industri pangan

Sistem jaminan mutu dan keamanan pangan pola HACCP sekarang mulai 
diakui dan diterapkan di seluruh dunia termasuk Uni Eropa, bahkan telah diadopsi 
Codex Almentarius Commision sebagai acuan dalam pengembangan sistem jaminan 
mutu dan keamanan pangan industri pangan.
HACCP ini pun dapat diterapkan pada seluruh rantai produk makanan, 
mulai dari produksi primer sampai ke konsumen akhir. Selain meningkatkan jaminan 
keamanan pangan (food safety assurance), keuntungan lain dari HACCP adalah 
penggunaan sumber daya secara lebih baik dan pemecahan masalah dapat lebih 
cepat. Penerapan HACCP juga sesuai dengan implementasi sistem manajemen mutu, 
misalnya seri ISO-9000, dan merupakan sistem terpilih dalam manajemen keamanan 
pangan

Menjelang pelaksanaan liberalisasi di sektor industri dan perdagangan, 
Menteri Perindustrian dan Perdagangan pernah mengisyaratkan bahwa di masa 
mendatang industri pangan nasional akan menghadapi tantangan persaingan yang 
makin berat dan kendala yang dihadapi pun semakin besar. Globalisasi ekonomi 
negara, industri, penguasaan teknologi canggih, persaingan terbuka dan proteksi 
ekonomi dalam blok-blok perdagangan internasional mengharuskan reorientasi 
dalam strategi pembinaan dan pengembangan industri pangan nasional. Oleh 
karena itu, wajar juga apabila industri pangan nasional berusaha mencari upaya￾upaya terobosan dan inovasi-inovasi baru dengan tujuan agar industri pangan 
nasional tersebut sanggup bertahan dan mandiri sehingga mampu bersaing untuk 
menghadapi kemungkinan perubahan serta mampu memenuhi persyaratan yang 
ditetapkan oleh konsumen internasional. Salah satu tantangan dan kendala utama 
yang dihadapi oleh industri pangan nasional tersebut adalah selain produk pangan 
yang dihasilkan harus bermutu juga ”aman” untuk dikonsumsi serta tidak 
mengandung bahan-bahan yang membahayakan terhadap kesehatan manusia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa dewasa ini masalah jaminan mutu dan 
keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan tuntutan dan persyaratan 
konsumen serta dengan tingkat kehidupan dan kesejahteraan manusia. Bahkan pada 
beberapa tahun terakhir ini, konsumen telah menyadari bahwa mutu dan keamanan 
pangan tidak hanya bisa dijamin dengan hasil uji pada produk akhir di laboratorium 
saja. Mereka berkeyakinan bahwa dengan pemakaian bahan baku yang baik, 
ditangani atau di ”manage” dengan baik, diolah dan didistribusikan dengan baik akan 
menghasilkan produk akhir pangan yang baik pula. Oleh karena itu, berkembanglah 
berbagai sistem yang dapat memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan sejak 
proses produksi hingga ke tangan konsumen serta ISO-9000, QMP (Quality 
Management Program), HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan lain￾lain.
Sebagai konsekwensi logis, strategi pembinaan dan pengawasan mutu pada 
industri pangan nasional harus bergeser ke strategi yang juga wajib memperhatikan 
aspek keamanan pangan tersebut, disamping aspek sumber daya manusia, 
peningkatan keterampilan serta penguasaaan dan pengembangan teknologi. Salah 
satu konsep dan strategi untuk menjamin keamanan dan mutu pangan yang dianggap 
lebih efektif dan ”safe” serta telah diakui keandalannya secara internasional adalah 
sistem manajemen keamanan pangan HACCP. Filosofi sistem HACCP ini adalah 
pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan berdasarkan pencegahan 
preventif (preventive measure) yang dipercayai lebih unggul dibanding dengan cara￾cara tradisional (conventional) yang terlalu menekankan pada sampling dan 
pengujian produk akhir di laboratorium. Sistem HACCP lebih menekankan pada 
upaya pencegahan preventif untuk memberi jaminan keamanan produk pangan.
Adanya beberapa kasus penyakit dan keracunan makanan serta terakhir 
adanya issue keamanan pangan (food safety) di negara-negara maju, maka sejak 
tahun 1987 konsep HACCP ini berkembang, banyak dibahas dan didiskusikan oleh 
para pengamat, pelaku atau praktisi pengawasan mutu dan keamanan pangan serta 
oleh para birokrat maupun kalangan industriawan dan ilmuan pangan. Bahkan karena 
tingkat jaminan keamanannya yang tinggi pada setiap industri pangan yang 
menerapkannya, menjadikan sistem ini banyak diacu dan diadopsi sebagai standar 
proses keamanan pangan secara internasional. Codex Alimentarius Commission 
(CAC) WHO/FAO pun telah menganjurkan dan merekomendasikan 
diimplementasikannya konsep HACCP ini pada setiap industri pengolah pangan. 
Begitu pula negara-negara yang tergabung dalam MEE melaui EC Directive 
91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar 
pengembangan sistem manajemen mutu dinegara-negara yang akan mengekspor 
produk hasil perikanan dan udangnya ke negara-negara MEE tersebut.
Dalam tulisan pada makalah ini akan disajikan/diinformasikan tentang 
sejarah perkembangan perumusan HACCP, pemahaman sistem HACCP dan 
definisinya termasuk bahaya yang dimaksud dalam HACCP, prinsip dasar dalam 
sistem HACCP serta pola penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam 
industri pangan.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN PERUMUSAN HACCP
Konsep sistem HACCP sebagai penjamin keamanan pangan pertama kali 
dikembangkan oleh tiga institusi, yaitu perusahaan pengolah pangan Pillsbury 
Company bekerjasama dengan NASA (The National Aeronaties and Space 
Administration) dan US Arm’s Research, Development and Engineering Center pada 
dekade tahun 1960-an dalam rangka menjamin suplai persediaan makanan untuk 
para astronotnya (ADAMS, 1994 ; MOTARJEMI et al, 1996 ; VAIL, 1994). Konsep 
ini pada permulaannya dikembangkan dengan misi untuk menghasilkan produk 
pangan dengan kriteria yang bebas dari bakteri pathogen yang bisa menyebabkan 
adanya keracunan maupun bebas dari bakteri-bakteri lain serta dikenal pula dengan 
program ”zero-defects” (HOBBS, 1991). Program ”zero-defects” ini esensinya 
mencakup tiga hal, yaitu : pengendalian bahan baku, pengendalian seluruh proses 
dan pengendalian pada lingkungan produksinya serta tidak hanya mengandalkan 
pemeriksaan pada produk akhir (finished products) saja. Oleh karena hal tersebut 
maka diperlukan sistem/metode pendekatan lain yang bisa menjamin bahwa faktor￾faktor yang merugikan harus benar-benar dapat diawasi dan dikendalikan. Dari hasil 
pengkajian, evaluasi dan penelitian yang lebih mendalam ternyata sistem/metode 
HACCP merupakan satu-satunya konsep yang pas (sesuai) kinerjanya untuk 
program ”zero-defects” tersebut (NATIONAL FOOD PROCESSORS 
ASSOCIATION’S MICROBIOLOGY AND FOODSAFETY COMMITTEE, 1992).
Kemudian atas inisiatif perusahaan industri pengolah pangan Pillbury 
Company, konsep sistem manajemen HACCP tersebut lalu dipresentasikan dan 
dipublikasikan pada tahun 1971 dalam Konfrensi Perlindungan Pangan Nasional di 
Amerika Serikat (HOBBS, 1991). Disamping itu, konsep ini menjadi dasar bagi 
peraturan untuk menjamin keamanan mikrobiologis bagi produk makanan berasam 
rendah yang dikalengkan dan makanan yang diasamkan dan diproses dengan 
menggunakan suhu tinggi. Selanjutnya konsep sistem HACCP ini banyak dipelajari, 
diteliti, diterapkan dan dikembangkan oleh berbagai kalangan industri pengolah 
pangan, ilmuan pangan, teknologi pangan, para pakar di bidang ilmu dan teknologi 
pangan baik yang ada di Universitas/Perguruan Tinggi, lembaga litbang pangan dan 
lain-lain. bahkan FDA (Food and Drug Administration) sebagai lembaga penjamin 
mutu dan keamanan pangan nasional yang disegani di Amerika Serikat telah 
menetapkan dan mensyaratkan agar sistem HACCP ini diterapkan secara wajib 
(mandatory) pada setiap industri pengolah pangan secara luas (PERSON dan 
CORLET, 1992).
Konsep HACCP ini pun telah mengalami revisi, kajian ulang dan 
penyempurnaan dari berbagai institusi yang memberikan masukannya seperti 
National Advisory Committee On Microbiological Criteria on Foods (NACMCF), 
US Departement of Agriculture (USDA), National Academiy of Sciences (NAS), 
USDA Food Safety and Inspection Service (FSIS) (ADAMS, 1994) ; The National 
Marine Fisheries Institute (NMFS), National Oceanic and Atmospherie 
Administration (NOAA), National Fisheries Institute (NFI) dan FDA sendiri 
(GARRETT III dan HUDAK-ROSE, 1991). Perkembangan selanjutnya konsep 
HACCP ini telah banyak diimplementasikan di berbagai jenis operasi pengolahan 
pangan termasuk pula pada jasa ”catering” dan ”domestic kitchen” dan dalam 
implementasinya biasanya dilakukan validasi dan verifikasi oleh Badan/Lembaga 
pengawas keamanan pangan.
Kemudian sejak tahun 1985 penerapan sistem HACCP telah diuji-cobakan 
pada industri pengolah pangan, industri perhotelan, industri penyedia makanan yang 
beroperasi di jalanan (street food vendors) dan rumah tangga di beberapa negara, 
misalnya, Republik Dominika, Peru, Pakistan, Malaysia dan Zambia (WHO), 1993). 
Pada tahun 1993 Badan Konsultansi WHO untuk Pelatihan Implementasi Sistem 
HACCP pada Industri Pengolah Pangan membuat suatu rekomendasi agar 
pemerintah sebagai pembina dan industri pangan sebagai produsen pangan berupaya 
menerapkan sistem HACCP, terutama bagi negara-negara Argentina, Bolivia, China, 
Indonesia, Jordania, Meksiko, Peru, Philipina, Thailand dan Tunia. Begitu pula 
negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) telah 
mensyaratkan diterapkannya sistem HACCP pada setiap eksportir produk pangan 
yang masuk ke negara-negara tersebut. Sementara ini, mulai tanggal 28 Juni 1993, 
konsep sistem HACCP telah diterima oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) 
dan diadopsi sebagai Petunjuk Pelaksanaan Penerapan Sistem HACCP atau 
”Guidelines for Application of Hazard Analysis Critical Control Point System” 
(CODEX ALIENTARIUN COMMISSION, 1993). Dengan adanya adopsi dan 
pengakuan secara resmi dari Badan WHO ini, maka HACCP menjadi semakin 
populer di kalangan industri dan jasa pengolah pangan sebagai penjamin keamanan 
pangan (food safety assurance).
C. PEMAHAMAN KONSEP SISTEM HACCP DAN DEFINISINYA
HACCP merupakan suatu sistem manajemen pengawasan dan pengendalian 
keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional dan sistematis
dengan tujuan untuk mengidentifikasi, memonitor dan mengendalikan bahaya
(hazard) mulai dari bahan baku, selama proses produksi/pengolahan, manufakturing, 
penanganan dan penggunaan bahan pangan untuk menjamin bahwa bahan pangan 
tersebut aman bila dikonsumsi (MOTARKEMI et al, 1996 ; STEVENSON, 1990). 
Dengan demikian dalam sistem HACCP, bahan/materi yang dapat membahayakan 
keselamatan manusia atau yang merugikan ataupun yang dapat menyebabkan produk 
makanan menjadi tidak disukai; diidentifikasi dan diteliti dimana kemungkinan besar 
terjadi kontaminasi/pencemaran atau kerusakan produk makanan mulai dari 
penyediaan bahan baku, selama tahapan proses pengolahan bahan sampai distribusi 
dan penggunaannya. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi 
titik kendali kritis.
Menurut BRYAN (1990), sistem HACCP didefinisikan sebagai suatu 
manajemen untuk menjamin keamanan produk pangan dalam industri pengolahan 
pangan dengan menggunakan konsep pendekatan yang bersifat logis (rasional), 
sistematis, kontinyu dan menyeluruh (komprehensif) dan bertujuan untuk 
mengidentifikasi, memonitor dan mengendalikan bahaya yang beresiko tinggi 
terhadap mutu dan keamanan produk pangan.
Konsep HACCP ini disebut rasional karena pendekatannya didasarkan pada 
data historis tentang penyebab suatu penyakit yang timbul (illness) dan kerusakan 
pangannya (spoilage). HACCP bersifat sistematis karena konsep HACCP 
merupakan rencana yang teliti dan cermat serta meliputi kegiatan operasi tahap demi 
tahap, tatacara (prosedur) dan ukuran kriteria pengendaliannya. Konsep HACCP juga
bersifat kontinyu karena apabila ditemukan terjadi suatu masalah maka dapat segera 
dilaksanakan tindakan untuk memperbaikinya. Disamping itu, sistem HACCP 
dikatakan bersifat komprehensif karena sistem HACCP sendiri berhubungan erat 
dengan ramuan (ingredient), pengolah/proses dan tujuan penggunaan/pemakaian 
produk pangan selanjutnya.
Sistem HACCP dapat dikatakan pula sebagai alat pengukur atau pengendali 
yang memfokuskan perhatiannya pada jaminan keamanan pangan, terutama sekali 
untuk mengeliminasi adanya bahaya (hazard) yang berasal dari bahaya mikrobiologi 
(biologi), kimia dan fisika ; dengan cara mencegah dan mengantisipasi terlebih 
dahulu daripada memeriksa/menginspeksi saja.
Sementara itu, tujuan dan sasaran HACCP adalah memperkecil 
kemungkinan adanya kontaminasi mikroba pathogen dan memperkecil potensi 
mereka untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, secara individu setiap 
produk dan sistem pengolahannya dalam industri pangan harus mempertimbangkan 
rencana pengembangan HACCP. Dengan demikian, setiap produk dalam industri 
pangan yang dihasilkannya akan mempunyai konsep rencana penerapan HACCP-nya 
masing-masing disesuaikan dengan sistem produksinya.
Bagi industri pengolahan pangan, sistem HACCP sebagai sistem penjamin 
keamanan pangan mempunyai kegunaan dalam hal, yaitu : (1) Mencegah penarikan 
produk pangan yang dihasilkan, (2) Mencegah penutupan pabrik, (3) Meningkatkan 
jaminan keamanan produk, (4) Pembenahan dan pembersihan pabrik, (5) Mencegah 
kehilangan pembeli/pelanggan atau pasar, (6) Meningkatkan kepercayaan konsumen 
dan (7) Mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena 
masalah keamanan produk.
Pendekatan HACCP dalam industri pangan terutama diarahkan terhadap 
produk pangan (makanan) yang mempunyai resiko tinggi sebagai penyebab penyakit 
dan keracunan, yaitu makanan yang mudah terkontaminasi oleh bahaya 
mikrobiologi, kimia dan fisika (Tabel 1). 
Untuk memahami konsep HACCP secara menyeluruh diperlukan adanya 
kesamaan pandangan terhadap beberapa istilah dan definisi yang dipakai dalam 
sistem manajemen HACCP, yaitu :
Bahaya (hazard)
Bahan biologi, kimia atau fisika, atau kondisi yang dapat menimbulkan 
resiko kesehatan yang tidak diinginkan terhadap konsumen. Menurut NACMCF 
(1992) mendefinisikan bahaya atau ”hazard” sebagai suatu sifat-sifat 
biologis/mikrobiologis, kimia, fisika yang dapat menyebabkan bahan pangan 
(makanan) menjadi tidak aman untuk dikonsumsi.
Titik Kendali (Control Point = CP)
Setiap titik, tahap atau prosedur pada suatu sistem produksi makanan yang 
dapat mengendalikan faktor bahaya biologi/mikrobiologi, kimia atau fisika.
Titik Kendali Kritis (Critical Control Point = CCP)
Setiap titik, tahap atau prosedur pada suatu sistem produksi makanan yang 
jika tidak terkendali dapat mengakibatkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan 
atau setiap titik, tahap atau prosedur yang jika dikendalikan dengan baik dan benar 
dapat mencegah, menghilangkan atau mengurangi adanya bahaya.
Batas Kritis (Ccritical Limits)
Batas toleransi yang harus dipenuhi/dicapai yang menjamin bahwa CCP 
dapat mengendalikan secara efektif bahaya yang mungkin timbul atau suatu nilai 
yang merupakan batas antara keadaan dapat diterima dan tidak dapat diterima.
Resiko 
Kemungkinan menimbulkan bahaya.
Penggolongan Resiko
Pengelompokkan prioritas resiko berdasarkan bahaya yang mungkin timbul/ 
terdapat pada makanan.
Pemantauan (Monitoring)
Pengamanan atau pengukuran untuk menetapkan apakah suatu CCP dapat 
dikendalikan dengan baik dan benar serta menghasilkan catatan yang teliti untuk 
digunakan selanjutnya dalam verifikasi.
Pemantauan Kontinyu
Pengumpulan dan pencatatan data secara kontinyu, misalnya pencatatan 
suhu pada tabel.
Tindakan Koreksi (Corrective Action)
Prosedur atau tatacara tindakan yang harus dilakukan jika terjadi 
penyimpangan pada CCP.
Tim HACCP
Sekelompok orang/ahli yang bertanggung jawab untuk menyusun rancangan 
HACCP
Validasi Rancangan HACCP
Pemeriksaan awal oleh tim HACCP untuk menjamin bahwa semua elemen 
dalam rancangan HACCP sudah benar.
Validasi 
Metode, prosedur dan uji yang dilakukan selain pemantauan untuk 
membuktikan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rancangan HACCP, dan 
untuk menentukan apakah rancangan HACCP memerlukan modifikasi dan 
revalidasi.
D. PRINSIP DASAR SISTEM HACCP 
Secara teoritis ada tujuh prinsip dasar penting dalam penerapan sistem 
HACCP pada industri pangan seperti yang direkomendasikan baik oleh NACMCP 
(National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods, 1992) dan CAC 
(Codex Alintarius Commission, 1993). Ketujuh prinsip dasar penting HACCP yang 
merupakan dasar filosofi HACCP tersebut adalah:
1. Analisis bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko beserta cara 
pencegahannya.
2. Identifikasi dan penentuan titik kendali kritis (CCP) di dalam proses produksi.
3. Penetapan batas kritis (Critical Limits) terhadap setiap CCP yang telah 
teridentifikasi.
4. Penyusunan prosedur pemantauan dan persyaratan untuk memonitor CCP.
5. Menetapkan/menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi 
penyimpangan (diviasi) pada batas kritisnya.
6. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan datanya 
(Record keeping).
7. Menetapkan prosedur untuk menguji kebenaran.
Prinisp I. Analisis Bahaya (Hazard Analysis) dan Penetapan Resiko beserta Cara 
Pencegahannya.
Pendekatan pertama pada konsep HACCP adalah analisis bahaya yang 
berkaitan dengan semua aspek produk yang sedang diproduksi. Pemeriksaan atau 
analisis terhadap bahaya ini harus dilaksanakan, sebagai tahap utama untuk 
mengidentifikasi semua bahaya yang dapat terjadi bila produk pangan dikonsumsi. 
Analisis bahaya harus dilaksanakan menyeluruh dan realistik, dari bahan baku 
hingga ke tangan konsumen.
Jenis bahaya yang mungkin terdapat di dalam makanan dibedakan atas tiga 
kelompok bahaya, yaitu : 
(1) Bahaya Biologis/Mikrobiologis, disebabkan oleh bakteri pathogen, 
virus atau parasit yang dapat menyebabkan keracunan, penyakit infeksi atau 
infestasi, misalnya : E. coli pathogenik, Listeria monocytogenes, Bacillus sp., 
Clostridium sp., Virus hepatitis A, dan lain; 
(2) Bahaya Kimia, karena tertelannya toksin alami atau bahan kimia yang 
beracun, misalnya : aflatoksin, histamin, toksin jamur, toksin kerang, alkoloid 
pirolizidin, pestisida, antibiotika, hormon pertumbuhan, logam-logam berat (Pb, Zn, 
Ag, Hg, sianida), bahan pengawet (nitrit, sulfit), pewarna (amaranth, rhodamin B, 
methanyl jellow), lubrikan, sanitizer, dan sebagainya ; 
(3) Bahaya Fisik, karena tertelannya benda-benda asing yang seharusnya 
tidak boleh terdapat di dalam makanan, misalnya : pecahan gelas, potongan kayu, 
kerikil, logam, serangga, potongan tulang, plastik, bagian tubuh (rambut), sisik, duri, 
kulit dan lain-lain.
Agar analisis bahaya ini dapat benar-benar mencapai hasil yang dapat 
menjamin semua informasi mengenai bahaya dapat diperoleh, maka analisis bahaya 
harus dilaksanakan secara sistematik dan terorganisasi.
Ada tiga elemen dalam analisis bahaya, yaitu :
1. Menyusun Tim HACCP.
2. Mendefinisikan produk : cara produk dikonsumsi dan sifat-sifat negatif produk 
yang harus dikontrol dan dikendalikan.
3. Identifikasi bahaya pada titik kendali kritis dengan mempersiapkan diagram alir 
proses yang teliti sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, untuk menghasilkan 
suatu produk.
Prinisp II. Identifikasi dan Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) di dalam Proses 
Produksi
Titik kendali kritis (CCP) didefinisikan sebagai suatu titik lokasi, setiap 
langkah/tahap dalam proses, atau prosedur, apabila tidak terkendali (terawasi) 
dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak amannya makanan, kerusakan 
(spoilage), dan resiko kerugian ekonomi. CCP ini ditentukan setelah diagram alir 
proses produksi yang sudah teridentifikasi potensi bahaya pada setiap tahap produksi 
dengan menjawab pertanyaan ”Apakah pengawasan/pengendalian kritis dari bahaya 
(hazard) terjadi pada tahap ini atau yang lain; apabila pengawasan/pengendalian pada 
tahap tertentu gagal apakah langsung menghasilkan bahaya yang tak diinginkan, 
kerusakan dan kerugian secara ekonomi”. Harus diperhatikan titik kendali (CP) 
tidaklah sama dengan titik kendali kritis (CCP).
Secara sistematis untuk mengidentifikasi dan mengenali setiap titik kendali 
kritis (CCP) dapat dilakukan dengan metode alur keputusan atau CCP Decission 
Tree seperti terlihat pada Gambar 1.
Prinisp III. Penetapan Batas Kritis (Critical Limits) Terhadap Setiap CCP yang 
telah Teridentifikasi.
Setelah semua CCP dan parameter pengendali yang berkaitan dengan setiap 
CCP teridentifikasi, Tim HACCP harus menetapkan batas kritis untuk setiap CCP. 
Biasanya batas kritis untuk bahaya biologis/mikrobiologis, kimia dan fisika untuk 
setiap jenis produk berbeda satu sama lainnya.
Batas kritis didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima untuk 
mengamankan bahaya, sehingga titik kendali dapat mengendalikan bahaya kesehatan 
secara cermat dan efektif. Batas kritis yang sudah ditetapkan ini tidak boleh 
dilanggar atau dilampaui nilainya, karena bila suatu nilai batas kritis yang dilanggar 
dan kemudian titik kendali kritisnya lepas dari kendali, maka dapat menyebabkan 
terjadinya bahaya terhadap kesehatan konsumen.
Beberapa contoh batas kritis yang perlu ditetapkan sebagai alat pencegah 
timbulnya bahaya, misalnya adalah ; suhu dan waktu maksimal untuk proses thermal, 
suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendinginan, suhu dan waktu tertentu untuk 
proses sterilisasi komersial, jumlah residu pestisida yang diperkenankan ada dalam 
bahan pangan., pH maksimal yang diperkenankan, bobot pengisian maksimal, 
viskositas maksimal yang diperkenankan dan sebagainya.
Selain batas kritis untuk residu pestisida yang berasal dari komoditas 
pertanian, batas kritis bahan kimia lain yang berpotensi sebagai bahaya kimia juga 
harus ditetapkan. Dalam hal ini tim HACCP harus menggunakan peraturan-peraturan 
yang sudah ditetapkan sebagai panduan dalam menetapkan batas kritis untuk semua 
Bahan Tambahan Makanan (BTM), termasuk bahan kimia yang digunakan dalam 
bahan pengemas yang bersentuhan dengan produk pangan.
Batas kritis untuk setiap CCP perlu didokumentasikan. Dokumentasi ini 
harus dapat menjelaskan bagaimana setiap batas kritis dapat diterima dan harus 
disimpan sebagai bagian dari rencana formal HACCP.
Prinisp IV. Penyusunan Prosedur Pemantauan dan Persyaratannya Untuk 
Memonitor CCP-nya.
Setelah prinsip III dilengkapi dengan penetapan batas kritis untuk semua 
CCP, tim HACCP harus menetapkan persyaratan monitoring untuk setiap CCP-nya.
Monitoring merupakan rencana pengawasan dan pengukuran 
berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dalam keadaan terkendali 
dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan dalam verifikasi 
nantinya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1) Pemeriksaan apakah prosedur 
penanganan dan pengolahan pada CCP dapat dikendalikan dengan baik ; (2) 
Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap efektifitas sustu proses untuk 
mengendalikan CCP dan batas kritisnya ; (3) Pengamatan atau pengukuran batas 
kritis untuk memperoleh data yang teliti, dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas 
kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk (CORLETT, 1991).
Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi agar 
dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan produk pangan 
masih dalam batas kritisnya dan dijamin tidak ada bahayanya. Dalam hal ini, metode, 
prosedur dan frekuensi monitoring serta kemampuan hitungnya harus dibuat 
daftarnya pada lembaran kerja HACCP.
Prosedur dan metode monitoring harus efektif dalam memberi jaminan 
keamanan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Idealnya, monitoring pada CCP 
dilakukan secara kontinyu hingga dicapai tingkat kepercayaan 100 persen. Namun 
bila hal ini tidak memungkinkan, dapat dilakukan monitoring secara tidak kontinyu 
dengan syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga 
keamanan pangan benar-benar terjamin. Biasanya agar pengukurannya dapat 
dilakukan secara cepat dan tepat, monitoring dilakukan dengan cara pengujian yang 
bersifat otomatis dan tidak memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu, pengujian 
dengan cara analisis mikrobiologis jarang digunakan sebagai prosedur monitoring. 
Beberapa contoh pengukuran dalam pemantauan (monitoring) adalah : observasi 
secara visual dan pengamatan langsung (misal : kebersihan lingkungan pengolahan, 
penyimpanan bahan mentah), pengukuran suhu dan waktu proses, pH, kadar air dsb.
Prinsip V. Melaksanakan Tindakan Koreksi yang Harus Dilakukan Bila Terjadi 
Penyimpangan (deviasi) Pada Batas Kritis yang Telah Ditetapkan.
Meskipun sistem HACCP sudah dirancang untuk dapat mengenali 
kemungkinan adanya bahaya yang berhubungan dengan kesehatan dan untuk 
membangun strategi pencegahan preventif terhadap bahaya, tetapi kadang-kadang 
terjadi pula penyimpangan yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, jika dari hasil 
pemantuan (monitoring) ternyata menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap 
CCP dan batas kritisnya, maka harus dilakukan tindakan koreksi (corrective action) 
atau perbaikan dari penyimpangan tersebut.
Tindakan koreksi adalah prosedur proses yang harus dilaksanakan ketika 
kesalahan serius atau kritis diketemukan dan batas kritisnya terlampaui. Dengan 
demikian, apabila terjadi kegagalan dalam pengawasan pada CCP-nya, maka 
tindakan koreksi harus segera dilaksanakan. Tindakan koreksi ini dapat berbeda-beda 
tergantung dari tingkat resiko produk, yaitu semakin tinggi resiko produk semakin 
cepat tindakan koreksi harus dilakukan (Tabel 2.).
Tindakan koreksi di sini harus dapat mengurangi atau mengeliminasi 
potensi bahaya dan resiko yang terjadi, ketika batas kritis terlampaui pada CCP-nya 
sehingga dapat menjamin bahwa disposisi produk yang tidak memenuhi, tidak 
mengakibatkan potensi bahaya baru. Setiap tindakan koreksi dilaksanakan, harus 
didokumentasikan dengan tujuan untuk modifikasi suatu proses atau pengembangan 
lainnya.
Prinisp VI. Membuat Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Data yang Efektif 
dalam Sistem Dokumentasi HACCP.
Sistem doumentasi dalam sistem HACCP bertujuan untuk : (1) 
Mengarsipkan rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan yang teliti 
dan rapih mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP ; (2) Memudahkan 
pemeriksaan oleh manager atau instansi berwenang jika produk yang dihasilkan 
diketahui atau diduga sebagai penyebab kasus keracunan makanan.
Berbagai keterangan yang harus dicatat untuk dokumentasi sistem dan 
penerapan HACCP mencakup :
 Judul dan tanggal pencatatan
 Keterangan produk (kode, tanggal dan waktu produksi)
 Karakteristik produk (penggolongan resiko bahaya)
 Bahan serta peralatan yang digunakan, termasuk : bahan mentah, bahan 
tambahan, bahan pengemas dan peralatan penting lainnya.
 Tahap/bagan alir proses, termasuk : penanganan dan penyimpanan bahan, 
pengolahan, pengemasan, penyimpanan produk dan distribusinya.
 Jenis bahaya pada setiap tahap
 CCP dan batas kritis yang telah ditetapkan
 Penyimpangan dari batas kritis
 Tindakan koreksi/perbaikan yang harus dilakukan jika terjadi 
penyimpangan, dan karyawan/petugas yang bertanggung jawab untuk 
melakukan koreksi/ perbaikan.
Dalam melakukan pencatatan, beberapa hal yang dianjurkan adalah 
catatan harus sistematis, rapih dan teratur. Disamping itu, bila pencatatan dan 
pendokumentasian dilakukan tepat dan sesuai dengan sistem HACCP, maka 
berarti keefektifan sistem dokumentasi HACCP dapat diuji atau dibuktikan.
Prinisp VII. Membuat Prosedur untuk Memverifikasi bahwa 
Sistem HACCP Bekerja dengan Benar.
Prosedur verifikasi dibuat dengan tujuan : (1) Untuk memeriksa apakah 
program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan HACCP yang 
ditetapkan dan (2) Untuk menjamin bahwa rancangan HACCP yang ditetapkan 
masih efektif dan benar. Hasil verifikasi ini dapat pula digunakan sebagai informasi 
tambahan dalam memberikan jaminan bahwa program HACCP telah terlaksana 
dengan baik.
Verifikasi mencakup berbagai kegiatan evaluasi terhadap rancangan dan 
penerapan HACCP, yaitu :
 Penetapan jadwal verifikasi yang tepat
 Pemeriksaan kembali (review) rancangan HACCP 
 Pemeriksaan atau penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya
 Pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang 
harus dilakukan.
 Pengampilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau mikrobiologis) secara acak
pada tahap-tahap yang dianggap kritis.
 Catatan tertulis mengenai : kesesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan 
terhadap rancangan HACCP, pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP.
 Pemeriksaan kembali modifikasi rancangan HACCP (CORLETT, 1991).
Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat 
tertentu, yaitu :
 Secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan 
masih dapat dikendalikan.
 Jika diketahui bahwa produk tertentu memerlukan perhatian khusus karena 
informasi terbaru tentang keamanan pangan.
 Jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab keracunan 
makanan.
 Jika kriteria yang ditetapkan dalam rancangan HACCP dirasakan belum mantap, 
atau jika ada saran dari instansi yang berwenang.
E. POLA PENERAPAN DAN PENGEMBANGAN SISTEM HACCP DALAM 
INDUSTRI PANGAN
Pada dasarnya untuk merancang dan menerapkan sistem HACCP dalam 
industri pangan perlu mempertimbangkan pengaruh berbagai hal terhadap keamanan 
pangan, misal : bahan mentah, ingredien dan bahan tambahan, praktek pengolahan 
makanan, peranan proses pengolahan dan pengendalian bahaya, cara mengkonsumsi 
produk, resiko masyarakat konsumen, dan keadaan epidemiologi yang menyangkut 
keamanan pangan.
Kemudian untuk memperoleh program yang efektif dan menyeluruh dalam 
penerapan/implementasi HACCP perlu dilakukan kegiatan sebagai berikut :
1. Komitmen Manajemen.
Keberhasilan penerapan / implementasi sistem HACCP sangatlah 
tergantung pada manajemen sebagai penanggung jawab tertinggi. Mereka harus 
menyatakan komitmen tidak hanya dalam kata-kata saja melainkan juga dalam 
tindakan. Seluruh karyawan dan staf nantinya harus tahu bahwa manajemen 
adalah yang paling bertanggung jawab memikul beban tugas implementasi ini. 
Dengan demikian segala sumber daya yang diperlukan untuk mendukung 
implementasi HACCP harus disediakan baik manusia maupun peralatan, sarana, 
dokumentasi, informasi, metode, lingkungan, bahan baku dan waktu.
2. Pembentukan Tim HACCP.
Setelah Pimpinan Puncak mempunyai komitmen manajemen terhadap 
program keamanan pangan, maka mereka membentuk tim HACCP yang 
bertugas dan bertanggung jawab dalam hal perencanaan, penerapan dan 
pengembangan sistem HACCP.
Anggota tim implementasi HACCP sebaiknya terdiri dari berbagai 
bidang disiplin ilmu (multidisiplin) yang mempunyai pengetahuan dan keahlian 
spesifik yang tepat untuk produk. Dalam hal ini anggotanya tidak perlu dibatasi 
dan dapat berasal dari bagian : produksi, pengendalian mutu atau QC, jaminan 
mutu (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), R & D serta sanitasi. 
Mereka merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan 
pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis 
dan masukan (input) dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem 
HACCP secara efektif dan benar.
3. Pelatihan Tim HACCP.
Individu personil yang terpilih dalam tim HACCP kemudian diberi 
pelatihan (training) mengenai prinsip-prinsip HACCP dan cara implementasinya 
(misalnya tentang hazard dan analisisnya, peran titik kendali kritis dan batas 
kritis dalam menjaga keamanan pangan, prosedur monitoring dan tindakan 
koreksi yang harus dilakukan seandainya ada penyimpangan CCP, prosedur 
dokumentasi HACCP dan lain-lain). Pelatihan dan pendidikan ini bertujuan 
untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge) dan mengembangkan keahlian 
(skill) personil yang bersangkutan guna memperlancar pelaksanaan pekerjaan 
yang menjadi tanggung jawabnya.
Pelatihan dapat dilakukan oleh tenaga ahli berasal dari dalam 
perusahaan sendiri atau tenaga ahli dari luar perusahaan atau konsultan 
manajemen HACCP yang dapat memberi bantuan dalam implementasi HACCP 
tersebut.
4. Diskripsi Produk.
Tim HACCP yang telah dibentuk dan disusun selanjutnya harus 
mendiskripsikan/menggambarkan secara menyeluruh terhadap produk pangan 
yang akan dibuat/diproduksi. Dalam hal ini keterangan atau karakteristik yang 
lengkap mengenai produk harus dibuat, termasuk keterangan mengenai 
komposisi (ingredien), formulasi, daya awet dan cara distribusinya. Semua 
informasi tersebut diperlukan oleh tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara 
luas dan komprehensif.
5. Identifikasi Penggunaan/Konsumennya.
Kemudian tim HACCP harus mengidentifikasi tujuan penggunaan 
produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada konsumen atau 
pengguna akhir dari produk tersebut. Pada kasus, harus dipertimbangkan 
kelompok populasi/masyarakat beresiko tinggi.
6. Penyusunan Bagan/Diagram Alir Proses.
Bagan/diagram alir proses harus disusun oleh tim HACCP. Setiap tahap 
dalam proses tertentu harus dianalisis untuk menyusun bagan alirnya. Dalam 
menerapkan HACCP untuk suatu proses, pertimbangan harus diberikan terhadap 
tahap sebelum dan sesudah proses tersebut.
Tujuan dibuatnya alir proses adalah untuk menggambarkan tahapan 
proses produksi secara dalam industri pangan yang bersangkutan serta untuk 
melihat tahapan proses produksi tersebut menjadi mudah dikenali. 
Bagan/diagram alir proses ini selain bermanfaat membantu tin HACCP dalam 
melaksanakan tugasnya, dapat pula berfungsi sebagai ”Pedoman” berikutnya 
bagi orang (personil) atau lembaga lainnya (pemerintah dan pelanggan) yang 
ingin mengetahui tahap proses produksi pangan yang dibuatnya sehubungan 
dengan kegiatan verifikasinya.
7. Menguji dan Memeriksa Kembali Diagram Alir Proses.
Tim HACCP harus menguji dan memeriksa kembali diagram alir proses 
yang sudah dibuat. Dalam hal ini, tim HACCP harus menyesuaikan kegiatan 
proses pengolahan yang sebenarnya (di pabrik) dengan bagan alir proses pada 
setiap tahap dan waktu proses, dan jika perlu mengubah diagram alir proses bila 
ditemukan hal-hal yang tidak sesuai atau kurang sempurna. Dengan demikian, 
bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat dan kurang sempurna, dapat 
dilakukan modifikasi.
8. Menerapkan Tujuh Prinsip HACCP.
Tujuh prinsip penting HACCP yang harus diterapkan adalah :
 Penerapan prinsip 1. Membuat daftar bahaya yang mungkin timbul dan cara 
pencegahan untuk mengendalikan bahaya.
 Penerapan prinsip 2. Menetapkan titik kendali kritis (CCP = Critical Control 
Point).
 Penerapan prinsip 3. Menetapan batas/limit kritis untuk setiap titik kendali 
kritis (CCP).
 Penerapan prinsip 4. Menetapkan sistem/prosedur pemantauan untuk setiap 
CCP.
 Penerapan prinsip 5. Menetapkan tindakan koreksi terhadap penyimpangan.
 Penerapan prinsip 6. Menetapkan prosedur verifikasi untuk membuktikan 
bahwa sistem HACCP berjalan dengan baik dan benar.
 Penerapan prinsip 7. Membuat catatan dan dokumentasi. Catatan data yang 
praktis dan teliti merupakan hal yang penting dalam 
penerapan sistem HACCP.
Keberhasilan dalam penerapan HACCP membutuhkan tanggung jawab 
penuh dan keterlibatan manajemen serta tenaga kerja. Keberhasilan penerapan 
HACCP juga membutuhkan kerjasama tim yang baik