• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label pengolahan ikan 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengolahan ikan 1. Tampilkan semua postingan

pengolahan ikan 1

 



GLOSARI 

 

 

Autolysis yaitu  proses penguraian organ-organ tubuh ikan 

oleh enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan. 

Biasanya proses ini mulai berlangsung setelah ikan 

melewati fase rigormortis. 

Black spot : terjadinya bintik-bintik hitam pada udang 

segar/beku. 

DHA : asam lemak 3  yang ada dalam ikan yaitu  C22:6 

3 (decosa hexa enoic acid). 

EPA : Jenis asam lemak 3  yang ada dalam ikan yaitu  C 20 : 

5 3 (eicosa penta enoic acid). 

Filet ikan : lempengan ikan 

Glikogen: yaitu  sejenis karbohidrat majemuk, pada ikan 

terdapat maksimum 0,6 persen sebagai cadangan 

tenaga. 

Glycolisis: yaitu  reaksi perubahan dari glycogen menjadi 

asam piruvat yang akan menghasilkan ATP sebagai 

sumber energi. 

Iradiasi: metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan 

menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk 

mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta 

membebaskan pangan dari jasad renik patogen. 

Mailland browwing: Reaksi ini yaitu  reaksi antara asam 

amino bebas dengan gula pereduksi (biasanya 

ditambahkan bumbu, saus) dan akan membentuk 

melananoidins yang berupa polimer dengan berat 

molekul tinggi dan berwarna cokelat gelap. 

Organoleptik ikan: keadaan rupa, bau (odor), cita-rasa (flavor) 

dan tekstur atau konsistensi daging ikan dapat diamati 

dengan bantuan panca indra. 

 

138 

 

Pengasapan: penyerapan bermacam-macam senyawa kimia 

yang berasal dari asap kayu ke dalam daging ikan, 

disertai dengan setengah pengeringan dan biasanya 

didahului dengan proses penggaraman. 

Pengasapan cair (liquid smoke):  yaitu dengan mencelupkan 

ikan ke dalam larutan bahan-bahan asap (smoke 

concentrate) setelah itu dikeringkan. 

Pengasapan dingin (cold smoking): Pengasapan dengan suhu 

asap tidak boleh melebihi 20-40 

o

C   dalam waktu 1-3 

minggu, kelembaban (RH) yang terbaik yaitu  antara 

60-70 persen. 

Pengasapan panas (Hot smoking): Pengasapan dengan  suhu 

asap mencapai  120-140 

o

C  dalam   waktu 2-4 jam, dan 

suhu pada pusat ikan dapat mencapai 60 

o

C. 

Pengolahan  tradisional: produk tradisional diolah dengan 

tingkat sanitasi dan higiene yang rendah, menggunakan 

bahan mentah dengan tingkat mutu atau kesegaran yang 

rendah, keamanan pangannya tidak terjamin, teknologi 

yang digunakan secara turun-temurun, dan perusahaan 

dikelola oleh keluarga dengan tingkat kemampuan 

manajemen kurang memadai.  

Pengolahan modern : pengolahan modern memerlukan 

persyaratan yang sulit dipenuhi oleh perikanan skala 

kecil, yaitu pasokan bahan baku yang bermutu tinggi 

dalam jenis ukuran yang seragam, dalam jumlah yang 

cukup banyak sesuai dengan kapasitas industri.   

Protein sarkoplasma: yaitu mioalbumin, globulin, dan enzim, 

yang bersifat larut dalam larutan garam yang 

berkekuatan ion rendah (< 0.15 M).  

Protein structural: yaitu aktin, myosin, tropormiosin, dan 

aktomiosin, yang berkontribusi 70-80 persen dari total 

kandungan protein.  

Racindity: yaitu  suatu proses perubahan kimia dari 

minyak/lemak dengan cara hidrolisa dan oksidasi 

139 

 

Rigor mortis yaitu keadaan di mana ikan menjadi kaku 

beberapa saat setelah ikan mati (pengejangan sesudah 

mati). 

Sifat fungsional: didefinisikan sebagai suatu sifat dalam 

makanan yang berkaitan dengan daya guna dan 

keinginan konsumen 

Steak: potongan ikan yang diperoleh melalui pemotongan 

melintang bagian tubuh ikan antara kepala dan ekor. 

Sterilisasi komersial: suatu kondisi yang diperoleh dari 

pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi 

dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak 

ada lagi terdapat mikroorganisme hidup. 

Triglyserida :   mengandung banyak jenis asam lemak, banyak 

ikatan rangkap (senyawa tidak jenuh) dan asam lemak 

dengan atom C yang panjang misalnya 22 atau 24 atom 

C. 

Vakum: pengeluaran udara dari kemasan. 

 

 

 

 



      subsektor perikanan memiliki  peranan penting 

sebagai penyumbang protein bagi masyarakat negara kita . Akan 

tetapi tidak semua wilayah negara kita  dapat tercukupi 

kebutuhannya dari protein sebab  ketersediaan ikan per kapita 

belum terdistribusi secara merata. Pengolahan dapat membuat 

ikan menjadi awet dan memungkinkan untuk didistribusikan 

dari pusat produksi ke pusat konsumen. Namun selama 20 

tahun terakhir, produksi ikan yang diolah baru sekitar  23-47 

persen, dan dari jumlah ini  sebagian besar merupakan 

pengolahan tradisional. berdasar  statistik menunjukkan 

bahwa 49,99 persen pemanfaatan ikan laut yaitu  dalam 

bentuk produk tradisional 

sebab  pengolahan modern memerlukan persyaratan yang sulit 

dipenuhi oleh perikanan skala kecil, yaitu pasokan bahan baku 

yang bermutu tinggi dalam jenis ukuran yang seragam, dalam 

jumlah yang cukup banyak sesuai dengan kapasitas industri. 

Kondisi ini menggambarkan bahwa pengolahan tradisional 

masih memiliki  prospek untuk dikembangkan. Prospek ini 

didukung oleh masih tersedianya sumber daya ikan di pusat 

produksi, tingginya permintaan di pusat konsumsi, 

sederhananya teknologi, serta banyaknya industri rumah tangga 

pengolah tradisional. 


         negara kita  kaya akan berbagai jenis produk tradisional 

yang biasanya memiliki kekhasan atau keunikan dari segi 

bentuk, bau dan rasa. Produk tradisional dari suatu daerah sulit 

untuk ditemukan di daerah lain, kecuali untuk produk tertentu 

yang sudah dikenal secara luas, seperti ikan asin, ikan asap dan 

kerupuk ikan. Kadang – kadang untuk produk yang sama 

dikenal dengan nama berbeda di daerah lain, seperti ikan asap 

dikenal dengan nama ikan sale di Sumatera Selatan, ikan asar 

di Maluku dan ikan fufu di Sulawesi Utara. Walaupun 

demikian, selama ini ikan olahan tradisional masih memiliki  

citra buruk di mata konsumen, sebab  rendahnya mutu dan 

nilai nutrisi, tidak konsistennya sifat fungsional, serta tidak      

adanya jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen. Dalam 

ilmu teknologi pangan, sifat fungsional didefinisikan sebagai 

suatu sifat dalam makanan yang berkaitan dengan daya guna 

dan keinginan konsumen (Sikorski et al., 1998). Rasa, bau, 

warna, tekstur, kelarutan, penyerapan, dan penahanan air, 

kerenyahan, elastisitas, nilai nutrisi, dan daya awet merupakan 

sifat fungsional penting bagi ikan olahan, sedangkan harga, 

ketersediaan serta jenis dan bentuk olahan bukan merupakan 

sifat fungsional, walaupun keadaan ini  juga sangat 

penting bagi konsumen. 

         Teknologi produk tradisional perikanan dicirikan dengan 

suatu gambaran yang kurang baik, yaitu produk tradisional 

diolah dengan tingkat sanitasi dan higiene yang rendah, 

menggunakan bahan mentah dengan tingkat mutu atau 

kesegaran yang rendah, keamanan pangannya tidak terjamin, 

teknologi yang digunakan secara turun-temurun, dan 

perusahaan dikelola oleh keluarga dengan tingkat kemampuan 

manajemen kurang memadai. Keadaan ini dapat diperbaiki 

dengan menggunakan cara pengolahan yang benar (GMP), 

melakukan rasionalisasi dan standardisasi mulai dari bahan 

baku dan bahan pembantu, proses, hingga produk akhir, serta 

menegakkan prinsip sanitasi dan higiene yang baik (SSOP). 

 

Pengembangan pengolahan ikan tradisional memerlukan 

pembinaan yang diawali dari riset, diseminasi, serta 

penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan (Heruwati, 

2002). 

         Pengawetan ikan dengan pengasapan sudah lama 

dilakukan manusia. Teknologi pengasapan termasuk cara 

pengawetan ikan yang telah diterapkan secara turun temurun. 

Istilah pengasapan (smoking) diartikan untuk penyerapan 

bermacam-macam senyawa kimia yang berasal dari asap kayu 

ke dalam daging ikan, disertai dengan setengah pengeringan 

dan biasanya didahului dengan proses penggaraman. 

Pengasapan juga sering dikombinasikan dengan pengeringan 

sinar matahari dan atau perlakuan pendahuluan dengan 

penggaraman. Jadi istilah smoke curing meliputi seluruh proses 

yang dimulai dari tahap persiapan bahan mentah sampai ke 

pengasapan terakhir yang mengakibatkan perubahan bahan 

mentah sampai ke pengasapan terakhir yang mengakibatkan 

perubahan warna, flavor, dan tekstur ikan. Sedangkan tujuan 

pengasapan dalam pengawetan ikan yaitu  untuk 

mengawetkan dan memberi warna serta asap yang khusus pada 

ikan.  

Suhu pengasapan bervariasi di berbagai tempat 

tergantung permintaan konsumen dan tipe unit pengasapan 

yang digunakan. Ada lima jenis proses pengasapan yaitu, 

pengasapan dingin(cold smoking), pengasapan hangat (warm 

smoking), pengasapan panas(hot smoking), pengasapan cair 

(liquid smoking), dan pengasapan listrik (electric smoking). 

Tetapi sebagian besar produk diolah menggunakan pengasapan 

panas (hot smoking), yaitu suhu pengasapan yang 

menyebabkan produk yang diolah masak. Sekarang telah 

dikembangkan teknologi pengasapan dengan menggunakan 

asap cair (cuka kayu) yang menghasilkan produk dengan flavor 

yang lebih seragam dibandingkan dengan metode tradisional. 

 

        Mutu dan keamanan produk merupakan persyaratan yang 

tidak dapat ditawar-tawar lagi di dalam perdagangan produk 

perikanan saat ini. Persaingan antarproduk di pasaran sangat 

ditentukan oleh kedua hal ini . Tidak jarang, produk 

perikanan dapat menyebabkan keracunan dan kematian 

terhadap konsumen atau ditolak negara pengimpor sebab  tidak 

memenuhi persyaratan keamanannya. Mutu produk ditentukan 

oleh performance produk secara organoleptik, kimiawi, fisik 

dan mikrobiologis. Cara yang paling mudah untuk penentuan 

mutu produk yaitu  secara organoleptik, sedangkan untuk 

penentuan mutu secara kimiawi, mikrobiologis dan fisik 

memerlukan peralatan dan waktu yang relatif lama untuk 

memperoleh hasilnya. 

        Secara umum, risiko pangan terhadap kesehatan manusia 

dapat timbul secara alami maupun terkait dengan penanganan 

pangan oleh manusia baik berupa cemaran biologi, kimia atau 

fisik. Pada produk seafood cemaran yang umum ditemukan 

antara lain: 

     1. Cemaran biologi: 

- Vibrio parahaemolyticus 

- Vibrio cholera 

- Salmonella dan Escherichia coli 

2. Cemaran kimia: 

- Logam berat (merkuri, timbale) 

- Histamin 

- Marine biotoxin (racun hayati laut) 

- Hormon, antibiotik, pestisida 

- Bahan berbahaya (formalin,rhodamin B). 

 Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk 

dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat 

busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting 

untuk diperhatikan. Oleh sebab  penurunan nilai mutu 

kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya 

sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau 

 

harga dari produk ini . Dengan demikian nilai mutu 

kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan. 

          Sifat mudah busuk ini disebabkan sebab  daging ikan 

merupakan substrat kehidupan yang baik bagi pertumbuhan 

mikroba terutama bakteri. Tersedianya sumber makanan baik 

makromolekul maupun mikromolekul, metabolit-metabolit 

sederhana dan kadar air yang tinggi sangat sesuai untuk 

pertumbuhan bakteri. Sifat segar hasil perikanan lebih disukai 

daripada sesudah mengalami pengolahan, sebab  cita rasa, sifat 

fisik dan kimiawinya belum berubah. Dalam penanganannya 

sifat segar ini harus diusahakan untuk dipertahankan 

semaksimal mungkin. Sehubungan dengan hal ini  maka 

penting untuk mengetahui proses apa saja yang dapat 

menurunkan nilai mutu kesegaran ikan. Setelah mengetahui 

mengenai proses apa saja yang terjadi pada waktu 

pembusukan, tentunya dapat diambil langkah-langkah 

pencegahan atau perlakuan agar pembusukan dapat dihentikan 

atau diperlambat prosesnya, sehingga daya simpan produk 

ini  dapat tahan lama. 

        Hasil olahan ikan asap yang cukup popular dan memiliki 

ciri khas ini menarik untuk dipelajari, dikaji dan dicoba untuk 

dipraktikkan, baik untuk menambah wawasan, peningkatan 

keterampilan, maupun landasan untuk upaya pengembangan. 

         Untuk menghasilkan ikan asap bermutu, perlu 

pengetahuan tentang teori kesegaran ikan yang meliputi proses 

kemunduran mutu ikan, penanganannya untuk 

mempertahankan kesegaran ikan, penilaian kesegaran ikan baik 

secara subjektif (organoleptik) maupun secara objektif 

(laboratory). Selanjutnya, teknik pengolahan mulai dari 

pemilihan bahan baku, bahan asap, bahan pembantu, waktu dan 

suhu pengasapan, pengemasan dan penyimpanan yang baik dan 

sesuai dengan SNI ikan asap. 

 


KESEGARAN IKAN 

A. Kondisi Ikan 

1. Fisik 

          SECARA fisik ikan dibedakan atas bagian yang dapat 

dimakan  (edible portion, edible flesh) dan bagian yang tidak 

dapat dimakan (non-edible portion). Sebagai contoh, 

persentase dalam berat bagian daging yang dapat dimakan 

disajikan pada Tabel 2.1 

Tabel 2.1 Berat Bagian Daging Ikan Yang Dapat Dimakan 

Jenis Ikan BYDD (% berat) 

Tenggiri 

Kakap 

Ekor kuning 

Kembung 

Cakalang 

Tongkol 

Sardin 

Cucut 

55 

37 

39 

50 

70 

68 

60 

30 

Sumber: Stanby,1962 dalam Harikedua, 1994. 

        Pada usaha perikanan modern terdapat berbagai bentuk 

pemanfaatan ikan basah (Anonimous, 2010), sebagai berikut: 

a. Utuh (round fish, whole fish) 

b. Filet (lempengan daging). Biasanya hasil filet 30-35 persen 

dari berat ikan, bentuk ini dibedakan: (1) filet berkulit 

(skin on fillet); (2) filet tidak berkulit (skinless fillet);       

(3) filet tunggal (single fillet), yaitu lempeng daging ikan 

yang disayat memanjang tulang belakang; kuduk biasanya 

dipotong; (4) filet kupu-kupu (butterfly fillet), yakni dua 

filet tunggal seekor ikan yang dihubungkan sesamanya 

oleh bagian yang tidak terpotong. 

BAB          

II 

 

c. Steak, yaitu potongan ikan yang diperoleh melalui 

pemotongan melintang bagian tubuh ikan antara kepala 

dan ekor. 

d. Disiangi (drawn, gutted, eviscerated), yaitu  ikan yang 

dikeluarkan isi perutnya, atau juga insangnya. 

e. Dibantai (dressed), yaitu  ikan yang dibuang isi perut, 

kepala, ekor, gilingan daging, dan lainnya. 

 

 

2. Organoleptik 

 

         Faktor-faktor mutu organoleptik yaitu keadaan rupa, bau 

(odor), cita-rasa (flavor) dan tekstur atau konsistensi daging 

ikan dapat diamati dengan bantuan panca indra. Selama proses 

kemunduran mutu (deteriorasi), ikan mengalami perubahan-

perubahan organoleptik. Pada pengamatan faktor rupa, diamati 

perubahan yang dialami oleh mata, insang, selaput lendir 

permukaan tubuh, sayatan daging dan isi perut. Pengamatan itu 

meliputi perubahan warna (diskolorisasi), viskositas, dan lain-

lain. Pengamatan faktor odor dan flavor, ditujukan pada ikan 

secara keseluruhan. Bagi ikan utuh pengamatan terutama 

ditujukan pada daging, umumnya dilaksanakan dengan cara 

penekanan jari pada tubuh ikan. Akan tetapi penekanan jari 

pada tubuh ikan yang berkulit tebal atau bersisik dapat 

mengelabui pengamat. 

 

Tabel 2.2  Ciri-Ciri Ikan Segar dan Ikan Busuk 

 

ORGAN CIRI IKAN SEGAR CIRI IKAN BUSUK 

Mata Cemerlang, kornea bening, pupil 

hitam, mata cembung 

Redup,tenggelam.Pupil mata kelabu 

tertutup lendir. 

Insang Warna merah sampai merah 

tua,cemerlang,tidak berbau,tidak ada 

off odor. 

Kotor,warna pucat atau gelap. 

Keabuan dan berlendir,bau busuk. 

Lendir Terdapat lendir alami menutupi ikan 

yang baunya khas menururt jenis 

ikan. Rupa lendir cemerlang seperti 

lendir ikan hidup, bening. 

Berubah kekuningan dengan bau tak 

enak,atau lendirnya sudah hilang,atau 

lendir mengering dan warna putih 

susu,atau lendir pekat melengket. 

Kulit Cemerlang, belum pudar, warna asli 

kontras 

Rupa pudar.Bila pengesan kurang baik 

kulitnya mengering dan retak. 

Sisik Melekat kuat, mengkilat dengan 

tanda/warna khusus tertutup lendir 

jernih. 

Banyak yang lepas,tanda dan warna 

khusus ini memudar dan lambat 

menghilang. 

Daging Sayatan daging cerah dan elastis, 

bila ditekan tak ada bekas jari. 

Lunak, tekstur berubah bila ditekan 

jari pada bekasnya. Daging telah 

kehilangan elastisitasnya dan terasa 

lunak bila ditekan. 

Rongga 

perut 

Bersih dan bebas dari bau yang 

menusuk. Tekstur dinding perut 

kompak elastis tanpa ada 

diskolorisasi dengan bau segar yang 

kontraktis, selaput utuh. 

Mengalami diskolorisasi,bau menusuk 

dan busuk lembek. Bagian rongga 

perut kemerahan,diskolorisasi menjadi 

kecokelat-cokelatan sebab  makanan 

dalam usus membusuk. 

Darah Darah sepanjang tulang belakang 

segar merah dan konsistensi normal. 

Darah sepanjang tulang belakang 

berwarna gelap dengan konsistensi 

cair,sering diikuti bau yang menusuk. 

Sayatan Bila ikan dibelah daging melekat 

kuat pada tulang terutama pada 

rusuknya. 

Bila dibelah daging mudah lepas. 

Autolysis telah berjalan.Tulang rusuk 

menonjol keluar. 

Tulang Tulang belakang berwarna abu-abu 

mengkilap. 

Tulang belakang mengalami 

diskolorisasi dan kekuning-kuningan 

Bau Segar dan menyenangkan seperti air 

laut/rumput laut. Tak ada bau yang 

pesing (tidak enak). 

Mulai dengan bau tak enak, makin 

kuat menusuk,lalu timbul bau busuk 

yang khusus menusuk hidung. 

Kondisi Bebas dari parasit apa pun tanpa 

luka atau kerusakan pada badan ikan 

Banyak terdapat parasit,badannya 

banyak luka patah. 

 Sumber: Illyas, 1993. 

 

 

 

 

 

 

10 

 

3. Kimiawi 

         Ikan atau sejenisnya memiliki  komposisi kimia yang 

berbeda, tetapi pada dasarnya senyawa kimia terbesar yang ada 

di dalam ikan yaitu  air, protein, lemak, mineral dan yang 

tergolong kecil yaitu hormon, enzim, vitamin serta senyawa 

nitrogen lainnya (non protein nitrogen). 

         Senyawa kimia makro terutama protein, minyak dan 

mineral ditambah dengan senyawa kimia mikro yaitu vitamin 

sangat menentukan dalam nilai gizi makanan yang tentunya 

harus dipertahankan keberadaannya serta dicegah adanya 

kerusakan kualitasnya setelah ikan ditangkap sampai siap 

konsumsi. 

         Besarnya kadar air dari ikan segar berkisar antara         

70-80 persen, kadar protein berkisar 15-20 persen dan kadar 

lemak 0-20 persen. Sedangkan kadar mineral dan vitamin 

tentunya sangat tergantung pada jenis mineral dan vitamin. 

Besarnya variasi kandungan bahan kimia ini  sangat 

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis ikan, seks (jenis 

kelamin), umur ikan, musim dan kondisi di mana ikan ini  

hidup. Perbedaan persentase kandungan kimiawi makro 

ini  akan berpengaruh pada sifat fisik (tekstur), perbedaan 

pembusukan, perbedaan rasa dan lain-lain. 

          Selain faktor-faktor di atas, faktor musim akan sangat 

memengaruhi kadar minyak yang berkaitan dengan kadar air. 

Apabila kadar minyak turun maka kadar air akan tampak naik, 

sehingga jumlah persentase kedua parameter ini  untuk 

jenis ikan yang sama relatif konstan seperti pada Gambar 2.1. 

 

11 

 

 

Gambar 2.1.  Hubungan Antara Kadar Air dan Kadar Minyak Pada Jenis 

Ikan yang Sama  dan Musim Yang Berbeda (Sunarya,1996). 

 

Komposisi kimiawi pada ikan dapat dijelaskan sebagai berikut: 

 Air 

        Air merupakan komponen utama pada ikan, kisarannya 

sekitar 70-80 persen dari berat daging yang dapat dimakan. 

Kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak ikan. Makin 

tinggi kadar air, makin rendah kadar lemak ikan. Jumlah kedua 

komponen ini  berkisar sekitar 80 persen. Oleh sebab  air 

dalam tubuh ikan mengandung berbagai senyawa kimia yang 

larut dan yang tidak larut, maka air dalam tubuh ikan tidak 

membeku pada 0 

o

C melainkan mulai membeku pada -1,1

o

dan pada suhu -8

o

C hanya 90 persen air yang membeku 

(Harikedua, 1994). Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa air 

dalam jaringan otot ikan diikat erat oleh senyawa koloidal dan 

kimiawi lainnya sehingga tidak mudah dibebaskan dengan 

tekanan berat. Kekuatan penahan air maksimum terdapat pada 

daging ikan yang sangat segar. Sedangkan pada ikan yang 

mulai membusuk, kekuatan itu jauh berkurang sehingga cairan 

dalam otot akan mudah dibebaskan ke luar. 

 Lemak (lipida) 

 Berbeda dengan jenis minyak yang berasal dari hewan 

atau tumbuhan darat, minyak yang terdapat dalam ikan atau 

sejenisnya terdiri dari triglyserida yang memiliki  ciri-ciri 

khas yaitu: mengandung banyak jenis asam lemak, banyak 

12 

 

ikatan rangkap (senyawa tidak jenuh) dan asam lemak dengan 

atom C yang panjang misalnya 22 atau 24 atom C. sebab  

minyak yang terdapat dalam ikan mengandung ikatan tidak 

jenuh maka minyak ini  relatif mudah rusak dan sangat 

memengaruhi kecepatan penurunan mutu berupa rancidity. Di 

lain pihak minyak dari ikan relatif banyak memiliki  nilai 

gizi yang sangat berbeda yaitu adanya asam minyak jenis 

3 (ikatan rangkap dimulai dari atom C no.3) dapat mencegah 

pengapuran kolesterol dalam pembuluh darah terutama arteri 

yang dapat dipakai sebagai bahan pencegah terjadinya penyakit 

jantung sebab  arteriosklerosis. Jenis asam lemak 3 ini  

yang ada dalam ikan terutama yaitu  C 20 : 5 3 (eicosa penta 

enoic acid/EPA) dan C22:6 3 (decosa hexa enoic acid/DHA). 

Adanya asam lemak dengan rantai atom C yang panjang dan 

banyak ikatan rangkap ini  diperkirakan dari hasil sintesis 

oleh ikan ini  tetapi berasal dari rantai makanan yang 

dikonsumsinya yaitu plankton (Sunarya, 1996). Pada Tabel 2.3 

disajikan tipe ikan berdasar  kandungan protein dan lemak. 

Sedangkan kandungan jenis asam lemaknya disajikan pada  

Tabel 2.3.  Tipe Ikan berdasar  Kandungan Protein dan Lemak 

                      

                     Sumber: Stanby 1962 dalam Harikedua 1994 

 

Kategori Tipe Ikan 

A Lemak rendah (< 5%), Protein tinggi (5-20%); ikan mas, cod, flounder, 

haddock, hale, belanak, whiting, ocean perch, kepiting, kerang-kerangan, 

udang. 

B Lemak sedang (5-15%), protein tinggi (5-20%); maderel, anchovies (teri), 

hering (tembang, japuh,salmon,sardine). 

C Lemak tinggi (>15%), protein rendah (<15%). 

D Lemak rendah (<5%) Protein sangat tinggi (>20%); cakalang, tuna, 

halibut. 

E Lemak rendah (<5%) protein rendah: Butter clams, oyster. 

13 

 

 

Tabel 2.4. Kandungan Asam Lemak Pada Ikan 

 

Sumber: Adawyah, 2007 

 

Lipid merupakan komponen yang berperan terhadap 

cita rasa (flavor) ikan. Selain itu, sebagai sumber kalori yang 

penting. Setelah tertangkap, lemak ikan peka terhadap cita rasa 

dan nilai gizi. Oksidasi lemak pada produk olahan seperti ikan 

asin, ikan beku dan lain-lain mengakibatkan ketengikan 

(rancidity) yang dapat menurunkan mutu produk. 

 Protein 

    Kadar protein dari ikan yaitu  konstan antara 15-20% 

tergantung dari jenisnya dibanding dengan kadar air dan kadar 

lemak. Jenis asam amino yang terkandung dalam protein ikan 

yaitu  cukup lengkap khususnya asam amino esensial 

(isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenyl alanine, 

threonine, tryptophan dan valine). Dari asam amino esensial 

ini  lysine yaitu  paling mudah rusak terutama sebab  

thermoprocessing. Hal ini disebabkan sebab  lysine 

mengandung dua gula amino (NH2) yang mudah rusak atau 

mudah bereaksi (Sunarya, 1996). 

 

 

Asam Lemak Kandungan(%) dari Total Berat Asam 

Jenuh 

Mirisit 

Palmitat 

Stearat 

Tidak Jenuh 

Arachidonat 

Clupanodonat 

Erucat 

Godoleat 

Linoleat dan linolanat 

Oleat 

Zoomerat 

 

5-7 

10-20 

1-3 

 

18-22 

7-15 

12-16 

10-18 

10-18 

7-8 

10-12 

14 

 

 

Tabel 2.5. Kandungan Asam Amino Pada Daging Ikan 

Asam Amino Kandungan (mg%) 

Lysine* 

Tryptophan* 

Histidine* 

Phenilalanine* 

Leucine* 

Isoleucine* 

Threonine* 

Methionine* 

Cysteine* 

Valine* 

Alanin** 

Arginin** 

Asam asparginat** 

Asam glutamate** 

Glisin** 

Prolin** 

1,9-22,8 

1,0 

0-470,0 

0,5-1,8 

3,8-7,1 

3,4 

0,5-11,0 

11,6 

5,6 

3,5-4,7 

10,5-72,0 

0-5,8 

1,9-12,0 

8,0-20,0 

18,0-166,0 

0,5-6,3 

                    Ket: * asam amino esensial 

      ** asam amino non-esensial 

                   Sumber: Adawyah, 2007; Harikedua 1994. 

 

         Menurut Bahar (2006), protein pada daging ikan dapat 

dibagi dalam 3 kelompok yaitu: 

1. Protein struktural, yaitu aktin, myosin, tropormiosin, dan 

aktomiosin, yang berkontribusi 70-80 persen dari total 

kandungan protein. Protein struktural bersifat larut dalam 

larutan garam yang berkekuatan ion tinggi (± 0.5 M). 

2. Protein sarkoplasma, yaitu mioalbumin, globulin, dan 

enzim, yang bersifat larut dalam larutan garam yang 

berkekuatan ion rendah (< 0.15 M). Protein sarkoplasma 

berkontribusi 25-30 persen dari total protein. 

3. Protein jaringan ikat (kolagen).  

 Titik isoelektrik (pI) protein ikan ada di sekitar pH 4,5-

5,5. Pada kisaran pH ini , protein memiliki daya larut 

paling rendah. Struktur protein akan mudah berubah dengan 

perubahan perlakuan. Perlakuan dengan pemberian garam 

konsentrasi tinggi atau pemanasan akan menyebabkan protein 

15 

 

myofibril terdenaturasi (struktur protein awal berubah dan 

perubahan struktur bersifat satu arah/irreversible). Oleh 

aktivitas enzim, reaksi biokimia dan bakterial, molekul protein 

dapat diuraikan menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana 

yaitu  asam-asam amino yang penting bagi tubuh. Selain pada 

daging ikan, sirip, kulit, enzim, hormon, darah, pigmen otot, sel 

hati dan ginjal serta bagian isi perut lainnya hampir seluruhnya 

bersifat protein (Bahar, 2006). 

Di negara berkembang terutama Asia, tampaknya ikan 

merupakan sumber protein hewani yang sangat penting sebab  

relatif terjangkau oleh sebagian besar lapisan masyarakat, dan 

di negara kita  ternyata 60 persen dari total protein hewani yang 

dikonsumsi masyarakat yaitu  dari ikan (James, 1998).   

 

 Mineral 

Mineral yang terkandung dalam ikan cukup banyak 

jenisnya yaitu Ca, Fe, K, Na, dll. Berbeda dengan bahan 

pangan yang berasal dari darat di mana kadang-kadang 

tidak/sedikit sekali mengandung yodium yang merupakan 

penyebab adanya gondok endemik, ikan yang berasal dari laut, 

secara alamiah sudah mengandung unsur-unsur yodium 

ini .  

16 

 

Tabel 2.6. Kandungan Mineral dari Bagian Daging

yang Dapat Dimakan

Mineral Kandungan rata-rata %

Kalium

Klorida

Fosfor

Sulfur

Natrium

Magnesium

Kalsium +)

Ferrium

Mangan

Zink

Flourine

Arsenik

Kopper

Yodium

300

200

200

200

63

25

15

1,5

1

1

0,5

0,4

0,1

0,1

*) Stansby, 1962

+) Nilainya lebih tinggi ( 200 mg % pada ikan kaleng

termasuk tulang)

 

 

 

 Vitamin 

          Vitamin yang  larut dalam air (B dan C) maupun vitamin 

yang larut dalam minyak (A,D,E dan K)  juga ada pada ikan. 

Berbeda dengan vitamin A yang ada dalam bahan pangan dari 

nabati yang berupa karotene (pro vitamin A), dalam ikan 

mengandung vitamin A berupa retinol yang umumnya berupa 

ester palmitatnya. Vitamin-vitamin ini  ada dalam daging 

ikan dan untuk vitamin A dan D pada beberapa jenis ikan 

terkonsentrasi pada hatinya misalnya jenis tertentu pada ikan 

cucut, ikan tuna, cod dll ( Sunarya, 1996; Tejasari, 2005). 

17 

 

Tabel 2.7. Kandungan Vitamin Ikan

dari Bagian yang Dapat Dimakan *)

Vitamin Rata-rata µg % Kisaran µg %

A +)

B :

Thiamine

Riboflavin

As.Nikotin

B 12

As. Pantotenat

Pyridoxin ++)

Biotin ++)

As. Folat++)

C

D +)

E +) ++)

total tocopherol

25

50

120

3

1

0,5

500

5

80

3

15

12

10-1000

10 – 100

40 – 700

0,5 – 12

0,1 – 15

0,1 – 1

50 – 1.000

0,001 – 8

71 – 78 

1 – 20 

6 – 30 

4 - 35

*) Stansby, 1962.

+) lemak sedang dan tinggi

++) sedikit sekali datanya  

Sumber: Harikedua, 1994 

 Glikogen 

          Glikogen yaitu  sejenis karbohidrat majemuk, pada ikan 

terdapat maksimum 0,6 persen. Glikogen sebagai cadangan 

tenaga, memiliki  arti penting pada saat ikan ditangkap 

apalagi kalau harus bergulat menghadapi kematian, saat itu 

glikogen akan terurai menjadi asam laktat hingga derajat asam 

daging ikan meningkat, pH menurun mencapai suatu nilai 

minimum dan saat itu ikan menjadi kejang (Harikedua,1994). 

 Urea 

           Menurut Harikedua (1994), bahwa golongan ikan 

Elasmobranchia seperti cucut dan pari memiliki kadar urea 

yang sangat tinggi dapat mencapai 2 persen dari berat kering. 

Kadar urea ini menyebabkan produk olahan berbau pesing (bau 

amoniak), sedangkan  pada golongan  Teleostei, kadar urea 

hanya 0,05 persen saja. 

         Selain kandungan kimiawi makro (air, protein, lemak dan 

mineral) atau disebut proximate composition, ikan juga 

mengandung bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi sangat 

berpengaruh terhadap kecepatan pembusukan. Bahan kimia 

ini  yaitu  senyawa nitrogenous terlarut tergolong pada 

non protein nitrogen berupa trymethylamin oksida TMAO, 

trymethylamin (TMA), asam amino bebas, karnosin, anserine, 

senyawa nitrogen lain dan asam nukleat. Senyawa-senyawa ini 

18 

 

merupakan faktor utama yang menyuguhkan bau dan cita rasa 

pada ikan, selain itu memiliki  arti yang sangat besar pada 

saat kemunduran mutu berlangsung (bakterilogis dan kimiawi).       

Asam amino bebas kadarnya sangat kecil pada ikan yang baru 

ditangkap, tetapi kadarnya segera meningkat setelah ikan mati / 

post mortem. Suatu kekecualian pada ikan tuna ialah dagingnya 

mengandung kadar histidin yang sangat tinggi (Harikedua, 

1994; Sunarya, 1996). 

Sebagian besar unsur nitrogen yang terdapat pada ikan 

terikat dalam protein. Tetapi, kira-kira 1/10 dari unsur N pada 

golongan ikan Teleostei dan 1/3 unsur N pada golongan ikan 

Elasmobranchia berada dalam bentuk senyawa ekstraktif 

nitrogenous. Salah satu senyawa nitrogen yang memiliki  arti 

penting sebagai kriteria kemunduran mutu ikan laut secara 

obyektif yaitu  TMAO; kadarnya sekitar 40-100 mg%, pada 

ikan-ikan demersal ada yang mencapai 150 mg%. Ikan darat 

(air tawar) tidak mengandung TMAO, kalaupun ada rendah 

sekali kadarnya, sekitar 5-20 mg% (Sunarya, 1996). 

B. Proses Kemunduran Mutu 

   Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk 

dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat 

busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting 

untuk diperhatikan. Oleh sebab  penurunan nilai mutu 

kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya 

sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau 

harga dari produk ini . Dengan demikian, nilai mutu 

kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan. 

  Sifat mudah busuk ini disebabkan sebab  daging ikan 

merupakan substrat kehidupan yang baik bagi pertumbuhan 

mikroba terutama bakteri. Tersedianya sumber makanan baik 

makromolekul maupun mikromolekul, metabolit-metabolit 

sederhana dan kadar air yang tinggi sangat sesuai untuk 

pertumbuhan bakteri. Sifat segar hasil perikanan lebih disukai 

19 

 

daripada sesudah mengalami pengolahan, sebab  cita rasa, sifat 

fisik dan kimiawinya belum berubah. Dalam penanganannya 

sifat segar ini harus diusahakan untuk dipertahankan 

semaksimal mungkin. Sehubungan dengan hal ini  maka 

penting untuk mengetahui proses apa saja yang dapat 

menurunkan nilai mutu kesegaran ikan. Setelah mengetahui 

mengenai proses apa saja yang terjadi pada waktu 

pembusukan, tentunya dapat diambil langkah pencegahan atau 

perlakuan agar pembusukan dapat dihentikan atau diperlambat 

prosesnya, sehingga daya simpan produk ini  dapat tahan 

lama. Di sinilah prosedur pengawasan mutu memegang 

peranan penting mulai dari panenan bahan baku sampai produk 

ini  sampai di meja konsumen. 

 

1. Pengertian Mutu Kesegaran 

   Istilah kesegaran ikan memiliki  dua makna yang 

berbeda. Konsep yang pertama mengaitkan pada proses 

terjadinya penurunan mutu akibat terjadinya proses autolitik 

atau enzimatik, sering juga disebut proses biokimia yang 

terjadi segera setelah ikan itu mati. Konsep yang kedua 

mengaitkan pada proses penurunan mutu akibat 

deteriosasi/dekomposisi yang disebabkan oleh adanya aktivitas 

bakterial. Konsep yang pertama dikenal dengan istilah 

”kesegaran enzimatik”, sedangkan konsep yang kedua disebut 

“kesegaran bakterial”. Kedua konsep ini dikembangkan dari 

kenyataan bahwa selama periode post-mortem/kematian ikan, 

penurunan kesegaran ikan terjadi oleh sebab  aktivitas 

enzimatik dan aktivitas bakteri (Sudarmawan, 2006). 

 

2. Rigor Mortis 

  Rigor mortis yaitu keadaan di mana ikan menjadi kaku 

beberapa saat setelah ikan mati (pengejangan sesudah mati). 

Biasanya rigormortis disingkat “rigor” saja. Segera setelah ikan 

mati, otot-ototnya menjadi lemas tak bertenaga dan mudah 

20 

 

ditekuk. Pada keadaan ini ikan berada dalam kondisi pra-

kejang (pre-rigor). Kalau ikan diberi rangsangan listrik pada 

fase pre-rigor maka ototnya masih dapat berkontraksi. Setelah 

beberapa saat otot akan mulai mengejang (memasuki tahap 

kejang) dan makin lama makin keras dan kaku. Tahap ini 

disebut “rigor”. Walaupun diberi rangsangan listrik, otot tidak 

akan berkontraksi lagi, sebab  otot secara mutlak telah 

kehilangan zat yang memungkinkan otot berkontraksi. Masa 

rigor ini dapat berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari, 

tergantung dari sejumlah faktor. Setelah fase ini berakhir, otot 

mulai menjadi lembek dan lemas lagi dan memasuki tahap 

pascakejang (post rigor) ( Trucco et al,1981). 

  Rigor pada ikan biasanya berawal dari ekor, berangsur-

angsur menjalar ke sepanjang tubuh hingga kepala sampai 

seluruh tubuh menjadi kaku. Rigor disebabkan adanya 

serentetan perubahan kimia yang kompleks pada otot ikan 

setelah kematiannya. 

 Pada saat ikan ditangkap, ikan masih bernafas hingga 

beberapa waktu kemudian. Seluruh jaringan peredaran darah 

ikan masih mampu menyerap oksigen sehingga proses kimia 

yang terjadi dapat berlangsung secara aerob (memanfaatkan 

oksigen). Reaksi aerob yang terpenting yaitu  reaksi 

glikogenolisis, yaitu proses perubahan glikogen menjadi asam 

sitrat dengan menghasilkan 30 unit ATP (Adenosin Tri 

Phosphat). Selama ikan hidup, ATP yang terbentuk akan 

digunakan sebagai sumber energi untuk melakukan berbagai 

aktivitas kehidupan sehari-hari. Setelah ikan mati, tidak terjadi 

aliran oksigen dalam jaringan peredaran darah sebab  aktivitas 

jantung dan kontrol otaknya telah terhenti. Akibatnya, dalam 

tubuh ikan mati tidak terjadi reaksi glikogenolisis yang dapat 

menghasilkan ATP. Terhentinya aliran oksigen ke dalam 

jaringan peredaran darah menyebabkan terjadinya reaksi 

anaerob yang tidak diharapkan sebab  sering mengakibatkan 

kerugian. Reaksi anaerob akan memanfaatkan ATP dan 

21 

 

glikogen yang telah terbentuk selama ikan masih hidup, 

sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang. 

Akibatnya, pH tubuh menurun dan jaringan otot tidak mampu 

mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalannya). Kondisi 

inilah yang dikenal sebagai rigor mortis (Sunarya, 1996). 

Gambar 2.2. Skema Tahapan Penurunan Kesegaran Ikan Mulai dari Saat Ikan Mati Sampai Busuk

Sumber: Sunarya,1996

Kondisi seperti ikan hidup

PRE RIGOR

M A T I 

AMAT SRGAR

A K S I                                     E N Z I M A T I S

KURANG SEGAR

POST 

RIGOR

RIGOR 

MORTIS

SEGAR

BUSUK

AKSI MIKROBIOLOGIS -------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------

 

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi lamanya ikan 

dalam keadaan rigor menurut Hiroki ( 1991) yaitu : 

a. Jenis ikan 

Setiap jenis ikan memiliki fase rigor yang berbeda. Ada 

yang memasuki fase rigor hanya dalam waktu 1 jam 

saja, tetapi ada juga sampai 24 jam. Perbedaan ini 

22 

 

disebabkan oleh adanya komposisi kimia tubuh yang 

tidak sama. 

b. Ukuran ikan 

Ikan-ikan berkuran kecil akan cepat menjadi rigor 

dibandingkan ikan-ikan yang ukurannya lebih besar 

pada jenis yang sama. 

c. Kondisi fisik 

Ikan yang kondisi fisiknya kurang baik, misalnya dalam 

keadaan lapar, kurang gizi atau habis bertelur pada 

waktu tertangkap akan cepat menjadi rigor. 

d. Derajat keletihan 

Jenis teknik penangkapan (jaring, pancing, trawl, dll) 

biasanya sangat berpengaruh terhadap keletihan ikan. 

Ikan yang berjuang keras terlalu lama menghadapi 

kematian (waktu sekarat) pada waktu tertangkap 

dengan alat penangkapan, akan kehabisan banyak 

glikogen sehingga akan cepat sekali memasuki tahap 

rigor. 

e. Cara penanganan 

Penanganan ikan pada tahap rigor bisa memperpendek  

pengkakuan ikan, akan tetapi tidak demikian halnya 

jika penanganan dilakukan pada tahap pre-rigor. 

f. Suhu penyimpanan 

Merupakan faktor penting yang memengaruhi cepat 

lambatnya ikan masuk ke fase rigor. Suhu yang panas 

akan mempercepat ikan menjadi rigor. Sebaliknya, 

semakin rendah suhu penanganan ikan segera setelah 

ditangkap, semakin lambat ikan memasuki tahap rigor 

dan semakin panjang waktu rigor itu berakhir. 

 

       Segera setelah ikan mati, penurunan kesegaran ikan tidak 

langsung disebabkan oleh adanya dekomposisi jaringan ikan 

oleh aktivitas bakteri, melainkan oleh reaksi autolysis yang 

disebabkan oleh adanya proses enzimatik. Pada Gambar 2.3 

23 

 

ditunjukkan hasil-hasil perubahan jumlah bakteri, nilai pH, 

jumlah asam amino bebas, protein larut garam, total volatile 

base (TVB) atau trimethylamin (TMA) dalam jaringan ikan 

yang segera dimatikan/dibunuh dan di-eskan selama periode 

waktu tertentu.  

 

 

 

Gambar 2.3. Perubahan Jumlah Bakteri, Asam Amino, Protein 

Larut Garam, TVB dan TMA Dalam Ikan Selama Penyimpanan Dalam Es. 

Sumber: Sudarmawan, 1996. 

 

         Dari gambar ini  terlihat bahwa tidak ada perubahan 

yang berarti dalam jumlah bakteri atau produk hasil 

dekomposisinya seperti TVB atau TMA sampai penyimpanan 

10 hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penurunan 

kesegaran ikan selalu terjadi diawali oleh proses autolysis atau 

penurunan kesegaran telah berjalan sampai beberapa tingkat 

sampai aktivitas bakteri mulai terjadi. Fenomena ini terjadi 

pada hampir semua spesies ikan, walaupun ada perbedaan 

dalam periode waktu terjadinya proses autolysis, sampai ke 

24 

 

waktu periode ketika bakteri berkembang dan aktivitas mulai 

terlihat serta produk hasil dekomposisinya seperti TVB atau 

TMA mulai bertambah (Sudarmawan, 1996). 

 

Tingkat Perubahan Setelah Ikan Mati 

        Untuk mengetahui pada kondisi atau tingkat nilai mutu 

kesegaran mana ikan itu berada, perlu untuk mempelajari 

tingkat perubahan yang terjadi pada ikan ketika ikan itu mati, 

sehingga kita dapat menetapkan nilai mutu kesegarannya. 

        Dalam hal ini kesegaran dapat didefinisikan sebagai suatu 

keadaan dari tingkat kondisi ikan mulai dari kondisi hidup 

sampai terjadinya proses dekomposisi atau pembusukan ketika 

ikan itu mati. Dengan demikian ikan yang akan kita konsumsi 

atau diolah dapat dinyatakan memiliki  nilai mutu kesegaran 

yang paling baik apabila kondisi dari ikan ini  sama atau 

hampir mendekati kesamaan dengan kondisi ikan pada waktu 

ikan itu masih hidup. Tingkat atau tahap perubahan dari ikan 

setelah ikan itu mati perlu untuk diketahui, sebab  hal ini 

berhubungan dengan nilai dari ikan itu sendiri secara 

komersial. 

         Tingkat kondisi/perubahan pada ikan setelah ikan itu 

mati, oleh Sudarmawan (2006) secara umum dapat dirunut 

sebagai berikut : 

a. Ikan hidup 

- Keharmonisan atau keteraturan metabolisme terjaga. 

- Oksigen disuplai ke setiap jaringan tubuh ikan. 

- Derajat keasaman berada pada pH kira-kira 7,4. 

b. Ikan baru mati 

- Terjadi penghentian denyut jantung. 

- Suplai oksigen ke setiap jaringan terhenti. 

- Glikogen terdekomposisi menghasilkan asam laktat 

yang berakumulasi daalm tubuh ikan dan menyebabkan 

pH ikan menjadi turun. 

25 

 

- Creatinic phosphate (CP) hilang dan regenerasinya 

tidak terjadi. 

- Terjadinya penurunan kadar ATP oleh aktivitas 

enzimatik. 

c. Proses kekejangan/rigor mortis 

- Ketika adenosine triphosphat (ATP) berkurang menjadi 

80 persen atau lebih kecil lagi, otot-otot ikan akan 

mengalami pengerutan menjadi kaku dan kejang 

(proses rigormortis). 

- Kekejangan terjadi pada pH 6,3 atau kurang ketika 

asam laktat bereaksi dengan enzim glikogenase dan 

ATPase. 

- Derajat keasaman (pH) akan terus menurun sesuai 

dengan tingkat kebusukan dari ikannya. 

- Proses kekejangan terjadi mulai dari 1 sampai 7 jam 

setelah ikan itu mati dan berakhir 5 sampai 22 jam 

setelah ikan itu mati. 

        Hal ini menunjukkan bahwa proses kekejangan ikan 

hanya berada dalam interval waktu yang singkat/pendek. Pada 

Gambar 2.4 ditunjukkan perubahan yang terjadi setelah 

kematian ikan sedangkan pada Gambar 2.5 ditunjukkan 

formula reaksi penguraian senyawa glikogen yang 

menghasilkan asam laktat yang mengakibatkan menurunnya 

keasaman daging dan memacu aktivitas bakteri. 

26 

 

IKAN MATI

SIRKULASI DARAH 

BERHENTI

Pemasokan O2 

terhenti

Timbul Energi dari

Pemecahan ATP dan

Kreatinfosfat

Daging Ikan

jd Kaku

Enzim Katepsin

Aktif

Enzim ATP-ASE & 

Kreatinfosfatkinase aktif

pH daging ikan

turun

ANAEROB

GlikogenAsam

Laktat

Glikolisa

Berlangsung

Lemak

Memadat

RESPIRASI 

BERHENTI

Glikolisa -CO2+H2O

Aktin&Miosin Membtk

Aktimiosin

Protein Terurai

Berbagai

Metabolit

Terakumulasi

Timbul Bau

Bakteri tmbh

PesatOksidasi

Lemak: 

Ketengikan

Perub.Fisikawi: 

Timbul noda

berwarna

 

 

Gambar 2.4. Perubahan yang Terjadi pada Ikan 

                           Setelah Mati. 

Sumber: Sudarmawan, 1996. 

 

 

 

 

27 

 

Glukosa-1-Fosfat

aldolase

Fruktosa-6-Difosfat

fosfofruktokinase

Fruktosa-6-Fosfat

fosfoheksoisomerase

Glukosa-6-Fosfat

Glikogen Dekstrin Maltosa

Heksokinase

Fosfomonoesterase

Glukosa

fosfogliserat

Hidropasetonfosfat trioisomesase

fosfogliseratmutase

3-fosfogliserat

3-fosfogliseratkinase

1,3-1,3-difosfogliserat

Gliseraldehida-3-fosfodehirogenase

Gliseraldehida-3-fosfat

enolase

fosfogenolpiruvat

piruvatkinase

Asam piruvat

laktodehidrogenase

Asam Laktat

 

 

Gambar 2.5. Penguraian Glikogen Menjadi Asam Laktat Melalui Proses   

Amilolitik (Hidrolisa), Fosforilasi dan Glikolisa. 

 

        Proses kemunduran mutu yang sangat dipengaruhi oleh 

perubahan kimia dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: 

autolysis, rancidity (ketengikan), dan reaksi kimia lainnya. 

Autolysis biasanya terjadi pada senyawa kimia yang tergolong 

non protein nitrogen dan rancidity akan terjadi pada senyawa 

kimia yang tergolong minyak atau lemak, sedangkan reaksi 

kimia lainnya yaitu  perubahan kimia yang tidak tergolong 

pada kedua jenis pembusukan ini . 

 

Perubahan Aktivitas Enzim 

          Proses perubahan yang menyebabkan kemunduran mutu 

(deteriorasi) dapat terjadi akibat penguraian yang dilakukan 

oleh kegiatan enzim yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri. 

sebab  itu, proses ini disebut juga sebagai proses autolysis. 

28 

 

Autolysis yaitu  proses penguraian organ-organ tubuh ikan 

oleh enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan. Biasanya 

proses ini mulai berlangsung setelah ikan melewati fase 

rigormortis. 

         Selama ikan hidup, enzim yang terdapat di dalam tubuh 

ikan dapat berasal dari daging ikan yaitu enzim cathepsin; 

enzim pencernaan yaitu trypsin, chemotrypsin dan pepsin atau 

enzim yang berasal dari mikroorganisme yang ada di dalam 

saluran pencernaan ikan. Enzim ini berperan membantu proses 

metabolisme makanan. Selama bekerja, enzim ini selalu 

menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Dalam setiap 

sel, kadar dan jenis enzim berbeda, serta memiliki  

kekhususan dalam fungsinya membangun atau merombak 

setiap sel dan jaringan makhluk hidup. Ada enzim yang mampu 

mengurai atau membangun protein, lemak, karbohidrat dan 

lain-lain. 

          Ketika ikan mati ternyata enzim ini  masih 

memiliki  kemampuan untuk bekerja secara aktif. Tetapi 

sebab  jaringan otak sebagai pengontrol sudah tidak dapat 

berfungsi lagi, maka sistem kerja enzim ini  tidak 

terkontrol lagi. Setiap enzim beraksi semaunya menurut 

fungsinya yang berakibat jaringan dan organ tubuh ikan 

berubah ke arah “membusuk”. Dinding usus, otot daging 

menjadi busuk sebab  senyawa kompleks dalam tubuh ikan 

terurai menjadi senyawa sederhana. Kegiatan enzimatis di 

dalam isi perut ikan yang kenyang dengan makanan (“feedy 

fish”) sewaktu ikan ini  tertangkap, segera mencerna otot 

di sekitar rongga perut sehingga menjadi lembek. Biasanya, 

proses autolysis akan selalu diikuti dengan meningkatnya 

jumlah bakteri, sebab semua hasil penguraian enzim selama 

proses autolysis  merupakan media yang cocok untuk 

pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lainnya (Anonimous, 

2010). 

29 

 

        Untuk menghindari autolysis, ikan sebaiknya dipanaskan 

pada suhu 60-80 

o

C dalam waktu yang relatif singkat misalnya   

5 menit (blanching). Cara lain, untuk menginaktifkan aktivitas 

enzim yaitu  dengan menurunkan suhu hingga 0

o

C atau lebih 

rendah lagi. Pengurangan aktivitas enzim ini dapat 

dilaksanakan sebab  kemampuan kerja enzim mencapai 

maksimumnya pada suhu 37 

o

C atau setelah ikan melewati fase 

rigormortis. Dibandingkan dengan “blanching”, penggunaan 

suhu rendah lebih menguntungkan sebab  dengan cara ini 

kondisi ikan masih tetap segar (Potter dan Hotchkiss 1995). 

Glycolisis 

         Glycolisis yang normal pada ikan yaitu  reaksi 

perubahan dari glycogen menjadi asam piruvat yang akan 

menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Proses yang normal 

yaitu  secara aerobik (dengan oksigen) yaitu: glycogen-

glicose-asam piruvat-acetil COA. 

         Perubahan glycogen menjadi asam ini  menghasilkan 

36 ATP tiap unit glukose. Tetapi pada ikan yang mengeluarkan 

banyak energi, misalnya meronta sebab  ikan kena 

jaring/pancing maka perubahan glukose menjadi acetyl COA 

sangat cepat (untuk menghasilkan ATP dan akan kekurangan 

oksigen (menjadi terengah-engah). Oleh sebab itu, kekurangan 

oksigen (tidak seimbang oksigen antara yang ada dan yang 

diperlukan), maka reaksi menjadi anaerob yaitu glicogene- 

asam piruvat – asam laktat. Asam laktat yang terjadi akan 

mengubah suasana jaringan menjadi asam dan juga 

berpengaruh terhadap proses biokimia lainnya yaitu merupakan 

kondisi yang baik terjadinya oksidasi haemoglobin menjadi 

methaeglobin, sehingga warna merah pada darah ikan akan 

pudar. 

          Kondisi asam ini  juga akan memengaruhi protein 

menjadi denaturasi (warna daging menjadi keruh). Di samping 

itu situasi asam ini  akan berpengaruh pada tekstur yaitu 

diduga akan mempercepat rusaknya kolagen sehingga daging 

30 

 

menjadi agak lembek. Hal ini dijumpai pada kemunduran mutu 

ikan segar terutama ikan  tuna segar untuk shasimi. Perubahan 

ini  juga dipengaruhi oleh temperatur di mana suhu yang 

panas akan mempercepat reaksi. Oleh sebab itu, cara 

pencegahannya yaitu  setelah ikan tertangkap langsung 

dimatikan sehingga tidak lama meronta dan diteruskan dengan 

pendinginan yang sempurna dalam es. Pendinginan dengan es 

biasanya dapat mempertahankan mutu sampai ± 16 hari untuk 

ikan tuna dan di samping itu proses oksidasi dan autolysis lain 

juga tetap berlangsung. sebab  proses autolysis tidak/sulit 

dihentikan maka untuk mempertahankan mutu untuk 

penyimpanan lama diperlukan suhu yang sangat rendah yaitu     

-60 

o

C. 

A T P

A D P + P

AMP + P

Deaminase

Nukleosida

hidrolase

HIPOKSANTIN + 

RIBOSA-1-FOSFAT

Nukleosin fosforilase

A T P + AMP IDP +  NH3

HIPOKSANTIN

INOSIN + P

IMP + NH3

fosfatase

 

    Gambar 2.6. Penguraian ATP Dalam Daging Ikan Oleh Aksi   Enzimatis 

Selama Proses Pembusukan. 

    Sumber: Sudarmawan, 1996 

 

 3. Kemunduran Mutu sebab  Perubahan Senyawa Kimia 

NPN. 

         Ikan laut memiliki  senyawa NPN yang berfungsi 

sebagai pengatur tekanan sel sehingga ikan dapat berenang di 

permukaan atau di bagian dalam air laut. Jenis dan jumlah 

kandungan NPN sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 

jenis ikan, seks, umur, musim dan lingkungan di mana ikan itu 

hidup dan beberapa senyawa sangat berpengaruh terhadap 

31 

 

pembusukan yaitu: TMAO, asam nukleat, senyawa lain (urea) 

dan asam amino bebas. Kadar NPN berbeda-beda dan besarnya 

sampai 30 persen dari total nitrogen pada ikan. 

 

 Perubahan Trimethylamin Oksidase (TMAO) 

        Dalam ikan khususnya ikan laut selalu mengandung 

TMAO yang kadarnya berbeda-beda yaitu: 

- Ikan bertulang keras antara 100-400 mg/100 g daging. 

- Ikan elasmobranch (sebangsa cucut) 500-1500 mg/100 g 

daging. 

- Crustaseae sampai 250 mg/100 g daging. 

- Mollusca sampai 250 mg/100 g daging. 

- Ikan air tawar sangat kecil. 

 

       Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi 2 jenis 

yaitu: Mikrobiologis dan Autolysis. 

CH3

NCH

CH3

0 CH3

CH3

CH3

N

N

CH3

CH3

+ C

H

H

= 0

TMA

TMAO

Autolysis

Mikrobiologis

Formaldehid

(DMA)

 

Gambar 2.7. Perubahan Kimiawi TMAO Secara Mikrobiologis dan 

Autolysis 

 

 

Perubahan Kimia  

a. Urea 

          Urea terdapat pada ikan laut yaitu pada ikan bertulang 

keras antara 0-3 mg persen sedangkan pada elasmobranch 

antara 1000-2000 mg persen. Perubahan kimia urea dapat 

32 

 

berjalan sebab  proses autolysis atau sebab  bakteriologis yang 

menghasilkan senyawa kimia yang sama yaitu amoniak. 

NH2

=C

NH2

(H2O)

Autolisis (Amoniak)

+ CO22NH3

Mikrobiologis

O

(Urea)

 

Gambar 2.8. Perubahan Kimia dari Urea 

 

        Amoniak yang terjadi akan sangat memengaruhi mutu 

yaitu bau. sebab  perubahan urea ini diperoleh dari autolysis 

atau mikrobiologis maka prosesnya sangat cepat seperti terjadi 

pada ikan cucut, pari dan lain-lain. Untuk menghambat 

perubahan urea ini tidak lain yaitu  menghambat pertumbuhan 

mikroorganisme atau autolysis dengan diberi es, dibekukan 

atau ditambah garam. 

b. Asam Amino 

 Asam amino terdapat pada ikan dengan kadar yang 

berbeda-beda yaitu: 

- Ikan berdaging putih: 50-250 mg/100 g daging. 

- Ikan berdaging merah: 500-1500 mg/100 g daging. 

- Mollusca dan crustaceae: 1000-3000 mg/100 g daging. 

            Asam amino yaitu  senyawa kimia sumber makanan 

utama mikroorganisme dan sangat mudah dipakai untuk 

pertumbuhan sehingga ikan yang mengandung asam amino 

tinggi akan cepat busuk dibandingkan dengan ikan berdaging 

putih, demikian juga udang akan cepat busuk dibandingkan 

ikan. 

            Asam amino ini  misalnya: glysine, proline, 

proginin serta histidin. Glisyne memberikan rasa agak manis 

33 

 

sehingga ikan/udang segar rasa agak manis dan sudah jelek 

rasa manisnya akan hilang. Histidin banyak terdapat pada ikan 

tuna, tongkol dan mackerel. sebab  aktivitas bakteriologis 

terutama Proteus morgani akan mengubah histidin menjadi 

histamin. 

 

NH2

NNN N

NH2

COOHCH2 CH

CH2 CH2Dekarboksilase/

bakteriologi

 

Gambar 2.9. Histamin 

          Oleh sebab itu, kadar histamin dapat dipakai sebagai 

indikator sanitasi dan hygiene. Walaupun pada kadar 20 mg 

persen belum menimbulkan keracunan tetapi dengan histamin 

sebesar 20 mg persen ini  mencerminkan penanganan/ 

pengolahan yang tidak higienis. Sedangkan bila kadar histamin 

≥ 100 mg persen biasanya menyebabkan keracunan bila 

dimakan. Untuk orang-orang yang sensitif dengan kadar 50 mg 

persen sudah dapat merasakan adanya keracunan. 

        Asam amino lain yang penting pada pembusukan udang 

yaitu  tryptophan yang sebab  aktivitas mikrobiologis      

(Proteus morgani dan Eshercia) akan diubah menjadi indol 

yang menyebabkan bau yang tidak enak pada udang. Kadar 

indol ini merupakan faktor utama kriteria kesegaran udang. 

c. Nucleotida 

          Nucleotida yaitu  senyawa kimia termasuk ribose yang 

terdapat pada RNA dan DNA serta adenosine yang terdapat 

pada ATP. ATP sangat berpengaruh dalam proses kemunduran 

mutu ikan. 

         Kandungan dan derifatnya di dalam ikan sampai             

250 mg/100 g daging. Dalam proses pembusukan ATP dapat 

diubah sebab  proses autolysis yaitu: 

 

34 

 

ATP           ADP         AMP           IMP          INOSIN       HYPOXANTINE 

 

         Perubahan biokimia ATP yang normal akan 

menghasilkan energi dan energinya akan dipakai untuk 

kontraksi otot dan mengikat jaringan, tetapi bila ATP berubah 

seperti reaksi di atas  dan sangat cepat maka energinya menjadi 

besar dan terjadi rigor. Tetapi setelah itu energi habis sebab  

hasil reaksi yaitu IMP tidak diubah lagi menjadi ATP. Bila 

energi habis, otot tidak kontraksi dan jaringan tidak terikat 

dengan baik lagi maka terjadilah postrigor dan akhirnya daging 

menjadi lembek tidak kenyal lagi. Terjadinya IMP memberikan 

rasa enak yang disebut middle quality. Oleh sebab itu, beberapa 

orang lebih suka ikan yang tidak segar lagi sebab  banyak 

mengandung IMP yang memberikan rasa enak. Apabila 

perubahan ini  sudah sampai pada senyawa kimia terakhir 

(hypoxantine) maka rasanya agak pahit dan memberikan bau 

dan flavor yang tidak disukai (busuk). Deteksi pembusukan 

dapat dengan menganalisis hypoxantine, tetapi dapat juga 

dengan nilai K yang mencerminkan jumlah (kadar) IMP. 

Perubahan ATP ini berlangsung setelah ikan mati, dan akan 

menjadi awal pembusukan sebelum perubahan TMAO, urea 

dan asam amino.  

d. Rancidity 

         Rancidity yaitu  suatu proses perubahan kimia dari 

minyak/lemak dengan cara hidrolisa dan oksidasi. 

 

d.1 Hidrolisa 

 Hidrolisa yaitu  pemecahan minyak/lemak sebab  

terhidrolisa menjadi asam minyak. 

35 

 

CH2-O-C

CH2-O-C

CH2-O-C

CH2OH

CHOH + 3R  - C

CH2OH

GLISEROL

Minyak

R

O

O

R

R

O

+  H2O

Hidrolisa

O

OH

Asam Minyak

 

Gambar 2.10 Hidrolisa pada Ikan 

Hidrolisa ini  biasanya terjadi dalam ikan sebab  adanya 

enzim lipase yang dimiliki ikan atau dari mikroorganisme. 

Adanya hidrolisa ini  akan terbentuk asam lemak yang 

akan tampak lebih encer dan tidak stabil (mudah rusak). 

sebab  reaksi hidrolisa yaitu  autolysis maka reaksi ini  

tidak dapat dihentikan secara total. Oleh sebab itu, ikan yang 

disimpan dalam keadaan beku misalnya -20

 o

C dalam waktu 

lama minyak yang dikandungnya akan terhidrolisa menjadi 

asam minyak yang berakibat berubahnya flavor dan juga 

ditandai dengan tingginya bilangan asam. sebab  enzim lipase 

banyak terdapat dalam isi perut maka untuk mencegah 

hidrolisa lemak, isi perut sebaiknya dikeluarkan sebelum 

dibekukan, tetapi sebab  dalam dagingnya juga mengandung 

lipase, maka hirolisa tetap akan terjadi dalam waktu 

penyimpanan relatif lama. 

 

d.2. Oksidasi 

         Minyak dalam ikan terkenal dengan jenisnya yang 

banyak mengandung ikatan rangkap (tak jenuh), ikatan rangkap 

ini  akan mudah teroksidasi baik dalam oksigen bebas 

(udara) maupun bukan. Reaksi oksidasi yang bukan sebab  

oksigen bebas disebut autoksidasi yang pasti berjalan, tidak 

36 

 

dapat dicegah walaupun ikan dikemas secara vakum atau 

dibekukan. Reaksi autooksidasi dapat berjalan sebab  ikatan 

rangkap minyak memiliki  gugus alilic. 

H H

C C CH2

 

Gambar 2.11 Gugus Alilic 

 

          Gugus alilic ini  dapat berfungsi sebagai radikal 

yang akan membentuk peroksida yang akan memecah ikatan 

rangkap ini  melalui senyawa lebih pendek berupa keton 

atau aldehid yang berbau tengik. Reaksi ini  akan 

dipercepat dengan adanya energi baik berupa panas, sinar 

radioaktif maupun sinar violet. Selain itu, adanya logam, 

oksigen akan mempercepat proses oksidasi, oleh sebab itu, ikan 

harus disimpan dalam suhu rendah, tidak dalam kemasan 

logam dan terlindung dari sinar. 

          Pemecahan asam lemak ini  dapat berupa atom C 

lebih pendek misalnya cis 4 heptanol yang akan bereaksi 

dengan formaldehid menjadi suatu senyawa yang agak keras 

dan mengakibatkan perubahan flavor, biasanya terjadi pada 

ikan yang disimpan pada cold storage yang relatif lama maka 

kondisi ini  disebut cold storage flavor. 

        Dengan adanya proses rancidity ini  maka dapat 

dilihat kenyataan bahwa ikan-ikan berlemak tinggi seperti 

lemuru, bawal, kembung dan lain-lain akan cepat busuk dan 

lebih sulit dalam pengolahannya. 

Reaksi Kimia Lainnya 

          Reaksi kimia lainnya yaitu  reaksi kimia yang 

merupakan faktor kemunduran mutu selama processing dan 

37 

 

dipengaruhi faktor luar yang tidak termasuk autolysis dan 

rancidity. Reaksi spesifik untuk tiap jenis ikan yang lain dan 

juga spesifik untuk teknik pengolahan yaitu: 

a. Terjadinya bintik-bintik hitam pada udang segar/beku      

(black spot). 

          Reaksi ini terjadi pada udang berupa timbulnya bintik-

bintik kehitaman pada permukaan udang terutama pada ruas-

ruasnya. Reaksi ini berupa perubahan asam amino trysine atau 

precursor yang lain misalnya N-acetyl dopamine menjadi 

melamins berupa polimer dengan berat molekul tinggi dan 

berwarna cokelat kehitaman. Reaksi ini dipengaruhi oksigen 

dan enzyme. Oleh sebab itu, pencegahannya dapat berupa: 

pendinginan, penambahan antioksidan misalnya bisulphate, 

segera dihilangkan kepala, sebab  enzim banyak terdapat di 

kepala udang. 

b. Mailland browwing 

         Reaksi ini terjadi pada produk kering atau produk kaleng 

misalnya tuna kaleng. Reaksi ini yaitu  reaksi antara asam 

amino bebas dengan gula pereduksi (biasanya ditambahkan 

bumbu, saus) dan akan membentuk melananoidins yang berupa 

polimer dengan berat molekul tinggi dan berwarna cokelat 

gelap. 

          Pencegahannya dapat dilakukan dengan suhu serendah 

mungkin dalam pengolahan atau dengan penambahan 

bisulphate. 

c. Reaksi pencokelatan sebab  pigmen darah 

        Reaksi ini biasanya terjadi pada permukaan daging yang 

difilet terutama pada ikan yang difilet sebelum rigor (prerigor). 

Reaksi pencokelatan ini akan terlihat jelas pada ikan berdaging 

putih. Reaksi ini terjadi sebab  adanya oksidasi dari 

haemoglobin yang mengandung besi bervalensi dua dan 

teroksidasi menjadi methohaemoglobin yang mengandung besi 

bervalensi tiga. 

38 

 

         Untuk mencegah terjadinya pencokelatan ini yaitu  

dengan mengeluarkan darahnya terlebih dahulu (bleeding) 

sebelum difilet. 

d. Reaksi pencokelatan sebab  oksidasi minyak 

          Reaksi ini biasanya terjadi pada semua jenis ikan  yang 

telah mengalami oksidasi minyak (rancidity), terutama pada 

produk kering atau produk yang telah disimpan lama. Hasil 

oksidasi minyak akan membentuk senyawa aldehid atau 

senyawa lain yang memiliki  gugus karbonil. Gugus karbonil 

ini akan bereaksi degan gugus asam amino dari protein atau  

dan akan membentuk senyawa polymer yang berwarna coklat. 

Cara pencegahannya yaitu  dengan menghambat reaksi 

oksidasi dari minyak. 

e. Terjadinya warna hitam pada ikan kaleng 

         Biasanya terjadi pada ikan kaleng terutama pada kerang 

yang dikalengkan. Penyebabnya sebab  protein (asam amino) 

yang mengandung sulfur dan dalam processing khususnya 

sewaktu sterilisasi, unsur ini terpecah menjadi sulphida dan 

bereaksi dengan kaleng yang mengandung Fe atau Sn. 

Pencegahannya yaitu  dengan menggunakan kaleng dari 

alumunium. 

 

f. Terjadinya warna kehijauan pada tuna kaleng 

          Ikan tuna banyak mengandung TMAO dan terutama ikan 

kaleng yang diproses dengan pengeluaran darah (bleeding) 

yang tidak sempurna. Reaksi ini terjadi antara pigmen darah 

(haem) dengan TMAO dan senyawa sulphida dari pemecahan 

protein menjadi senyawa kompleks TMAO-Haem-H2S atau 

TMAO-Haem-Cysteine yang berwarna kehijauan. Cara 

pencegahannya dengan mengeluarkan darah (bleeding) dengan 

baik dan sempurna. 

g. Terjadinya warna kebiruan pada kepiting kaleng 

         Kepiting mengandung haemocyanin yang mengandung 

unsur Cu. Haenocyamin ini akan bereaksi dengan asam amino 

39 

 

yang mengandung sulfur dan membentuk kompleks yang 

berwarna kebiruan. Pencegahannya dapat dilakukan dengan 

penambahan EDTA (ethylene diamin tetraasetat) kira-kira 10 

persen untuk mengikat Cu atau dilakukan precooking dengan 

temperatur tidak terlalu tinggi untuk mengkoagulasi protein 

dan membuang darah sebanyak-banyaknya. 

 

4. Perubahan Akibat Aktivitas Mikroorganisme 

         Ikan seperti makhluk hidup lain, dapat dihuni oleh 

sejumlah besar mikroorganisme. Namun, ikan hidup memiliki 

kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme 

sehingga tidak tampak sesuatu perubahan selama masih hidup. 

Sebenarnya jasad mikroba ini tidak begitu menimbulkan 

masalah terhadap ikan ketika masih hidup, sebab  ikan 

memiliki  pertahanan sendiri terhadap serangan mikroba dan 

juga kebutuhan makanan baginya tercukupi dari lingkungan 

ikan itu hidup. Tapi masalah timbul ketika sumber makanannya 

sudah tidak tersedia lagi ketika ikan ditangkap. Untuk 

mempertahankan hidupnya mikroba memerlukan energi yang 

diperoleh dari substrat tempat hidupnya. Daging ikan 

merupakan substrat yang baik sebab  dapat menyediakan 

sumber makanan seperti nitrogen, karbon dan nutrient lainnya. 

Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari ikan sangat 

bervariasi tergantung pada suhu (musim,geografis), metode 

penangkapan, metode penanganan (di kapal atau di darat). 

Bakteri merupakan anggota mikroorganisme terbanyak pada 

ikan. 

 

 berdasar  tempat hidupnya, bakteri dibagi atas 3 golongan, 

yaitu: 

a. Bakteri termofilik; merupakan golongan yang dapat 

hidup dengan baik pada temperatur tinggi (55-80 

o

C). 

Kemampuan hidup optimum pada temperatur 60 

o

C. 

40 

 

b. Bakteri mesofilik; yaitu  golongan bakteri yang dapat 

hidup pada suhu 20-55 

o

C. Kemampuan hidup optimal 

pada temperatur 37 

o

C. 

c. Bakteri cryofilik; bakteri ini dapat hidup dengan baik 

pada temperatur 7-20 

o

C. Kemampuan hidup optimal 

pada temperatur 10 

o

C. 

          Temperatur lingkungan yang sesuai merupakan syarat 

utama bagi bakteri untuk hidup. Selama ikan masih hidup, suhu 

tubuhnya masih cukup rendah untuk menunjang pertumbuhan 

bakteri secara optimal. Tetapi setelah ikan mati, dan proses  

autolysis berlangsung, suhu tubuh ikan berangsur-angsur 

meningkat sehingga akhirnya akan tercipta suatu kondisi yang 

cocok untuk pertumbuhan bakteri. Adapun genus bakteri yang 

umum ditemukan pada tubuh ikan yaitu : Achromobacter, 

Pseudomonas, Flavobacterium, Micrococcus dan Bacillus. 

Bakteri-bakteri ini terdapat di seluruh permukaan tubuh ikan, 

terutama pada bagian insang, kulit dan usus. berdasar  hasil-

hasil penelitian, ternyata kepadatan bakteri pada ketiga lokasi 

ini  tidaklah sama, yaitu: 

a. Kepadatan bakteri pada insang berkisar 10

3

-10

5

/gram. 

b. Kepadatan pada kulit berkisar10

2

-10

6

/gram 

c. Kepadatan bakteri pada usus berkisar10

3

-10

6

/gram 

Bakteri-bakteri ini  menyerang tubuh mulai: 

a. Dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian 

dalam. 

b. Dari insang atau luka-luka yang terdapat pada kulit 

menuju ke arah luar dan jaringan tubuh bagian dalam. 

c. Dari saluran pencernaan menuju ke jaringan daging dan 

selaput rongga perut. 

Segera setelah ikan mati, jutaan bakteri yang tadinya terpusat 

pada ketiga lokasi tadi mulai bergerak aktif ke setiap penjuru 

jaringan dan organ tubuh ikan. Khusus pada ikan yang terluka 

akibat pisau, atau perlakuan kasar, sobekan-sobekan pada 

tubuh akan lebih mempermudah invasi dan serangan bakteri 

41 

 

pembusuk sehingga laju pembusukan jauh lebih cepat 

dibanding ikan utuh normal. Akibat serangan bakteri yang 

dimulai sejak fase rigor mortis berlalu, mutu ikan mengalami 

kemunduran. Hal yang tampak berupa lendir jadi pekat, 

bergetah dan amis, mata terbenam dan sinarnya meredup 

(memudar), insang dan isi perut berubah warna (diskolorisasi) 

dengan isi perut berantakan serta bau menusuk. Akhirnya 

seluruh tubuh ikan membusuk. Setiap jenis bakteri 

menggerogoti bagian tubuh ikan sesuai spesialisasinya (melalui 

enzim yang dihasilkannya), mengurai senyawa protein, lemak 

dan lain-lain pada ikan sehingga terbentuklah senyawa-

senyawa sederhana seperti air, ammonia (NH3), trimethylamin 

(TMA), gas hydrogen-belerang (H2S), karbon dioksida (CO2), 

berbagai asam, dan senyawa-senyawa yang berbau busuk dan 

tengik.  

 Dalam usaha pengawetan dan pengolahan ikan, semua 

upaya selalu ditujukan untuk membinasakan atau menghambat 

bertumbuhan bakteri. Banyak cara telah dilakukan untuk 

mencegah atau menghambat proses perubahan yang 

disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme, antara lain: dengan 

menyiangi ikan, merendam dalam zat kimia, menggunakan es 

batu yang telah diberi zat antibakteri atau melalui proses 

pembekuan. 

C. Standar Mutu Bahan Baku 

          Standar mutu bahan baku bertujuan untuk memberi 

batasan apakah suatu bahan baku memenuhi persyaratan 

kesehatan atau tidak. Oleh sebab itu, kemungkinan suatu bahan 

baku masih segar sebab  proses kemunduran mutu belum 

terlampau jauh tetapi mungkin tidak memenuhi persyaratan 

kesehatan sebab  terkontaminasi bahan yang membahayakan 

kesehatan dari luar. Kontaminasi ini  mungkin berasal dari 

lingkungan atau selama panen, transportasi atau kegiatan 

42 

 

penanganan lain. Kontaminan bahan berbahaya terhadap bahan 

baku dapat berupa fisik, kimiawi atau mikrobiologis. 

 

1. Kontaminasi Bahan Fisik 

          Bahan fisik biasanya mengontaminasi bahan baku hasil 

perikanan yaitu  pasir, batu, logam (timbal, paku, dll) serta 

serangga atau bagian-bagiannya (fragmennya) atau berupa 

kotoran/bagian binatang lain seperti bulu, rambut, dll yang 

disebut “filth”. Kontaminasi fisik sangat sering dijumpai 

terutama pada bahan baku yang berasal dari budi daya hasil 

perikanan yaitu  daerah pantai atau kolam yang secara alamiah 

mengandung bahan-bahan ini . Di samping itu sebab  letak 

geografis yaitu daerah tropis memungkinkan berbagai serangga 

dapat hidup dengan baik. Adanya praktik penanganan yang 

kurang baik atau tidak bertanggung jawab memungkinkan satu 

bahan baku hasil perikanan dapat disengaja terkontaminasi 

batu, paki, timbale, dll. 

 

2. Kontaminasi Kimiawi 

        Beberapa bahan kimia dapat kita jumpai di sekitar budi 

daya, baik dari limbah pabrik, misalnya logam berat atau bahan 

kimia beracun lain. Adanya logam berat kemungkinan juga 

berasal dari lingkungan secara alamiah, misalnya dari gunung 

berapi (Hg), lumpur (Cd) dan lain-lain. Khusus untuk ikan 

predator/kerang-kerangan/crustacean perlu diwaspadai adanya 

residu merkuri sebab  rantai makanannya. 

        Kontaminasi bahan kimia dari limbah pertanian perlu 

diwaspadai adanya residu insektisida/pestisida yang biasanya 

digunakan sebagai sarana produksi pertanian. Penggunaan 

hormon dan antibiotik dalam budi daya perlu diwaspadai 

adanya residu dengan memperhatikan waktu penggunaannya 

dan harus dihentikan beberapa waktu (± 1 bulan) sebelum 

dipanen guna memberikan kesempatan proses degradasi 

biokimia dan ekskresinya. Kontaminasi kimia juga dapat 

43 

 

berupa adanya residu hidrokarbon misalnya mineral, minyak 

pelumas dan lain-lain terutama bila terjadi suatu kebocoran/ 

musibah lain di perairan. 

3.Kontaminasi Mikrobiologis 

          Hasil perikanan yang hidupnya selalu di perairan yang 

secara alamiah merupakan tempat hidup mikroorganisme 

memungkinkan terjadinya kontaminasi. Beberapa jenis 

mikroorganisme perlu kita waspadai terutama mikroorganisme 

patogen misalnya Vibrio, Kholera, Salmonella, Staphylococcus 

aureus serta Listeria monositogenes yang keberadaanya sebab  

berasal dari manusia. Vibrio parahaemolyticus secara alamiah 

ada di perairan pantai dan perlu dibatasi jumlahnya dalam 

bahan baku perikanan. Demikian juga adanya Escherchia coli 

juga perlu dibatasi sebab  mikroorganisme ini mencerminkan 

adanya kontaminasi dengan faeces manusia/binatang mamalia 

dan bahkan jumlah total mikroorganisme pun perlu dibatasi 

sebab  akan mempercepat pembusukan dan merupakan 

indikator higiene. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

44 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

45 

 

 

 

PENANGANAN PRODUK HASIL PERIKANAN 

A. Prinsip Penanganan Produk Hasil Perikanan 

       Mutu produk perikanan dipengaruhi oleh faktor-faktor 

intrinsik dan ekstrinsik. Seperti spesies, ukuran, jenis kelamin, 

komposisi, penanganan telur, keberadaan parasit, racun, 

kontaminasi polutan, dan kondisi pembudidayaan merupakan 

faktor-faktor yang memengaruhi perubahan mutu intrinsik. 

Sifat-sifat biokimia daging ikan, seperti rendahnya kadar 

kolagen, relatif tingginya kadar lemak tak jenuh serta 

komposisi nitrogen terurai yang memengaruhi autolysis, 

perkembangbiakan mikroba yang sangat cepat, dan 

pembusukan. Ikan berlemak seperti sarden dan haring 

membusuk lebih cepat dibandingkan ikan yang tidak berlemak. 

Ikan-ikan kecil yang diberi pakan terlalu banyak sebelum 

penangkapan dapat mengalami pelunakan jaringan daging dan 

dapat menjadi mudah rusak setelah ikan mati akibat autolysis. 

Ikan-ikan berukuran lebih besar memiliki daya jual dan nilai 

yang lebih tinggi sebab  memiliki lebih banyak bagian yang 

dapat dimakan dan tahan lebih lama. 

        Faktor-faktor ekstrinsik yang memengaruhi mutu ikan 

tangkapan antara lain, lokasi tangkapan, musim, metode 

penangkapan (jaring insang, tali tangan (handline), tali panjang 

(longline)  atau perangkap, dan lain sebagainya. Penanganan 

ikan di atas kapal, kondisi kebersihan kapal penangkap ikan, 

pemrosesan, dan kondisi penyimpanan. Pengembangan produk 

perikanan bermutu tinggi dimulai dengan pertimbangan kondisi 

hewan ini  di dalam air, dampak stres lingkungan, 

kekurangan nutrisi, atau perubahan-perubahan iklim pada mutu 

BAB          

III 

46 

 

intrinsik dan pengaruh metode penangkapan dalam keadaan 

yang alamiah. 

1.  Faktor-Faktor yang Memengaruhi Mutu Ikan 

          Faktor-faktor yang memengaruhi mutu produk perikanan 

sangat banyak jenis dan jumlahnya antara lain: 

 

a. Dampak dari Spesies 

        Di masyarakat, spesies ikan tertentu sangat digemari dan 

memiliki tingkat permintaan yang lebih tinggi dan harga yang 

lebih mahal dari yang spesies lainnya. Sejarah menunjukkan 

bahwa perilaku berubah dengan sangat perlahan sehingga 

preferensi semacam ini tetap ada. Preferensi pribadi biasanya 

dipengaruhi oleh penampilan, rasa, adanya duri-duri kecil, tabu 

agama, dan kebiasaan masyarakat. Spesies ikan tertentu disukai 

di satu belahan dunia, tetapi tidak disukai dibelahan dunia 

lainnya. Sotong, misalnya, memiliki harga yang sangat tinggi 

sebagai makanan di belahan Timur, tetapi di banyak tempat di 

Amerika Serikat, sotong dianggap berguna sebagai umpan dan 

sedikit yang digunakan untuk hal lain. 

        Tingkat pembusukan atau kerusakan bergantung pada 

spesies. Sudah menjadi fakta yang diketahui secara luas bahwa, 

ketika didinginkan atau dibekukan, spesies-spesies berlemak 

seperti ikan sarden dan makerel akan membusuk lebih cepat 

daripada spesies-spesies tak berlemak seperti ikan kod. Selain 

itu, kod utuh akan lebih cepat membusuk daripada spesies-

spesies tertentu lainnya seperti halibut dan flounder. 

Kandungan lemak ikan laut dapat sangat berbeda-beda 

sepanjang tahun. Perbedaan komposisi dalam satu spesies 

dapat menjadi penyebab adanya pengaruhsekunder dalam hal 

kualitas. Ketika disimpan di tempat pendingin, ikan tak 

berlemak dalam kondisi yang buruk jauh lebih cepat 

membusuk daripada spesies yang sama dalam kondisi baik. Hal 

ini dapat dijelaskan dengan kandungan glikogen dalam daging. 

47 

 

Pada ikan tak berlemak berkualitas rendah, kandungan 

glikogen yang rendah menyebabkan peningkatan yang setara 

dalam pH daging. Segera setelah mati, glikogen dalam daging 

diubah menjadi asam laktat yang menentukan pH daging. 

Bakteri-bakteri yang menyebabkan pembusukan lebih aktif 

dalam daging dengan kadar pH lebih tinggi. Derajat keasaman 

daging yang rendah juga memiliki dampak yang tidak 

diinginkan pada kualitas ikan. “Kepucatan” yaitu  suatu 

keadaan yang berkembang pada bagian ikan mentah yang 

dipotong dari ikan yang telah disimpan di es untuk waktu yang 

lama. Daging ikan terlihat putih dan pucat, seperti ikan yang 

sudah dimasak. Kondisi ini  berkembang pada ikan yang 

pH dagingnya jauh di bawah nilai 6,0 setelah ikan mati.Spesies 

ikan yang ditangkap di perairan bersuhu hangat ini  

disimpan lebih lama dalam es daripada ikan-ikan yang 

ditangkap di perairan yang bersuhu lebih dingin. Namun, 

alasan untuk hal ini , lebih berhubungan dengan flora 

bakteri yang tumbuh pada permukaan ikan daripada ikan itu 

sendiri. Bakteri yang berkembang pada permukaan spesies air 

dingin bersifat psychophillic, yang berarti bahwa mereka lebih 

tahan terhadap suhu rendah dan mampu menghasilkan 

perubahan rasa dan bau pada suhu rendah. Bakteri pada ikan 

dari perairan bersuhu hangat tidak tahan terhadap suhu dingin. 

Efek spesies lainnya berkaitan dengan rute migrasi. Spesies-

spesies yang bermigrasi pada jarak jauh sebelum ditangkap 

kemungkinan besar tidak akan berada dalam kondisi fisik yang 

baik seperti spesies-spesies atau anggota-anggota dari spesies 

sama yang mengikuti rute yang lebih pendek. 

 

b. Efek Ukuran 

        Pada umumnya, ikan besar dari suatu spesies tertentu 

dijual dengan harga yang lebih tinggi. Konsumen siap untuk 

membayar lebih untuk udang besar, kepiting, lobster, atau 

potongan bagian dari ikan besar sebab  mereka lebih 

48 

 

memuaskan secara tampilan dan dari segi tata boga. Namun 

tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ikan yang lebih besar 

dari suatu spesies tertentu memiliki rasa yang lebih baik 

daripada angota-anggota spesies ini  yang lebih kecil. 

Pengolah membayar lebih untuk spesimen yang lebih besar 

sebab  persentase bagian yang dapat dimakan lebih 

tinggi, biaya penanganan per unit beratnya berkurang, lebih 

tahan lama dalam penyimpanan, dan lebih banyak produk 

masal yang dapat dibuat dari spesies ini . Fakta yang tidak 

dapat dipungkiri bahwa ikan besar lebih tahan lama dalam 

penyimpanan daripada ikan kecil. Salah satu dari mekanisme 

pembusukan utama yaitu  penetrasi mikroorganisme dari 

permukaan ke bagian dalam ikan. Ikan yang lebih besar 

memiliki rasio lebih kecil antara permukaan terhadap volume 

sehingga pada periode waktu yang sama,  lebih sedikit dari 

bagian dalam ikan berukuran lebih besar yang terkena 

dampaknya. Selain itu, isi perut ikan besar seperti kod, tuna 

dan salmon umumnya dikeluarkan di atas kapal penangkap 

ikan. Spesies yang terlalu kecil atau terlalu banyak untuk 

dikeluarkan isi perutnya di atas kapal mungkin hanya disimpan 

utuh. Pengeluaran isi perut ikan di atas kapal memiliki dua 

keuntungan pertama  membuang isi perut secara signifikan 

mengurangi degradasi yang disebabkan oleh aktivitas enzim 

dan mikroba yang biasanya berlangsung dalam usus dan perut, 

dan kedua lebih sedikit penanganan ikan yang diperlukan 

setelah ikan ini  mencapai pantai. Ikan-ikan ini  dapat 

ditempatkan di dalam lemari pendingin segera setelah isi 

perutnya dikeluarkan dan tidak perlu dipindahkan dari lemari 

pendingin untuk pengeluaran isi perut selanjutnya. 

Efek ukuran lainnya yaitu  pada pH daging. Ikan kecil dari 

suatu spesies tertentu cenderung memiliki pH pasca kekakuan 

yang lebih tinggi daripada ikan dari spesies yang sama yang 

berukuran lebih besar, sehingga menyebabkan aktivitas bakteri 

yang lebih besar. 

49 

 

 

c. Jarak ke pelabuhan 

        Seberapa cepat ikan dikeluarkan isi perutnya dan 

ditempatkan ke dalam lemari pendingin mungkin berkaitan 

dengan jarak yang harus ditempuh kapal dari pelabuhan asal ke 

tempat penangkapan ikan. Pengeluaran isi perut umumnya 

berlangsung dengan cepat di atas kapal buatan pabrik yang 

menempuh jarak jauh dari pelabuhan dan dapat berada di atas 

laut selama beberapa minggu. Namun di atas kapal-kapal yang 

lebih kecil yang tidak memiliki kapasitas untuk pengeluaran isi 

perut yang baik dan penyimpanan, ikan-ikan hanyadimuat 

dalam keadaan utuh sampai kapal ini  mencapai 

pelabuhan. Seringkali, periode waktu ini  dapat 

berlangsung beberapa hari sehingga memberikan waktuyang 

cukup banyak bagi bakteri dan enzim dalam usus untuk 

bekerja. 

        Masalah  jarak dari tempat penangkapan ikan ke 

pelabuhan lebih nyata pada wilayah tropis dan subtropis 

dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu udara yang lebih 

panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya 

apabila hasil tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan 

sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin. Sengatan 

sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan 

mempercepat perubahan pasca kematian. Tingkat perubahan 

terjadi bergantung pada rentang waktu penyimpanan dengan 

suhu, dan spesies ini . 

 

d. Tempat Penangkapan Ikan 

         Lokasi tempat penangkapan ikan memiliki peran tidak 

langsung pada kualitas produk perikanan. Dalam suatu spesies, 

rasa berbeda dari satu tempat penangkapan ikan dengan tempat 

penangkapan ikan berikutnya dan juga  berbeda dari satu 

musim ke musim berikutnya, bergantung pada sifat 

makanannya dan kondisi fisiologis spesies yang bersangku