Beberapa dekade belakangan ini dunia dilanda krisis energi, pangan, dan air.
Kenaikan BBM sebab p semakin langkanya sumber minyak bumi, kekurangan pangan sebab p
populasi manusia yang tak terkendali, dan krisis air yang bersumber dari masalah
pencemaran lingkungan akibat pembuangan yang tidak terkontrol. Ketiga krisis ini
mendorong banyak peneliti untuk melakukan langkah tepat bagaimana memecahkan
persoalan ini .
Salah satu solusi tepat yang diajukan untuk mengurai benang permasalahan itu adalah
dengan memanfaatkan teknologi mikroalga. Mikroalga digadang-gadang mampu
menyediakan stok pangan dan energi dalam waktu yang singkat, memerlukan lahan yang
tidak terlalu luas, dapat ditumbuhkan pada lahan non produktif, dan mudah diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi, mikroalga dapat dipakai untuk mengolah limbah
cair organik sehingga dihasilkan buangan limbah yang lebih aman dan dapat dengan mudah
dinetralkan kembali oleh alam. Dalam penerapan yang lebih modern, mikroalga dapat
diterapkan sekaligus untuk memecahkan ketiga batu permasalahan besar ini . Limbah
cair organik akan lebih aman dibuang di lingkungan setelah digunakan sebagai medium
mikroalga, sementara biomassa yang dihasilkan oleh mikroalga dapat difokuskan untuk
pangan atau energi, sehingga sinergi antara pengolahan limbah cair dan produksi biomassa
dapat berjalan dengan baik.
Mikroalga adalah sejenis makhluk hidup unisel berukuran antara 1 mikrometer
sampai ratusan mikrometer yang memiliki klorofil, hidup di air tawar atau laut,
memerlukan karbon dioksida, beberapa nutrien dan cahaya untuk berfotosintesis. Mikroalga
memiliki kinerja yang hampir sama dengan tumbuhan bersel banyak, akan tetapi tidak
memiliki akar, daun, dan batang untuk berfotosintesis. Menurut beberapa peneliti, mikroalga
diibaratkan sebagai pabrik kecil dalam ukuran sel mikro yang mengubah karbon dioksida
menjadi material potensial seperti biofuel, pangan, dan biomaterial melalui energi matahari.
(Chisti, 2007).
Keragaman mikroalga di dunia diperkirakan berada dalam kisaran jutaan species,
sebagian besar belum dikenali dan belum bisa dikultivasi (dibiakkan sendiri). Diperkirakan
200,000-800,000 spesies hidup di alam, 35,000 spesies dapat dikenali, dan 15,000 komponen
kimia penyusun biomas nya telah diketahui Sebagian besar
mikroalga menghasilkan produk tertentu seperti karotenoid, antioksidan, enzim, polimer,
peptida, asam lemak, hingga racun yang mematikan
Gambar 1.1. Bentuk sel mikroalga (a) Spirulina platensis (b) Dunaliella salina
(c) Chlorella vulgaris
Sejarah pemanfaatan mikroalga pertama kali dalam peradaban manusia masih belum
jelas. Namun, bahwa mikroalga telah lama digunakan oleh
suku aztec di pedalaman Meksiko. Hal ini diketahui oleh bangsa Spanyol ketika menjajah
Meksiko, dan diketahui bahwa penduduk lokal memanfaatkan “makanan berwarna hijau
biru” yang diperoleh dari danau setempat dan mengolahnya menjadi cake.
Lain halnya dengan orang Kanembu yang hidup di pesisir danau Chad. Mereka
memperoleh alga basah dari lumpur yang ada di sekitar danau Chad dan
mengeringkannya dengan terik matahari. Alga yang kering kemudian dijual di pasar
tradisional sebagai makanan sehari hari, atau biasa disebut dihe. Dalam budaya orang
Kanembu, wanita hamil yang mengkonsumsi dihe percaya bahwa makanan ini baik
untuk keselamat bayi mereka.
, dalam website BEAM (Biotehcnological and Environmental
Application of Microalgae), menjelaskan sejarah budidaya mikroalga secara modern yakni
diawali pada tahun 1890, budidaya mikroalgae diperkenalkan pertama kali oleh Beijerinck
dengan menggunakan jenis Chlorella vulgaris, dan dikembangkan oleh Warburg pada tahun
1900. Budidaya mikroalga mulai menjadi fokus penelitian pada tahun 1948 di Stanford
(USA), Essen (Jerman) dan Tokyo. Sedangkan budidaya untuk komersialisasi dimulai pada
tahun 1960 di Jepang dengan menggunakan mikroalga Chlorella dan pada tahun 1970
menggunakan jenis Spirulina di danau Texcoco Meksiko. Pada tahun 1977, Nippon Ink and
Chemicals Inc, mendirikan pabrik Spirulina di Thailand, dan pada tahun 1980, sudah ada
46 pabrik budidaya mikroalga skala besar di Asia, dengan produksi rata-rata satu ton
perbulan dengan hasil Chlorella yang paling mendominasi. Produk komersial ketiga adalah
Dunaliella salina, sebagai sumber beta karotin, didirikan di Australia oleh Western
Biotechnology Ltd dan Betatene Ltd pada tahun 1986.
) memaparkan beberapa produk yang dapat dihasilkan dari
mikroalga, diantaranya:
1. Produk Energi
Mikroalga berpotensi sebagai sumber energi terbarukan sebab p memiliki
kandungan yang dapat diolah menjadi beberapa jenis senyawa seperti biodiesel,
bioethanol, dan methana.
a. Biodiesel
Biodiesel Mikroalga, dalam hal ini adalah tumbuhan yang memiliki kandungan
lemak nabati, berpotensi untuk dijadikan sumber biodiesel. Dewasa ini para peneliti
menghindari minyak nabati yang berasal dari sumber pangan. Salah satu sumber yang
dapat diperbaharui, memiliki pertumbuhan lebih cepat dari tanaman lain,
memerlukan lahan dan air yang sedikit, adalah mikroalga. Kandungan lemak pada
mikroalga juga memiliki kandungan lemak tak jenuh yang lebih rendah sehingga
berpotensi sebagai pengganti minyak sayur. Namun demikian masih perlu dilakukan
kajian dan penelitian lebih lanjut agar diperoleh bibit mikroalga yang memiliki
kandungan lipid yang lebih tinggi, selain itu juga pupuk (nutrisi) yang dikonsumsi
tidak terlalu memakan biaya produksi. Salah satu alternatifnya yakni dengan
membudidayakan mikroalga pada limbah cair industri yang masih memiliki kandungan
nutrisi sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroalga sebagai media pertumbuhannya.
b. Bioethanol
Bioethanol dapat diproduksi dengan cara fermentasi maupun gasifikasi. Secara
tradisional, bioethanol diproduksi dari tumbuhan jagung dan tebu. Akan tetapi seiring
perkembangan jaman, hal ini menjadi kendala sebab p seiring krisis pangan dunia.
Oleh sebab itu diperlukan sumber lain yang dapat menghasilkan bioethanol.
Beberapa contoh mikroalga yang mengandung karbohidrat & protein tinggi ada
pada Tabel 1.2
Mikroalga yang mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi dapat
dimanfaatkan sebagai produk bioethanol dengan metode fermentasi. Namun
berdasarkan laporan para peneliti, produk bioethanol dari mikroalga masih dalam
tahap pengembangan sebab p secara komersial masih belum memungkinkan serta
teknologi yang digunakan masih komplek.
2. Produk Pangan dan Organik
Mikroalga dapat digunakan dalam aplikasi yang lebih luas. Selain sebagai produk
pangan, mikroalga juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, biopolimer
penghasil plastik, sebagai suplement, obat-obatan, dan keperluan medis lainnya.
a. Omega 3
Mikroalga secara alami memiliki kandungan asam lemak omega-3 sehingga
dapat dimanfaatkan untuk suplement bernilai tinggi Sumber
omega-3 dapat ditemui dalam bentuk eicosapentanoic acid (EPA) dan
decosahexaenoic acid (DHA). EPA secara umum digunakan untuk farmasi seperti
obat migrain, jantung, asma, dan beberapa penyakit berbahaya lainnya. Jenis
mikroalga penghasil EPA sebagai contoh adalah Pavlova vidiris, Nannochloropsis sp.
Sama halnya dengan EPA, DHA juga berperan penting dalam bidang medis.
Berdasarkan laporan paramedis, DHA dapat digunakan untuk melawan kangker,
AIDS, serangan jantung, menurunkan kolesterol, meningkatkan sistim imun, dan
detoksifikasi (mengeluarkan racun) dari tubuh. Mikroalga yang tumbuh di air laut
lebih dominan menghasilkan DHA. Schizochytrium mangrove, mikroalga air laut,
dapat menghasilkan DHA 33-39% dari total asam lemak.
b. Klorofil
Klorofil secara medis berfungsi sebagai penawar pada organ hati,
memperbaiki sel, dan meningkatkan haemoglobin dalam darah. Chlorofil juga dapat
digunakan sebagai sumber pigmen pada kosmetik dan pangan. Salah satu mikroalga
penghasil chlorofil tertinggi adalah Chlorella sp.
Mirkoalga jenis Spirulina platensis dikenal luas sebagai suplement yang
mengandung kadar protein tinggi hingga mencapai 68% dan kandungan vitamin lain.
Kandungan protein ini lebih tinggi dari daging, kedelai, ikan, dan telur. Beberapa
mikroalga lain yang mengandung protein tinggi seperti Chlorella sp juga dapat
digunakan sebagai pakan alami untuk beberapa jenis udang tertentu. Selain itu
mikroalga penghasil protein dapat digunakan untuk suplement pakan ternak yang
berfungsi menurunkan lemak dan menambah kadar protein pada daging.
c. Karotenoid
Karotenoid dihasilkan dari beberapa jenis mikroalga seperti algae hijau biru.
Beberapa mikroalga mengakumulasi senyawa karotenoid dalam bentuk
betakarotein, astaxanthin, dan canthaxanthin. Karoteoid ini memiliki fungsi penting
sebagai antioksidan, penyedia vitamin A, dan pewarna alami. secara umum,
mikroalgae penghasil karotenoid tersadi dalam Tabel 1.3.
3. Mikroalga untuk Pengolahan Limbah
Mikroalga dapat digunakan untuk pengolahan limbah organik. Secara teknis,
mikroalga menyerap kandungan senyawa organik dan nutrien yang masih tersisa
dalam limbah, dan menghasilkan oksigen yang dapat menurunkan kadar COD dan
BOD dalam limbah lewat bantuan bakteri pengurai zat organic . Selain itu mikroalga dapat menyerapa beberapa senyawa berbahaya yang
ada dalam limbah. , mikroalga jenis
Ascophyllum nodosum secara efektif dapat memindahkan metal cadmium, nikel, dan
seng dari limbah. Fucus vesiculosus dapat menyerap metal chromium (III), dan
sebagainya.
Kultivasi mikroalga dapat juga disebut dengan pembudidayaan mikroalga, atau dapat
pula disebut dengan kulturisasi. Kultivasi mikroalga bertujuan untuk meningkatkan atau
memperbanyak jumlah sel mikroalga sehingga diperoleh biomassa sesuai dengan tujuan yang
diinginkan.
1. Isolasi Mikroalga
Hal yang utama dari kutivasi adalah isolasi mikroalga dan penyeleksian yaitu untuk
mendapatkan jenis alga yang cocok untuk dikultivasi dan dikembangkan dalam skala massal.
Bibit baru harus diisolasi dalam berbagai kondisi lingkungan sehingga memiliki metabolisme
yang fleksibel terhadap berbagai media.
a. Isolasi dari Alam
Alga dapat diisolasi dari berbagai jenis perairan di alam mulai dari air tawar sampai
air payau, perairan pantai hingga air laut dengan salinitasi tinggi dan bahkan di tanah
lembab. Lebih jauh, pemilihan sampel secara luas harus dilakukan untuk mewakili
semua keadaan lingkungan dan menghindari data yang sama. Penentuan lokasi alga
dapat diketahui melalui kombinasi peta, sistem informasi geografis (SIG) dan analisa
menggunakan peralatan. Ekosistem yang dipilih termasuk perairan (contoh : lautan,
danau, sungai, kolam dan mata air, yang mana termasuk di dalamnya dalam kondisi
salinitas tinggi, tawar, payau, asam lingkungan beralkali) dan lingkungan terestrial
dengan berbagai jenis lokasi geografis dengan keanekaragaman genetik. Kumpulan
jenis alga ini termasuk yang ada di area umum serta yang ada di sistem taman
nasional. Dalam semua kasus, kepemilikan isolasi strain baru juga harus
dipertimbangkan. Sampel seharusnya tidak hanya dalam satu waktu singkat tetapi
juga dalam beberapa jangka waktu mengingat adanya perubahan musim lingkungan.
Sebagai tambahan, diantara habitat perairan, jenis alga yang ditemukan plantonic
(bergerak bebas) dan bentos (menempel di lingkungan). Alga plankton mungkin dapat
digunakan didalam kultur untuk memperoleh biomass, dimana biomassa alga dapat
diaplikasikan untuk berbagai macam aplikasi.
b. Teknik Isolasi
Untuk isolasi bibit baru dari habitat alam, kultivasi secara tradisional dapat digunakan
untuk proses budidaya. Beberapa jenis alga perlu waktu berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan apabila diisolasi dengan metode tradisional. Untuk isolasi skala besar,
penggunaan teknik isolasi otomatis kinerja tinggi dapat digunakan fluorescence –
activated cell sorting (FACS), yang telah dipakai secara luas dalam industri. Selain itu
diperlukan kesamaan morfologi saat membandingkan jenis alga. Strain baru juga
dapat diidentifikasi berdasarkan metode molekular seperti perbandingan galur RNA,
atau dengan penanda gen lainnya.
Gambar 2.1. Strain Mikroalga dalam cawan petri
c. Kriteria dan Metode Pemeriksaan
Pemeriksaan yang bagus meliputi tiga bagian utama: fisiologi pertumbuhan,
metabolisme produksi, dan kesegaran strain alga. Fisiologis pertumbuhan meliputi
beberapa parameter seperti laju tumbuh spesifik maksimal, kerapatan sel maksimal,
ambang batas lingkungan ( suhu, pH, salinitas, kadar oksigen, kadar CO2 ), dan
nutrisi yang dibutuhkan. sebab p semua parameter yang dibutuhkan sangat
berpengaruh, otomatisasi sistem pengembangan dan informasi semua parameter
teraktual akan sangat membantu.
Pemeriksaan mengenai metabolisme produksi melibatkan pengaruh komposisi sel
protein, lemak, dan karbohidrat, dan pengukuran produktivitas organisme sangat
berguna untuk pengembangan mikroalga berbasis pangan maupun energi.
Pemeriksaan yang dilakukkan juga tergantung dengan cara-cara pembudidayaan strain
dan jenis produk yang akan diinginkan. Sebagai contoh, pemeriksaaan untuk produksi
minyak memperhatikan profil asam lemaknya. Lebih jauh, banyak strain yang
bermetabolisme ke dalam media tumbuh. Beberapa diantaranya menjajikan produk
samping yang cukup bernilai, dan pendekatan-pendekatan baru dibutuhkan untuk
pengembangan metode ini. Untuk kultivasi massal strain alga, penting untuk
diperhatikan kesegaran strain ini , termasuk beberapa parameter berikut antara
lain konsistensi budidaya, ketahanan strain, stabilitas pemasaran produk, kerentanan
dari predator lain di lingkungan ini . Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
hasil uji di laboratorium tidak selalu sama dengan hasil kultivasi di luar ruangan.
Sehingga untuk menentukkan ketahanan strain, simulasi budidaya skala kecil perlu
dilakukkan. Pengembangan skala kecil merupakan langkah penting untuk pengujian
beribu-ribu jenis isolasi strain alga yang berbeda.
d. Koleksi Kultur sebagai Sumber Data
Pengoleksian kultur merupakan salah satu cara untuk melestarikan keanekaragaman
habitat alam, melindungi bahan genetik dan sumber penyedia penelitian dasar. Saat
ini, hanya ada beberapa pusat koleksi alga di Amerika Serikat dan negara lain.
Mereka mengumpulkan ribuan strain mikroalga yang berbeda untuk mendukung
penelitian dan industrialisasi mikroalga. Fungsi dari pusat koleksi tidak hanya terbatas
sebagai tempat penyimpanan saja. Mereka juga mendukung program penelitian dalam
menentukan karakteristik strain, cryopreservation, dan filogenik baik untuk kebutuhan
sendiri maupun hubungannya dengan pihak luar.
Jumlah strain alga yang tersedia dari pusat koleksi seperti UTEX (The Culture
Collection of Algae di University of Texas at Austin, Texas ), sekitar 3000 strain, dan
di CCMP (The Provasoli-Guillard National Center for Culture of Marine
Phytoplankton at the Bigelow Laboratory for Ocean Sciences in West Boothbay
Harbor, Maine) lebih dari 2500 strain. Bagaimanapun, sebab p banyaknya strain alga
yang di kultur dalam beberapa dekade, banyak kultur asli yang hilang disebab pkan
proses perkembangbiakan atau mengenai penggunaan nutrien yang dipakai untuk
alga. Untuk mendapatkan berbagai kegunaan dan ketahanan strain ini , dapat
digunakan untuk kultur massal sebagai pembuatan biofuel maupun pangan, hal itu
akan lebih bijak apabila mengisolasi strain baru yang langsung diambil dari
lingkungan. Modifikasi strain dapat dilakukan untuk meningkatkan karakteristik
mikroalga, seperti aklimasi, bahkan dapat digunakan sintesis modifikasi DNA, dan
mutasi genetik, agar diperoleh strain mikroalga yang diinginkan.
Data yang ada pada pusat kultur alga dunia sangat berpotensi sebagai inti untuk pusat
pengembangan penelitian mikroalga. Data- data yang ada harus mencakup beberapa
aspek antara lain :
Data strain : sitologi, biokimia, molekuler, dan hasil pemeriksaan
Mutasi
Plasmid dan fag
Administrasi Strain (Jumlah koleksi, cadangan dll)
Aplikasi praktis (Umum dan Industri)
Nama Strain (Spesies, subspesies, taksonomi, referensi yang mendukung)
Kondisi pertumbuhan (media,suhu, PH) , kondisi pencambahan
Interaksi secara biologi (Simbiosis, patogenis, toksisitas)
Data Omic (Genomic, transkriptomik, proteomik, metabolomik)
Lingkungan dan riwayat strain (habitat khusus, pengkoleksi sebelumnya)
e. Karakteristik Algae
Kunci keberhasilan dalam menekan biaya produksi akan menjamin kestabilan kultur
mikroalga dalam jangka waktu yang lama. Pertumbuhan yang cepat merupakan kunci
utama untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kemampuan bertahan
dari alga pencemar lain. Karakteristik lain seperti kemampuan tumbuh dengan
kerapatan sel yang tinggi dalam suatu kutur budidaya yang berkelanjutan dapat
meningkatkan ketahanan sel dan juga dapat mengurangi kandungan air saat proses
pemanenan. Serta kemampuan untuk memflokulasi ketika ada suatu penambahan
bahan kimia dapat mengurangi biaya pemanenan sejauh hal ini masih dapat
dikendalikan selama proses kultivasi.
2. Scale up Mikroalga
Secara umum budidaya mikroalga didasarkan pada tiga tahap. Tahap pertama dimulai
dengan skala laboratorium / pembibitan, dilanjutkan pada skala semi massal, dan berakhir
pada skala komersial
a. Skala laboratorium
Pada skala laboratorium, dilakukan kulturisasi mikroalga yang diperoleh dari
beberapa laboratorium yang membudidayakan mikroalga jenis tunggal. Sebagai
contoh laboratorium penyedia bibit adalah BBPBAP Jepara, BBPBAP Bogor, LIPI,
dan sebagaianya.
Pada tahap inokulasi (transfer ke medium yang lebih besar), mikroalga yang
digunakan sebagai bibit harus benar-benar steril, memiliki kepekatan yang tinggi.
Pada skala laboratorium, mikroalga ditempatkan pada erlenmeyer atau gelas kaca
yang steril, dan benar-benar dijaga kondisi lingkungan seperti pH, intensitas cahaya,
nutrien, dan pertumbuhannya.
b. Skala semi massal
Skala semi massal digunakan untuk mempersiapkan mikroalga ke skala komersial.
menyarankan, pada fase ini sebaiknya kultur mikroalga dilakukan
pada rumah kaca untuk menghindari kontaminan dan air hujan. Pada tahap ini
mikroalga akan beradaptasi ke lingkungan semi steril sebelum dijadikan skala
komersial.
Kolam kultur berbentuk bulat dengan tinggi maksimum 50 cm, dan diameter antara 2-
5 m, dengan jumlah kultur 10-15% dari total volume. Intensitas cahaya berada pada
range 3500-5000 lux, dengan penambahan lampu TL sebagai back-up apabila terjadi
mendung/hujan.
Pengadukan kultur dilakukan dengan kecepatan 50-60 cm/detik dengan durasi 2 jam
pada pagi hari (08.00-10.00), (12.00-14.00) dan (16.00-18.00), untuk menghindari
pengendapan, penyebaran nutrien yang merata, dan pencahayaan yang seragam. Pada
kurun waktu selama 6-10 hari, mikroalgae sudah dapat dipindah ke skala komersial /
skala pilot.
c. Skala komersial
Pada skala komersial, keberhasilan mikroalga tergantung pada cuaca luar, lingkungan
dan kontaminan lain. Beberapa metode kultivasi skala komersial yang umum
digunakan adalah open pond raceways (sistem bak terbuka), dan photobioreactor
(sistem tertutup), dan masing-masing metode memiliki kelebihan serta kekurangan
tersendiri.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya secara komersial adalah faktor
kontaminan dari mikroorganisme atau mikroalga lain. Beberapa mikroalga dapat
dimanipulasi keadaan lingkungannya untuk menghindari atau memperkecil
kontaminan lain. Seperti contoh, Spirulina platensis dapat hidup di lingkungan ber
pH dan salinitas yang tinggi. Kondisi ini menguntungkan bagi Spirulina dan dapat
mematikan beberapa kontaminan mikroba lain. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah durasi pemanenan, serta peremajaan medium. Beberapa mikroalga hanya dapat
digunakan pada rentang pemanenan 3 sampai 4 kali, untuk itu perlu dilakukan
peremajaan atau pengurasan bak.
3. Faktor Pertumbuhan
Faktor pertumbuhan mikroalga mempengaruhi hasil biomassa, maupun jenis produk
yang diinginkan. Terkadang biomassa yang sedikit menghasilkan produk yang diinginkan
dalam jumlah banyak, untuk itu diperukan optimasi komposisi yang seimbang antara
banyaknya biomassa dan banyaknya produk dalam biomassa mikroalga. Beberapa faktor
pertumbuhan mikroalga yang dapat menaikkan laju pertumbuhan biomass di antaranya:
1. Intensitas Cahaya
Cahaya menjadi faktor penting dalam pertumbuhan mikroalga sebab p dibutuhkan
dalam proses fotosintesis. Intensitas cahaya sering disebutkan dalam satuan
microEinsteins/m2
s atau setara dengan satu mol photons. Beberapa satuan lain seperti
micromol/ m2
s, Lux dan W/m2
juga digunakan. melaporkan bahwa
aktivitas fotosintesis naik seiring kenaikan intensitas cahaya. Hal ini menjadi penting
apabila mikroalga dibiakkan dalam kedalaman tertentu, semakin dalam medium
mikroalga, intensitas cahaya yang dibutuhkan juga semakin tinggi. bahwa Chlorella sp dapat tumbuh dalam keadaan maksimum pada
kondisi intensitas cahaya 5000 lux.
Sebagian besar mikroalga tidak dapat tumbuh dengan baik dalam keadaan
pencahayaan yang konstan, sebab p memerlukan waktu instirahat untuk menyimpan
makanan. Terkadang dilakukan manipulasi durasi pencahayaan light .dark (L/D)
antara lain 16:8, 14:10 atau 12:12 waktu pencahayaan.
2. Temperatur
Temperatur menjadi parameter pertumbuhan mikroalgae yang cukup penting sebab p
didasarkan pada tempat tumbuhnya, baik dalam iklim tropis maupun sub tropis.
Sebagian besar algae dapat tumbuh pada suhu antara 15 sampai 400
C. Beberapa
mikroalga dapat tumbuh subur pada kondisi suhu kisaran 24-260
C. Pada suhu di
bawah 160
C, mikroalga masih dapat tumbuh dalam keadaan lambat. Namun pada
suhu di atas 350
C, beberapa mikroalga dapat mati atau lysis (pecah). Studi tentang
pengaruh temperatur dan growth rate mikroalga telah dilakukan oleh Goldman dan
Carpenter (1974), dan dilaporkan bahwa kenaikan temperatur pada range tertentu
dapat menaikkan growth rate mikroalga.
3. Nutrien
Nutrient adalah faktor penting dalam produksi biomass alga. Sebagian besar
mikroalga memerlukan makronutrien seperti karbon, (C), nitrogen (N), hidrogen
(H), sulfur (S), kalium (K), magnesium (Mg), dan fosfor (P) Sedangkan
mikronutrient digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan sel dan metabolisme.
Keberadaan mikronutrien tidak bisa diganti oleh zat lain. Kebutuhan mikronutrien
juga berbeda beda berdasarkan habitat mikroalga (air laut, payau, tawar). Beberapa
unsur mikronutrien di antaranya, zat besi (Fe), boron (B), mangan (Mn), vanadium
(Va), silikon (Si), selenium (Se), cuprum (Cu), nikel (Ni), dan molybdinum (Mo).
4. Oksigen
Oksigen menjadi faktor peganggu dalam pertumbuhan algae. Oksigen dapat
dihasilkan dari reaksi fotosintesis algae. Level oksigen terlarut dalam medium yang
semakin tinggi dapat membahayakan proses fotosintesis ,Jika
digunakan sistem budidaya bak terbuka (open pond), gas oksigen akan mudah teruap
ke atmosfir. Sedangkan untuk kultur tertutup, gas oksigen dapat terakumulasi pada
medium dan menjadikan racun
5. Karbon Dioksida
Karbon dioskida digunakan mikroalgae untuk proses fotosintetis layaknya tumbuhan
berklorofil lainnya. melakukan penelitian tentang transfer massa
CO2 pada medium mempengaruhi laju pertumbuhan mikroalgae. Namun tingginya
kadar CO2 dalam medium juga dapat mempengaruhi pH.
melakukan penelitian ini dan mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi kadar
CO2 di atas 33% dari komposisi udara normal, laju pertumbuhan mikroalgae menjadi
terhambat.
6. pH
Sebagian besar algae tumbuh pada kondisi pH normal antara 6 sampai 8. Akan
tetapi beberapa algae jenis cyanobacteria seperti Spirulina platensis hanya dapat
tumbuh pada kondisi alkali/basa. Sementara Chlorella secara umum dapat hidup
dalam kondisi pH antara 7-8.
7. Salinitas
Mikroalga air laut umumnya rentan terhadap perubahan salinitas pada medium.
Dunaliella salina dan Spirulina platensis adalah contoh mikroalga yang dapat
tumbuh subur pada salinitas yang tinggi
8. Pengadukan k
Pengadukan pada medium mikroalga dibutuhkan agar tidak terjadi pengendapan
biomass, selain itu difungsikan untuk pencampuran nutrient, dan meningkatkan
difusifitas gas CO2. Beberapa metode pengadukan yang umum digunakan adalah
bubling menggunakan udara (dapat membahayakan sel), dan paddle atau pengaduk
otomatis. Beberapa mikroalga dapat tumbuh baik tanpa pengadukan jika
konsentrasinya tidak terlalu pekat.
4. Masa Pertumbuhan Mikroalga
Masa pertumbuhan mikroalga dapat diukur berdasarkan biomas, maupun jumlah sel
dalam mediumnya. Fase pertumbuhan mikroalga dapat digambarkan dengan grafik dalam
keadaan mikroalga homogen, sistem batch (terakumulasi), dengan kondisi supply nutrient
yang ditentukan di awal pembibitan Diagram fase pertumbuhan mikroalga
berdasarkan Fogg dan Thake (1987) adalah sebagai berikut:
Gambar 2.3. Grafik Pertumbuhan Mikroalga
1. Fase Lag
Fase lag adalah fase adaptasi mikroalga dalam medium baru. Pada tahap ini
mikroalga memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri sebab p lingkungan
inokulum (bibit) cenderung berbeda dari lingkungan sebelumnya. Selama masa
adaptasi, sel alga lebih sensitif terhadap nutrient, temperatur, dan kondisi yang
berbeda dari kondisi aslinya. Sel alga dapat sewaktu waktu memiliki pertumbuhan
sel yang semakin menurun, bahkan mati, apabila tidak dapat beradaptasi dengan
baik.
2. Fase Eksponensial (fase log)
Pada fase ini kecepatan pertumbuhan mikroalga dapat dihitung berdasarkan kenaikan
biomassan dan selisih waktu yang dibutuhkan. Kecepatan pertumbuhan (growth rate)
adalah salah satu indikasti penting sel berhasil melalui fase adaptasi. Durasi fase
eksponensial bergantung pada volume inokulum, kecepatan pertumbuhan, medium,
dan kondisi lingkungan untuk mensupport pertumbuhan alga. Fase eksponensial
ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang cepat, sel membelah dengan
laju konstan, aktivitas metabolik konstan, dan keadaan pertumbuhan seimbang antara
supply makanan dan kenaikan mikroalga. Pada fase ini dapat dilakukan pemanenan
biomassa sehingga hasil yang didapatkan akan maksimum.
3. Penurunan Fase Log
Penurunan pertumbuhan secara umum dipengaruhi oleh biomassa yang telah
mencapai tahap populasi maksimum, sehingga kebutuhan makanan pada medium
menjadi berkurang. Selain itu fase penurunan pertumbuhan mikroalga dapat
dipengaruhi oleh sumber cahaya, dan akumulasi oksigen yang dihasilkan dari reaksi
fotosintesis. Akumulasi oksigen dapat mempengaruhi keasaman sel. Sedangkan
jumlah sel yang semakin banyak dapat menghalangi cahaya masuk ke medium.
4. Fase Stasioner
Fase stasioner adalah fase di mana tidak adalah lagi pertumbuhan mikroalga, atau
kecepatan pertumbuhan (growth rate) menjadi nol. Pada fase ini, terjadi akumulasi
racun akibat metabolisme mikroalga, kekurangan nutrien, dan perubahan kondisi
lingkungan. Jumlah sel mikroalga yang hidup sama dengan jumlah sel yang mati.
5. Fase Kematian
Pada fase ini jumlah sel mikroalga yang mati lebih banyak dari jumlah sel yang
hidup. Nutrien semakin menipis (bahkan habis), cadangan makanan dalam tubuh sel
menjadi berkurang, dan penumpukan racun semakin meningkat. Pada fase ini sel
yang mati bahkan dapat lisis (pecah) dan larut ke dalam medium.
5. Kultivasi Mikroalga
Beberapa metode kultivasi mikroalga dapat diterapkan sesuai dengan kenginginan.
Kultivasi ini dapat ditinjau dari berbagai segi seperti dari segi nutrien, cara pemanenan, dan
sistem pond yang ingin digunakan.
1. Sistem Kultivasi/budidaya
Kultivasi mikroalgae dibedakan menjadi dua, open pond dan closed pond
photobioreactor. Masing masing cara kultivasi memiliki kelebihan dan kekurangan
ditinjau dari beberapa aspek seperti biaya investasi, kontaminasi dan sebagainya.
a. Open Pond
Sistem kultivasi open pond rentan terhadap serangan mikroalgae dan protozoa
asing. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan untuk mikroalga
jenis tertentu yang hidup pada lingkungan ekstrim seperti Spirulina yang dapat
tumbuh pada alkalinitas yang tinggi, Dunaliella yang tumbuh pada salinitas
yang tinggi, dan Chlorella yang tumbuh pada medium dengan nutrien yang
tinggi dan kompleks. Ditinjau dari produktivitas biomas, sistem open pond
kurang efisien dibanding photobioreaktor sistem tertutup. Hal ini disebab pkan
potensi evaporasi medium, temperatur yang fluktuatif, dan pengadukan yang
kurang sempurna.
Pada umumnya, kultivasi mikroalgae secara komerisial menggunakan metode
open pond sebab p dipilih berdasarkan biaya investasinya yang murah. Di antara
desain open pond lainnya, desain raceway lazim ditemui dalam industri
pengolahan mikroalga. Sistem raceway ini ditujukan untuk menghindari
sedimentasi biomas dan mempermudah pencampuran nutrien dengan medium.
Pond memiliki kedalaman 0.2-0.5 meter, dan medium diaduk menggunakan
paddle wheel.
Gambar 2.5. Komponen Open Pond Photobioreactor
b. Closed Pond Photobioreactor
Sistem kultivasi ini lebih memiliki ketahanan terhadap kontaminan bakteri dan
algae lain dibanding sistim terbuka, sehingga spesies algae tunggal dapat terjaga
dan menaikkan yield biomass.
Closed pond biasanya didesain dalam bentuk tubular, plate, dan bentuk kolom.
Sistem ini juga lebih fleksibel, reaktor dapat dioptimasi sesuai karakterisasi
mikroalgae. Parameter seperti pH, temperatur, konsentrasi CO2 dan nutrien
dapat dikontrol dengan mudah. Kelemahan dari sistem ini adalah biaya yang
tinggi apabila diterapkan dalam skala komersial dan kesukaran dalam proses
scale up. Dalam skala kecil, luas area permukaan terhadap rasio volume dapat
dengan mudah didapatkan. Akan tetapi jika skala desain dinaikkan, rasio antara
volume dan luas permukaan cenderung menurun. Di lain hal, terjadinya
akumulasi oksigen pada sistem tertutup juga dapat merugikan pertumbuhan
mikroalgae ,
Gambar 2.7. komponen closed pond photobioractor
w metode kultivasi terkadang cocok dibiakkan pada kondisi lahan
tertentu, atau mikroalga jenis tertentu, atau didasarkan pada kondisi
iklim/pencahayaan. Beberapa metode terkadang cocok digunakan di satu
tempat dan juga didasarkan pada aspek ekonominya, kemudahan dalam
perawatan, efisiensi energi, dan biomas yang didapatkan.
2. Material Pond
Material pond secara umum memiliki karakteristik: non toxic (inert dari bahan kimia),
mudah dibersihkan, disterilkan, dan mudah diperoleh. Beberapa mikroalga tidak
cocok pada material pond tertentu, untuk itu perlu diperhatikan material yang akan
dipakai.
Beberapa material pond yang direkomendasikan di antaranya:
Teflon (sangat mahal, biasa digunakan pada skala laboratorium)
Polycarbonat (mahal dan dapat rusak jika dilakukan sterilisasi autoclave
secara terus menerus)
Polystyrene (murah, tidak bisa dilakukan sterilisasi autoclave)
Gelas Borosilicate (dapat menghambat beberapa spesies mikroalga.)
3. Medium Mikroalga
Ada beberapa list medium yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga sesuai
habitat dan jenisnya. Beberapa medium yang umum digunakan antara lain medium
BBM (bold bassal medium) untuk mikroalga hijau jenis air tawar, BG-11 untuk jenis
mikroalga hijau biru jenis air laut, dan medium mikroalga hijau jenis air laut
menggunakan medium HSM (high salt medium)/ Sueoka.
b. Sueoka (HSM) Medium
Medium ini dapat digunakan untuk Chlamydomonas dan beberapa spesies lain seperti
Dunaliella salina
pH akhir medium adalah 6.8. Level pH dapat diatur menggunakan 1N HCl dan 1N
NaOH. Perlu dilakukan autoclave dengan waktu 20 menit atau lebih jika penggunaan
nutrient lebih dari 1 liter. Nutrien didiamkan selama semalam sebelum digunakan
c. BG-11 Medium
Medium ini umum digunakan untuk jenis cyanobacteria, dan dapat ditambahkan
larutan vitamin f/2 untuk beberapa spesies tertentu.
Budidaya mikroalga terbagi dalam beberapa alternatif pilihan. Budidaya ini dapat
dilakukan pada reaktor buatan yang disebut photobioreaktor, yakni reaktor yang
memanfaatkan sumber cahaya sebagai sumber fotosintesis untuk pertumbuhan mikroalga.
Pada umumnya untuk skala massal, budidaya mikroalga menggunakan suatu kolam
terbuka yang biasa disebut Open Pond. Open pond merupakan sistem kultivasi yang sangat
lama digunakan. Pada awalnya, kolam atau pond sebenarnya digunakan sebagai media
pengolahan limbah cair, dengan perkembangan saat ini pond diterapkan pada kultivasi
mikroalga skala massal. Open Pond dapat dikategorikan ke dalam perairan alami seperti
danau dan laguna serta kolam buatan atau kontainer yang terbuat dari bahan tertentu seperti
PVC, semen, atau tanah liat. Open Pond atau biasa disebut juga bioreaktor kolam terbuka
merupakan salah satu jenis bioreaktor yang paling murah dan mudah dikonstruksi apabila
dibandingkan photobioreaktor tertutup, sebab p dari pencahayaan hanya menggunakan sinar
matahari sebagai sumber cahaya mikroalga dalam melakukan fotosintesis.
Pemilihan jenis photobioreaktor sendiri sangat penting sebab p dapat menentukan
hasil biomassa yang akan dihasilkan. Beberapa sistem budidaya yang umum digunakan yaitu
kolam dangkal, kolam melingkar, dan kolam raceway dengan aliran sirkular menggunakan 1
pedal roda (paddle wheel). Kelemahan dari sistem open pond yaitu volume sistem kultur
yang besar sehingga sinar matahari yang masuk tidak sepenuhnya dapat terserap oleh
mikroalga di dasar kolam. Selanjutnya akibat kontak langsung dengan udara maka evaporasi
cairan relative besar dan proses pengadukan tidak dapat maksimal sehingga terjadi
pengendapan atau sedimentasi sel di dasar kolam. Permasalahan lain yang muncul dari
sistem open pond yaitu adanya kontaminasi langsung dari lingkungan sekitar.
1. Jenis- Jenis Photobioreaktor
Pemilihan jenis photobioreaktor sangat perlu diperhatikan. Hal ini dapat
berpengaruh pada tingkat produksi biomassa yang akan dihasilkan. Pada dasarnya ada dua
jenis photobioreaktor, yaitu photobioreaktor tertutup dan photobioreaktor terbuka.
Photobioreaktor tertutup mempunyai kondisi yang lebih terkontrol dibandingkan dengan
photobioreaktor terbuka. Photobioreaktor sendiri merupakan sebuah bioreaktor dengan
beberapa tipe sumber cahaya seperti sinar matahari (daylight lamp) , lampu fluorescent, atau
led. Pada sistem tertutup juga memungkinkan pertumbuhan mikroalga semakin cepat sebab p
adanya peningkatan konsentrasi karbondioksida, yang merupakan salah satu faktor penentu
dalam kultivasi mikroalga. Photobioreaktor tertutup lainnya yaitu Quasi-closed system yang
merupakan sebuah kolam yang ditutupi dengan bahan transparan (greenhouse) di semua
bagian.
Pada bagian ini akan lebih dibahas mengenai photobioreaktor terbuka atau yang biasa
disebut Open pond. Kolam terbuka atau Open pond merupakan sistem kultivasi mikroalga
yang dilakukan di luar ruangan. Sistem seperti ini hanya cukup dibuat semacam kolam
sirkuit, sebab p faktor pencahayaan didapat secara langsung dari sinar matahari, serta
kebutuhan akan karbondioksida diambil dari lingkungan sekitar. Pada sistem kolam sirkuit,
bibit mikroalga, media tumbuh (pada umumya air), dan nutrisi dicampurkan secara langsung
dalam kolam yang bergerak menyerupai aliran sirkuit. Aliran air dibuat dengan sistem
pemompaan, sehingga mikroalga dan nutrisi tetap dapat tercampur dan tidak terjadi
pengendapan mikroalga dan nutrisi yang ditambahkan didasar kolam. Kolam pada umumnya
dibuat dangkal supaya mikroalga tetap dapat memperoleh sinar matahari, sebab p sinar
matahari hanya dapat masuk pada kedalaman air yang terbatas. Variasi yang dapat diterapkan
pada sistem Open Pond yaitu dengan memberikan atap transparan (green house) yang masih
dapat ditembus sinar matahari untuk melindungi mikroalga dari kontaminasi luar seperti air
hujan, kotoran yang terbawa angin dan lain-lain. Tetapi pada prakteknya,cara ini hanya dapat
diaplikasikan pada kolam yang berukuran relatif kecil, dan belum dapat mengatasi beberapa
masalah yang terjadi pada sistem terbuka.
Ada banyak tipe sistem kultivasi mikroalga sistem open pond, antara lain menurut
ukuran, bentuk, bahan yang digunakan untuk konstruksi, jenis pengadukan, dan sudut
inklinasi. Banyak desain konstruksi yang disarankan, tetapi ada empat desain utama yang
dapat dikembangkan dan dioperasikan pada skala massal, yaitu:
1. Unstirred ponds
Yang termasuk jenis pond ini adalah danau dan kolam alami. Pond tanpa
pengadukan merupakan salah satu jenis pond yang paling ekonomis diantara jenis
metode kultivasi skala komersial yang lain. Jenis mikroalga yang dikembangkan yaitu
Dunailiella salina. Mikroalga jenis ini dikembangkan untuk diambil β-karoten, dan
banyak dikembangkan di Australia Barat dan Australia Selatan. Unstirred Ponds
mempunyai luasan yang sangat besar dengan konstruksi yang sangat sederhana, tanpa
penutup, dan mempunyai kedalaman kurang dari setengah meter. Untuk ukuran pond
yang lebih kecil, dapat dimodifikasi dengan adanya pelapisan plastik di atas
permukaan kolam. Unstirred open pond sangat terbatas untuk mikroalga yang
mempunyai kemampuan tumbuh pada kondisi yang sangat sulit dan mampu bersaing
dengan kontaminan lain yang tumbuh seperti protozoa, mikroalga lain, virus dan
bakteri.
2. Inclined ponds
Inclined pond adalah tipe pond yang menggunakan pompa untuk menggerakkan aliran
medium dari bawah ke atas. Beberapa peneliti menyatakan bahwa dengan sistem pond
ini diperoleh produktivitas yang tinggi. bahwa
produksi Chlorella dapat mencapai 25gram/m/hari dalam kurun waktu setahun.
Inclined pond secara luas digunakan di Republik Cheko untuk perkembangbiakan
Spirulina platensis, Chlorella sp, dan Scenedesmus sp dengan produktivitas 18 sampai
25gram/m/hari
Keunggulan dari sisctem ini adalah diantaranya: (1) didapatkan flow turbulen dengan
kedalaman kultur yang relatif dangkal (kurang dari 1 cm) sehingga diperoleh
konsentrasi sel mencapai 10gr/liter. (2) rasio volume dan permukaan relatif tinggi
dibanding jenis pond lainnya Sedangkan kelemahan dari pond
ini diantaranya: (1) sedimentasi sel akan semakin tinggi jika dioperasikan pada
turbulensi yang rendah, sehingga dimungkinkan masuknya kontaminan dan
menurunnya produktivitas. (3) medium mudah terevaporasi, absorbsi CO2 relatif
rendah. (3) biaya pemompaan kultur yang semakin membengkak sebab p dioperasikan
secara kontinyu. . Pada sistem ini diperoleh produktivitas biomas yang
relatif sama dengan metode pond lain. Akan tetapi dengan biaya operasional yang
cukup tinggi, maintenance, dan konstruksinya, menjadikan pond ini tidak feasibel.
3. Central pivot ponds
Circular central pivot biasa juga disebut dengan Kultivasi sirkulasi. Umumnya sistem
ini digunakan di negara Asia Tenggara untuk budidaya Chlorezlla sp .
Sistem pond ini rekatif paling tua jika dibanding dengan sistem pond lain. Selain itu
metode pond ini juga dapat digunakan untuk pengolahan limbah.
Gambar 3.1. Berbagai macam bentuk open pond. (a) unstirred pond, (b) central pivot pond,
(c) inclined pond (d) raceway pond.
4. Raceways ponds
Kolam terbuka aliran sirkuit adalah paling sederhana untuk budidaya massal
mikroalga. Dalam sistem ini, kolam dangkal biasanya sekitar 30-50cm, dan ganggang
yang dibudidayakan dalam kondisi identik dengan lingkungan alami mereka. Kolam
ini dirancang dalam konfigurasi raceway, di mana sebuah Paddle wheel berputar
mencampur sel-sel alga dengan nutrien yang ditambahkan. Biasanya terbuat dari
beton yang dibentuk, atau hanya cukup digali ke dalam tanah kemudian dilapisi
dengan lapisan plastik untuk mencegah tanah menyerap cairan alga. Baffle dalam
saluran mengatur aliran di sekitar putaran dan sering dioperasikan secara terus
menerus. Untuk beberapa jenis mikroalga laut, air laut atau air dengan salinitas tinggi
dapat digunakan sebagai medium tumbuh. Kolam dengan sistem terbuka, sering
mengalami banyak kehilangan air sebab p penguapan. Dengan demikian, kolam
terbuka tidak memudahkan mikroalga menyerap karbon dioksida secara efisien, dan
produksi biomassa terbatas Produktivitas biomassa juga dibatasi oleh
kontaminasi dari spesies alga lain yang tidak diinginkan serta organisme yang
memakan ganggang. Selain itu, kondisi budaya yang optimal sulit untuk
mempertahankan di kolam terbuka
2. Sirkulasi Pond
Dalam beberapa kasus perancangan kolam terbuka, perlu diperhatikan beberapa aspek
termasuk salah satunya masalah sirkulasi air kolam. Sistem sirkulasi dapat berpengaruh
langsung terhadap siklus udara yang masuk dalam kolam. Selain itu dengan mengetahui
adanya sistem sirkulasi, dapat diketahui sistem persebaran nutrisi yang ditambahkan
sehingga mikroalga tidak mengalami kekurangan maupun kelebihan nutrisi yang dapat
memicu terhambatnya pertumbuhan mikroalga dan adanya keracunan yang berefek
pada kematian mikroalga. Beberapa model aliran sirkulasi open pond disajikan pada Gambar
3.2. sampai Gambar 3.5.
3. Konstruksi Pond Raceway
Salah satu tipe konstruksi open pond yang biasa digunakan untuk pembiakan
mikroalga adalah jenis raceway. Beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam
konstruksi raceway adalah ukuran rasio panjang dan lebar pond, kecepatan paddle/kincir,
kolam intermediet, dan sump.
a. Ukuran Pond dan Geometri
Pond kolam sirkuit merupakan salah satu cara pembudidayaan yang
memerlukan banyak sinar matahari, sehingga cukup memerlukan luasan area
yang besar. Oleh sebab p itu diperlukan suatu perhitungan luasan yang tepat sehingga
dapat diperoleh hasil yang optimal.
Dasar geometri dapat menentukan ukuran perancangan pond, aliran, dan rasio
panjang dan lebar (L/W). Pemilihan dari ukuran dan bentuk pond dapat menetukan
faktor ekonomi dan efek lain dalam sistem ini seperti pengadukan dan
penyebaran udara dalam pond ini . Optimasi geometri secara sederhana dapat
menunjukkan luasan pond dengan rasio L/W (length/wide, panjang/lebar) dalam
Gambar 3.5. ditunjukan perbandingan L/W dengan luasan pond.
Pemilihan rasio L/W harus memperhatikan luasan minimal area yang ada dan juga
faktor lain yang mungkin dapat berpengaruh. Contoh Pond Aliran Sirkuit (Raceway
Ponds) disajikan dalam Gambar 3.7.
b. Sump
Sump merupakan bagian yang dibuat lebih dalam pada kolam yang biasa
digunakan untuk penambahan CO2. Sump juga digunkan untuk mengurangi kecepatan
aliran saat padatan inert dan komponen organik yang mengendap sudah terakumulasi
dan harus dihilangkan. Untuk 8 hektar pond, kedalaman sump berkisar 1,5 meterakan
mengakibatkan penyerapan CO2 95%. Kedalaman ini cukup untuk mencegah adanya
pusaran air dan udara yang terjebak dalam saluran pipa. Desain untuk Sump tunggal
yaitu dipasang menyilang sesuai dengan lebar saluran. Panjang dan lebar dari sump
sendiri disesuaikan dengan besarnya padatan yang harus dihilangkan. Pada umumnya,
desain panjang disesuaikan batas minimal yaitu berkisar 1 meter. Pipa distribusi CO2
dipasang pada dasar akhir dari Sump, sehingga tidak akan terjadi dekomposisi
padatan.
Gambar 3.8. cekungan dalam pond (disebut sump)
c. Mixing
Mixing merupakan bagian penting dalam pembuatan kolam raceway. Bagian ini
berfungsi menaduk mikroalga agar tidak cepat lmengendap, selain itu juga
berfungsi sebagai pengaduk nutrisi, dan pengaduk bagian bagian sel mikroalga
agar mendapat cahaya matahari yang seragam, dan sebagai pencampur udara agar
lebih cepat terdifusi ke dalam medium.Salah satu tipe pengaduk yang cukup
terkenal digunakan dalam kultivasi mikroalga adalah paddle wheel. Selain itu
dapat juga digunakan tipe pengaduk lain seperti propeller, gas lifting, gas
sparging, maupun pengadukan tradisional.
Keunggulan paddle wheel dibanding jenis mixer pond lain di antaranya yaitu (1)
mudah diaplikasikan untuk skala komersial dan tidak memerlukan perawatan
yang intens (2) tidak membahayakan sel alga sehingga meningkatkan efektivitas
pemanenan (3) mudah didesain sesuai kebutuhan. Selain memiliki kelebihan,
paddle wheel juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya (1) biaya pembuatan
yang relatif mahal, (2) panjang head (sirip) paddle secara aktual maksimum hanya
0.5 meter sehingga tidak dapat diaplikasikan untuk pond dengan area diatas 20
hektar. Secara umum, perhitungan kecepatan paddle wheel adalah sebagai berikut:
v = kecepatan (meter/detik)
Rh = radius hidraulik, (meter)
s = slope hidraulik ( head loss/unit panjang)
n = nilai kekasaran material pond
Jika kecepatan dan panjang channel sudah diketahui, persamaan dapat
disederhanakan untuk mencari head loss
hL =
di mana hL = head loss (meter)
L = panjang channel (meter)
Secara umum, nilai n adalah 0.010 untuk permukaan pond yang kasar, 0.014
untuk permukaan pond yang belum halus, 0.017-0.025 untuk permukaan yang
cukup halus, 0.029 untuk permukaan yang halus. Sedangkan nilai 0.018
secara umum digunakan untuk kalkulasi head loss untuk pond skala besar.
Pada umumnya efisiensi yang digunakan berkisar 70-75% untuk pompa
sentrifugal dan 30-40% untuk tipe paddle wheel atau pompa airlift.
Power pompa juga dapat bergantung pada kedalaman pond. Jika pond yang
digunakan semakin dalam, maka power pompa yang digunakan semakin besar
(Welssman dan Gosbel, 1987).
Untuk perhitungan power mixing, dapat dihitung dengan persamaan
P =
di mana p = power (watt)
A= pond area (meter2
)
e = overall efisiensi sistem pengadukan
d. Kolam intermediet (perantara).
Kolam intermediet digunakan untuk scale up mikroalga dari skala mikro hingga
skala komersial. Kolam intemediet dapat juga disebut kolam pembibitan. Scale up
mikroalga dilakukan dari pond dengan ukuran 200-300 liter, dan bertahap sampai
didapatkan volume yang diinginkan. Biasanya bibit yang digunakan untuk start
up adalah berkisar 10-15%.
Gambar 3.9. Kolam intermediet open pond
e. Pertimbangan dalam desain open pond.
ada beberapa pertimbangan dalam pembuatan desain open pond, di
antaranya yaitu (1) Kolam dibangun secara beriringan atau dengan bentuk kolam
sirkuit. (2) Pengadukan secara lambat sehingga menghasilkan gelombang yang
kecil. (3)Untuk pengadukan dapat digunakan paddle wheel, water jet (pompa air),
dan air pump (pompa air) (4) Dimensi untuk 100 ton air yaitu 50m x 5m x 0,4m
Dalam sistem open pond, produktivitas Spirulina yang dapat dicapai 0,35g/Lt,
sedangkan Luasan area yang dibutuhkan untuk kapasitas 100 ton air berkisar
sampai dengan 250 m2
. Pemilihan dimensi open pond ini dapat menjadi alternatif
dalam budidaya mikroalga, namun harus diingat bahwa resiko kontaminan yang
cukup tinggi, risiko sirkulasi udara yang rendah, dan pengadukan dengan efisiensi
rendah. Selain itu semakin besar volume, maka resiko juga akan semakin besar.
1. Open pond dengan paddle wheel
Beberapa faktor yang dipertimbangkan untuk Open Pond menggunakan Paddle
Wheel
- Pola pengadukan
- Material pelapis paddle wheel ( anti air, tahan terhadap bahan kimia minimal 20
tahun, berwarna putih/abu-abu )
- Jenis kultivasi yang akan dilakukan
- Penanganan pengukuran dengan pH meter
- Penanganan penghitungan jumlah alga
- Saringan alga ( opsional )
- Panel Sinar matahari ( opsional )
Gambar 3.10. open pond dengan paddle wheel.
2. Open pond dengan waterjet
Material yang dipertimbangkan untuk Open Pond menggunakan Waterjet (Pompa
air)
- Mekanisme sirkulasi pompa air
Material pelapis paddle wheel ( anti air, tahan terhadap bahan kimia minimal 20
tahun, berwarna putih/abu-abu )
- Jenis kultivasi yang akan dilakukan
- Penanganan pengukuran dengan PH meter
- Penanganan penghitungan jumlah alga
- Saringan alga ( opsional )
- Panel Sinar matahari ( opsional )
Gambar 3.11. Open pond dengan waterjet pump
3. Open pond dengan Airpump
Material yang dipertimbangkan untuk Open Pond menggunakan Airpump (Pompa
Udara)
- Bebas minyak
- Material pelapis paddle wheel ( anti air, tahan terhadap bahan kimia minimal 20
tahun, berwarna putih/abu-abu )
- Jenis kultivasi yang akan dilakukan
- Penanganan pengukuran dengan pH meter
- Penanganan penghitungan jumlah alga
- Saringan alga ( opsional )
- Panel Sinar matahari ( opsional )
Kultivasi mikroalga secara praktis dapat digunakan dalam berbagai tujuan yang
berbeda seperti untuk produksi hidrokarbon, protein, bahan farmasi, pengolahan limbah cair,
konversi energi dan berbagai kombinasi dari tujuan-tujuan ini . Untuk mecapai tujuan
itu, maka perlu dilakukan proses pemisahan yang berbeda pula. Mikroalga akan
menghasilkan biomassa yang kemudian akan berbentuk endapan sel dalam jumlah banyak.
Oleh sebab p itu proses pemisahan endapan sel mikroalga merupakan tahapan yang penting.
Efisiensi dari proses pemisahan dengan air dan model pengeringan mikroalga bisa menjadi
faktor yang mendasar dari segi kelayakan ekonomi sistem produksi mikroalga. Sebagai
contoh, kombinasi proses kultivasi mikroalga untuk tujuan pengolahan air dan produksi
protein, pemisahan memiliki dua tujuan yang harus dicapai, yaitu proses pengambilan
mikroalga bebas air dan memperoleh biomassa dengan konsentrasi protein yang tinggi baik
untuk standar pakan hewan ( feed grade ) maupun standar konsumsi manusia ( food grade ).
Sebelum masuk mengenai masalah pemanenan alga, berikut akan disampaikan tahapan alga
pada waktu proses pembibitan.
1. Tahapan Pemanenan
Pemisahan alga dari mediumnya merupakan masalah utama dalam suatu proses
industri sebab p ukuran alga yang sangat kecil, pada alga eukariot bersel satu berkisar 3 -
30μm, dan jenis cyanobakteria berkisar 0,2 – 5 μm. Pada umumnya kelarutan suatu kultur
antara 200 – 600 mg/l, dan dibutuhkan volum air yang cukup banyak untuk pemrosesannya.
Pengambilan kembali biomass alga berpengaruh 20 - 30% dari keseluruhan biaya produksi.
Langkah-langkah pemanenan bukan hanya tentang biaya, tetapi juga sangat berpengaruh
terhadapproses selanjutya. Metode pemanenan alga yang sudah ada saat ini yaitu secara
kimia, mekanik, operasi berbasis listrik dan dengan berbagai kombinasi dan urutan beberapa
metode ini Pemanenan secara biologi
sedang diteliti lebih lanjut sebab p dapat mengurangi biaya pemanenan. Belum ada metode
terbaik untuk pemanenan mikroalga, semua mempunyai kelebihan dan kelemahan masingmasing. Berikut akan disampaikan beberapa metode pemanenan mikroalga ini .
a. Cara Kimiawi
Flokulasi secara kimia sering dilakukan sebagai pretreatment awal untuk menaikkan
ukuran partikel sebelum digunakan metode lain seperti flotasi. Polimer elektrolit dan
sintesis sering ditambahkan untuk mengkoagulasi dan memflokulasi sel mikroalga
sebab p mempunyai muatan ion +3, kation besi
alumunium, alumunium sulfat dan besi klorida sering digunakan sebagai ion penetral.
Dengan pertimbangan proses selanjutnya, produksi bioproduk dari alga juga
menggunakan logam garam untuk koagulasi dan flokulasi. Alumunium sulfat juga
menunjukkan dapat menghambat aktifitas pembentukan metan dan pengasaman oleh
bakteri dari cairan umpan (Cabirol et al., 2003). Pengolahan dengan alumunium pada
tanah juga dapat meningkatkan logam berat dan memicu kekurangan fosfor
pada tanaman
Polimer alam dapat digunakan sebagai flokulan untuk mengurangi masalah polusi
ini , meskipun belum banyak penelitian tentang hal itu. Divakaran dan
Sivasankara Pillai (2002) telah berhasil memflokulasi dan mengendapan alga dengan
adanya penambahan chitosan. Kation pati juga diindikasikan dapat digunakan sebagai
agen flokulasi (Pal et al., 2005).
b. Cara Mekanik
Sentrifugasi mungkin adalah metode yang paling sering digunakan untuk proses
recovery alga yang tersuspensi. Tenaga sentrifugal dimanfaatkan untuk pemisahan
berdasarkan perbedaan massa jenis. Jenis pipa sentrifugal mudah dibersihkan dan
disterilisasi dan cocok untuk semua jenis mikroalga, tetapi harus dipertimbangkan
investasi awal serta biaya operasi yang tinggi (Shelef et al., 1984). Teknologi
sentrifugasi merupakan metode teraktual saat ini, tetapi masalah biaya menjadi
kendala utama apabila digunakan untuk skala yang besar.
Metode filtrasi sering digunakan untuk pemanenan strain alga berfilamen. Dijelaskan
bahwa kolam alga dengan laju aliran tinggi lebih mudah dipanen alga berfilamennya
dengan saringan mikro untuk mempertahankan sel yang berukuran besar dan
mengeluarkan alga tak berfilamen yang berukuran lebih kecil (Vonshak and
Richmond, 1988., Wood, 1987) . Penelitian lain mengungkapkan bahwa tidak dapat
dipastikan jenis alga yang dominan dalam spesies ini (Hoffmann, 1998). Jenis
alga berfilamen kurang cocok untuk aplikasi sebagai biofuel sebab p memilii
kandungan lemak yang sedikit (Mulbry et al., 2008). Untuk jenis alga tersuspensi
yang lebih kecil, filtrasi dengan aliran tangensial perlu dipertimbangkan sebab p lebih
mudah ditangani dari pada filtrasi sistem dead-end, tetapi adanya penyumbatan
(fouling) memicu membran harus sering diganti sehingga cukup berpengaruh
pada biaya (Uduman et al., 2010), dan tenaga yang dibutuhkanpun cukup tinggi.
Pemanenan secara sedimentasi merupakan jenis pemanenan yang paling murah dan
mengasilkan konsentrasi padatan sekitar 1,5% (Uduman et al., 2010), tetapi sebab p
adanya fluktuasi massa jenis sel mikroalga, kenyataanya sangat cukup sedikit
perusahaan yang mengaplikasikan cara ini (Shen et al., 2009). Dengan kecepatan
pengendapan 0,1 – 2,6 cm/jam, sedimentasi cukup lambat dan banyak biomassa yang
rusak selama proses pengendapan (Greenwell et al., 2010).
Dissolved air flotation (DAF) merupakan metode yang umum digunakan dalam
pengolahan air limbah (Friedman et al., 1977). sebab p alga mengandung banyak air,
DAF biasa lebih dipilih daripada metode sedimentasi. Keuntungan utama dari metode
DAF yaitu telah terbukti dapat diaplikasikan untuk skala massal, tetapi memiliki
kelemahan yaitu penggunaan flokulan akan berpengaruh kurang baik pada saat proses
selanjutnya (Greenwell et al., 2010; Hoffmann, 1998).
a. Cara berbasis Listrik
Metode pemisahan berdasarkan elektroporesisi mikroalga merupakan salah satu cara
yang dapat digunakan. Sel alga dapat terkonsentrasi sebab p adanya aliran arus listrik
(Kumar et al., 1981). Keuntungan dari pendekatan cara ini yaitu tidak adanya
penambahan bahan kimia, tetapi bagaimanapun juga perlu tenaga yang besar dan
biaya kelistrikan yang tinggi membuat metode ini kurang menarik, apalagi untuk
skala massal (Uduman et al., 2010).
b. Cara Biologi
Alga diketahui terkadang dapat secara spontan terflokulasi tanpa ada penambahan
bahan kimia (Sukenik dan Shelef, 1984). Pengembangan dan pengendalian cara ini
dapat secara signifikan menekan biaya panen. Meskupun penggunaan istilah
autoflokulasi dan bioflokulasi sering digunakan bergantian, tetapi keduanya
menggambarkan fenomena yang berbeda.
Autiflokulasi terjadi sebab p level pH yang tinggi sebab p adanya konsumsi karbon
dioksida terlarut dalam cairan alga. Peningkatan pH disebabkan ion kalsium dan
phosphat yang jenuh. Jika ion kalsium berlebih, endapan kalsium phosphor akan
bermuatan positif. Sel alga akan menjadi penyokong endapan padat ini dan
merubahnya menjadi bermuatan netral (Lavoie dan de la Noüe, 1987). Autoflokulasi
mungkin tidak dijumpai pada semua jenis air. Konsentrasi optimal untuk endapan
kalsium phosphor pada pH 8,5-9 berkisar 3,1-6,2 mg/l phospat dan 60-100 mg/l
kalsium (Sukenik and Shelef , 1984) Masalah ini dapat diatasi dengan
penambahan kapur dalam kolam open pond. Cara ini akan membawa nitrogen,
phosphor dan pengurangan alga hingga diatas 90% (Nurdogan dan Oswald, 1995).
Bioflokulasi biasa diartikan adanya flokulasi sebab p biopolimer. Banyaknya
fitoplangkton yang mengendap berpengaruh dengan meningkatnya konsentrasi EPS
(ekstraseluler polimer substrat) (Bhaskar dan Bhosle, 2005). Passow dan Alldredge
(1995) melaporkan diatom yang terkontrol mengalami flokulasi massa sesaat setelah
adanya peningkatan jumlah sel yang tertutup oleh biopolimer. Produksi EPS
dilaporkan akan mengalami fase maksimal pada akhir fase tumbuh (Bhaskar dan
Bhosle, 2005; Staats et al., 1999), meskipun cahaya dan suhu juga cukup berpengaruh
pada bioflokulasi (Wolfstein dan Stal, 2002). Pendekatan biologis lain yaitu flokulasi
alga secara mikrobiologi.Yaitu dengan menambahkan agen mikroba pemflokulasi
kedalam kultur alga (Lee et al., 2008). Selain itu juga diumpankan 0,1 gr/l asetat,
glukosa atau gliserin dan diaduk selama 24 jam, maka akan didapatkn recoveri
sebesar 90 % dengan faktor konsentrasi 226. Penelitian lain menunjukkan adanya
efisiensi flokulasi menggunakan mikroba tanah dari pada menggunakan alumunium
sulfat atau policrilamida untuk proses pemanenan Chlorella vulgaris (Oh, et al.,
2001).
Cara biologi lain yaitu pemanenan menggunakan ikan planktivorous seperti tilapia.
Proses kontrol eutrofikasi dilakukan pada kolam aliran sirkuit untuk menumbuhkan
alga. Alga kemudian diumpankan kedalam kolam ikan, dan kotoran ikan akan
membentuk endapan yang kemudian dibawa ke permukaan pada sabuk konveyor
untuk kemudian dimasukkan pada digester anaerobik (Brune et al., 2007). Peneliti
lain juga menggambarkan proses yang sama dengan mengumpankan air yang kaya
akan nutrien melewati saringan berpori untuk menumbuhkan Periphyton. Kotoran
dari tilapia yang dimasukkan pada alga ini , kemudian dikumpulkan pada kolom
pengendap. Penurunan total phospor dan nitrogen masing-masing sebesar 82% dan
23%.
2. Teknologi Pemanenan Mikroalgae
Proses pemanenan mikroalga merupakan suatu proses pemisahan padatan – cairan.
Pemisahan padatan-cairan dapat diklasifikasikan dalam dua jenis proses pemisahan. Pertama,
cairan dibatasi dalam tangki penampung, sehingga hanya partikel yang dapat bergerak bebas
dalam badan cairan. Yang termasuk jenis ini adalah sedimentasi dan flokulasi. Kedua, gerak
partikel dibatasi media semipermeabel, sehingga cairan tetap dapat mengalir. Filtrasi dan
Screening merupakan contoh dari jenis kedua ini . Salah satu faktor yang sangat
berpengaruh dalam proses pemisahan yaitu adanya perbedaan massa jenis antara padatan dan
cairan.
1. Filtrasi dan Screening
Filtrasi dan penyaringan merupakan proses pemisahan padatan dari cairan melewati
media permeabel yang dapat ditembus suatu cairan dan menahan endapan yang
berupa padatan. Pada proses pemisahan mikroalga, padatan dapat berupa sebagai
biomassa yang mempunyai ukuran tertentu.
Penyaringan ( Screening )
Prinsip dasar dari penyaringan yaitu melewatkan partikel melalui saringan berlubang
dengan ukuran tertentu. Pertikel yang lolos harus sesuai dengan ukuran saringan.
Metode ini pada umumnya digunakan untuk pemisahan padat – padat, tetapi pada
perkembangannya juga diaplikasikan pada pemisahan padat – cair. Untuk pemanenan
mikroalgae peralatan yang digunakan terdiri dari dua alat utama yaitu saringan mikro
( mikrostrainers ) dan filter getar.
Filtrasi
Proses filtrasi merupakan suatu proses dengan menggunakan adanya perbedaan
tekanan yang mendorong suatu cairan melewati media penyaring. Besarnya perbedaan
tekanan yang digunakan didasarkan pada tujuan penggunaan, misalnya secara
gravitasi, tekanan vakum, maupun sentrifugal.
Dua tipe dasar filtrasi yang biasa digunakan :
1.Filtrasi pada permukaan ( Surface Filter )
Pada filtrasi ini padatan akan terdeposisi membentuk cake pada lapisan permukaan
tipis filter. Lama-kelamaan, cake ini akan mendekati lapisan permukaan,
sehingga cake akan bergeser sendiri dan fiter media hanya sebagai penyokong cake.
Saat cake semakin banyak, maka aliran akan semakin tertahan. Dengan demikian
perlu dibuat tekanan konstan agar laju alir umpan tidak mengalami hambatan.
2.Filtrasi pada kedalaman (Deep Filter)
Padatan akan terdeposisi diantara filter media. Permasalahan yang terjadi untuk
pemisahan alga yaitu media tidak akan mampu untuk menahan semua alga yang
cenderung lebih cepat berpindah, sehingga perlu sering dilakukan pencucian.
Hasilnya ukuran filter semakin besar dan kandungan padatan biomass akan semakin
berkurang. Bagaimanpun juga penelitian lebih lanjut tentang filtrasi yang efektif dan
efisien masih terus dilakukan sehingga akan didapatkan kentungan dan dapat
mengurangi biaya dan energi. Pada pembahasan selanjutnya akan disampaikan
beberapa peralatan Filtrasi untuk pemanenan alga.
Alat-alat Filtrasi
1.Filter bertekanan
Pada filter bertekanan, gaya dorong (driving force) filtrasi menggunakan tekanan
cairan yang dipompa dan dikendalikan dengan tekanan gas pada tangki umpan. Filter
bertekanan dapat mengolah umpan hingga mencapai 10% padatan. Filter bertekanan
dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu plate and frame filter presses dan pressure
vessels containing filter element.
Mekanisme kerja alat ini pada umumnya, pelat dan frame penekan dipasang secara
berurutan. Pelat dapat berbentuk persegi maupun persegi panjang tergantung pada
bentuk rongga frame, kemudian setelah bentuk plat dan frame sudah sesuai, diberi
tekanan secara bersama-sama dengan alat hidrolik atau sekrup penekan. Pelat ditutupi
dengan kain penyaring yang akan menahan jelly alga. Slurry akan dipompa melalui
frame dan filtrate akan dialirkan dari pelat.
Jenis kedua dari Filter bertekanan yaitu adanya lapisan-lapisan penyaring dalam suatu
tangki seperti, rotary drum pressure filter, cylindrical element filters, vertical tank
vertical leaf filters, horizontal tank vertical leaf filters, and horizontal leaf filters.
2. Filter vakum ( Vacuum Filters )
Pada filter vakum, gaya pendorong saat proses filtrasi diakibatkan sebab pn adanya
tenaga penghisap dari sisi filtrat medium. Secara teori, kehilangan tekanan yang
diijinkan untuk proses filtrasi vakum adalah 100 kPa, tetapi dalam prakteknya hanya
terbatas pada 70 atau 80 kPa. Aplikasi vakum filter dimana proporsi dari partikel yang
halus dalam umpan masuk rendah, maka relative lebih murah menggunakan filter
vakum dibandingkan filter bertekanan sebab p dapat mengurangi kadar air lebih
banyak. Lebih jauh, jenis filter ini dapat dikembangkan ke skala yang lebih besar
yang dapat berguna untuk proses pencucian, pengeringan, dan proses lain yang
diperlukan.
3. Saringan mikro (Microstrainers)
Saringan mikro tersusun atas sebuah rotari drum yang ditutup dengan saringan kain,
baja, ataupun poliester. Cairan disemprotkan sehingga partikel-partikel dapat
mengumpul melalui sudut tempat yang ditentukan. Microstariner cocok untuk
kultivasi alga dalam skala besar. Keuntungan dari mikrostrainer antar lain : konstruksi
sederhana, operasi mudah, biaya investasi yang rendah, gesekan sebab p adanya
pergerakan cepat partikel dapat diabaikan, kebutuhan energy rendah dan rasio filtrasi
tinggi.
Masalah yang dihadapi yaitu tidak semua jenis padatan dapat disaring dan sulitnya
penanganan fluktuasi padatan. Persoalan ini dapat diatasi dengan memvariasikan
kecepatan putaran. Permasalahan lain yaitu adanya kemungkinan munculnya bakteri
dan mikroalga lain dalam saringan kain ini . Pertumbuhan ini dapat
dihambat dengan penyinaran sinar ultraviolet. Bagaimanapun juga, penggunaan
mikrostrainer perlu adanya pencucian secara berkala.
Mikrostrainer digunakan secara luas untuk menghilangkan partikel dari keluaran
limbah. dan mengurangi adanya alga dalam air. Mikrostrainer cocok digunakan untuk
mikroalga yang memilik sel besar ( Spirulina sp.), dan kurang efektif untuk
mengurangi mikroalga bersel kecil ( Scenedesmus; Chlorella ). Tetapi permasalahan
ini dapat diatasi dengan memodifikasi mikrostrainer menjadi rotating
microstrainer dengan pencucian balik secara kontinyu.
4. Vibrating Screen Filters
Vibrating Screen Filter atau saringan getar banyak digunakan untuk kebutuhan
industri seperti industri kertas dan industri makanan. Tetapi dalam perkembangannya
juga dapat digunakan mengurangi konsentrasi sampah perkotaan. Pemanfaatan
vibrating screen biasa digunakan untuk memisahkan Spirulina. Selain itu vibrating
screen juga dapat diaplikasikan untuk pemisahan Coelastrum. Pemanenan secara
kontinyu dapat meningkatkan total padatan tersuspensi hingga 5-6 %. Sedangkan
pemanean secara diskontinyu dapat meningkatkan total padatan tersuspensi hingga 7-
8%.
5. Catridge Filters
Jenis saringan ini dipilih sebab p penggunaanya yang mudah dan dapat di ganti
sewaktu-waktu. Bahan cartridge terbuat dari bahan kertas, kain, ataupun membran
yang mempunyai ukuran pori hingga 0,2μm. Suspensi mikroalga dapat dipompa,
disedot, maupun memanfaatkan gaya gravitasi turun melewati saringan. Untuk
menjaga ketahanan cartridge dan frekuensi penggantiannya, saringan cartride harus
selalu dibatasi agar padatan yang terkandung dalam cairan kurang dari 0,01% berat.
6. Cross Flow Ultra Filtration (SUF)
Ultra filtrasi aliran silang dikembangkan oleh Israel Desalination Engineering
(Zarchin Process) Ltd. Sistem ini mengadopsi dari sistem pengolahan limbah alga,
bekerja sama dengan Technion Environmental Research Center yang bertujuan untuk
menghasilkan produksi alga konsentrasi tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai
sumber protein. Dengan sistem ini, konsentrasi alga yang dihasilkan dapat mencapai
20 kali lipat, tetapi energy yang diperlukan cukup tinggi, sehingga metode ini masih
kurang ekonomis.
7. Magnetic Separation
High Gradient Magnetic Filtration (HGMF) digunakan untuk menghilangkan partikel
tersuspensi dan menghilangkan logam berat dari limbah. Metode ini didasarkan
sebab p adanya partikel magnetik (biasanya Fe3O4) pada larutan. Partikel bermagnet
ini mengalami koagulasi dengan alga dan kemudian larutan ini melewati
kolom magnetik pada saringan berpori yang mana alga akan tertahan. Bitton, et
al.(1974) melaporkan bahwa efisiensi yang dihasilkan dari metode ini antara 55 – 94
%, percobaan ini dilakukan di danau Florida Amerika Serikat dengan menggunakan
alum sebagai flokulan dan filter magnetik komersial. Pada percobaan, didapatkan
hasil bahwa alga yang terambil diatas 90% dengan 5-13 ppm FeCl3 sebagai flokulan
utama dan 500-1200 ppm magnet Fe3O4 sebgai bibit magnet yang dilakukan pada
skala laboratorium dan kolam pond. Estimasi biaya untuk skala komersial tidak
dijelaskan lebih lanjut.
2. Gravity Sedimentation
Pengendapan secara gravitasi merupakan salah satu proses pemisahan padat –
cair dimana umpan yang tersuspensi dipisahkan antara slurry dengan konsentrasi
tinggi dan air keluaran yang jernih. Untuk mengurangi partikel mikroalga yang dapat
mengendap secara cepat, pengendapan gravitasi memberikan hasil lebih bagus.
Bagaimanapun untuk menghilangkan partikel dengan diameter lebih kecil dari ukuran
mikron dan untuk keperluan praktis, flokulasi harus dilakukan agar ukuran partikel
memungkinkan untuk dilakukan pengendapan.
Proses Sedimentasi pada umumnya dibagi menjadi a) klarifikasi dimana
kejernihan pada lairan atas merupakan hal yang diutamakan dan umpan yang masuk
biasa diencerkan dan b) proses pengentalan dimana ketebalan lapisan bawah adalah
tujuan utama dan umpan slurry biasa mempunyai konsentrasi tinggi. (Svarovsky,
1979). Proses yang pertama disarankan untuk digunakan pada pemisahan alga (Mohn
1980), sedangkan proses yang kedua lebih ditujukan untuk proses pengonsentrasian
bubur alga.
a. Flotasi
Flotasi adalah pemisahan secara gravitasi yang didasarkan adanya penambahan udara
atau gelembung gas pada partikel padatan yang kemudian dibawa ke permukaan
cairan dan mengapung sehingga dapat di ambil bagian yang terapung. Keberhasilan
dari proses flotasi tergantung pada ketidakstabilan partikel tersuspensi. Semakin tidak
stabil makan semakin tinggi kontak partikel udara. Proses flotasi dikelompokkan
berdasarkan produksi gelembungnya yaitu antar lain : Dissolved air flotation (DAF),
electrolytic flotation dan dispersed air flotation (Svarovsky 1979).
1. Dissolved air Flotation (DAF)
Produksi gelembung udara pada DAF didasarkan pada tingginya kelarurat udara
dalam air sebagai fungsi tekanan. Hal ini dapat dicapain dengan tiga cara :
Saturasi pada tekananatmosferik dan flotasi tekanan vakum, saturasi dibawah tekanan
statis dan saturasi pada tekanan diatas atmosferik dan flotasi dibawah kondisi
atmosferik (Svarovsky 1979).
Pemisahan alga dengan DAF dapat dilakukan dengan cara flokulasi. Keluaran bak
klarifikasi tergantung pada parameter operasional seperti : kecepata recycle, takanan
udara tangki, waktu tinggal hydrolik dan kecepatan flotasi partikel (Bare et al, 1975,
Sandbank et al, 1979), sedangkan konsentrasi slurry tergantung pada kecepatan
skimmer dan ketinggian permukaan air (Moraine, et al., 1980)
Kolam alga yang mengandung banyak spesies alga dapat berhasil diklarifikasi dengan
peralatan DAF dan tercatat konsentrasi alga mencapai 6%. Konsentrasi alga masih
dapat ditingkatkan dengan adanya flotasi tahap kedua (Bare et al, 1975, Friedman et
al, 1977, Moraine, et al., 1980, Viviers dan Briers 1982). Sekilas nampak bahwa
parameter operasional untuk DAF ditentukan oleh kehandalan metode pemisahan alga
yang tinggi, tetepi dosis flokulan yang optimal harus ditentukan untuk tiap operasi
agar mendapatkan hasil yang maksimal. Koopman dan Lincoln (1983) meneliti
mengenai autoflokulasi alga, dengan flokulasi menggunakan alum atau polimer C-3,
didapatkan alga yang dapat dihilangkan mencapai 80 – 90 % pada bak flotasi dengan
laju alir 2m/jam, dengan konsentrasi alga terflotasi lebih dari 6% padatan.
Bagaimanapun, fenomena autiflokulasi terbatas pada konsentrasi oksigen terlarut
diatas 16mg/l dan tidak sesuai untuk konsentrasi rendah.
2. Electroflotasi
Pada metode ini, gelembung gas terbentuk dari proses elektrolisi. Reaksi ada anoda
sebagai berikut :
2Cl- Cl2(g) + 2edan reaksi pada katoda adalah
2H2O + 2e- H2(g) + 2OHKlorin yang terbentuk terlarut dalam air dan bereaksi dengan komponen-komponen
kimia. Gas hidrogen dengan kelarutan rendah didalam air akan mengapungkan flok
alga. Beda potensial dibutuhkan untuk menjaga kebutuhan arus untuk pergantian
gelembung setaiap saat dan juga tergantung pada konduktivitas elektrik dari umpan
larutan.
Pada penelitian skala meja, Contreras et al (1981) menjelaskan metode electrolytic
sangat efisien sebab p flokulasi alga menggunakan hidroksida selama elektrolisis
memicu presipitasi Mg(OH)2 dan flokulasi lanjutan. Untuk mendapatkan
klarifikasi yang bagus, flokulasi menggunakanalum harus diikuti dengan
elektrofotation secara simultan, walaupun metode ini memerlukan waktu tinggal yang
lebih singkat (Sandbank et al., 1974).
Jenis mikroalga yang dapat dipanen dengan metode ini dapat mencapai 5% padatan
float alga. Dekantasi setelah 24 jam dapat meningkatkan konsentrasi padatan hingga
7-8% (Shelef et al., 1977; Sandbank, 1979). Energy yang dibutuhkan dengan metode
elektrofoltasi cukup tinggi, tetapi secara umum untuk unit skala kecil dengan luas 5m2
atau lebih kecil, biaya operasi elektroflotasi lebih murah dibandingkan unit DAF. ay
3. Dispersed Air Flotation
Proses ini menggunakan gelembung-gelembung besar dengan diameter 1 mm, yang
didapatkan dari kombinasi agitasi dengan injeksi udara ( flotasi buih / froth flotation)
atau dengan penggelembungan udara melewati media berpori ( flotasi busa / foam
flotation). Selektivitas proses berdasarkan kebasahan relatif permukaan padatan.
Hanya partikel yang mempunyai afinitas tertentu yang dapat muncul ke permukaan
bersama gelembung udara. Kebasahan dan pembuihan dapat dikendalikan dengan tiga
jenis reagen kimia : a) Pembuih b) Agen lapisan permukaan aktif yang dapat
mengendalikan kebasahan permukaan dengan variasi sudut kontak dan komponen
elektrokinetik c) Modifikasi dengan pengaturan pH. Proses flotasi untuk pemanenan
alga dapat dikontrol dengan pengaturan pH. Titik kritis pH berkisar pada level 4 dan
dapat diubah sesuai dengan karakteristik permukaan alga.
b. Sentrifugasi
Proses pemisahan sentrifugal merupakan pemisahan dengan menggunakan tenaga
sentrifugal sehingga membuat padatan berpindah dari cairannya. Peralatan
sentrifugasi dibagi menjadi (hydrocyclone) dan sedimenting centrifuges. Pemisahan
sentrifugal menggunakan prinsip dimana objek diputar secara horizontal pada jarak
tertentu. Apabila objek berotasi di dalam tabung atau silinder yang berisi campuran
cairan dan partikel, maka campuran ini dapat bergerak menuju pusat rotasi,
namun hal ini tidak terjadi sebab p adanya gaya yang berlawanan yang menuju
kearah dinding luar silinder atau tabung, gaya ini adalah gaya sentrifugasi. Gaya
inilah yang memicu partikel-partikel menuju dinding tanbung dan terakumulasi
membentuk endapan.
3. Contoh Pemanenan Skala Industri
Beberapa industri memilih menggunakan alat pemanen secara mekanik sementara
yang lain masih terfokus pada cara biologis. Beberapa perusahaan bahkan mencoba mencari
jalan lain untuk memotong tahapan pemisahan alga.
a. Pemanen Mekanis
Salah satu perusahaan “Alga to Energy” (A2E) menggunakan suatu alat pemanen
yang biasa disebut Pemanen Shepherd. Pemanen ini menggunakan belt atau
sebuk yang berjalan secara kontinyu melalui kutur alga dan sabuk ini
menggunakan sistem vakum. Sabuk yang bergerak, mengumpulkan alga yang siap
dipanen dengan sistem vakum sehingga alga akan terikut dalam sistem vakum
sebelum sabuk ini meleawti kultur alga lagi. Patent ini tidak secara
langsung membahas penggunaan dalam sistem pengolahan air limbah, tetapi
disebutkan pula untuk budidaya alga skala massal menggunakan beberapa
infrastruktur tambahan seperti fasilitas pengolahan limbah.
Algaventure System, Inc. juga menggunakan pemanen sabuk kontinyu dengan
eksraksi kapiler. Desain ini menggunakan sabuk primer untuk mengumpulkan alga
dan sabuk kapiler sekunder yang terbuat dari polimer absorben. Sabuk sekunder
kontak dengan bagian dasar sabuk primer sehingga air akan terserap dari alga.
Biomassa kering di sabuk primer dikumpulkan dan oleh sabuk sekunder dikompresi
untuk mengurangi kadar air sebelum sabuk sekunder kontak lagi dengan sabuk
primer. Paten ini juga tidak membahas penggunaan alat panen pada sistem
pengolahan limbah, tetapi perusahaan juga menjelaskan adanya potensi untuk limbah.
MBD Energy Australia menggunakan pabrik pengolah limbah batu bara dan
mencakup kolam sirkuit untuk produksi mikroalga. Perusahaan ini berkolaborasi
dengan Evodos Jerman untuk menggunakan pemisahnya. Pemisah Evodos yaitu
sebuah sentrifuge yang dapat menghilangkan padatan dari konsentratnya. Rakitan
bagian dalam terbuat dari piringan yang melengkung tetapi bersifat fleksibel. Bagian
ini dapat dilepas dan diputar dari bentuk lengkung menjadi lurus dan padatan
alga tidak terjepit didalam piringan.
Scipio Biofuels megembangkan alga pada reaktor tubular terutup. Pemanenan secara
kontinyu menggunakan sentrifuge kecepatan rendah. Sebuah ruangan melingkar
dengan dinding kasar terus berputar yang memaksa sel alga tetap pada dinding
ini .sebab p gumpalan atau sel alga yang besar tidak dapat melewati dinding kasar
itu, sehingga sel yang berukuran kecil juga terhambat pada dinding ini . Sebuah
pisau tipis kemudian melewati dinding ini untuk mengelupas gumpalan alga
yang menempel. Paten ini juga tidak menjelaskan penggunaann untuk pengolahan
limbah. Beberapa perbandingan cara pemanenan mikroalga yang digunakan beberapa
industri ditunjukkan pada tabel 4.5.
Secara umum, teknologi pemisahan Pada proses pemanenan mikroalga, terjadi beberapa
tahapan. Pertama endapan mikroalga masih mengandung banyak air yang berbentuk algae
slurry (lumpur alga) harus dikurangi kadar airnya (dewatering) hingga membentuk Jeli algae
( algae cake ). Kedua, alga yang telah berbentuk jeli alga yang mengandung sedikit air, untuk
dilakukkan proses lanjut seperti pengeringan, ekstraksi dan lain-lain.
a. Cara Flokulasi
Penambahan suatu bahan kimia dalam kultivasi mikroalga merupakan salah satu cara
untuk mendorong alga mengalami flokulasi. Hal ini merupakan salah satu
tahapan proses dalam teknologi pemisahan seperti halnya pengendapan
(sedimentation), pengapungan (flotation), penyaringan (filtration) dan sentrifugasi
(centrifugation).
Tahapan pemanenan mikroalga:
Jenis bahan kimia yang digunakan dalam flokulasi mikroalga secara luas dibagi
kedalam dua kelompok, yang pertama agen anorganik ( inorganic agents ) termasuk
ion logam polivalen (polyvalent metal ions) seperti Al3+ dan Fe3+ . Untuk pengolahan
air dan air limbah pada umumnya digunakan Lime ( Ca(OH)2 ). Kedua, Polimer
organik termasuk didalamnya anion, kation dan non-ion. Polimer ini pada
umumnya lebih dikenal sebagai Polielektrolit, termasuk juga jenis polimer nonionik,
polimer sintetis dan juga polimer alam. Contoh untuk polimer sintetis antara lain :
polyacrylate, polyethylene amine, polyvinyil alcohol, polystyrene sulfanate,
polyvinyil pyridium. Sedangkan untuk polimer alam sebagai contoh yaitu : alginat
dan chitosan. Berbagai jenis flokulan yang akan pengaruhnya terhadap kondisi
operasi, nilai pH, dan dosis disajikan dalam tabel .
4. Pengeringan Mikroalga
Tahapan akhir dalam proses pengolahan alga yaitu proses pengeringan untuk
penghilangan air slurry sehingga kadar air tinggal 12 – 15 %. Pengeringan atau dehidrasi
yaitu mengkonversi biomassa ala ke dalam produk yang lebih stabil untuk disimpan. Proses
dehidrasi merupakan permasalahan utama sebab p menyumbang 70 – 75% biaya proses
(Mohn, 1978). Jenis pengeringan berbeda-beda tergantung pada investasi biaya dan
kebutuhan energi. Pemilihan metode pengeringan tergantung juga pada skala operasi dan juga
peruntukan suatu produk alga ini . Kebanyakan metode pengeringan digunakan untuk
pengolahan air limbah dan tidak semua dapat diterapkan pada pengeringan alga, terutama
ketika hal ini diperuntukkan sebagai umpan.
Pada tahap ini masih belum dapat diketahui secara pasti jenis pengeringan yang sesuai
untuk masing-masing alga. Sekilas akan disampaikan beberapa metode utama pengeringan.
j1. Flash Drying
Flash drying merupakan metode pengeringan secara cepat dalam mengurangi
kandungan air dengan cara menyemprotkan ataupun menginjeksikan campuran
material kering dan basah ke dalam aliran gas panas. Flash drying lebih banyak
digunakan untuk pengeringan lumpur pada pengolahan air limbah, namun dapat juga
digunakan untuk mengeringkan biomassa mikroalga dengan efisien.
2. Rotary Dryers
Pengering rotary menggunakan silinder yang berputar untuk menggerakan material
yang akan dikeringkan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan gravitasi. Banyak
pebedaan pengering yang dikembangkan untuk kebutuhan industri, termasuk jenis
pemanas langsung yang mana material akan kontak langsung dengan gas pemanas.
Sedangkan pemanasan tak langsung, dimana gas pemanas dipisahkan dari material
yang akan dikeringkan menggunakan suatu sekat. Pengering rotary kiln dan pengering
drum merupakan jenis yang paling banyak digunakan untuk pengeringan lumpur
limbah cair. Sedangakan untuk pengeringan alga, lebih cocok apabila menggunakan
pengering drum. Pengeringan alga menggunakan pengering drum mempunyai
keuntungan ganda yaitu sampel yang lebih steril dan dapat memecah dinding sel.
Mohn, (1978) mencoba membandingkan penggunaan spray drying dan drum drying
untuk pengeringan alga. Pengeringan menggunakan drum drying lebih disarankan
sebab p lebih baik dalam hal daya serap, energi yang dibutuhkan lebih kecil, dan
investasi yang lebih murah. Konsentrasi alga yang didapatkan mencapai 25% kering.
3. Spray Drying
Sistem spray drying hampir sama dengan flash drying , keduanya sama-sama terjadi
proses pengeringan secara cepat (Shelef, et al., 1984). Spray drying melibatkan
atomisasi cairan, pencampuran gas/ droplet dan pengeringan dari droplet cair.
Droplet yang sudah dikabutkan biasa disemprotkan turun kedalam kolom vertikal
melewati aliran gas panas. Pengeringan akan selesai dalam beberapa detik. Produk
hasil dapat diambil di dasar kolom dan aliran gas dikeluarkan melewati pemisah debu
cyclon. Spray drying sangat cocok apabila bimassa alga digunakan sebagai makanan
manusia (food grade). Tetapi metode ini cukup mahal dari segi biaya.
4. Metode pengeringan panas lain
Cross-flow Air Drying ( Pengeringan dengan aliran udara silang )
Metode pengeringan ini pertama diuji di CFRRI, Mysore, India (Becker &
Venkataraman, 1982). Padatan Spirulina yang mengandung 55 – 60% kandungan air
dikeringkan pada suhu 620
C selama 14 jam dengan blok pengering. Ketebalan jelly
alga sekitar 2-3mm memberikan hasil produk yang baik dengan kandungan air 4-8%.
Proses ini lebih murah dibandingkan drum drying dan lebih cepat dari pada
pengeringan matahari. Pada metod ini, dinding sel Chlorella dan Scenedemus tidak
dapat dipecah.
Vacuum Shelf-Drying (Pengeringan vakum)
Vacuum Shelf Drying merupakan metode lain pengeringan alga. Spirulina
dikeringkan menggunakan vacuum shelf dryer pada suhu 50 – 650
C dan tekanan 0,06
atmosfer. Kandungan air akhir yang didapatkan 4%. Metode ini memerlukan modal
awal dan biaya operasi yang tinggi.
5. Sun Drying (Pengeringan matahari)
Pengeringan dengan bantuan sinar matahari merupakan metode yang paling tua untuk
penyediaan bahan pangan dan sampai saat ini masih digunakan terutama pada negara
berkembang. Sun drying dilakukan dengan memanfaatkan radiasi sinar matahari
secara langsung. Klelemahan metode ini yaitu dengan adanya pemanasan langsung
akan membuat degradasi klorofil pada biomassa alga, yang akan memicu
adanya perubahan warna pada produk. Disisi lain radiasi secara langsung akan
memicu pemanasan berlebih pada biomassa alga . Metode ini sangat bergantung
pada kondisi cuaca. Pada proses radiasi tidak langsung, pemanasan berlebih dapat
dicegah dan laju pengeringan lebih tinggi tetapi produk akhir yang dihasilkan kurang
menarik.
Pengeringan sinar matahari tidak disarankan untuk penyediaan produk alga untuk
konsumsi manusia sebab p proses pengeringan yang lambat, sehingga moisture
contentnya masih tinggi.
Mikroalga dikenal sebagai tumbuhan mikro yang dapat diaplikasikan dalam berbagai
aspek mulai dari pangan, energi, pengobatan, dan pengolahan limbah. Akan tetapi teknologi
mikroalga masih memiliki kelemahan yakni di bagian pemanenan biomas yang masih sering
menjadi kendala, dan terkadang dapat membengkakkan biaya operasi. Permasalahan ini
mendorong banyak peneliti untuk melakukan riset tentang teknologi mikroalga yang lebih
baik.
Salah satu teknologi mikroalga yang menarik untuk diikuti adalah teknologi
imobilisasi mikroalga. Teknologi imobilisasi biasa digunakan untuk enzim. Namun Park et al
(1966) memperkenalkan metode imobilisasi dengan sel mikroalga dengan menggunakan jenis
Chlorella. Penelitian tentang imobilisasi mikroalga terus berlanjut, hingga pada tahun 1969,
Hiller dan park melaporkan bahwa mikroalga jenis Anacystis nidulans, Pirpyridium cruentum
dan Chlorella pyrenoidosa dapat diimobilisasi pada glutaraldehid pada penelitian antara
hubungan intensitas cahaya dan produksi oksigen dari mikroalga.
Gambar 5.1. Imobilisasi Chlorella vulgaris dalam matrix polimer untuk pengolahan limbah
Sumber: http://www.bashanfoundation.org
Sedangkan teknologi imobilisasi mikroalga untuk aplikasi pengolahan limbah cair
pertama kali diperkenalkan oleh Chevalier dan Prof de la Noue (1985) di Universitas Laval,
Quebec, Canada, untuk menghilangkan kadar nitrogen dan posphor pada limbah cair. Dan
akhirnya pada tahun 1990, sebagian besar peneliti melaporkan kajian tentang aplikasi
imobilisasi mikroalga untuk treatment logam pada limbah cair.
1. Imobilisasi
Imobilisasi sel didefinisikan sebagai sel yang dipertahankan pergerakannya baik
secara natural atau disengaja dalam fase cair dan dalam sistem tertentu dalam suatu matriks
sehingga sebagian besar pergerakannya berkurang namun masih dapat memperlihatkan
aktifitas katalitiknya serta dapat digunakan berulang ulang. Teknik imobilisasi ini dapat
dilakukan pada enzim maupun sel mikroba. Berbeda dengan metode entrapment (penjeratan),
metode imobilisasi tidak hanya terjerat pada matriks pembungkus, namun sel dapat terabsorb
ke dalam material support (matriks) nya.
Salah satu kelebihan metode imobilisasi adalah didapatkannya densitas kultur yang
lebih tinggi dengan tidak memerlukan banyak tempat dan medium seperti air jika dibanding
dengan kultur cara biasa. Selain itu kelebihan imobilisasi sel yaitu:
a. Imobilisasi sel dapat memberikan stabilitas sel yang lebih baik
b. Imobilisasi sel dapat digunakan pada sistem aliran kontinyu
c. Pemanenan biomas menjadi lebih mudah
Selain memiliki kelebihan, imobilisasi sel juga memiliki kelemahan di antaranya:
a. Ongkos untuk bahan matrik menjadi tinggi bila diaplikasikan dalam skala
komersial
b. Transfer massa yang kurang baik
c. Kehilangan aktifitas selama imobilisasi
d. Perubahan karakteristik
(Mallick, 2002)
2. Metode Immobilisasi Mikroalga
Dalam laporannya, Mallick (2002) memaparkan beberapa metode imobilisasi yang
cocok diterapkan untuk mikroalga, yaitu:
a) Covalent Binding
Metode ini sering digunakan pada imobilisasi enzim, namun sedikit peneliti yang
melaporkan penggunaannya pada sel. Beberapa cara memasukkan sel ke dalam matrik
pembungkus di antaranya adalah cara diazotation, amino bond, schiff`s base
formation, metode alkilasi dan sebagainya. Kelemahan dari metode ini adalah pada
sel yang digunakan akan mengalami perubahan karakterisasi sel. Persiapan pelekat
matrik juga terkadang menjadi kendala sehingga dapat menurunkan kinerja matrik.
b) Adsorption
Metode ini menggunakan proses penyerapan reversibel. Perbedaan antara penggunaan
sel dan enzim pada metode ini adalah pada sel yang diikat menggunakan sekat
multipoint sehingga lebih kuat terhadap sorbent.
c) Entrapment
Metode entrapment ini terdiri atas penjeratan komponen aktif secara fisik pada film,
gel, fiber, coating dan enkapsulasi. Metode ini dapat digunakan dengan cara
mencampur sel dengan polimer matrik sehingga dihasilkan struktur yang dapat
menjerat sel. Kelebihan dari metode ini adalah didapatkannya area permukaan yang
lebih luas antara substrat dan sel, dengan volume yang lebih kecil dan kecenderungan
imobilisasi yang simultan. Kelemahan metode ini terletak pada ketidakatifan sel
selama mikroenkapsulasi sehingga dibutuhkan konsentrasi sel yang lebih tinggi.
d) Imobilisasi afinitas
Metode ini didasarkan pada prinsip afinitas kromatografi. Imobilisasi afinitas ini tidak
dipengaruhi reaksi kimia antara matrik dan sel kecuali untuk material absorbent.
Selain itu, harus diperhatikan struktur matrik yang dapat mengikat permukaan sel.
Metode ini biasanya digunakan untuk sel yang memiliki karakteristik yang sensitif.
3. Aplikasi
Aplikasi mikroalga yang terimobilisasi hampir sama dengan aplikasi mikroalga secara
umum. Akan tetapi imobilisasi mikroalga lebih mengacu pada efisiensi penggunaan biomass
yang terjerat sehingga dapat dipanen dengan lebih mudah.
a) Produk Bernilai Tinggi
Beberapa peneliti melaporkan bahwa teknik imobilisasi mikroalgae berperan penting
dalam produktivitas sel alga. Produksi hidrogen dari algae Anabaena dapat
ditingkatkan tiga kali lipat dengan bantuan imobilisasi. Brouers dan Hall (1986)
memaparkan pengaruh kenaikan produksi ammonia dan hidrokarbon dengan spesies
Mastigocladus laminosus dan Botrycoccus sp., dengan teknik imobilisasi. Santos-
Rosa et al (1989) juga melaporkan kenaikan produksi amonia dari alga
Chlamidomonas reinhardtii yang diimobilisasi pada Barium-alginat. Sementara Leon
dan Galvan (1995) mempelajari pengaruh produksi gliserol pada C.reinhardtii yang
diimobilisasi pada Ca-alginat. Perbandingan produksinya rata-rata 7gr/L
dibandingkan tanpa imobilisasi 4g/L.
b) Pengurangan Logam
Dalam perkembangan teknologi mikroalga, aplikasi pengurangan logam dan
radionuklida menggunakan imobilisasi mikroalga pada limbah menjadi hal yang
cukup menarik bagi para peneliti. Lebih jauh lagi mikroalga berpotensi dalam proses
recover element penting seperti emas, perak, dan uranium.
c) Treatment N dan P
Banyak peneliti yang melaporkan penggunaan mikroalga sebagai treatment Nitrogen
(N) dan Phosphor (P) pada limbah dengan teknologi imobilisasi. Sebagain besar
peneliti melaporkan bahwa teknik imobilisasi lebih efisien dalam menyerap kadar N
dan P di banding alga tanpa diimobilisasi. Meskipun demikian, Jeanfils dan Thomas
(1986) memaparkan bahwa mikroalga yang diimobilisasi tidak berdampak besar
dalam penyerapan kadar N dan P. Mereka mengobservasi Scenedesmus obliquus
yang diimobilisasi dengan alginat, dan dilaporkan bahwa penyerapan nitrit tidak
dipengaruhi oleh faktor imobilisasi, melainkan dari faktor lamanya kultur mikroalga.
Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Megharaj. et al., (1992) yang menyatakan
bahwa lamanya umur mikroalga yang terimobilisasi tidak berpengaruh dalam
penyerapan nitrogen maupun phosphor. Mereka melakukan eksperimen dengan
Chlorella emersonii yang diimobilisasi dengan alginat pada kultur batch untuk
pengambilan kadar phosphor. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa
phosphor dapat terserap lima kali lebih cepat pada fase eksponensial dibanding
mikroalga tanpa diimobilisasi pada fase stasioner.
Mallick dan Rai (1994) melaporkan tingginya efisiensi penyerapan N dan P pada
Chlorella dan Anabaena yang diimobilisasi dibanding sel yang bebas. Sementara
Vilchez dan Vega (1994) menemukan bahwa C. reinhardtii secara efisien dan stabil
dapat menurunkan kadar nitrogen yang terkandung dalam limbah. Beberapa faktor
yang berpengaruh dalam penyerapan nitrogen dan phosphor dengan menggunakan
mikroalga yang diimobilisasi adalah konsentrasi matrik, temperatur, pH, dan loading
sel.
Perkembangan teknologi pengolahan limbah dengan imobilisasi mikroalga juga
sampai pada desain reaktor yang digunakan. Sawayama et al (1998) telah membuat
desain photobioreaktor tubular dengan mikroalga cyanobacteria thermofil,,
Phorpiridium laminosum¸ yang diimobilisasi pada selulosa hollow fiber. Penyerapan
nitrat dan phosphat dilakukan pada suhu 430
C dengan medium limbah. Pengolahan
limbah dengan menggunakan mikroalga cyanobacteria thermofil memiliki kelebihan
sebab p meminimalisasi kontaminasi.
Perkembangan penelitian terbaru adalah dari de-Bashan et al (2004). Mereka
mengembangkan sistem co-imobilisasi kombinasi antara mikroalga dan bakteri.
Mikroalga yang digunakan berupa Chlorella vulgaris atau Chlorella sorokiniana dan
bakteri Azospirillum brasilense untuk mengolah limbah kota (selokan) yang
mengandung nitrat dan phosphat. Bakteri A. brasilense dapat meningkatkan
pertumbuhan, pigmen, kandungan lipid, dan ukuran sel jika diimobilisasikan pada
matrix alginat yang kecil. Metode ini juga dapat menyerap kandungan nitrat dan
phosphor secara signifikan dibandingkan imobilisasi mikroalga saja. Hasil efisiensi
100% ammonium, 15% nitrat, dan 36% phosphor selama enam hari. Sedangkan
dengan imobilisasi jenis mikroalga saja didapatkan 75% ammonium, 6% nitrat, dan
19% phosphor.
4. Konsep Bioreaktor untuk Imobilisasi Mikroalga
Pada beberapa tahun yang lalu para peneliti hanya fokus pada teknik imobilisasi dan
karakter dari sistem imobilisasi untuk mikroalga. Seiring meluasnya aplikasi imobilisasi
mikroalga, maka kebutuhan akan penelitian bioreaktor juga semakin meningkat. Mallick
(2002) menjelaskan beberapa konsep bioraktor untuk imobilisasi mikroalga.
a) Fluidized Bed- Bioreactor (FBR)
Dalam konsep bioproses, proses operasi memerlukan waktu tinggal yang lebih
cepat. Oleh sebab itu lebih cocok jika metode ini menggunakan sistem fluidized bed.
Pada umumnya, katalis yang digunakan harus berukuran kecil agar bisa terfluidisasi,
selain itu juga harus stabil penggunaannya untuk jangka waktu yang lama. Travieso et
al. (1992) memaparkan desain reaktor fluidized bed dengan material kolom flexiglass
volume 1 liter dan diameter internal 5.3 cm. Kolom bioreaktor diisi dengan pelet
mikroalga yang telah diimobilisasi dengan diameter 5 mm. ketinggian bagian dalam
penopang kolom adalah 24 cm, dan waktu retensi selama 8 jam. Efek fluidisasi
diperoleh pada aerasi 10.8 liter/menit. Pada percobaan diperoleh hasil bahwa
Chlorella vulgaris yang telah diimobilisasi lebih efisien dalam pengolahan limbah
dibanding dengan menggunakan Chlorella kessleri.
Garbisu et al. (1993) juga melakukan penelitian menggunakan bioreaktor fluidized
bed untuk penyerapan phosphor dengan menggunakan imobilisasi cyanobacteria
Phorpiridium laminosum dalam sistem batch maupun kontinyu. Dalam penelitian
ini digunakan tiga tipe fluidized bed, yakni desain funnel, tipe kolom, dan bed
dalam gelas erlenmeyer. Bioreaktor dioperasikan pada intensitas cahaya 100 μmol
photon mг2
sг1
dan suhu 450
C dengan dilakukan kontrol pada bagian bawahnya
menggunakan waterbath. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa efisiensi untuk
penyerapan phosphor kurang efisien. Akan tetapi penelitian ini dapat dijadikan
rujukan sebagai bagian kemungkinan dalam penelitian lanjutan yang berpontensi.
Berbeda dengan peneliti lain, Canizares et al (1993), yang melaporkan bahwa
Cyanobacteria Spirulina maxima yang dibiakkan pada bioreaktor fluidized bed
dengan medium swine dapat menyerap ammonium-nitrogen sebanyak 90% dengan
konsentrasi limbah pada pengenceran 25 dan 50%.
b) Packed Bed Bioreaktor
Ada beberapa inovasi desain bioreaktor, termasuk packed bed horizontal dan kolom
ganda. Robinson et al (1989) mendesain reaktor packed bed skala kecil dengan kolom
khromatografi Pharmacia K9/30. Dimensi kolom memiliki panjang 30 cm dan
diameter internal 0. 9 cm. packing reaktor berasal dari 400 alga yang telah
diimobilisasi dari jenis Chlorella emersonii dengan matrix kalsium alginat. Operasi
packed berada pada temperatur kamar dengan tujuan untuk menyerap kadar
phosphor. Beberapa peneliti lain juga melakukan penelitian tentang penyerapan
nutrien pada reaktor packed bed. Gil dan Serra (1993) melakukan penelitian dengan
menggunakan photobioreaktor skala laboratorium dengan packing Phorpiridium
uncinatum yang diimobilisasi pada foam polyvinyl. Pada kondisi optimum operasi,
diperoleh hasil bahwa 90% supply nitrat pada influen (50 mg/l) telah dapat diserap
oleh alga dengan waktu tinggal 3-4 jam.
Tam dan Wong (2000) melakukan penelitian tentang penyerapan nitrat dan phosphor
pada reaktor packed bed yang terbuat dari kolom PVC dengan menggunakan lima
algal bead yang memiliki konsentrasi 4 sampai 20 bead/ml. Didapatkan hasil bahwa
kadar NH4 + -N (30mg/l) dapat diserap tanpa sisa dan 95% kadar PO4
3- (5.5mg/l)
dapat terserap dengan baik selama 24 jam.
c) Bioreaktor Parallel plate (PPR)
Bioreaktor ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 dengan nama ‘Reinberg’
oleh Texas Instrumen. ada beberapa desain variasi dari reaktor ini , akan
tetapi secara umum bagian bawahnya dibangkitkan oleh tenaga elektroda.
Salah satu contoh penggunaan bioreaktor parallel plate adalah pada penelitian
pemanfaatan mikroalga Chlorella untuk menurunkan kadar nitrogen dan phosphor
pada limbah domestik. Pada penelitian ini digunakan bioreaktor dengan material
dari polyethylen, kontrol suhu200
C, dengan instalasi sistem bubling udara dan tanpa
penambahan cahaya. Dari penelitian ini diperoleh hasil efisiensi pengurangan nitrogen
60.7% dan phosphor 84%. (Zhang, et al. 2012)
d) Bioreaktor Air-lift
Reaktor ini cocok digunakan untuk skala laboratorium dan termasuk tipe terbaru
dalam teknologi fermentasi. Pada reaktor ini content diaduk dengan cara pneumatik
oleh udara atau gas lain yang diinjeksi ke dalam reaktor. Aliran ini juga memiliki
fungsi transfer gas pada medium. Vilchez dan Vega (1995) mempelajari efisiensi
penyerapan nitrit oleh Chlamydomonas reinhardtii yang diimobilisasi dengan
kalsium alginat dengan menggunakan reaktor air lift sistem kontinyu dan diskontinyu.
Pada sistem diskontinyu diperoleh hasil efisiensi penyerapan nitrit 90 mikro mol / jam
dengan menggunakan loading rate 90 mikro gram klorofil/ gram gel setelah delapan
hari. Sementara dengan menggunakan sistem kontinyu diperoleh hasil 120 mikro
mol/jam selama 21 hari. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa sistem kontinyu lebih
baik digunakan. Dan kelemahan dari metode ini tidak bagus jika digunakan pada
skala komersial.
e) Bioreaktor Hollow Fiber
Salah satu kendala ketika menggunakan material gel pada sistem bioreaktor adalah
stabilitas kinerja yang kurang baik seperti masalah struktur reaktor yang cenderung
tidak awet. Sebagai contoh hal ini terungkap ketika Robinson (1998) melakukan
penelitian dengan menggunakan reaktor packed bed skala kecil dan melaporkan
bahwa perawatan sel alginat pada reaktor cenderung sukar.
Sistem bioreaktor hollow fiber memiliki banyak ukuran. Robinson (1998) melakukan
penelitian tentang pengurangan kadar phosphor dengan menggunakan alga yang telah
diimobilisasi. Penelitian tahap pertama diperoleh bahwa kadar phosphat dapat diserap
seiring kenaikan waktu dan waktu setling pada reaktor.
Sawayama et al (1998) juga melakukan penelitian menggunakan reaktor hollow fiber
dengan material reaktor dari PVC dan strain cyanobacteria thermofilik Phorpiridium
laminosum. Desain reaktor seperti pada Gambar 5.2. sebelum diinokulasi, tube
bioreaktor disterlilisasi dengan 1% larutan natrium hipochlorit dan dibilas dengan air
distilasi. Imobilisasi dengan bioreaktor hollow fiber ini bagus digunakan untuk
mengurangi kadar Phosphorus dibandingkan imobilisasi kitosan.
Beberapa dekade trakhir, dunia mengalami gejolak krisis pangan, energi, dan air
bersih. Banyak negara besar mengalami penurunan angka pendapatan, sementara populasi
penduduk semakin meningkat. Krisis di Eropa, Amerika, dan beberapa negara belahan lain
memberikan dampak secara tidak langsung kepada kebutuhan pangan dunia. Harga pangan
semakin naik seiring kenaikan beberapa bahan baku lainnya. Hal ini juga pernah terjadi di
era perang dunia, di mana harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Akhirnya para peneliti
berbondong bondong melakukan eksperimen di bidang pangan yang dapat disediakan secara
murah dan massal.
Salah satu sumber pangan yang dapat dijadikan solusi dari masalah ini adalah
protein sel tunggal yang berasal dari fungi, yeast, bakteri, maupun mikroalga. Pada bab ini
akan difokuskan pada pembahasan mikroalga sebagai penyedia protein. Lebih jauh lagi,
mikroalga sebenarnya tidak tepat jika dirujuk sebagai penyedia protein sel tunggal, sebab p
biomassanya yang memiliki lebih banyak senyawa pangan selain protein seperti pigmen,
lipid, karbohidrat, vitamin dan mineral
Mikroalga sebagai stok pangan sebenarnya sudah lama digunakan oleh bangsa China.
Mirkroalga yang digunakan umumnya adalah Arthospira, Nostoc, dan Aphanizamenon lebih
dari 2000 tahun yang lalu. Diketahui juga bawah bangsa Aztec telah mengkonsumsi Spirulina
pada abad 14-16. Produksi mikroalga sebagai stok pangan mulai digalakkan besar besaran
ketika perang dunia kedua, di mana Jepang, Amerika, dan Jerman waktu itu sedang
menghadapi krisis. (Potvin, dan Zhang, 2010).
Sampai saat ini mikroalga masih digunakan oleh masyarakat sebagai sumber protein,
vitamin, dan mineral, serta diantaranya digunakan sebagai