• www.berasx.blogspot.com

  • www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label mikro alga 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mikro alga 2. Tampilkan semua postingan

mikro alga 2






































sebagai obat-obatan yang lebih dikenal 
sebagai pangan fungsional. Dibandingkan dengan sumber lain seperti yeast maupun fungi, 
mikroalga memiliki keunggulan di aspek keamanannya. Jika di bandingkan dengan protein 
bersel tunggal yang bersumber dari mamalia, mikroalga lebih unggul di bidang efisiensi 
produksinya, lebih mudah dalam operasional. Perbandingan protein sel tunggal yang 
dihasilkan dari beberapa sumber tersaji pada tabel 6.1. 
Mikroalga yang sering dibudidayakan adalah alga hijau jenis Chlorella sp, 
Scenedesmus obliqus, alga merah seperti Dunaliella Salina dan jenis cyanobacteria Spirulina 
sp. Chlorella sp sebagai contoh berbentuk spherical, eukariotik, uniseluler dengan diameter 
5-10 mikrometer. Scenedesmus hampir sama dengan Chlorella namun terdiri dari 4 koloni 
sel. Spirulina memiliki sifat fotosintesis, berbentuk spiral, dan multisel, dengan ukuran 
panjang 0.5mm. Spirulina diklasifikasikan dalam cyanobacteria yakni bakteri yang memiliki 
klorofil
Mikroalga sebagai sumber protein maupun sebagai sumber pangan telah lama 
diketahui, dan berdasarkan informasi serta penelitian para ahli, mikroalga yang berbasis 
pangan tidak memberi efek negatif bagi tubuh meski dikonsumsi secara rutin dalam jangka 
waktu lama maupun singkat. Beberapa mikroalga bahkan digunakan sebagai sumber obat 
obatan, dan dimanfaatkan dalam industri farmasi. Dalam beberapa tahun belakangan, 
beberapa industri farmasi telah banyak memanfaatkan mikroalga berbasis farmasi untuk 
keperluan tertentu. Sebagai contoh adalah mikrolaga jenis Isochrysis galbana dapat 
digunakan sebagai sumber bioaktif untuk penyembuhan penyakit tuberkolosis (Prakash dan 
Bhimba, 2004). Mikroalga sebagai sumber vitamin juga dapat diaplikasikan dalam skala 
besar. Dunaliella salina adalah mikroalga merah yang memiliki kandungan beta karotin yang 
tinggi. beta karotin digunakan sebagai obat peredam nyeri kangker payudara, sebagai obat 
mata, pencegah penyakit kulit yang mudah iritasi bila terkena sinar matahari, sebagai 
pencegah penyakit bronkitis, peredam nyeri ketika melahirkan dan sebagainya. 
1. Mikroalgae sebagai Sumber Protein
Dalam kurun dekade belakangan ini mikroalga dapat dijumpai di pasaran dalam 
bentuk tablet, kapsul, minuman kaleng, permen, dan dicampur dalam pangan lain untuk 
meningkatkan nilai nutrisinya. Mikroalga yang sering dijumpai adalah dari jenis Arthosphira, 
Chlorella, D.salina, dan A phanizomenon flos-aquae.
Arthospira digunakan sebagai pangan sebab p nilai nutrisi dari proteinnya yang cukup 
tinggi. Lebih jauh lagi, mikroalga ini memiliki senyawa yang dapat menyehatkan tubuh. 
Diantaranya adalah: mengurangi risiko hiperlipidemia, hipertensi, menjaga dari penyakit 
gagal ginjal, meningkatkan kinerja lactobasilus dalam tubuh. Salah satu produsen Arthospira
terbesar di dunia adalah Hainan Simai Enterprising yang terletak di provinsi Hainan di China 
dengan produksi 200 ton bubuk Spirulina. Produksi ini hampir mencapai 10% dari pasar 
Spirulina di dunia. Sedangkan plant terbesar Arthospira terletak di Calipatria, Amerika, 
dengan area produksi 440,000 m2
Produksi mikroalga sebagai pangan terbesar lainnya adalah dari jenis Chlorella 
dengan lebih dari 70 produsen di dunia. Chlorella digunakan sebagai sumber pangan sebab p 
kaya akan protein, selain itu juga dapat digunakan sebagai senyawa aditif. Salah satu 
produsen Chlorella terbesar adalah Taiwan Chlorella Manufacturing and Co, dengan produk 
400 ton biomas kering per tahun. Produsen besar lainnya adalah Klotze, Jerman, dengan 
produksi antara 130-150 ton per tahun menggunakan sistem pembiakan photobioreaktor. 
2. Mikroalga sebagai Sumber Vitamin 
Selain menjanjikan sebagai sumber pangan, mikroalga juga dapat digunakan sebagai 
sumber vitamin yang baik digunakan sebagai asupan tambahan yang diperlukan oleh tubuh. 
Salah satu mikroalga yang dapat mensintesis senyawa alami menjadi sumber vitamin adalah 
jenis Spirulina, Nanochloropsis, Chlorella, dan beberapa jenis mikroalga lainnya. 
Berdasarkan penelitian Durmaz, (2007), Nanochloropsis dapat dimanfaatkan sebagai 
sumber vitamin E dengan memodifikasi kondisi pertumbuhannya. Nanochlorpsis oculata
adalah mikroalga air laut uniseluer dari kelas Eustigmato phycae. Mikroalga lain seperti 
Spirulina juga dapat menyediakan vitamin B12. 

3. Mikroalga sebagai Sumber Pigmen 
Mikroalga merupakan sumber pigmen alami yang aman digunakan sebagai zat aditif 
maupun dalam kosmetik. Beberapa mikroalga dapat menghasilkan pigmen selain dari pigmen 
hijau yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Beberapa pigmen yang umum digunakan dalam 
industri adalah klorofil, phycobiliprotein dan karotenoid. 
Klorofil dapat dijumpai di hampir semua mikroalga, dan tersusun atas lebih dari satu 
jenis klorofil, seperti klorofil-a, klorofil-b, klorofil-c, -d dan –e. klorofil-a adalah klorofil 
primer yang hampir dijumpai di sebagian besar mikroalga, dan merupakan satu satunya 
klorofil yang dimiliki mikroalga jenis cyanobacteria serta rhodophyta. 
Selain dapat digunakan sebagai pewarna pada farmasi, senyawa turunan dari klorofil 
juga dapat digunakan sebagai produk kesehatan. (Ferruzi dan Blakeslee, 2007). Penelitian 
dari Netherlands Cohort Study menyatakan bahwa dengan mengkonsumsi klorofil dapat 
menurunkan risiko terkena kanker (Balder et al, 2006). 
Sumber pigmen lainnya adalah fikosianin. Fikosianin merupakan pigmen biru yang 
kebanyakan ditemui pada jenis cyanobakteria. Lebih jauh lagi, fikosianin dapat dimanfaatkan 
sebagai antioksidan, anti-kanker, dan pewarna pada industri farmasi, permen, soft drink, 
kosmetik, dan beberapa industri berbasis bioteknologi lainnya. Biaya untuk ekstraksi 
fikosianin diperkirakan mencapai 0.13 US$ per mg untuk skala food grade. Sedangkan untuk 
skala analitis mencapai 15 US$ per mg. Banyak metode ekstraksi yang dapat digunakan 
untuk memisahkan fikosianin dari biomassanya. Proses yang biasa digunakan adalah dengan 
ekstraksi menggunakan solven air, bahan kimia, maupun dengan pemisahan menggunakan 
membran. 
Beta karotin juga merupakan pigmen alami yang sering dimanfaatkan dalam range 
yang lebih luas. Pigmen kuning kemerahan ini biasa dijumpai pada buah buahan, dan 
sayuran. Sedangkan pada mikroalgae, beta karotin dapat ditemukan pada beberapa spesies 
dari alga merah seperti Dunaliella Salina yang dapat menghasilkan betakarotin sampai 17% 
berat kering. 
Gambar 6.2. pewarna alami dari mikroalga 
(sumber: http://www.dlt-spl.co.jp) 
Beta karotin dari mikroalga ini dapat dimanfaatkan dalam tiga kategori yakni dalam 
industri farmasi, industri pangan, dan industri kosmetik (termasuk dalam jenis fine chemical). 
Beta karotin alami memiliki kandungan karotenoid yang komplek dan nutrien esensial 
dibandingkan dengan beta karotin buatan. Beta karotin dapat dikonsumsi dalam kuantitas 
yang lebih banyak. (Olson, dan Krinsky, 1995). Lebih jauh lagi, beta karotin dalam 
pemanfaatannya sebagai pewarna memiliki range yang sangat luas. Beta karotin dapat 
meningkatkan penampilan produk pangan dan minuman seperti margarin, keju, jus, makanan 
kalengan, dan sebagainya. Salah satu produsen Dunaliella terbesar di dunia adalah Parry`s 
agro Ltd di India untuk skala farmasi. Perusahaan lain yang memproduksi Dunaliella adalah 
ABC Biotech Ltd di Tamil, Nadu. 
Trend pewarna alami atau pigmen dari mikroalga diprediksi terus berkembang seiring 
permintaan pasar. Penggunaan dan manfaatnya sangat dibutuhkan dalam beberapa industri 
seperti industri farmasi yang memerlukan  spesifikasi yang lebih ketat. Dibandingkan 
dengan sumber pigmen dari jamur, bakteri, atau yeast, pigmen dari mikroalga memiliki keunggulan dalam efisiensi biaya produksi, dan lebih aman digunakan. (Dufosse, et al., 
2005). 
4. Mikroalga sebagai sumber Pakan Alami 
Mikroalga merupakan sumber pakan alami yang populer bagi peternak unggas, 
pembudidaya ikan, dan sapi. Beberapa jenis mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai suplemen 
yang dicampurkan pada pelet atau makanan ternak lainnya. Kulpys, et al. (2009) melakukan 
penelitian tentang pengaruh penambahan Spirulina platensis terhadap produktivitas dan 
kandungan susu sapi. Selama 90 hari dilakukan uji coba penambahan Spirulina dengan dosis 
200 gram diperoleh hasil sapi menjadi lebih gemuk 8.5-11%, dengan produktivitas susu 29 
kg/ hari tanpa penambahan alga, menjadi 36 lt/hari. 
Ginzberg, et al. (2000) melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan 
mikroalga jenis Porphyridium sp., yang merupakan jenis alga merah. Dari penelitian ini  
diperoleh hasil bahwa mikroalga yang ditambahkan pada pakan dapat menurunkan kadar 
kolesterol dan dapat memodivikasi komposisi asam lemak pada kuning telur. Mikroalga 
ini  mengandung polisakarida sebesar 70% dan mengandung beberapa PUFA seperti 
arachidonic dan eicosapentaenoic. Dosis mikroalga sebesar 10% diberikan pada makanan 
ayam selama variabel waktu 0 hari, 10 hari, dan 20 hari. Dari penelitian diperoleh hasil 
peningkatan kandungan asam linoleat 29% dan asam arachidenic 24% pada kuning telur. 
Sedangkan pada level kolesterol darah diperoleh penurunan sebesar 28%. 
Mikroalga juga dapat digunakan sebagai sumber pakan alami untuk budidaya 
perikanan, baik untuk sumber makanan atau untuk ikan hias. Badwy, et al. (2008) 
mempelajari pengaruh penambahan mikroalga Chlorella sp. dan Scenedesmus sp. pada ikan, 
diperoleh bahwa penambahan alga berat kering pada pakan ikan mempengaruhi kadar 
protein, lemak, dan berat pada ikan Nile Tilapia. 
Selain itu Mikroalga juga dapat digunakan sebagai suplemen bagi hewan pelihataan. Seperti 
yang diinformasikan dalam situs Spirulinasource.com, Spirulina platensis dapat digunakan 
untuk beberapa hewan peliharaan seperti pada tabel 6.7. 
5. Mikroalga sebagai sumber Produk Bioplastik 
Kecenderungan mikroalga sebagai bahan pembuatan bioplastik diperkirakan akan 
meningkat seiring semakin mahalnya minyak bumi. Bioplastik atau plastik organik adalah 
plastik yang terbuat dari sumber biomassa seperti minyak nabati, tepung jagung, dan tepung 
lainnya. Umumnya plastik terbuat dari bahan petrokimia. Bioplastik yang berasal dari 
biomassa memiliki dua keuntungan. Di satu sisi dapat menurunkan kadar karbon dioksida, di 
sisi lainnya dapat mengurangi kebutuhan akan bahan bakar fosil. 
Alga merupakan stok bahan baku yang cocok digunakan sebagai biomassa penghasil 
bioplastik. Beberapa keuntungannya di antaranya yield yang tinggi, dan kemampuan 
tumbuhnya yang mudah di lingkungan. Bioplastik dari alga pada umumnya terbuat dari 
produk samping pembuatan biofuel dari alga. Beberapa tipe dari bioplastik di antaranya 
biopolimer dari organisme hidu, yaitu polimer yang dihasilkan berasal dari pemrosesan 
selulosa, protein, dan tepung. Contoh lain adalah polimerisasi dari Molekul organik. Produk 
ini umumnya terbuat dari asam laktat dan trigliserida, dan dapat dipolimerisasi sehingga 
sifatnya biodegradable. 
Beberapa plastik yang dapat diproduksi dari alga diantaranya: 
a. Hybrid Plastic 
Produk ini adalah pencampuran dari biomass alga dan petroleum seperti polyuretha dan 
polietilen. Penggunaan biomassa dari alga dapat mengurangi kebutuhan petrolium dan 
meningkatkan kemampuan sifat biodegradable. Alga hijau berfilamen seperti Chlado
phorales merupakan jenis alga yang cocok digunakan pada pembuatan plastik hybrid ini. 
b. Plastik berbasis Selulosa 
Bioplastik yang paling umum digunakan adalah berasal dari selulosa, seperti daun pisang, 
daun jati, dan beberapa jenis dedaunan lain yang dapat dimanfaatkan sebagai packaging. 
Beberapa jenis alga yang telah diekstrak untuk kebutuhan minyaknya, menghasilkan sisa 
selulosa yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan bioplastik. 
c. Poly-lactic-Acid (PLA)
Asam laktat umumnya diproduksi dengan cara fermentasi dan dipolimerisasi untuk 
menghasilkan asam polilaktat. Asam laktat ini dapat diproduksi dari biomassa alga 
menggunakan fermentasi. 
d. Bio-polietilen 
Biopolietilen adalah polimer yang berasal dari ethanol. Selama ini ethanol diproduksi dari 
sumber gas alam atau petrolium. Selain itu ethanol juga dapat diproduksi dari fermentasi 
biomassa alga. Namun ditinjau dari segi ekonomi, produksi ethanol dari alga masih belum 
menguntungkan. Beberapa industri yang sedang mengembangkan industri plastik berbasis 
biomassa alga diantaranya adalah: 
a. Dow Chemical 
Dow Chemical masih melakukan riset skala kecil untuk menghasilkan bio-polietilene 
dari mikroalga dengan mitra kerja Algenol Amerika. Etanol yang diperoleh dari 
mikroalga akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan Dow Plastic. 
b. Ceraplast 
Ceraplast merupakan produsen berbasis pangan terutama menghasilkan produk 
tepung seperti jagung, tapioka, kanji, dan kentang. Ceraplast hybrid plastic adalah 
merupakan proyek penelitian bioplastik hibrid campuran antara material alga dan 
poliolefin. 

Mikroalga memiliki potensi sebagai bahan baku penghasil energi. Tidak dipungkiri 
bahwa pertumbuhan mikroalga lebih cepat dari beberapa tumbuhan lain yang dapat 
menghasilkan minyak, seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, dan bunga matahari. Selain itu 
mikroalga tidak memerlukan  banyak lahan dan air untuk pertumubuhan. Lebih jauh lagi, 
mikroalga tidak menghasilkan limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan sehingga 
tidak mempengaruhi kualitas air yang telah digunakan sebagai pertumbuhan. 
Biomass dari mikroalga dapat diolah menjadi beberapa turunan produk bioenergi 
seperti biodiesel (cara transesterifikasi), bioethanol (C2H6O) (cara fermentasi), biobuthanol 
(C4H10O), maupun SVO (Straight Vegetable Oil) di mana minyak yang dihasilkan dari 
mikroalga langsung digunakan untuk mesin diesel yang telah dimodifikasi
Berdasarkan skema Gambar 7.1. terlihat bahwa mikroalga dapat dijadikan sebagai 
produk bioenergi yang cukup beragam. Biomas dari mikroalga dapat diolah dalam bentuk 
bioethanol, biobuthanol melalui proses fermentasi. Biomas mikroalga yang kering juga dapat 
olah menggunakan anaerobic digestion sehingga menghasilkan senyawa methana dan 
hidrogen. Selain itu mikroalga yang kaya akan kandungan lipid dapat diproses lebih lanjut 
menjadi biodiesel dengan menggunakan proses transesterifikasi. Sedangkan proses langsung 
dari penggunaan biomassa kering mikroaga adalah dengan cara pembakaran langsung 
sehingga menghasilkan panas dan dapat digunakan untuk mesin generator. Beberapa contoh 
produsen penghasil algae sebagai bioenergi di dunia di antaranya: 
- Algae Floating Systems, Inc
- Algae Fuel (California) 
- Algae Fuel System (California)
- Algal Oil Diesel, LLP (Oregon) 
- Algoil Industries, Inc 
- Cellana (Shell & HR Biopetroleum) 
- Sap pHire Energy (dibiayai Bill Gates) 
- Solix Biofuels (Colorado) 
- Valcent (Texas) 
(Demazel, 2008) 
1. Biodisel dari Mikroalga
Salah satu produksi energi dari tanaman adalah biodiesel. Biodiesel memiliki 
keunggulan dibanding diesel dari minyak bumi. Biodiesel dapat digunakan secara luas pada 
mesin diesel, tanpa perlu banyak modifikasi. Biodiesel dapat dicampur dengan diesel 
konvensional dengan berbagai rasio. 
Alga penghasil biofel, atau disebut sebagai algae fuel adalah biofuel generas ketiga 
setelah ditemukannya teknologi generasi kedua, biofuel dari tanaman penghasil lipid. Alga 
dapat memproduksi energi 20 sampai 100 kali lipat dibanding tumbuhan tingkat tinggi lain.
Berdasarkan Tabel 7.1, mikroalga merupakan sumber biodiesel yang paling 
berpotensi dibanding tumbuhan lain. Mikroalga secara umum memproduksi biomasa dua 
kali lipat selama 24 jam. Sedangkan penggandaan biomassa selama fase eksponensial dapat 
dicapai dalam waktu 3.5 jam. 
Kandungan minyak dalam biomassa kering mikroalga dapat mencapai 80% berat. 
Namun secara umum mikroalga menghasilkan lipid dalam range 20-50%. Produktivitas lipid 
dan produktivitas biomassa harus sesuai. Produktivitas lipid adalah massa lipid yang 
diproduksi per unit volume dari broth mikroalga per hari. Beberapa mikroalga memiliki 
kandungan lipid yang tinggi namun pertumbuhannya lambat. 
Tidak semua mikroalga penghasil lipid layak untuk digunakan sebagai biodiesel. 
Mikroalga memproduksi banyak jenis lipid, hidrokarbon dan jenis minyak komplek lainnya. 
Dengan menggunaan mikroalga untuk memproduksi biodiesel tidak akan mengganggu stock 
pangan. 
Mikroalga yang dibiakkan secara heterotrof memiliki potensi yang tinggi sebagai 
penghasil lipid untuk biodiesel dengan menggunakan sumber karbon seperti gula, dan sitrat. 
Akan tetapi produksi secara heterotrof tidak efisien dibanding mikroalga dengan metode 
fotosintesis. 
1. Faktor yang Mempengaruhi Lipid Mikroalga 
Kandungan lipid dalam mikroalga dapat meningkat menjadi dua atau tiga kali lipat 
ketika lingkungan pertumbuhan mikroalga dalam keadaan kekurangan nutrisi atau 
kondisi limit(stress). Kualitas asam lemak dan komposisinya juga berbeda beda 
dipengaruhi oleh keadaan fisiologis dan kondisi pertumbuhannya (Geouveia, 2011). 
Faktor kimia yang mempengaruhi mikroalga penghasil lipid adalah nutrien 
(nitrogen, phosphor, sulfur, silicon), pH, salinitas, dan komposisi nutriennya. 
Widjaja et al (2009) melaporkan bahwa nitrogen berperan penting dalam 
pembentukan lipid mikroalga. Pengurangan kadar nitrogen dalam medium 
pertumbuhan mikroalga dapat meningkatkan kadar lipid, akan tetapi hal ini juga dapat 
menurunkan laju pertumbuhannya. Selain itu Wijanarko (2011) juga melaporkan 
bahwa nitrogen dalam bentuk NO3 mempengaruhi kandungan lipid sedangkan 
nitrogen dalam bentuk NH3 mempengaruhi kandungan protein. 
Faktor fisika yang mempengaruhi pertumbuhan alga adalah temperatur, dan 
intensitas cahaya. Komposisi kejenuhan asam lemak dapat dipengaruhi oleh suhu. 
Jika suhu saat pembiakan rendah, makan asam lemak yang terbentuk semakin tidak 
jenuh, dan sebaliknya. Intensitas cahaya yang rendah juga dapat mempengaruhi 
kepolaran kandungan lipid. Semakin rendah intensitas cahaya, maka lipid yang 
terbentuk cenderung ke arah triakilglserida
Selain faktor fisik dan kimia,waktu pemanenan biomas dapat juga mempengaruhi 
hasil lipid yang diinginkan. Peningkatan TAG (triakilgliserid) terjadi ketika fase 
stasioner. Umur pertumbuhan juga dapat mempengaruhi kandungan lipid dalam 
biomas. Semakin lama masa pengkulturan, asam lemak yang terbentuk adalah jenuh 
dan berbentuk mono-unsaturated sementara PUFA semakin sedikit. (Liang, et al. 
2006). 
2. Ekstraksi Lipid 
Selain pengembangan kandungan lipid dalam mikroalga dan kecepatan 
pertumbuhannya, proses ekstraksi kandungan bioenergi, seperti lipid, dalam 
mikroalga perlu diperhatikan. Beberapa metode konvensional hanya dapat mengambil 
kandungan lipid dalam mikroalga dalam jumlah kecil. Di lain hal, banyak peneliti 
yang mengkaji beberapa metode ekstraksi ini . 
Metode pengambilan lipid dari mikroalga biasanya dibedakan menjadi dua, 
gangguan dinding sel dan metode ekstraksi solven. Namun seiring perkembangan 
jaman, beberapa metode ini dapat dikombinasi dan bermacam macam. 
Beberapa metode gangguan dinding sel (cell diruption) yang umum ditemui 
adalah metode mekanik dan metode menggunakan solven. Pada metode mekanik, 
dinding sel mikroalga dipecah dengan menggunakan tekanan fisik dan minyak 
diambil secara langsung. Metode ini juga dapat dikombinasikan dengan metode 
pelarutan menggunakan solven. Solven dapat melarutkan lipid dalam sel. Solven yang 
biasa digunakan adalah heksan. 
Metode mekanik lain yang dapat digunakan untuk ekstraksi adalah dengan 
menggunakan metode penggilingan. Metode ini bergantung kepada kontak antara 
bead dan biomas, jumlah ukuran dan komposisi bead dan kekuatan dinding sel. 
Metode bead mill pada umunya digunakan bersamaan dengan solven untuk merecover 
minyak, dan akan menjadi lebih efektif serta memerlukan  energi lebih rendah jika 
produk yang terekstrak dapat dipisahkan dengan mudah. Lebih spesifik lagi, biomas 
yang digunakan pada metode ini adalah 100 sampai 200g/L. 
Metode dengan menggunakan enzim juga dapat diterapkan untuk mengambil 
lipid dari sel mikroalga. Enzim dapat digunakan sebagai zat penghidrolisis dinding sel 
untuk melepaskan lipid. Lipid ini kemudian dialirkan ke dalam solven yang cocok. 
Enzim juga dapat dikombinasikan dengan metode mekanik seperti sonnication, 
menggunakan energi suara, sehingga ekstraksi menjadi lebih cepat dan yield yang 
dihasilkan lebih tinggi. Sonnication sendiri mampu meningkatkan proses ekstraksi. 
Proses ini disebut dengan kavitasi. 
Metode kavitasi didasarkan pada gelombang ultrasonik yang menciptakan 
gelembung pada solven, gelembung ini  meletus dekat dengan dinding sel 
mikroalga, menghasilkan goncangan kuat sehingga senyawa dalm sel akan keluar dan 
larut dalam solven. 
Solven seperti benzen, hexane dan siklohexane sering digunakan dalam 
metode ini. Dinding sel terdegradasi dan minyak teresktrak ke dalam solven. Metode 
ini cenderung feasibel (sebagai contoh digunakan untuk Botryoccocus braunii) tanpa 
merusak dinding sel selama solven yang digunakan tidak beracun. Salah satu metode 
yang paling terkenal untuk penerapan mikroalgae adalah metode Bligh dan Dyer, 
yakni dengan menggunakan kombinasi methanol, chloroform dan air. Namun kendala 
dalam metode ini adalah kesukarannya dalah penerapan skala besar sebab p solven 
yang semakin banyak terakumulasi.
Bahan baku (raw material) yang diproses untuk diambil lipidnya dapat 
dibedakan menjadi dua macam, biomas dalam bentuk basah dan kering. Kedua 
pemilihan jenis ini dapat didasarkan dari efisiensi yield lipid yang diperoleh maupun 
dari aspek ekonominya. Secara umum yield dari biomas kering lebih tinggi kadar 
lipidnya akan tetapi memerlukan  waktu dan biaya yang lebih tinggi. 
Dari Tabel 7.5. terlihat beberapa metode ekstraksi lipid dari beberapa jenis 
mikroalga. Sejauh ini metode solven memiliki efisiensi ekstraksi tertinggi di banding 
beberapa metode lainnya. Namun jika dilakukan scale up dalam skala pabrik harus 
dibutuhkan biaya yang lebih untuk merecover solven yang telah digunakan untuk 
mengekstrak lipid. 
3. Direct Transesterification
Direct transesterification atau transesterifikasi secara langsung, dan biasa 
dikenal sebagai transesterifikasi insitu adalah salah satu metode alternatif yang 
digunakan untuk menghasilkan biodisel dari mikroalga penghasil lipid tanpa 
mengekstrak terlebih dahulu lipidnya. Metode ini menjadi menarik diaplikasikan 
mengingat biaya ekstraksi lipid dari mikroalga dapat dihindari, sehingga biomassa 
yang diproses dari pemanenan baik berupa biomas basah maupun kering, dapat 
langsung diproses untuk menghasilkan biodiesel. 
Metode sederhana dari esterifikasi secara langsung adalah dengan 
mencampurkan biomassa ke dalam methanol dan solven dengan penambahan katalis 
kemudian direaksikan pada suhu dan waktu tertentu. Hasil reaksi kemudian 
dipisahkan dari campurannya berupa bagian bawah yang mengandung sisa biomassa 
dan air, bagian atas berupa gliserol dan FAME (faty acid methyl ester) atau biasa 
disebut biodiesel, yang bercampur dengan solven. Untuk menghilangkan solven dari 
biodieselnya, dapat dilakukan dengan cara distilasi. 
2. Bioethanol dari Mikroalga
Bioethanol merupakan produk bioenergy yang umum digunakan di masyarakat. 
Selama ini bioethanol diproduksi dari fermentasi alkohol dengan bahan baku jagung, 
shorgum, singkong, dan gula tebu. Pati yang terekstrak kemudian dicampung dengan air dan 
dipanaskan secara bertahap. Pati kemudian dihidrolisis dengan yeast Sacharomyces 
ceriviseae atau Zymomonas mobilis. S. cerevisiae adalah organisme yang paling umum 
digunakan sebagai yeast produksi ethanol dari glukosa. 
Mikroalga juga berpotensi sebagai penghasil bioethanol sebab p beberapa jenis 
spesiesnya memiliki kandungan pati. Mikroalga ini dapat diproduksi melalui dua proses, 
fermentasi gelap maupun menggunakan yeast. 
Fermentasi gelap (dark fermentation) dilakukan dengan cara anaerobik di mana 
mikroalga sendiri yang mengkonsumsi pati yang terkandung dalam medium 
pertumbuhannya. Sedangkan fermentasi yeast adalah fermentasi yang umum dilakukan di 
industri besar dan dapat menghasilkan yield yang lebih tinggi. 
Beberapa mikroalga berpotensi sebagai bahan baku bioethanol. Diperkirakan bahwa 
mikroalga menghasilkan 46,760-140,290 liter ethanol/ha. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan 
beberapa sumber tumbuhan lain. Matsumoto et al, (2003) melaporkan bahwa lebih dari 76 
jenis mikroalga air laut memiliki kandungan karbohidrat 40-53%. 
Hirano et al. (1997) melaporkan tentang penggunaan mikroalga jenis Chlorella 
vulgaris dengan kandungan pati sebesar 37% menjadi bioethanol dengan proses fermentasi 
dan menghasilkan konversi sebesar 65%. Ueda et al juga melaporkan bahwa beberapa jenis 
mikroalga seperti Chlorella sp, Dunailella, Chlamydomonas, Scenefesmus, dan Spirulina
memiliki kandungan pati lebih dari 50% dan berpotensi sebagai bahan baku pembuatan 
bioethanol. 
Harun et al (2010a) mempelajari mikroalga jenis Chlorocum sp sebagai feedstock 
pembuatan ethanol. Pada penelitian ini  dilaporkan bahwa cell disruption mempengaruhi 
yield. Produktivitas maksimum adalah 38% (w/w). Harun juga menyatakan bahwa biomas 
harus diolah menjadi gula sederhana sebelum dilakukan fermentasi. Hasil 7.2gr/l bioethanol 
tertinggi didapatkan dengan memfermentasikan 15gr/l mikroalga pada suhu 1400
menggunakan asam sulfat 1% (v/v) selama 30 menit. Sementara hasil lain diperoleh 52% 
berat (gr ethanol/gr mikroalga) didapatkan dari 10gr/l mikroalga dan 3% (v/v) asam sulfat 
pada suhu 1600
C selama 15 menit. 
Faktor yang mempengaruhi produksi bioethanol dari mikroalga adalah temperatur, 
pre-treatment dengan menggunakan asam, dan volume mikroalga yang direaksikan. Harun 
dan Danquah (2011) melaporkan bahwa pre treatment biomas menggunakan asam adalah 
penting sebelum dilakukan fermentasi. Sedangkan He et al, (2010) menyatakan bahwa 
dengan penambahan zat besi ke dalam medium pertumbuhan mikroalga dapat meningkatkan 
kandungan karbohidrat. Douskova, et al. (2008) menyatakan bahwa dengan pengurangan
kandungan phosphor, nitrogen dan sulfur dapat meningkatkan kandungan pati dalam biomas 
masing masing 83%, 50%, dan 33%. 
Keunggulan penggunaan mikroalga sebagai bioenergi berbasis bioethanol di banding 
berbasis lipid adalah mikroalga tidak perlu dilakukan pengeringan sehingga tidak 
memerlukan  banyak biaya dan lebih mudah dilakukan sebab p fermentasi bioethanol di 
lakukan dalam medium yang memerlukan  air. Selain itu untuk scale up nya, mikroalga 
bioethanol lebih mudah dilakukan sebab p dewasa ini sudah banyak perusahaan penghasil 
bioethanol. 
3. Biogas dari Mikroalga 
Material organik seperti limbah cair kelapa sawit, maupun sampah organik dapat 
digunakan sebagai biogas melalui perombakan anorganik dengan bantuan beberapa 
campuran bakteri yang menghidrolisis biopolimer organik (seperti karbohidrat, lemak, dan 
protein) menjadi monomer dan dikonversi menjadi gas yang kaya akan methana dengan 
proses fermentasi. Biogas memiliki kandungan 50-70% CH4 dan karbon dikosida 25-50% 
serta beberapa impuritas lain seperti H2S. 
 Mikroalga memiliki potensi sebagai penghasil biogas sebab p juga mengandung 
senyawa karbohidrat, protein, dan lemak. Biofuel berbasis biogas ini lebih murah sebab p 
tidak memerlukan  proses pengeringan, ekstraksi dan perubahan senyawa menjadi biofuel 
seperti kasus lipid. 
Beberapa peneliti melaporkan potensi mikroalga sebagai penghasil biogas. Sialve et 
al. (2009) melaporkan bahwa methana terkandung dalam biogas dari mikroalga adalah 7-
13%, lebih tinggi jika dibanding dengan maizena. Sementara peneliti lain memberikan 
paparan tentang penggunaan beberapa jenis mikroalga secara nyata dapat dimanfaatkan 
sebagai biogas dengan produksi 180.4mg/g hari dari biomassa dengan menggunakan proses 
anaerobik dua tahap di mana hasil methana mencapai 65%. 
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi biogas dari mikroalga di antaranya 
adalah pada proses perombakan, dan kandungan biomassa mikroalga. Mussgnug et al (2010) 
menjelaskan bahwa beberapa jenis mikroalga seperti Spirulina platensis, Chlamydomonas 
reinhardtii, Dunaliella salina dan beberapa jenis mikroalga lain yang dijadikan sebagai raw 
material memiliki produksi biogas yang berbeda beda. Chlamidomonas reinhardtii
merupakan mikroalga penghasil biogas tertinggi dengan hasil 587ml/gram volatil solid. 
Selain itu, produksi biogas dari mikroalga juga perlu diperhatikan seperti substrat 
harus dipekatkan dan dihindari proses pengeringan. Transportasi biomas basah sebagai raw 
material juga perlu diperhatikan untuk mengurangi biaya. Untuk itu diperlukan proses 
integrasi antara reaktor biodigester dan kolam kultivasi mikroalga. Integrasi ini  akan 
lebih efisien jika diterapkan dalam limbah cair organik di mana mikroalga tumbuh dalam 
limbah cair dengan kondisi yang tidak terkontrol. 
4. Bio-Hidrogen dari Mikroalga 
Hidrogen dapat diproduksi dari beberapa sumber energi termasuk minyak bumi dari 
gas alam dan batu bara. Namun dari bahan baku ini  memerlukan  input energi yang 
tinggi dan menghasilkan produk samping seperti karbon monoksida dan gas rumah kaca. 
Sumber renewable energi seperti radiasi solar, biomas dan angin, dapat dimanfaatatkan untuk 
memproduksi hidrogen via proses elektrolisis atau proses reforming lain. 
Biohidrogen adalah hidrogen yang diproduksi dengan bantuan organisme biologis. 
Mikroorganisme seperti alga dan bakteri menghasilkan gas pada temperatur yang relatif 
rendah, berbeda dengan industri pada umumnya yang memerlukan  suhu tinggi. 
Menurut Demazel (2008), sejarah produksi hidrogen dari alga dimulai ketika pada 
tahun 1939, Hans Gaffron, peneliti Jerman mengobservasi mikroalga Chlamydomonas 
reinardtii yang sewaktu waktu dapat memproduksi oksigen dan hidrogen. Gaffron belum 
meneliti lebih jauh kenapa hal itu bisa terjadi. Hingga tahun 1977, Anastasios Mells, peneliti 
dari universitas California, melaporkan bahwa sulfur yang diberikan pada medium mikroalga 
dapat mempengaruhi produksi oksigen menjadi hidrogen. Enzim pada mikroalga, 
hidrogenase, berperan penting dalam produksi ini . Saat hidrogenase kehilangan 
fungsinya, maka mikroalga menghasilkan oksigen. Kekurangan jumlah sulfur pada medium 
dapat mempengaruhi produksi oksigen, dan meningkatkan enzim hidrogenase Hidrogen 
memiliki nilai bakar yang tinggi jika dibandingkan senyawa bioenergi lain. 
Sedangkan mikroalga jenis cyanobacteria dapat memproduksi hidrogen dengan 
kondisi anaerob tanpa cahaya dengan bantuan enzim hidrogenase atau dengan cahaya 
berbantukan katalis hidrogenase. Sedangkan alga hijau, hidrogen diproduksi secara 
fotosintesis dengan kemampuannya menyerap sumber energi matahari untuk menghasilkan 
hidrogen dari air. 
Secara real, cyanobacteria merupakan mikroalga yang paling berpotensi sebagai 
penghasil hidrogen jika dibandingkan alga hijau. Cyanobacteria memerlukan  udara, air, dan 
mineral garam dengan cahaya sebagai sumber energi dan kebutuhan nutrisi yang lebih simpel 
jika dibanding alga hijau.
5. Industri Mikroalga berbasis Bioenergi.
Algenol adalah produsen bioethanol dari mikroalga yang terletak di Texas dan 
Florida, Amerika serikat. Hal yang menarik dari industri ini adalah bioethanol dihasilkan 
secara langsung oleh algae jenis cyanobateria tanpa pemrosesan lanjut seperti pemanenan, 
pengeringan, atau fermentasi. 
Cyanobaceria hybrid hidup dalam medium air laut, menyerap nutrisi, karbon dioksida, 
dan cahaya matahari. Hasil samping dari produksi ini berupa air tawar dan oksigen. Algenol 
mengkliam dapat memproduksi 6000 galon bioethanol per hektar per tahun dengan harga jual 
pergalon sekitar tiga dolar Amerika. 
Namun demikian algenol masih dalam tahap produksi scale up dan masih 
menggandeng beberapa industri lain seperti dowchemical untuk mengembangkan industri 
bioethanol dari mikroalga ini untuk lebih feasibel. Hasil dari mikroalga yang diproses dengan 
klaim metode algaetech ini dapat diblending untuk keperluan DowChemical seperti 
pembuatan plastik dan sebagainya. 
Algae dikultivasi dalam bak tertutup oleh plastik polyethilene dengan tujuan untuk 
menangkap gas yang menguap. Bioethanol dihasilkan oleh algae hybrid, terdifusi keluar 
bersama dengan produk oksigen dan ditampung ketika malam hari saat terjadi proses 
kondensasi gas secara alami. bioethanol dipisahkan dari oksigen
Mikroalga dapat dimanfaatkan pada untuk bidang teknologi yang lebih luas, tidak 
hanya sebagai penyedia produk biomassa dalam bentuk pangan atau energi. lebih dari itu, 
mikroalga dapat digunakan untuk pengolahan limbah organik cair, terutama ditujukan untuk 
menurunkan kandungan COD, nitrogen-posphor, pengurangan warna dan pengurangan 
logam berat. 
Sistem pengolahan limbah secara biologis ini telah lama diterapkan. Beberapa metode 
yang dapat ditemui adalah dengan menggunakan jenis bakteri, jamur, dan mikroalga. 
Penggunakan fungi atau jamur pada pengolahan limbah cair pada umumnya digunakan 
untuk penyerapan warna. Eaton et al (1980) melakukan penelitian tentang dekolorisasi pada 
limbah cair industri keju menggunakan jamur white-rot dengan efisiensi antara 60-80%. 
Namun pada penelitian lanjutan yang dilakukan Gokcay dan Dilek (1994), dilaporkan bahwa 
penggunaan jamur untuk limbah ini  belum layak jika ditinjau dari segi ekonomis 
sebab p jamur masih memerlukan  banyak substrat gula tambahan. Mikroorganisme lain 
yang masih memiliki potensi sebagai agen pengolah limbah organik adalah dengan 
menggonakan mikroalga. Lee et al (1978) melakukan penelitian pengolahan limbah cair 
industri kertas menggunakan mikroalga dengan efisiensi antara 50-80% tergantung pada 
masa inkubasinya. Aziz dan Ng (1988, 1993) juga melaporkan bahwa mikroalga dapat 
menurunkan kadar warna pada limbah industri tekstil dengan efisiensi mencapai 95%. 
Dari segi ekonomi, mikroalga yang dibiakkan pada limbah dapat mengurangi biaya 
penambahan nutrisi sintesis jika diinginkan sebuah produk biomas tertentu, seperti 
pembiayakan Spirulina sp. pada limbah cair kelapa sawit untuk produk berprotein tinggi 
skala feed grade. Atau dengan mengganti strain mikroalga tertentu, akan didapatkan 
beberapa produk seperti lipid sebagai feedstock biodisel, dan sebagainya. Secara umum, keunggulan penggunaan mikroalga untuk pengolahan limbah adalah: 
1. Kebutuhan energi lebih rendah 
Pengolahan limbah secara tradisional memiliki biaya operasional yang tinggi. 
Biasanya limbah industri diolah dengan cara aerasi untuk meningkatkan aktifitas 
bakteri aerob sehingga dapat mengkonsumsi komponen organik yang ada pada 
limbah. Total konsumsi energi untuk pengolahan limbah secara aerasi adalah 45-75% 
dari keseluruhan biaya operasional pabrik. berbeda dengan mikroalga, mikroalga 
dapat berfotosintesis di dalam cairan limbah organik dan menghasilkan oksigen 
sebagai produk reaksinya sehingga dapat memberikan supply oksigen pada bakteri 
aerob untuk mempercepat penguraian. 
Selain itu mikroalga juga dapat menyerap sumber nutrisi (nitrogen dan pospor) 
yang masih terkandung dalam limbah sehingga kebutuhan nutrien tambahan masih 
dapat ditekan. Sebagai perbandingan, untuk menurunkan kadar BOD sebesar 1kg, 
dibutuhkan energi senilai 1kWh dalam proses aerasi, dan memberi imbas hasil karbon 
dioksida sebesar 1kg dari generator , Bertolak belakang dengan 
mikroalga, dengan teknologi mikroalga untuk menurunkan 1kg BOD tidak 
memerlukan  energi input dan biomas yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan 
sebagai pembangkit listrik sebesar 1 kWh
2. Pengurangan emisi gas rumah kaca 
Limbah cair organik merupakan limbah penghasil emisi gas rumah kaca sebab p dapat 
menghasilkan senyawa karbon dioksidan dan methana. Kedua senyawa ini berpotensi 
sebagai ancaman pada atmosfir sehingga dapat meningkatkan aktifitas global 
warming. Indonesia merupakan negara agraris dengan banyak industri olahan hasil 
perkebunan seperti kelapa sawit, tebu dan sebagainya. Dengan menggunakan 
teknologi mikroalga, limbah cair yang mengandung sumber carbon dioksida ini dapat 
ditekan dan dihasilkan buangan berupas gas oksigen dengan reaksi fotosintesis. 
3. Biaya operasi cenderung lebih murah dibanding metode konvensional 
Penggunaan bakteri dan fungi cenderung lebih mahal sebab p ongkos penambahan 
nutrien sintesis dan supply aerasi. Mikroalga dapat mengambil sumber nutrien yang 
ada  pada limbah cair dengan sedikit modifikasi perbandingan C:N:P nya, selain itu pertumbuhannya relatif lebih cepat dan perkembangbiakannya cenderung lebih 
mudah. 
4. Mengurangi terbentuknya sludge 
Pada pengolahan cara tradisional, kendala umum yang dijumpai adalah terpenduknya 
sludge atau endapan dan terkadang semakin bermasalah apabila sludge terakumulasi. 
Teknologi mikroalga tidak menghasilkan sludge yang terakumulasi melainkan berupa 
biomas yang dapat dimanfaatkan kembali untuk beberapa keperluan seperti untuk 
makanan ternak, kompos, atau dirubah menjadi produk renewable energy. Selain itu 
teknologi pengolahan dengan mikroalga tidak memerlukan  banyak zat kimia 
sehingga hasil buangan ke lingkungan akan lebih aman. 
5. Menghasilkan biomas yang bermanfaat. 
Biomas yang dihasilkan dari pengolahan limbah dapat dimanfaatkan untuk tujuan 
lainnya. Hal ini berbeda apabila digunakan metode konvensional atau dengan 
menggunakan jamur. Sebagai contoh, C-BIORE UNDIP telah melaporkan penelitian 
terkini tentang pengolahan limbah cair kelapa sawit dan dihasilkan produk biomas 
berbasis protein tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan terkan. Selain itu 
potensi integrasi penggunaan limbah untuk media pertumbuhan alga masih tinggi, 
sehingga dimungkinkan dapat menghasilkan biomas berbasis energi dengan 
produktifitas yang lebih tinggi. 
Pada bab ini akan dibahas beberapa contoh penggunaan mikroalga untuk 
diaplikasikan pada limbah cair organik, diantaranya: 
1. Pengurangan kadar Nitrogen dan Posphor 
Limbah domestik maupun limbah industri pengolahan hasil perkebunan mengandung 
konsentrasi nutrien baik dalam bentuk organik maupun anorganik. Jika limbah ini  
dilepas ke lingkungan seperti sungai atau danau, dapat menurunkan kadar oksigen, atau 
bahkan dapat memicu  eutrofikasi. Jika kadar oksigen dalam air menjadi sedikit, hal ini 
akan mempengaruhi kualitas air, mempengaruhi kehidupan biotik hewan yang hidup seperti 
ikan hingga ujungnya akan mengakibatkan krisis biodiversity. 
ada  beberapa metode untuk mengolah limbah, seperti pengolahan konvensional. 
Pengolahan tahap awal dilakukan untuk menyaring partikel sedimentasi, tahap kedua 
dilakukan untuk menurunkan kadar BOD dengan cara mengoksidasi komponen organik dan 
ammonium. Pada tahap kedua ini diterapkan beberapa metode seperti penambahan lumpur 
aktif, maupun cara aerasi. Mekanisme pengolahan ini dilakukan oleh protozoa dan bakteri. 
Bakteri mendegradasisenyawa organik, sedangkan protozao berfungsi sebagai pemakan 
bakter. Hasil akhirnya berupa konversi karbon dioksida dan air. 
Teknologi pengolahan mikroalga untuk menurunkan kadar nitrogen dan phosphor 
pertama kali dikembangkan pada tahun 1950an di Kalifornia oleh William Oswald. Kinerja 
mikroalga dalam limbah adalah mengasimilasi nitrogen untuk pertumbuhan dan mensupply 
oksigen untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri ini yang akan mendegradasi senyawa organik 
yang ada pada limbah. proses ini hampir sama penggunaannya dalam lumpur aktif. 
Gambar 8.1. Simbiosis antara mikroalga dan bakteri pengurai 
Meskipun limbah mengandung banyak nutrien, mikroalga belum tentu dapat 
berkembang biak dengan baik. Pertumbuhan mikroalga secara umum ditentukan oleh cahaya 
dan sumber karbon. 
Pengurangan kadar phosphor dalam medium limbah dapat dilakukan oleh mikroalga. 
Mikroalga memerlukan  phosphor untuk memproduksi phospholipid, ATP, dan asam 
nucleat. Alga mengasimilasi phosphor sebagai ortho phosphor anorganik, baik dalam 
bentuk H2PO4- or HPO4
2-. Phosphor organik ini  dirubah menjadi ortho phosphor lewat 
proses fotosnintesis pada permukaan sel, dan hal ini terjadi ketika ortho phosphor berada 
dalam supply yang sedikit. Meskipun demikian, mikroalga dapat mengasimilasi phosphor 
dalam keadaan ekses di mana pada nantinya akan disimpan dalam sel dalam bentuk 
polipospat. Secara umum kadar posphor dalam mikroalga berbeda beda tergantung dari 
 supply konsentrasinya. Seperti contoh kadar 1 mg P dalam 1 gram alga basis kering dengan 
supplu konsentrasi 0.1mg P/l, atau supply 5mg P/l menghasilkan 100mg P dalam 1 gram 
alga basis kering. Rata – rata sel alga mengandung 13mg P pergram alga basis berat. 
Sedangkan alga yang dikultivasi dalam limbah yang mengandung kadar phosphor yang 
tinggi dapat menyerap poshpohor sebanyak 10 - 20 mg P/l , lebih tinggi dari jumlah 
phosphor yang dibutuhkan sel untuk tumbuh. 
Nitrogen merupakan unsur terpenting untuk mikroalga setelah sumber karbon, dan 
dapat menymbang 10% dari total berat biomassa. Nitrogen banyak ada  pada limbah 
organik dalam berbagai bentuk senyawa. Sedangkan mikroalga dapat menyerap senyawa 
nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4
+
) dan nitrat (NO3-). Ammonium merupakan 
senyawa yang lebih disukai mikroalga. Akan tetapi kadar ammonium yang tinggi pada 
medium tidak dianjurkan sebab p dapat memicu  terjadinya racun. Sumber ammonium 
dan nitrat ini juga dapat diambil dari senyawa urea dan nitrit. Akan tetapi penggunaan nitrit 
dalam konsentrasi tinggi dapat mengganggu pembiakan alga (Larsdoter, 2006 ). 
2. Pengurangan kadar warna 
Kadar warna pada limbah dapat dikurangi dengan memanfaatkan teknologi mikroalga. 
Berdasarkan penelitian Lim et al (2010), limbah cair industri tekstil batik dapat diolah 
menggunakan mikroalga jenis Chlorella vulgaris. Limbah tekstik memiliki karakteristik 
konsentrasi warna yang pekat, salinitas yang tinggi, temperatur tinggi, dan kadar COD yang 
tinggi. Limbah ini dapat menjadi racun apabila dibuang ke lingkungan. Lim melaporkan 
bahwa Chlorella vulgaris dapat mengurangi warna pada limbah dengan efisiensi sebesar 41.8 
- 50.0%, pengurangan COD sebesae 38.3-62.3%, kadar NH4-N 44.4-45.1% dan PO4-P 
sebesar 33.1-33.3%. Kultivasi dilakukan dengan sistem HRAP (high rate algae ponds). 
Kultivasi menggunakan medium limbah yang ditambah nutrien sintetis dapat meningkatkan 
biomassa akan tetapi tidak dapat menaikkan efisiensi pengurangan warna atau polutan lain. 
Penelitian lain tentang penyerapan warna pada limbah juga telah dilakukan oleh Dilek 
et al (1999) untuk aplikasi limbah cair industri kertas. Efisiensi penyerapan warna yang 
dihasilkan mencapai 80% dengan waktu inkubasi selama 30 hari dengan kondisi 24 jam 
pecahayaan. Selain itu juga dilaporkan bahwa kandungan total carbon dan lignin dapat 
dikurangi secara signifikan. 
Mekanisme penyerapan warna biasanya berdasarkan metode biosorpsi. Proses 
biosorpsi meliputi dua fase; fase padat (biosorbent, adsorbent, material biologis) dan fase cair 
(solven, biasa digunakan adalah air) yang mengandung spesies terlarut untuk menyerap 
warna (adsorbat, metal/pewarna). Proses penyerapan berlangsung hingga mencapai 
kesetimbangan antara jumlah penyerap (adsorbat) dan jumlah zat yang terserap. Adsorbent 
ini dapat diambil dari jenis mikroalga, dan plankton air tawar/ laut. 
Biosorpsi memiliki keunggulan dibandingkan teknik tradisional (Volesky, 1999). 
Beberapa diantaranya adalah: 
a. Selektif : kinerja sorbent berbeda tergantung dari faktor, seperti: tipe biomasa, 
campuran pada larutan, treatment fisio-kimia. 
b. Regeneratif : biosorbent mikroalga dapat digunakan secara terus menerus 
c. Tidak menghasilkan sludge 
3. Pengurangan kadar COD dan BOD 
Kadar BOD dan COD pada limbah cair dapat dikurangi menggunakan teknologi 
mikroalga. BOD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai 
senyawa organik. Jika BOD yang terkandung dalam limbah terlalu tinggi, diindikasikan 
bahwa kandungan nitrat dan phosphor yang terkandung dalam media terlalu tinggi. 
Parameter yang hampir sama dengan BOD adalah COD. COD merupakan ukuran jumlah 
oksigen yang dibutuhkan air untuk dioksidasi. 
Mikroalga dapat melakukan simbiosis dengan bakteri pengurai BOD yakni mikroalga 
memperoleh karbon dioksida dari bakteri pengurai, sementara bakteri memperoleh sumber 
oksigen dari mikroalga untuk tetap bertahan hidup dalam limbah organik. Selain itu 
mikroalga juga dapat menyerap kandungan nitrogen serta posphor dalam limbah sehingga 
secara tidak langsung dapat mengurangi kandungan COD dalam limbah. 
4. Pengurangan Kadar Logam 
Teknologi mikrolaga untuk pemrosesan pengurangan kadar logam pada limbah 
memiliki metode yang hampir sama dengan metode pengurangan warna, yakni metode 
biosorpsi. Logam berat dalam limbah dapat menjadi masalah serius jika tidak ditangani 
dengan benar. Logam berat tidak dapat terdegradasi secara alami, untuk itu diperlukan 
penanganan khusus pada limbah sebelum dibuang ke lingkungan / alam. 
Salah satu studi penelitian tentang penggunaan mikroalga untuk menangani logam 
berat dilakukan oleh Travieso et al (1992). Pada laporan ini  disebutkan bahwa dengan 
menggunakan mikroalga yang diimobilisasi dengan Kappa-karaginan maupun poliurethan 
diperoleh hasil penyerapan logam seng, kromium, dan kuningan yang cukup baik dengan 
seiring dengan lamanya waktu kultivasi 
Penyerapan logam berat dapat juga dilakukan oleh sel mikroorganisme baik yang 
masih hidup maupun yang telah mati. Dengan penggunaan sel hidup terkadang dapat 
menimbulkan masalah seperti sel tidak dapat bertahan pada lingkungan yang terlalu beracun, 
memerlukan  nutrien dan terdakadang malah dapat meningkatkan nilai BOD dan COD 
dalam limbah. Biasanya digunakan sel yang telah dikeringkan untuk menyerap logam pada 
limbah, sel yang telah mati tidak memerlukan  perlakuan yang tinggi dan lebih murah. Lebih 
jauh lagi, biomas yang telah mati dapat diregenerasi dan digunakan kembali. 
Sebagai contoh aplikasi penggunaan biomas kering Chlorella vulgaris dapat 
digunakan untuk penyerapan Pb pada single stage batch reactor dengan konsentrasi 25-
200mg/L. fenomena penyerapan divariasi pada pH dan temperatur yang berbeda beda. 
Holand dan Volesky juga melaporkan bahwa penyerapan Pb dan Ni dapat dilakukan dengan 
penambahan biomas dari mikrolga air laut. Sedangkan penyerapan multi logam diteliti oleh 
peneliti lain dengan menggunakan brown algae, Ascophyllum nodosum dengan menggunakan 
dua jenis logam sekaligus (Cu+Zn), (Cu + Cd), atau (Zn + Cd). Pada penelitian ini  
dinyatakan bahwa multi logam dapat menghambat penyerapan logam lain. Penelitian lain 
tentang penyerapan Cr (IV) dapat menggunakan algae hijau Spirogyra. Sedangkan dengan 
algae Sargassum sp (Chromo phyta) digunakan untuk penyerapan ion Cu. 
Variabel yang berpengaruh terhadap penyerapan logam di antaranya: level pH, 
kecepatan pengadukan, waktu penyerapan, suhu, kondisi kesetimbangan dan konsentrasi 
logam yang ada  pada limbah. Sedangkan peneliti lain melaporkan bahwa temperatur 
tidak berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan logam pada suhu 20-350
C. Namun 
demikian, pH adalah faktor yang paling dominan dalam proses. 
5. Studi Kasus 
Contoh studi kasus pengolahan limbah kelapa sawit menggunakan teknologi 
mikroalga. Limbah cair kelapa sawit memiliki karakteristik kadar COD dan BOD yang 
tinggi. Selain itu limbah cair ini  memiliki potensi yang tinggi sebagai polutan air yang 
membahayakan lingkungan. 
POME (palm oil mill effluent) memiliki kadar COD dan BOD tinggi, selain itu 
memiliki warna yang cenderung hitam keruh sebab p mengandung senyawa tanin dan 
padatan terlarut yang tinggi. Akan tetapi limbah ini masih mengandung unsur nitrogen dan 
phosphor yang tinggi sehingga berpotensi sebagai medium pertumbuhan algae. 
Pengolahan limbah cair kelapa sawit pada umumnya menggunakan sistem open pond 
anaerob dengan menggunakan lumpur aktif dan diendapkan melalui empat kolam retensi. 
Namun hasil akhir limbah ini masih memiliki kadar COD dan BOD yang terkadang masih 
nbelum memenuhi standar baku mulu limbah. POME yang sudah diolah dengan metode 
anaerob inilah yang cocok digunakan sebagai medium pertumbuhan mikroalga. 
Karakteristik limbah cair kelapa sawit (POME) tersaji sebagai berikut:
Berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa limbah cair kelapa sawit yang sudah 
terdigestasi dapat digunakan sebanyak 20% konsentrasi volume sebagai medium 
berkembangbiak mikroalga Spirulina sp, dengan penambahan nutrien sintetis sebesar 0.6gr/l 
NaHCO3, 25 ppm urea, dan 10 ppm TSP. Biomassa Spirulina dapat digunakan sebagai 
sumber protein untuk makanan ternak, dan effluent dari medium dapat menurunkan kadar 
COD dari 400 ppm menjadi 150ppm. Dapat juga digunakan penambahan POME sebesar 
50% volume akan tetapi perkembangbiakan mikroalga menjadi terganggu sebab p warna 
pada POME dapat menghambat masuknya cahaya ke dalam medium sehingga dapat 
mengganggu reaksi fotosintesis mikroalga. 
Penelitian lain tentang penggunaan mikroalga seabagai penghilang kadar N dan P 
pada POME telah dilakukan oleh Habib et al (2005) dengan menggunakan mikroalga 
Chorella vulgaris sebagai makanan Moina micrura. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa 
Chlorella dapat tumbuh baik pada konsentrasi 10%- 20% POMED dengan kandungan 
Chlorella vulgaris rata-rate paling tinggi mengandung karbohidrat, diikuti kandungan 
protein dan lipid. 
Sedangkan mengenai medium POME (10% volume) mengalami penurunan seperti 
yang tersaji dalam Tabel 8.3. Pada penelitian ini , padameter-parameter limbah dapat 
berkurang sebab p keberadaan mikroalga Chlorella vulgaris. Berdasarkan literatur, mikroalga 
memerlukan  sumber karbon, nitrogen, phosphor dan unsur mikronutrien lain seperti 
kalium, besi, magnesium, untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga menyerap karbon, 
nitrogen, dan phosphor dengan rasio 56:9:1. Sedangkan kadar COD berkurang seiring 
aktivitas mikroalga yang menghasilkan oksigen dari proses fotosintesis. Oksigen yang 
dihasilkan ini akan digunakan oleh bakteri terlarut untuk mendegradasi senyawa organik 
yang ada dalam limbah. 

memerlukan  sumber karbon, nitrogen, phosphor dan unsur mikronutrien lain seperti 
kalium, besi, magnesium, untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga menyerap karbon, 
nitrogen, dan phosphor dengan rasio 56:9:1. Sedangkan kadar COD berkurang seiring 
aktivitas mikroalga yang menghasilkan oksigen dari proses fotosintesis. Oksigen yang 
dihasilkan ini akan digunakan oleh bakteri terlarut untuk mendegradasi senyawa organik 
yang ada dalam limbah. 
Ditinjau dari sisi biorefinery, mikroalga juga berpotensi tidak hanya sebagai energy 
stock yang menjanjikan di masa depan, namun lebih jauh lagi dapat pula dimanipulasi 
Dilihat dari skema biorefinery Gambar 9.2. terlihat bahwa mikroalga dapat 
memproduksi berbagai macam produk olahan sesuai keinginan. Akhir kata, seiring menuanya 
bumi ini, krisis yang timbul dalam kehidupan kita akan semakin terakumulasi dan komplek, 
tidak hanya pangan, energi, tapi juga isu lingkungan seperti masalah limbah cair, bahkan 
global warming. Bisa jadi duapuluh tahun ke depan, hampir semua industri pengolah minyak 
dan gas yang mengambil sumber minyak bumi akan beralih fungsi menjadi perusahaan 
pengolah mikroalga, sebuah mikrobioreaktor yang mampu menghasilkan minyak bumi yang 
dapat diperbaharui. Bisa jadi di masa depan, efek rumah kaca dapat ditanggulangi dengan 
mikroalga. 
1. Potensi Mikroalga selain Pangan dan Energi
Bicara tentang teknologi mikroalga, maka kita juga harus membicarakan bagian aspek 
ekonomis, sustainability, dan feasibility teknologi ini . Dalam beberapa bab sebelumnya, 
telah diterangkan mengenai beberapa Teknologi mikroalga yang memungkinkan dapat 
diterapkan dalam skala komersial selain pangan dan energi seperti untuk pengolahan limbah, 
dan sumber bioproduk lain. Dalam hal ini, spesifikasi teknologi yang memungkinkan untuk 
diterapkan dalam skala industri adalah sebagai berikut: 
1.1. Mikroalga sebagai Pembersih Udara 
Tidak dipungkiri bahwa mikroalga dapat tumbuh dengan cepat jika berada pada 
kondisi optimum. Hal ini yang memungkinkan mikroalga sebagai salah satu sel 
utama yang dapat menyerap gas karbon dioksida dalam jumlah yang banyak. Pada 
Gambar 9.3. terlihat bagaimana konstruksi gedung yang diintegrasikan dengan 
mikroalga untuk menyerap gas karbon dioksida di perkotaan. Lebih jauh lagi 
teknologi mikroalga dimungkinkan untuk diterapkan dalam produksi oksigen 
bersih. Gagasan menarik ini juga mungkin untuk diterapkan dalam ruangan bagi 
perokok untuk membersihkan asap rokok dengan menjerapnya menggunakan 
mikroalga. 
Dalam skala industri, cerobong asap penghasil polusi udara, dapat dibersihkan 
dengan memanfaatkan mikroalga sebagai agen pembersih asap CO2 sehingga pada 
nantinya efek rumah kaca dapat diturunkan dengan bertahap. 
Dalam skala yang lebih spesifik, mikroalga dapat digunakan untuk menangkap gas 
karbon dioksida dalam teknologi produksi biogas, di mana selama ini biaya 
pemurnian methana dan karbon dioksida dalam biogas masih tergolong mahal. 
1.2. Mikroalga sebagai Sumber Biosemen 
Mikroalga sebagai sumber biosemen bukan hal mustahil. Selama ini biaya 
pembuatan semen masih mahal mengingat semen yang diproses harus 
menggunakan suhu tinggi berada pada kisaran 10000
C. l
memberikan paparan mengenai teknologi miroalga untuk menghasilkan biosemen, 
di mana pada nantinya diharapkan konsumsi energi lebih rendah, dan emisi yang 
dihasilkan juga tergolong rendah. Konsep mikroalga ini mengacu pada 
terbentuknya kalsium karbonat (CaCO3) dari reaksi mikroalga. 
1.3. Mikroalga sebagai Pupuk Organik 
Mikroalga mengandung sumber karbon nitrogen dan phosphor. Hal ini yang 
memungkinkan dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah apabila digunakan 
sebagai sumber pupuk organik. Hal yang menarik dari teknologi mikroalga ini 
adalah dapat dimanfaatkannya strain mikroalga jenis tertentu dalam limbah pupuk industri pupuk seperti urea-amonia untuk menyerap senyawa nitrit dan senyawa 
kimia lain yang tidak dapat direcovery dengan teknologi pada umumnya, sehingga 
pada nantinya blending antara pupuk sintetis dan organik. 
2. Masa Depan Teknologi Mikroalga 
Teknologi mikroalga berkembang seiring dengan naiknya dampak global warming, 
kebutuhan energi, pangan, dan air bersih di dunia. Beberapa tahun belakangan ini banyak 
industri berbasis mikroalga yang mulai bermunculan untuk menghasilkan produk atau 
memanfaatkan teknologi mikroalga untuk kepentingan tertentu. Sebagai contoh Algaetech 
Malaysia, Solazyme Amerika, Algenol Amerika, Neoalgae Indonesia, NREL Belanda, dan 
beberapa industri berbasis pangan, energi atau industri jasa pengolah limbah dengan 
memanfaatkan teknologi mikroalgae seperti Tirtatech Engineering, selain dapat mengolah air 
limbah, biomass yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain seperti contoh 
pengolahan limbah cair kelapa sawit, biomassa yang dihasilkan dapat digunakan untuk 
pangan. Dengan memanfaatkan mikroalga, maka emisi gas rumah kaca dapat dikurangi, 
sebab p secara umum mikroalga memerlukan  sumber karbon dioksida untuk berkembang 
biak. Di samping itu, biomas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya. 
Harmonisasi ini pada nantinya dapat diwujudkan dalam desain gedung, perkantoran, 
maupun perumahan di berbagai negara. Beberapa desainer menggambarkan teknologi 
mikroalga yang diintegrasikan dalam desain gedung “green building zero emission.”
Harmonisasi masa depan teknologi mikroalga memungkinkan diterapkan dalam 
wilayah perkantoran yang ramai, wilayah perumahan padat penduduk, atau wilayah 
perindustrian yang menghasilkan gas karbon dioksida dalam jumlah tinggi. Dalam hal ini 
biomas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerangan, dan sebagainya.