hijau, 
permukaan dorsal tulang daun berwarna hijau cerah 
dan permukaan ventral tulang daun berwarna hijau; 
panjang tangkai bunga (penduncle) 30–40 cm, lebar 
4,0–4,5 cm, warna hijau tua; bentuk jantung pisang 
intermediate, membulat, jumlah braktea yang terbuka 
dua atau lebih, braktea tidak menggulung; tepal 
majemuk berwarna cream, lobe tepal majemuk 
berwarna kuning, warna tepal bebas putih transparan, 
oval, triangular, kedudukan tangkai putik terhadap 
tepal majemuk sama tinggi, lurus; jumlah buah dalam 
satu sisir 7–14 buah, panjang buah 6–7 cm, lurus, 
lengthily pointed, persistent style; permukaan biji 
berkerut, berbentuk bulat, berwarna coklat (Table 1 
dan Gambar 1). 
Terdapat perbedaan karakter warna pseudostem, 
tipe petiole, bentuk jantung pisang, bentuk ujung 
braktea, bentuk ujung tepal bebas, dan bentuk ujung 
buah antara M. balbisiana pada penelitian ini dengan M. 
balbisiana di Jawa dan Sulawesi. Warna pseudostem M. 
balbisiana di pulau Jawa berwarna hitam-keunguan 
dan hijau, tipe petiole margin overlapping, bentuk 
jantung pisang ovoid, bentuk ujung braktea membulat 
dan terbelah, bentuk ujung tepal bebas triangular atau 
seperti jarum, bentuk ujung buah runcing ,Pseudostem M. balbisiana di Sulawesi berwarna 
coklat keunguan, tipe petiole curved inward, jantung 
pisang berbentuk ovoid, bentuk ujung braktea 
intermediate, bentuk ujung tepal bebas triangular, dan 
bentuk ujung buah tumpul 
Musa paradisiaca ‘Kepok’ (triploid) memiliki 
pseudostem yang berwarna hijau, tipe petiole straight 
with erect margins; bentuk pangkal daun kedua sisi 
membulat, warna permukaan atas daun hijau tua dan 
bawah daun hijau, permukaan dorsal tulang daun 
berwarna hijau cerah dan permukaan ventral tulang 
daun berwarna hijau; panjang tangkai bunga 
(penduncle) 41 cm, lebar 3,5 cm, warna hijau; bentuk 
jantung pisang ovoid, membulat dan terbelah, jumlah 
braktea yang terbuka satu, braktea tidak menggulung; 
tepal majemuk berwarna cream, lobe tepal majemuk 
berwarna kuning, warna tepal bebas putih transparan, 
oval, triangular, kedudukan tangkai putik terhadap 
tepal majemuk lebih tinggi, melengkung pada bagian 
pangkal; jumlah buah dalam satu sisir 13 buah, panjang 
buah 9 cm, lurus, tumpul, dasar tangkai bunga 
menonjol (Tabel 1 dan Gambar 2). 
Tabel 1. Karakter morfologi Musa balbisiana dan Musa paradisiacal ‘Kepok’ 
Karakter Morfologi Musa balbisiana (BB) Musa paradisiaca ‘Kepok’ (ABB) 
Leaf habit Tegak Tegak 
Warna Pseudostem Hijau Kekuningan Hijau 
Warna cairan batang Seperti Air  Seperti Air  
Posisi anakan Tumbuh Membentuk Sudut Tumbuh Vertical 
Petiol canal leaf III Margins curved inward Straight with erect margins 
Panjang Daun (cm) 120 – 157 1.21 – 2.1 
Lebar Daun (cm) 36 – 56 49 – 64 
Warna Permukaan Atas Daun Hijau Hijau Tua 
Warna Permukaan Bawah Daun Hijau Hijau 
Bentuk Pangakal Daun One side rounded, one pointed Both sides rounded 
Warna Permukaan Dorsal Tulang Daun Hijau cerah Hijau cerah 
Warna Permukaan Ventral Tulang Daun Hijau Hijau 
Panjang Peduncle (cm) 30 – 40 41 
Lebar Peduncle (cm) 4 – 4.5 3.5 
Warna Peduncle Hijau Tua Hijau 
Posisi Rachis Falling vertically Falling vertically 
Tipe Jantung Pisang Normal Normal 
Bentuk Jantung Pisang Intermediate Ovoid 
Bentuk Ujung Braktea Obtuse Obtuse and split 
Warna Permukaan Luar Braktea Merah Keungguan Merah Keungguan 
Warna Ujung Braktea Tinted with yellow Tinted with yellow 
Jumlah Braktea yang terbuka Dua atau lebih Satu 
Keadaan Braktea Sebelum Jatuh Tidak Menggulung Tidak Menggulung 
Warna Tepal Majemuk Cream Cream 
Pigmentasi Pada Tepal Majemuk Tanpa Pigmentasi Pink  
Warna Lobe pada Tepal Majemuk Kuning Kuning 
Warna Tepal Bebas Translucent white Translucent white 
Bentuk Tepal Bebas Oval Oval 
Bentuk Ujung Tepal Bebas Triangular Triangular 
Kedudukan Style Terhadap Tepal Majemuk Sama Tinggi Lebih Tinggi 
Bentuk Style Lurus Melengkung Pada bagian Pangkal 
Bentuk Ovary Lurus Lurus 
Jumlah Buah dalam satu sisir 7 – 14 13 
Panjang Buah (cm) 6 – 7 9 
Bentuk Buah Straight Straight 
Bentuk Ujung Buah Lengthily pointed Blunt-tipped 
Remains of flower relicts Persistent style Base of the style prominent 

 
Gambar 1. Foto karakter morfologi Musa balbisiana (diploid).  
A. Pangkal daun, B.Petiole, C. Jantung Pisang, D. Bunga jantan, E. Sisir pisang, F. Potongan membujur buah pisang 
 
Gambar 3. Foto struktur anatomi Musa paradisiaca ‘Kepok’ (triploid).  
Daun (A) :a, adaxial epidermis; b, hypodermis; c, jaringan palisade ; d, xylem; e, phloem; f, bundle sheath; g, jaringan bunga karang;  
h, sclerenchyma; i, rongga udara; j, laticifer; k, abaxial epidermis; l, stomata. Petiole (B) :a, epidermis; b, parenchyma cells; c, xylem;  
d, phloem. Akar (C):a, epidermis; b, cortex; c, endodermis; d, vessel; e, phloem; f, aerenkim. Bar = 100µm. 
 
   
 
Gambar 2. Foto karakter morfologi Musa paradisiaca ‘Kepok’ (triploid).  
A. Pangkal daun, B. Petiole, C. Jantung pisang, D. Bunga jantan, E. Sisir pisang, F. Irisan melintang buah pisang 
 
Gambar 4. Foto struktur anatomi Musa balbisiana (diploid).  
Daun (A) :a, adaxial epidermis; b, hypodermis; c, jaringan palisade ; d, xylem; e, phloem; f, jaringan bunga karang; g, stomata;  
h, rongga udara; i, sclerenchyma; j, laticifer; k, abaxial epidermis. Petiole (B) :a, epidermis; b, parenchyma cells; c, xylem; d, phloem.  
Akar (C):a, epidermis; b, cortex; c, endodermis; d, vessel; e, phloem; f, aerenkim. Bar = 100 µm 
Pisang kepok memiliki kulit yang tebal, berwarna 
kuning dengan bintik coklat yang gelap. Morfologi buah 
pisang kapok sangat tidak menarik, buah perlu 
dimasak dahulu sebelum dikonsumsi dan memiliki 
rasa buah yang tidak terlalu manis .
Secara anatomi, daun M. balbisiana dan M. 
paradisiaca ‘Kepok’ tersusun atas adaxial epidermis, 
hypodermis, palisade, bunga karang, bundle sheat cell, 
abaxial epidermis, dan laticifer. Sel epidermis 
M.balbisiana berbentuk bulat sedangkan sel epidermis 
M. paradisiaca ‘Kepok’ berbentuk persegi panjang. 
Jaringan hypodermis ditemukan pada sisi adaxial dan 
abaxial daun M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’. 
M. balbisiana memiliki dua lapis jaringan hypodermis 
pada sisi adaxial dan satu lapis pada sisi abaxial. 
Sedangkan M. paradisiaca ‘Kepok’ memiliki satu lapis 
jaringan hypodermis pada sisi adaxial dan abaxial 
daun.  bahwa 
jaringan hypodermis hanya ditemukan pada sisi 
adaxial daun M. paradisiaca ‘Kepok’. Dua lapis jaringan 
hypodermis juga ditemukan pada M. paradisiacal 
‘Kluthuk Susu’   dan M. 
paradisiaca ‘Kepok’  . Tiga lapis 
jaringan hypodermis ditemukan pada M. 
branchyacarpa, M. sapietum dan M. cavendish (Harijati 
et al., 2013). Hypodermis yang tersusun atas 2 sampai 
3 lapis merupakan karakter Musaceae (Tomlison, 
1969). Jaringan hypodermis pada daun memiliki 
beberapa fungsi. Pada Musa sapientum, hypodermis 
berfungsi agar daun muda tidak menggulung   bahwa 
jaringan hypodermis berfungsi untuk menurunkan 
kerusakan jaringan fotosintesis akibat cahaya 
matahari.  
 Jaringan mesofil pada daun disusun oleh jaringan 
palisade dan bunga karang. M. balbisiana dan M. 
paradisiaca ‘Kepok’ memiliki dua lapis jaringan 
palisade dan tersusun rapat (Gambar 3 dan 4). Dua 
lapis jaringan palisade juga ditemukan pada M. 
branchyacarpa dan M. sapietum  . 
Jaringan bunga karang pada M. balbisiana dan M. 
paradisiaca ‘Kepok’ memiliki bentuk sel yang tidak 
beraturan, yang berfusi membentuk aerenkim. 
Aerenkim pada M. balbisiana dan M. paradisiaca 
‘Kepok’ terletak diantara dua berkas angkut. Kondisi 
ini juga ditemukan pada Penjalin, Kluthuk warangan, 
Ambon warangan, Raja nangka dan Kluthuk susu 
 , M. branchyacarpa, M. 
sapietum, M. paradisiaca ‘Kepok’ dan M. cavendish 
  dan merupakan kondisi yang 
umum pada daun pisang  
Jaringan angkut ditemukan di mesofil. Berkas 
angkut pada M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’ 
terdiri atas xylem dan floem. Berkas angkut dikelilingi 
oleh sel sklerenkim. Berkas angkut yang dikelilingi 
oleh sel sklerenkin juga ditemukan pada Penjalin, 
Kluthuk warangan, Ambon warangan, Raja nangka dan 
Kluthuk susu  . Laticifer 
pada M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’ 
ditemukan berasosiasi dengan berkas angkut (Gambar 
3 dan 4). Laticifer adalah sel atau kelompok sel yang 
berisi latek atau getah . Laticifer 
ditemukan di jaringan palisade dan berkas angkut 
 Namun, laticifer juga 
dapat ditemukan di abaxial epidermis 
 Petiole M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’ 
disusun oleh tiga jaringan yaitu:jaringan epidermis, 
parenkim, dan berkas angkut. Jaringan epidermis pada 
M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’ tersusun atas 
satu lapis, kompak, dan berbentuk persegi panjang. Sel 
parenkim ditemukan pada bagian tengah petiole 
(Gambar 3 dan 4). M. acuminata ‘Penjalin’ and M. 
acuminata ‘Ambon warangan’ memiliki satu lapis sel 
epidermis yang berbentuk persegi panjang, kompak, 
dan dilindungi oleh kutikula. M. acuminata ‘Penjalin’ 
and M. acuminata ‘Ambon warangan’ juga memiliki sel 
parenkim yang terletak pada bagian tengah petiole, 
berbentuk seperti bintang dan terdapat rongga udara 
yang besar  . 
Akar M. balbisiana dan M. paradisiaca ‘Kepok’ 
tersusun atas tiga jaringan yaitu:epidermis, parenkim, 
dan jaringan angkut. M. balbisiana dan M. paradisiaca 
‘Kepok’ memiliki satu lapis jaringan epidermis. Satu 
atau dua lapis jaringan epidermis juga ditemukan pada 
M. acuminata ‘Penjalin’ and M. paradisiaca ‘Raja 
Nangka’  . Aerenkim 
ditemukan pada akar M. balbisiana dan M. paradisiaca 
‘Kepok’. Adanya aerenkim yang terhubung dari tajuk 
hingga ke akar akan meningkatkan difusi oksigen dari 
daun ke akar akan mendukung proses respirasi (Evert, 
2006). Aerenkim juga ditemukan pada M. acuminata 
‘Penjalin’, M. balbisiana ‘Kluthuk Warangan’, M. 
acuminata ‘Ambon warangan’, dan M. paradisiaca 
‘Kluthuk’, namun tidak ditemukan pada M. paradisiaca 
‘Raja Nangka’  . 
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tanaman 
pisang dengan tingkatan ploidi yang berbeda, dalam 
hal ini M. balbisiana (diploid) dan M. paradisiaca 
(triploid) memiliki karakter morofologi dan anatomi 
yang berbeda pula.  

Tanaman pisang dengan tingkatan ploidi yang berbeda 
antara M. balbisiana diploid dan M. paradisiaca triploid 
menunjukkan perbedaan karakter morfologi pada tipe 
saluran pada petiole, bentuk pangkal daun, bentuk 
jantung pisang, bentuk ujung braktea, jumlah braktea 
yang terbuka, kedudukan style terhadap tepal bebas, 
bentuk style, bentuk ujung buah, dan sisa bagian bunga 
yang tertinggal pada buah, serta pada karakter anatomi 
pada jumlah lapisan hypodermis.  











Jawa Barat yaitu  produsen pisang
(Musa spp.) terbesar ke tiga di negara kita ,
sesudah  Propinsi Lampung (21,59%) dan 
hutan larangan  (19,48%), dengan kontribusi produksi
sekitar 18,03% dari total produksi pisang
nasional   . Sentra pisang di Jawa Barat yang
dominan berada di  bagian selatan Jawa Barat
yaitu di Kabupaten Pangandaran, Ciamis,
Tasikmalaya, Garut, Cianur dan Sukabumi.
berdasar  kajian pengembangan budidaya
dan industri pisang di Jawa Barat   ,  Jenis
pisang yang ditanam sangat bervariasi baik
pisang konsumsi maupun pisang olahan
(Gambar 1). Jenis pisang yang paling banyak
dibudidayakan di Jawa Barat Selatan yaitu 
Pisang Nangka, Ambon, Raja Cere, Raja Bulu,
Kapas, Tanduk, Siem, Lampeneng, Muli,
Kepok, dan Ambon Putih   . Keragaman
pisang tertinggi ada  di Selatan Jawa Barat
dengan ketinggian tempat sampai 200 m dpl.
Gambar 1. Pisang meja (banana) antara lain Ambon, Raja Cere dan Raja Bulu (atas) dan pisang
olahan (plantain) Barangan, Kapas dan Kepok (bawah) yang ditanam di Jawa Barat Selatan
warga  biasanya  menganggap
pisang tidak memerlukan teknik budidaya
yang rumit, termasuk pemupukan sehingga
petani sekedar menanam meskipun pisang
berkontribusi terhadap pendapatan keluarga.
Di lain pihak, pemupukan berimbang Urea,
SP-36 dan kompos meningkatan diameter
batang, jumlah daun dan anakan   .
Metode budidaya yang belum optimal
dipicu  faktor kesadaran, pengetahuan dan
modal petani serta kondisi agroekosistem
terutama ketersediaan air. Permasalahan
utama keterbatasan produksi pisang di
negara kita  umumya yaitu  : 1. Pola tanam yang
belum jelas dan teratur. 2. teknologi budidaya
pisang tidak diterapkan dengan benar. 3.
Kultivar pisang masih beragam. 4.
Ketersediaan dan pemakaian  bibit pisang
yang sehat dan kultivar unggul masih terbatas.
5. Penyebaran hama dan penyakit yang cukup
luas di sentra produksi pisang   .
Pisang yaitu  tanaman ekonomis dan
penting di Jawa Barat tetapi belum ada
dokumen tentang aspek budidaya pisang di
kebun warga . Penyusunan dokumen
perlu diawali dengan pendataan metode
budidaya secara umum di beberapa sentra
pisang. Tiga wilayah kerja yang menjadi
sasaran kajian ini yaitu  Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, dan
Kabupaten Pangandaran. berdasar  survey
tahun 2016 tidak banyak wilayah yang benar-
benar cocok untuk pendirian perkebunan
pisang jika dilihat dari kesesuaian lahan   .
Data survey menjelaskan bahwa dari 29 titik
sampel di Kecamatan Tegalbuleud Sukabumi,
hanya satu yang cocok dan sisanya agak
cocok,  dari 12 titik di Kecamatan Cipatujah
hanya satu cocok dan lainnya agak cocok
sedangkan dari 13 titik sampel di Kecamatan
Parigi hanya ada dua lokasi yang agak cocok
untuk budidaya pisang.
Pemerintah melalui Balai Penelitian
Tanaman Buah Badan Litbang Pertanian
Kementan telah menerbitkan dokumen metode
budidaya tanaman pisang terstandar baik
untuk bibit anakan, asal bonggol maupun
kultur jaringan [6,7,8]. Namun petani di Jawa
Barat selatan berdasar  studi pendahuluan
tidak pernah mendapatkan penjelasan
budidaya pisang baik dari Dinas Pertanian
setempat maupun Perguruan Tinggi.
Identifikasi metode budidaya yaitu  penting
untuk mendapatkan data dasar yang akan
menjadi acuan pemerintah untuk memperbaiki
atau memodifikasi metode budidaya pisang di
lokasi tertentu. Kajian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kendala umum budidaya
pisang dan menginventarisasi metode
budidaya pisang di kebun warga  Jawa
Barat Selatan.

Kajian dilakukan di tiga desa Jawa Barat
Selatan pada Mei - September 2018 yaitu Desa
Buniasih Kecamatan Tegalbuleud Kabupaten
Sukabumi, Desa Sindangkerta Kecamatan
Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya dan Desa
Margacinta Kecamatan Cijulang Kabupaten
Pangandaran (Gambar 2). Metode untuk
mendapatkan data primer yaitu  kajian
lapangan yang diperkuat dengan wawancara
dan diskusi kelompok terfokus.
Petani informan ditetapkan secara
purposive yaitu petani yang telah
membudidayakan pisang selama sedikitnya 10
tahun, mengakui telah memelihara
tanamannya, dan telah merasakan manfaat
pisang untuk ekonomi keluarga. Pada kajian
ini dilibatkan lima petani di setiap lokasi.
Wawancara dan diskusi terfokus tidak
melibatkan staf pemerintah daerah supaya
objektivitas informan terjaga.
Diskusi mengenai kendala budidaya
pisang meliputi aspek hulu seperti
ketersediaan air dan kesuburan tanah,
penyediaan nutrisi dan integrasi dengan
peternakan, sampai masalah pemasaran.
Wawancara aspek budidaya meliputi
pengolahan lahan, pembibitan, penanaman,
pemberian nutrisi, pemeliharaan tanaman,
pengendalian hama penyakit, dan irigasi. Data
sekunder diperoleh dari dokumen resmi yang
diterbitkan oleh Dinas Pertanian setempat dan
Balai Penelitian Tanah Kementerian
Pertanian. Metode budidaya setempat
dibandingkan dengan metode budidaya pisang
yang dikeluarkan oleh  Balai Penelitian
Tanaman Buah  dan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Kementan.
Gambar 2. Lokasi kajian pisang di Kabupaten Sukabumi,
Tasikmalaya dan Pangandaran

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kendala  Budidaya Pisang
Beberapa kendala yang telah
diidentifikasi dari lapangan terkait dengan
pengembangan pisang di warga , dapat
dikelompokan ke dalam lima kategori:
1. Sumber daya lahan dan air
2. Metode budidaya
3. Manajemen nutrisi
4. Pemasaran
5. Perilaku
berdasar  diskusi lebih mendalam diperoleh
kendala yang menjadi masalah  peningkatan
produktivitas lahan dan juga produksi serta
kualitas pisang yang dipasarkan (Tabel 1) baik
dari sudut Sumber daya alam maupun Sumber
daya manusia.
Tabel 1. Kedala sumber daya alam dan sumber daya manusia  pada produksi pisang di Jawa
Barat selatan
Komponen
(1)
Kendala dan Masalah
(2)
Sumber daya
alam
a. Keterbatasan sumber air untuk pisang yang ditanam di bukit.
b. Perubahan iklim yang kurang dikomunikasi oleh kantor meteorologi
c. Kelas kesesuaian lahan dengan pisang biasanya  S2 dan S3
Metode
budidaya
a. Keterbatasan bibit yang berkualitas.
b. Persiapan lahan tidak optimal
c. Tanaman tidak dipelihara
d. Pisang dipanen sebelum umur petik
Manajemen
nutrisi
a. Keterbatasan akses terhadap input nutrisi baik pupuk organik maupun
anorganik
b. Ketidaktahuan pemberian nutrisi yang tepat metode, tepat waktu dan tepat
jumlah
c. Keterbatasan pengetahuan penyediaan nutrisi secara mandiri
d. Belum adanya penjelasan konsep integrasi tanaman-ternak dalam produksi
pisang
Pemasaran a. Belum adanya jaminan pasar dan harga yang cukup sebagai insentif bagi
peningkatan produktivitas pisang yang dilakukan warga .
b. Pasar menerima buah pisang dengan kualitas rendah bahkan yang masih
muda sehingga petani tidak memperhatikan aspek pemeliharaan
c. Agribisnis pisang masih belum ditata dengan baik
Perilaku a. petani yang masih menganggap budidaya pisang kurang penting sebagai
sumber pendapatan, dibandingkan kegiatan ekonomi lainnya.
b. Sebagian besar petani membudidayakan pisang pada luas lahan terbatas,
atau tanaman sela, sehingga jumlah batang pohon hanya sedikit.
Konsekuensinya jumlah dan nilai panen kecil.
c. Pengalaman turun temurun memperlihatkan bahwa pisang tetap berbuah
meskipun tidak dipelihara
d. Kompleksitas pemeliharaan pisang dan potensi penurunan hasil
menyebabkan petani beralih ke budidaya tanaman tahunan seperti albasia
e. Keterbatasan pengetahuan mengenai kualitas lahan  dan ketersediaan air
irigasi serta konsekuensinya terhadap produksi dan kualitas pisang.



Kebijakan
Pemerintah
a. Kebijakan politik negara belum ada yang menganggap bahwa pisang
merupakan komoditas penting dalam struktur ekonomi warga 
b. Belum ada kebijakan pemerintah Jawa Barat untuk intensifikasi
penenaman pisang untuk meningkatkan produktivitas pisang.
c. Ketiadaan tenaga penyuluh dan dukungan teknis
d. tidak ada kelembagaan yang mengelola pisang antara lain kelompok tani
pisang,  maupun dukungan permodalan dan fasilitasi lainnya.
berdasar  sistem klasifikasi tanah
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1983
(sekarang yaitu  Balai Besar Sumber Daya
Lahan dan Pertanian) Badan Litbang
Kementan, di Jawa Barat selatan ada 
delapan jenis tanah  yaitu Alluvial, Andosol,
Grumosol, Latosol, Podsolik Merah Kuning,
Brown Forest, Mediteran dan Regosol. Jenis
tanah Podsolik Merah Kuning (PMK)
mendominasi Jawa Barat Selatan dengan
sebaran luas >50 persen. Tanah PMK yaitu 
tanah mineral tua dengan pencucian intesif
sehingga  tingkat kesuburan tanahnya relatif
rendah .
Nutrisi tanaman di bagian atas tanah
sudah teruci ke bagian bawah dan menyisakan
besi dan aluminum yang menyebabkan warna
merah dan kuning. Pisang yaitu  tanaman
tahunan dengan syarat kesesuian lahan tidak
seketat tanaman semusim namum kesuburan
tanah rendah akan menjadi kendala optimasi
produksi  . Selain tanah, faktor ketersediaan
air juga membatasi produksi pisang di Jabar
Selatan. Pisang memerlukan irigasi dengan
kuantitas dan frekuensi tergantung dari laju
infiltrasi, kondisi fisik tanah, kapasitas tanah
menahan air dan evapotranspirasi . Irigasi
meningkatkan  bobot tandan, bobot dan
diameter buah serta panjang buah . Kendala
ketersediaan air  menyebabkan kebun pisang
bersifat tadah hujan yang menjadi penghambat
pula untuk pemberian nutrisi yang tepat waktu.
Keterbatasan pengetahuan budidaya
pisang menyebabkan ketidaktahuan manfaat
penyiapan lahan: pengolahan tanah minimum,
pembuatan teras, penguatan teras dengan
tanaman, dan pengaturan guludan  dan jalan
air. Pemeliharaan tanaman dilakukan sangat
terbatas padahal  pemberian nutrisi,
pemangkasan daun tua, penyapihan anakan,
pembuangan buang betina dan jantan,
penebangan pohon sesudah  panen, dan umur
panen akan berkaitan dengan kuantitas,
kualitas dan nilai gizi pisang. Ketidaktahuan
petani mengenai pentingnya pemeliharaan
tanaman dan lingkungan kebun menyebabkan
penyakit di kebun petani daerah kerja menjadi
cukup masif.
Metode Budidaya
Secara umum tidak ada pembeda
teknologi budidaya pisang di tiga lokasi kajian.
Metode budidaya yang dilakukan oleh petani
di ketiga lokasi keseluruhannya dilakukan
berdasar  kebiasaan setempat.
a. Pengolahan tanah
 Minimum, berupa pembersihan
gulma di sekitar lokasi lubang
tanam dan di lahan miring tidak ada
penterasan yang baik.
 Lubang tanam berukuran 30 cm x30
cmx 30 cm, 40 cm x 40 cm x 40 cm,
atau 50cm x 50 cm x 50 cm dan
dibiarkan 1-4 minggu.
b. Sumber bibit
 Bibit anakan (anakan pedang)
dengan tinggi sekitar 60 cm yang
dipisahkan dari induk dan langsung
ditanam atau dijemur selama 2 hari
untuk mengurangi getah.
 Tidak ada kebun induk untuk bibit;
anakan diperoleh dari tanaman baru
maupun lama sehingga kualitas
bibit menurun
 Sejumlah kecil petani membuat
bibit bonggol; tidak tersedia bibit
kultur jaringan


 Bibit lokal adaptif dengan
agroekoklimat setempat; bukan
bibit unggul pisang nasional
c. Penanaman
 Jarak lubang tanaman yaitu   2x2
m; 2x2,5 m atau 3x3 m tergantung
jenis pisang dengan  memperhatikan
besar kecilnya pohon.
 Kotoran ternak (sapi, kerbau,
domba kambing) dicampur dengan
tanah mineral sebagai media tanam
di lubang tanam. Tidak diketahui
berapa perbadingan antara tanah
dan pupuk organik.
d. Pemberian nutrisi
 Pupuk kandang sekitar 5-15 kg per
lubang tanam; dan disebarkan ke
permukaan tanah sesudah  tanaman
tumbuh dengan intensitas sekitar 1
tahun sekali.
 Petani tidak menggunakan pupuk
anorganik. Ada anggapan jika diberi
pupuk tanaman mati atau sebaliknya
tanaman lebih baik.
e. Pemeliharaan tanaman
 Tanaman pisang dibiarkan tumbuh
hampir tanpa pemeliharaan.
 Kadang-kadang  petani membuang
daun kering dan membersihkan
gulma.
 Tidak ada pemangkasan daun
 Penjarangan anakan jarangan
dilakukan kecuali saat memerlukan
bibit anakan.
f. Pengendalian hama penyakit
 Sanitasi kebun rutin tidak dilakukan
 Petani tidak pernah secara sengaja
mengendalikan penyakit darah oleh
bakteri Pseudomonas, layu oleh
Fusarium.
 Bibit kemungkinan besar tidak
bebas dari penyakit layu Fusarium
g. Irigasi
 Kebun pisang bersifat tadah hujan
 Petani terkendala modal untuk
membuat sumur atau mengadakan
pompa air.
Jika dibandingkan dengan petunjuk budidaya
pisang Kementrian Pertanian, Petani belum
melakukannya dengan baik. Persiapan lahan
hanya sekedar mengolah lahan untuk lubang
tanama. Namun gulma yang intensif akibat
pengolahan lahan minimal dapat menahan
erosi meskipun di lahan miring resiko erosi
besar karena tidak ada penterasan. Ukuran
lubang tanam masih bervariasi padahal
menurut petunjuk teknis tanam pisang dari
perkebunan pisang skala komerisal lubang
tanaman terbaik yaitu  50 cm x 50 cm x 50 cm
  
. Lubang tanam di petani lokasi penelitian masih
banyak yang terlalu kecil dan berpotensi
menghambat perkembangan akar, terutama di
tanah berliat seperti di Sukabumi. Jarak tanam
pisang ditetapkan berdasar  ukuran tanaman
tanpa membedakan spesifikasi jenis. Menurut
BB PTP Kementan, jarak tanah pisang
Ambon, Cavendish, Raja Sereh, dan Raja
Nangka  seharusnya 3 x 3 m. Jenis pisang
Kepok dan Tanduk 3 x 3 m atau 3 x 3,5 m.
pemakaian  bibit anakan sudah tepat
namun ketiadaan kebun bibit menyebabkan
anakan diambil dari sembarang tanaman
sehingga bibit dapat tidak berkualitas.
Pemerintah menganjurkan pemakaian  bibit
asal kultur jaringan belum banyak tersedia di
Jawa Barat selatan   . Jenis pisang yang
ditanam masih berupa pisang lokal sesuai
pasaran. Sebenarnya  Balai Penelitian Buah
Tropika memiliki bibit unggul pisang nasional
seperti pisang Raja Kinalun, Kepok Tanjung,
Ketan-01  dan Raja Siem namun belum
tersedia di tingkat petani.
Petani  memberikan pupuk kotoran
ternak di lubang tanam yang sesuai dengan
anjuran yaitu 10 kg/lobang dan dibiarkan 1-2
minggu. Pupuk anoganik hampir tidak pernah
dberikan. Badan litbang pertanian
menganjurkan 350 kg Urea + 150 kg SP-36,
dan 150 kg KCL per ha/tahun atau 0,233 kg
Urea, 0,10 kg SP-36 dan 0,10 kg KCl per
tanaman. Pupuk diletakkan pada alur dangkal
berjarak 60-70 cm dari tanaman dan ditutup
tanah. Jumlah anakan per rumpun dan jumlah
daun per tanaman tidak dianggap penting oleh
petani lokal  padahal pada satu rumpun
seharusnya hanya ada 3 tanaman dan jumlah
daun 6-8 helai untuk tanaman dewasa
produktif.
Pemeliharaan yang minim memicu
intensifikasi penyakit tanaman pisang
(Gambar 3). Menurut petani, budidaya pisang
campuran yang dilakukan petani di Jabar
Selatan dapat  menghindarkan penyakit darah
oleh Pseudomonas dan layu oleh Fusarium.
Pengendalian penyakit pisang
dianjurkan lebih bersifat kuratif melalui
sanitasi. Sanitasi seharusnya dilakukan 45 hari
sekali meliputi kegiatan pembersihan daun
kering, penjarangan anakan dan pembuangan
sisa tanaman bekas panen .
Selain masalah di hulu, penguatan
produktivitas  pisang di Jawa Barat selatan
yaitu  umur panen dan pascapanen. Pisang
dipanen lebih awal dari umur panen karena
permintaan konsumen tidak dapat ditolak
meskipun mengorbankan kualitas pisang.
Pematangan buah yang masih muda tersebut
dipercepat dengan hormon ethylene (etilen)
dan zat kimia calcium carbide (dikenal sebagai
karbit). Jika zat padat calcium carbide
bercampur dengan air akan dihasilkan  gas
acethylene yang efeknya terhadap pematangan
buah sangat mirip dengan agen pematangan
alami oleh etilen. Proses ini menyebabkan
kulit pisang berwarna kuning merata namun
rasa, aroma dan tekstur buah tidak sebaik
pisang matang alami.
Gambar 3. Daun tua dan kering dibiarkan menyebab-
kan tanaman rentan serangan penyakit

Petani belum membudidayakan pisang
dengan metode terstandard dari instansi
berwenang; petani sekadar menanam dan
menjadikan pisang sebagai tanaman sela,
beberap petani menanam pisang sebagai
tanaman utama. Pemeliharaan di semua kebun
petani tidak optimal bahkan dapat dikatakan
pisang tidak dipelihara. Sistem nutrisi yang
penting untuk pertumbuhan tanaman belum
menjadi prioritas padahal potensi lokal untuk
dijadikan pupuk seperti sampah rumah tangga,
sisa-sisa tanaman termasuk bonggol pisang,
dan kotoran ternak tersedia.
Perbaikan metode budidaya harus diawali
dengan peningkatan pengetahuan disertai
pendampingan oleh Penyuluh Pertanian
Lapangan dan Perguruan Tinggi lokal.
Percobaan lapangan juga diperlukan untuk
memperoleh sistem pemberian nutrisi dan
pengendlian hama/penyakit yang tepat.
Penyedian bibit yang sehat dan mencukupi
serta nutrisi internal untuk budidaya pisang
yang berorientasi ekonomis perlu didukung
oleh kebijakan pemerintah setempat.