Konflik yang berkepanjangan yang telah terjadi di Aceh
merupakan pengalaman pahit yang tidak dapat dihilangkan
dengan mudah dalam satu individu, kelompok atau komunitas.
Karena ia menyatu dalam pikiran dan perbuatan dari semua
warga.
. Pengertian Konflik
Konflik secara umum sering terjadi pada satu individu,
kelompok, bahkan pada satu Negara. Chaplin menyatakan
conflict (konflik) terjadinya secara bersamaan dua atau lebih
inpuls atau motif yang antagonistis. Satu konflik aktual itu
biasanya mempercepat satu krisis mental, dan bisa dibedakan
dari satu konflik akar (konflik dasar, root conflict) yang sudah
timbul sejak masa kanak-kanak, dan ada dalam kondisi lelap tertidur atau kondisi tidak aktif.80
Menurut Sondang Irene Sidabutar menyatakan bahwa
dalam huruf Cina kata“konflik” berarti bahaya dan kesempatan.
Konflik memiliki dua sisi yang negatif (bahaya) dan yang positif
(kesempatan). Konflik juga suatu realitas yang sering dihadapi
sehari-hari di dalam korelasi ekonomi, politik, dan budaya yang
berpeluang penuh dengan perbedaan dan kepentingan.81
Konflik positif adalah konflik yang bermakna
kesempatan karena merupakan ambang menuju kepada
kesadaran baru, fase kehidupan baru, masuk dalam
pertumbuhan kepribadian yang lebih sehat dan sejahtera.
Sehingga dalam perubahan social, politik dan ekonomi, konflik
menjadi potensial hadir untuk suatu perubahan, karena
pengololaan konflik secara bijak akan menghasilkan isue-isue
baru yang merubah pemikiran kepada arah yang lebih positif
dan akan melahirkan sejumlah kesempatan yang diinginkan.
Seperti berbagai konflik yang terjadi dalam warga Aceh,
telah menimbulkan banyak perubahan dan kesempatan yang
positif dalam warga menjalani suatu kehidupan, walaupun
dampak negatifnya juga banyak seperti stress, depresi, cemas
dan bahkan trauma.
Kebanyakan orang berfikir tidak nyaman hidup dalam
konflik, itu memang fakta yang tidak bisa disangkal oleh semua
orang, karena di dalamnya sering mengandung kekerasan,
ancaman dan bahkan korban nyawa, tetapi disisi lain orang
juga tidak dapat menyangkal bahwa di dalam konflik sering
terjadi perubahan yang luar biasa dan kadang kalanya sangat
bermanfaat bagi kehidupan dari orang yang berkonflik tersebut. Oleh karena itu konflik itu harus dilihat dari dua sisi yaitu sisi
positif dan sisi negatif. Sisi positif konflik itu diperlukan pada
saat-saat tertentu untuk terjadinya suatu perubahan, tetapi
sisi negatif konflik itu ditakuti karena dapat menimbulkan
dampak yang berkepanjangan di dalam kehidupan seseorang
atau sekelompok orang.
Sondang Irene E.Sidabutar menyatakan kebanyakan
orang berfikir bahwa tiadanya konflik lebih baik dibandingkan
dengan hidup dalam situasi berkonflik. Dalam batas-batas
tertentu hal ini mungkin benar, meski demikian ketiadaan
konflik adalah hal yang hampir mustahil, mungkin justru akan
menyebabkan warga apatis dan kehilangan kreativitas.
Selain itu juga di dalam warga yang damai dan harmonis
sekalipun tetap ada sasaran dan kepentingan yang berbeda juga
potensial munculnya konflik. Hal tersebut tidak perlu dilihat
sebagai hal yang negatif, tetapi akan lebih baik jika dipandang
sebagai prasyarat munculnya kesempatan baik, karena
perbedaan pandangan akan disikafi secara terbuka dan bijak.82
Di dalam realitas sosial sangat sedikit orang menganggap
konflik itu positif sehingga sering disikapi sangat berlebihan
dan pikiran rasionalpun hilang, maka akibat konflik tersebut
sering menjadi pemicu sakit mental, karena sulit menerima apa
yang terjadi dari koflik tersebut.
Bentuk- Bentuk Konflik di Aceh
Dalam seratus tahun terkhir, Aceh terus dilanda prahara
perang melawan Belanda pada (1873-1942), melawan Jepang
(1942-1945), perang Cumbok, DI/TII (1953-1958), G30 S
PKI (1965-1966) dan yang terakhir perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) (1974-2006), sehingga bila diperhatikan
Aceh secara keseluruhan lebih banyak masa yang dilewati
oleh warga dalam kondisi konflik daripada masa yang
aman. Oleh karena itu, secara psikologis kondisi ini sangat
membahayakan bagi generasi mendatang.
Aceh adalah sebuah wilayah yang terletak diujung paling
barat negara kita .Negeri yang kaya budaya, beragam etnis dan
bahasa, namun menyatu dalam agama Islam yang dianut
manyoritas penduduknya. warga di Aceh dikenal sangat
agamis, heroik dan bahkan sangat berjasa dalam merebut
kemerdekaan. Ameer Hamzah menyatakan bahwa Antony
Reid pernah menulis dalam bukunya “Asalmula konflik di Aceh”
menyatakan bahwa karena kepahlawananya yang sangat
menonjol maka Aceh sangat sulit di atur oleh orang lain. Dalam
warga Aceh terkenal juga pepatah “ bu biet ie biet (nasi
putih, air putih)” maksudnya negeri sendiri diurus sendiri.83
Konflik sudah terjadi sepanjang sejarah hidup manusia,
baik dibelahan dunia, negara kita maupun di Aceh konflik
tersebut sudah sering dialami. Dalam catatan sejarah dapat
dilihat berbagai konflik pernah terjadi di dalam warga
baik konflik-konflik laten maupun konflik manifest (terbuka),
seperti satu tragedi sekitar tahun 1965-1966 dimana ketika
jutaan orang ditangkap dengan paksa, dianiaya, diculik dan
ditahan, dilicehkan martabatnya bahkan meninggal tanpa tahu
dimana jasadnya dalam pergolakan PKI yang memperbutkan
kekuasaaan dalam NKRI, ini merupakan salah satu konflik
bahaya laten di negara kita . Akibatnya upaya-upaya mengangkat
konflik kepermukaan selalu mengalami rintangan dan ancaman
pada masa orde baru.Keterbukaan informasi, baru dirasakan dalam
warga negara kita setelah jatuhnya presiden Suharto, karena
penutupan dan pendistorsian informasi selama berpuluh tahun
dalam rezim tersebut telah membentuk paradigma berfikir,
sehingga pemberitaan-pemberitaan yang mengangkat tentang
konflik di masa lalu di beberapa daerah diwilayah di negara kita
menimbulkan guncangan kepada warga, seperti DOM
(Daerah Operasi Militer) di Aceh, Timor-Timor dan Papua yang
dikenal dengan operasi militer Operasi Jaringan Merah (OJM)
sehingga ketiga wilayah tersebut dikenal dengan three hot spot.
Selain daripada itu konflik berkekerasan juga terjadi di
beberapa daerah lainnya seperti peristiwa sambas, peristiwa
Poso (Sulawesi Tengah), dan peristiwa Ambon (Maluku). Konflik
dengan kekerasan tersebut hampir semuanya memperlihatkan
pola yang sama yaitu dalam konflik tersebut ribuan jiwa tewas,
luka-luka, kehilangan harta benda dan sebagainya.Sondang
Irene E.Sidabutar menyatakan bahwa umumnya para analisis
membagi konflik yang terjadi di negara kita dalam 2 bentuk,
yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal.84
Pertama, konflik vertikal adalah konflik yang terjadi
akibat dari ketidakpuasan warga terhadap cara-cara
pemerintah dalam menangani keinginan dan kebutuhan
warga seperti kesejahteraan, pengamanan. Selain itu juga
konflik yang terjadi antara aparat keamanan dengan massa dan
mahasiswa, termasuk juga konflik yang dianggap saparadis
seperti wilayah yang ingin memerdekakan diri seperti Aceh
dan Papua, dan juga konflik tentang protes warga akan
ketidakpuasannya kepada institusi Negara seperti tragedi
Nipah di Sampang dan tragedi Trisakti tahun 1998.Kedua, konflik yang bersifat horizontal adalah konflik
yang terjadi antar anggota kelompok warga dengan
warga karena faktor ekonomi, sosial budaya, politik
dan SARA. Konflik ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan
pemerintah yang sering dianggap tidak adil sehingga memicu
munculnya konflik dan ini sering juga dikatakan sebagai
kekerasan komunal yakni kekerasan social antara dua atau
lebih kelompok komunitas atau satu kelompok menyerang
kelompok lainnya dan kemudian yang diserang kembali
membalas. Kelompok komunal dapat berdasarkan kelas sosial,
etnisitas, agama, afiliasi politik atau perbedaan antara desa dan
lain-lain. Contoh dari konflik ini adalah seperti kekerasan di
Maluku, Poso, dan Sambas.
Kedua bentuk konflik di atas dalam sejarah Aceh
tidaklah asing lagi, karena puluhan tahun telah dirasakan
seperti DI –TII, Perang Cumbok, GAM dan sebagaimnya. Fikar
W.E menyatakan bahwa dari hasil laporan Komnas HAM dan
Tim Pencarian Fakta yang dibentuk oleh Pemerintah negara kita ,
di tiga kabupaten di Aceh, yaitu: Pidie, Aceh Utara dan Aceh
Timur, menyebutkan bahwa banyak orang disiksa sampai mati,
warga dianiaya, hilang dalam penculikan, anak menjadi
yatim, wanita diperkosa, isteri menjadi janda, sekolah dibakar,
rumah, fasilitas umum dirusak, pada masa Daerah Operasi
Meliter (DOM) -1 di Aceh. Kenyataan pahit yang terjadi di
dalam warga Aceh, belum begitu sempurna karena hanya
berdasarkan data pada waktu sebelum tahun 2000, sedangkan
tahun selanjutnya pada masa pemberlakuaan DOM-II, banyak
yang belum ada data secara terperinci.85
Dampak dari peristiwa konflik tersebut di atas,
menyebabkan, lebih kurang dua puluh ribu anak-anak Aceh di kategorikan sebagai Children Especially in Difficult
Circumstances, di mana keadaan kesehatan yang buruk,
pendidikan terancam, bahkan mereka menjadi objek eksploitasi
dan sasaran kekejaman, dan ribuan lainnya telah menjadi anak
terlantar, berhenti sekolah dan tidak mempunyai masa depan.
Selanjutnya, Fikar W. E menyatakan bahwa kanak-kanak yang
mengalami kesulitan yang telah di katakan di atas harus di
utamakan dalam pengawalannya, agar mereka dapat hidup dan
berkembang secara baik.
Selain itu katanya anak-anak juga mempunyai beberapa
hak yang perlu dan harus diberikan jaminan seperti: (1) hak
kelansungan hidup (survival rights), (2) hak perlindungan
(protection rights), (3) hak untuk berkembang (development
rights), (4) hak untuk berpertisipasi (perticipation rights), dan
(5) hak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya (shall not be
separated form parents rights), semua hak-hak anak tersebut
telah diakui secara universal.
Kesemua tindakan kekerasan yang di alami kanak-kanak
pada masa konflik bersenjata di Aceh, merupakan sekelumit
masalah dari rentetan peristiwa konflik yang memilukan
hati berbagai pihak, karena kanak-kanak tersebut pada saat
ini sudah tumbuh dan membesar menjadi remaja yang akan
menjadi penerus bangsa dimasa depan. Mereka seharusnya
memiliki fisik dan mental yang kuat, tetapi dalam realitas
sekarang ini, banyak remaja khususnya para mangsa konflik
kurang memiliki kecakapan intelektual, emosi yang tidak
stabil dan tidak adanya keseimbangan spiritual, karena mereka
tumbuh dan berkembang di dalam situasi yang tidak kondusif.
Anak-Anak Aceh pada masa itu banyak tidak mendapatkan
kebutuhan dasar yang berkecukupan sehingga mereka kurang
berkembang baik.
Menurut Pertama, D.P. yang mengutip pernyataan
Maslow kebutuhan dasar manusia secara umum adalah
berjenjang, yaitu: (1) kebutuhan fisik (physiological needs),
(2) kebutuhan rasa keamanan dan kesehatan (security or
safety need), (3) kebutuhan berwarga (social needs), (4)
kebutuhan untuk menerima dan bekerja sama dalam kelompok
(affiliation or acceptance needs), kebutuhan untuk di puja dan
dihargai (esteem or status needs) dan, (5) kebutuhan akan
aktualisasi diri (self actualization needs).86
Wilis, S. mengutip pernyataan Sigmund Freud yaitu “The
root of adult behavior in early childhood impulses and unraveled
the drivingforces of mankind in their infantile beginning.” Yang
bermaksud bahawa perilaku orang dewasa di tentukan
oleh kehidupan di zaman kanak-kanak, bahkan kehidupan
kemanusiaan saat ini, di tentukan oleh permulaan masa kecil.
Selain itu, Freud juga menyatakan bahwa “the child id the father
of man” yang bermaksud zaman kanak-kanak merupakan ayah
dari manusia. 87
Selain itu, Harlock menyatakan bahwa, teori Freud di atas
di kuatkan lagi oleh Erikson, yang melakukan kajian klinikal
sejak bayi hingga dewasa, kemudian menarik suatu kesimpulan
bahwa zaman kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia
dari seorang manusia, di mana tempat kebaikan dan keburukan
secara perlahan dan jelas akan berkembang dan mewujudkan
dirinya. Pertumbuhan dan perkembangan akan terwujud secara
optimum apabila di dukung oleh berbagai faktor, salah satunya
adalah lingkungan baik dalam keluarga, sekolah maupun
warga. Lingkungan yang kondusif akan melahirkan anakanak yang normal secara intelektual, emosional dan spiritual
sehingga dapat berkembang secara seimbang. Akan tetapi bila
selalu di dalam konflik akan berdampak kepada psikologis
seperti stress dan trauma. 88
3.1.3. Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Dari fenomena–fenomena konflik yang terjadi sangatlah
beragan dan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah
lain, antara satu provinsi dengan provinsi yang lain, akan
tetapi biasanya factor penyebab konfliknya tidaklah berbeda,
yaitu pada umumnya konflik itu terjadi dalam warga baik
secara individual maupun kelompok disebakan oleh factor: (1)
ekonomi, (2) social budaya, (3) politik, (4) pendidikan dan (5)
Agama.
3.1.3.1 Faktor Ekonomi.
Dalam kehidupan individu, kelompok kecil, komunitas,
maupun suatu negara semua membutuhkan hidup yang layak
dalam segala aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek
ekonomi. Dalam kehidupan berwarga kebutuhan akan
kemapanan ekonomi adalah suatu hal yang mutlak. Karena
semua keperluan yang dibutuhkan hanya dapat diwujudkan
dengan kecukupan secara finansial dan untuk itu berbagai
cara orang-orang akan mencari kapanpun dan dimanapun ia
berada. Kadangkala untuk mendapatkan apa yang diinginkan
mereka rela berkonflik satu sama lain bahkan walaupun sesama
saudara. Dalam pemenuhan ekonomi keluarga misalnya,
seorang suami akan mencari nafkah dengan cara apapun untuk
menghidupi keluarganya, untuk membuat keluarganya bahagia,
sejahtera dan sebagainya. Untuk hal tersebut kadangkala ada
yang menempuh dengan cara-cara yang tidak halal sehingga
memakan hak orang lain.
Secara psikologi kebutuhan ekonomi dalam konteks
keuangan merupakan kebutuhan fisik dalam rangka
pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Bila kebutuhan
ini tidak terpenuhi maka dalam kehidupan akan merasa kesal,
kecewa bahkan sering memunculkan perilaku kekerasan.
Karena keberadaan ekonomi atau keuangan merupakan tingkat
yang paling dasar dalam hirarki need Maslow. Bila kebutuhan
ini tidak terpenuhi, maka kebutuhan lain tidak akan tercapai.
Dalam warga factor kesenjangan ekonomi paling
banyak memicu konflik, baik antar individu antar keluarga,
antar tetangga dan antar komunitas ini selalu di depan karena
kesenjangan tersebut membuat tingkat kepuasan manusia
juga berbeda, orang akan menganggap bahwaorang kaya dapat
bertindak seenaknya, dan orang miskin tidak dianggap ada
dan tidak diperhitungkan di dalam kelompoknya. Kondisi ini
sering membuat warga golongan bawah merasa rendah
diri, tidak dapat berpartisipasi aktif di dalamnya dan juga tidak
dapat bekerja sama. Sehingga tidak jaranga kalau ada kegiatan
selalu memunculkan konflik.
3.1.3.2. Faktor Sosial Budaya
Dalam sosial budaya konflik sering terjadi dengan
berbagai cara. Misalnya perselisihan antar satu orang dengan
orang lain, satu orang dengan kelompok, satu keluarga dengan
keluarga yang lain, satu kelompok dengan kelompok yang lain, satu desa dengan desa yang lain. Ragam perselisihan ini
sering yang menjadi pemicu adalah perselisihan pendapat,
perselisihan adat, perselisihan gaya hidup dan sebagainya.
Ketidaksamaan atau keberagaman pola dan gaya inilah dalam
sosial kewargaan menjadi berwarna sehingga jika satu
warna tidak cocok dengan warna yang lain, maka mulai orangorang akan mencari pembenaran diri, sehingga tidak jarang
akan memicu konflik horizontal.
Abdurrahman menyatakan perselisihan-perselisihan
pada umumnya menghasilkan disharmonisasi hubungan
antara satu dengan lainnya, bahkan dapat meluas pada
hubungan disharmonisasi keluarga, bahkan juga terjadi
permusuhan dan tidak jarang sampai terjadi benturan fisik,
pembunuhan dan dendam kesumat, sehingga berakibat
kepada ketidakseimbangan dalam kehidupan warga.89
Perselisihan antar sesama warga warga merupakan
akibat dari terjadinya benturan berbagai permasalahan
yang menyangkut dengan kepentingan dalam membangun
hubungan antara satu dengan lainnya, komunikasi antara satu
dengan lainnya biasanya tidak selalu mulus. Berbagai sebab
bisa menimbulkan perselisihan, misalnya karena berbeda
pendapat, menyinggung perasaan, merasa terhina, merasa
tertuduh, gossip, perdebatan, penipuan berbagai bentuk lain
yang bersumber dari informasi negatif.
Perselisihan dalam adat budaya sering terjadi dalam
suatu komunitas adalah pada prosesi adat perkawinan (bawaan,
tatacara), prosesi turun sawah, prosesi turun tanah penentuan
tapal batas, penyalahgunaan fungsi tuhapheut, ketidak fahaman
aparatur Desa, kurangnya koordinasi, tumpang tindih jabatan,
dan pada bentuk-bentuk nilai penghargaan dan sebagainya. Di
Aceh saat sekarang yang paling terasa adalah dampak konflik
bersenjata antara GAM dan NKRI, dimana warga sulit
berkomunikasi, karena banyak tekanan dari pihak-pihak yang
berkuasa.
3.1.3.3. Faktor Sosial Politik
Konflik yang ditimbulkan dalam sosial politik sangat
beragam, dari perebutan kekuasaan, wewenang, tanggung
jawab dan otoritas hak dan kewajiban sampai perebutan harga
diri yang egoistis. Dalam perebutan kekuasaan ada tiga aspek
yang sering menimbulkan konflik berpanjangan baik vertical
maupun horizontal yaitu: legislative, eksekutif dan yudikatif.
Pertama dalam perebutan kekuasaan legislatif. Dalam
sejarah negara kita dan Aceh stiap mendekati pemilihan
legislative banyak konflik terjadi dalam warga, mulai dari
silang pendapat, beda dukungan, beda pendapatan, beda social
budaya dan sampai dalam hal beda agama dijadikan sebagai
alat untuk menimbulkan konflik, sehingga tidak kurang pasca
pemilihan banyak individu bertengkar antar dukukungan,
antar kelompok, dan antar partai, dan bahkan antar keluarga.
Selain itu banyak juga balon dan calon yang stress, depresi dan
bahkan ada yang masuk rumah sakit jiwa, karena tidak tahan
dengan berbagai tekanan yang terjadi. Yang menang kadang
sangat susah diakui apalagi yang kalah.
Konflik ini pada awal adalah konflik horizontal, akan
tetapi dapat berlanjut menjadi konflik vertical, karena
kebijakan, peraturan tidak memihak kepada rakyah. John Locke
(1632- 1704) dalam Wiratmadinata (2006) menyatakan dengan
ekstrem kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan legislative,
yakni kekuasaan pemerintah Negara untuk membentuk
undang-undang.Tetapi sebenarnya adalah untuk menegaskan
bahwa kekuasaan itu ada di tangan rakyat melalui volente
general yang banyak diartikan sebagai pemilihan umum. Tetapi
kita tidak bisa lupa titik jenuh dari proses ini akan kembali
pada gerakan rakyat, artinya fungsi legislatif akan kembali
kepada pemiliknya semula yaitu rakyat. Jadi apabila tidak bisa
menjalankan kontrak social secara konsisten disanalah peran
LSM, yakni memastikan bahwa rakyat memiliki kedaulatan
lewat peran-peran social politik yang dilakukan.90
Dalam pengambilan peran inilah semakin sering terjadi
berbagai konflik vertical dan horizontal yang kadangkala
membawa kepada kekerasan, korban jiwa, bahkan korban harga
diri karena yang diperebutkan kadang kadang tidak sesuai
dengan harapan, dan hal ini tidak jarang akan menimbulkan
stress dan trauma yang berpanjangan dalam social warga.
Konflik di Aceh yang berkepanjangan tidak hanya melamahkan
secara ekonomi, budaya dan sumber daya manusia, tetapi juga
mematahkan semangat dan menghambat demokrasi yang
didambakan oleh semua rakyat.
Kedua, konflik perebutan eksekutif, dalam hal ini dapat
dilihat dalam pemilihan Bupati dan wakil Bupati, Walikota
dan wakil Walikota, Kechik dan Sekdes, bahkan sampai pada
perebutan kepala-kepala SKPA dan SKPD semua ini dapat
menimbulkan konflik, karena secara umum semua orang
tidak mampu memenuhi keinginan semua orang, sehingga
ketika berbeda kepentingan, berbeda kebutuhan dan berbeda
pendapat menjadi pemicu yang luar biasa untuk terjadinya
konflik baik vertical maupun horizontal, Jadi sebenarnya
dimana mana dalam kehidupan manusia selalu ada konflik,
akan gtetapi bagaimana mengolola dan menangani konflik itu
yang menjadi hal paling penting.
Ketiga, dalam yudikatif. Konflik yang terjadi dalam
lembaga ini merupakan konflik elit yang kadangkala sangat
sulit dijangkau oleh warga biasa, sehingga tidak heran
dalam kiprah dan penanganan berbagai kasus yang menyakut
persoalan yudikatif sulit untuk dilakukan dan sulit muncul
kepermukaaan, namun tidak jarang konflik ini juga sering
terjadi. Oleh karena itu tidak heran bila ada yang menyatakan
bahwa konflik pada saat tertentu itu sangat diperlukan tetapi,
pada saat yang lain konflik kan membawa malapetaka, seperti
dalam kancah perebutan kekuasaan tertinggi dalam sejarah
negara kita dan Aceh, ketiga lembaga ini saling tarik menarik
sehingga menimbulkan perpecahan.
3.1.3.4. Faktor Agama
Konflik berkekerasan atas nama agama hingga saat ini
sepertinya tidak akan pernah habisnya didalam negeri ini,
seperti kasus protes pelaksanaan conference tritunggal maha
kudus yang digelar tanggal 24-29 juli tahun 2007 oleh ummat
Khatolik lembah Karmel Puncak Jawa Barat; kasus ahmadiyah
dan ajaran sesat Millata Abraham. Semua kasus tersebut
telah membawa warga kedalam konflik berkekerasan,
sehingga banyak korban jiwa.Persolaan ini terjadi karena
ketidak percayaan dan ketidak fahaman warga tentang
ajaran Islam dengan kaffah sehingga masih banyak keraguan
di dalamnya.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada dua jawaban
kenapa terjadi hal yang demikian, yaitu: pertama hingga saat
ini sikap saling curiga diantara umat beragama berbeda masih
sangat kuat, misalnya kecurigaan didalam umat Islam, bahwa
lembaga umat kristiani terus melakukan berbagai upaya
untuk mengkrestianikan ummat, sebaliknya umat kristiani
mencurigai umat Islam terus berusaha menciptakan Negara
Islam di negara kita . Kedua, bahwa hingga saat ini dialog umat
beragama hanya baru menyentuh level atas pemuka-pemuka
agama, baik pada tingkat Nasional maupun pada level daerah.
Walaupun dialog-dialog intra maupun antar umat beragama
terus dilakukan tetapi hanya menyentuh golongan atas belum
sampai pada tataran bawah, padahal level inilah yang dapat
menhitam putihkan massa, dan bisa membuat massa murka
atau sebaliknya menjadikan mereka tenang dan beradap.91
3.1.4. Bentuk-Bentuk Penanganan Konflik di Aceh.
Menurut Ibnu Kaldum konflik itu sudah ada sejak
adanya manusia. Keberadaan konflik tidak dapat dilepas dari
perjalanan hidup manusia, ia begitu dekat dan seolah-olah
menjadi bahagian dari denyut jantung manusia.92 Tri Kurnia
Nurhayati dalam Kamus lengkap Bahasa negara kita menyatakan
konflik adalah pertentangan dan percekcokan.93 Sementara itu
Syarizal menyatakan bahwa konflik merupakan bahagian dari
dinamika kehidupan manusia. Dalam kehidupan warga
yang sedang berubah, konflik dapat melahirkan pertentangan,
pertikaian, kekerasan, dan juga pembunuhan. Oleh karena itu
penyikapan dan pengelolaan konflik dapat dilakukan, karena
manusia pada fitrahnya cenderung untuk hidup damai dan
terbebas dari konflik.94
Fisher Simon, dkk menyatakan bahwa konflik itu pada
dasarkan bersifat netral dapat bersifat positif dan negatif.
Konflik bermula dari kepentingan, dan setiap orang memiliki
kepentingan berbeda antara satu dengan yang lain. Konflik
yang bermuara positif bila dapat dikelola dengan baik, akan
terbangun kepercayaan dan kesadaran bahwa manusia
memang memiliki keragaman dan saling menghargai satu sama
lain. Upaya saling menghargai, saling memahami, mengakui
kekeliruan dan keterbatasan diri sendiri merupakan konflik
yang bermuara pada nilai positif.95
Sebaliknya konflik yang bermuara negative berujung
pada kekerasan, pertentangan, penganiayaan, pembunuhan,
diskriminasi perampasan hak dan lain-lain.Akibatnya kedamaian
yang merupakan dambaan setiap anggota warga sangat
sulit terwujut. Dalam kenyataannya konflik seperti ini tetap
ada dalam setiap komunitas warga manapun termasuk
dalam warga adat. Di dalam warga adat termasuk di
Aceh, umumnya difahami bahwa konflik di identikkan dengan
kekerasan, pada hal kedua istilah tersebut memiliki makna
yang tajam.96 A. Hasyimy menyatakan bahwa warga Aceh
dikenal dengan warga yang terikat dengan agama dan nilai
adat. Hal ini dapat dilihat dari adagium yang sangat populer
dalam warga Aceh, yaitu: “Adat Bak Poteumerehom, Hukom
Bak Syiah Kuala; Qanun Bak Putro phang; Resam bak Laksamana”.
Keberadaan ajaran agama dan adat untuk manyarakat Aceh
menjadi penting karena kedua komponen inilah menjadi
standar perilaku, warga sehari-hari.Ajaran agama dan
norma adat, juga digunakan untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi dalam warga Aceh.97
Konflik yang dirasakan oleh warga Aceh mulai dari
konflik internal keluarga, antar kelompok warga, sampai
dengan konflik bersenjata yang sangat lama dan menelan
korban cukup banyak, sehingga keluarga korban dendam
kesumat. Kenyataan tersebut seakan-akan memperlihatkan
bahwa dalam warga Aceh tidak ada pola penyelesaian
konflik secara baik dan bijak, padahal dalam perjalanan
sejarahnya telah terbukti bahwa banyak persolan warga
gampong yang berkaitan dengan hukum, politik, social budaya,
ekonomi dan lain-lain,dapat diselesaikan dengan pola syari’at
Islam dan norma adat yaitu melalui: di’iet, sayam, suloh dan
pemumat jaroe, yang dalam prosesinya melibatkan peran ulama
dan tokoh adat, sebagai bentuk resolusi konflik yang akan
melahirkan kedamaian dalam warga.
Menurut Prof.Dr.Syahrizal Abas, MA, berdasarkan hasil
wawancara beliau dengan salah satu tokoh adat di kabupaten
Singkil yaitu Tgk Abdussalam pada tgl 4 Maret 2006 menyatakan
bahwa pola di’iet, sayam, suloh dan pemumat jaroe ini sudah
dikenal sejak awal masuknya ajaran Islam ke Nusantara.98
Audah, Abdul Qadir menyatakan kata di’iet berasal dari
bahasa Arab yaitu diyat. Secara bahasa kata diyat bermakna
pengganti jiwa atau penggati anggota tubuh yang hilang atau
rusak.Penggati ini berupa harta benda baik bergerak maupun
tidak.Pola ini merupkan konsep hukum pidana Islam. Para
sarjana hukum Islam memahami diyat ini sebagai salah satu
bentuk konpensasi yang harus diserahkan oleh terpidana atau
keluargnya kepada korban atau ahli warisnya dalam kasus
tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota
tubuh orang lain.99
Begitu juga Syafioeddin dan Hasyim menyatakan bahwa
dalam di’iet ini, pelaku pidana memberikan sesuatu seperti
emas dan menyembelih hewan berupa sapi atau kerbau yang
prosesinya diprakarsai oleh perangkat gampong yaitu: Imuem
mukim,geuchik, dan tengku menasah. Dalam prosesi ini juga
digelar pula upara adat yang bertujuan untuk mengakhiri
dendam atau konflik.100
Selanjutnya Syahrizal menyatakan pembayaran di’iet
dalam kehidupan warga Aceh dimulai dengan proses
peradilan terhadap pelaku pidana, sehingga dapat diketahui
tingkat kemaafan yang diberikan oleh korban atau ahli waris
korban. Jika kemaafan tersebut telah diberikan maka para
pemangku adat atau tetua gampong mengkompromikan dan
memusyawarahkan dengan korban atau ahli waris korban
dengan pelaku berapa harus dibayarkan oleh terpidana atau
keluarganya.Biasanya pembayaran di’iet dilakukan dengan
suatu upara adat yang di dalamnya terdiri dari kegiatan pesijuek
dan pemumat jaroe.
Keterlibatan institusi adat dan budaya disini adalah
untuk menghilangkan dendam antara para pihak yang bertikai.
Sedangkan tempat penyelenggaraan di’iet ini biasanya dilakukan
di menasah atau dirumah korban, dan juga dapat dilakukan di
tempat lain tergantung kesepakatan pihak yang terlibat.101
Peralatan dan bahan yang dipersiapkan oleh pelaku atau
ahli warisnya terdiri atas kerbau atau sapi, perangkat pesijuek
berupa ketan kuning, kelapa gonseng gula merah (ue mierah),
ayam panggang, tumpoe (tepung yang diaduek dengan gula
merah dan digoreng), daun senijuek, daun ilalang (naleung
samboe), padi campur beras, air tepung atau air bunga, air
putih dan air cuci tangan dan kemenyan, dan khusus untuk
kasus pembunuhan ditambah lagi dengan kain putih, pedang/
rencong di dalam sarung, bahkan di daerah tertentu di tambah
lagi dengan uang sebesar 2 juta sampai dengan 5 juta rupiah.102
Penyelesaian Konflik Melalui Sayam
Sayam adalah salah satu pola penyelesaian konflik yang
ditemukan dalam kehidupan warga Aceh.Pola ini telah
lama dipraktekkan dan bahkan jauh lebih lama daripada pola
di’iet dan suloeh. Sayam adalah bentuk konpensasi berupa harta
benda yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau
ahli waris korban khusnya berkaitan dengan rusak atau tidak
berfungsinya anggota tubuh. Bahkan sebahagian daerah Aceh
memberlakukan sayam ini sebagai kompensasi dari keluarnya
darah seseorang akibat penganiayaan.103
Filosofi sayam bagi warga Aceh bersumber
dari adagium yang sudah dikenal lama yaitu “ luka disifat,
dan darah disukat” Makna adagium ini adalah luka akibat
penganiayaan atau kekerasan harus diperhitungkan.
Pandangan ini mengindikasikan bahwa warga Aceh betulbetul memberikan penghargaan dan perlindungan yang tinggi
terhadap tubuh manusia, sebagai ciptaan Allah. Dan sayam
ini merupakan bentuk kompensasi untuk menghargai hal
tersebut. Sama hal nya dengan di’iet, prosesi sayam
dilaksanakan setelah para pihak yang bersengketa dihubungi
oleh pihak geuchik dan tengku menasah, dengan prosesinya
sama namun sayam hanya lebih ringan karena jumlah yang
harus dibayar berbeda. Deskripsi ini menggambarkan betapa
penyelesaian konflik menggunakan pola syariat Islam dan
adat dapat membawa kedamaian abadi karena kemaafan yang
terjalin dalam prosesi itu sering berubah menjadi saudara
karena silaturrahim yang dibina secara berkelanjutan
Penyelesaian Konflik Melalui Suloeh
Kata suloeh dalam bahasa Aceh berasal dari istilah Arab
yaitu al-sulhu-islah, yang berarti upaya perdamaian. Suloeh
adalah upaya perdamaian antar para pihak yang bertikai dalam
kasus-kasus perdata. Oleh karena itu prosesi suloeh ini tidak
ada penyembelihan hewan kebau, sapi atau kambing karena
tidak berkaitan dengan meninggal atau rusaknya anggota
tubuh korban.Kasus-kasus perdata yang diselesaikan melaui
suloeh ini umumnya berkaitan dengan perebutan sentra-sentra
ekonomi seperti batas tanah, tali air sawah, lapak berjualan
daerah aliran sungai tempat menangkap ikan (seneubok) dan
lain-lain. Penyelesaian suloeh ini sering juga dilakukan langsung
ditempat kejadian oleh para tetua adat yang menguasai daerah
tertentu tanpa sampai kepada gechiek dan imuem menasah dan
penyelesaiannya sangat mudah hanya dengan pemumat jaroe.105
Dalam kehidupan warga lain suloeh ini sama dengan
mediasi, yang mana sitiap pertikaian dan konflik yang terjadi
antara satu individu dengan individu lain, atau satu kelompok
dengan kelompok lain atau satu komunitas dengan komunitas
lain, mediasi adalah bentuk yang sangat sering digunakan untuk
menyelesaikan pihak yang bertikai. Prosesi penyelesaiannya
sama dengan suloeh di fasilitasi oleh orang ketiga berupa
tokoh, lembaga atau instansi yang ditunjuk. Dalam mediasi ini
pihak ketiga membuat kesepakatan-kesepakatan yang disetujui
oleh kedua pihak, dan setelah selesai mereka semua bersalamsalaman.
3.1.4.4. Penyelesaian Konflik Melalui Peumumat Jaroe
Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada
prosesi di’iet, sayam dan suloeh adalah pesijuek dan pemumat
jaroe (saling berjabat tangan). Kedua prosesi ini memegang
peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhwah)
atara para pihat yang bersengketa, karena dalam warga
Aceh belum sempurna penyelesaian konflik tanpa melakukan
pesijuek dan pemumat jaroe. Oleh karena itu dalam proses
pemumat jaroe, pihak yang memfasilitasi mengucapkan katakata khusus seperti ”Nyo kaseb oh no dan bekna dendam le.Nyo
bejeut kejalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe”
artinya masalah ini cukup disisini dan jangan diperpanjang lagi.
Bersalaman ini diharapkan menjadi jalinan salturrahmi antara
anda berdua, sebab ini ajaran agama kita. Acara peumumat
jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara
kenduri pesijuek dengan urutan prosesinya adalah peusijuek,
peumumat jaroe dan makan bersama (kenduri).106
Kegiatan tersebut di atas, merupakan rangkaian panjang
dalam prosesi penyelesaian konflik dalam sengketa adat Aceh.
Dalam hal ini peran ulama dan pemangku adat sangat dominan,
karena mereka dinggap mampu membangun silaturrahim
dengan baik sehingga para orang yang bertikai kadangkala
menjadi persaudaraan pada acara prosesi tersebut, namun
akhir-akhir ini kegiatan penyelesaian konflik dengan cara
di’iet, sayam, suloeh dan pemumat jaroe sudah jarang dilakukan,
warga lebih memilih penyelesaian kasus melalui hukum
nasional yaitu pengadilan.
3.2. Tsunami Di Aceh
Tragedi 26 Desember 2004 memang patut direnungkan
untuk generasi anak bangsa. Gempa super hebat yang diikuti
gelombang tsunami telah menghacurkan sebahagian besar
wilayah pesisir pantai di Aceh. Menurut Departemen Sosial
tercatat 240.000 korban meninggal dan hilang, puluhan ribu
rumah penduduk, harta benda, gedung-gedung perkantoran,
sekolah, pertokoan serta fasilitas-fasilitas umum lainnya
hancur seketika. Kejadian ini memang tidak diduga sama sekali
walaupun sebenarnya dalam peta negara kita ada dijelaskan
bahwa kepulauan negara kita salah satunya provinsi Aceh adalah
rawan bencana.
Arnol (1986) dalam Subandono menyatakan bahwa
wilayah negara kita merupakan salah satu Negara kaya bencana
gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi dan tanah
longsor. Tingginya potensi bencana tersebut dikarenakan
tatanan dan proses geologi negara kita yang dikepung oleh tiga
lempeng bumi, sehingga ia termasuk negeri yang rentan dan
rawan bencana alam.107
Oleh karena itu, seharusnya warga tidak terkejut
lagi bila ada bencana yang tidak terduga, karena sudah tanpak
jelas bahwa dalam peta Badan Meteorologi dan Giofisika, di
identifikasi sebanyak 25 provinsi di negara kita rawan terjadinya
gempa bumi, dan 18 provinsi dari 25 provinsi tersebut salah
satunya provinsi Aceh adalah rawan tsunami.108
Tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh merupakan
musibah yang maha dasyat yang pernah terjadi dalam
sejarahAceh.Karena dalam bencana tersebut ratusan ribu
nyawa, harta benda hilang tanpa bekas, sehingga membuat
banyak warga Aceh mengalami berbagai kerugian baik
secara fisik maupun secara mental. Secara fisik warga
Aceh sebahagian besar kehilangan rumah, harta benda yang
telah dikumpulkan puluhan tahun di dalam kehidupannya.
Sedangkan secara mental warga banyak merasa
kehilangan orang-orang yang paling ia cintai sehingga mereka
merasa berduka, merasa sedih, cemas, depresi dan yang paling
parah adalah stress dan trauma karena kehilangan anak, ibu dan
ayah, kehilangan istri dan suami, kelihangan sanak keluarga,
kerabat dekat yang sangat sulit untuk dihilangkan di dalam
pikirannya mungkin sampai akhir zaman. Apalagi kalau tidak
ada penaganan yang konprehensif dan berkelanjutan bahaya
ini adalah bencana yang sangat besar dalam kisah kehidupan
warga Aceh kedepan.
Oleh karena itu, harapan terbesar bagi warga
adalah bagaimana pemerintah menangani dan menyelesaikan
semua persoalan yang disebakan oleh bencana tsunami
tersebut sehingga terbebas dari bencana yang lebih besar yaitu
lemahnya daya serap dan daya guna generasi penerus akibat
trauma tsunami.
3.2.1. Sekilas Tentang Wilayah-WilayahTsunami di Aceh
Secara keseluruhan musibah yang terjadi karena
bencana alam gempa dan tsunami meninggalkan cerita yang
berbeda-beda di berbagai wilayah dalam propinsi Aceh yang
terkena hantamannya.Wilayah–wilayah tersebut adalah: (1)
Aceh Besar, (2) Kota Banda Aceh, (3) Aceh Jaya, (4) Aceh Barat.
Pertama, Aceh Besar yang terdiri dari 23 Kecamatan,
604 Desadan lebih kurang 10 dari kecamatan tersebut sangat
parah kena hantaman tsunami, yaitu: kecamatan Lhoeng,
Leupong, Lhoknga, Pekan Bada, Puloe Aceh, Baitussalam,
Darussalam, Mesjid raya. Kedua, Kota Banda Aceh, terdiri
dari 9 kecamatan dan 90 Desa dan lebih kurang 4 kecamatan
mengalami hantaman tsunami yang sangat parah. Ketiga,
Aceh Jaya yang terdiri dari 9 Kecamatan, 21 Mukim, 172 Desa,
dan hampir semuanya berada pada daerah pesisir pantai.
Secara geografis kecamatan-kecamatan di wiliyah
Kabupaten Aceh Jaya berbatasan langsung dengan Samudera
negara kita . Jalur sepanjang pantai juga merupakan tempat
permukiman penduduk terpadat dibandingkan dengan
daerah pemukiman yang jauh dari pantai. Jaringan jalan yang
menyusuri pinggir pantai yang menghubungkan Banda Aceh
dengan kota-kota di bagian barat dan selatan provinsi ini
menjadi faktor yang sangat mendukung bagi penduduk untuk
membangun permukiman di sepanjang pantai. Pusat-pusat
perdagangan dan berbagai aktivitas perekonomian lainnya pun
pada umumnya berlokasi di kota-kota kecamatan yang berada
di sepanjang pantai wilayah ini.109
Oleh karena itu kabupaten ini juga termasuk yang
paling parah kena hantaman gelombang tsunami. Keempat,
kabupaten Aceh Barat terdiri dari 12 kecamatan dan 321
Desa.110
Semua Kecamatan dan Desa yang berada di dalam
4 kabupaten tersebut di atas sebahagian besarnya terkena
hantaman tsunami dan kehilangan hampir semuanya, baik jiwa
maupun rumah dan harta benda. Kondisi ini telah membuat
warga yang selamat dalam peristiwa tsunamitersebut
merasa sedih berkepanjangan dan sangat stress dan depresi,
dan bahkan trauma berat. Karena selain memikirkan keluarga yang hilang tidak tahu jasadnya, juga memikirkan bagaimana
ia akan menjalani hidup kedepan. Secara psikologis banyak
korban yang merasa terganggu pasca tsunami sehingga tanpa ia
sadari apakah itu benar, atau hanya ilusi, mereka yang selamat
dari musibah tersebut sering kali bercerita yang kurang masuk
dalam pikiran dan akal sehat, seperti ada yang menyatakan
bahwa ia selamat karena di tolong oleh seekor naga, ada yang
menyatakan ia selamat karena ada yang membimbing mereka
untuk memegang sesuatu sehingga ketika ia sadar ia ada di atas
pohon, ada yang menyatakan ia diselamatkan oleh kakek-kakek
yang tidak dikenal, ada juga yang menyatakan bahwa ia selamat
seperti bermimpi dan banyak-cerita-cerita aneh lainnya..
Hayalan, atau illusi yang dirasakan oleh korban yang
selamat merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri oleh siapapun dan itu merupakan salah satu bentuk
respon psikologis dari peristiwa traumatis yang dialami oleh
setiap korban, dan apabila ini tidak ditangani dengan baik dan
terencana serta berkelanjautan akan bendampak kepada PTSD
atau Post Traumatik Stress Disorder.
3.2.2. Bentuk-Bentuk Trauma Tsunami
Bentuk-bentuk trauma yang di alami korban dalam
peristiwa traumatic tsunami adalahada dua aspek yaitu: pertama
trauma fisik seperti patah tangan puntung kaki, luka-luka
akibat hantaman kayu, beton dan berbagai benda yang hanyut
dan terbawa dalam gelombang tsunami, luka-luka tersebut
akan meninggalkan parut yang tidak akan pernah terlupakan
seumur hidupnya. Kedua, trauma psikis banyak terjadi pada
korban pasca tsunami adalah sedih berkepanjangan, tertekan,
gugup, cemas berlebihan, merasa bersalah, stress, dan depresi.
Semua bentuk trauma tersebut seharusnya perlu penangan
yang representative dari semua pihak terutama keluarga
terdekat, lingkungan dan pemerintah sebagai penanggung
jawab dalam suatu komunitas.
Namun penanganan yang sering diterima pasca tsunami
menurut hasil penelitian adalah penaganan secara fisik, karena
pasca tsunami banyak NGO yang menawarkan bantuannya.
Tetapi secara psikologis tidak ada secara khusus, padahal
bencana yang sesungguhnya adalah dampak dari psikogis ini,
karena dapat menggangu kecedasan intelektual, emosional dan
perilaku. Orang-Orang yang sudah mengalami pengalaman
traumatis dan yang membuat mereka trauma biasanya mudah
sekali tersinggung, suka menghindar, suka duduk sendiri, suka
terkejut tiba-tiba, jantung berdebar cepat, sering bermimpi
buruk, kadangkala ada yang berkeringat tanpa sebab, suka
pingsan, tegang pada bahagian punggung dan sebagainya.
Semua kondisi fisik yang dialami tersebut akibat pengalaman
traumatis yang dialami di dalam hidupnya. Pengalaman
itu akan terkunci dalam latar lembik, sehingga bila mereka
bertemu dengan suasana, warna dan tempat yang sama,
maka seringkali korban akan ketakutan dan bahkan ada yang
histeris. Karna itu pada saat yang demikian, dukungan orangorang terdekat, seperti keluarga, kerabat, dan lingkungan social
sangat diperlukan untuk meredakan kejala tersebut. Kalau
tidak ada, mereka akan merasa terasing, dan lama-kelamaan
bisa stress, depresi dan juga bisa sakit jiwa. Dukungan social
yang diperlukan bukanlah materi, akan tetapi empati yang
dapat membuat korban merasa tenang, merasa ada teman dan
merasa mereka tidak sendiri di dalam dunia ini.
Bentuk-Bentuk Penanganan warga
Pasca Tsunami
Bentuk-bentuk penangan pasca tsunami dalam
warga Aceh dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Pertama penanganan secara medis, pasca tsunami warga
Aceh yang selamat banyak mengalami luka-luka secara fisik,
maka banyak LSM, NGO baik dari local maupun nasional
dan internasional datang untuk ikut membantu mengobati
dan merawat warga yang terluka, menyediakan obatobatan dan sebagainya yang dibutuhkan warga. Kedua,
penyediaan tempat tinggal bagi korban yang selamat, sebagai
tempat mengungsi sementara sambil menunggu bntuan rumah
dari berbagai NGO, BRR. Ketiga, banyak NGO, LSM lokal dan
nasional membuat berbagai program pelatihan keterampilan
dalam rangka pemulihan ekonomi mereka, dari perbengkelan,
akirlig dan berbagai pelayanan warga seperti servis, AC,
TV dan alat-lat elektronik lainnya.
Jadi pada masa krisis semua orang menangani
berbagai cara untuk mengobati luka fisik, sedikit sekali dalam
warga Aceh yang mencoba menangani luka psikologis,
seperti bagaimana mengurangi rasa kesedihan yang dalam,
bagaimana mengendalikan amarah, benci dan bagaimana
mengatasi kecemasan, ketakutan dan sebagainya akibat dari
gelombang tsunami.
3.3. Dampak Konflik dan Tsunami
Danpak konflik dan tsunami dalam kehidupan
warga korban sangat banyak, terutama danpak fisiologis
dan juga psikologis, keduanya saling berkaitan satu sama lain.
Abila kebutuhan fisologis tidak terkucupi akan berdampak
pada psikologis, begitu juga sebaliknya, bila psikologis tidak
terpenuhi juga akan berdampak kepada fisiologis.
3.3.1. Dampak Fisiologis
Dalam kehidupan manusia banyak sekali kebutuhan
yang harus dipenuhi, diantaranya adalah kebutuhan primer
dan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang
paling dasar yang mau tidak mau harus dipenuhi, karena
kebutuhan jenis ini merupakan kebutuhan untuk kelangsungan
hidup spesiesnya. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah
kebutuhan yang juga sangat penting dan lazim seperti
menyangkut rasa aman dan kebahagian jiwa. Sehingga dengan
kebutuhan-kebutuhan inilah manusia akan berusaha untuk
mendapatkannya dan memenuhinya dengan berbagai cara.
Kebutuhan fisiologis manusia terkadang sangat
berhubungan erat dengan reaksi organ tubuh yang muncul
untuk memelihara keseimbangan organic dan kimiawi tubuh.
Misalnya kekurangan kadar makanan atau kekurangan kadar
air dalam tubuh, akan membuat manusia lemas, lesue dan tidak
bersemangat, keadaan tersebut akan termotivasi manusia
untuk mencari makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk
menyeimbangkan kembali kondisi tubuh yang dialami sesuai
dengan kebutuhannya.
Konflik dan tsunami yang terjadi telah membuat
banyak warga kehilangan jiwa raga, harta benda sebagai
aspek yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis
manusia.Harta benda yang telah dikumpulkan bertahun-tahun
lamanya, rumah yang dijadikan tempat beristirahat, ketika
tubuhnya lelah hancur dibakar ketika konflik dan hanyut dalam gelombang tsunami. Kondisi ini membuat warga
terpuruk, maka untuk mengembalikan mereka seperti semula,
memerlukan waktu yang panjang dan strategi yang berbeda,
karena pasca konflik dan tsunami secara umum tatanan
warga berubah total, dan ini merupakan dampak yang
sering muncul yang sulit untuk dihindari. Dampak ini bila terus
menerus terus terjadi akan membuat berbagai tekanan dalam
tubuh manusia sihingga akan berakibat pada psikologis.
3.3.2. Dampak Psikologis
Seperti yang telah disebutkan diatas, berbagai
kebutuhan manusia harus terpenuhi agar ia dapat hidup
tenang dan bahagia. Kebutuhan selain kebutuhan fisiologis
adalah kebutuhan psikologis.Kebutuhan ini seperti rasa kasih
sayang rasa aman dan penghargaan. Orang akan puas ketika
ia mendapatkan kasih sayang dan dapat menyangi. Sering
ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi orang akan merasa
ketakutan,kekecewaan yang dalam, kecemasan, kemarahan,
kebencian, tertekan, stress depresi dan kondisi ini sering
dinyatakan sebagai respon ketidak puasan psikologis.
3.3.2.1. Perasaaan Takut (Ketakutan)
Takut merupakan ungkapan emosi yang bersifat fitrah
yang dirasakan oleh manusia pada situasi berbahaya atau dalam
situasi yang mengancam keselamatan dirinya. Perasaan takut
itu sendiri dalam diri manusia termasuk emosi yang sangat
penting dan bermanfaat dalam kehidupan manusia, karena
emosi tersebut akan mendorong manusia untuk menghindar
dan menjauhi situasi-situasi yang berbahaya ataupun keadaan
yang dapat membinasakan.
Edwar More (1988) dalam Utsman Najati (2000)
menyatakan bahwa dalam beberapa eksperimen mutakhir
membuktikan bahwa kadar rasa takut seseorang yang masih
pada batas yang normal dan tidak berlebihan, akan bermanfat
baginya untuk mendorong melakukan hal-hal yang baik. Namun
kalau rasa takut itu sudah pada batas yang tidak wajar maka
hal itu akan berakibat buruk bagi diri seseorang. contohnya
rasa takut yang masih normal bisa membuat seorang pelajar
bersiap-siap untuk menghadapi ujian dan serius untuk belajar.
Sedangkan rasa takut yang berlebihan bisa mengakibatkan
seseorang pelajar malah tidak berkonsentrasi untuk ujian
karena rasatakutnya itu, sehingga hasil test yang ia dapatkan
tidak seperti yang diharapkan.111
Dari pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa rasa
takut itu merupakan reaksi yang normal bila masih dalam batasbatas kewajaran, akan tetapi akan menjadi berbahaya bila rasa
takut tersebut dapat membayakan orang lain karena reaksinya
berlebihan, misalnya sesorang sering dijarah ketika konflik,
maka ketika ada tamu yang datang tidak dikenal perasaan takut
ketika dijarah muncul kembali, sehingga ia bersiap-siap untuk
menghindar atau menyerang, karena untuk menyelamatkan
diri, rasa takut inilah dikatakan dampak dari konflik. Dan rasa
takut ini harus diobati dengan konprehensif dan dipulihkan
kepada keadaan semula dengan berbagai psikotherapi psiklogis.
Lain hal nya rasa takut yang datang karena pernah
menjadi korban tsunami, dimana orang-orang akan bereaksi
yang sama bila terdengar suara sirene peringatan tsunami,
yaitu berlarian tanpa arah untuk menyelamatkan diri, ini juga
rasa takut yang tidak wajar. Tetapi rasa takut yang wajar adalah
bila sesorang merespon bunyi sirene dengan mencari tahu
dengan jelas itu sirene tsunami atau sirene polisi atau sirene
kebakaran, karena rasa takutnya tersebut ia akan bertindak
rasional menghindari bahaya.
Daniel Goleman menyatakan bahwa salah satu warisan
evolusi yang berhubungan dengan masalah emosional adalah
rasa takut yang mendorong kita melindungi keluarga dari
bahaya; dorongan itulah yang membuat Bobby Crabtree meraih
pistolnya dan menyelidiki rumahnya untuk menangkap pencuri
yang difikirnya sedang mengendap-endap dalam rumahnya.
Rasa takut telah memancing Crabtree melakukan tembakan
sebelum ia memahami sepenuhnya apa yang ditembaknya,
bahkan sebelum ia mengenali suara putrinya.
Menurut ahli biologi evolusioner, reaksi outomatis
semacam ini telah terekam dalam system saraf manusia karena
selama priode yang panjang dan penting dalam prasejarah
manusia, reaksi outomatis dapat menentukan hidup mati
seseorang.112
3.3.2.2. Perasaan Cemas (Kecemasan)
Kecemasan merupakan salah satu respon dari emosi
manusia.Chaplin menyatakan kecemasan (anxiety) atau juga
disebut kegelisahan adalah pertama perasaan campuran yang
berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa
mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut;
kedua rasa takut atau kekhawatiran kronis pada tingkat yang
ringan; ketiga ketakutan dan kekhawatiran yang kuat dan
meluap-luap.113 Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat
dikatakan kecemasan muncul secara tiba-tiba, kadangkala
pada saat yang tidak tepat.
Contoh pada suatu pagi musim semi dia (Daniel Goleman)
berkenderaan menyusuri jalan dipegunungan Colorado, ketika
tiba-tiba hujan salju menutupi pandangan untuk melihat
kemobil yang lain yang melintasi jalan tersebut walaupun
sudah menajamkan pandangannya, tetapi tidak berhasil
melihat apa-apa, karena salju berputar-putar disekeling dan
tempat itu menjadi medan putih yang membutakan, sehingga
ia menginjak pedal rem dan pada saat itu rasa cemas terasa
mengalir dalam darah dan jantungnya berdegub kencang. Rasa
cemas itu berubah menjadi rasa takut luar biasa, sehingga ia
berhenti dipinggir jalan, sambil menunggu redanya hujan
salju. Setengah jam kemudian hujan salju berhenti, dan dia
pun melanjutkan perjalanannya, tidak begitu jauh ia melihat
ada mobil ambulan yang sedang menolong orang tabrakan,
sehingga ia berpikir seandainya tadi dia tidak berhenti maka
dialah yang akan kecelakaan tersebut. Kecemasan dan rasa
takut tadi membuat ia selamat dari bahaya.
Kecemasan seperti di ceritakan diatas adalah kecemasan
yang masih dalam kondisi yang wajar dan positif, karena semua
orang akan bereaksi sama ketika jalan yang dilalui tertutup
salju sehingga tidak nampak apa-apa seperti cerita tersebut,
yang dikatakan cemas sudah mengarah pada dampak traumatic
adalah cemas yang kadang kala tidak tahu sebab dan juga
tidak masuk diakal seperti orang cemas kepada sesuatu,tetapi
responnya sangat berlebihan sehingga mebuat panik dan
ketakutan luar biasa. Seperti seorang ibu yang pernah trauma
dirampok dijalan, peristiwa tersebut dia coba hilangkan danditekan dari pikirannya tetapi, pada saat yang lain ketika dia
mendapati anaknya belum pulang kerumah, maka dia berekasi
dengan kecemasan luarbiasa, sehingga ia mengerahkan orangorang dan menelpon polisi, padahal belum 24 jam, karena
cemas tadi maka iapun panic sehingga bertingkahlaku tidak
wajar, kondisi inilah yang dikatakan respons dari salah satu
trauma.
3.3.3.3. Perasaan Marah (Kemarahan)
Menurut ‘Utsman Najati menyatakan bahwa marah
itu merupakan emosi yang sifatnya fitrah dan akan muncul
ketika salah satu motivasi dasar seseorang tidak terpenuhi.
Jika ada sesuatu yang menghalangi manusia atau binatang
untuk mendapatkan tujuan tertentu yang ingin diraih demi
melampiaskan kebutuhannya, maka dia akan marah, berontak
dan melawan penghalang tersebut, dia juga akan rela berkorban
untuk mengalahkan dan menyingkirkan penghalang yang ada
dihadapannya sampai ia berhasil melampiaskan kebutuhan
dirinya.
Kadar rasa marah sangat tergantung pada seberapa
besar motivasi yang dihalangi dan juga pada seberapa penting
kebutuhan tersebut harus dipenuhi.114
Rasa marah dalam diri manusia itu sangat beragam
tingkat kekuatannya, karena tergantung kepada seberapa besar
dan seberapa penting kebutuhan tersebut harus dipenuhi.
Namun di luar semua itu, ada beberapa factor lain yang
mempengaruhi kekuatan rasa marah dalam diri seseorang.
Misalnya tabi’at yang sudah diwarisi semenjak lahir, baik dari
struktur saraf maupun struktur organ tubuh yang lain, bisa
juga dipengaruhi oleh pengalaman belajar dimasa lampau.
Daniel Goleman menyatakan bahwa para peneliti
menemukan lebih banyak detail-detail fisiologis tentang
bagaimana masing-masing emosi mempersiapkan tubuh untuk
jenis reaksi yang sangat berbeda seperti bila darah amarah
mengalir ketangan, mudahlah tangan untuk menyambar
senjata atau menghantam lawan; detak jantung meningkat, dan
banjir hormon seperti adrenalin membangkitkan gelombang
energy yang cukup kuat untuk bertindak dahsyat.115
Perasaan marah yang seperti diatas merupakan reaksi
yang wajar dari suatu reaksi fisiologis, tetapi rasa marah yang
diakibatkan oleh dendam kesumat akibat emosi yang ditekan
cukup lama dalam litar limbic, ketika ia mengalami goncangan
hebat seperti pada masa konflik bersenjata, rasa marah ketika
melihat orang-orang yang berseragan TNI akan membahayakan
karena akan merusak saraf. Dan juga dapat merugikan
warga, karena biasanya marah akibat demdam sering
tidak bertindak rasional, sehinggasering perbuatan tersebut
akan disesali.
Pengaruh marah terhadap manusia dapat dilihat dalam
tiga aspek, yaitu: kepada fisik, pikiran dan kepada prilaku.
Kepada fisik gejala yang sering ditimbulkan ketika marah dapat
dilihat secara internal maupun eksternal. Secara internal orang
yang marah jantung berdebar-debar, lambung mengerut, aliran
darah mendesak kebahagian dada, sampai akhirnya membuat
wajah menjadi merah padam. Sedangkan secara eksternal,
berubahnya roman muka, perubahan suara, dan tegangan
otot pada organ tubuh. Kepada pikiran pengaruh marah dapat
dilihat gejala yang muncul adalah kurang dapat berkonsentrasi
dengan baik, sehingga sering sekali keputusan yang diambil
pada saat marah akan disesali.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Rasulullah
SAW menyatakan kepada para sahabat beliau, untuk tidak
memberikan hukuman ketika sedang dalam kondisi marah.
Pengaruh marah pada perilaku, dapat dilihat oleh semua orang ,
karena orang yang sedang marah perilaku nya menjadi aneh, ada
yang mondar mandir seperti gosokan, ada yang mengalihkan
kepada benda-benda, dan ada pula kepada cacian, makian
atau apa saja yang dapat membuat meluahkan kekesalannya,
sehingga tanpa ia sadari kadang kala biasanya ia akan menyepak
atau meninju pada benda yang berada di dekatnya.
3.3.3.4. Perasaan Benci (Kebencian)
Perasaan benci juga salah satu dampak dari li Rasa
benci merupakan lawan daripada rasa cinta, manusia akan
mencintai sesuatu yang bermanfaat baginya dan yang bisa
mebuatnya merasa bahagia atau senang. Namun manusia
akan membenci sesuatu yang membahayakan dirinya dan yang
bisa menjerumuskannya kedalam penderitaan. Secara umum
ada hubungan yang sangat erat atara rasa marah dan rasa
benci. Sesuatu yang membangkitkan rasa marah juga dapat
membangkitkan rasa benci. Misal nya kompetisi kerja diantara
manusia dilatarbelakangi oleh tuntutan hidup, yang kadangkala
persaingan itu akan menimbulkan rasa benci, permusuhan,
keinginan untuk saling menyerang.116
Rasa benci akibat konflik dan tsunami sering bersifat
Dalam sub bagian ini akan dibahas enam aspek yang
terkait dengan stress dan trauma yaitu: (1) pengertian stress,
(2) factor-faktor penyebab stress, (3) pengertian trauma, (4)
jenis-jenis trauma, (5) symptom trauma, (6) remaja.
2.1.1. Pengertian Stres
Jordan menyatakan bahawa, stres adalah setiap
perubahan dalam diri baik secara internal maupun eksternal
yang menimbulkan reaksi dari individu. Ada juga yang
menyebutkan stres sebagai reaksi tubuh terhadap situasi yang
menekan, atau mengancam seseorang6
. Chaplin menyatakan
stres adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik mahpun
psikologis. Reaksi seseorang dapat berbeda-beda terhadap
stres, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: menghadapinya atau lari dari situasi tersebut. Apabila
ia menghadapinya, maka ada dua kemungkinan yaitu apabila
berhasil stres akan terlewati dan berakhir. Tetapi bila stres
itu sendiri terlalu berat, berterusan, atau ia memilih untuk
menghadapinya namun gagal, maka dapat terjadi gangguan
fisik, perubahan psikologi (depresi), perubahan sikap yang
timbul dapat menambah kecemasan, kemudian meningkat
menjadi stres7
.
Stres yang muncul dapat berkaitan dengan kurangnya
rasa keselamatan dalam diri, rasa rendah diri, dll. Misalnya saja
pada anak-anak korban penjualan anak (trafficking), mereka
mungkin merasakan kurangnya rasa aman terhadap masa
depan mereka, atau takut akan terjadi lagi penjualan tersebut
pada diri mereka. Dalam sebuah sesi kaunseling tentang
penganiayaan atau trauma tertentu dapat juga timbul stres.
Maka dari itu seorang kaunselor perlu mengawasi tanda-tanda
stres dalam diri lawan bicaranya dan merespon secepatnya,
contohnya berhenti sejenak dan melaksanakan teknik relaksasi.
Stres dapat digolongkan dalam 3 jenis, yaitu: Pertama,
stres yang positif, jenis ini dapat mencetuskan reaksi untuk
menyesuaikan diri ke arah yang lebih baik dan menyebabkan
perkembangan yang baik dalam diri. Stres seperti ini diperlukan
keberadaannya sesekali dalam hidup seseorang agar tidak
membosankan. Contohnya: akan menghadapi ujian, memulai
hidup baru dengan perkahwinan. Kedua, stres yang negatif,
yaitu stres yang menimbulkan kesusahan negatif terhadap
individu. Tanda-tanda mengalami stres ini adalah perasaan
tegang, perasaan tidak enak seperti ketakutan, gugup, sedih,
dan bingung. Contohnya: gagal dalam ujian, bercerai dan
kesehatan yang buruk. Ketiga, stres akibat trauma, jenis ini
biasanya disebabkan oleh kejadian atau beberapa seri kejadian
yang tiba-tiba, tidak disangka, dan fatal, serta tidak biasanya
dialami oleh manusia. Kejadian ini sifatnya mengancam nyawa,
sehingga korbannya dapat menjadi syok, hilang kontrol atas
dirinya dan sering mengurangi kemampuan korbannya untuk
menyesuaikan diri dan juga mengatasi stres.
Kriteria stres akibat trauma adalah: (1) Biasanya tibatiba dan tidak disangka, (2) Tidak biasa dialami manusia
(abnormal circumstances), (3) Menyebabkan seseorang merasa
tidak berdaya, tidak dapat tertolong dan hilang kontrol, dan
(4) dapat mengancam nyawa. Stres dan trauma ini biasanya
berdampak negatif kepada: Pertama, pada Fisik gejala-gejala
stres negatif adalah: (1) Pusing, (2) Sakit kepala, (3) Sulit
tidur, (4) Sakit perut, (5) Jantung berdebar, ( 6) Tekanan darah
tinggi, (7) Bernafas dengan cepat. Kedua, pada Kelakuan (apa
yang ditunjukkan) antara lain: (1) mengkonsumsi alkohol, (2)
kebanyakan / kurang makan, (3) sering bersikap gugup, (4)
ceroboh, (5) agresif, (6) tiba-tiba menangis. Ketiga, pada Emosi
(apa yang kita rasakan) antara lain: (1) cemas, (2) sedih, (3)
marah, (4) frustasi, (5) takut, (6) gugup, (7) tegang. Keempat,
pada Kognitif (apa yang kita fikirkan atau yang ada di fikiran)
antara lain: (1) gangguan konsentrasi, (2) fikiran pesimis,
(3) kehilangan rasa percaya diri, (4) kesulitan mengambil
keputusan, (5) banyak bermimpi.
Sondang Irene E Sidabutar membuat suatu bagan untuk
membedakan stres biasa dengan stres pasca trauma8
. Lihat
Tabel 1di bawah ini:
Reaksi stres seseorang dapat berbeda terhadap suatu
kejadian, hal ini berkaitan dengan persepsi yang dimiliki. Persepsi
adalah cara melihat, memahami dan mengertikan sebuah
situasi.Chaplin menyatakan ada lima pengertian perception
(persepsi)yaitu: (1) proses mengetahui atau mengenali objek
dan kejadian objektif dengan bantuan indera; (2) kesadaran
dari proses-proses organis; (3) sekelompok penginderaan
dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman
dimasa lalui; (4) variable yang menghalangi atau ikut campur
tangan ,yang berasal dari kemampuan organism untuk
melakukan pembedaaan di anatara perangsang-perangsang;
dan (5) kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau
keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu9
.
Selanjutnya dalam psikologi kontemporer persepsi
diartikan sebagai tahap kedua dalam upaya mengamati dunia
kita, mencakup pemahaman dan mengenali atu mengetahui
objek-objek serta kejadian-kejadian. Jadi apabila satu kejadian
yang masuk dalam pengindraan seperti suatu ancaman, maka
melalui pengalamannya akan membuat persepsi benar salah
dan ketidaksesuaian persepsi akan berdampak stres dan akan
membahayakan individu, karena itu orang akan merespon
terhadap stres dengan berbagai cara yang berbeda. Secara garis
besar cara mengatasinya (coping) terbagi kepada dua yaitu sadar
(coping mechanism) dan tidak sadar (defense mechanism).
Pertama, Secara sadar (coping mechanism), yaitu
orang yang menghadapi stres dapat memilih strategi tertentu
untuk mengatasi stresnya itu. Para peneliti membagi strategi
ini menjadi 3 jenis utama, yaitu: (1) Usaha untuk mengubah
situasinya, dimana seseorang akan berusaha menyingkirkan
penyebab stresnya, waktu merancang untuk menyelesaikan
atau berusaha mendapatkan nasihat atau bantuan dari orang
lain untuk mengubah situasinya. Orang dengan kemampuan
untuk menyelesaikan waktu yang baik terbukti mengalami
stres lebih sedikit dan gangguan kejiwaan yang lebih sedikit;
(2) Usaha untuk mengubah persepsinya terhadap waktu,
yaitu seseorang menghadapi stres dengan melihat dari sudut
pandang lain yang poisitif, hingga dirasa waktunya tidak terlalu
mengancam; (3) Usaha untuk mengurangkan emosi yang
dirasakan, yaitu dengan minum obat penenang, bermain muzik
atau menari untuk melepaskan emosi.
Kedua, secara tidak sadar (defense mechanism) adalah
proses mental yang bertujuan untuk melindungi seseorang
dari merasakan emosi yang tidak menyenangkan. Yang paling
banyak digunakan adalah penindasan. Penindasan maksudnya
adalah mekanisme secara tidak sadar untuk menyembunyikan
atau menekan ingatan atau fikiran yang tidak menyenangkan.
Mekanisme lain yang dapat digunakan adalah: (1) denial /
penyangkalan, yaitu bila seseorang menolak untuk menerima
kenyataan, (2) Projection; yaitu bila seseorang melemparkan
kegagalan dirinya pada orang lain hampir seperti mencari
kambing hitam, (3) reaction formation (Pembentukan reaksi)
yaitu ketika seseorang melakukan apa yang tidak diterimanya,
padahal ia secara sadar menyatakan penolakannya terhadap
hal tersebut. Misalnya seseorang yang mengatakan seks itu
kotor dan sangat menolaknya, ternyata ia masih menggunakan
prostitusi juga. Kenyataannya penolakannya itu menutupi
kebutuhan yang besar akan hal tersebut, (4) sublimasi, yaitu
ketika seseorang menukar dorongan seksual atau sikap
agresifnya menjadi sesuatu yang lebih diterima di warga.
Misalnya seseorang yang sangat ingin mengalahkan saudaranya,
menjadikan keinginan itu sebagai dorongan untuk berhasil di
dimasa depan, (5) rasionalisasi, adalah pembenaran, yaitu bila
seseorang membenarkan (dengan persepsinya) kasusalahan
yang dilakukannya. Ini dilakukan untuk mengurangi perasaan
bersalah atau malu. Misalnya mahasiswa yang mencontek
saat ujian mengatakan bahwa dengan kelulusannya ia dapat
membantu ramai orang.
Anisman et al. memperlihatkan tiga gambar respon
stres dalam, periode singkat atau berkelanjutan. Stres
biasanya dikaitkan dengan tingkat peningkatan baik cortisol,
corticotropin dan releasing factor yang digambarkan dalam
setiap panel ketebalan interkoneksi panah, akan menunjukkan
besarnya respon biologis10. Untuk lebih jelas lihat gambar 2.3
di bawah ini
Stres sering terjadi akibat individu tidak mampu
mengendalikan suatu peristiwa (stressor) yang sedang
dialaminya. Ketidak berdayaan inilah yang cendrung membuat
korban terkena gangguan stress pasca trauma. Pernyataan
Krystal yang dikutip oleh Goleman dengan memberi
perumpamaan akan ketidakberdayaan seseorang dalam
menghadapi suatu peristiwa tragis, seperti diserang dengan
sebilah pisau, tetapi tidak tahu mengatasinya, atau hanya dapat
berfikir matilah aku, orang yang tidak berdaya seperti itulah
mudah terkena Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau
stres setelah terjadinya suatu tragedi yang menyakitkan yang
dapat membuat korban sakit secara fisik dan mental11. Harris
& Harris menyatakan stres ialah satu proses yang mana otak
serta tubuh bertindak menghadapi tekanan yang datang dariluar12. Wann menyatakan pula sebagai satu respon yang tidak
emosional dari lingkungan sekitar13. Sementara itu Hackfort &
Spielberger merujuk stres sebagai proses psikobiologikal yang
pada umumnya diransangkan oleh situasi dan keadaan yang
dianggap atau di interpretasikan sebagai suatu yang berbahaya,
berpotensi untuk mencederakan atau menghampakan.14
Mirkin & Hoffman menjelaskan beberapa gejala stres
adalah otot-otot menegang serta letih-lesue, pening kepala,
hilang selera makan, badan cepat letih, sembelit atau diare,
kegugupan, kemurungan, tidak bisa tenang, daya kerja
menurun dan lain-lain. Suatu pristiwa atau kejadian (stressor)
yang dapat dikendalikan (controllability) dan diramalkan
(predictability) cenderung akan menghindari dari trauma. Akan
tetapi, sebaliknya, apabila suatu kejadian tersebut tidak dapat
dikawal dan dijangka, besar kemungkinan menjadi potensi
ancaman bagi diri. Ancaman tersebut pada akhirnya akan
melahirkan trauma.
Atkinson menyatakan bahwa jika suatu peristiwa tidak
dapat dianggarkan dan tidak dapat dikawal seperti media,
bising, dan kemungkinan bahaya dipinggir jalan raya, maka
kita akan merasakannya sebagai sesuatu yang mengancam15.
American Psychiatric Association dalam Everly et al., menyatakan
bahawa peristiwa traumatik mungkin timbul apabila seseorang
individu berhadapan dengan kematian atau ancaman,
kecederaan serius atau beberapa ancaman lain terhadap integritas fisik seseorang, atau juga terjadi hanya dengan
menyaksikan peristiwa-peristiwa tersebut kepada orang lain16.
Untuk membantu orang lain mengatasi stresnya, yang
terpenting adalah memberikan social support, intinya adalah
memberi sokongan. Ada dua anggapan mengenai kasus positif
dari sokongan sosial. Yang pertama yaitu mengurangkan
dampak berbahaya dari stres yang tinggi, sedangkan yang
kedua membuat seseorang lebih menghindari untuk tidak
terkena stres. Misalnya saja pasangan yang saling membantu
satu sama lain akan menekankan bahwa pasangannya mampu
menghadapi sebuah tantangan, untuk menjadikannya lebih
kuat.
Selain daripada itu, Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama Depnas mengartikan Stres sebagai reaksi fisikal
dan emosional terhadap suatu peristiwa psikologis.
Ketika seseorang mengalami stress, secara biologis terjadi
perubahan-perubahan hormonal, dan secara emosional sering
memperlihatkan perasaan takut, marah dan sebagainya. Selain
itu, stres juga umum diartikan sebagai suatu ketegangan atau
tekanan yang dialami seseorang, baik pada aspek fisik maupun
psikis, dalam menghadapi tuntutan atau suatu beban tertentu
yang datang dari lingkungan atau dari dalam diri individu yang
nyata maupun yang imajiner. Seseorang yang mengalami stress
dapat dilihat dari tanda-tanda yang muncul dari 4 aspek, yaitu:
(1) aspek fisik, (2) aspek kognitif, (3) emosional, dan (4) aspek
prilakuPertama, aspek fisik. Pada faktor biologis/fisik,
seseorang yang mengalami stress ditandai dengan mudah
lelah atau lesu, sering mual, muntah-muntah, gemetaran,
kejang-kejang, sakit atau pegal-pegal di daerah pundak, susah
bernapas, sering berdebar atau tekanan darah tinggi, sakit
pencernaan, penglihatan kabur, kehausan (yang tidak wajar),
gigi gemeretak, merasa sakit di bagian tubuh tertentu, sering
buang air kecil, sakit kepala, dan sebagainya.
Kedua, aspek kognitif. Dalam aspek ini dapat ditandai
dengan salah menuju atau mengenal seseorang, kebingungan,
kurang perhatian, lambat atau tidak dapat mengambil
keputusan, kurang atau terlalu siaga, kurang kosentrasi,
mudah lupa, mudah curiga, kasusulitan mengidentifikasikan
objek, tidak dapat memecahkan masalah, kurang mampu
berpikir abstrak, lupa waktu/tempat, sering mimpi buruk dan
sebagainya.
Ketiga, emosional. Seseorang yang mengalami stress
mudah mengalami kecemasan, memiliki perasaan bersalah,
sedih, berduka, memiliki sikap menolak, mudah panik,
ketakutan, shock, perasaan tidak menentu, kurang mengontrol
emosi, depresi, melakukan respon yang kurang tepat, perasaan
yang meluap-luap, sering nampak prihatin, gampang marah,
gampang menyerang, dan sebagainya.
Keempat, dari aspek prilaku. Orang yang stress nampak
sering atau mudah melakukan perubahan dalam kegiatan
(kebiasaan), perobahan pola bicara (seperti gagap atau
nyerocos), menarik diri mengasingkan diri, memperlihatkan
ledakan emosional, penuh curiga (menyelidik), perubahan
dalam pola komunikasi, kehilangan gairah makan atau
gairah makan berlebihan, mengkonsumsi narkoba, merokok berlebihan, tidak dapat beristirahat, melakukan kegiatan
anti social, mengalami keluhan fisik yang tidak jelas, sangat
sensitive terhadap lingkungan, mondar mandir (melakukan
gerakan yang tidak menentu), mengalami perubahan fungsi
seksual, dan sebagainya.
2.1.2. Pengertian Trauma
Shapiro menyatakan trauma merupakan pengalaman
hidup yang mengganggu kasuseimbangan biokimia dari sistem
informasi pengolohan psikologi otak. Kasuseimbangan ini
menghalang pemprosesan informasi untuk meneruskan proses
tersebut dalam mencapai suatu adaptif, sehingga persepsi,
emosi, keyakinan dan makna yang diperoleh dari pengalaman
tersebut “terkunci” dalam sistem saraf18. Jarnawi menyatakan
bahawa trauma merupakan gangguan psikologi yang sangat
berbahaya dan mampu merosakkan kasuseimbangan kehidupan
manusia.Cavanagh dalam Mental Health Channel menyatakan
tentang pengertian trauma adalah suatu peristiwa yang luar
biasa yang menimbulkan luka dan perasaan sakit, tetapi juga
sering diertikan sebagai suatu luka atau perasaan sakit berat
akibat sesuatu kejadian luar biasa yang menimpa seseorang
langsung atau tidak langsung baik luka fisik maupun luka psikis
atau kombinasi kedua-duanya. Berat ringannya suatu peristiwa
akan dirasakan berbeda oleh setiap orang, sehingga pengaruh
dari peristiwa tersebut terhadap perilaku juga berbeda
antara seseorang dengan orang lain. American Psychiatric
Association (APA) dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM.IV-TR), menyatakan ledakan trauma
merangkumi salah satu atau dua daripada berikut, yaitu: (1) seseorang yang mengalami, menyaksikan atau berhadapan
dengan kejadian ngeri yang menyebabkan kematian, kecederaan
serius atau mengancam fisik diri atau orang lain, (2) respon
individu terhadap ketakutan, rasa tidak ada harapan, horror
(kanak-kanak mungkin mengalami kecelaruan tingkahlaku).
Begitu juga hal nya dengan gejala trauma. Cavanagh,
dalam Mental Health Channel, mendefinisikan trauma adalah
suatu peristiwa yang luar biasa, yang menimbulkan luka atau
perasaan sakit: namun juga sering diartikan sebagai suatu luka
atau perasaan sakit “berat” akibat suatu kejadian “luar bisa” yang
menimpa sesorang, secara langsung maupun tidak langsung,
baik luka fisik maupun psikis atau kombinasi dari keduanya.
Berat ringannya suatu peristiwa akan dirasakan berbeda oleh
setiap orang, sehingga pengaruh dari peristiwa itu terhadap
perilaku juga berbeda atara seorang dengan yang lainnya.19
Trauma bisa saja melanda siapa saja yang mengalami
suatu peristiwa yang luar biasa seperti perang, terjadi perkosaan,
kematian akibat kekerasan pada orang-orang tercinta, dan juga
bencana alam seperti gempa dan tsunami. Gangguan pasca
trauma bisa dialami segera setelah peristiwa traumatis terjadi,
bisa juga dialami secara tertunda sampai beberapa tahun
sesudahnya. Korban biasanya mengeluh tegang, insomnia
(sulit tidur), sulit berkonsentrasi dan ia merasa ada yang
mengatur hidupnya, bahkan yang bersangkutan kehilangan
makna hidupnya. Lebih parah lagi, orang yang mengalami
gangguan pasca traumatic berada pada keadaan stress yang
berkepanjangan, yang dapat berakibat munculnya gangguan
otak, berkurangnya kemapuan intelektual, gamgguan emosional, maupun gangguan kemampuan social. Selanjutnya
Cavanagh membagi trauma ke dalam empat tipe yaitu: (1)
trauma situasional, (2) trauma perkembangan, (3) trauma
intrapsikis, dan (4) trauma eksistensial. Yang keempat tipe ini
berbeda dari sisi kejadian dan juga dari sisi tingkat traumanya.
Pertama, trauma situasional sering terjadi akibat
bencana alam, kecelakaan kenderaan, kebakaran, perampokan,
perkosaan perceraian, kehilangan pekerjaan, ditinggal mati
oleh orang yang dicintai, kegagalan dalam bisnis, tidak naik
kelas bagi beberapa siswa, dan sebagainya. Kedua, trauma
perkembangan sering terjadi pada setiap tahap perkembangan,
seperti penolakan teman sebaya, kelahiran yang tidak
dikehendaki, peristiwa yang berhubungan dengan kencan,
berkeluarga dan sebagainya. Ketiga, trauma intrapsikis,
trauma ini sering terjadi akibat kejadian internal seseorang
yang memenculkan perasaan cemas yang sangat kuat, seperti
munculnya homo seksual, munculnya perasaan benci pada
seseorang yang seharusnya dicintai, dan sebagainya. Keempat,
trauma eksistensional, trauma ini sering terjadi akibat
munculnya kekurang berartian dalam kehidupan.
Webb menyatakan bahawa: (1) trauma dinyatakan
sebagai kesakitan yang dialami oleh seseorang yang dapat
memberi karusakan kepada fisik dan psikologi sehingga
membawa kesusahan kepada kehidupan seperti menurunnya
tingkat produktifitas dan aktivitas keseharian, (2) trauma
terjadi karena peristiwa pahit pada fisik dan mental yang
menyebabkan kerusakan serta merta kepada tubuh atau kejutan
pada otak, (3) trauma terjadi karena terdapat kebimbangan yang
melampau atau kebimbangan yang traumatik oleh kerusakan
fisik dan psikis yang dapat menyebabkan gangguan emosi
yang dicetuskan oleh peristiwa pahit yang akut, (4) trauma adalah peningkatan gejala tekanan (stress) yang menyebabkan
gangguan emosi kepada kanak-kanak atau pelajar sekolah,
sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku, emosi dan
pemikiran, (5) trauma juga dikatakan sebagai kecederaan tubuh
yang disebabkan oleh tegangan fisik dari luar seperti tembakan,
kebakaran, kemalangan, tikaman senjata tajam, luka akibat
berkelahi, diperkosa, kelalaian teknologi dan sebagainya.20
Sementara itu seorang psikiater di Jakarta, Roan
menyatakan trauma berarti cidera, kerusakan jaringan, luka
atau shock. Sedangkan trauma psikis dalam psikologi diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa
dilingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya
untuk bertahan, mengatasi atau menghindar.21 Everly &Lating
menyatakan bahwa trauma adalah peristiwa-peristiwa di
luar kebiasaan pengalaman manusia pada umumnya, yang
terlihat sangat nyata dan jelas dan menyedihkan, sehingga
menimbulkan reaksi ketakutan yang hebat, ketidak berdayaan,
seram dan lain-lain. Ketegangan trauma biasanya seperti
ancaman intergritas fisik yang dirasa seseorang dari seseorang
yang sangat dekat. Pasca peristiwa traumatik, kejutan-kejutan
yang keras akan menyebabkan terjadinya tekanan traumatik,
dan mekanisme tekanan ini akan menguasai individu sehingga
merasakan sesuatu tanpa pengharapan.22
Menurut MSF- Holland mengartikan trauma adalah
suatu peristiwa yang bersifat mengejutkan dan tidak disangka,
situasi yang tidak biasa (diluar keseharian), menimbulkan rasa tidak berdaya, mengancam kehidupan, baik secara
fisik mahupun emosional.23 Sedangkan peristiwa traumatis
menurut Vikram adalah suatu peristiwa yang menyebabkan
ketakutan dalam kehidupan seseorang dan menimbulkan
stress yang negatif.24 Yule memaknai peristiwa traumatik
sebagai “.... an event that is outside the range of usual human
experience and that would be markedly distressing to almost
anyone, ...”. Selanjutnya Yule dan Hughes menjelaskan bahwa
peristiwa yang dapat mencetuskan terjadinya trauma adalah
ancaman serius terhadap kehidupan seseorang atau ancaman
terhadap fisiknya. Ancaman tersebut terjadi secara alamiah
atau karena ulah manusia seperti kecelakaan kapal terbang,
tabrakan kereta api, kerusuhan dalam suatu pertandingan olah
raga, atau peristiwa yang mengancam keselamatan anak-anak,
isteri, suami, maupun kerabat dekat, pemusnahan secara tibatiba terhadap rumah, atau melihat orang lain yang menjadi
korban, atau bisa juga melihat terbunuhnya seseorang akibat
suatu peristiwa, atau kekerasan. 25
Rohmad Sarman menyatakan bahwa trauma berasal
dari kata Greek yaitu “tramatos” yang berarti luka dari sumber
luar. Tetapi kata trauma dapat juga luka dari sumber dalaman
yaitu luka emosi, rohani dan fisik yang disebabkan oleh
keadaan yang mengancam diri seseorang. Gejala akibat trauma
sangat beragam dan mengelirukan. Trauma menimbulkan
kepedihan dan penderitaan yang dapat berpanjangan. Jika
orang mengalami trauma karena faktor luaran, maka analisis
dan diagnosis proses penyembuhannya relatif lebih mudahdan cepat. Seperti contoh luka bakar, kepedihan dan sakitnya
relatif mudah dirawat. Sekalipun luka itu yang kemudian
akan berdampak pada dalaman diri orang yang terbakar, ada
perasaan ketakutan yang menghantui ketika melihat api. Untuk
lebih jelas lihat beberapa kasus di bawah ini:
Pertama, Rizal adalah seorang pemuda berusia 22
tahun yang tinggal di suatu daerah konflik perkauman. Dalam
suatu pertengkaran 5 tahun yang lalu, Rizal melihat ayah
dan kakak lelaki tertuanya dibunuh dengan cara dipenggal
kepalanya, kemudian dipertontonkan di pasar. Pada waktu
peristiwa tersebut terjadi ia bersembunyi ketika rumah mereka
diserbu. Sejak itu, Rizal selalu dihantui mimpi buruk tentang
kematian ayah dan kakaknya, setiap kali melewati pasar
tersebut, ia selalu merasa ketakutan dan berkeringat dingin
mengingati ditempat itulah dulu kepala ayah dan kakaknya
dipertontonkan. Akibatnya Rizal selalu mengelak pasar dan
berbagai pusat keramaian lain yang dapat mengingatkannya
kembali akan peristiwa tersebut.
Kedua, Vienna adalah seorang wanita berusia 25 tahun.
Datang kepada psikolog karena ingin membunuh diri. Saat
berusia 10 tahun, ia mengalami peristiwa perkosaan yang
dilakukan oleh kakak kandungnya. Itu adalah rahasia yang
disimpannya sendiri selama bertahun-tahun. Setelah peristiwa
itu terjadi, ia melarikan diri dari rumahnya dan tinggal
dengan neneknya, dengan harapan dapat melupakan peristiwa
tersebut. Akan tetapi semua itu tidak dapat ia lupakan, Vienna
tidak pernah berhenti merasa kotor dan berdosa, sehingga
perlu dibersihkan. Karena itu, setiap harinya ia mandi berkalikali dan menutup diri dari pergaulan dengan dunia luar. Setiap
kali ada laki-laki yang datang bertamu kerumah neneknya
(keluarga dan kerabat yang lain) akan membuatnya histeris dan menangis semalaman.
Ketiga, pada tahun 2004, Doddy mengalami luka parah
akibat letusan bom yang menyebabkan dia kehilangan mata
kirinya dan perlu menggunakan bola mata palsu. Sejak saat
itu, ianya selalu merasa ketakutan setiap kali mendengar suara
keras dan mudah merasa terkejut. Hal-hal kecil yang tidak
disukainya dapat membuatnya marah dengan merentak rentak.
Ia tidak dapat tidur pada malam hari karena sering bermimpi
buruk. Bila sedang sendiri, ia sering merasa mengalami kilas
balik peristiwa letusan yang dialaminya tersebut. Pada suatu
hari, ia ketakutan dan histeris, karena mencium bau masakan
isterinya yang hangus. Ia merasa teringat kembali dengan
tubuh-tubuh korban bom yang hangus terbakar, akhirnya ia
mendatangi psikolog. Ketiga kasus tersebut, merupakan contoh
trauma yang dialami korban, setelah peristiwa traumatik itu
terjadi, dalam waktu yang lama mereka masih mengingat dan
merasakan peristiwa tersebut se akan-akan kejadian itu baru
saja mereka alami dalam kehidupannya. Bila hal ini terjadi
berkepanjangan, maka secara fisik dan mental akan merubah
perilaku seseorang, oleh karena itu harus ada penanganan yang
serius dan berterusan dalam rangka pemulihan trauma.
Brewin et al. menyatakan faktor-faktor yang berisiko
untuk mengalami PTSD adalah hidup dalam peristiwa trauma
dan bahaya, mempunyai sejarah sakit mental, mendapat
cedera, melihat orang cedera atau terbunuh, perasaan seram,
tidak berdaya, atau ketakutan yang melampau, tidak mendapat
dukungan sosial setelah peristiwa tersebut, berurusan
dengan tekanan tambahan setelah peristiwa itu, seperti
kesakitan kehilangan orang yang dikasihi, dan kecederaan,
atau kehilangan kerja atau rumah.26 Gurvits, et al. menyatakan
faktor alam sekitar, seperti trauma kanak-kanak, kecederaan
kepala, atau sejarah penyakit mental, dapat meningkatkan
lagi risiko pada seseorang yang mempengaruhi pertumbuhan
otak awal.27 Sementara itu, Charney menyatakan faktor yang
dapat mengurangkan resiko PTSD adalah: Mencari dukungan
daripada orang lain, seperti rekan-rekan dan keluarga, mencari
group yang mendukung setelah peristiwa traumatik, perasaan
yang baik mengenai tindakan sendiri dalam menghadapi
bahaya, mempunyai strategi menghadapi keadaan yang
buruk, atau mendapatkan pembelajaran dari padanya, karena
sebagian mampu untuk bertindak dan merespon setiap kasus
walaupun perasaan takut.28 Everly berpendapat bahawa untuk
benar-benar memahami sifat trauma psikologi dan PTSD,
seseorang perlu mengkaji wujud dua faktor pilihan psikologi
dan fenomena biologi.29
Flannery menyatakan tiga fungsi domain manusia
yang menyumbang kepada kesehatan baik fisik dan mental:
penguasaan yang baik, menyanyangi orang lain, menentukan
tujuan hidup yang bermakna dan penguasaan lingkungan yang
baik dengan merujuk kepada keupayaan untuk membentuk
dan memenuhi kebutuhan seseorang.30 Beberapa pakar
menyatakan bahwa trauma psikologis mengacu pada dampak
dari stressor ekstrem dan insiden kritis pada fungsi biologis
dan psikologis individu. Proses dan akibatnya menjadi subyek
yang memiliki pengawasan ekstensif selama lima tahun
terakhir. (American Psychiatric Association, 1994; Beall, 1997;
Daniel, 1998; Dean, 1997; Everly & Lating, 1995; Flannery,
1994, 1998; Pynoos, 1994; Roth & Friedman, 1998; Sommer &
Williams, 1994; Tomb, 1994b; Vander Kolk et al, 1996; Wilson
& Raphael, 1993; Yehuda, 1998).
Spencer Eth, seorang psikiater anak yang mengambil
pakar PTSD anak, (dalam Goleman) menyatakan bahwa,
trauma itu adalah masuknya ingatan tentang keganasan yang
menjadi focus utama, berupa pukulan, tusukan sebilah pisau,
tembakan senjata. Ingatan merupakan pengalaman persepsi
yang hebat terhadap penampakan. Sehingga korban yang
kadang diam, tiba-tiba histeria bila mendengar bunyi, atau bau
mesiu, jeritan, muncratnya darah, mahupun terdengar sirene
polisi. Selain itu juga, gangguan psikologi akibat kejadian
traumatik, pada dasarnya timbul karena terlalu mudahnya
amigdala tergugah (stelan amigdala yang terlalu rendah).31
Chaplin menjelaskan bahwa amigdala merupakan
suatu zat abu-abu yang terdapat dalam otak besar, fungsinya
berasosiasi dengan pengawal terhadap tingkah laku agresif.32
Selanjutnya Goleman menyebutkan bahwa penderita trauma
mengalami perubahan litar limbic yang terpusat pada amigdala,
mempunyai lokus seruleus yang di dalamnya terdapat
katekolamin yang mengandungi dua jenis bahan kimia yaitu:
adrenalin dan noradrenalina. Dua zat kimia ini berfungsi sebagai
mobilisasi tubuh untuk menghadapi keadaan kecemasan
(bertempur atau lari). Jadi pada pesakit trauma, sistem
pada amigdala sangat aktif sehingga membuat katekolamin
melepaskan bahan kimia otak dengan dosis yang berlebihan
untuk memberi respons situasi-situasi yang terkadang tidak
kecemasan atau tidak mengancam.33
Dalam NN Fisiologi Kodokteran yang dikutip Jarnawi
menyatakan bahwa apabila amigdala di hapuskan maka
manusia akan fasif atau terlalu berani. Percobaan ini pernah
dilakukan pada seekor monyet. Pada dasarnya monyet sangat
takut pada ular, akan tetapi ketika amigdalanya di rusak,
monyet tidak takut lagi pada ular, malah menghampiri dan
memegang ular tersebut, bahkan ia memakannya.34 Jadi dapat
dikatakan bahwa amigdala juga berfungsi sebagai pemberi
isyarat rasa takut. Atau amigdala berperanan sebagai pemberi
isyarat tanda bahaya yang membuat manusia mengeluarkan
respon pertahanan dirinya melalui mengelak atau melawan.
Apabila amigdala terlalu cepat tergugah, maka manusia menjadi
terlalu waspada, penakut atau sangat agresif. Sebaliknya
apabila amigdala terlalu lambat memberikan isyarat, manusia
akan tidak waspada, atau terlalu berani, yang pada akhirnya
membawa kasus buruk yang dapat mencelakakannya.
Individu dalam keadaan normal mempunyai reaksi
amigdala yang stabil (tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu
lambat), berbeda dengan halnya individu yang telah mengalami
trauma akibat peristiwa yang sangat mengguncang dan
menyakitkan, maka respon amigdala terlalu cepat tergugah dan
memberikan isyarat tanda bahaya berlebihan. Sehingga dengan kasus yang kecil saja akan dipersepsikan sebagai sesuatu yang
mengancam. Sebagai contoh kasus seorang tentera Amerika
veteran perang Vitnam, yang dikisahkan bahwa walaupun
perang telah lama berakhir, setiap saat bayangan pahit yang
terjadi dalam peperangan terus menghantuinya, maka ia sering
mengalami “flash back” oleh suatu perisitiwa yang mirip pada
waktu perang.
Contohnya ketika ada seseorang yang membanting
pintu yang sedikit keras, langsung saja ia merunduk dengan
penuh ketakutan, dan tubuhnya langsung mengeluarkan
keringat dingin. Disini amigdalanya terlalu cepat tergugah oleh
suatu momen yang mirip, sehingga suara dentuman pintu ia
mentafsirkan sebagai suara letusan bom pada saat perang,
sehingga ia memberikan respon menunduk sambil ketakutan
dan keluar keringat dingin, karena ia merasakan seolaholah letusan bom itu mengenainya. Kasus ini sangat berbeda
dengan individu yang normal, ia akan memberi respon suara
bantingan keras pintu dengan persepsi yang berbeda, yaitu ia
akan bertanya suara apa itu, kemudian suara itu akan dicerna
melalui fikiran dan akan meresponnya dengan melihat untuk
memberi jawapan. Jadi bila di amati respon seseorang dalam
menanggapi sesuatu peristiwa atau kejadian terlebih dahulu
melalui beberapa tahapan proses.
Sredling & Scott menyatakan ada lima ladders (tahapan)
proses yang terjadi pada individu yang normal, yaitu: bermula
dari suatu peristiwa yang ditangkap oleh pancaindera,
kemudian masuk ke thalamus (saraf mesej) yang menghantar
informasi secara bersamaan ke amygdala dan hippocampus,
yaitu: bahagian Cortex otak yang bertanggung jawab dalam
penempatan peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan memberi
jarak serta perbandingan mengenai peristiwa yang disimpan.
Individu yang mengalami gangguan stress pasca trauma
akan menunjukkan penurunan pada polume hippocampal
yang terdapat dalam hippocampus. Fungsinya akan melemah
meskipun tidak kekal. Kemudian hippocampus memberikan
penafsiran terhadap suatu peristiwa dan memberikan
informasi yang betul pada amygdala, lalu memberikan respons
perlu tidaknya isyarat bahaya dihidupkan, akhirnya terjadilah
respons emosional atau perilaku untuk menangapi suatu
peristiwa atau kejadian tertentu.35 Untuk lebih jelas lihat skema
di bawah ini:
Sedangkan pada individu yang normal skema tahapan
proses sampai terjadinya reaksi adalah sebagai berikut:
Suatu kejadian yang tertangkap melalui indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan sentuhan
yang masuk ke dalam thalamus, yang berfungsi sebagai
pemancar lalu dengan pantas dan bersamaan menghantarnya
ke amygdala dan hippocampus. Di dalam hippocampus informasi
diproses secara perlahan, dan kemudian membuat tafsiran
yang benar tentang apa yang terjadi, lalu di hantar ke amygdala,
dan kemudian direspon sesuai dengan informasi yang dihantar
oleh hippocampus. Bila informasi tersebut mengandungi
unsur-unsur berbahaya, maka amygdala akan mengeluarkan
“penggerak tanda bahaya” berupa adrenalin dan noradrenalina,
dan jika informasi itu tidak berbahaya, maka amygdala secara
automatik memadamkan penggerak tanda bahaya dan akhirnya
terjadilah respons berupa menghindar atau melawan.
Pada individu yang mengalami trauma, fungsi
hippocampus telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat
memproses informasi secara tepat, maka informasi yang
diberikan kepada amygdala juga akan salah, dan amygdala
juga akan merespon secara salah dengan menghidupkan
penggerak bahaya yang berupa adrenalin dan noradrenalin
dalam dosis yang berlebihan, untuk menyahut satu perkara
yang tidak begitu mengancam, karena itu seseorang yang
sudah mengalami peristiwa traumatik, ia akan bertindak balas
dengan tidak wajar, dalam menyikapi suatu kejadian, seperti
yang terjadi pada korban kekerasan di Bosnia, Nazi German,
veteran perang Vitnam, dan lain-lain.
2.1.2.1. Jenis-Jenis Trauma
Vikram menyatakan ada beberapa jenis trauma yang
dikenali, yaitu: (1) trauma personal (korban perkosaan,