GLOSARI
Autolysis yaitu proses penguraian organ-organ tubuh ikan
oleh enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan.
Biasanya proses ini mulai berlangsung setelah ikan
melewati fase rigormortis.
Black spot : terjadinya bintik-bintik hitam pada udang
segar/beku.
DHA : asam lemak 3 yang ada dalam ikan yaitu C22:6
3 (decosa hexa enoic acid).
EPA : Jenis asam lemak 3 yang ada dalam ikan yaitu C 20 :
5 3 (eicosa penta enoic acid).
Filet ikan : lempengan ikan
Glikogen: yaitu sejenis karbohidrat majemuk, pada ikan
terdapat maksimum 0,6 persen sebagai cadangan
tenaga.
Glycolisis: yaitu reaksi perubahan dari glycogen menjadi
asam piruvat yang akan menghasilkan ATP sebagai
sumber energi.
Iradiasi: metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan
menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk
mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta
membebaskan pangan dari jasad renik patogen.
Mailland browwing: Reaksi ini yaitu reaksi antara asam
amino bebas dengan gula pereduksi (biasanya
ditambahkan bumbu, saus) dan akan membentuk
melananoidins yang berupa polimer dengan berat
molekul tinggi dan berwarna cokelat gelap.
Organoleptik ikan: keadaan rupa, bau (odor), cita-rasa (flavor)
dan tekstur atau konsistensi daging ikan dapat diamati
dengan bantuan panca indra.
138
Pengasapan: penyerapan bermacam-macam senyawa kimia
yang berasal dari asap kayu ke dalam daging ikan,
disertai dengan setengah pengeringan dan biasanya
didahului dengan proses penggaraman.
Pengasapan cair (liquid smoke): yaitu dengan mencelupkan
ikan ke dalam larutan bahan-bahan asap (smoke
concentrate) setelah itu dikeringkan.
Pengasapan dingin (cold smoking): Pengasapan dengan suhu
asap tidak boleh melebihi 20-40
o
C dalam waktu 1-3
minggu, kelembaban (RH) yang terbaik yaitu antara
60-70 persen.
Pengasapan panas (Hot smoking): Pengasapan dengan suhu
asap mencapai 120-140
o
C dalam waktu 2-4 jam, dan
suhu pada pusat ikan dapat mencapai 60
o
C.
Pengolahan tradisional: produk tradisional diolah dengan
tingkat sanitasi dan higiene yang rendah, menggunakan
bahan mentah dengan tingkat mutu atau kesegaran yang
rendah, keamanan pangannya tidak terjamin, teknologi
yang digunakan secara turun-temurun, dan perusahaan
dikelola oleh keluarga dengan tingkat kemampuan
manajemen kurang memadai.
Pengolahan modern : pengolahan modern memerlukan
persyaratan yang sulit dipenuhi oleh perikanan skala
kecil, yaitu pasokan bahan baku yang bermutu tinggi
dalam jenis ukuran yang seragam, dalam jumlah yang
cukup banyak sesuai dengan kapasitas industri.
Protein sarkoplasma: yaitu mioalbumin, globulin, dan enzim,
yang bersifat larut dalam larutan garam yang
berkekuatan ion rendah (< 0.15 M).
Protein structural: yaitu aktin, myosin, tropormiosin, dan
aktomiosin, yang berkontribusi 70-80 persen dari total
kandungan protein.
Racindity: yaitu suatu proses perubahan kimia dari
minyak/lemak dengan cara hidrolisa dan oksidasi
139
Rigor mortis yaitu keadaan di mana ikan menjadi kaku
beberapa saat setelah ikan mati (pengejangan sesudah
mati).
Sifat fungsional: didefinisikan sebagai suatu sifat dalam
makanan yang berkaitan dengan daya guna dan
keinginan konsumen
Steak: potongan ikan yang diperoleh melalui pemotongan
melintang bagian tubuh ikan antara kepala dan ekor.
Sterilisasi komersial: suatu kondisi yang diperoleh dari
pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi
dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak
ada lagi terdapat mikroorganisme hidup.
Triglyserida : mengandung banyak jenis asam lemak, banyak
ikatan rangkap (senyawa tidak jenuh) dan asam lemak
dengan atom C yang panjang misalnya 22 atau 24 atom
C.
Vakum: pengeluaran udara dari kemasan.
subsektor perikanan memiliki peranan penting
sebagai penyumbang protein bagi masyarakat negara kita . Akan
tetapi tidak semua wilayah negara kita dapat tercukupi
kebutuhannya dari protein sebab ketersediaan ikan per kapita
belum terdistribusi secara merata. Pengolahan dapat membuat
ikan menjadi awet dan memungkinkan untuk didistribusikan
dari pusat produksi ke pusat konsumen. Namun selama 20
tahun terakhir, produksi ikan yang diolah baru sekitar 23-47
persen, dan dari jumlah ini sebagian besar merupakan
pengolahan tradisional. berdasar statistik menunjukkan
bahwa 49,99 persen pemanfaatan ikan laut yaitu dalam
bentuk produk tradisional
sebab pengolahan modern memerlukan persyaratan yang sulit
dipenuhi oleh perikanan skala kecil, yaitu pasokan bahan baku
yang bermutu tinggi dalam jenis ukuran yang seragam, dalam
jumlah yang cukup banyak sesuai dengan kapasitas industri.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pengolahan tradisional
masih memiliki prospek untuk dikembangkan. Prospek ini
didukung oleh masih tersedianya sumber daya ikan di pusat
produksi, tingginya permintaan di pusat konsumsi,
sederhananya teknologi, serta banyaknya industri rumah tangga
pengolah tradisional.
negara kita kaya akan berbagai jenis produk tradisional
yang biasanya memiliki kekhasan atau keunikan dari segi
bentuk, bau dan rasa. Produk tradisional dari suatu daerah sulit
untuk ditemukan di daerah lain, kecuali untuk produk tertentu
yang sudah dikenal secara luas, seperti ikan asin, ikan asap dan
kerupuk ikan. Kadang – kadang untuk produk yang sama
dikenal dengan nama berbeda di daerah lain, seperti ikan asap
dikenal dengan nama ikan sale di Sumatera Selatan, ikan asar
di Maluku dan ikan fufu di Sulawesi Utara. Walaupun
demikian, selama ini ikan olahan tradisional masih memiliki
citra buruk di mata konsumen, sebab rendahnya mutu dan
nilai nutrisi, tidak konsistennya sifat fungsional, serta tidak
adanya jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen. Dalam
ilmu teknologi pangan, sifat fungsional didefinisikan sebagai
suatu sifat dalam makanan yang berkaitan dengan daya guna
dan keinginan konsumen (Sikorski et al., 1998). Rasa, bau,
warna, tekstur, kelarutan, penyerapan, dan penahanan air,
kerenyahan, elastisitas, nilai nutrisi, dan daya awet merupakan
sifat fungsional penting bagi ikan olahan, sedangkan harga,
ketersediaan serta jenis dan bentuk olahan bukan merupakan
sifat fungsional, walaupun keadaan ini juga sangat
penting bagi konsumen.
Teknologi produk tradisional perikanan dicirikan dengan
suatu gambaran yang kurang baik, yaitu produk tradisional
diolah dengan tingkat sanitasi dan higiene yang rendah,
menggunakan bahan mentah dengan tingkat mutu atau
kesegaran yang rendah, keamanan pangannya tidak terjamin,
teknologi yang digunakan secara turun-temurun, dan
perusahaan dikelola oleh keluarga dengan tingkat kemampuan
manajemen kurang memadai. Keadaan ini dapat diperbaiki
dengan menggunakan cara pengolahan yang benar (GMP),
melakukan rasionalisasi dan standardisasi mulai dari bahan
baku dan bahan pembantu, proses, hingga produk akhir, serta
menegakkan prinsip sanitasi dan higiene yang baik (SSOP).
3
Pengembangan pengolahan ikan tradisional memerlukan
pembinaan yang diawali dari riset, diseminasi, serta
penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan (Heruwati,
2002).
Pengawetan ikan dengan pengasapan sudah lama
dilakukan manusia. Teknologi pengasapan termasuk cara
pengawetan ikan yang telah diterapkan secara turun temurun.
Istilah pengasapan (smoking) diartikan untuk penyerapan
bermacam-macam senyawa kimia yang berasal dari asap kayu
ke dalam daging ikan, disertai dengan setengah pengeringan
dan biasanya didahului dengan proses penggaraman.
Pengasapan juga sering dikombinasikan dengan pengeringan
sinar matahari dan atau perlakuan pendahuluan dengan
penggaraman. Jadi istilah smoke curing meliputi seluruh proses
yang dimulai dari tahap persiapan bahan mentah sampai ke
pengasapan terakhir yang mengakibatkan perubahan bahan
mentah sampai ke pengasapan terakhir yang mengakibatkan
perubahan warna, flavor, dan tekstur ikan. Sedangkan tujuan
pengasapan dalam pengawetan ikan yaitu untuk
mengawetkan dan memberi warna serta asap yang khusus pada
ikan.
Suhu pengasapan bervariasi di berbagai tempat
tergantung permintaan konsumen dan tipe unit pengasapan
yang digunakan. Ada lima jenis proses pengasapan yaitu,
pengasapan dingin(cold smoking), pengasapan hangat (warm
smoking), pengasapan panas(hot smoking), pengasapan cair
(liquid smoking), dan pengasapan listrik (electric smoking).
Tetapi sebagian besar produk diolah menggunakan pengasapan
panas (hot smoking), yaitu suhu pengasapan yang
menyebabkan produk yang diolah masak. Sekarang telah
dikembangkan teknologi pengasapan dengan menggunakan
asap cair (cuka kayu) yang menghasilkan produk dengan flavor
yang lebih seragam dibandingkan dengan metode tradisional.
4
Mutu dan keamanan produk merupakan persyaratan yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi di dalam perdagangan produk
perikanan saat ini. Persaingan antarproduk di pasaran sangat
ditentukan oleh kedua hal ini . Tidak jarang, produk
perikanan dapat menyebabkan keracunan dan kematian
terhadap konsumen atau ditolak negara pengimpor sebab tidak
memenuhi persyaratan keamanannya. Mutu produk ditentukan
oleh performance produk secara organoleptik, kimiawi, fisik
dan mikrobiologis. Cara yang paling mudah untuk penentuan
mutu produk yaitu secara organoleptik, sedangkan untuk
penentuan mutu secara kimiawi, mikrobiologis dan fisik
memerlukan peralatan dan waktu yang relatif lama untuk
memperoleh hasilnya.
Secara umum, risiko pangan terhadap kesehatan manusia
dapat timbul secara alami maupun terkait dengan penanganan
pangan oleh manusia baik berupa cemaran biologi, kimia atau
fisik. Pada produk seafood cemaran yang umum ditemukan
antara lain:
1. Cemaran biologi:
- Vibrio parahaemolyticus
- Vibrio cholera
- Salmonella dan Escherichia coli
2. Cemaran kimia:
- Logam berat (merkuri, timbale)
- Histamin
- Marine biotoxin (racun hayati laut)
- Hormon, antibiotik, pestisida
- Bahan berbahaya (formalin,rhodamin B).
Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk
dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat
busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting
untuk diperhatikan. Oleh sebab penurunan nilai mutu
kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya
sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau
5
harga dari produk ini . Dengan demikian nilai mutu
kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan.
Sifat mudah busuk ini disebabkan sebab daging ikan
merupakan substrat kehidupan yang baik bagi pertumbuhan
mikroba terutama bakteri. Tersedianya sumber makanan baik
makromolekul maupun mikromolekul, metabolit-metabolit
sederhana dan kadar air yang tinggi sangat sesuai untuk
pertumbuhan bakteri. Sifat segar hasil perikanan lebih disukai
daripada sesudah mengalami pengolahan, sebab cita rasa, sifat
fisik dan kimiawinya belum berubah. Dalam penanganannya
sifat segar ini harus diusahakan untuk dipertahankan
semaksimal mungkin. Sehubungan dengan hal ini maka
penting untuk mengetahui proses apa saja yang dapat
menurunkan nilai mutu kesegaran ikan. Setelah mengetahui
mengenai proses apa saja yang terjadi pada waktu
pembusukan, tentunya dapat diambil langkah-langkah
pencegahan atau perlakuan agar pembusukan dapat dihentikan
atau diperlambat prosesnya, sehingga daya simpan produk
ini dapat tahan lama.
Hasil olahan ikan asap yang cukup popular dan memiliki
ciri khas ini menarik untuk dipelajari, dikaji dan dicoba untuk
dipraktikkan, baik untuk menambah wawasan, peningkatan
keterampilan, maupun landasan untuk upaya pengembangan.
Untuk menghasilkan ikan asap bermutu, perlu
pengetahuan tentang teori kesegaran ikan yang meliputi proses
kemunduran mutu ikan, penanganannya untuk
mempertahankan kesegaran ikan, penilaian kesegaran ikan baik
secara subjektif (organoleptik) maupun secara objektif
(laboratory). Selanjutnya, teknik pengolahan mulai dari
pemilihan bahan baku, bahan asap, bahan pembantu, waktu dan
suhu pengasapan, pengemasan dan penyimpanan yang baik dan
sesuai dengan SNI ikan asap.
KESEGARAN IKAN
A. Kondisi Ikan
1. Fisik
SECARA fisik ikan dibedakan atas bagian yang dapat
dimakan (edible portion, edible flesh) dan bagian yang tidak
dapat dimakan (non-edible portion). Sebagai contoh,
persentase dalam berat bagian daging yang dapat dimakan
disajikan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Berat Bagian Daging Ikan Yang Dapat Dimakan
Jenis Ikan BYDD (% berat)
Tenggiri
Kakap
Ekor kuning
Kembung
Cakalang
Tongkol
Sardin
Cucut
55
37
39
50
70
68
60
30
Sumber: Stanby,1962 dalam Harikedua, 1994.
Pada usaha perikanan modern terdapat berbagai bentuk
pemanfaatan ikan basah (Anonimous, 2010), sebagai berikut:
a. Utuh (round fish, whole fish)
b. Filet (lempengan daging). Biasanya hasil filet 30-35 persen
dari berat ikan, bentuk ini dibedakan: (1) filet berkulit
(skin on fillet); (2) filet tidak berkulit (skinless fillet);
(3) filet tunggal (single fillet), yaitu lempeng daging ikan
yang disayat memanjang tulang belakang; kuduk biasanya
dipotong; (4) filet kupu-kupu (butterfly fillet), yakni dua
filet tunggal seekor ikan yang dihubungkan sesamanya
oleh bagian yang tidak terpotong.
BAB
II
8
c. Steak, yaitu potongan ikan yang diperoleh melalui
pemotongan melintang bagian tubuh ikan antara kepala
dan ekor.
d. Disiangi (drawn, gutted, eviscerated), yaitu ikan yang
dikeluarkan isi perutnya, atau juga insangnya.
e. Dibantai (dressed), yaitu ikan yang dibuang isi perut,
kepala, ekor, gilingan daging, dan lainnya.
2. Organoleptik
Faktor-faktor mutu organoleptik yaitu keadaan rupa, bau
(odor), cita-rasa (flavor) dan tekstur atau konsistensi daging
ikan dapat diamati dengan bantuan panca indra. Selama proses
kemunduran mutu (deteriorasi), ikan mengalami perubahan-
perubahan organoleptik. Pada pengamatan faktor rupa, diamati
perubahan yang dialami oleh mata, insang, selaput lendir
permukaan tubuh, sayatan daging dan isi perut. Pengamatan itu
meliputi perubahan warna (diskolorisasi), viskositas, dan lain-
lain. Pengamatan faktor odor dan flavor, ditujukan pada ikan
secara keseluruhan. Bagi ikan utuh pengamatan terutama
ditujukan pada daging, umumnya dilaksanakan dengan cara
penekanan jari pada tubuh ikan. Akan tetapi penekanan jari
pada tubuh ikan yang berkulit tebal atau bersisik dapat
mengelabui pengamat.
Tabel 2.2 Ciri-Ciri Ikan Segar dan Ikan Busuk
ORGAN CIRI IKAN SEGAR CIRI IKAN BUSUK
Mata Cemerlang, kornea bening, pupil
hitam, mata cembung
Redup,tenggelam.Pupil mata kelabu
tertutup lendir.
Insang Warna merah sampai merah
tua,cemerlang,tidak berbau,tidak ada
off odor.
Kotor,warna pucat atau gelap.
Keabuan dan berlendir,bau busuk.
Lendir Terdapat lendir alami menutupi ikan
yang baunya khas menururt jenis
ikan. Rupa lendir cemerlang seperti
lendir ikan hidup, bening.
Berubah kekuningan dengan bau tak
enak,atau lendirnya sudah hilang,atau
lendir mengering dan warna putih
susu,atau lendir pekat melengket.
Kulit Cemerlang, belum pudar, warna asli
kontras
Rupa pudar.Bila pengesan kurang baik
kulitnya mengering dan retak.
Sisik Melekat kuat, mengkilat dengan
tanda/warna khusus tertutup lendir
jernih.
Banyak yang lepas,tanda dan warna
khusus ini memudar dan lambat
menghilang.
Daging Sayatan daging cerah dan elastis,
bila ditekan tak ada bekas jari.
Lunak, tekstur berubah bila ditekan
jari pada bekasnya. Daging telah
kehilangan elastisitasnya dan terasa
lunak bila ditekan.
Rongga
perut
Bersih dan bebas dari bau yang
menusuk. Tekstur dinding perut
kompak elastis tanpa ada
diskolorisasi dengan bau segar yang
kontraktis, selaput utuh.
Mengalami diskolorisasi,bau menusuk
dan busuk lembek. Bagian rongga
perut kemerahan,diskolorisasi menjadi
kecokelat-cokelatan sebab makanan
dalam usus membusuk.
Darah Darah sepanjang tulang belakang
segar merah dan konsistensi normal.
Darah sepanjang tulang belakang
berwarna gelap dengan konsistensi
cair,sering diikuti bau yang menusuk.
Sayatan Bila ikan dibelah daging melekat
kuat pada tulang terutama pada
rusuknya.
Bila dibelah daging mudah lepas.
Autolysis telah berjalan.Tulang rusuk
menonjol keluar.
Tulang Tulang belakang berwarna abu-abu
mengkilap.
Tulang belakang mengalami
diskolorisasi dan kekuning-kuningan
Bau Segar dan menyenangkan seperti air
laut/rumput laut. Tak ada bau yang
pesing (tidak enak).
Mulai dengan bau tak enak, makin
kuat menusuk,lalu timbul bau busuk
yang khusus menusuk hidung.
Kondisi Bebas dari parasit apa pun tanpa
luka atau kerusakan pada badan ikan
Banyak terdapat parasit,badannya
banyak luka patah.
Sumber: Illyas, 1993.
10
3. Kimiawi
Ikan atau sejenisnya memiliki komposisi kimia yang
berbeda, tetapi pada dasarnya senyawa kimia terbesar yang ada
di dalam ikan yaitu air, protein, lemak, mineral dan yang
tergolong kecil yaitu hormon, enzim, vitamin serta senyawa
nitrogen lainnya (non protein nitrogen).
Senyawa kimia makro terutama protein, minyak dan
mineral ditambah dengan senyawa kimia mikro yaitu vitamin
sangat menentukan dalam nilai gizi makanan yang tentunya
harus dipertahankan keberadaannya serta dicegah adanya
kerusakan kualitasnya setelah ikan ditangkap sampai siap
konsumsi.
Besarnya kadar air dari ikan segar berkisar antara
70-80 persen, kadar protein berkisar 15-20 persen dan kadar
lemak 0-20 persen. Sedangkan kadar mineral dan vitamin
tentunya sangat tergantung pada jenis mineral dan vitamin.
Besarnya variasi kandungan bahan kimia ini sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis ikan, seks (jenis
kelamin), umur ikan, musim dan kondisi di mana ikan ini
hidup. Perbedaan persentase kandungan kimiawi makro
ini akan berpengaruh pada sifat fisik (tekstur), perbedaan
pembusukan, perbedaan rasa dan lain-lain.
Selain faktor-faktor di atas, faktor musim akan sangat
memengaruhi kadar minyak yang berkaitan dengan kadar air.
Apabila kadar minyak turun maka kadar air akan tampak naik,
sehingga jumlah persentase kedua parameter ini untuk
jenis ikan yang sama relatif konstan seperti pada Gambar 2.1.
11
Gambar 2.1. Hubungan Antara Kadar Air dan Kadar Minyak Pada Jenis
Ikan yang Sama dan Musim Yang Berbeda (Sunarya,1996).
Komposisi kimiawi pada ikan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Air
Air merupakan komponen utama pada ikan, kisarannya
sekitar 70-80 persen dari berat daging yang dapat dimakan.
Kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak ikan. Makin
tinggi kadar air, makin rendah kadar lemak ikan. Jumlah kedua
komponen ini berkisar sekitar 80 persen. Oleh sebab air
dalam tubuh ikan mengandung berbagai senyawa kimia yang
larut dan yang tidak larut, maka air dalam tubuh ikan tidak
membeku pada 0
o
C melainkan mulai membeku pada -1,1
o
C
dan pada suhu -8
o
C hanya 90 persen air yang membeku
(Harikedua, 1994). Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa air
dalam jaringan otot ikan diikat erat oleh senyawa koloidal dan
kimiawi lainnya sehingga tidak mudah dibebaskan dengan
tekanan berat. Kekuatan penahan air maksimum terdapat pada
daging ikan yang sangat segar. Sedangkan pada ikan yang
mulai membusuk, kekuatan itu jauh berkurang sehingga cairan
dalam otot akan mudah dibebaskan ke luar.
Lemak (lipida)
Berbeda dengan jenis minyak yang berasal dari hewan
atau tumbuhan darat, minyak yang terdapat dalam ikan atau
sejenisnya terdiri dari triglyserida yang memiliki ciri-ciri
khas yaitu: mengandung banyak jenis asam lemak, banyak
12
ikatan rangkap (senyawa tidak jenuh) dan asam lemak dengan
atom C yang panjang misalnya 22 atau 24 atom C. sebab
minyak yang terdapat dalam ikan mengandung ikatan tidak
jenuh maka minyak ini relatif mudah rusak dan sangat
memengaruhi kecepatan penurunan mutu berupa rancidity. Di
lain pihak minyak dari ikan relatif banyak memiliki nilai
gizi yang sangat berbeda yaitu adanya asam minyak jenis
3 (ikatan rangkap dimulai dari atom C no.3) dapat mencegah
pengapuran kolesterol dalam pembuluh darah terutama arteri
yang dapat dipakai sebagai bahan pencegah terjadinya penyakit
jantung sebab arteriosklerosis. Jenis asam lemak 3 ini
yang ada dalam ikan terutama yaitu C 20 : 5 3 (eicosa penta
enoic acid/EPA) dan C22:6 3 (decosa hexa enoic acid/DHA).
Adanya asam lemak dengan rantai atom C yang panjang dan
banyak ikatan rangkap ini diperkirakan dari hasil sintesis
oleh ikan ini tetapi berasal dari rantai makanan yang
dikonsumsinya yaitu plankton (Sunarya, 1996). Pada Tabel 2.3
disajikan tipe ikan berdasar kandungan protein dan lemak.
Sedangkan kandungan jenis asam lemaknya disajikan pada
Tabel 2.3. Tipe Ikan berdasar Kandungan Protein dan Lemak
Sumber: Stanby 1962 dalam Harikedua 1994
Kategori Tipe Ikan
A Lemak rendah (< 5%), Protein tinggi (5-20%); ikan mas, cod, flounder,
haddock, hale, belanak, whiting, ocean perch, kepiting, kerang-kerangan,
udang.
B Lemak sedang (5-15%), protein tinggi (5-20%); maderel, anchovies (teri),
hering (tembang, japuh,salmon,sardine).
C Lemak tinggi (>15%), protein rendah (<15%).
D Lemak rendah (<5%) Protein sangat tinggi (>20%); cakalang, tuna,
halibut.
E Lemak rendah (<5%) protein rendah: Butter clams, oyster.
13
Tabel 2.4. Kandungan Asam Lemak Pada Ikan
Sumber: Adawyah, 2007
Lipid merupakan komponen yang berperan terhadap
cita rasa (flavor) ikan. Selain itu, sebagai sumber kalori yang
penting. Setelah tertangkap, lemak ikan peka terhadap cita rasa
dan nilai gizi. Oksidasi lemak pada produk olahan seperti ikan
asin, ikan beku dan lain-lain mengakibatkan ketengikan
(rancidity) yang dapat menurunkan mutu produk.
Protein
Kadar protein dari ikan yaitu konstan antara 15-20%
tergantung dari jenisnya dibanding dengan kadar air dan kadar
lemak. Jenis asam amino yang terkandung dalam protein ikan
yaitu cukup lengkap khususnya asam amino esensial
(isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenyl alanine,
threonine, tryptophan dan valine). Dari asam amino esensial
ini lysine yaitu paling mudah rusak terutama sebab
thermoprocessing. Hal ini disebabkan sebab lysine
mengandung dua gula amino (NH2) yang mudah rusak atau
mudah bereaksi (Sunarya, 1996).
Asam Lemak Kandungan(%) dari Total Berat Asam
Jenuh
Mirisit
Palmitat
Stearat
Tidak Jenuh
Arachidonat
Clupanodonat
Erucat
Godoleat
Linoleat dan linolanat
Oleat
Zoomerat
5-7
10-20
1-3
18-22
7-15
12-16
10-18
10-18
7-8
10-12
14
Tabel 2.5. Kandungan Asam Amino Pada Daging Ikan
Asam Amino Kandungan (mg%)
Lysine*
Tryptophan*
Histidine*
Phenilalanine*
Leucine*
Isoleucine*
Threonine*
Methionine*
Cysteine*
Valine*
Alanin**
Arginin**
Asam asparginat**
Asam glutamate**
Glisin**
Prolin**
1,9-22,8
1,0
0-470,0
0,5-1,8
3,8-7,1
3,4
0,5-11,0
11,6
5,6
3,5-4,7
10,5-72,0
0-5,8
1,9-12,0
8,0-20,0
18,0-166,0
0,5-6,3
Ket: * asam amino esensial
** asam amino non-esensial
Sumber: Adawyah, 2007; Harikedua 1994.
Menurut Bahar (2006), protein pada daging ikan dapat
dibagi dalam 3 kelompok yaitu:
1. Protein struktural, yaitu aktin, myosin, tropormiosin, dan
aktomiosin, yang berkontribusi 70-80 persen dari total
kandungan protein. Protein struktural bersifat larut dalam
larutan garam yang berkekuatan ion tinggi (± 0.5 M).
2. Protein sarkoplasma, yaitu mioalbumin, globulin, dan
enzim, yang bersifat larut dalam larutan garam yang
berkekuatan ion rendah (< 0.15 M). Protein sarkoplasma
berkontribusi 25-30 persen dari total protein.
3. Protein jaringan ikat (kolagen).
Titik isoelektrik (pI) protein ikan ada di sekitar pH 4,5-
5,5. Pada kisaran pH ini , protein memiliki daya larut
paling rendah. Struktur protein akan mudah berubah dengan
perubahan perlakuan. Perlakuan dengan pemberian garam
konsentrasi tinggi atau pemanasan akan menyebabkan protein
15
myofibril terdenaturasi (struktur protein awal berubah dan
perubahan struktur bersifat satu arah/irreversible). Oleh
aktivitas enzim, reaksi biokimia dan bakterial, molekul protein
dapat diuraikan menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana
yaitu asam-asam amino yang penting bagi tubuh. Selain pada
daging ikan, sirip, kulit, enzim, hormon, darah, pigmen otot, sel
hati dan ginjal serta bagian isi perut lainnya hampir seluruhnya
bersifat protein (Bahar, 2006).
Di negara berkembang terutama Asia, tampaknya ikan
merupakan sumber protein hewani yang sangat penting sebab
relatif terjangkau oleh sebagian besar lapisan masyarakat, dan
di negara kita ternyata 60 persen dari total protein hewani yang
dikonsumsi masyarakat yaitu dari ikan (James, 1998).
Mineral
Mineral yang terkandung dalam ikan cukup banyak
jenisnya yaitu Ca, Fe, K, Na, dll. Berbeda dengan bahan
pangan yang berasal dari darat di mana kadang-kadang
tidak/sedikit sekali mengandung yodium yang merupakan
penyebab adanya gondok endemik, ikan yang berasal dari laut,
secara alamiah sudah mengandung unsur-unsur yodium
ini .
16
Tabel 2.6. Kandungan Mineral dari Bagian Daging
yang Dapat Dimakan
Mineral Kandungan rata-rata %
Kalium
Klorida
Fosfor
Sulfur
Natrium
Magnesium
Kalsium +)
Ferrium
Mangan
Zink
Flourine
Arsenik
Kopper
Yodium
300
200
200
200
63
25
15
1,5
1
1
0,5
0,4
0,1
0,1
*) Stansby, 1962
+) Nilainya lebih tinggi ( 200 mg % pada ikan kaleng
termasuk tulang)
Vitamin
Vitamin yang larut dalam air (B dan C) maupun vitamin
yang larut dalam minyak (A,D,E dan K) juga ada pada ikan.
Berbeda dengan vitamin A yang ada dalam bahan pangan dari
nabati yang berupa karotene (pro vitamin A), dalam ikan
mengandung vitamin A berupa retinol yang umumnya berupa
ester palmitatnya. Vitamin-vitamin ini ada dalam daging
ikan dan untuk vitamin A dan D pada beberapa jenis ikan
terkonsentrasi pada hatinya misalnya jenis tertentu pada ikan
cucut, ikan tuna, cod dll ( Sunarya, 1996; Tejasari, 2005).
17
Tabel 2.7. Kandungan Vitamin Ikan
dari Bagian yang Dapat Dimakan *)
Vitamin Rata-rata µg % Kisaran µg %
A +)
B :
Thiamine
Riboflavin
As.Nikotin
B 12
As. Pantotenat
Pyridoxin ++)
Biotin ++)
As. Folat++)
C
D +)
E +) ++)
total tocopherol
25
50
120
3
1
0,5
500
5
80
3
15
12
10-1000
10 – 100
40 – 700
0,5 – 12
0,1 – 15
0,1 – 1
50 – 1.000
0,001 – 8
71 – 78
1 – 20
6 – 30
4 - 35
*) Stansby, 1962.
+) lemak sedang dan tinggi
++) sedikit sekali datanya
Sumber: Harikedua, 1994
Glikogen
Glikogen yaitu sejenis karbohidrat majemuk, pada ikan
terdapat maksimum 0,6 persen. Glikogen sebagai cadangan
tenaga, memiliki arti penting pada saat ikan ditangkap
apalagi kalau harus bergulat menghadapi kematian, saat itu
glikogen akan terurai menjadi asam laktat hingga derajat asam
daging ikan meningkat, pH menurun mencapai suatu nilai
minimum dan saat itu ikan menjadi kejang (Harikedua,1994).
Urea
Menurut Harikedua (1994), bahwa golongan ikan
Elasmobranchia seperti cucut dan pari memiliki kadar urea
yang sangat tinggi dapat mencapai 2 persen dari berat kering.
Kadar urea ini menyebabkan produk olahan berbau pesing (bau
amoniak), sedangkan pada golongan Teleostei, kadar urea
hanya 0,05 persen saja.
Selain kandungan kimiawi makro (air, protein, lemak dan
mineral) atau disebut proximate composition, ikan juga
mengandung bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi sangat
berpengaruh terhadap kecepatan pembusukan. Bahan kimia
ini yaitu senyawa nitrogenous terlarut tergolong pada
non protein nitrogen berupa trymethylamin oksida TMAO,
trymethylamin (TMA), asam amino bebas, karnosin, anserine,
senyawa nitrogen lain dan asam nukleat. Senyawa-senyawa ini
18
merupakan faktor utama yang menyuguhkan bau dan cita rasa
pada ikan, selain itu memiliki arti yang sangat besar pada
saat kemunduran mutu berlangsung (bakterilogis dan kimiawi).
Asam amino bebas kadarnya sangat kecil pada ikan yang baru
ditangkap, tetapi kadarnya segera meningkat setelah ikan mati /
post mortem. Suatu kekecualian pada ikan tuna ialah dagingnya
mengandung kadar histidin yang sangat tinggi (Harikedua,
1994; Sunarya, 1996).
Sebagian besar unsur nitrogen yang terdapat pada ikan
terikat dalam protein. Tetapi, kira-kira 1/10 dari unsur N pada
golongan ikan Teleostei dan 1/3 unsur N pada golongan ikan
Elasmobranchia berada dalam bentuk senyawa ekstraktif
nitrogenous. Salah satu senyawa nitrogen yang memiliki arti
penting sebagai kriteria kemunduran mutu ikan laut secara
obyektif yaitu TMAO; kadarnya sekitar 40-100 mg%, pada
ikan-ikan demersal ada yang mencapai 150 mg%. Ikan darat
(air tawar) tidak mengandung TMAO, kalaupun ada rendah
sekali kadarnya, sekitar 5-20 mg% (Sunarya, 1996).
B. Proses Kemunduran Mutu
Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk
dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat
busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting
untuk diperhatikan. Oleh sebab penurunan nilai mutu
kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya
sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau
harga dari produk ini . Dengan demikian, nilai mutu
kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan.
Sifat mudah busuk ini disebabkan sebab daging ikan
merupakan substrat kehidupan yang baik bagi pertumbuhan
mikroba terutama bakteri. Tersedianya sumber makanan baik
makromolekul maupun mikromolekul, metabolit-metabolit
sederhana dan kadar air yang tinggi sangat sesuai untuk
pertumbuhan bakteri. Sifat segar hasil perikanan lebih disukai
19
daripada sesudah mengalami pengolahan, sebab cita rasa, sifat
fisik dan kimiawinya belum berubah. Dalam penanganannya
sifat segar ini harus diusahakan untuk dipertahankan
semaksimal mungkin. Sehubungan dengan hal ini maka
penting untuk mengetahui proses apa saja yang dapat
menurunkan nilai mutu kesegaran ikan. Setelah mengetahui
mengenai proses apa saja yang terjadi pada waktu
pembusukan, tentunya dapat diambil langkah pencegahan atau
perlakuan agar pembusukan dapat dihentikan atau diperlambat
prosesnya, sehingga daya simpan produk ini dapat tahan
lama. Di sinilah prosedur pengawasan mutu memegang
peranan penting mulai dari panenan bahan baku sampai produk
ini sampai di meja konsumen.
1. Pengertian Mutu Kesegaran
Istilah kesegaran ikan memiliki dua makna yang
berbeda. Konsep yang pertama mengaitkan pada proses
terjadinya penurunan mutu akibat terjadinya proses autolitik
atau enzimatik, sering juga disebut proses biokimia yang
terjadi segera setelah ikan itu mati. Konsep yang kedua
mengaitkan pada proses penurunan mutu akibat
deteriosasi/dekomposisi yang disebabkan oleh adanya aktivitas
bakterial. Konsep yang pertama dikenal dengan istilah
”kesegaran enzimatik”, sedangkan konsep yang kedua disebut
“kesegaran bakterial”. Kedua konsep ini dikembangkan dari
kenyataan bahwa selama periode post-mortem/kematian ikan,
penurunan kesegaran ikan terjadi oleh sebab aktivitas
enzimatik dan aktivitas bakteri (Sudarmawan, 2006).
2. Rigor Mortis
Rigor mortis yaitu keadaan di mana ikan menjadi kaku
beberapa saat setelah ikan mati (pengejangan sesudah mati).
Biasanya rigormortis disingkat “rigor” saja. Segera setelah ikan
mati, otot-ototnya menjadi lemas tak bertenaga dan mudah
20
ditekuk. Pada keadaan ini ikan berada dalam kondisi pra-
kejang (pre-rigor). Kalau ikan diberi rangsangan listrik pada
fase pre-rigor maka ototnya masih dapat berkontraksi. Setelah
beberapa saat otot akan mulai mengejang (memasuki tahap
kejang) dan makin lama makin keras dan kaku. Tahap ini
disebut “rigor”. Walaupun diberi rangsangan listrik, otot tidak
akan berkontraksi lagi, sebab otot secara mutlak telah
kehilangan zat yang memungkinkan otot berkontraksi. Masa
rigor ini dapat berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari,
tergantung dari sejumlah faktor. Setelah fase ini berakhir, otot
mulai menjadi lembek dan lemas lagi dan memasuki tahap
pascakejang (post rigor) ( Trucco et al,1981).
Rigor pada ikan biasanya berawal dari ekor, berangsur-
angsur menjalar ke sepanjang tubuh hingga kepala sampai
seluruh tubuh menjadi kaku. Rigor disebabkan adanya
serentetan perubahan kimia yang kompleks pada otot ikan
setelah kematiannya.
Pada saat ikan ditangkap, ikan masih bernafas hingga
beberapa waktu kemudian. Seluruh jaringan peredaran darah
ikan masih mampu menyerap oksigen sehingga proses kimia
yang terjadi dapat berlangsung secara aerob (memanfaatkan
oksigen). Reaksi aerob yang terpenting yaitu reaksi
glikogenolisis, yaitu proses perubahan glikogen menjadi asam
sitrat dengan menghasilkan 30 unit ATP (Adenosin Tri
Phosphat). Selama ikan hidup, ATP yang terbentuk akan
digunakan sebagai sumber energi untuk melakukan berbagai
aktivitas kehidupan sehari-hari. Setelah ikan mati, tidak terjadi
aliran oksigen dalam jaringan peredaran darah sebab aktivitas
jantung dan kontrol otaknya telah terhenti. Akibatnya, dalam
tubuh ikan mati tidak terjadi reaksi glikogenolisis yang dapat
menghasilkan ATP. Terhentinya aliran oksigen ke dalam
jaringan peredaran darah menyebabkan terjadinya reaksi
anaerob yang tidak diharapkan sebab sering mengakibatkan
kerugian. Reaksi anaerob akan memanfaatkan ATP dan
21
glikogen yang telah terbentuk selama ikan masih hidup,
sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang.
Akibatnya, pH tubuh menurun dan jaringan otot tidak mampu
mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalannya). Kondisi
inilah yang dikenal sebagai rigor mortis (Sunarya, 1996).
Gambar 2.2. Skema Tahapan Penurunan Kesegaran Ikan Mulai dari Saat Ikan Mati Sampai Busuk
Sumber: Sunarya,1996
Kondisi seperti ikan hidup
PRE RIGOR
M A T I
AMAT SRGAR
A K S I E N Z I M A T I S
KURANG SEGAR
POST
RIGOR
RIGOR
MORTIS
SEGAR
BUSUK
AKSI MIKROBIOLOGIS -------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi lamanya ikan
dalam keadaan rigor menurut Hiroki ( 1991) yaitu :
a. Jenis ikan
Setiap jenis ikan memiliki fase rigor yang berbeda. Ada
yang memasuki fase rigor hanya dalam waktu 1 jam
saja, tetapi ada juga sampai 24 jam. Perbedaan ini
22
disebabkan oleh adanya komposisi kimia tubuh yang
tidak sama.
b. Ukuran ikan
Ikan-ikan berkuran kecil akan cepat menjadi rigor
dibandingkan ikan-ikan yang ukurannya lebih besar
pada jenis yang sama.
c. Kondisi fisik
Ikan yang kondisi fisiknya kurang baik, misalnya dalam
keadaan lapar, kurang gizi atau habis bertelur pada
waktu tertangkap akan cepat menjadi rigor.
d. Derajat keletihan
Jenis teknik penangkapan (jaring, pancing, trawl, dll)
biasanya sangat berpengaruh terhadap keletihan ikan.
Ikan yang berjuang keras terlalu lama menghadapi
kematian (waktu sekarat) pada waktu tertangkap
dengan alat penangkapan, akan kehabisan banyak
glikogen sehingga akan cepat sekali memasuki tahap
rigor.
e. Cara penanganan
Penanganan ikan pada tahap rigor bisa memperpendek
pengkakuan ikan, akan tetapi tidak demikian halnya
jika penanganan dilakukan pada tahap pre-rigor.
f. Suhu penyimpanan
Merupakan faktor penting yang memengaruhi cepat
lambatnya ikan masuk ke fase rigor. Suhu yang panas
akan mempercepat ikan menjadi rigor. Sebaliknya,
semakin rendah suhu penanganan ikan segera setelah
ditangkap, semakin lambat ikan memasuki tahap rigor
dan semakin panjang waktu rigor itu berakhir.
Segera setelah ikan mati, penurunan kesegaran ikan tidak
langsung disebabkan oleh adanya dekomposisi jaringan ikan
oleh aktivitas bakteri, melainkan oleh reaksi autolysis yang
disebabkan oleh adanya proses enzimatik. Pada Gambar 2.3
23
ditunjukkan hasil-hasil perubahan jumlah bakteri, nilai pH,
jumlah asam amino bebas, protein larut garam, total volatile
base (TVB) atau trimethylamin (TMA) dalam jaringan ikan
yang segera dimatikan/dibunuh dan di-eskan selama periode
waktu tertentu.
Gambar 2.3. Perubahan Jumlah Bakteri, Asam Amino, Protein
Larut Garam, TVB dan TMA Dalam Ikan Selama Penyimpanan Dalam Es.
Sumber: Sudarmawan, 1996.
Dari gambar ini terlihat bahwa tidak ada perubahan
yang berarti dalam jumlah bakteri atau produk hasil
dekomposisinya seperti TVB atau TMA sampai penyimpanan
10 hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penurunan
kesegaran ikan selalu terjadi diawali oleh proses autolysis atau
penurunan kesegaran telah berjalan sampai beberapa tingkat
sampai aktivitas bakteri mulai terjadi. Fenomena ini terjadi
pada hampir semua spesies ikan, walaupun ada perbedaan
dalam periode waktu terjadinya proses autolysis, sampai ke
24
waktu periode ketika bakteri berkembang dan aktivitas mulai
terlihat serta produk hasil dekomposisinya seperti TVB atau
TMA mulai bertambah (Sudarmawan, 1996).
Tingkat Perubahan Setelah Ikan Mati
Untuk mengetahui pada kondisi atau tingkat nilai mutu
kesegaran mana ikan itu berada, perlu untuk mempelajari
tingkat perubahan yang terjadi pada ikan ketika ikan itu mati,
sehingga kita dapat menetapkan nilai mutu kesegarannya.
Dalam hal ini kesegaran dapat didefinisikan sebagai suatu
keadaan dari tingkat kondisi ikan mulai dari kondisi hidup
sampai terjadinya proses dekomposisi atau pembusukan ketika
ikan itu mati. Dengan demikian ikan yang akan kita konsumsi
atau diolah dapat dinyatakan memiliki nilai mutu kesegaran
yang paling baik apabila kondisi dari ikan ini sama atau
hampir mendekati kesamaan dengan kondisi ikan pada waktu
ikan itu masih hidup. Tingkat atau tahap perubahan dari ikan
setelah ikan itu mati perlu untuk diketahui, sebab hal ini
berhubungan dengan nilai dari ikan itu sendiri secara
komersial.
Tingkat kondisi/perubahan pada ikan setelah ikan itu
mati, oleh Sudarmawan (2006) secara umum dapat dirunut
sebagai berikut :
a. Ikan hidup
- Keharmonisan atau keteraturan metabolisme terjaga.
- Oksigen disuplai ke setiap jaringan tubuh ikan.
- Derajat keasaman berada pada pH kira-kira 7,4.
b. Ikan baru mati
- Terjadi penghentian denyut jantung.
- Suplai oksigen ke setiap jaringan terhenti.
- Glikogen terdekomposisi menghasilkan asam laktat
yang berakumulasi daalm tubuh ikan dan menyebabkan
pH ikan menjadi turun.
25
- Creatinic phosphate (CP) hilang dan regenerasinya
tidak terjadi.
- Terjadinya penurunan kadar ATP oleh aktivitas
enzimatik.
c. Proses kekejangan/rigor mortis
- Ketika adenosine triphosphat (ATP) berkurang menjadi
80 persen atau lebih kecil lagi, otot-otot ikan akan
mengalami pengerutan menjadi kaku dan kejang
(proses rigormortis).
- Kekejangan terjadi pada pH 6,3 atau kurang ketika
asam laktat bereaksi dengan enzim glikogenase dan
ATPase.
- Derajat keasaman (pH) akan terus menurun sesuai
dengan tingkat kebusukan dari ikannya.
- Proses kekejangan terjadi mulai dari 1 sampai 7 jam
setelah ikan itu mati dan berakhir 5 sampai 22 jam
setelah ikan itu mati.
Hal ini menunjukkan bahwa proses kekejangan ikan
hanya berada dalam interval waktu yang singkat/pendek. Pada
Gambar 2.4 ditunjukkan perubahan yang terjadi setelah
kematian ikan sedangkan pada Gambar 2.5 ditunjukkan
formula reaksi penguraian senyawa glikogen yang
menghasilkan asam laktat yang mengakibatkan menurunnya
keasaman daging dan memacu aktivitas bakteri.
26
IKAN MATI
SIRKULASI DARAH
BERHENTI
Pemasokan O2
terhenti
Timbul Energi dari
Pemecahan ATP dan
Kreatinfosfat
Daging Ikan
jd Kaku
Enzim Katepsin
Aktif
Enzim ATP-ASE &
Kreatinfosfatkinase aktif
pH daging ikan
turun
ANAEROB
GlikogenAsam
Laktat
Glikolisa
Berlangsung
Lemak
Memadat
RESPIRASI
BERHENTI
Glikolisa -CO2+H2O
Aktin&Miosin Membtk
Aktimiosin
Protein Terurai
Berbagai
Metabolit
Terakumulasi
Timbul Bau
Bakteri tmbh
PesatOksidasi
Lemak:
Ketengikan
Perub.Fisikawi:
Timbul noda
berwarna
Gambar 2.4. Perubahan yang Terjadi pada Ikan
Setelah Mati.
Sumber: Sudarmawan, 1996.
27
Glukosa-1-Fosfat
aldolase
Fruktosa-6-Difosfat
fosfofruktokinase
Fruktosa-6-Fosfat
fosfoheksoisomerase
Glukosa-6-Fosfat
Glikogen Dekstrin Maltosa
Heksokinase
Fosfomonoesterase
Glukosa
fosfogliserat
Hidropasetonfosfat trioisomesase
fosfogliseratmutase
3-fosfogliserat
3-fosfogliseratkinase
1,3-1,3-difosfogliserat
Gliseraldehida-3-fosfodehirogenase
Gliseraldehida-3-fosfat
enolase
fosfogenolpiruvat
piruvatkinase
Asam piruvat
laktodehidrogenase
Asam Laktat
Gambar 2.5. Penguraian Glikogen Menjadi Asam Laktat Melalui Proses
Amilolitik (Hidrolisa), Fosforilasi dan Glikolisa.
Proses kemunduran mutu yang sangat dipengaruhi oleh
perubahan kimia dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:
autolysis, rancidity (ketengikan), dan reaksi kimia lainnya.
Autolysis biasanya terjadi pada senyawa kimia yang tergolong
non protein nitrogen dan rancidity akan terjadi pada senyawa
kimia yang tergolong minyak atau lemak, sedangkan reaksi
kimia lainnya yaitu perubahan kimia yang tidak tergolong
pada kedua jenis pembusukan ini .
Perubahan Aktivitas Enzim
Proses perubahan yang menyebabkan kemunduran mutu
(deteriorasi) dapat terjadi akibat penguraian yang dilakukan
oleh kegiatan enzim yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri.
sebab itu, proses ini disebut juga sebagai proses autolysis.
28
Autolysis yaitu proses penguraian organ-organ tubuh ikan
oleh enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan. Biasanya
proses ini mulai berlangsung setelah ikan melewati fase
rigormortis.
Selama ikan hidup, enzim yang terdapat di dalam tubuh
ikan dapat berasal dari daging ikan yaitu enzim cathepsin;
enzim pencernaan yaitu trypsin, chemotrypsin dan pepsin atau
enzim yang berasal dari mikroorganisme yang ada di dalam
saluran pencernaan ikan. Enzim ini berperan membantu proses
metabolisme makanan. Selama bekerja, enzim ini selalu
menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Dalam setiap
sel, kadar dan jenis enzim berbeda, serta memiliki
kekhususan dalam fungsinya membangun atau merombak
setiap sel dan jaringan makhluk hidup. Ada enzim yang mampu
mengurai atau membangun protein, lemak, karbohidrat dan
lain-lain.
Ketika ikan mati ternyata enzim ini masih
memiliki kemampuan untuk bekerja secara aktif. Tetapi
sebab jaringan otak sebagai pengontrol sudah tidak dapat
berfungsi lagi, maka sistem kerja enzim ini tidak
terkontrol lagi. Setiap enzim beraksi semaunya menurut
fungsinya yang berakibat jaringan dan organ tubuh ikan
berubah ke arah “membusuk”. Dinding usus, otot daging
menjadi busuk sebab senyawa kompleks dalam tubuh ikan
terurai menjadi senyawa sederhana. Kegiatan enzimatis di
dalam isi perut ikan yang kenyang dengan makanan (“feedy
fish”) sewaktu ikan ini tertangkap, segera mencerna otot
di sekitar rongga perut sehingga menjadi lembek. Biasanya,
proses autolysis akan selalu diikuti dengan meningkatnya
jumlah bakteri, sebab semua hasil penguraian enzim selama
proses autolysis merupakan media yang cocok untuk
pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lainnya (Anonimous,
2010).
29
Untuk menghindari autolysis, ikan sebaiknya dipanaskan
pada suhu 60-80
o
C dalam waktu yang relatif singkat misalnya
5 menit (blanching). Cara lain, untuk menginaktifkan aktivitas
enzim yaitu dengan menurunkan suhu hingga 0
o
C atau lebih
rendah lagi. Pengurangan aktivitas enzim ini dapat
dilaksanakan sebab kemampuan kerja enzim mencapai
maksimumnya pada suhu 37
o
C atau setelah ikan melewati fase
rigormortis. Dibandingkan dengan “blanching”, penggunaan
suhu rendah lebih menguntungkan sebab dengan cara ini
kondisi ikan masih tetap segar (Potter dan Hotchkiss 1995).
Glycolisis
Glycolisis yang normal pada ikan yaitu reaksi
perubahan dari glycogen menjadi asam piruvat yang akan
menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Proses yang normal
yaitu secara aerobik (dengan oksigen) yaitu: glycogen-
glicose-asam piruvat-acetil COA.
Perubahan glycogen menjadi asam ini menghasilkan
36 ATP tiap unit glukose. Tetapi pada ikan yang mengeluarkan
banyak energi, misalnya meronta sebab ikan kena
jaring/pancing maka perubahan glukose menjadi acetyl COA
sangat cepat (untuk menghasilkan ATP dan akan kekurangan
oksigen (menjadi terengah-engah). Oleh sebab itu, kekurangan
oksigen (tidak seimbang oksigen antara yang ada dan yang
diperlukan), maka reaksi menjadi anaerob yaitu glicogene-
asam piruvat – asam laktat. Asam laktat yang terjadi akan
mengubah suasana jaringan menjadi asam dan juga
berpengaruh terhadap proses biokimia lainnya yaitu merupakan
kondisi yang baik terjadinya oksidasi haemoglobin menjadi
methaeglobin, sehingga warna merah pada darah ikan akan
pudar.
Kondisi asam ini juga akan memengaruhi protein
menjadi denaturasi (warna daging menjadi keruh). Di samping
itu situasi asam ini akan berpengaruh pada tekstur yaitu
diduga akan mempercepat rusaknya kolagen sehingga daging
30
menjadi agak lembek. Hal ini dijumpai pada kemunduran mutu
ikan segar terutama ikan tuna segar untuk shasimi. Perubahan
ini juga dipengaruhi oleh temperatur di mana suhu yang
panas akan mempercepat reaksi. Oleh sebab itu, cara
pencegahannya yaitu setelah ikan tertangkap langsung
dimatikan sehingga tidak lama meronta dan diteruskan dengan
pendinginan yang sempurna dalam es. Pendinginan dengan es
biasanya dapat mempertahankan mutu sampai ± 16 hari untuk
ikan tuna dan di samping itu proses oksidasi dan autolysis lain
juga tetap berlangsung. sebab proses autolysis tidak/sulit
dihentikan maka untuk mempertahankan mutu untuk
penyimpanan lama diperlukan suhu yang sangat rendah yaitu
-60
o
C.
A T P
A D P + P
AMP + P
Deaminase
Nukleosida
hidrolase
HIPOKSANTIN +
RIBOSA-1-FOSFAT
Nukleosin fosforilase
A T P + AMP IDP + NH3
HIPOKSANTIN
INOSIN + P
IMP + NH3
fosfatase
Gambar 2.6. Penguraian ATP Dalam Daging Ikan Oleh Aksi Enzimatis
Selama Proses Pembusukan.
Sumber: Sudarmawan, 1996
3. Kemunduran Mutu sebab Perubahan Senyawa Kimia
NPN.
Ikan laut memiliki senyawa NPN yang berfungsi
sebagai pengatur tekanan sel sehingga ikan dapat berenang di
permukaan atau di bagian dalam air laut. Jenis dan jumlah
kandungan NPN sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
jenis ikan, seks, umur, musim dan lingkungan di mana ikan itu
hidup dan beberapa senyawa sangat berpengaruh terhadap
31
pembusukan yaitu: TMAO, asam nukleat, senyawa lain (urea)
dan asam amino bebas. Kadar NPN berbeda-beda dan besarnya
sampai 30 persen dari total nitrogen pada ikan.
Perubahan Trimethylamin Oksidase (TMAO)
Dalam ikan khususnya ikan laut selalu mengandung
TMAO yang kadarnya berbeda-beda yaitu:
- Ikan bertulang keras antara 100-400 mg/100 g daging.
- Ikan elasmobranch (sebangsa cucut) 500-1500 mg/100 g
daging.
- Crustaseae sampai 250 mg/100 g daging.
- Mollusca sampai 250 mg/100 g daging.
- Ikan air tawar sangat kecil.
Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi 2 jenis
yaitu: Mikrobiologis dan Autolysis.
CH3
NCH
CH3
0 CH3
CH3
CH3
N
N
CH3
CH3
+ C
H
H
= 0
TMA
TMAO
Autolysis
Mikrobiologis
Formaldehid
(DMA)
Gambar 2.7. Perubahan Kimiawi TMAO Secara Mikrobiologis dan
Autolysis
Perubahan Kimia
a. Urea
Urea terdapat pada ikan laut yaitu pada ikan bertulang
keras antara 0-3 mg persen sedangkan pada elasmobranch
antara 1000-2000 mg persen. Perubahan kimia urea dapat
32
berjalan sebab proses autolysis atau sebab bakteriologis yang
menghasilkan senyawa kimia yang sama yaitu amoniak.
NH2
=C
NH2
(H2O)
Autolisis (Amoniak)
+ CO22NH3
Mikrobiologis
O
(Urea)
Gambar 2.8. Perubahan Kimia dari Urea
Amoniak yang terjadi akan sangat memengaruhi mutu
yaitu bau. sebab perubahan urea ini diperoleh dari autolysis
atau mikrobiologis maka prosesnya sangat cepat seperti terjadi
pada ikan cucut, pari dan lain-lain. Untuk menghambat
perubahan urea ini tidak lain yaitu menghambat pertumbuhan
mikroorganisme atau autolysis dengan diberi es, dibekukan
atau ditambah garam.
b. Asam Amino
Asam amino terdapat pada ikan dengan kadar yang
berbeda-beda yaitu:
- Ikan berdaging putih: 50-250 mg/100 g daging.
- Ikan berdaging merah: 500-1500 mg/100 g daging.
- Mollusca dan crustaceae: 1000-3000 mg/100 g daging.
Asam amino yaitu senyawa kimia sumber makanan
utama mikroorganisme dan sangat mudah dipakai untuk
pertumbuhan sehingga ikan yang mengandung asam amino
tinggi akan cepat busuk dibandingkan dengan ikan berdaging
putih, demikian juga udang akan cepat busuk dibandingkan
ikan.
Asam amino ini misalnya: glysine, proline,
proginin serta histidin. Glisyne memberikan rasa agak manis
33
sehingga ikan/udang segar rasa agak manis dan sudah jelek
rasa manisnya akan hilang. Histidin banyak terdapat pada ikan
tuna, tongkol dan mackerel. sebab aktivitas bakteriologis
terutama Proteus morgani akan mengubah histidin menjadi
histamin.
NH2
NNN N
NH2
COOHCH2 CH
CH2 CH2Dekarboksilase/
bakteriologi
Gambar 2.9. Histamin
Oleh sebab itu, kadar histamin dapat dipakai sebagai
indikator sanitasi dan hygiene. Walaupun pada kadar 20 mg
persen belum menimbulkan keracunan tetapi dengan histamin
sebesar 20 mg persen ini mencerminkan penanganan/
pengolahan yang tidak higienis. Sedangkan bila kadar histamin
≥ 100 mg persen biasanya menyebabkan keracunan bila
dimakan. Untuk orang-orang yang sensitif dengan kadar 50 mg
persen sudah dapat merasakan adanya keracunan.
Asam amino lain yang penting pada pembusukan udang
yaitu tryptophan yang sebab aktivitas mikrobiologis
(Proteus morgani dan Eshercia) akan diubah menjadi indol
yang menyebabkan bau yang tidak enak pada udang. Kadar
indol ini merupakan faktor utama kriteria kesegaran udang.
c. Nucleotida
Nucleotida yaitu senyawa kimia termasuk ribose yang
terdapat pada RNA dan DNA serta adenosine yang terdapat
pada ATP. ATP sangat berpengaruh dalam proses kemunduran
mutu ikan.
Kandungan dan derifatnya di dalam ikan sampai
250 mg/100 g daging. Dalam proses pembusukan ATP dapat
diubah sebab proses autolysis yaitu:
34
ATP ADP AMP IMP INOSIN HYPOXANTINE
Perubahan biokimia ATP yang normal akan
menghasilkan energi dan energinya akan dipakai untuk
kontraksi otot dan mengikat jaringan, tetapi bila ATP berubah
seperti reaksi di atas dan sangat cepat maka energinya menjadi
besar dan terjadi rigor. Tetapi setelah itu energi habis sebab
hasil reaksi yaitu IMP tidak diubah lagi menjadi ATP. Bila
energi habis, otot tidak kontraksi dan jaringan tidak terikat
dengan baik lagi maka terjadilah postrigor dan akhirnya daging
menjadi lembek tidak kenyal lagi. Terjadinya IMP memberikan
rasa enak yang disebut middle quality. Oleh sebab itu, beberapa
orang lebih suka ikan yang tidak segar lagi sebab banyak
mengandung IMP yang memberikan rasa enak. Apabila
perubahan ini sudah sampai pada senyawa kimia terakhir
(hypoxantine) maka rasanya agak pahit dan memberikan bau
dan flavor yang tidak disukai (busuk). Deteksi pembusukan
dapat dengan menganalisis hypoxantine, tetapi dapat juga
dengan nilai K yang mencerminkan jumlah (kadar) IMP.
Perubahan ATP ini berlangsung setelah ikan mati, dan akan
menjadi awal pembusukan sebelum perubahan TMAO, urea
dan asam amino.
d. Rancidity
Rancidity yaitu suatu proses perubahan kimia dari
minyak/lemak dengan cara hidrolisa dan oksidasi.
d.1 Hidrolisa
Hidrolisa yaitu pemecahan minyak/lemak sebab
terhidrolisa menjadi asam minyak.
35
CH2-O-C
CH2-O-C
CH2-O-C
CH2OH
CHOH + 3R - C
CH2OH
GLISEROL
Minyak
R
O
O
R
R
O
+ H2O
Hidrolisa
O
OH
Asam Minyak
Gambar 2.10 Hidrolisa pada Ikan
Hidrolisa ini biasanya terjadi dalam ikan sebab adanya
enzim lipase yang dimiliki ikan atau dari mikroorganisme.
Adanya hidrolisa ini akan terbentuk asam lemak yang
akan tampak lebih encer dan tidak stabil (mudah rusak).
sebab reaksi hidrolisa yaitu autolysis maka reaksi ini
tidak dapat dihentikan secara total. Oleh sebab itu, ikan yang
disimpan dalam keadaan beku misalnya -20
o
C dalam waktu
lama minyak yang dikandungnya akan terhidrolisa menjadi
asam minyak yang berakibat berubahnya flavor dan juga
ditandai dengan tingginya bilangan asam. sebab enzim lipase
banyak terdapat dalam isi perut maka untuk mencegah
hidrolisa lemak, isi perut sebaiknya dikeluarkan sebelum
dibekukan, tetapi sebab dalam dagingnya juga mengandung
lipase, maka hirolisa tetap akan terjadi dalam waktu
penyimpanan relatif lama.
d.2. Oksidasi
Minyak dalam ikan terkenal dengan jenisnya yang
banyak mengandung ikatan rangkap (tak jenuh), ikatan rangkap
ini akan mudah teroksidasi baik dalam oksigen bebas
(udara) maupun bukan. Reaksi oksidasi yang bukan sebab
oksigen bebas disebut autoksidasi yang pasti berjalan, tidak
36
dapat dicegah walaupun ikan dikemas secara vakum atau
dibekukan. Reaksi autooksidasi dapat berjalan sebab ikatan
rangkap minyak memiliki gugus alilic.
H H
C C CH2
Gambar 2.11 Gugus Alilic
Gugus alilic ini dapat berfungsi sebagai radikal
yang akan membentuk peroksida yang akan memecah ikatan
rangkap ini melalui senyawa lebih pendek berupa keton
atau aldehid yang berbau tengik. Reaksi ini akan
dipercepat dengan adanya energi baik berupa panas, sinar
radioaktif maupun sinar violet. Selain itu, adanya logam,
oksigen akan mempercepat proses oksidasi, oleh sebab itu, ikan
harus disimpan dalam suhu rendah, tidak dalam kemasan
logam dan terlindung dari sinar.
Pemecahan asam lemak ini dapat berupa atom C
lebih pendek misalnya cis 4 heptanol yang akan bereaksi
dengan formaldehid menjadi suatu senyawa yang agak keras
dan mengakibatkan perubahan flavor, biasanya terjadi pada
ikan yang disimpan pada cold storage yang relatif lama maka
kondisi ini disebut cold storage flavor.
Dengan adanya proses rancidity ini maka dapat
dilihat kenyataan bahwa ikan-ikan berlemak tinggi seperti
lemuru, bawal, kembung dan lain-lain akan cepat busuk dan
lebih sulit dalam pengolahannya.
Reaksi Kimia Lainnya
Reaksi kimia lainnya yaitu reaksi kimia yang
merupakan faktor kemunduran mutu selama processing dan
37
dipengaruhi faktor luar yang tidak termasuk autolysis dan
rancidity. Reaksi spesifik untuk tiap jenis ikan yang lain dan
juga spesifik untuk teknik pengolahan yaitu:
a. Terjadinya bintik-bintik hitam pada udang segar/beku
(black spot).
Reaksi ini terjadi pada udang berupa timbulnya bintik-
bintik kehitaman pada permukaan udang terutama pada ruas-
ruasnya. Reaksi ini berupa perubahan asam amino trysine atau
precursor yang lain misalnya N-acetyl dopamine menjadi
melamins berupa polimer dengan berat molekul tinggi dan
berwarna cokelat kehitaman. Reaksi ini dipengaruhi oksigen
dan enzyme. Oleh sebab itu, pencegahannya dapat berupa:
pendinginan, penambahan antioksidan misalnya bisulphate,
segera dihilangkan kepala, sebab enzim banyak terdapat di
kepala udang.
b. Mailland browwing
Reaksi ini terjadi pada produk kering atau produk kaleng
misalnya tuna kaleng. Reaksi ini yaitu reaksi antara asam
amino bebas dengan gula pereduksi (biasanya ditambahkan
bumbu, saus) dan akan membentuk melananoidins yang berupa
polimer dengan berat molekul tinggi dan berwarna cokelat
gelap.
Pencegahannya dapat dilakukan dengan suhu serendah
mungkin dalam pengolahan atau dengan penambahan
bisulphate.
c. Reaksi pencokelatan sebab pigmen darah
Reaksi ini biasanya terjadi pada permukaan daging yang
difilet terutama pada ikan yang difilet sebelum rigor (prerigor).
Reaksi pencokelatan ini akan terlihat jelas pada ikan berdaging
putih. Reaksi ini terjadi sebab adanya oksidasi dari
haemoglobin yang mengandung besi bervalensi dua dan
teroksidasi menjadi methohaemoglobin yang mengandung besi
bervalensi tiga.
38
Untuk mencegah terjadinya pencokelatan ini yaitu
dengan mengeluarkan darahnya terlebih dahulu (bleeding)
sebelum difilet.
d. Reaksi pencokelatan sebab oksidasi minyak
Reaksi ini biasanya terjadi pada semua jenis ikan yang
telah mengalami oksidasi minyak (rancidity), terutama pada
produk kering atau produk yang telah disimpan lama. Hasil
oksidasi minyak akan membentuk senyawa aldehid atau
senyawa lain yang memiliki gugus karbonil. Gugus karbonil
ini akan bereaksi degan gugus asam amino dari protein atau
dan akan membentuk senyawa polymer yang berwarna coklat.
Cara pencegahannya yaitu dengan menghambat reaksi
oksidasi dari minyak.
e. Terjadinya warna hitam pada ikan kaleng
Biasanya terjadi pada ikan kaleng terutama pada kerang
yang dikalengkan. Penyebabnya sebab protein (asam amino)
yang mengandung sulfur dan dalam processing khususnya
sewaktu sterilisasi, unsur ini terpecah menjadi sulphida dan
bereaksi dengan kaleng yang mengandung Fe atau Sn.
Pencegahannya yaitu dengan menggunakan kaleng dari
alumunium.
f. Terjadinya warna kehijauan pada tuna kaleng
Ikan tuna banyak mengandung TMAO dan terutama ikan
kaleng yang diproses dengan pengeluaran darah (bleeding)
yang tidak sempurna. Reaksi ini terjadi antara pigmen darah
(haem) dengan TMAO dan senyawa sulphida dari pemecahan
protein menjadi senyawa kompleks TMAO-Haem-H2S atau
TMAO-Haem-Cysteine yang berwarna kehijauan. Cara
pencegahannya dengan mengeluarkan darah (bleeding) dengan
baik dan sempurna.
g. Terjadinya warna kebiruan pada kepiting kaleng
Kepiting mengandung haemocyanin yang mengandung
unsur Cu. Haenocyamin ini akan bereaksi dengan asam amino
39
yang mengandung sulfur dan membentuk kompleks yang
berwarna kebiruan. Pencegahannya dapat dilakukan dengan
penambahan EDTA (ethylene diamin tetraasetat) kira-kira 10
persen untuk mengikat Cu atau dilakukan precooking dengan
temperatur tidak terlalu tinggi untuk mengkoagulasi protein
dan membuang darah sebanyak-banyaknya.
4. Perubahan Akibat Aktivitas Mikroorganisme
Ikan seperti makhluk hidup lain, dapat dihuni oleh
sejumlah besar mikroorganisme. Namun, ikan hidup memiliki
kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme
sehingga tidak tampak sesuatu perubahan selama masih hidup.
Sebenarnya jasad mikroba ini tidak begitu menimbulkan
masalah terhadap ikan ketika masih hidup, sebab ikan
memiliki pertahanan sendiri terhadap serangan mikroba dan
juga kebutuhan makanan baginya tercukupi dari lingkungan
ikan itu hidup. Tapi masalah timbul ketika sumber makanannya
sudah tidak tersedia lagi ketika ikan ditangkap. Untuk
mempertahankan hidupnya mikroba memerlukan energi yang
diperoleh dari substrat tempat hidupnya. Daging ikan
merupakan substrat yang baik sebab dapat menyediakan
sumber makanan seperti nitrogen, karbon dan nutrient lainnya.
Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari ikan sangat
bervariasi tergantung pada suhu (musim,geografis), metode
penangkapan, metode penanganan (di kapal atau di darat).
Bakteri merupakan anggota mikroorganisme terbanyak pada
ikan.
berdasar tempat hidupnya, bakteri dibagi atas 3 golongan,
yaitu:
a. Bakteri termofilik; merupakan golongan yang dapat
hidup dengan baik pada temperatur tinggi (55-80
o
C).
Kemampuan hidup optimum pada temperatur 60
o
C.
40
b. Bakteri mesofilik; yaitu golongan bakteri yang dapat
hidup pada suhu 20-55
o
C. Kemampuan hidup optimal
pada temperatur 37
o
C.
c. Bakteri cryofilik; bakteri ini dapat hidup dengan baik
pada temperatur 7-20
o
C. Kemampuan hidup optimal
pada temperatur 10
o
C.
Temperatur lingkungan yang sesuai merupakan syarat
utama bagi bakteri untuk hidup. Selama ikan masih hidup, suhu
tubuhnya masih cukup rendah untuk menunjang pertumbuhan
bakteri secara optimal. Tetapi setelah ikan mati, dan proses
autolysis berlangsung, suhu tubuh ikan berangsur-angsur
meningkat sehingga akhirnya akan tercipta suatu kondisi yang
cocok untuk pertumbuhan bakteri. Adapun genus bakteri yang
umum ditemukan pada tubuh ikan yaitu : Achromobacter,
Pseudomonas, Flavobacterium, Micrococcus dan Bacillus.
Bakteri-bakteri ini terdapat di seluruh permukaan tubuh ikan,
terutama pada bagian insang, kulit dan usus. berdasar hasil-
hasil penelitian, ternyata kepadatan bakteri pada ketiga lokasi
ini tidaklah sama, yaitu:
a. Kepadatan bakteri pada insang berkisar 10
3
-10
5
/gram.
b. Kepadatan pada kulit berkisar10
2
-10
6
/gram
c. Kepadatan bakteri pada usus berkisar10
3
-10
6
/gram
Bakteri-bakteri ini menyerang tubuh mulai:
a. Dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian
dalam.
b. Dari insang atau luka-luka yang terdapat pada kulit
menuju ke arah luar dan jaringan tubuh bagian dalam.
c. Dari saluran pencernaan menuju ke jaringan daging dan
selaput rongga perut.
Segera setelah ikan mati, jutaan bakteri yang tadinya terpusat
pada ketiga lokasi tadi mulai bergerak aktif ke setiap penjuru
jaringan dan organ tubuh ikan. Khusus pada ikan yang terluka
akibat pisau, atau perlakuan kasar, sobekan-sobekan pada
tubuh akan lebih mempermudah invasi dan serangan bakteri
41
pembusuk sehingga laju pembusukan jauh lebih cepat
dibanding ikan utuh normal. Akibat serangan bakteri yang
dimulai sejak fase rigor mortis berlalu, mutu ikan mengalami
kemunduran. Hal yang tampak berupa lendir jadi pekat,
bergetah dan amis, mata terbenam dan sinarnya meredup
(memudar), insang dan isi perut berubah warna (diskolorisasi)
dengan isi perut berantakan serta bau menusuk. Akhirnya
seluruh tubuh ikan membusuk. Setiap jenis bakteri
menggerogoti bagian tubuh ikan sesuai spesialisasinya (melalui
enzim yang dihasilkannya), mengurai senyawa protein, lemak
dan lain-lain pada ikan sehingga terbentuklah senyawa-
senyawa sederhana seperti air, ammonia (NH3), trimethylamin
(TMA), gas hydrogen-belerang (H2S), karbon dioksida (CO2),
berbagai asam, dan senyawa-senyawa yang berbau busuk dan
tengik.
Dalam usaha pengawetan dan pengolahan ikan, semua
upaya selalu ditujukan untuk membinasakan atau menghambat
bertumbuhan bakteri. Banyak cara telah dilakukan untuk
mencegah atau menghambat proses perubahan yang
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme, antara lain: dengan
menyiangi ikan, merendam dalam zat kimia, menggunakan es
batu yang telah diberi zat antibakteri atau melalui proses
pembekuan.
C. Standar Mutu Bahan Baku
Standar mutu bahan baku bertujuan untuk memberi
batasan apakah suatu bahan baku memenuhi persyaratan
kesehatan atau tidak. Oleh sebab itu, kemungkinan suatu bahan
baku masih segar sebab proses kemunduran mutu belum
terlampau jauh tetapi mungkin tidak memenuhi persyaratan
kesehatan sebab terkontaminasi bahan yang membahayakan
kesehatan dari luar. Kontaminasi ini mungkin berasal dari
lingkungan atau selama panen, transportasi atau kegiatan
42
penanganan lain. Kontaminan bahan berbahaya terhadap bahan
baku dapat berupa fisik, kimiawi atau mikrobiologis.
1. Kontaminasi Bahan Fisik
Bahan fisik biasanya mengontaminasi bahan baku hasil
perikanan yaitu pasir, batu, logam (timbal, paku, dll) serta
serangga atau bagian-bagiannya (fragmennya) atau berupa
kotoran/bagian binatang lain seperti bulu, rambut, dll yang
disebut “filth”. Kontaminasi fisik sangat sering dijumpai
terutama pada bahan baku yang berasal dari budi daya hasil
perikanan yaitu daerah pantai atau kolam yang secara alamiah
mengandung bahan-bahan ini . Di samping itu sebab letak
geografis yaitu daerah tropis memungkinkan berbagai serangga
dapat hidup dengan baik. Adanya praktik penanganan yang
kurang baik atau tidak bertanggung jawab memungkinkan satu
bahan baku hasil perikanan dapat disengaja terkontaminasi
batu, paki, timbale, dll.
2. Kontaminasi Kimiawi
Beberapa bahan kimia dapat kita jumpai di sekitar budi
daya, baik dari limbah pabrik, misalnya logam berat atau bahan
kimia beracun lain. Adanya logam berat kemungkinan juga
berasal dari lingkungan secara alamiah, misalnya dari gunung
berapi (Hg), lumpur (Cd) dan lain-lain. Khusus untuk ikan
predator/kerang-kerangan/crustacean perlu diwaspadai adanya
residu merkuri sebab rantai makanannya.
Kontaminasi bahan kimia dari limbah pertanian perlu
diwaspadai adanya residu insektisida/pestisida yang biasanya
digunakan sebagai sarana produksi pertanian. Penggunaan
hormon dan antibiotik dalam budi daya perlu diwaspadai
adanya residu dengan memperhatikan waktu penggunaannya
dan harus dihentikan beberapa waktu (± 1 bulan) sebelum
dipanen guna memberikan kesempatan proses degradasi
biokimia dan ekskresinya. Kontaminasi kimia juga dapat
43
berupa adanya residu hidrokarbon misalnya mineral, minyak
pelumas dan lain-lain terutama bila terjadi suatu kebocoran/
musibah lain di perairan.
3.Kontaminasi Mikrobiologis
Hasil perikanan yang hidupnya selalu di perairan yang
secara alamiah merupakan tempat hidup mikroorganisme
memungkinkan terjadinya kontaminasi. Beberapa jenis
mikroorganisme perlu kita waspadai terutama mikroorganisme
patogen misalnya Vibrio, Kholera, Salmonella, Staphylococcus
aureus serta Listeria monositogenes yang keberadaanya sebab
berasal dari manusia. Vibrio parahaemolyticus secara alamiah
ada di perairan pantai dan perlu dibatasi jumlahnya dalam
bahan baku perikanan. Demikian juga adanya Escherchia coli
juga perlu dibatasi sebab mikroorganisme ini mencerminkan
adanya kontaminasi dengan faeces manusia/binatang mamalia
dan bahkan jumlah total mikroorganisme pun perlu dibatasi
sebab akan mempercepat pembusukan dan merupakan
indikator higiene.
44
45
PENANGANAN PRODUK HASIL PERIKANAN
A. Prinsip Penanganan Produk Hasil Perikanan
Mutu produk perikanan dipengaruhi oleh faktor-faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Seperti spesies, ukuran, jenis kelamin,
komposisi, penanganan telur, keberadaan parasit, racun,
kontaminasi polutan, dan kondisi pembudidayaan merupakan
faktor-faktor yang memengaruhi perubahan mutu intrinsik.
Sifat-sifat biokimia daging ikan, seperti rendahnya kadar
kolagen, relatif tingginya kadar lemak tak jenuh serta
komposisi nitrogen terurai yang memengaruhi autolysis,
perkembangbiakan mikroba yang sangat cepat, dan
pembusukan. Ikan berlemak seperti sarden dan haring
membusuk lebih cepat dibandingkan ikan yang tidak berlemak.
Ikan-ikan kecil yang diberi pakan terlalu banyak sebelum
penangkapan dapat mengalami pelunakan jaringan daging dan
dapat menjadi mudah rusak setelah ikan mati akibat autolysis.
Ikan-ikan berukuran lebih besar memiliki daya jual dan nilai
yang lebih tinggi sebab memiliki lebih banyak bagian yang
dapat dimakan dan tahan lebih lama.
Faktor-faktor ekstrinsik yang memengaruhi mutu ikan
tangkapan antara lain, lokasi tangkapan, musim, metode
penangkapan (jaring insang, tali tangan (handline), tali panjang
(longline) atau perangkap, dan lain sebagainya. Penanganan
ikan di atas kapal, kondisi kebersihan kapal penangkap ikan,
pemrosesan, dan kondisi penyimpanan. Pengembangan produk
perikanan bermutu tinggi dimulai dengan pertimbangan kondisi
hewan ini di dalam air, dampak stres lingkungan,
kekurangan nutrisi, atau perubahan-perubahan iklim pada mutu
BAB
III
46
intrinsik dan pengaruh metode penangkapan dalam keadaan
yang alamiah.
1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Mutu Ikan
Faktor-faktor yang memengaruhi mutu produk perikanan
sangat banyak jenis dan jumlahnya antara lain:
a. Dampak dari Spesies
Di masyarakat, spesies ikan tertentu sangat digemari dan
memiliki tingkat permintaan yang lebih tinggi dan harga yang
lebih mahal dari yang spesies lainnya. Sejarah menunjukkan
bahwa perilaku berubah dengan sangat perlahan sehingga
preferensi semacam ini tetap ada. Preferensi pribadi biasanya
dipengaruhi oleh penampilan, rasa, adanya duri-duri kecil, tabu
agama, dan kebiasaan masyarakat. Spesies ikan tertentu disukai
di satu belahan dunia, tetapi tidak disukai dibelahan dunia
lainnya. Sotong, misalnya, memiliki harga yang sangat tinggi
sebagai makanan di belahan Timur, tetapi di banyak tempat di
Amerika Serikat, sotong dianggap berguna sebagai umpan dan
sedikit yang digunakan untuk hal lain.
Tingkat pembusukan atau kerusakan bergantung pada
spesies. Sudah menjadi fakta yang diketahui secara luas bahwa,
ketika didinginkan atau dibekukan, spesies-spesies berlemak
seperti ikan sarden dan makerel akan membusuk lebih cepat
daripada spesies-spesies tak berlemak seperti ikan kod. Selain
itu, kod utuh akan lebih cepat membusuk daripada spesies-
spesies tertentu lainnya seperti halibut dan flounder.
Kandungan lemak ikan laut dapat sangat berbeda-beda
sepanjang tahun. Perbedaan komposisi dalam satu spesies
dapat menjadi penyebab adanya pengaruhsekunder dalam hal
kualitas. Ketika disimpan di tempat pendingin, ikan tak
berlemak dalam kondisi yang buruk jauh lebih cepat
membusuk daripada spesies yang sama dalam kondisi baik. Hal
ini dapat dijelaskan dengan kandungan glikogen dalam daging.
47
Pada ikan tak berlemak berkualitas rendah, kandungan
glikogen yang rendah menyebabkan peningkatan yang setara
dalam pH daging. Segera setelah mati, glikogen dalam daging
diubah menjadi asam laktat yang menentukan pH daging.
Bakteri-bakteri yang menyebabkan pembusukan lebih aktif
dalam daging dengan kadar pH lebih tinggi. Derajat keasaman
daging yang rendah juga memiliki dampak yang tidak
diinginkan pada kualitas ikan. “Kepucatan” yaitu suatu
keadaan yang berkembang pada bagian ikan mentah yang
dipotong dari ikan yang telah disimpan di es untuk waktu yang
lama. Daging ikan terlihat putih dan pucat, seperti ikan yang
sudah dimasak. Kondisi ini berkembang pada ikan yang
pH dagingnya jauh di bawah nilai 6,0 setelah ikan mati.Spesies
ikan yang ditangkap di perairan bersuhu hangat ini
disimpan lebih lama dalam es daripada ikan-ikan yang
ditangkap di perairan yang bersuhu lebih dingin. Namun,
alasan untuk hal ini , lebih berhubungan dengan flora
bakteri yang tumbuh pada permukaan ikan daripada ikan itu
sendiri. Bakteri yang berkembang pada permukaan spesies air
dingin bersifat psychophillic, yang berarti bahwa mereka lebih
tahan terhadap suhu rendah dan mampu menghasilkan
perubahan rasa dan bau pada suhu rendah. Bakteri pada ikan
dari perairan bersuhu hangat tidak tahan terhadap suhu dingin.
Efek spesies lainnya berkaitan dengan rute migrasi. Spesies-
spesies yang bermigrasi pada jarak jauh sebelum ditangkap
kemungkinan besar tidak akan berada dalam kondisi fisik yang
baik seperti spesies-spesies atau anggota-anggota dari spesies
sama yang mengikuti rute yang lebih pendek.
b. Efek Ukuran
Pada umumnya, ikan besar dari suatu spesies tertentu
dijual dengan harga yang lebih tinggi. Konsumen siap untuk
membayar lebih untuk udang besar, kepiting, lobster, atau
potongan bagian dari ikan besar sebab mereka lebih
48
memuaskan secara tampilan dan dari segi tata boga. Namun
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ikan yang lebih besar
dari suatu spesies tertentu memiliki rasa yang lebih baik
daripada angota-anggota spesies ini yang lebih kecil.
Pengolah membayar lebih untuk spesimen yang lebih besar
sebab persentase bagian yang dapat dimakan lebih
tinggi, biaya penanganan per unit beratnya berkurang, lebih
tahan lama dalam penyimpanan, dan lebih banyak produk
masal yang dapat dibuat dari spesies ini . Fakta yang tidak
dapat dipungkiri bahwa ikan besar lebih tahan lama dalam
penyimpanan daripada ikan kecil. Salah satu dari mekanisme
pembusukan utama yaitu penetrasi mikroorganisme dari
permukaan ke bagian dalam ikan. Ikan yang lebih besar
memiliki rasio lebih kecil antara permukaan terhadap volume
sehingga pada periode waktu yang sama, lebih sedikit dari
bagian dalam ikan berukuran lebih besar yang terkena
dampaknya. Selain itu, isi perut ikan besar seperti kod, tuna
dan salmon umumnya dikeluarkan di atas kapal penangkap
ikan. Spesies yang terlalu kecil atau terlalu banyak untuk
dikeluarkan isi perutnya di atas kapal mungkin hanya disimpan
utuh. Pengeluaran isi perut ikan di atas kapal memiliki dua
keuntungan pertama membuang isi perut secara signifikan
mengurangi degradasi yang disebabkan oleh aktivitas enzim
dan mikroba yang biasanya berlangsung dalam usus dan perut,
dan kedua lebih sedikit penanganan ikan yang diperlukan
setelah ikan ini mencapai pantai. Ikan-ikan ini dapat
ditempatkan di dalam lemari pendingin segera setelah isi
perutnya dikeluarkan dan tidak perlu dipindahkan dari lemari
pendingin untuk pengeluaran isi perut selanjutnya.
Efek ukuran lainnya yaitu pada pH daging. Ikan kecil dari
suatu spesies tertentu cenderung memiliki pH pasca kekakuan
yang lebih tinggi daripada ikan dari spesies yang sama yang
berukuran lebih besar, sehingga menyebabkan aktivitas bakteri
yang lebih besar.
49
c. Jarak ke pelabuhan
Seberapa cepat ikan dikeluarkan isi perutnya dan
ditempatkan ke dalam lemari pendingin mungkin berkaitan
dengan jarak yang harus ditempuh kapal dari pelabuhan asal ke
tempat penangkapan ikan. Pengeluaran isi perut umumnya
berlangsung dengan cepat di atas kapal buatan pabrik yang
menempuh jarak jauh dari pelabuhan dan dapat berada di atas
laut selama beberapa minggu. Namun di atas kapal-kapal yang
lebih kecil yang tidak memiliki kapasitas untuk pengeluaran isi
perut yang baik dan penyimpanan, ikan-ikan hanyadimuat
dalam keadaan utuh sampai kapal ini mencapai
pelabuhan. Seringkali, periode waktu ini dapat
berlangsung beberapa hari sehingga memberikan waktuyang
cukup banyak bagi bakteri dan enzim dalam usus untuk
bekerja.
Masalah jarak dari tempat penangkapan ikan ke
pelabuhan lebih nyata pada wilayah tropis dan subtropis
dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu udara yang lebih
panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya
apabila hasil tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan
sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin. Sengatan
sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan
mempercepat perubahan pasca kematian. Tingkat perubahan
terjadi bergantung pada rentang waktu penyimpanan dengan
suhu, dan spesies ini .
d. Tempat Penangkapan Ikan
Lokasi tempat penangkapan ikan memiliki peran tidak
langsung pada kualitas produk perikanan. Dalam suatu spesies,
rasa berbeda dari satu tempat penangkapan ikan dengan tempat
penangkapan ikan berikutnya dan juga berbeda dari satu
musim ke musim berikutnya, bergantung pada sifat
makanannya dan kondisi fisiologis spesies yang bersangku



.jpeg)
.jpeg)