• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label daun majapahit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label daun majapahit. Tampilkan semua postingan

daun majapahit

  

 














warga  negara kita  telah lama mengenal serta memakai  obat-obatan 

alami atau yang dikenal dengan obat tradisional. Obat tradisional lebih mudah 

diterima oleh warga  karena selain telah akrab dengan warga , obat ini 

lebih murah dan mudah didapat . ada  berbagai macam 

obat tradisional yang berasal dari tanaman dan telah banyak diteliti kandungan 

kimia dan khasiat yang berada di dalamnya. Namun, masih banyak tanaman yang 

belum diketahui kadar toksisitasnya, sehingga perlu diteliti lebih lanjut 

Semua yang diciptakan Allah SWT memiliki manfaat, termasuk tumbuh-

tumbuhan. Untuk pemanfaatan tumbuhan ini , diperlukan ilmu dan 

pengalaman (teoritis dan empiris) dengan penelitian eksperimen. Salah satunya 

dalam pemanfaatannya sebagai obat. 

Salah satu tumbuhan yang dipakai  oleh warga  sebagai obat 

tradisional adalah daun majapahit (Crescentia cujete L.). Secara empiris, daun 

majapahit banyak dipakai  oleh warga  sebagai obat borok, kudis, bisul, 

demam, dan radang selaput lendir hidung (Hariana, 2008). 

Untuk mengidentifikasi senyawa dari daun majapahit (Crescentia cujete 

L.) yang dapat berpotensi efek sitotoksik, maka perlu diketahui tentang nilai 

Lethal Concentration 50 (LC50). LC50 adalah kadar yang menyebabkan kematian 

50% hewan uji pada percobaan selama waktu tertentu (Lu, 1995). Berdasarkan 

LC50 dapat diketahui tingkat aktivitas suatu senyawa. Apabila nilai LC50 suatu 

senyawa hasil isolasi atau ekstrak tanaman kurang 1000 µg/ml, maka senyawa 

ini  dapat diduga memiliki efek sitotoksik 

Metode yang sering dipakai  untuk mengetahui potensi efek sitotoksik 

suatu senyawa adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Kelebihan metode ini 

adalah cukup praktis, murah, sederhana dan cepat tapi tidak mengesampingkan 

kekuatannya untuk skrining awal tanaman berpotensi antikanker dengan 

memakai  hewan uji larva artemia (Artemia salina L.). Prinsip metode ini 

adalah uji toksisitas akut terhadap artemia dengan penentuan nilai LC50 sesudah  

perlakuan 24 jam . Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality 

Test) dengan memakai  larva udang Artemia salina L. dianggap memiliki 

korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa antikanker, sehingga sering 

dipakai  untuk skrining awal pencarian senyawa antikanker (Carballo et at, 

2002). 

Parameter yang dipakai  untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis 

suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian. Keuntungan pemakaian 

Artemia salina sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, 

waktu yang relatif singkat dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan 

aktivitas biologi ,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah Dalam Al-Qur’an banyak 

disebutkan mengenai potensi tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan oleh 

manusia. Sebagimana yang telah dijelaskan dalam Q.S Asy-syu’ara / 26; 7 

Dan  Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya 

Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang 

baik ? 

 

 Kata ila pada firman-Nya di awal ayat ini : awalam yara ila al-aradh, 

apakah mereka tidak melihat ke bumi, merupakan kata yang mengandung makna 

batas akhir. Ia berfungsi memperluas arah pandangan hingga batas akhir, dengan 

demikian ayat ini mengundang manusia untuk mengarahkan pandangan hingga 

batas kemampuannya memandang sampai mencakup seantero bumi, dengan aneka 

tanah dan tumbuhannya dan aneka keajaiban yang terhampar pada tumbuh-

tumbuhannya. Kata karim, antara lain dipakai  untuk menggambarkan segala 

sesuatu yang baik bagi setiap objek yang disifatinya. Tumbuhan yang baik paling 

tidak adalah yang subur dan bermanfaat (Shihab, 2007) . 

Kata kam ambatna  berarti berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik 

yang ditafsirkan oleh mufassir yaitu berbagai tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi 

yang dimakan oleh manusia dan binatang, Zaujin berarti berbagai macam tanaman 

ditafsirkan sebagai  macam-macam tumbuhan dari berbagai jenis ada yang 

berwarna putih, merah dan lain-lain. Menurut Sa’id bin Jubair, yang dimaksud 

dengan karim ialah yang baik, demikian juga pendapat Qatadah. Sesuatu yang 

baik, banyak memberikan manfaat, yang dimakan oleh manusia dan binatang 

(Hatim, 1419 H. Al-Nasafi, 1419 H. Al-Dimasyqi, 1416 H). 

 Hubungan kutipan ayat ini  dengan penelitian ini yaitu pemakaian 

tumbuhan Majapahit atau pemanfaatan bagian akar dari tumbuhan ini  untuk 

mendapatkan makna  karim pada ayat ini  yang berarti segala sesuatu yang 

baik khususnya untuk pengembangan daun Majapahit pada pengobatan kanker. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi toksisitas pada ekstrak 

daun majapahit (Crescentia cujete L.) menurut metode Brine Shrimp Lethality 

Test (BSLT). Bentuk ekstrak dipilih dengan harapan akan didapatkan kandungan 

senyawa aktif yang ada di dalam daun majapahit (Crescentia cujete L.). Hasil 

penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi tentang potensi 

toksisitas akut pada ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete L.) sebagai salah 

satu tumbuhan yang telah dikenal dan dipakai  secara luas oleh warga . 

B. Rumusan Masalah 

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dirumuskan suatu 

permasalahan sebagai berikut: 

1. Apakah hasil fraksi daun majapahit (Crescentia cujete L.) berefek toksik 

terhadap larva Artemia salina Leach ? 

2. Berapakah nilai LC50 dari fraksi daun majapahit (Crescentia cujete L.) 

terhadap larva Artemia salina Leach ? 

3. Golongan senyawa apa yang terkandung pada fraksi daun majapahit 

(Crescentia cujete L.) yang memiliki toksisitas teradap larva udang 

Artemia salina L. ? 

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian 

1. Definisi Operasional 

Dalam penelitian ini dipakai  beberapa istilah, diantaranya uji toksisitas 

akut, Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), Artemia salina Leach, ekstrak metanol 

daun majapahit (Crescentia cujete L.) dan LC50. Agar tidak terjadi kekeliruan 

penafsiran pembaca terhadap variabel-variabel dalam judul, dengan demikian 

penjelasan mengenai istilah yang dipakai  dalam penelitian adalah sebagai 

berikut: 

a. Ekstraksi 

Ekstraksi merupakan metode penarikan senyawa kimia dari suatu simplisia 

berupa tumbuhan, hewan atau mineral. 

b. Ekstrak 

Ekstrak merupakan hasil ekstraksi atau penarikan senyawa dari suatu 

tumbuhuan, hewan atau mineral. 

c. Fraksinasi  

Fraksinasi merupakan metode pemisahan komponen senyawa dalam ekstrak 

menjadi senyawa sederhana namun belum murni. 

d. Fraksi 

Merupakan hasil dari pemisahan komponen-komponen kimia yang terkandung 

dalam ekstrak yang dipisahkan melalui beberapa metode tertentu. 

e. Uji toksisitas akut  

Merupakan metode uji yang dipakai  untuk mengetahui tingkat toksik dari 

suatu senyawa yang ditentukan dalam waktu singkat sesudah  pemberian suatu 

sediaan. 

f. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)  

Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode uji toksisitas untuk 

menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik. 

g. LC50 (Lethal Concentration 50) 

Nilai LC50 merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan 

penyebab kematian sebesar 50% dari jumlah hewan uji. 

2. Ruang Lingkup Penelitian 

Adapun ruang lingkup penelitian ini pada bidang farmasi dan fitokimia 

dimana pengujian dilakukan mulai dari pengolahan sampel yaitu daun majapahit 

(Crescentia cujete L.) mulai dari tahap maserasi sampel hingga uji Brine Shrimp 

Lethality Test (BSLT), waktu yang diperlukan kurang lebih empat minggu. 

D. Kajian Pustaka 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linda Fiskasari dengan judul 

penelitian Uji Toksisitas Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete L.) Terhadap 

Larva Grayak (Spodoptera litura) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa 

pemberian ekstrak metanol daun majapahit (Crescentia cujete L.) didapatkan hasil 

bahwa ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete) bersifat toksik terhadap larva 

grayak (Spodoptera litura) instar 2, dan LC50  dari percobaan ini adalah 

konsentrasi 38,13 % dalam kurung waktu 2 hari (48 jam), dalam penelitian ini 

juga didapatkan hasil bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun majapahit 

(Crescentia cujete L.) maka semakin tinggi pula mortalitas larva grayak 

(Spodoptera litura). 

Menurut Penelitian Anjar Mahardian Kusuma (2014) dengan judul Potensi 

Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Majapahit (Crescentia cujete L.) Terhadap Sel 

Kanker mengatakan bahwa daun majapahit memiliki beberapa kandungan kimia 

yang penting antara lain, flavanoid dan quercetin, tannin, fenol, saponin, 

antraquinon. Quersetin sebagai salah satu kandungan majapahit dilaporkan 

memiliki efek antikanker baik secara in vitro maupun in vivo. Kandungan 

senyawa quercetin dan antraquinon diduga sebagai senyawa yang bertanggung 

jawab dalam penghambatan angiogenesis. Penghambatan angiogenesis merupakan 

salah satu cara untuk menghambat penyebaran kanker. 

Penelitian selanjutnya oleh Binawati Ginting dengan judul penelitian Uji 

Toksisitas Ekstrak Daun (Myristica fragrans Houtt) Dengan Metode Brine Shrimp 

Lethality Test (BSLT) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak 

metanol daun pala menunjukkan adanya potensi toksisitas akut terhadap larva 

Artemia salina Leach yang ditunjukkan dengan harga LC50 < 1000 µg/ml menurut 

metode BSLT 

Berdasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya diatas maka 

dilakukanlah pengujian Ekstrak Metanol Daun Majapahit dengan metode Brine 

Shrimp Lethality Test (BSLT) untuk menguji apakah ekstrak dari daun majapahit 

dapat menunjukkan efek sitotoksik. 

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian  

1. Tujuan Penelitian 

a. Mengetahui hasil fraksi dari daun majapahit (Crescentia cujete L.) yang 

berefek toksik terhadap  larva Artemia salina Leach ? 

b. Mengetahui nilai LC50 dari fraksi daun majapahit (Crescentia cujete L.) 

terhadap  larva Artemia salina Leach ? 

c. Mengetahui golongan senyawa apa yang terkandung pada fraksi daun 

majapahit (Crescentia cujete L.) yang memiliki toksisitas teradap larva 

udang Artemia salina L. ? 

2. Manfaat Penelitian 

a. Untuk Peneliti 

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk memberikan 

informasi secara ilmiah tentang efek toksisitas dari daun majapahit (Crescentia 

cujete L.) terhadap larva udang (Artemia salina Leach) yang dapat mendukung 

pengembangan ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete L.) sebagai sumber 

senyawa bioaktif. 

b. Untuk warga  

Memberikan informasi kepada warga  khususnya untuk daerah Kecamatan 

Parangloe bahwa daun majapahit (Crescentia cujete L.) memiliki  efek toksik 

dan menekan resiko bahaya yang ditimbulkan daun majapahit (Criscentia 

cujete L.)  bagi manusia. Dan menambah pengetahuan warga  mengenai 

daun majapahit (Crescentia cujete L.) yang memiliki  aktifitas sebagai 

sumber senyawa bioaktif. 

c. Untuk Institusi 

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah, pengetahuan 

serta gambaran penemuan senyawa bioaktif dari ekstrak daun majapahit 

(Crescentia cujete L.). 


 

A. Uraian Tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete L.)  

1. Klasifikasi 

Klasifikasi daun majapahit (Crescentia cujete L.) menurut Nature Serve 

(2017) sebagai berikut:  

Kingdom : Plantae 

Phyllum   : Anthophyta 

Kelas  : Magnoliopsida 

Ordo  : Scrophulariales 

Famili  : Bignoniaceae 

Genus  : Crescentia 

Spesies  : Crescentia cujete L. 

2. Nama Daerah 

Majapahit (Crescentia cujete L.) memiliki nama daerah tabu kayu (Melayu), 

bila balanda (Makassar), buah no (Ternate), sikadel, sekopal, majapahit 

(negara kita ) (BPTH, 2012). 

3. Morfologi 

a. Batang 

Batangnya berkayu, bulat, bercabang simpodial, beralur dan bewarna putih 

kehitaman 

 

 

 

b. Daun dan Bunga 

Daunnya mejemuk, menyirip, lonjong, tepi rata, ujung membulat, pangkal 

meruncing, panjang 10-15 cm, lebar 5-7 cm, bertangkai pendek bewarna hijau dan 

pertulangan daunnya menyirip. Bunganya tunggal, di cabang dan ranting, kelopak 

bentuk corong, hijau pucat, benang sari empat, panjang ± 2 cm, putih, mahkota 

bentuk bibir 

c.  Buah dan Biji 

Buah no, bulat, diameter ± 2 cm, hijau kekuningan. Biji kotak, panjang ± 5 mm, 

coklat 

d. Akar  

Berakar tunggang, putih kotor 

4. Kandungan Kimia 

Majapahit diketahui memiliki kandungan senyawa bioaktif seperti saponin, 

flavanoid dan polifenol 

Menurut penelitian Linda Fiskasari  juga menyebutkan bahwa semakin 

tinggi konsentrasi yang dipakai  untuk perlakuan maka kandungan senyawa 

metabolit dalam ekstrak ini  lebih banyak sehingga daya racunnya semakin 

tinggi dengan demikian kematian larva semakin banyak. Peningkatan persentase 

mortalitas larva dengan semakin tingginya konsentrasi ekstrak selain karena 

besarnya kadar bahan aktif yang bersifat toksik juga diduga karena kurangnya 

nutrisi yang dikonsumsi oleh larva akibat adanya senyawa antimakan dalam 

ekstrak. Senyawa-senyawa ini  meliputi triterpenoid dan tanin. Hal ini 

menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang dipakai  untuk perlakuan 

maka kandungan senyawa metabolit dalam ekstrak ini  lebih banyak sehingga 

diduga ekstrak ini  memiliki  sifat antifeedan semakin tinggi, dengan 

demikian aktivitas makan larva semakin menurun. 

Dari hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa di dalam ekstrak metanol daun 

majapahit (Crescentia cujete) mengandung senyawa metabolit sekunder berupa 

alkaloid, fenolik, triterpenoid dan saponin 

Senyawa triterpenoid ini  bisa bersifat sebagai antifeedant atau penolak 

makan yang memiliki  bau menyengat sehingga larva menurun nafsu makannya 

dan kekurangan nutrisi sehingga menyebabkan mortalitas pada larva. Kandungan 

lain dari daun majapahit adalah saponin, cara kerja saponin adalah memasuki 

tubuh larva melalui kulit dengan proses adhesi dan menimbulkan efek sistemik. 

Penetrasi senyawa ini  ke dalam tubuh serangga melalui epikutikula serangga, 

senyawa ini  masuk ke dalam jaringan di bawah integumen menuju daerah 

sasaran. Masuknya saponin mengakibatkan rusaknya lilin pada lapisan kutikula 

sehingga menyebabkan kematian karena larva mengalami banyak kehilangan air 

Saponin juga dapat merendahkan tegangan permukaan. Terjadinya interaksi 

antara saponin dengan membran sel karena sifat aktif saponin pada permukaan sel, 

sehingga saponin mampu berikatan dengan fosfolipid dan kolesterol yang 

mengakibatkan terganggunya permeabilitas membran sitoplasma yang dapat 

mengakibatkan kebocoran materi intraseluler dan menyebabkan lisis sel 

(Maisaroh, 2007). 

  

 

12 

 

 

 

Jika sel lisis maka jaringan-jaringan yang ada pada sel ini  rusak dan 

tidak bisa saling berhubungan dengan jaringan yang ada pada sel lain. Hal ini akan 

mengakibatkan metabolisme sel berhenti dan larva mati. Selain masuk melalui 

kutikula, saponin masuk melalui makanan yang dapat memberikan pengaruh 

terhadap proses biologi tubuh dan metabolisme zat nutrisi dengan cara 

menghambat produktivitas kerja enzim kimotripsin yang mengakibatkan 

terganggunya sistem pencernaannya, terhambat perkembangannya dan akhirnya 

mati jika tingkat penghambatan pencernaan relatif tinggi (Widodo.2005). 

Saponin juga dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran 

pencernaan serta mengganggu penyerapan makanan (Shahabuddin, 2009). 

Cara kerja alkaloid adalah mendegradasi membran sel untuk masuk ke 

dalam dan merusak sel dan juga dapat mengganggu sistem kerja syaraf larva 

dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase. Terjadinya perubahan warna 

pada tubuh larva menjadi lebih transparan dan gerakan tubuh larva yang melambat 

bila dirangsang sentuhan serta selalu membengkokkan badan disebabkan oleh 

senyawa alkaloid (Erwin dan Shaleh, 2012). 

Sedangkan fenol dapat menyebabkan cacat bakar dan amat beracun (Cania 

dan Setyaningrum, 2013). 

5. Kegunaan 

Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam majapahit diantaranya zat 

lemak dan minyak yang mengandung linonen. Daging buah majapahit 

mengandung substansi semacam minyak balsem, 2-furocoumarinspsoralen, dan 

marmelosin (C13H12O3). Buah, akar, dan daun majapahit bersifat toksik. Daun 

  

 

13 

 

 

 

disebutkan dapat menyebabkan aborsi dan steril bagi wanita. Sementara ranting 

dipakai  sebagai racun ikan. Tanin yang dipakai  dalam jangka waktu lama 

bersifat antinutrisi dan menyebabkan kanker (Hariana, 2008). 

Majapahit berkhasiat sebagai obat disentri, diare, penyakit jantung, 

hipokondria (muram merasa sakit), melancholia (murung), sakit usus, koreng, 

kudis dan bisul (Agromedia, 2008). 

Efek farmakologis akar majapahit diantaranya mengobati demam. Kulit 

batang dan akar majapahit untuk obat nyeri jantung, stomakikum, dan sedatif. 

Daun majapahit untuk borok, kudis, eksim, bisul, abortif, demam, dan radang 

selaput lender hidung. Buah maja untuk disentri dan diare sedangkan kulit 

buahnya untuk pewangi (Hariana, 2008). 

B. Uraian Larva Udang (Artemia salina Leach) (Mudjiman, 1988: 15) 

1. Klasifikasi  (Dumitrascu, 2011) 

Divisi  : Animal 

Phylum  : Arthropoda 

Kelas  : Crustaceae 

Subkelas  : Branchiopoda 

Ordo  : Anostraca 

Familia  : Arthemidae 

Genus  : Artemia 

Species  : Artemia salina Leach  

 

 

  

 

14 

 

 

 

2. Morfologi (Mudjiman, 1998: 15-25) 

Artemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda, 

Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada diseluruh dunia. 

Udang ini toelran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris 

tawar hingga jenuh garam. Apabila kadar garam kurang dari 6%  telur Artemia 

akan tenggelam hingga telur tidak dapat menetas, sedangkan apabila kadar garam 

lebih dari 25% telur akan berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat 

menetas dengan normal (Purwakusuma, 2009). 

Tingkat hidup Artemia salina Leach mengalami beberapa tingkatan, tetapi 

secara jelas dapat dilihat dalam 3 bentuk yang sangat berlainan yaitu bentuk telur, 

nauplius (larva) dan artemia dewasa. 

Secara berkala, pada saat air laut atau danau menguap, partikel0partikel 

yang berwarna coklat, berdiameter sekitar 0,2-0,3 mm akan naik kepermukaan, 

oleh angina akan di bawa hanyut ke darat. Partikel ini  merupakan telur-telur 

inaktif atau tidur dari Artemia salina Leach. Sepanjang telur-telur ini  

terhidrasi dan dalam keadaan diapause, akan memiliki ketahanan dan kestabilan 

dalam penyiapan yang lama. 

Jika telur-telur ini  (yang embrionya dalam keadaan dispauze) 

direndam dalam larutan bergaram (air laut), telur akan menyerap air laut hingga 

menggembung. Proses penyerapan ini berlangsung secara hiperosmotik yaitu 

adanya tekanan osmose di dalam telur yang lebih tinggi dari pada di luarnya. 

sesudah  telur menggembung dan metabolism berlangsung terus, untuk 

mencapai tingkatan ini dibutuhkan waktu sekitar 15 jam. Terjadinya pemecahan 

  

 

15 

 

 

 

cangkang telur yang keras itu dibantu oleh kegiatan enzim yaitu enzim penetasan 

pada pH lebih dari 8. Sekitar 17 jam perendaman, embrio yang keluar dari 

cangkang yang masih dibungkus oleh selaput penetasan tumbuh terus hingga 

akhirnya keluar dari selaputnya menjadi makhluk hidup baru, yaitu waktu 19 jam, 

hingga rata-rata berkisar 24-36 jam. Dalam pengembangan selanjutnya, burayak 

mengalami metamorphosis. Pada tingkatan Instar I, kandungan energi masih 

cukup tinggi. Sekitar 24 jam kemudian, mereka sudah berubah menjadi Instar II 

mulai memiliki  mulut, saluran pencernaan dan dubur.Oleh karenanya mencari 

makanan. Demikian seterusnya sampai Instar XV. sesudah  itu berubah menjadi 

artemia dewasa. Proses ini biasanya berlangsung 1-3 minggu. 

Tubuh terbagi atas bagian kepala, dada dan perut, pada bagian kepala 

ada  2 tungkai mata, 2 antena dan 2 antenula. Dada terbagi atas 11 segmen 

yang masing-masing memiliki   sepasang kaki renang, sedangkan perut terbagi 

atas 8 segmen. Artemia salina dewasa bentuknya telah sempurna. Reproduksi 

artemia salina dapat dengan bertelur atau dengan melahirkan anak. Pergantian 

reproduksi ini dimungkinkan oleh jumlah klorofil dalam makanannya dan factor 

oksigen dalam lingkungan. Konsentrasi oksigen yang rendah dan klorofil yang 

tinggi dalam makanannya menyebabkan reproduksi dengan telur, dan sebaliknya 

akan menyebabkan reproduksi dengan melahirkan anak (Mudjiman, 1998). 

Kandungan kimia yang ada  dalam tubuh Artemia salina adalah protein 

dan asam lemak yang tinggi. Nilai nutrisi Artemia dewasa memiliki  

keunggulan, yaitu kandungan proyeinnya meningkat dari rata-rata 47% pada 

nauplius menjadi 60% pada Artemia dewasa yang telah dikeringkan (Gebo, 2000). 

  

 

16 

 

 

 

3. Lingkungan Hidup 

Artemia salina hidup planktonic diperairan berkadar garam tinggi, suhu 

yang dikehendaki berkisar antara 25oC-30oC, oksigen terlarut sekitar 3 mg/L dan 

pH antara 7,3–8,4. Artemia salina Leach tidak dapat mempertahankan diri dari 

pemangsa musuh-musuhnya karena tidak memiliki  alat atau cara untuk 

membela diri, salah satu cara menghindarkan diri dari pemangsa hewan lain 

dengan berpindah kekondisi alam berupa lingkungan hidup berkadar garam tinggi. 

Pada umumnya pemangsa tidak dapat hidup lagi pada kondisi itu (Mudjiman, 

1995). Makanan Artemia salina terdiri atas genggang retnik, bakteri cendawan. 

Dalam pemeliharaan makanan yang diberikan adalah katul padi, tepung terigu, 

tepung kedelai dan ragi (Mudjiman, 1995). 

4. Perkembangan dan Siklus Hidup 

Perkembangannya yaitu jenis biseksual dan jenis pertenogenik. Keduanya 

dapat terjadi ovovivipar atau avipar. Pada ovovivipar keluar induknya sudah 

berupa anak yang dinamakan naplius, sedangkan pada ovipar anak keluar dari 

induknya berupa telur, bercangkang tebal yang dinamakan siste. 

Perkembangbiakan jenis biseksual harus melalui proses perkawinan antara induk 

jantan dan induk betina. Pada jenis parthenogenesis tidak ada perkawinan karena 

memang tidak pernah ada jantannya. Jadi, betina akan beranak dengan sendirinya 

tanpa perkawinan (Mudjiman, 1995). 

5. pemakaian Artemia salina Leach dalam Penelitian 

Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining dalam 

menentukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan memakai  hewan uji 

  

 

17 

 

 

 

Artemia salina Leach. Artemia sebelumnya telah dipakai  dalam bermacam-

macam uji hayati seperti uji pestisida, polutan, mikotoksin, anestetik, komponen 

seperti morfin, kekarsinogenikan dan toksikan dalam air laut. Uji dengan 

organisme ini sesuai untuk aktifitas farmakologi dalam ekstrak tanaman yang 

bersifat toksik. Penelitian dengan memakai  Artemia salina memiliki beberapa 

keuntungan antara lain cepat, murah dan sederhana. 

Penetasan telur Artemia salina yang baik perlu memperhatikan beberapa 

faktor yaitu: hidrasi dari kista-kista, aerasi, penyinaran, suhu, derajat keasaman 

(pH), dan kepadatan telur dalam media penetasan. 

Penelitian dengan larva Artemia salina Leach telah dipakai  oleh Pusat 

Kanker Purdue, Universitas Purdue di Lafayette untuk senyawa aktif tanaman 

secara umum dan tidak spesifik untuk zat anti kanker. Namun demikian hubungan 

yang signifikan dari sampel yang bersifat toksik terhadap larva Artemia salina 

Leach ternyata juga memiliki  aktifitas sitotoksik. Berdasarkan hal ini  

maka larva Artemia salina Leach dapat dipakai  untuk uji sitotoksik (Mayer, 

1982). 

C. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) 

Metode BSLT merupakan langkah pertama untuk uji toksisitas suatu 

ekstrak atau senyawa. Metode ini merupakan metode hayati yang sederhana, cepat, 

murah, dan dapat dipercaya. Daya toksisitas suatu senyawa dapat diketahui dengan 

menghitung jumlah kematian larva Artemia salina dengan parameter Lethal 

concentration 50 (LC50). Suatu ekstrak dinyatakan bersifat toksik menurut metode 

BSLT ini jika memiliki LC50 kurang dari 1000 µg/ml. jika hasil uji BSLT 

  

 

18 

 

 

 

menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan bersifat toksik maka dapat dikembangkan 

ke penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa sitotoksik tumbuhan sebagai 

usaha pengembangan obat alternatif anti kanker. 

Belakangan ini telah banyak pengujian tentang toksisitas yang 

dikembangkan untuk pencarian produk alam yang potensial sebagai bahan 

antineoplastic. Metode pengujian ini  antara lain Simple Brench-Top Bioassay 

(terdiri dari Brine Lethality Test), Lemna Minor Bioassay dan Crown-Gall Potato 

disc bioassay) dan pengujian pada sel telur bulubabi. Pengujian efek toksik dengan 

larva Artemia salina dihitung dengan metode LC50 yang mana kematian sesudah  6 

jam pemaparan dimasukkan dalam kategori LC50 akut dan pemaparan sesudah  24 

jam digolongkan LC50 kronis, dan dalam pengerjaannya biasanya dipakai  LC50 

sesudah  24 jam meningat kelarutan ekstrak yang sukar larut membutuhkan waktu 

lebih panjang (Mc Laughlin, 1991). 

Metode ini sering dipakai  untuk praskrining terhadap senyawa aktif 

yang terkandung di dalam ekstrak tanaman karena murah, mudah (tidak perlu 

kondisi aseptis) dan dapat dipercaya. Sifat sitotoksik dapat diketahui berdasarkan 

jumlah kematian larva pada konsentrasi tertentu. Suatu ekstrak dikatakan toksik 

jika memiliki nilai LC50 kurang dari 1000 µg/ml sesudah  waktu 24 jam (Indriyani, 

Soetjipto, 2008). Pengujian ini dipertimbangkan sebagai uji pendahuluan toksisitas 

dan dipakai  untuk mengetahui toksin jamur, toksisitas ekstrak tanaman, logam 

berat, toksin cyanobacteria, pestisida, dan uji sitotoksisitas bahan pembuatan gigi 

(Carballo, et al., 2002). 

  

 

19 

 

 

 

Uji toksisitas larva Artemia salina (Brine Shrimp Lethality Test) sering 

dianalogkan dengan kamampuan suatu bahan obat yang memiliki efek antikanker. 

Metode ini disarankan untuk dipakai  pada skrining senyawa bioaktif bahan 

alam karena menunjukkan adanya korelasi dengan metode sitotoksik in vitro 

lainnya (Carballo, et al., 2002). 

D. Kanker 

Kanker adalah penyakit yang tidak mengenal status sosial dan dapat 

menyerang siapa saja dan muncul akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel 

jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker dalam perkembangannya. Sel-sel 

kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menimbulkan 

kematian (Dinnel, 1987). 

Kanker adalah suatu poliferasi sel-sel yang tidak teratur. Pada beberapa 

kasus, laju poliferasi sangat tinggi. Yang membedakan kanker dengan pembelahan 

sel normal yaitu sel-sel kanker tidak pernah berhenti membelah (Kimball, 1983). 

Sel kanker berbahaya karena dapat menyebabkan kematian baik secara 

angsung maupun tidak langsung. Sel kanker tumbuh dengan cepat, sehingga sel 

kanker pada umumnya cepat menjadi besar. Sel kanker menyusup ke jaringan 

sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti kepiting dengan kaki-

kakinya mencengkram alat tubuh yang terkena. Di samping itu, sel kanker dapat 

menyebar (metasis) ke bagian alat tubuh lainnya yang jauh dari tempat asalnya 

melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening sehingga tumbuh kanker baru 

di tempat lain. Penyebaran sel kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya 

  

 

20 

 

 

 

dapat merusak alat tubuh ini  sehingga fungsi alat ini  menjadi terganggu 

Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh terganggunya 

kontrol regulasi pertumbuhan sel-sel normal. Sebagai bukti dari terganggunya 

kontrol regulasi sel-selnya, kanker memiliki perbedaan yang mencolok 

dibandingkan dengan sel-sel normal dalam tubuh kita

1. Sel kanker tak mengenal program kematian sel yang dikenal dengan nama 

apoptesis. Apoptesis sangat dibutuhkan untuk mengatur berapa jumlah sel yang 

dibutuhkan dalam tubuh kita, yang mana semunya fungsional dan menempati 

tempat yang tepat dengan umur tertentu. Bila telah melewati masa hidupnya, 

sel-sel normal (nonkanker) akan mati dengan sendirinya tanpa ada efek 

peradangan (inflamasi). Sel kanker berbeda dengan karakteristik ini . Dia 

akan terus hidup meski seharusnya mati (Immortal). 

2. Sel kanker tidak mengenal komunikasi ekstra seluler atau asosial. Komunikasi 

ekstra seluler diperlukan untuk koordinasi antar sel sehingga mereka dapt saling 

menunjang fungsi masing-masing. Dengan sifatnya yang asosial, sel kanker 

bertindak semaunya sendiri tanpa peduli apa yanag dibutuhkan oleh 

lingkungannya` 

3. Sel kanker mampu menyerang jaringan lain (invasive), merusak jaringan 

ini  dan tumbuh subur di atas jaringan lain. 

4. Untuk mencukupi kebutuhan pangan dirinya sendiri, sel kanker mampu 

membentuk pembuluh darah baru (neoangiogenesis) meski itu tentunya dapat 

mengganggu kestabilan jaringan tempat ia tumbuh. 

5. Sel kanker memiliki kemampuan dalam memperbanyak dirinya sendiri 

(poliferasi) meski seharusnya ia sudah tak dibutuhkan dan jumlahnya sudah 

melebihi kebutuhan yang seharusnya. 

Kanker berkembang melalui serangkaian proses yang disebut 

karsinogenesis. Karsinogenesis pada dasarnya dibagi menjadi dua tahap utama 

yaitu inisiasi dan promosi, namun beberapa literatur menambahkan bahwa tahap 

promosi kanker diikuti oleh poliferasi metastatis dan neoangiogenesis 

Tahap inisiasi ialah tahap dimana agen karsinogenik (zat yang dapat 

menimbulkan kanker) mulai bekerja mengubah susunan DNA fungsional atau 

yang lenbih popular dengan nama “gen” sehingga gen itu menjadi berbeda dengan 

semestinya atau terjadi mutasi. Biasanya gen yang berubah susunannya adalah gen 

yang berfungsi untuk menekan pertumbuhan tumor (tumor suppressor gene), 

misalnya saja gen p53 

Agen karsinogenik banyak sekali macamnya dan secara umum sangat 

berkaitan dengan pola makan dan pola hidup manusia, seperti paparan sinar ultra 

violet, radiasi sinar gamma, asbestos, merkuri, asap kendaraan bermotor, asap 

rokok, bahan pengawet makanan seperti natrium benzoate, pewarna makanan 

misalnya rhodamin, tak ketinggalan pula bumbu masakan sintesis (penyedap 

masakan) yaitu MSG (Monosodium/Mononatrium Glutamat) yang makin hari 

makin beragam dan makin banyak dipakai  karena harganya yang relatif murah 

dan tersedia dalam berbagai rasa buatan. Ditambah dengan cara pemakaian yang 

jauh lebih praktis daripada bumbu dapur alami, makin lengkaplah alasan 

kebanyakan konsumen saat ini untuk memakai  bumbu sintesis itu 

E. Toksisitas 

Toksisitas ialah efek berbahaya dari suatu bahan obat pada organ target. 

Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan dan keberbahayaan 

zat yang akan diuji. Adapun sumber zat toksik dapat berasal dari bahan alam 

maupun sintetik. Toksisitas diukur dengan mengamati kematian hewan percobaan. 

Kematian dari hewan percobaan dianggap sebagai respon dari pengaruh senyawa 

yang diuji, sehingga hubungan dari respon dengan memakai  kematian sebagai 

jawaban toksis adalah titik awal untuk mempelajari toksisitas 

Toksisitas diidentifikasikan sebagai kemampuan suatu zat untuk 

menimbulkan kerusakan. Toksisitas merupakan suatu sifat relative dari zat kimia 

dan sejauh menyangkut diri manusia secara langsung maupun tidak langsung. 

Toksisitas selalu menunjukkan ke suatu efek berbahaya atau mekanisme biologi 

tertentu. Toksistas merupakan istilahrelatif yang biasa dipergunakan dalam 

membandingkan suatu zat kimia lebih toksik dari zat kimia lainnya. Perbandingan 

antara zat kimia seperti itu sangat tidak informatif, kecuali jika pernyataan itu 

melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan 

dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia ini  berbahaya. Karena itu, 

pendekatan toksikologi adalah dari segi tentang berbagai efek zat kimia atas 

berbagai system biologi dengan penekanan pada sistem mekanisme efek 

berbahaya zat kimia itu dan kondisi dimana efek berbahaya itu terjadi. Kematian 

merupakan salah satu diantara beberapa kriteria toksisitas. Salah satu caranya ialah 

memakai  senyawa dengan dosis maksimal, kemudian kematian hewan uji 

dicatat. Angka kematian hewan dihitung sebagai harga median Lethal Dose (LD50) 

atau median Lethal Concentration (LC50). 

Uji toksisitas dibagi 2 golongan yaitu uji toksisitas tak khas (akut, 

subkronis dan kronis) dan uji toksisitas khas yang meliputi potensi teratogenik, 

mutagenik dan karsinogenik. 

a. Uji Toksisitas Akut 

Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan 

terjadi dalam masa pemejanan dengan waktu yang singkat atau pemberiannya 

dengan takaran tertentu. Uji ini dilakukan dengan cara pemberian konsentrasi 

tunggal senyawa uji pada hewan uji. Takaraan konsentrasi yang dianjurkan paling 

tidak empat peringkat konsentrasi, berkisar dari konsentrasi terendah yang tidak 

atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan konsentrasi 

tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hamper seluruh hewan uji. Biasanya 

pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 

hari. 

b. Uji Toksisitas Subkronis atau Subakut 

Dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji ini  secara 

berulang-ulang terhadap hewan uji selama kurang dari 3 bulan. Uji ini ditujukan 

untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji, serta untuk melihatkan 

apakah spektrum toksik itu berkaitan dengan takaran konsentrasi. 

 

c. Uji Toksisitas Kronis 

Dilakukang dengan memberikan zat kimia secara berulang-ulang pada 

hewan uji selama lebih dari 3 bulan atau sebagian besar dari hidupnya. Meskipun 

pada penelitian dipakai  waktu lebih pendek, tetapi tetap lebih lambat 

dibandingkan Uji Toksisitas Akut maupun Uji Toksisitas Sub Akut. 

Belakangan ini telah banyak pengujian tentang toksisitas yang 

dikembangkan untuk pencarian produk alam yang potensial sebagai bahan 

antineoplastik. Metode pengujian ini  antara lain Simple Brench-Top Biassay 

(terdiri dari Brine Shrimp Lethality test, Lemna Minor Bioassay dan Crown-Gall 

Potato disc bioassay) dan pengujian pada sel telur bulubabi. 

Dengan berdasarkan pemikiran bahwa efek farmakologi adalah toksikologi 

sederhana pada osis yang rendah dan sebagian besar senyawa antitumor adalah 

sitotoksik, maka Brine Shrimp Lethality test dapat dipakai  sebagai uji 

pendahuluan senyawa antitumor. Senyawa yang memiliki  kemampuan 

membunuh sel kanker dalam kulur sel. Pengujian ini adalah pengujian letalitas 

yang sederhana dan tidak spesifik untuk aktifitas tumor, tetapi merupakan 

indicator toksisitas yang baik dan menunjukkan korelasi yang kuat dengan 

pengujian antitumor lainnya seperti uji sitotoksitas dan uji leukemia tikus. Karena 

kesederhanaan prosedur pengerjaan, biaya yang rendah serta korelasinya terhadap 

pengujian toksisitas dan pengujian antitumor menjadikan Brine Shrimp Lethality 

Test (BSLT) sebagai uji hayati pendahuluan untuk aktifitas antitumor yang sesuai 

dan dapat dilakukan secara rutin di Laboratorium dengan fasilitas sederhana. Uji 

toksisitas sebagai skrining awal dapat dilakukan dengan berbagai metode antara 

lain adalah metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Metode Brine Shrimp 

Lethality Test (BSLT) adalah suatu metode uji guna untuk menentukan toksisitas 

suatu senyawa bahan alam dengan cepat, murah da cukup akurat untuk penapisan 

ekstrak bahan aktif dengan memakai  hewan uji Artemia Salina Leach yang 

berumur 48 jam. 

1) Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) 

Pengujian efek toksik dengan larva udang Artemia salina dihitung dengan 

metode LC50 yang mana kematian sesudah  6 jam pemaparan dimasukkan dalam 

kategori LC50 akut dan pemaparan sesudah  24 jam digolongkan LC50 kronis, dan 

dalam pengerjaannya biasanya dipakai  LC50 sesudah  24 jam mengingat 

kelarutan ekstrak yang sukar larut membutuhkan waktu yang lebih panjang 

Uji toksisitas memakai  larva Artemia salina (Brine Shrimp Lethality 

Test) sering dianalogkan dengan kemampuan suatu bahan obat yang memiliki efek 

antikanker. Metode ini disarankan untuk dipakai  pada skrining senyawa 

bioaktif bahan alam karena menunjukkan adanya korelasi dengan metode 

sitotoksik in vitro lainnya .

Metode ini sering dipakai  untuk praskrining terhadap senyawa aktif 

yang terkandung di dalam ekstrak tanaman karena murah, mudah (tidak perlu 

kondisi aseptis) dan dapat dipercaya. Sifat sitotoksik dapat deketahui berdasarkan 

jumlah kematian larva pada pada konsentrasi tertentu. Uji pendahuluan toksisitas 

dipakai  untuk mengetahui toksin jamur, toksisitas ekstrak tanaman, logam 

 

berat, toksin cyanobacteria, pestisida, dan uji sitotoksisitas bahan pembuatan gigi 

Uji toksisitas akut dengan hewan uji Artemia salina dapat dipakai  

sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarah ke uji sitotoksik, karena 

ada kaitan antara uji sitotoksik akut dengan uji sitotoksik jika harga LC50 dari 

toksisitas akut < 1000µg/ml . 

2) Lemna Minor Biossay 

Metode ini terutama dipakai  sebagai uji pendahuluan ada  bahan 

yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan 

pengujian ini dapat diamati bahwa senyawa antitumor alami juga dapat 

menghambat pertumbuhan Lemna, walaupun korelasinya dengan pengujian 

antitumor lainnya kurang baik. Oleh karena itu pengujian ini lebih diarahkan untuk 

mencari herbisida dan stimulant pertumbuhan tanaman baru. 

3) Crown-Gall Potato Bioassay 

Metode inimerupakan metode pengujian toksisitas yang relative cepat 

pengerjaannya, tidak mahal, tidak memerlukan hewan percobaan serta 

menunjukkan korelasi yang sangat baik dengan uji antitumor lainnya. Crown-Gall 

merupakan suatu penyakit neoplastic pada tumbuhan yang disebabkan bakteri 

gram negatif Agrobacterium tumefaciens yang selanjutnya menyebabkan 

pertumbuhan jaringan tumor secara otonom dan tidak dipengaruhi oleh mekanisme 

kontrol normal tumbuhan. Pengujian dilakukan dengan mengukur kemampuan 

suatu senyawa menghambat pertumbuhan tumor Crown-Gall pada umbi kentang y 

ang di infeksikan dengan bakteri Agrobacterium tumefaciens. 

F. Ektraksi 

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi 

senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani memakai  pelarut yang sesuai, 

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dari massa atau serbuk yang 

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan 

Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik dan memisahkan senyawa yang 

memiliki  kelarutan berbeda–beda dalam berbagai pelarut komponen kimia yang 

ada  dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan, dan biota laut dengan 

memakai   pelarut organik tertentu (Dirjen POM, 2000). 

Pemilihan metode  ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang 

akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan 

terlebih dahulu. Ada be-berapa target ekstraksi, diantaranya 

1. Senyawa bioaktif yang tidak  diketahui 

2. Senyawa yang diketahui ada pada  suatu organisme 

 

3. Sekelompok senyawa dalam suatu  organisme yang berhubungan secara 

struktural. 

Jenis-jenis ekstraksi: 

a. Maserasi 

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan memakai  

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur 

ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan 

pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi 

termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada 

keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau 

pengadukan pada temperatur ruangan atau kamar 

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak dipakai . 

Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini 

dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam 

wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan 

ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan 

konsentrasi dalam sel tanaman. sesudah  proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari 

sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari  metode maserasi ini adalah 

memakan banyak waktu, pelarut yang dipakai  cukup banyak, dan besar 

kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa senyawa mungkin 

saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain, metode maserasi dapat 

menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil 

Selama proses maserasi atau  perendaman dilakukan pengocokan berulang-

ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih 

cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan 

turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak 

memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan 

simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh 

b. Perkolasi  

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna 

(Exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. 

Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana 

silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat seperti berpori. Proses terdiri dari 

tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya 

(penetasan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak 

(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000). 

Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam 

sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian 

bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan 

menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel 

senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel 

dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. 

Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak 

waktu 

c. Sokletasi 

Soxkletasi merupakan proses ekstraksi  dengan memakai  pelarut yang 

selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus soxklet sehingga terjadi 

ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik. Caranya, serbuk bahan 

ditempatkan pada selongsong dengan pembungkus kertas saring, lalu ditempatkan 

pada alat soxklet yang telah dipasang labu dibawahnya. Tambahkan pelarut 

sebanyak 2 kali sirkulasi. Pasang pendingin balik, panaskan labu, ekstraksi 

berlangsung minimal 3 jam dengan interval sirkulasi kira-kira 15 menit 

Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung 

selulosa (dapat dipakai  kertas saring) dalam klonsong yang ditempatkan di atas 

labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan 

suhu penangas diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari metode ini adalah 

proses ektraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil 

kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan 

banyak waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat 

terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih. 

d. Destillasi uap 

Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya dipakai  untuk 

mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama 

pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang tidak 

saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. 

Kerugian dari metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat 

terdegradasi 

Proses destilasi lebih banyak dipakai  untuk senyawa organik yang tahan 

pada suhu yang cukup tinggi, yang lebih tinggi dari titik didih pelarut yang 

dipakai  

e. Refluks  

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, 

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan 

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu 

pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna 

Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam labu 

yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik 

didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu. Kerugian dari metode ini 

adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi 

f. Infudasi 

Infudasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut air. Pada waktu 

proses infusdasi berlangsung, temperatur pelarut air harus mencapai suhu 90ºC 

selama 15 menit. Rasio berat bahan dan air adalah 1 : 10, artinya jika berat bahan 

100 gr maka volume air sebagai pelarut adalah 1000 ml. Cara yang biasa 

dilakukan adalah serbuk bahan dipanaskan dalam panci dengan air secukupnya 

selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90ºC sambil sekali-sekali diaduk. 

Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui 

ampas hingga diperoleh volume yang diinginkan. Apabila bahan mengandung 

minyak atsiri, penyaringan dilakukan sesudah  dingin 

g. Dekosi  

Dekosi merupakan proses ekstraksi yang mirip dengan infusdasi, hanya 

saja infus yang dibuat membutuhkan waktu lebih lama (≥30 menit) dan suhu 

pelarut sama dengan titik didih air. Caranya, serbuk bahan ditambah air dengan 

rasio 1:10, panaskan dalam panci enamel atau panci stainless steel selama 30 

menit. Bahan sesekali diaduk. Saring pada kondisi panas melalui kain flanel, 

tambahkan air panas secukupnya melalui ampas sehingga diperoleh volume yang 

diinginkan 

h. Ultrasound - Assisted Solvent Extraction 

Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan memakai  

bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah yang berisi 

serbuk sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonic dan ultrasound. Hal ini 

dilakukan untuk memberikan tekanan mekanik pada  sel hingga menghasilkan 

rongga pada sampel. Kerusakan sel dapat menyebabkan peningkatan kelarutan 

senyawa dalam pelarut dan meningkatkan hasil ekstraksi (Seidel, 2006). 

Getaran ultrasonik (>20.000 Hz) memberikan efek pada ekstrak dengan 

prinsip meningkatkan permiabilitas dinsing sel, menimbulkan gelembung spontan 

(cavitation) sebagai stres dinamis serta menimbulkan fraksi intertahap . Hasil 

ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses 

ultrasonikasi 

G. Fraksinasi dengan Metode Kromatografi Cair Vakum 

Kromatografi cair vakum adalah metode yang berguna untuk fraksinasi 

ekstrak kompleks dalam jumlah besar, karena cepat dan memiliki daya pemisahan 

yang efisien, kromatografi cair vakum (KCV) dapat dipakai  sebagai prosedur 

pemisahan awal suatu ekstrak .

Prinsip kerja kromatografi cair vakum (KCV) adalah adsorpsi atau serapan, 

sedangkan pemisahannya didasarkan pada senyawa-senyawa yang akan 

dipisahkan terdistribusi di antara fasa diam dan fasa gerak dalam perbandingan 

yang berbeda-beda . Prosedur kerja kromatografi cair 

vakum (KCV) memakai  alat bantu yang berupa pompa vakum untuk 

mempercepat laju alir fasa gerak selama proses pemidahan zat terlarut. 

Kolom kromatografi dekemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 

10-40 µm) dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. 

Pompa vakum dihentikan dan pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke 

permukaan penjerap lalu divakumkan kembali. Kolom dihisap sampai kering dan 

telah siap dipakai. Cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimulai dengan 

pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolarannya ditingkatkan perlahan-lahan. 

Kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi. Oleh karena itu, 

kromatografi vakum cair memakai  tekanan rendah untuk meningkatkan laju 

aliran tahap  gerak 

Kromatografi cair vakum (KCV) memiliki  keuntungan yang utama 

dibandingkan dengan kolom konvensional yaitu: 

a. Konsumsi tahap  gerak kromatografi cair vakum (KCV) hanya 80% atau lebih 

kecil dibanding dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor 

kecepatan alir tahap  gerak lebih lambat (10-100 µl/menit. 

b. Adanya aliran tahap  gerak lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih ideal 

jika digabung dengan spektrometer massa. 

c. Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solute lebih pekat karenanya 

jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas misal smpel 

klinis. 

H. Metode Pemisahan Secara Kromatografi Lapis Tipis 

Kromatografi lapis tipis merupakan suatu cara pemisahan dengan adsorbsi 

pada lapisan tipis adsorben yang dapat dipakai  untuk memisahkan berbagai 

senyawa seperti ion-ion organik, kompleks senyawa-senyawa organik dan 

senyawa-senyawa organik baik yang di alam maupun senyawa-senyawa organik 

sintesis 

Kromatografi lapis tipis atau TLC seperti halnya kromatografi kertas, 

murah mudah dilakukan. Kromatografi ini memiliki  satu keunggulan dari segi 

kecepatan dari kromatografi kertas. Proses kromatografi lapis tipis membutuhkan 

hanya setengah jam saja. TLC sangat terkenal dan rutin dipakai  diberbagai 

laboratorium 

KLT dipakai  secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama 

dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensic, baik untuk analisis kuantitatif 

dengan cara membandingkan nilai Rf (retardation faktor) solut dengan nilai Rf 

 

senyawa baku atau untuk analisis kualitatif. Persamaan unuk retardation faktor 

(Rf) dapat di lihat sebagai berikut: 

Rf    

Pada kromatografi lapis tipis, tahap  diam berupa lapisan tipis (ketebalan 0,1-

2 mm) yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga 

datar yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari polimer atau 

logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan pengikat, biasanya 

dengan kalsium sulfat atau amilum (Gritter et al, 1991: 109). tahap  diam yang 

dipakai  dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter 

partikel antara 10-30 µm. Penjerap yang sering dipakai  adalah silika dan serbuk 

selulosa, sementara mekanisme adsorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan 

adsorbsi 

tahap  gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering 

dipakai  dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. 

Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi 

campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga 

pemisahan dapat terjadi secara optimal 

Prinsip KLT adalah pemisahan secara fisikokimia. Lapisan yang 

memisahkan yang terdiri dari bahan yang berbutir-butir (tahap  diam), ditempatkan 

dalam penyangga berupa palat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran 

yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan, berupa bercak atau pita (awal). 

sesudah  palat atu lapisan ditaruh di dalam bejana yang ditutup rapat berisi tahap  

gerak, pemisahan terjadi selama pengembangan. Senyawa berwarna terdeteksi 

Lapisan tipis sering mengandung indikator flouresensi yang ditambahkan 

untuk membantu penampakan bercak berwarna pada lapisan yang dikembangkan 

indikator flouresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari 

dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar uv. Indikator flouresensi 

yang paling berguna ialah sulfide anorganik yang memancarkan cahaya jika 

disinari cahaya pada panjang gelombang 254 nm. Beberapa senyawa organik 

bersinar atau berflouresensi sendiri jika disinari pada panjang gelombang 254 nm 

atau 366 nm dan dapat tampak dengan mudah 

I. Tinjauan Islam Mengenai Penelitian Tanaman Obat 

Kesehatan merupakan sumber daya yang paling berharga, serta kekayaan 

yang paling mahal harganya. Ada sebagian orang yang menganggap bahwa agama 

tidak memiliki kepedulian terhadap kesehatan manusia. Anggapan semacam ini 

didasari oleh pandangan bahwa agama hanya memperhatikan aspek-aspek rohania 

belaka tanpa mengindahkan aspek jasmania. Agama hanya memperhatikan hal-hal 

yang bersifat ukhrawi dan lalai terhadap segala sesuatu yang bersifat duniawi. 

Anggapan seperti ini tidak dibenarkan dalam ajaran agama islam. Sebab pada 

kenyataannya Islam merupakan agama yang memperhatikan dua sisi kebaikan 

yaitu kebaikan duniawi dan ukhrawi.  

Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan mengenai potensi tumbuh-tumbuhan 

yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sebagimana yang telah dijelaskan dalam 

QS. Thaahaa / 20: 53. 

“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah 

menjdikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. 

Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan 

yang bermacam-macam” 

Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Misbah, bahwa Dia 

menurunkan dari langit air, maka Kami tumbuhkan dengannya berjenis-jenis 

tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam yang dimana merupakan bagian dari 

hidayahnya kepada manusia dan binatang guna memanfaatkan buah-buahan dan 

tumbuh-tumbuhan itu untuk kelanjutan hidupnya, sebagaimana ada  pula 

isyarat bahwa Dia memberi hidayah kepada langit guna menurunkan hujan untuk 

tumbuh-tumbuhan dapat dipahami dalam arti jenis-jenis tumbuhan, katakanlah 

seperti tumbuhan berkeping dua (dikotil) semacam kacang-kacangan, atau 

tumbuhan berkeping satu (monokotil) seperti pisang, nanas, palem, dan lain-lain 

Dalam buku Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 5, menjelaskan bahwa “Dan 

yang menurunkan air dari langit, kemudian kami tumbuhkan dengannya berjeni-

jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan” Maksudnya, berbagai macam tumbuh-

tumbuhan, tanaman, dan buah-buahan, ada yang asam, manis, pahit, dan yang 

lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan 

 

Dari ayat di atas ditarik sebuah pemahaman bahwa Allah swt memberi 

hidayah kepada manusia dengan menurunkan air dari langit berupa hujan, lalu 

ditumbuhkan dari air itu aneka macam dan jenis tumbuhan yang memberikan 

manfaat bagi kehidupan. Tumbuhan menjadi rezeki bagi makhluk hidup yang 

dijadikan sebagai bahan pangan, bahan sandang, bahan obat-obatan dan lain-lain. 

Begitu banyak manfaat tumbuh-tumbuhan bagi makhluk hidup, sedangkan 

tumbuhan merupakan makhluk yang tidak pernah mengharapkan balasan dari 

makhluk lain. 

Tumbuhan atau tanaman adalah apotek lengkap yang mengandung zat aktif 

dari variatif yang telah diciptakan Allah swt dengan hikmah dan takdirnya. Semua 

yang diciptakan Allah swt memiliki manfaat, termasuk tumbuh-tumbuhan. Akan 

tetapi untuk pemanfaatan tumbuhan ini  diperlukan ilmu dan pengalaman 

(teoritis dan empiris) dengan penelitian dan eksperimen. Salah satu contohnya 

dalam pemanfaatannya sebagai obat. 

Allah swt menciptakan tumbuhan dan menumbuhkannya di bumi tak lain 

untuk kebaikan bagi manusia karena banyak jenis tumbuhan yang memberikan 

banyak manfaat bagi manusia. Untuk itu pentingnya ilmu pengetahuan dalam hal 

ini. Sehingga pengolahan dan pemanfaatan tanaman termasuk tanaman majapahit 

ini dapat dilakukan secara maksimal dan sesuai dengan tuntutan Islam. 

Tumbuhan yang dapat dipakai  sebagai bahan obat merupakan tumbuhan 

yang dilebihkan atas tumbuhan lainnya oleh Allah, karena tumbuhan ini  

memiliki khasiat khusus yang dapat dimanfaatkan, namun untuk mengetahui 

khasiat atau kegunaannya perlu dilakukan penelitian tentang tanaman ini , 

sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Ar-Ra’d ayat 4 yang berbunyi:  

Dan di bumi ini ada  bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun 

anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak 

bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-

tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang 

demikian itu ada  tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir 

Dari Mujahid bahwa yang dimaksud dengan Jannaat  ialah kebun-kebun 

dan apa-apa yang ada di dalamnya, kebun-kebun yang banyak buah-buahan di 

dalamnya, di dalamnya ada  kebun-kebun berupa pohon anggur, wazar‟un 

berarti dari setiap jenis dari berbagai jenis benih atau biji-bijian atau tanaman-

tanaman dari berbagai jenis berupa benih yang bermacam-macam yang bermanfaat 

bagi manusia dan hewan. Sinwaanun yang berarti menjadikan beberapa cabang, 

Dari Khushaif bahwa yang dimaksud dengan shinwaan ialah cabang yang 

merupakan bagian dari pohon yang  pada dasarnya berkumpul menjadi satu 

kemudian menjadi banyak (Al Maragi, 1365 H. Arabiah Assuudiyah, 1419 H. 

Wahbah al-Zuhaili, 1418 H.) 

Dalam ilmu pengetahuan modern disebutkan bahwa Al-Qur’an memiliki 

beberapa tumbuhan yang dapat mencegah sampai menyembuhkan penyakit. Allah 

menyuruh manusia supaya memperhatikan keragaman dan keindahan disertai 

seruan agar merenungkan ciptaanNya yang menakjubkan. Rasululluh saw. 

bersabda, dalam hadits Abu Hurairah RA : 

 يَِبأ ِنْب ِديِعَس ُنْب ُرَمُع اَن َث َّدَح ،ُّيِرْي َبُّزلا َدَمْحَأ ُوَبأ اَن َث َّدَح ،ىَّن َثُملا ُنْب ُدَّمَحُم اَن َث َّدَح

 ِّيِبَّنلا ِنَع ،ُوْنَع ُوَّللا َيِضَر َةَر ْيَرُى يَِبأ ْنَع ،ٍحَاَبر يَِبأ ُنْب ُءَاطَع يَِنث َّدَح :َلَاق ،ٍنْيَسُح

 َلَع ُللها ىَّلَص :َلَاق َمَّلَسَو ِوْي« ًءاَفِش ُوَل َلَز َْنأ َّلَِّإ ًءاَد ُوَّللا َلَز َْنأ اَم»  )يراخبلا هاور( 

Artinya : 

Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan kepada kami, Abu Ahmad al-Zubairiy 

menceritakan kepada kami, „Umar bin Sa‟id bin Abi Husain menceritakan kepada 

kami, dia berkata: „Atha‟ bin Abi Rabah menceritakan kepadaku, dari Abi 

Hurairah r.a., dari Nabi saw. dia bersabda: Tidaklah Allah menurunkan suatu 

penyakit melainkan Allah menurunkan obatnya pula” (H.R. Al-Bukhari: 5678). 

Ungkapan “setiap penyakit pasti ada obatnya”, artinya bisa bersifat umum, 

sehingga termasuk di dalamnya penyakit-penyakit mematikan dan berbagai 

penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh para dokter. Allah sendiri telah 

menjadikan untuk penyakit ini  obat-obatan yang dapat menyembuhkannya. 

Akan tetapi ilmu ini  tidak ditampakkan Allah untuk menggapainya. Karena 

ilmu pengetahuan yang dimilki oleh manusia hanyalah sebatas yang diajarkan oleh 

Allah swt. Oleh sebab itu, kesembuhan terhadap penyakit dikaitkan oleh 

Rasulullah dengan proses kesesuaian obat dengan penyakit yang diobati. Karena 

setiap ciptaan Allah swt. Itu pasti ada penawarnya 

Tumbuhan Majapahit merupakan ciptaan Allah swt berupa tumbuhan yang 

dapat memberikan manfaat bagi umat manusia, namun untuk mengetahui atau 

membuktikan manfaat dari Majaphit maka perlu untuk diteliti lebih lanjut, hal ini 

bertujuan untuk menambah data ilmiah tentang tumbuhan ini , selain itu dari 

beberapa hasil penelitian telah membuktikan manfaat dari tumbuhan ini sebagai 

anti kanker, hal ini dapat menambah kaimanan kita kepada Allah swt, tidaklah 

Allah swt menurunkan penyakit jika Allah tidak menurunkan obatnya. 

Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan 

air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebbun-kebun yang 

beremandangan indah ?. Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-

pohonnya. Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain) ?. Sebenarnya mereka 

adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) 

Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi maksudnya Tuhan 

kalianlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air 

untukmu dari langit yaitu berupa air hujan ،lalu kami tumbuhkan dengan air itu 

kebun-kebun yang berpemandangan indah ,pemandangan yang baik bagi siapa 

saja yang melihatnya yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-

pohonnya karena kamu tidak ada kemampuan untuk hal itu ,apakah disamping 

Allah ada tuhan yang lain?, Sebuah pertanyaan pengingkaran, apakah ada Tuhan 

selain Allah ?, bahkan mereka sebenarnya adalah orang-orang kafir Makkah 

yang menyimpang mereka menyekutukan Allah (Al-Bagawi, 1471 H.).  



Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang dilakukan secara 

eksperimental laboratori. Perlakuan dengan pemberian ekstrak metanol daun 

majapahit (Criscentia cujete L.) terhadap larva Artemia salina Leach. 

2. Lokasi Penelitian 

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas 

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 

B. Instrumen Penelitian / Pengumpulan Data 

1. Alat-alat yang dipakai  

Alat-alat yang dipakai  dalam penelitian ini adalah aerator (Whale®), batang 

pengaduk, cawan porselin, chamber, corong buchner, corong kaca, erlenmeyer 

(pyrex®), gelas piala (pyrex®) 250 ml, gelas ukur (pyrex®), lampu pijar, lampu UV 

254 dan 366 nm, mikropipet (Nesco®), pipa kapiler (Nesco®), rak tabung, rotavapor 

(IKA®), sendok tanduk, seperangkat alat uji BSLT, seperangkat alat kromatografi cair 

vakum, seperangkat alat sentrifuge, spatel besi, tabung reaksi (pyrex®), tabung 

sentrifuge, timbangan analitik (Precisa®), timbangan kasar (O’ Hauss®), vial dan 

wadah maserasi. 

2. Bahan-bahan yang dipakai  

Bahan-bahan yang dipakai  adalah air laut, air suling, daun majapahit 

(Criscentia cujete L.) etil asetat, kertas saring, lempeng silica gel F254, n-heksan, 

metanol, ragi, silica gel 60 PF254, dan larva udang (Artemia salina Leach). 

C. Tekhnik Pengolahan 

1. Penyiapan Sampel 

a. Pengambilan Sampel 

Sampel penelitian yang dipakai  adalah daun majapahit (Crescentia cujete 

L.) yang berasal dari daerah Parangloe, Sulawesi-Selatan.Pengambilan sampel 

dilakukan pada pukul 09.00 WITA. 

b. Pengolahan Sampel 

Sampel yang telah diambil kemudian disortasi basah untuk memisahkan 

sampel dari kotoran-kotoran atau bahan asing lainnya. Kemudian sampel dicuci 

dengan air bersih yang mengalir untuk menghilangkan tanah atau pengotor lainnya 

yang melekat pada daun. sesudah  itu sampel dirajang kecil-kecil lalu dikeringkan 

dengan cara diangin-anginkan terlindung dari sinar matahari atau dimasukkan ke 

dalam lemari pengering. 

c. Ekstraksi Sampel 

Sampel daun majapahit (Crescentia cujete L.) yang telah kering ditimbang 

sebanyak 1000 gram untuk diekstraksi dengan metode maserasi memakai  pelarut 

metanol. Sampel dimasukan kedalam bejana maserasi kemudian sampel direndam 

dengan pelarut metanol. Wadah maserasi ditutup dan disimpan selama 24 jam di 

tempat yang terlindung sinar matahari langsung sambil sesekali diaduk, selanjutnya 

disaring, dipisahkan antara ampas dan filtrat. Ampas diekstraksi kembali dengan 

penyari yang baru dengan jumlah yang sama, dilakukan selama 3 hari. Ekstrak 

metanol yang diperoleh kemudian diuapkan cairan penyarinya dalam rotary 

evaporator hingga diperoleh ekstrak metanol kental. 

2. Partisi Cair - Padat 

Ekstrak kental metanol yang diperoleh dipartisi cair-padat memakai  

pelarut n-heksan sebanyak 18 kali. Ekstrak larut n-heksan ini  dipekatkan 

memakai  rotary evaporator lalu dimonitor toksisitas akutnya dengan uji BSLT 

memakai  larva Artemia salina Leach. 

3. Kromatografi Lapis Tipis 

a. Penjenuhan Chamber 

 Cairan pengelusi yang dipakai  dimasukkan ke dalam chamber setinggi 

lebih kurang 0,5 cm kemudian diberi kertas. Kejenuhan chamber ditandai dengan 

naiknya cairan pengelusi pada kertas saring hingga melewati kaca penutup. 

b. Penotolan Sampel Pada Lempeng 

Ekstrak metanol ditotolkan pada lempeng bagian batas bawahnya. Lempeng 

dielusi dengan eluen yang dikehendaki dalam chamber sampai cairan pengelusi 

mengelusi lempeng sampai batas akhir. Lempeng dikeluarkan dan diangin-anginkan. 

Amati noda yang terbentuk pada lempeng. Perbandingan eluen yang mengelusi 

sampel dengan baik dipakai  sebagai profil KLT. 

4. Fraksinasi Komponen Kimia  

a. Persiapan Kolom Kromatografi Cair Vakum 

 Senter glass kromatografi cair vakum dibersihkan kemudian dipasang tegak 

lurus. Adsorben (silika gel 60 PF254) dimasukkan dalam senter glass selanjutnya 

pompa vakum dijalankan hingga adsorben (silika gel) rapat atau mampat. 

b. Pemisahan Komponen Kimia 

Ekstrak larut metanol ditimbang sebanyak 2 gram. Kemudian ditimbang silika 

gel sebanyak 20 gram. Ekstrak larut metanol kemudian dilarutkan dengan sedikit 

metanol. Silika gel ditambahkan sedikit demi sedikit kemudian diaduk hingga 

homogeny didiamkan hingga kering. sesudah  kering dimasukkan ke dalam senter 

glass dan bagian atasnya ditutup dengan kertas saring. Ekstrak difraksinasi 

memakai  kromatografi kolom cair vakum (KCV) memakai tahap  diam silika gel 

60 PF254 dan tahap  gerak dengan gradien kepolaran yang meningkat berdasarkan profil 

KLT yang diperoleh. Hasil fraksinasi yang diperoleh masing masing diuji 

toksisitasnya dengan uji BSLT. 

5. Uji Toksisitas Akut 

a. Penyiapan larva Udang 

Langkah awal dalam penyiapan larva udang yaitu dengan merendam kista 

dalam wadah berbentuk kerucut yang berisi air laut atau air yang diberi garam dapur 

sebanyak 37 gram ke dalam 1 liter air tawar. Alat penetas dilengkapi dengan lampu 

sebagai sumber cahaya dan diberi aerator yang berfungsi sebagai penyuplai oksigen 

dan menjaga agar telur tidak mengendap. Ditimbang kista sebanyak 5 gram per liter 

air. Kista dimasukkan pada wadah dan akan menetas kira-kira 24 jam sesudah  

ditaburkan. Selanjutnya larva dipindahkan dalam kotak kecil berisi 500 ml air laut 

yang telah terbagi menjadi dua ruang yang dihubungkan oleh lubang-lubang kecil. 

Ruang penetasan diberi kondisi gelap sedangkan yang lain diberi penerangan dan 

aerator. Larva yang baik akan berenang menuju ruang yang terang karena mereka 

bersifat fototropik. Larva udang akan siap untuk dipakai  dalam pengujian sesudah  

berumur 48 jam. 

b. Pembuatan Konsentrasi Sampel dan Kontrol 

 Ekstrak metanol dari daun majapahit (Crescentia cujete L.) ditimbang 

sebanyak 50 mg. Kemudian ekstrak ini  dilarutkan dalam pelarut metanol 

sebanyak 5 ml sehingga diperoleh konsentrasi 10000 μg/ml sebagai larutan stok. 

Untuk membuat konsentrasi 10 μg/ml, 100 μg/ml dan 1000 μg/ml, maka dari larutan 

stok ini  dipipet ke dalam vial masing-masing 5 μl, 50 μl, dan 500 μl 

memakai  mikropipet, kemudian diuapkan dengan diangin-anginkan hingga 

pelarutnya menguap.   

c. Pelaksanaan uji 

 Pengujian sampel dilakukan dengan cara memasukkan masing-masing sampel 

ke dalam vial yang kemudian diuapkan dengan diangin-anginkan hingga pelarutnya 

hilang. 

 Selanjutnya vial diisi air laut 1 ml lalu dimasukkan 10 ekor Artemia salina 

Leach. Umur 48 jam yang sehat (bergerak aktif) dipilih secara acak lalu dimasukkan 

ke dalam vial yang berisi sampel yang bebas pelarut memakai  pipet tetes 

kemudian ditambahkan air laut sampai 5 ml. 

 Satu tetes suspensi ragi Saccharomyces cereviceae (3 mg/10 ml air laut) 

ditambahkan ke dalamnya sebagai makanan Artemia salina Leach. Vial diletakkan di 

bawah lampu penerangan selama 24 jam. sesudah  24 jam jumlah larva yang hidup 

dihitung dengan bantuan kaca pembesar. Persen kematian larva dihitung dengan 

memakai  rumus: 

% kematian larva =  x 100 % 

d. Analisis dan Pengolahan Data 

 Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dihitung dengan memakai  

analisis probit untuk mendapatkan LC50. 

6. Identifikasi Komponen Kimia 

Kromatogram atau lempeng diamati di bawah UV 254 dan 366 nm kemudian 

disemprot dengan memakai  pereaksi penampak noda antara lain sebagai berikut 

a. Alkaloid 

 Pereaksi yang dipakai  yaitu Dragendorf, jika sampel positif mengandung 

alkaloid, maka timbul warna jingga dengan latar belakang kuning. 

b. Steroid 

 Pereaksi yang dipakai  Liebermann-Burchard atau pereaksi Salkowski. 

Kromatogram terlebih dahulu dipanaskan, kemudian diamati di lampu UV 366 nm, 

munculnya noda berflouresensi coklat atau biru menunjukkan adanya triterpen, 

sedangkan munculnya warna hijau kebiruan menunjukkan adanya steroid. 

c. Flavanoid 

 Pereaksi yang dipakai  yaitu Aluminium Klorida diamati di lampu UV 366 

nm, jika sampel mengandung senyawa flavanoid maka noda akan berfluoresensi 

kuning. 

d. Fenol 

 Pereaksi yang dipakai  Besi (III) Klorida, jika sampel positif mengandung 

fenol akan dihasilkan warna hijau atau biru. 

e. Khumarin 

 Pereaksi yang dipakai  KOH etanolik, jika sampel positif mengandung 

senyawa khumarin akan dihasilkan warna merah terang. 


1. Hasil Ekstraksi Daun Majapahit 

Hasil maserasi 800 gram daun majapahit (Crescentia cujete L.) yang telah 

kering dengan metode maserasi dengan memakai  pelarut metanol diperoleh 

ekstrak kering 30,2 gram. 

2. Fraksinasi Sampel 

Ekstrak metanol daun majapahit (Crescentia cujete L.) sebanyak 2 gram 

difraksinasi memakai  kromatografi cair vakum (KCV) diperoleh 16 fraksi. 

Fraksi yang memiliki kesamaan profil KLT digabung sehingga diperoleh 3 fraksi 

yaitu A (fraksi 1-4) seberat 0,5 gram, B (fraksi 5-8) seberat 0,85 gram, C (fraksi 9-16) 

seberat 0,98 gram. 

3. Uji BSLT (Brine Shirmp Lethality Test) 

Skrining toksisitas ekstrak metanol daun majapahit (Crescentia cujete L.) 

dengan metode BSLT (Brine Shirmp Lethality Test) memakai  larva Artemia 

salina Leach berumur 48 jam, dengan konsentrasi 10, 100, 1000 µg/ml. 

 

 

Ekstrak n-heksan daun majapahit (Crescentia cujete L.) memiliki efek 

toksik terhadap Artemia salina Leach. Ekstrak ini  kemudian difraksinasi dengan 

metode Kromatografi Cair Vakum (KCV). Masing-masing hasil fraksinasi diuji 

kembali toksisitasnya dengan metode BSLT (Brine Shirmp Lethality Test) dengan 

konsentrasi yaitu 10, 100, dan 1000 µg/ml. 


 

4. Identifikasi Senyawa Bioaktif 

Fraksi B yang memiliki toksisitas tertinggi selanjutnya diidentifikasi dengan 

berbagai pereaksi sebagai berikut : 

Tabel 3. Hasil identifikasi komponen kimia daun majapahit (Crescentia cujete L.) 

No. Pereaksi Jenis Senyawa Hasil 

1. Dragendorf Alkaloid - 

2. AlCl3 Flavonoid + 

3. Lieberman-Bouchard Steroid + 

4. KOH Khumarin - 

5. FeCl3 Fenol + 

6. H2SO4 Senyawa Organik - 

 

B. Pembahasan  

Sampel yang dipakai  dalam penelitian ini adalah daun majapahit 

(Crescentia cujete L.). Tanaman ini termasuk keluarga Bignoniaceae. Daun majapahit 

dipakai  sebagai penghambat angiogenesis (Anjar Mahardian Kusuma,2014). 

Pemisahan komponen kimia daun majapahit (Crescentia cujete L.) 

dilakukan secara bertahap yang meliputi ekstraksi dan fraksinasi, masing-masing 

hasil pemisahan ini  dilakukan pengujian Bioassay memakai  metode Brine 

Shirmp Lethality Test (BSLT) sebagai proses pengujian toksisitas yang terbukti 

memiliki efek toksik. Pada penelitian ini proses pemisahan komponen bioaktif dari 

daun majapahit dilakukan secara bertahap memakai  metode ekstraksi dengan 

cara maserasi dan fraksinasi memakai  Kromatografi Cair Vakum (KCV) untuk 

memperoleh komponen senyawa yang lebih spesifik. Kromatografi Cair Vakum 

(KCV) memiliki kekuatan memisahkan yang bagus, mudah diaplikasikan dalam 

kromatografi skala besar (sampai 100 gram) dan cepat. Teknik ini ekonomis dan 

secara signifikan mengurangi pemakaian pelarut dan jumlah silika yang dipakai . 

Artinya setiap komponen akan ada  di sedikit fraksi dan mengurangi 

tercampurnya setiap fraksi jika diamati (Pedersen dan Rosenbohn, 2009). 

Mula-mula sampel dibuat menjadi bentuk simplisia lalu diserbukkan, hal ini 

dilakukan untuk memperbesar luas permukaan sampel sehingga kontak antara cairan 

penyari dan sampel lebih besar sehingga memudahkan penyarian komponen kimia 

yang ada  dalam sampel. Sampel diekstraksi dengan memakai  metode 

maserasi dengan pelarut metanol hingga bening. Komponen kimia yang memiliki 

kepolaran yang sama dengan kepolaran metanol akan ikut tertarik atau tersari, 

sehingga akan di dapatkan ekstrak metanol yang cair. Untuk mendapatkan ekstrak 

yang lebih kental maka ekstrak yang didapatkan dipekatkan dengan bantuan alat 

Rotavapor. Dimana prinsip pemekatan ekstrak pada alat ini yaitu dengan cara 

memisahkan ekstrak dengan cairan penyarinya berdasarkan titik didihnya sehingga 

akan didapatkan ekstrak yang lebih pekat atau ekstrak yang lebih kental. 

Uji toksisitas ekstrak daun majapahit (Crescentia cujete L.) dipandu oleh uji 

Brine Shirmp Lethality Test (BSLT) pada setiap pengerjaan, begitupula dengan hasil 

fraksinasinya sehingga diperoleh fraksi yang memiliki efek toksik yang tinggi 

terhadap Artemia salina Leach ekstrak metanol daun majapahit (Crescentia cujete 

L.). Uji toksisitas dengan larva udang Artemia salina Leach dipilih karena 

pengerjaannya yang sederhana, murah, mudah, cepat pelaksanaannya dan memiliki 

korelasi positif terhadap efek toksiknya. pemakaian larva udang sebagai hewan uji 

ketoksikan disebabkan karena ukurannya yang sangat kecil sehingga tidak 

membutuhkan sampel yang banyak dan tidak sulit dalam penanganan. Metode Brine 

Shirmp Lethality Test (BSLT) dilakukan untuk mendeteksi keberadaan senyawa 

toksik yang dipakai untuk memonitor dalam isolasi senyawa dari tumbuhan yang 

berefek toksik dengan menentukan nilai LC50 dari senyawa aktif. Larva Artemia 

salina Leach diuji pada saat berumur 48 jam karena pada umur ini  Artemia 

salina Leach mengalami pertumbuhan sel yang abnormal. 

Ekstrak yang diperoleh diuji efek toksiknya terhadap Artemia salina Leach 

dengan memakai  konsentrasi 10, 100, 1000 µg/ml. Hal ini dimaksudkan untuk 

melihat variasi respon yang diberikan. Bila LC50 di bawah 1000 µg/ml dinyatakan 

toksik dan di atas 1000 µg/ml dinyatakan tidak toksik  Kontrol 

negatif dilakukan untuk melihat apakah respon kematian larva uji benar-benar berasal 

dari sampel dan bukan disebabkan oleh pelarut yang dipakai . Hasil pengujian 

ini  menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun majapahit (Crescentia cujete L.) 

memiliki nilai LC50 = 35.563 μg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol 

daun majapahit (Crescentia cujete L.) memiliki efek toksik terhadap larva udang 

Artemia salina Leach. 

Ekstrak n-heksan daun majapahit (Crescentia cujete L.) selanjutnya 

dilakukan pencarian profil KLT yang bertujuan untuk mengetahui eluen yang sesuai 

untuk penampakan nodanya sebelum dilakukan proses fraksinasi. Sehingga 

didapatkan profil KLT yaitu dengan memakai  eluen n-heksan : etil asetat (3:1). 

Selanjutnya difraksinasi dengan metode kromatografi cair vakum (KCV). Metode ini 

dipakai karena cepat dan mudah dalam proses pemisahan komponen kimia. Metode 

ini dilakukan memakai  tahap  diam silica gel 60 PF254 dan tahap  gerak dengan 

gradient kepolaran yang semakin meningkat yaitu berturut-turut n-heksan : etil asetat 

(23:1), (18:1), (13:1), (8:1), (3:1), (1:2), (1:7), (1:12), (1:17), (1:22), (1:27), (etil), etil 

: metanol (13:1), (8:1), (3:1), dan (metanol). 

Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dengan pelarut 

yang kepolarannya rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap 

sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi. Oleh karena itu kromatografi cair 

vakum memakai  tekanan rendah untuk meningkatkan laju aliran tahap  gerak 

Dari proses fraksinasi yang memakai  16 perbandingan pelarut yang 

tingkat kepolarannya mulai dari rendah kekepolaran yang lebih tinggi, maka 

didapatkan pula 16 hasil fraksi, dimana hasil fraksinasi ini  akan dilakukan 

proses KLT untuk menggabungkan hasil fraksinya yang dianggap mengandung 

senyawa yang sama dengan cara melihat penampakan nodanya, kemudian dari proses 

KLT ini  maka didapatkan dari 16 hasil fraksi menjadi 3 hasil fraksi yaitu fraksi 

A (fraksi 1-4) seberat 0,5 gram, B (fraksi 5-8) seberat 0,85 gram, C (fraksi 9-16) 

seberat 0,98 gram. 

Fraksi yang diperoleh selanjutnya diuji kembali dengan metode Brine 

Shirmp Lethality Test (BSLT) dengan konsentrasi 10 µg/ml, 100 µg/ml, dan 1000 

µg/ml. Hal ini dipakai  untuk mengetahui apakah efek toksik hasil fraksinasi lebih 

besar atau lebih kecil dibandingkan dengan efek toksik ekstrak awal. Hasil 

pengamatan menunjukkan bahwa fraksi B memiliki efek toksik yang paling besar 

terhadap larva Artemia salina Leach dengan nilai LC50 = 6.0117 μg/ml, sedangkan 

LC50 fraksi A = 19.724, B = 6.0117 dan C = 88.307. Hasil ini  menunjukkan 

bahwa hanya fraksi B yang memiliki efek toksik dari ekstrak awal. Fraksi yang lain 

menjadi kurang toksik sesudah  difraksinasi diduga karena disebabkan oleh efek 

senyawa kimia yang ada  dalam ekstrak. 

Fraksi B selanjutnya diidentifikasi senyawa golongannya. Mula-mula fraksi 

B diencerkan lalu ditotolkan pada lempeng KLT kemudian dielusi dengan n-heksan : 

etil asetat (3:1). Hasil kromatogramnya disemprot dengan memakai  pereaksi 

penampak noda seperti dragendorft untuk golongan alkaloid, FeCl3 5% untuk 

senyawa golongan fenol, pereaksi Lieberman-Bouchard untuk golongan senyawa 

steroid, serta pereaksi AlCl3 5% untuk senyawa flavonoid. KOH untuk golongan 

senyawa kumarin, H2SO4 untuk golongan senyawa organic, dan Dragendorf untuk 

golongan senyawa alkaloid. 

Pada uji identifikasi senyawa golongan memakai  pereaksi dragendorf 

dengan tidak adanya noda berwarna kuning latar jingga pada pengamatan mata 

langsung yang berarti tidak adanya senyawa golongan alkaloid, pereaksi AlCl3 

memberikan hasil positif dengan menunjukkan penampakan noda yang berwarna 

kuning pada pengamatan di bawah sinar UV gelombang 366 yang berarti 

mengandung senyawa golongan flavonoid, pereaksi FeCl3 5% memberikan hasil 

positif dengan adanya noda berwarna hitam kehijauan dengan pengamatan mata 

langsung yang menunjukkan adanya komponen kimia golongan fenol, dan pereaksi 

Lieberman-Bouchard memberikan hasil positif dengan adanya noda berwarna hijau 

kebiruan sesudah  pemanasan yang menunjukkan adanya komponen kimia steroid. 

Mc Laughin (1991) dikatakan toksik ketika nilai LC50 lebih <1000, tidak 

toksik ketika nilai LC50 lebih  >1000, memiliki potensi sebagai antikanker ketika 

LC50 <30, memiliki potensi antimikroba ketika nilai LC50 30-200 dan memiliki 

potensi sebagai pestisida ketika nilai LC50 200-1000. 

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa fraksi B memiliki nilai LC50 = 6.0117 

µg/ml. Ini menunjukkan bahwa fraksi B memiliki potensi nilai LC50 sebagai 

antikanker. Dan adapun golongan senyawa yang ada  pada fraksi B yaitu 

flavonoid, fenol, dan steroid.