sebagai obat-obatan yang lebih dikenal
sebagai pangan fungsional. Dibandingkan dengan sumber lain seperti yeast maupun fungi,
mikroalga memiliki keunggulan di aspek keamanannya. Jika di bandingkan dengan protein
bersel tunggal yang bersumber dari mamalia, mikroalga lebih unggul di bidang efisiensi
produksinya, lebih mudah dalam operasional. Perbandingan protein sel tunggal yang
dihasilkan dari beberapa sumber tersaji pada tabel 6.1.
Mikroalga yang sering dibudidayakan adalah alga hijau jenis Chlorella sp,
Scenedesmus obliqus, alga merah seperti Dunaliella Salina dan jenis cyanobacteria Spirulina
sp. Chlorella sp sebagai contoh berbentuk spherical, eukariotik, uniseluler dengan diameter
5-10 mikrometer. Scenedesmus hampir sama dengan Chlorella namun terdiri dari 4 koloni
sel. Spirulina memiliki sifat fotosintesis, berbentuk spiral, dan multisel, dengan ukuran
panjang 0.5mm. Spirulina diklasifikasikan dalam cyanobacteria yakni bakteri yang memiliki
klorofil
Mikroalga sebagai sumber protein maupun sebagai sumber pangan telah lama
diketahui, dan berdasarkan informasi serta penelitian para ahli, mikroalga yang berbasis
pangan tidak memberi efek negatif bagi tubuh meski dikonsumsi secara rutin dalam jangka
waktu lama maupun singkat. Beberapa mikroalga bahkan digunakan sebagai sumber obat
obatan, dan dimanfaatkan dalam industri farmasi. Dalam beberapa tahun belakangan,
beberapa industri farmasi telah banyak memanfaatkan mikroalga berbasis farmasi untuk
keperluan tertentu. Sebagai contoh adalah mikrolaga jenis Isochrysis galbana dapat
digunakan sebagai sumber bioaktif untuk penyembuhan penyakit tuberkolosis (Prakash dan
Bhimba, 2004). Mikroalga sebagai sumber vitamin juga dapat diaplikasikan dalam skala
besar. Dunaliella salina adalah mikroalga merah yang memiliki kandungan beta karotin yang
tinggi. beta karotin digunakan sebagai obat peredam nyeri kangker payudara, sebagai obat
mata, pencegah penyakit kulit yang mudah iritasi bila terkena sinar matahari, sebagai
pencegah penyakit bronkitis, peredam nyeri ketika melahirkan dan sebagainya.
1. Mikroalgae sebagai Sumber Protein
Dalam kurun dekade belakangan ini mikroalga dapat dijumpai di pasaran dalam
bentuk tablet, kapsul, minuman kaleng, permen, dan dicampur dalam pangan lain untuk
meningkatkan nilai nutrisinya. Mikroalga yang sering dijumpai adalah dari jenis Arthosphira,
Chlorella, D.salina, dan A phanizomenon flos-aquae.
Arthospira digunakan sebagai pangan sebab p nilai nutrisi dari proteinnya yang cukup
tinggi. Lebih jauh lagi, mikroalga ini memiliki senyawa yang dapat menyehatkan tubuh.
Diantaranya adalah: mengurangi risiko hiperlipidemia, hipertensi, menjaga dari penyakit
gagal ginjal, meningkatkan kinerja lactobasilus dalam tubuh. Salah satu produsen Arthospira
terbesar di dunia adalah Hainan Simai Enterprising yang terletak di provinsi Hainan di China
dengan produksi 200 ton bubuk Spirulina. Produksi ini hampir mencapai 10% dari pasar
Spirulina di dunia. Sedangkan plant terbesar Arthospira terletak di Calipatria, Amerika,
dengan area produksi 440,000 m2
.
Produksi mikroalga sebagai pangan terbesar lainnya adalah dari jenis Chlorella
dengan lebih dari 70 produsen di dunia. Chlorella digunakan sebagai sumber pangan sebab p
kaya akan protein, selain itu juga dapat digunakan sebagai senyawa aditif. Salah satu
produsen Chlorella terbesar adalah Taiwan Chlorella Manufacturing and Co, dengan produk
400 ton biomas kering per tahun. Produsen besar lainnya adalah Klotze, Jerman, dengan
produksi antara 130-150 ton per tahun menggunakan sistem pembiakan photobioreaktor.
2. Mikroalga sebagai Sumber Vitamin
Selain menjanjikan sebagai sumber pangan, mikroalga juga dapat digunakan sebagai
sumber vitamin yang baik digunakan sebagai asupan tambahan yang diperlukan oleh tubuh.
Salah satu mikroalga yang dapat mensintesis senyawa alami menjadi sumber vitamin adalah
jenis Spirulina, Nanochloropsis, Chlorella, dan beberapa jenis mikroalga lainnya.
Berdasarkan penelitian Durmaz, (2007), Nanochloropsis dapat dimanfaatkan sebagai
sumber vitamin E dengan memodifikasi kondisi pertumbuhannya. Nanochlorpsis oculata
adalah mikroalga air laut uniseluer dari kelas Eustigmato phycae. Mikroalga lain seperti
Spirulina juga dapat menyediakan vitamin B12.
3. Mikroalga sebagai Sumber Pigmen
Mikroalga merupakan sumber pigmen alami yang aman digunakan sebagai zat aditif
maupun dalam kosmetik. Beberapa mikroalga dapat menghasilkan pigmen selain dari pigmen
hijau yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Beberapa pigmen yang umum digunakan dalam
industri adalah klorofil, phycobiliprotein dan karotenoid.
Klorofil dapat dijumpai di hampir semua mikroalga, dan tersusun atas lebih dari satu
jenis klorofil, seperti klorofil-a, klorofil-b, klorofil-c, -d dan –e. klorofil-a adalah klorofil
primer yang hampir dijumpai di sebagian besar mikroalga, dan merupakan satu satunya
klorofil yang dimiliki mikroalga jenis cyanobacteria serta rhodophyta.
Selain dapat digunakan sebagai pewarna pada farmasi, senyawa turunan dari klorofil
juga dapat digunakan sebagai produk kesehatan. (Ferruzi dan Blakeslee, 2007). Penelitian
dari Netherlands Cohort Study menyatakan bahwa dengan mengkonsumsi klorofil dapat
menurunkan risiko terkena kanker (Balder et al, 2006).
Sumber pigmen lainnya adalah fikosianin. Fikosianin merupakan pigmen biru yang
kebanyakan ditemui pada jenis cyanobakteria. Lebih jauh lagi, fikosianin dapat dimanfaatkan
sebagai antioksidan, anti-kanker, dan pewarna pada industri farmasi, permen, soft drink,
kosmetik, dan beberapa industri berbasis bioteknologi lainnya. Biaya untuk ekstraksi
fikosianin diperkirakan mencapai 0.13 US$ per mg untuk skala food grade. Sedangkan untuk
skala analitis mencapai 15 US$ per mg. Banyak metode ekstraksi yang dapat digunakan
untuk memisahkan fikosianin dari biomassanya. Proses yang biasa digunakan adalah dengan
ekstraksi menggunakan solven air, bahan kimia, maupun dengan pemisahan menggunakan
membran.
Beta karotin juga merupakan pigmen alami yang sering dimanfaatkan dalam range
yang lebih luas. Pigmen kuning kemerahan ini biasa dijumpai pada buah buahan, dan
sayuran. Sedangkan pada mikroalgae, beta karotin dapat ditemukan pada beberapa spesies
dari alga merah seperti Dunaliella Salina yang dapat menghasilkan betakarotin sampai 17%
berat kering.
Gambar 6.2. pewarna alami dari mikroalga
(sumber: http://www.dlt-spl.co.jp)
Beta karotin dari mikroalga ini dapat dimanfaatkan dalam tiga kategori yakni dalam
industri farmasi, industri pangan, dan industri kosmetik (termasuk dalam jenis fine chemical).
Beta karotin alami memiliki kandungan karotenoid yang komplek dan nutrien esensial
dibandingkan dengan beta karotin buatan. Beta karotin dapat dikonsumsi dalam kuantitas
yang lebih banyak. (Olson, dan Krinsky, 1995). Lebih jauh lagi, beta karotin dalam
pemanfaatannya sebagai pewarna memiliki range yang sangat luas. Beta karotin dapat
meningkatkan penampilan produk pangan dan minuman seperti margarin, keju, jus, makanan
kalengan, dan sebagainya. Salah satu produsen Dunaliella terbesar di dunia adalah Parry`s
agro Ltd di India untuk skala farmasi. Perusahaan lain yang memproduksi Dunaliella adalah
ABC Biotech Ltd di Tamil, Nadu.
Trend pewarna alami atau pigmen dari mikroalga diprediksi terus berkembang seiring
permintaan pasar. Penggunaan dan manfaatnya sangat dibutuhkan dalam beberapa industri
seperti industri farmasi yang memerlukan spesifikasi yang lebih ketat. Dibandingkan
dengan sumber pigmen dari jamur, bakteri, atau yeast, pigmen dari mikroalga memiliki keunggulan dalam efisiensi biaya produksi, dan lebih aman digunakan. (Dufosse, et al.,
2005).
4. Mikroalga sebagai sumber Pakan Alami
Mikroalga merupakan sumber pakan alami yang populer bagi peternak unggas,
pembudidaya ikan, dan sapi. Beberapa jenis mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai suplemen
yang dicampurkan pada pelet atau makanan ternak lainnya. Kulpys, et al. (2009) melakukan
penelitian tentang pengaruh penambahan Spirulina platensis terhadap produktivitas dan
kandungan susu sapi. Selama 90 hari dilakukan uji coba penambahan Spirulina dengan dosis
200 gram diperoleh hasil sapi menjadi lebih gemuk 8.5-11%, dengan produktivitas susu 29
kg/ hari tanpa penambahan alga, menjadi 36 lt/hari.
Ginzberg, et al. (2000) melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan
mikroalga jenis Porphyridium sp., yang merupakan jenis alga merah. Dari penelitian ini
diperoleh hasil bahwa mikroalga yang ditambahkan pada pakan dapat menurunkan kadar
kolesterol dan dapat memodivikasi komposisi asam lemak pada kuning telur. Mikroalga
ini mengandung polisakarida sebesar 70% dan mengandung beberapa PUFA seperti
arachidonic dan eicosapentaenoic. Dosis mikroalga sebesar 10% diberikan pada makanan
ayam selama variabel waktu 0 hari, 10 hari, dan 20 hari. Dari penelitian diperoleh hasil
peningkatan kandungan asam linoleat 29% dan asam arachidenic 24% pada kuning telur.
Sedangkan pada level kolesterol darah diperoleh penurunan sebesar 28%.
Mikroalga juga dapat digunakan sebagai sumber pakan alami untuk budidaya
perikanan, baik untuk sumber makanan atau untuk ikan hias. Badwy, et al. (2008)
mempelajari pengaruh penambahan mikroalga Chlorella sp. dan Scenedesmus sp. pada ikan,
diperoleh bahwa penambahan alga berat kering pada pakan ikan mempengaruhi kadar
protein, lemak, dan berat pada ikan Nile Tilapia.
Selain itu Mikroalga juga dapat digunakan sebagai suplemen bagi hewan pelihataan. Seperti
yang diinformasikan dalam situs Spirulinasource.com, Spirulina platensis dapat digunakan
untuk beberapa hewan peliharaan seperti pada tabel 6.7.
5. Mikroalga sebagai sumber Produk Bioplastik
Kecenderungan mikroalga sebagai bahan pembuatan bioplastik diperkirakan akan
meningkat seiring semakin mahalnya minyak bumi. Bioplastik atau plastik organik adalah
plastik yang terbuat dari sumber biomassa seperti minyak nabati, tepung jagung, dan tepung
lainnya. Umumnya plastik terbuat dari bahan petrokimia. Bioplastik yang berasal dari
biomassa memiliki dua keuntungan. Di satu sisi dapat menurunkan kadar karbon dioksida, di
sisi lainnya dapat mengurangi kebutuhan akan bahan bakar fosil.
Alga merupakan stok bahan baku yang cocok digunakan sebagai biomassa penghasil
bioplastik. Beberapa keuntungannya di antaranya yield yang tinggi, dan kemampuan
tumbuhnya yang mudah di lingkungan. Bioplastik dari alga pada umumnya terbuat dari
produk samping pembuatan biofuel dari alga. Beberapa tipe dari bioplastik di antaranya
biopolimer dari organisme hidu, yaitu polimer yang dihasilkan berasal dari pemrosesan
selulosa, protein, dan tepung. Contoh lain adalah polimerisasi dari Molekul organik. Produk
ini umumnya terbuat dari asam laktat dan trigliserida, dan dapat dipolimerisasi sehingga
sifatnya biodegradable.
Beberapa plastik yang dapat diproduksi dari alga diantaranya:
a. Hybrid Plastic
Produk ini adalah pencampuran dari biomass alga dan petroleum seperti polyuretha dan
polietilen. Penggunaan biomassa dari alga dapat mengurangi kebutuhan petrolium dan
meningkatkan kemampuan sifat biodegradable. Alga hijau berfilamen seperti Chlado
phorales merupakan jenis alga yang cocok digunakan pada pembuatan plastik hybrid ini.
b. Plastik berbasis Selulosa
Bioplastik yang paling umum digunakan adalah berasal dari selulosa, seperti daun pisang,
daun jati, dan beberapa jenis dedaunan lain yang dapat dimanfaatkan sebagai packaging.
Beberapa jenis alga yang telah diekstrak untuk kebutuhan minyaknya, menghasilkan sisa
selulosa yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan bioplastik.
c. Poly-lactic-Acid (PLA)
Asam laktat umumnya diproduksi dengan cara fermentasi dan dipolimerisasi untuk
menghasilkan asam polilaktat. Asam laktat ini dapat diproduksi dari biomassa alga
menggunakan fermentasi.
d. Bio-polietilen
Biopolietilen adalah polimer yang berasal dari ethanol. Selama ini ethanol diproduksi dari
sumber gas alam atau petrolium. Selain itu ethanol juga dapat diproduksi dari fermentasi
biomassa alga. Namun ditinjau dari segi ekonomi, produksi ethanol dari alga masih belum
menguntungkan. Beberapa industri yang sedang mengembangkan industri plastik berbasis
biomassa alga diantaranya adalah:
a. Dow Chemical
Dow Chemical masih melakukan riset skala kecil untuk menghasilkan bio-polietilene
dari mikroalga dengan mitra kerja Algenol Amerika. Etanol yang diperoleh dari
mikroalga akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan Dow Plastic.
b. Ceraplast
Ceraplast merupakan produsen berbasis pangan terutama menghasilkan produk
tepung seperti jagung, tapioka, kanji, dan kentang. Ceraplast hybrid plastic adalah
merupakan proyek penelitian bioplastik hibrid campuran antara material alga dan
poliolefin.
Mikroalga memiliki potensi sebagai bahan baku penghasil energi. Tidak dipungkiri
bahwa pertumbuhan mikroalga lebih cepat dari beberapa tumbuhan lain yang dapat
menghasilkan minyak, seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, dan bunga matahari. Selain itu
mikroalga tidak memerlukan banyak lahan dan air untuk pertumubuhan. Lebih jauh lagi,
mikroalga tidak menghasilkan limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan sehingga
tidak mempengaruhi kualitas air yang telah digunakan sebagai pertumbuhan.
Biomass dari mikroalga dapat diolah menjadi beberapa turunan produk bioenergi
seperti biodiesel (cara transesterifikasi), bioethanol (C2H6O) (cara fermentasi), biobuthanol
(C4H10O), maupun SVO (Straight Vegetable Oil) di mana minyak yang dihasilkan dari
mikroalga langsung digunakan untuk mesin diesel yang telah dimodifikasi
Berdasarkan skema Gambar 7.1. terlihat bahwa mikroalga dapat dijadikan sebagai
produk bioenergi yang cukup beragam. Biomas dari mikroalga dapat diolah dalam bentuk
bioethanol, biobuthanol melalui proses fermentasi. Biomas mikroalga yang kering juga dapat
olah menggunakan anaerobic digestion sehingga menghasilkan senyawa methana dan
hidrogen. Selain itu mikroalga yang kaya akan kandungan lipid dapat diproses lebih lanjut
menjadi biodiesel dengan menggunakan proses transesterifikasi. Sedangkan proses langsung
dari penggunaan biomassa kering mikroaga adalah dengan cara pembakaran langsung
sehingga menghasilkan panas dan dapat digunakan untuk mesin generator. Beberapa contoh
produsen penghasil algae sebagai bioenergi di dunia di antaranya:
- Algae Floating Systems, Inc
- Algae Fuel (California)
- Algae Fuel System (California)
- Algal Oil Diesel, LLP (Oregon)
- Algoil Industries, Inc
- Cellana (Shell & HR Biopetroleum)
- Sap pHire Energy (dibiayai Bill Gates)
- Solix Biofuels (Colorado)
- Valcent (Texas)
(Demazel, 2008)
1. Biodisel dari Mikroalga
Salah satu produksi energi dari tanaman adalah biodiesel. Biodiesel memiliki
keunggulan dibanding diesel dari minyak bumi. Biodiesel dapat digunakan secara luas pada
mesin diesel, tanpa perlu banyak modifikasi. Biodiesel dapat dicampur dengan diesel
konvensional dengan berbagai rasio.
Alga penghasil biofel, atau disebut sebagai algae fuel adalah biofuel generas ketiga
setelah ditemukannya teknologi generasi kedua, biofuel dari tanaman penghasil lipid. Alga
dapat memproduksi energi 20 sampai 100 kali lipat dibanding tumbuhan tingkat tinggi lain.
Berdasarkan Tabel 7.1, mikroalga merupakan sumber biodiesel yang paling
berpotensi dibanding tumbuhan lain. Mikroalga secara umum memproduksi biomasa dua
kali lipat selama 24 jam. Sedangkan penggandaan biomassa selama fase eksponensial dapat
dicapai dalam waktu 3.5 jam.
Kandungan minyak dalam biomassa kering mikroalga dapat mencapai 80% berat.
Namun secara umum mikroalga menghasilkan lipid dalam range 20-50%. Produktivitas lipid
dan produktivitas biomassa harus sesuai. Produktivitas lipid adalah massa lipid yang
diproduksi per unit volume dari broth mikroalga per hari. Beberapa mikroalga memiliki
kandungan lipid yang tinggi namun pertumbuhannya lambat.
Tidak semua mikroalga penghasil lipid layak untuk digunakan sebagai biodiesel.
Mikroalga memproduksi banyak jenis lipid, hidrokarbon dan jenis minyak komplek lainnya.
Dengan menggunaan mikroalga untuk memproduksi biodiesel tidak akan mengganggu stock
pangan.
Mikroalga yang dibiakkan secara heterotrof memiliki potensi yang tinggi sebagai
penghasil lipid untuk biodiesel dengan menggunakan sumber karbon seperti gula, dan sitrat.
Akan tetapi produksi secara heterotrof tidak efisien dibanding mikroalga dengan metode
fotosintesis.
1. Faktor yang Mempengaruhi Lipid Mikroalga
Kandungan lipid dalam mikroalga dapat meningkat menjadi dua atau tiga kali lipat
ketika lingkungan pertumbuhan mikroalga dalam keadaan kekurangan nutrisi atau
kondisi limit(stress). Kualitas asam lemak dan komposisinya juga berbeda beda
dipengaruhi oleh keadaan fisiologis dan kondisi pertumbuhannya (Geouveia, 2011).
Faktor kimia yang mempengaruhi mikroalga penghasil lipid adalah nutrien
(nitrogen, phosphor, sulfur, silicon), pH, salinitas, dan komposisi nutriennya.
Widjaja et al (2009) melaporkan bahwa nitrogen berperan penting dalam
pembentukan lipid mikroalga. Pengurangan kadar nitrogen dalam medium
pertumbuhan mikroalga dapat meningkatkan kadar lipid, akan tetapi hal ini juga dapat
menurunkan laju pertumbuhannya. Selain itu Wijanarko (2011) juga melaporkan
bahwa nitrogen dalam bentuk NO3 mempengaruhi kandungan lipid sedangkan
nitrogen dalam bentuk NH3 mempengaruhi kandungan protein.
Faktor fisika yang mempengaruhi pertumbuhan alga adalah temperatur, dan
intensitas cahaya. Komposisi kejenuhan asam lemak dapat dipengaruhi oleh suhu.
Jika suhu saat pembiakan rendah, makan asam lemak yang terbentuk semakin tidak
jenuh, dan sebaliknya. Intensitas cahaya yang rendah juga dapat mempengaruhi
kepolaran kandungan lipid. Semakin rendah intensitas cahaya, maka lipid yang
terbentuk cenderung ke arah triakilglserida
Selain faktor fisik dan kimia,waktu pemanenan biomas dapat juga mempengaruhi
hasil lipid yang diinginkan. Peningkatan TAG (triakilgliserid) terjadi ketika fase
stasioner. Umur pertumbuhan juga dapat mempengaruhi kandungan lipid dalam
biomas. Semakin lama masa pengkulturan, asam lemak yang terbentuk adalah jenuh
dan berbentuk mono-unsaturated sementara PUFA semakin sedikit. (Liang, et al.
2006).
2. Ekstraksi Lipid
Selain pengembangan kandungan lipid dalam mikroalga dan kecepatan
pertumbuhannya, proses ekstraksi kandungan bioenergi, seperti lipid, dalam
mikroalga perlu diperhatikan. Beberapa metode konvensional hanya dapat mengambil
kandungan lipid dalam mikroalga dalam jumlah kecil. Di lain hal, banyak peneliti
yang mengkaji beberapa metode ekstraksi ini .
Metode pengambilan lipid dari mikroalga biasanya dibedakan menjadi dua,
gangguan dinding sel dan metode ekstraksi solven. Namun seiring perkembangan
jaman, beberapa metode ini dapat dikombinasi dan bermacam macam.
Beberapa metode gangguan dinding sel (cell diruption) yang umum ditemui
adalah metode mekanik dan metode menggunakan solven. Pada metode mekanik,
dinding sel mikroalga dipecah dengan menggunakan tekanan fisik dan minyak
diambil secara langsung. Metode ini juga dapat dikombinasikan dengan metode
pelarutan menggunakan solven. Solven dapat melarutkan lipid dalam sel. Solven yang
biasa digunakan adalah heksan.
Metode mekanik lain yang dapat digunakan untuk ekstraksi adalah dengan
menggunakan metode penggilingan. Metode ini bergantung kepada kontak antara
bead dan biomas, jumlah ukuran dan komposisi bead dan kekuatan dinding sel.
Metode bead mill pada umunya digunakan bersamaan dengan solven untuk merecover
minyak, dan akan menjadi lebih efektif serta memerlukan energi lebih rendah jika
produk yang terekstrak dapat dipisahkan dengan mudah. Lebih spesifik lagi, biomas
yang digunakan pada metode ini adalah 100 sampai 200g/L.
Metode dengan menggunakan enzim juga dapat diterapkan untuk mengambil
lipid dari sel mikroalga. Enzim dapat digunakan sebagai zat penghidrolisis dinding sel
untuk melepaskan lipid. Lipid ini kemudian dialirkan ke dalam solven yang cocok.
Enzim juga dapat dikombinasikan dengan metode mekanik seperti sonnication,
menggunakan energi suara, sehingga ekstraksi menjadi lebih cepat dan yield yang
dihasilkan lebih tinggi. Sonnication sendiri mampu meningkatkan proses ekstraksi.
Proses ini disebut dengan kavitasi.
Metode kavitasi didasarkan pada gelombang ultrasonik yang menciptakan
gelembung pada solven, gelembung ini meletus dekat dengan dinding sel
mikroalga, menghasilkan goncangan kuat sehingga senyawa dalm sel akan keluar dan
larut dalam solven.
Solven seperti benzen, hexane dan siklohexane sering digunakan dalam
metode ini. Dinding sel terdegradasi dan minyak teresktrak ke dalam solven. Metode
ini cenderung feasibel (sebagai contoh digunakan untuk Botryoccocus braunii) tanpa
merusak dinding sel selama solven yang digunakan tidak beracun. Salah satu metode
yang paling terkenal untuk penerapan mikroalgae adalah metode Bligh dan Dyer,
yakni dengan menggunakan kombinasi methanol, chloroform dan air. Namun kendala
dalam metode ini adalah kesukarannya dalah penerapan skala besar sebab p solven
yang semakin banyak terakumulasi.
Bahan baku (raw material) yang diproses untuk diambil lipidnya dapat
dibedakan menjadi dua macam, biomas dalam bentuk basah dan kering. Kedua
pemilihan jenis ini dapat didasarkan dari efisiensi yield lipid yang diperoleh maupun
dari aspek ekonominya. Secara umum yield dari biomas kering lebih tinggi kadar
lipidnya akan tetapi memerlukan waktu dan biaya yang lebih tinggi.
Dari Tabel 7.5. terlihat beberapa metode ekstraksi lipid dari beberapa jenis
mikroalga. Sejauh ini metode solven memiliki efisiensi ekstraksi tertinggi di banding
beberapa metode lainnya. Namun jika dilakukan scale up dalam skala pabrik harus
dibutuhkan biaya yang lebih untuk merecover solven yang telah digunakan untuk
mengekstrak lipid.
3. Direct Transesterification
Direct transesterification atau transesterifikasi secara langsung, dan biasa
dikenal sebagai transesterifikasi insitu adalah salah satu metode alternatif yang
digunakan untuk menghasilkan biodisel dari mikroalga penghasil lipid tanpa
mengekstrak terlebih dahulu lipidnya. Metode ini menjadi menarik diaplikasikan
mengingat biaya ekstraksi lipid dari mikroalga dapat dihindari, sehingga biomassa
yang diproses dari pemanenan baik berupa biomas basah maupun kering, dapat
langsung diproses untuk menghasilkan biodiesel.
Metode sederhana dari esterifikasi secara langsung adalah dengan
mencampurkan biomassa ke dalam methanol dan solven dengan penambahan katalis
kemudian direaksikan pada suhu dan waktu tertentu. Hasil reaksi kemudian
dipisahkan dari campurannya berupa bagian bawah yang mengandung sisa biomassa
dan air, bagian atas berupa gliserol dan FAME (faty acid methyl ester) atau biasa
disebut biodiesel, yang bercampur dengan solven. Untuk menghilangkan solven dari
biodieselnya, dapat dilakukan dengan cara distilasi.
2. Bioethanol dari Mikroalga
Bioethanol merupakan produk bioenergy yang umum digunakan di masyarakat.
Selama ini bioethanol diproduksi dari fermentasi alkohol dengan bahan baku jagung,
shorgum, singkong, dan gula tebu. Pati yang terekstrak kemudian dicampung dengan air dan
dipanaskan secara bertahap. Pati kemudian dihidrolisis dengan yeast Sacharomyces
ceriviseae atau Zymomonas mobilis. S. cerevisiae adalah organisme yang paling umum
digunakan sebagai yeast produksi ethanol dari glukosa.
Mikroalga juga berpotensi sebagai penghasil bioethanol sebab p beberapa jenis
spesiesnya memiliki kandungan pati. Mikroalga ini dapat diproduksi melalui dua proses,
fermentasi gelap maupun menggunakan yeast.
Fermentasi gelap (dark fermentation) dilakukan dengan cara anaerobik di mana
mikroalga sendiri yang mengkonsumsi pati yang terkandung dalam medium
pertumbuhannya. Sedangkan fermentasi yeast adalah fermentasi yang umum dilakukan di
industri besar dan dapat menghasilkan yield yang lebih tinggi.
Beberapa mikroalga berpotensi sebagai bahan baku bioethanol. Diperkirakan bahwa
mikroalga menghasilkan 46,760-140,290 liter ethanol/ha. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan
beberapa sumber tumbuhan lain. Matsumoto et al, (2003) melaporkan bahwa lebih dari 76
jenis mikroalga air laut memiliki kandungan karbohidrat 40-53%.
Hirano et al. (1997) melaporkan tentang penggunaan mikroalga jenis Chlorella
vulgaris dengan kandungan pati sebesar 37% menjadi bioethanol dengan proses fermentasi
dan menghasilkan konversi sebesar 65%. Ueda et al juga melaporkan bahwa beberapa jenis
mikroalga seperti Chlorella sp, Dunailella, Chlamydomonas, Scenefesmus, dan Spirulina
memiliki kandungan pati lebih dari 50% dan berpotensi sebagai bahan baku pembuatan
bioethanol.
Harun et al (2010a) mempelajari mikroalga jenis Chlorocum sp sebagai feedstock
pembuatan ethanol. Pada penelitian ini dilaporkan bahwa cell disruption mempengaruhi
yield. Produktivitas maksimum adalah 38% (w/w). Harun juga menyatakan bahwa biomas
harus diolah menjadi gula sederhana sebelum dilakukan fermentasi. Hasil 7.2gr/l bioethanol
tertinggi didapatkan dengan memfermentasikan 15gr/l mikroalga pada suhu 1400
C
menggunakan asam sulfat 1% (v/v) selama 30 menit. Sementara hasil lain diperoleh 52%
berat (gr ethanol/gr mikroalga) didapatkan dari 10gr/l mikroalga dan 3% (v/v) asam sulfat
pada suhu 1600
C selama 15 menit.
Faktor yang mempengaruhi produksi bioethanol dari mikroalga adalah temperatur,
pre-treatment dengan menggunakan asam, dan volume mikroalga yang direaksikan. Harun
dan Danquah (2011) melaporkan bahwa pre treatment biomas menggunakan asam adalah
penting sebelum dilakukan fermentasi. Sedangkan He et al, (2010) menyatakan bahwa
dengan penambahan zat besi ke dalam medium pertumbuhan mikroalga dapat meningkatkan
kandungan karbohidrat. Douskova, et al. (2008) menyatakan bahwa dengan pengurangan
kandungan phosphor, nitrogen dan sulfur dapat meningkatkan kandungan pati dalam biomas
masing masing 83%, 50%, dan 33%.
Keunggulan penggunaan mikroalga sebagai bioenergi berbasis bioethanol di banding
berbasis lipid adalah mikroalga tidak perlu dilakukan pengeringan sehingga tidak
memerlukan banyak biaya dan lebih mudah dilakukan sebab p fermentasi bioethanol di
lakukan dalam medium yang memerlukan air. Selain itu untuk scale up nya, mikroalga
bioethanol lebih mudah dilakukan sebab p dewasa ini sudah banyak perusahaan penghasil
bioethanol.
3. Biogas dari Mikroalga
Material organik seperti limbah cair kelapa sawit, maupun sampah organik dapat
digunakan sebagai biogas melalui perombakan anorganik dengan bantuan beberapa
campuran bakteri yang menghidrolisis biopolimer organik (seperti karbohidrat, lemak, dan
protein) menjadi monomer dan dikonversi menjadi gas yang kaya akan methana dengan
proses fermentasi. Biogas memiliki kandungan 50-70% CH4 dan karbon dikosida 25-50%
serta beberapa impuritas lain seperti H2S.
Mikroalga memiliki potensi sebagai penghasil biogas sebab p juga mengandung
senyawa karbohidrat, protein, dan lemak. Biofuel berbasis biogas ini lebih murah sebab p
tidak memerlukan proses pengeringan, ekstraksi dan perubahan senyawa menjadi biofuel
seperti kasus lipid.
Beberapa peneliti melaporkan potensi mikroalga sebagai penghasil biogas. Sialve et
al. (2009) melaporkan bahwa methana terkandung dalam biogas dari mikroalga adalah 7-
13%, lebih tinggi jika dibanding dengan maizena. Sementara peneliti lain memberikan
paparan tentang penggunaan beberapa jenis mikroalga secara nyata dapat dimanfaatkan
sebagai biogas dengan produksi 180.4mg/g hari dari biomassa dengan menggunakan proses
anaerobik dua tahap di mana hasil methana mencapai 65%.
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi biogas dari mikroalga di antaranya
adalah pada proses perombakan, dan kandungan biomassa mikroalga. Mussgnug et al (2010)
menjelaskan bahwa beberapa jenis mikroalga seperti Spirulina platensis, Chlamydomonas
reinhardtii, Dunaliella salina dan beberapa jenis mikroalga lain yang dijadikan sebagai raw
material memiliki produksi biogas yang berbeda beda. Chlamidomonas reinhardtii
merupakan mikroalga penghasil biogas tertinggi dengan hasil 587ml/gram volatil solid.
Selain itu, produksi biogas dari mikroalga juga perlu diperhatikan seperti substrat
harus dipekatkan dan dihindari proses pengeringan. Transportasi biomas basah sebagai raw
material juga perlu diperhatikan untuk mengurangi biaya. Untuk itu diperlukan proses
integrasi antara reaktor biodigester dan kolam kultivasi mikroalga. Integrasi ini akan
lebih efisien jika diterapkan dalam limbah cair organik di mana mikroalga tumbuh dalam
limbah cair dengan kondisi yang tidak terkontrol.
4. Bio-Hidrogen dari Mikroalga
Hidrogen dapat diproduksi dari beberapa sumber energi termasuk minyak bumi dari
gas alam dan batu bara. Namun dari bahan baku ini memerlukan input energi yang
tinggi dan menghasilkan produk samping seperti karbon monoksida dan gas rumah kaca.
Sumber renewable energi seperti radiasi solar, biomas dan angin, dapat dimanfaatatkan untuk
memproduksi hidrogen via proses elektrolisis atau proses reforming lain.
Biohidrogen adalah hidrogen yang diproduksi dengan bantuan organisme biologis.
Mikroorganisme seperti alga dan bakteri menghasilkan gas pada temperatur yang relatif
rendah, berbeda dengan industri pada umumnya yang memerlukan suhu tinggi.
Menurut Demazel (2008), sejarah produksi hidrogen dari alga dimulai ketika pada
tahun 1939, Hans Gaffron, peneliti Jerman mengobservasi mikroalga Chlamydomonas
reinardtii yang sewaktu waktu dapat memproduksi oksigen dan hidrogen. Gaffron belum
meneliti lebih jauh kenapa hal itu bisa terjadi. Hingga tahun 1977, Anastasios Mells, peneliti
dari universitas California, melaporkan bahwa sulfur yang diberikan pada medium mikroalga
dapat mempengaruhi produksi oksigen menjadi hidrogen. Enzim pada mikroalga,
hidrogenase, berperan penting dalam produksi ini . Saat hidrogenase kehilangan
fungsinya, maka mikroalga menghasilkan oksigen. Kekurangan jumlah sulfur pada medium
dapat mempengaruhi produksi oksigen, dan meningkatkan enzim hidrogenase Hidrogen
memiliki nilai bakar yang tinggi jika dibandingkan senyawa bioenergi lain.
Sedangkan mikroalga jenis cyanobacteria dapat memproduksi hidrogen dengan
kondisi anaerob tanpa cahaya dengan bantuan enzim hidrogenase atau dengan cahaya
berbantukan katalis hidrogenase. Sedangkan alga hijau, hidrogen diproduksi secara
fotosintesis dengan kemampuannya menyerap sumber energi matahari untuk menghasilkan
hidrogen dari air.
Secara real, cyanobacteria merupakan mikroalga yang paling berpotensi sebagai
penghasil hidrogen jika dibandingkan alga hijau. Cyanobacteria memerlukan udara, air, dan
mineral garam dengan cahaya sebagai sumber energi dan kebutuhan nutrisi yang lebih simpel
jika dibanding alga hijau.
5. Industri Mikroalga berbasis Bioenergi.
Algenol adalah produsen bioethanol dari mikroalga yang terletak di Texas dan
Florida, Amerika serikat. Hal yang menarik dari industri ini adalah bioethanol dihasilkan
secara langsung oleh algae jenis cyanobateria tanpa pemrosesan lanjut seperti pemanenan,
pengeringan, atau fermentasi.
Cyanobaceria hybrid hidup dalam medium air laut, menyerap nutrisi, karbon dioksida,
dan cahaya matahari. Hasil samping dari produksi ini berupa air tawar dan oksigen. Algenol
mengkliam dapat memproduksi 6000 galon bioethanol per hektar per tahun dengan harga jual
pergalon sekitar tiga dolar Amerika.
Namun demikian algenol masih dalam tahap produksi scale up dan masih
menggandeng beberapa industri lain seperti dowchemical untuk mengembangkan industri
bioethanol dari mikroalga ini untuk lebih feasibel. Hasil dari mikroalga yang diproses dengan
klaim metode algaetech ini dapat diblending untuk keperluan DowChemical seperti
pembuatan plastik dan sebagainya.
Algae dikultivasi dalam bak tertutup oleh plastik polyethilene dengan tujuan untuk
menangkap gas yang menguap. Bioethanol dihasilkan oleh algae hybrid, terdifusi keluar
bersama dengan produk oksigen dan ditampung ketika malam hari saat terjadi proses
kondensasi gas secara alami. bioethanol dipisahkan dari oksigen
Mikroalga dapat dimanfaatkan pada untuk bidang teknologi yang lebih luas, tidak
hanya sebagai penyedia produk biomassa dalam bentuk pangan atau energi. lebih dari itu,
mikroalga dapat digunakan untuk pengolahan limbah organik cair, terutama ditujukan untuk
menurunkan kandungan COD, nitrogen-posphor, pengurangan warna dan pengurangan
logam berat.
Sistem pengolahan limbah secara biologis ini telah lama diterapkan. Beberapa metode
yang dapat ditemui adalah dengan menggunakan jenis bakteri, jamur, dan mikroalga.
Penggunakan fungi atau jamur pada pengolahan limbah cair pada umumnya digunakan
untuk penyerapan warna. Eaton et al (1980) melakukan penelitian tentang dekolorisasi pada
limbah cair industri keju menggunakan jamur white-rot dengan efisiensi antara 60-80%.
Namun pada penelitian lanjutan yang dilakukan Gokcay dan Dilek (1994), dilaporkan bahwa
penggunaan jamur untuk limbah ini belum layak jika ditinjau dari segi ekonomis
sebab p jamur masih memerlukan banyak substrat gula tambahan. Mikroorganisme lain
yang masih memiliki potensi sebagai agen pengolah limbah organik adalah dengan
menggonakan mikroalga. Lee et al (1978) melakukan penelitian pengolahan limbah cair
industri kertas menggunakan mikroalga dengan efisiensi antara 50-80% tergantung pada
masa inkubasinya. Aziz dan Ng (1988, 1993) juga melaporkan bahwa mikroalga dapat
menurunkan kadar warna pada limbah industri tekstil dengan efisiensi mencapai 95%.
Dari segi ekonomi, mikroalga yang dibiakkan pada limbah dapat mengurangi biaya
penambahan nutrisi sintesis jika diinginkan sebuah produk biomas tertentu, seperti
pembiayakan Spirulina sp. pada limbah cair kelapa sawit untuk produk berprotein tinggi
skala feed grade. Atau dengan mengganti strain mikroalga tertentu, akan didapatkan
beberapa produk seperti lipid sebagai feedstock biodisel, dan sebagainya. Secara umum, keunggulan penggunaan mikroalga untuk pengolahan limbah adalah:
1. Kebutuhan energi lebih rendah
Pengolahan limbah secara tradisional memiliki biaya operasional yang tinggi.
Biasanya limbah industri diolah dengan cara aerasi untuk meningkatkan aktifitas
bakteri aerob sehingga dapat mengkonsumsi komponen organik yang ada pada
limbah. Total konsumsi energi untuk pengolahan limbah secara aerasi adalah 45-75%
dari keseluruhan biaya operasional pabrik. berbeda dengan mikroalga, mikroalga
dapat berfotosintesis di dalam cairan limbah organik dan menghasilkan oksigen
sebagai produk reaksinya sehingga dapat memberikan supply oksigen pada bakteri
aerob untuk mempercepat penguraian.
Selain itu mikroalga juga dapat menyerap sumber nutrisi (nitrogen dan pospor)
yang masih terkandung dalam limbah sehingga kebutuhan nutrien tambahan masih
dapat ditekan. Sebagai perbandingan, untuk menurunkan kadar BOD sebesar 1kg,
dibutuhkan energi senilai 1kWh dalam proses aerasi, dan memberi imbas hasil karbon
dioksida sebesar 1kg dari generator , Bertolak belakang dengan
mikroalga, dengan teknologi mikroalga untuk menurunkan 1kg BOD tidak
memerlukan energi input dan biomas yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan
sebagai pembangkit listrik sebesar 1 kWh
2. Pengurangan emisi gas rumah kaca
Limbah cair organik merupakan limbah penghasil emisi gas rumah kaca sebab p dapat
menghasilkan senyawa karbon dioksidan dan methana. Kedua senyawa ini berpotensi
sebagai ancaman pada atmosfir sehingga dapat meningkatkan aktifitas global
warming. Indonesia merupakan negara agraris dengan banyak industri olahan hasil
perkebunan seperti kelapa sawit, tebu dan sebagainya. Dengan menggunakan
teknologi mikroalga, limbah cair yang mengandung sumber carbon dioksida ini dapat
ditekan dan dihasilkan buangan berupas gas oksigen dengan reaksi fotosintesis.
3. Biaya operasi cenderung lebih murah dibanding metode konvensional
Penggunaan bakteri dan fungi cenderung lebih mahal sebab p ongkos penambahan
nutrien sintesis dan supply aerasi. Mikroalga dapat mengambil sumber nutrien yang
ada pada limbah cair dengan sedikit modifikasi perbandingan C:N:P nya, selain itu pertumbuhannya relatif lebih cepat dan perkembangbiakannya cenderung lebih
mudah.
4. Mengurangi terbentuknya sludge
Pada pengolahan cara tradisional, kendala umum yang dijumpai adalah terpenduknya
sludge atau endapan dan terkadang semakin bermasalah apabila sludge terakumulasi.
Teknologi mikroalga tidak menghasilkan sludge yang terakumulasi melainkan berupa
biomas yang dapat dimanfaatkan kembali untuk beberapa keperluan seperti untuk
makanan ternak, kompos, atau dirubah menjadi produk renewable energy. Selain itu
teknologi pengolahan dengan mikroalga tidak memerlukan banyak zat kimia
sehingga hasil buangan ke lingkungan akan lebih aman.
5. Menghasilkan biomas yang bermanfaat.
Biomas yang dihasilkan dari pengolahan limbah dapat dimanfaatkan untuk tujuan
lainnya. Hal ini berbeda apabila digunakan metode konvensional atau dengan
menggunakan jamur. Sebagai contoh, C-BIORE UNDIP telah melaporkan penelitian
terkini tentang pengolahan limbah cair kelapa sawit dan dihasilkan produk biomas
berbasis protein tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan terkan. Selain itu
potensi integrasi penggunaan limbah untuk media pertumbuhan alga masih tinggi,
sehingga dimungkinkan dapat menghasilkan biomas berbasis energi dengan
produktifitas yang lebih tinggi.
Pada bab ini akan dibahas beberapa contoh penggunaan mikroalga untuk
diaplikasikan pada limbah cair organik, diantaranya:
1. Pengurangan kadar Nitrogen dan Posphor
Limbah domestik maupun limbah industri pengolahan hasil perkebunan mengandung
konsentrasi nutrien baik dalam bentuk organik maupun anorganik. Jika limbah ini
dilepas ke lingkungan seperti sungai atau danau, dapat menurunkan kadar oksigen, atau
bahkan dapat memicu eutrofikasi. Jika kadar oksigen dalam air menjadi sedikit, hal ini
akan mempengaruhi kualitas air, mempengaruhi kehidupan biotik hewan yang hidup seperti
ikan hingga ujungnya akan mengakibatkan krisis biodiversity.
ada beberapa metode untuk mengolah limbah, seperti pengolahan konvensional.
Pengolahan tahap awal dilakukan untuk menyaring partikel sedimentasi, tahap kedua
dilakukan untuk menurunkan kadar BOD dengan cara mengoksidasi komponen organik dan
ammonium. Pada tahap kedua ini diterapkan beberapa metode seperti penambahan lumpur
aktif, maupun cara aerasi. Mekanisme pengolahan ini dilakukan oleh protozoa dan bakteri.
Bakteri mendegradasisenyawa organik, sedangkan protozao berfungsi sebagai pemakan
bakter. Hasil akhirnya berupa konversi karbon dioksida dan air.
Teknologi pengolahan mikroalga untuk menurunkan kadar nitrogen dan phosphor
pertama kali dikembangkan pada tahun 1950an di Kalifornia oleh William Oswald. Kinerja
mikroalga dalam limbah adalah mengasimilasi nitrogen untuk pertumbuhan dan mensupply
oksigen untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri ini yang akan mendegradasi senyawa organik
yang ada pada limbah. proses ini hampir sama penggunaannya dalam lumpur aktif.
Gambar 8.1. Simbiosis antara mikroalga dan bakteri pengurai
Meskipun limbah mengandung banyak nutrien, mikroalga belum tentu dapat
berkembang biak dengan baik. Pertumbuhan mikroalga secara umum ditentukan oleh cahaya
dan sumber karbon.
Pengurangan kadar phosphor dalam medium limbah dapat dilakukan oleh mikroalga.
Mikroalga memerlukan phosphor untuk memproduksi phospholipid, ATP, dan asam
nucleat. Alga mengasimilasi phosphor sebagai ortho phosphor anorganik, baik dalam
bentuk H2PO4- or HPO4
2-. Phosphor organik ini dirubah menjadi ortho phosphor lewat
proses fotosnintesis pada permukaan sel, dan hal ini terjadi ketika ortho phosphor berada
dalam supply yang sedikit. Meskipun demikian, mikroalga dapat mengasimilasi phosphor
dalam keadaan ekses di mana pada nantinya akan disimpan dalam sel dalam bentuk
polipospat. Secara umum kadar posphor dalam mikroalga berbeda beda tergantung dari
supply konsentrasinya. Seperti contoh kadar 1 mg P dalam 1 gram alga basis kering dengan
supplu konsentrasi 0.1mg P/l, atau supply 5mg P/l menghasilkan 100mg P dalam 1 gram
alga basis kering. Rata – rata sel alga mengandung 13mg P pergram alga basis berat.
Sedangkan alga yang dikultivasi dalam limbah yang mengandung kadar phosphor yang
tinggi dapat menyerap poshpohor sebanyak 10 - 20 mg P/l , lebih tinggi dari jumlah
phosphor yang dibutuhkan sel untuk tumbuh.
Nitrogen merupakan unsur terpenting untuk mikroalga setelah sumber karbon, dan
dapat menymbang 10% dari total berat biomassa. Nitrogen banyak ada pada limbah
organik dalam berbagai bentuk senyawa. Sedangkan mikroalga dapat menyerap senyawa
nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4
+
) dan nitrat (NO3-). Ammonium merupakan
senyawa yang lebih disukai mikroalga. Akan tetapi kadar ammonium yang tinggi pada
medium tidak dianjurkan sebab p dapat memicu terjadinya racun. Sumber ammonium
dan nitrat ini juga dapat diambil dari senyawa urea dan nitrit. Akan tetapi penggunaan nitrit
dalam konsentrasi tinggi dapat mengganggu pembiakan alga (Larsdoter, 2006 ).
2. Pengurangan kadar warna
Kadar warna pada limbah dapat dikurangi dengan memanfaatkan teknologi mikroalga.
Berdasarkan penelitian Lim et al (2010), limbah cair industri tekstil batik dapat diolah
menggunakan mikroalga jenis Chlorella vulgaris. Limbah tekstik memiliki karakteristik
konsentrasi warna yang pekat, salinitas yang tinggi, temperatur tinggi, dan kadar COD yang
tinggi. Limbah ini dapat menjadi racun apabila dibuang ke lingkungan. Lim melaporkan
bahwa Chlorella vulgaris dapat mengurangi warna pada limbah dengan efisiensi sebesar 41.8
- 50.0%, pengurangan COD sebesae 38.3-62.3%, kadar NH4-N 44.4-45.1% dan PO4-P
sebesar 33.1-33.3%. Kultivasi dilakukan dengan sistem HRAP (high rate algae ponds).
Kultivasi menggunakan medium limbah yang ditambah nutrien sintetis dapat meningkatkan
biomassa akan tetapi tidak dapat menaikkan efisiensi pengurangan warna atau polutan lain.
Penelitian lain tentang penyerapan warna pada limbah juga telah dilakukan oleh Dilek
et al (1999) untuk aplikasi limbah cair industri kertas. Efisiensi penyerapan warna yang
dihasilkan mencapai 80% dengan waktu inkubasi selama 30 hari dengan kondisi 24 jam
pecahayaan. Selain itu juga dilaporkan bahwa kandungan total carbon dan lignin dapat
dikurangi secara signifikan.
Mekanisme penyerapan warna biasanya berdasarkan metode biosorpsi. Proses
biosorpsi meliputi dua fase; fase padat (biosorbent, adsorbent, material biologis) dan fase cair
(solven, biasa digunakan adalah air) yang mengandung spesies terlarut untuk menyerap
warna (adsorbat, metal/pewarna). Proses penyerapan berlangsung hingga mencapai
kesetimbangan antara jumlah penyerap (adsorbat) dan jumlah zat yang terserap. Adsorbent
ini dapat diambil dari jenis mikroalga, dan plankton air tawar/ laut.
Biosorpsi memiliki keunggulan dibandingkan teknik tradisional (Volesky, 1999).
Beberapa diantaranya adalah:
a. Selektif : kinerja sorbent berbeda tergantung dari faktor, seperti: tipe biomasa,
campuran pada larutan, treatment fisio-kimia.
b. Regeneratif : biosorbent mikroalga dapat digunakan secara terus menerus
c. Tidak menghasilkan sludge
3. Pengurangan kadar COD dan BOD
Kadar BOD dan COD pada limbah cair dapat dikurangi menggunakan teknologi
mikroalga. BOD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai
senyawa organik. Jika BOD yang terkandung dalam limbah terlalu tinggi, diindikasikan
bahwa kandungan nitrat dan phosphor yang terkandung dalam media terlalu tinggi.
Parameter yang hampir sama dengan BOD adalah COD. COD merupakan ukuran jumlah
oksigen yang dibutuhkan air untuk dioksidasi.
Mikroalga dapat melakukan simbiosis dengan bakteri pengurai BOD yakni mikroalga
memperoleh karbon dioksida dari bakteri pengurai, sementara bakteri memperoleh sumber
oksigen dari mikroalga untuk tetap bertahan hidup dalam limbah organik. Selain itu
mikroalga juga dapat menyerap kandungan nitrogen serta posphor dalam limbah sehingga
secara tidak langsung dapat mengurangi kandungan COD dalam limbah.
4. Pengurangan Kadar Logam
Teknologi mikrolaga untuk pemrosesan pengurangan kadar logam pada limbah
memiliki metode yang hampir sama dengan metode pengurangan warna, yakni metode
biosorpsi. Logam berat dalam limbah dapat menjadi masalah serius jika tidak ditangani
dengan benar. Logam berat tidak dapat terdegradasi secara alami, untuk itu diperlukan
penanganan khusus pada limbah sebelum dibuang ke lingkungan / alam.
Salah satu studi penelitian tentang penggunaan mikroalga untuk menangani logam
berat dilakukan oleh Travieso et al (1992). Pada laporan ini disebutkan bahwa dengan
menggunakan mikroalga yang diimobilisasi dengan Kappa-karaginan maupun poliurethan
diperoleh hasil penyerapan logam seng, kromium, dan kuningan yang cukup baik dengan
seiring dengan lamanya waktu kultivasi
Penyerapan logam berat dapat juga dilakukan oleh sel mikroorganisme baik yang
masih hidup maupun yang telah mati. Dengan penggunaan sel hidup terkadang dapat
menimbulkan masalah seperti sel tidak dapat bertahan pada lingkungan yang terlalu beracun,
memerlukan nutrien dan terdakadang malah dapat meningkatkan nilai BOD dan COD
dalam limbah. Biasanya digunakan sel yang telah dikeringkan untuk menyerap logam pada
limbah, sel yang telah mati tidak memerlukan perlakuan yang tinggi dan lebih murah. Lebih
jauh lagi, biomas yang telah mati dapat diregenerasi dan digunakan kembali.
Sebagai contoh aplikasi penggunaan biomas kering Chlorella vulgaris dapat
digunakan untuk penyerapan Pb pada single stage batch reactor dengan konsentrasi 25-
200mg/L. fenomena penyerapan divariasi pada pH dan temperatur yang berbeda beda.
Holand dan Volesky juga melaporkan bahwa penyerapan Pb dan Ni dapat dilakukan dengan
penambahan biomas dari mikrolga air laut. Sedangkan penyerapan multi logam diteliti oleh
peneliti lain dengan menggunakan brown algae, Ascophyllum nodosum dengan menggunakan
dua jenis logam sekaligus (Cu+Zn), (Cu + Cd), atau (Zn + Cd). Pada penelitian ini
dinyatakan bahwa multi logam dapat menghambat penyerapan logam lain. Penelitian lain
tentang penyerapan Cr (IV) dapat menggunakan algae hijau Spirogyra. Sedangkan dengan
algae Sargassum sp (Chromo phyta) digunakan untuk penyerapan ion Cu.
Variabel yang berpengaruh terhadap penyerapan logam di antaranya: level pH,
kecepatan pengadukan, waktu penyerapan, suhu, kondisi kesetimbangan dan konsentrasi
logam yang ada pada limbah. Sedangkan peneliti lain melaporkan bahwa temperatur
tidak berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan logam pada suhu 20-350
C. Namun
demikian, pH adalah faktor yang paling dominan dalam proses.
5. Studi Kasus
Contoh studi kasus pengolahan limbah kelapa sawit menggunakan teknologi
mikroalga. Limbah cair kelapa sawit memiliki karakteristik kadar COD dan BOD yang
tinggi. Selain itu limbah cair ini memiliki potensi yang tinggi sebagai polutan air yang
membahayakan lingkungan.
POME (palm oil mill effluent) memiliki kadar COD dan BOD tinggi, selain itu
memiliki warna yang cenderung hitam keruh sebab p mengandung senyawa tanin dan
padatan terlarut yang tinggi. Akan tetapi limbah ini masih mengandung unsur nitrogen dan
phosphor yang tinggi sehingga berpotensi sebagai medium pertumbuhan algae.
Pengolahan limbah cair kelapa sawit pada umumnya menggunakan sistem open pond
anaerob dengan menggunakan lumpur aktif dan diendapkan melalui empat kolam retensi.
Namun hasil akhir limbah ini masih memiliki kadar COD dan BOD yang terkadang masih
nbelum memenuhi standar baku mulu limbah. POME yang sudah diolah dengan metode
anaerob inilah yang cocok digunakan sebagai medium pertumbuhan mikroalga.
Karakteristik limbah cair kelapa sawit (POME) tersaji sebagai berikut:
Berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa limbah cair kelapa sawit yang sudah
terdigestasi dapat digunakan sebanyak 20% konsentrasi volume sebagai medium
berkembangbiak mikroalga Spirulina sp, dengan penambahan nutrien sintetis sebesar 0.6gr/l
NaHCO3, 25 ppm urea, dan 10 ppm TSP. Biomassa Spirulina dapat digunakan sebagai
sumber protein untuk makanan ternak, dan effluent dari medium dapat menurunkan kadar
COD dari 400 ppm menjadi 150ppm. Dapat juga digunakan penambahan POME sebesar
50% volume akan tetapi perkembangbiakan mikroalga menjadi terganggu sebab p warna
pada POME dapat menghambat masuknya cahaya ke dalam medium sehingga dapat
mengganggu reaksi fotosintesis mikroalga.
Penelitian lain tentang penggunaan mikroalga seabagai penghilang kadar N dan P
pada POME telah dilakukan oleh Habib et al (2005) dengan menggunakan mikroalga
Chorella vulgaris sebagai makanan Moina micrura. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa
Chlorella dapat tumbuh baik pada konsentrasi 10%- 20% POMED dengan kandungan
Chlorella vulgaris rata-rate paling tinggi mengandung karbohidrat, diikuti kandungan
protein dan lipid.
Sedangkan mengenai medium POME (10% volume) mengalami penurunan seperti
yang tersaji dalam Tabel 8.3. Pada penelitian ini , padameter-parameter limbah dapat
berkurang sebab p keberadaan mikroalga Chlorella vulgaris. Berdasarkan literatur, mikroalga
memerlukan sumber karbon, nitrogen, phosphor dan unsur mikronutrien lain seperti
kalium, besi, magnesium, untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga menyerap karbon,
nitrogen, dan phosphor dengan rasio 56:9:1. Sedangkan kadar COD berkurang seiring
aktivitas mikroalga yang menghasilkan oksigen dari proses fotosintesis. Oksigen yang
dihasilkan ini akan digunakan oleh bakteri terlarut untuk mendegradasi senyawa organik
yang ada dalam limbah.
memerlukan sumber karbon, nitrogen, phosphor dan unsur mikronutrien lain seperti
kalium, besi, magnesium, untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga menyerap karbon,
nitrogen, dan phosphor dengan rasio 56:9:1. Sedangkan kadar COD berkurang seiring
aktivitas mikroalga yang menghasilkan oksigen dari proses fotosintesis. Oksigen yang
dihasilkan ini akan digunakan oleh bakteri terlarut untuk mendegradasi senyawa organik
yang ada dalam limbah.
Ditinjau dari sisi biorefinery, mikroalga juga berpotensi tidak hanya sebagai energy
stock yang menjanjikan di masa depan, namun lebih jauh lagi dapat pula dimanipulasi
Dilihat dari skema biorefinery Gambar 9.2. terlihat bahwa mikroalga dapat
memproduksi berbagai macam produk olahan sesuai keinginan. Akhir kata, seiring menuanya
bumi ini, krisis yang timbul dalam kehidupan kita akan semakin terakumulasi dan komplek,
tidak hanya pangan, energi, tapi juga isu lingkungan seperti masalah limbah cair, bahkan
global warming. Bisa jadi duapuluh tahun ke depan, hampir semua industri pengolah minyak
dan gas yang mengambil sumber minyak bumi akan beralih fungsi menjadi perusahaan
pengolah mikroalga, sebuah mikrobioreaktor yang mampu menghasilkan minyak bumi yang
dapat diperbaharui. Bisa jadi di masa depan, efek rumah kaca dapat ditanggulangi dengan
mikroalga.
1. Potensi Mikroalga selain Pangan dan Energi
Bicara tentang teknologi mikroalga, maka kita juga harus membicarakan bagian aspek
ekonomis, sustainability, dan feasibility teknologi ini . Dalam beberapa bab sebelumnya,
telah diterangkan mengenai beberapa Teknologi mikroalga yang memungkinkan dapat
diterapkan dalam skala komersial selain pangan dan energi seperti untuk pengolahan limbah,
dan sumber bioproduk lain. Dalam hal ini, spesifikasi teknologi yang memungkinkan untuk
diterapkan dalam skala industri adalah sebagai berikut:
1.1. Mikroalga sebagai Pembersih Udara
Tidak dipungkiri bahwa mikroalga dapat tumbuh dengan cepat jika berada pada
kondisi optimum. Hal ini yang memungkinkan mikroalga sebagai salah satu sel
utama yang dapat menyerap gas karbon dioksida dalam jumlah yang banyak. Pada
Gambar 9.3. terlihat bagaimana konstruksi gedung yang diintegrasikan dengan
mikroalga untuk menyerap gas karbon dioksida di perkotaan. Lebih jauh lagi
teknologi mikroalga dimungkinkan untuk diterapkan dalam produksi oksigen
bersih. Gagasan menarik ini juga mungkin untuk diterapkan dalam ruangan bagi
perokok untuk membersihkan asap rokok dengan menjerapnya menggunakan
mikroalga.
Dalam skala industri, cerobong asap penghasil polusi udara, dapat dibersihkan
dengan memanfaatkan mikroalga sebagai agen pembersih asap CO2 sehingga pada
nantinya efek rumah kaca dapat diturunkan dengan bertahap.
Dalam skala yang lebih spesifik, mikroalga dapat digunakan untuk menangkap gas
karbon dioksida dalam teknologi produksi biogas, di mana selama ini biaya
pemurnian methana dan karbon dioksida dalam biogas masih tergolong mahal.
1.2. Mikroalga sebagai Sumber Biosemen
Mikroalga sebagai sumber biosemen bukan hal mustahil. Selama ini biaya
pembuatan semen masih mahal mengingat semen yang diproses harus
menggunakan suhu tinggi berada pada kisaran 10000
C. l
memberikan paparan mengenai teknologi miroalga untuk menghasilkan biosemen,
di mana pada nantinya diharapkan konsumsi energi lebih rendah, dan emisi yang
dihasilkan juga tergolong rendah. Konsep mikroalga ini mengacu pada
terbentuknya kalsium karbonat (CaCO3) dari reaksi mikroalga.
1.3. Mikroalga sebagai Pupuk Organik
Mikroalga mengandung sumber karbon nitrogen dan phosphor. Hal ini yang
memungkinkan dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah apabila digunakan
sebagai sumber pupuk organik. Hal yang menarik dari teknologi mikroalga ini
adalah dapat dimanfaatkannya strain mikroalga jenis tertentu dalam limbah pupuk industri pupuk seperti urea-amonia untuk menyerap senyawa nitrit dan senyawa
kimia lain yang tidak dapat direcovery dengan teknologi pada umumnya, sehingga
pada nantinya blending antara pupuk sintetis dan organik.
2. Masa Depan Teknologi Mikroalga
Teknologi mikroalga berkembang seiring dengan naiknya dampak global warming,
kebutuhan energi, pangan, dan air bersih di dunia. Beberapa tahun belakangan ini banyak
industri berbasis mikroalga yang mulai bermunculan untuk menghasilkan produk atau
memanfaatkan teknologi mikroalga untuk kepentingan tertentu. Sebagai contoh Algaetech
Malaysia, Solazyme Amerika, Algenol Amerika, Neoalgae Indonesia, NREL Belanda, dan
beberapa industri berbasis pangan, energi atau industri jasa pengolah limbah dengan
memanfaatkan teknologi mikroalgae seperti Tirtatech Engineering, selain dapat mengolah air
limbah, biomass yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain seperti contoh
pengolahan limbah cair kelapa sawit, biomassa yang dihasilkan dapat digunakan untuk
pangan. Dengan memanfaatkan mikroalga, maka emisi gas rumah kaca dapat dikurangi,
sebab p secara umum mikroalga memerlukan sumber karbon dioksida untuk berkembang
biak. Di samping itu, biomas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya.
Harmonisasi ini pada nantinya dapat diwujudkan dalam desain gedung, perkantoran,
maupun perumahan di berbagai negara. Beberapa desainer menggambarkan teknologi
mikroalga yang diintegrasikan dalam desain gedung “green building zero emission.”
Harmonisasi masa depan teknologi mikroalga memungkinkan diterapkan dalam
wilayah perkantoran yang ramai, wilayah perumahan padat penduduk, atau wilayah
perindustrian yang menghasilkan gas karbon dioksida dalam jumlah tinggi. Dalam hal ini
biomas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerangan, dan sebagainya.