kematian orang tercinta, korban kejahatan, dll) Perang dan
keganasan, (2) trauma mayor (bencana alam, kebakaran, dll),
trauma mayor umumnya menyebabkan trauma pada sejumlah
besar orang pada waktu yang sama. Cavanagh mengelompokkan
trauma berdasarkan kejadian traumatik yaitu: trauma
situasional, perkembangan, intrapsikis dan eksistensional:
(1) Trauma situasional adalah trauma yang disebabkan oleh
situasi seperti bencana alam, perang, kemalangan kenderaan,
kebakaran, rompakan, perkosaan, perceraian, kehilangan
pekerjaan, ditinggal mati oleh orang yang dicintai, gagal
dalam perniagaan, tidak naik kelas bagi beberapa pelajar, dan
sebagainya; (2) Trauma perkembangan adalah trauma dan stres
yang terjadi pada setiap tahap pekembangan, seperti penolakan
dari teman sebaya, kelahiran yang tidak diingini, peristiwa
yang berhungan dengan kencan, bekeluarga, dan sebagainya;
(3) Trauma intrapsikis adalah trauma yang disebabkan kejadian
dalaman seseorang yang memunculkan perasaan cemas yang
sangat kuat seperti perasaan homo seksual, benci kepada
orang yang seharusnya di cintai, dan sebagainya; (4) Trauma
eksistensial yaitu trauma yang diakibatkan karena kurang
berhasil dalam hidup.
Selain daripada itu pengelompokan lain di lakukan
mengikut pada jenis kejadiannya seperti kekerasan baik
seksual maupun perkataan, bencana alam, serangan binatang
maupun manusia, konflik atau peperangan. Ada juga yang
mengelompokkan mengikut rentang waktu peristiwa yang di
alami seseorang seperti one-time trauma yaitu trauma yang
disebabkan satu kali peristiwa yang menyakitkan seperti
bencana alam, perkosaan, perampokan, kecelakaan lalu lintas,
dan sebagainya. Prolong trauma, di akibatkan oleh tebusan,
penculikan, pemenjaraan atau penyekapan. Penggolongan lain
juga ada berdasarkan pada munculnya kejala-gejala gangguan
stres pasca trauma, yaitu: acute PTSD bila gejala muncul di
bawah tiga bulan setelah terjadi peristiwa troumatik, cronic
PTSD bila gejala muncul setelah tiga bulan dari waktu terjadi
peritiwa traumatik, dan delayed onset PTSD bila gejala muncul
setelah enam bulan dari waktu terjadi trauma.37
Chaplin menyatakan beberapa istilah yang berkaitan
dengan trauma yaitu: (1) trauma, plural traumata adalah satu
luka baik yang bersifat fisik ataupun psikologis; (2) traumatic
dilirium (delirium traumatik) adalah satu keadaan delirium
yang disebakan luka di otak; (3) traumatic neurosis (neurosa
traumatik) adalah satu neurosa disebabkan oleh suatu
pengalaman yang luar biasa menyakitkan hati (4) traumatic
psychosis (psikosa traumatik) adalah satu keadaan psikotis yang
ditimbulkan oleh luka di otak. Orang-orang yang hidup dengan
pengalaman traumatik akan sering mengalami perasaan flash
back daripada peristiwa yang terjadi
berbahaya apabila di derita oleh individu, kelompok maupun
bangsa.Orang-orang yang mengalami keadaan ini akan
mempunyai risiko yang sangat tinggi kepada kesehatan fisik
dan mental, serta pada perilaku dan daya kreativitasnya,
dan bila tidak mendapatkan bantuan dan penanganan yang
profesional, dan berkelanjutan,maka penderita akan terus
mengalami trauma berkepanjangan. Bila trauma ini diderita
oleh anak-anak, maka ia akan sulit beradaptasi ketika remaja.
Dan bila di derita oleh remaja, maka ia akan sulit memasuki
dunia kerja yang penuh tantangan. Dan bila trauma ini di derita
oleh orang dewasa, maka ia akan sulit berinteraksi dengan
kelompok sosialnya, dan bila trauma ini di alami oleh manula,
maka ia akan sulit menata hidup di hari tuanya.
2.1.2.2. Symptom Trauma
Everly et al. menyatakan bahwa ada beberapa gejala yang
umum dari trauma psikologis dan PTSD.39 yaitu: Pertama,
Intrusive Symptoms (gejala yang mengganggu) antara lain:
(a) dapat mengalami kembali peristiwa dalam gambaran,
pikiran, kenangan, lamunan dan mimpi buruk, (b) bertindak
dan merasa seolah –olah peristiwa tersebut datang kembali,
(c)secara simbolis mengingat kembali penderitaan yang di
hadapi. Kedua, Avoidance Symptoms (gejala penghindaran)
antara lain: (a) menghindari tempat dan pikiran simbolis dari
trauma, (b) berpanjangan dalam mengingat suatu peristiwa, (c)
kehilangan minat dalam aktivitas yang penting, (d) membatasi
emosi, (e) merasa tidak ada waktu depan. Ketiga, Arousal
Symptoms antara lain: (a) hyper vigilance, (b) respon kaget
berlebihan, (c) gangguan tidur, (d) kesulitan berkonsentrasi,
dan (e) Cepat marah atau ledakan marah.
Wiliams & Poijula menyatakan beberapa gejala
PTSD yaitu: Jika reaksi terhadap peristiwa trauma tetap ada
berterusan beberapa waktu atau terjadi setidaknya 6 bulan
setelah individu mengalami peristiwa, artinya ia mengalami
gangguan PTSD.40 Selanjutnya gejala-gejala lain ia telah
mengadap tasikan dengan DSM-IV yang dikeluarkan APA,41
adalah:
Pertama individu dikatakan mengalami peristiwa
trauma bila dari dua hal berikut terjadi, ia merasakan, menjadi
saksi, dikonfrontasi dengan peristiwa, terlibat ancaman
kematian atau kecelakaan serius, atau ancaman terhadap
fisik seseorang atau orang lain. Responnya adalah ketakutan,
perasaan tidak tertolong, kengerian atau persepsi dari peristiwa
tersebut membuat seseorang dalam emosi.
Kedua bila Individu mengalami kembali peristiwa
tersebut secara berulang sehingga terbayang kembali koleksi
kejadian yang menyedihkan, tergambar dalam pikiran dan
persepsi. Sering mengalami mimpi yang berulang dan membuat
stres. Bertingkah seolah-olah peristiwa trauma datang kembali,
dan hidup melalui halusinasi atau flashback.
Ketiga individu terus-terusan menolak benda/peristiwa
yang berhubungan dengan peristiwa trauma, sehingga berusaha
sungguh-sungguh untuk menghindari pemikiran, perasaan
dan percakapan yang berhubungan dengan trauma, atau juga
menghindari tempat, aktivitas yang dapat mengingatkan
kembali pada trauma. Selain itu juga individu tidak dapat
mengingat kembali aspek penting dari dirinya, ketertarikan,
partisipasi dan aktiviti menjadi berkurang, dan merasa terlepas
dan terasing dari orang lain.
Yahuda menyatakan karakteristik untuk menentukan
telah mengalami peristiwa traumatik apabila dapat
mencetuskan ketakutan, tidak berdaya, seram yang dapat
mengakibatkan respon kepada ancaman kecederaan dan
kematian. Orang-orang yang dihadapkankepada peristiwaperistiwa tersebut berisiko tinggi untuk PTSD, terutamanya
kemurungan, gangguan panik,gangguan keresahan, dan
penderaan berbanding dengan mereka yang tidak mengalami
peristiwa traumatik. Selain itu juga akan mengalami gejala
somatik dan penyakit fisik, terutamanya hipertensi,asma, dan
sindrom kasakitan kronik.42 Dalam Dianostic and Statistical
Manual (DSM IV) dirumuskan oleh APA, (dalam Stradling
& Scot) yaitu, ada sejumlah kriteria yang dapat dilihat pada
penderita gangguan stress pasca trauma dalam jadual 2.1
berikut ini:
Carter & Byrne (tt) menyatakan bahawa PTSD
adalah suatu gangguan yang mengikuti trauma berat yang
dialami oleh sesorang yang dalam usahanya untuk pulih,
mengembangkan gejala-gejala re-experiencing (mengalami
kembali), Avoidance(menghindar) dan arousal (dengan terkejut).
Walaupun gejala-gejala tersebut merupakan sebahagian
daripada proses pemulihan, namun bila berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, dapat menjadi maladaptif bagi
seseorang yang mengalaminya dan lingkungan sekitarnya.43
NIMH menyatakan PTSD adalah penyakit yang rel. Orang dapat
mendapatkan PTSD setelah hidup melaluisatu pengalaman
yang mengganggu atau menakutkan.44
Seseorang dapat mendapatkan PTSD setelah ia
mengalami peristiwa seperti: Diperkosa atau didera secara
seksual; Hit atau dirusakkan oleh seseorang dalam keluarga anda
atau seorang korban penganiayaan ganas; Dalam kecelakaan
kapal terbang atau kereta; Dalam ribut taufan, puting beliung,
atau kebakaran; Dalam peperangan; Dalam peristiwa di mana
anda fikir anda mungkin akan dibunuh, atau Setelah anda telah
melihat mana-mana peristiwa-peristiwa. Jika anda mempunyai
PTSD, anda sering mempunyai mimpi buruk atau pemikiran
menakutkan tentang pengalaman yang di lalui. Anda coba
untuk menjauhkan diri daripada apa-apa yang mengingatkan
anda mengenai pengalaman anda dan mungkin merasa marah
dan tidak mempercayai atau mengambil berat tentang orang
lain. Anda sentiasa dapat berada dimana saja untuk untuk
mendapatkan bahaya. Anda dapat merasa sangat kecewa
apabila sesuatu yang terjadi tiba-tiba atau tanpa peringatan.
2.1.3 Kasus Trauma Yang Sering Muncul Pada Korban
Trauma yang berpanjangan dialami seseorang dapat
mengakibatkan beberapa reaksi pada penderitanya, iatu: (1)
PTSR (Post-Traumatic Stress Reaction) atau Reaksi Stres Pasca
Peristiwa Traumatik), (2) PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)
Secara umum stres disebabkan oleh beberapa perkara.
Untuk anak-anak dan remaja mengikut buku Seri Latihan
Sokongan Psikososial tentang Manual Teknisi Intervensi Krisis
yang di Keluarkan PMI menyatakan secara umum stress itu
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) kematian orang
yang disayangi, (2) luka fisik atau cacat, (3) berfikir akan terjadi
(terulang kembali) suatu bencana atau krisis, (4) orang yang
disayangi terluka atau cacat fisik, (5) kehilangan mainan / benda
kasusukaan, (6) perkelahian orang tua, (7) kemiskinan, (8)
ujian, (9) hukuman fisik dari guru, dan (10) jauh dari rumah.45
Selain itu juga mengenal pasti reaksi stress dan intervensi
yang dapat dilakukan berdasarkan tingkat usia terhadapfisik,
mental, emosional, dan perilaku seseorang. Pertama, reaksi
pada fisik, adalah gangguan yang dialami dalam fungsi tubuh
seperti: mati rasa (lumpuh, tidak dapat merasakan sensasi
sakit), sukar tidur, gangguan pernafasan, jantung berdebar,
kencing di tempat tidur. Kedua, Reaksi pada mental adalah
gangguan yang terjadi lebih pada proses berfikir, di mana
sering terjadi, mimpi berulang tentang kejadian traumatik yang
dialami, selalu teringat akan kejadian tersebut, tidak mengingat
aspek penting yang berkaitan dengan kejadian, kehilangan
minat terhadap aktiviti seharian, tidak percaya diri, merasa
tidak berdaya dan putus asa terhadap waktu hadapan.
Ketiga, reaksi pada emosional, dalam aspek ini, reaksi
yang terjadi adalah gangguan pada alam perasaan seperti:
cemas, takut, gugup, marah dan merasa bersalah, merasakan
kembali ketakutan setelah beberapa waktu berlalu, dengan
teringat oleh hal-hal kecil sehingga mengalami stress negatif,
kesepian bahkan ketika sedang bersama-sama orang lain,
kehilangan emosi, terutama emosi positif seperti cinta dan
bahagia. Keempat, Reaksi pada perilaku, yang terjadi adalah
mengelakkan situasi yang dapat mengingatkan pada kejadian,
dan dapat menghidupkan lagi peristiwa traumatik tersebut,
dengan marah dan agresif, perubahan perilaku yang draktis
dan kadang-kadang bertahan lama setelah kejadian.
Sedangkan untuk reaksi umum pada waktu pasca trauma
sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti: Jenis peristiwa
traumatik yang dialami, usia seseorang pada saat mengalami
peristiwa traumatik, kepribadian seseorang, darajat ancaman
bahaya terhadap kehidupan seseorang mahupun orang lain
disekelilingnya, yang berkaitan erat dengannya dukungan
yang tersedia dan didapati oleh seseorang. Terkait dengan ini,
ada dua tahapan usia yang paling rentan terjadi trauma, yaitu
(1) usia kanak-kanak berisiko tinggi terhadap kemungkinan
munculnya gejala trauma, (2) pada usia remaja, kerentanan
yang ditimbulkan jauh lebih tinggi, berbanding dengan kanakkanak yang lebih muda. Karena pada waktu ini adalah waktu
peralihan yang dialami dimana ketika anak mulai melepaskan
diri dari orang tuanya dan mula ingin berdikari.
Wiliams & Poijula menyatakan reaksi trauma yaitu:
seseorang dapat merasa shok, merasa di teror atau merasa
nyata atau tidak nyata; Merasa mati rasa, kaku seperti seolaholah tubuh merasa tertinggal; Tidak dapat mengingat dengan
detail perisitiwa yang telah terjadi; Jika selamat dari peristiwa
yang berpanjangan reaksinya akan berbeda: selalu merasa
seolah-olah hidup dizona perang sepanjang hidupnya, selalu
merasa diawasi, selalu siap diserang kapanpun, tidak mengenal
diri sendiri. 46
Tedeschi, Park & Calhoun menyatakan bahwa faktorfaktor yang membuat reaksi atau respons seseorang terhadap
peristiwa trauma, yaitu: (1) umur (umur yang lebih muda
bereaksi lebih signifikan berbanding yang tua), (2) jumlah waktu
persiapan yang dia punya sebelum peristiwa terjadi seperti
terjadi badai beberapa hari sudah ada peringatan sedangkan
gempa bumi tidak, (3) jumlah kerusakan yang terjadi pada
seseorang (secara fisik, emosional, dan spritual) atau barangbarang, (4) jumlah kematian dan kerusakan yang menyebabkan
anda bertanggung jawab ke atasnya atau tidak dapat mencegah
peristiwa itu terjadi.47
2.1.3.2. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Penggunaan istilah PTSD ini dapat digolongkan dari
gejala: (1) sifat yang terlalu berlebihan dan mudah terkejut, (2)
penghindaran dan menarik diri, (3) pengalaman berulang, atau
memori yang mengganggu menyangkut peristiwa trauma atau
yang berhubungan dengan trauma, (4) jangka waktu paling
sedikit satu bulan, dan (5) menyebabkan rasa bersalah yang
signifikan. Harvey& Bryant menyatakan dalam bulan pertama
setelah pengalaman traumatik, orang dapat memenuhi kriteria
diagnostik gangguan tekanan trauma akut. walau puntekanan
gangguan akut tidak sentiasa diikuti oleh PTSD, Ia dikaitkan
dengan risiko peningkatan PTSD.48
National Institute of Mental Health (tt) menyatakan PTSD
adalah gangguan kebimbangan setelah orang-orang melihat
atau hidup dalam keadan yang membahaya.49 Lise (2007)
menyatakan PTSD adalah gangguan tekanan setelah trauma
yang membangun gejala dan ciri-ciri yang bertahan selama
lebih dari 1 bulan, beserta kasus ukaran berfungsi setelah
pendedahan kepada pengalaman yang mengancam nyawa.50
Atkinson et al. menyatakan PTSD disebabkan oleh trauma fisik
atau trauma psikologi atau trauma karena keduanya, karena
manusia mengalami peritiwa seperti perkosaan, perang atau
serangan pengganas, atau bencana alam. Pada kanak-kanak
kemungkinan mengalami trauma di karenakan menyaksikan
penderaan fisik, emosi dan seksual atau menyaksikan
peristiwa yang dianggap sebagai mengancam nyawa seperti
serangan fisik, serangan seksual, kemalangan, kecanduan
narkoba, penyakit, komplikasi perobatan, atau pekerjaan
dalam pekerjaan yang dihadapkan kepada peperangan (seperti
militer) atau bencana.51 Holland menyatakan bahawa seseorang
dikatakan mengalami PTSD bila ia masih mengalami reaksi
pasca peristiwa traumatis setelah lebih dari 6 minggu dengan
intensitas dan jangka waktu yang lama, serta menyebabkan
adanya gangguan dalam kehidupannya sehari-hari.52
Tinjauan terakhir dari beberapa pakar yaitu: Everly &
Lating, 1995; Southwick, Brenner, Krystal, & Charney, 1994;
Van der Kolk, 1996; Yehuda, 1998 mereka telah menetapkan
bahwa fisiologi trauma dan PTSD adalah suatu respon tubuh
yang terpisah yang berbeda dari bagian wilayah depresi berat
dan fisiologis tubuh secara umum terhadap stresor respon
kehidupan rutin. Adrenalin dilepaskan dari kelenjar adrenal
dan menjadi epinefrin dalam tubuh. Neurotransmiter ini
memobilisasi sistem respon darurat tubuh yang meliputi detak
jantung diperkuat, respirasi lebih baik, pelepasan gula untuk
energi lebih besar ke dalam darah. Ketika endorfin secara bebas
beredar pada peristiwa noncritical, orang merasa tenang dan
santai. Namun selama insiden kritis, muncul endorfin untuk
bertindak sebagai analgesik sehingga perhatian orang tersebut
tidak terganggu oleh rasa sakit dan menderita maka berupaya
untuk tetap hidup.
Kedua kimia otak terbaik norepinefrin dan endorfin
tampaknya terlibat dalam gejala yang mengganggu
pengembangan, dan dapat mewakili untuk mengingat peristiwa
traumatis dan menanggapi bagaimana mereka harus ditemui
lagi. Akhirnya, kehadiran norepinefrin, atau neurotransmiter
lain di otak, seperti glutamat, berulang kali atau untuk periode
waktu berpanjangan dapat mengakibatkan perubahan pada
sistem saraf, terutama dalam sistem limbik (Everly & Lating).53
Dalam bahaya orang merasa takut itu adalah reaksi
alamiah, namun keraguan akan terpecah dan membuat
perubahan dalam tubuh mempertahankan atau mengelak respon
terhadap bahaya adalah reaksi sehat yang bertujuan untuk
melindungi seseorang daripada bahaya. Tetapi didalam PTSD
respon ini diubah atau dirusak. Orang-orang yang menpunyai
PTSD mungkin merasa tertekan atau takut walaupun mereka
tidak lagi dalam keadaan bahaya. Seperti contoh gangguan
tekanan setelah trauma (PTSD) telah dilaporkan secara meluas
pada kanak-kanak dan remaja yang dihadapkan kepada perang
di Balkan (Ajdukovic, 1998; Goldstein, Wampler,& Bijaksana,
1997; Smith, Perrin, Yule, Hacam, & Stuvland,2002).54
Pertanyaanya adalah siapakah yang mendapat PTSD?.
NIMH (tt) menyatakan siapa saja yang mendapatkan PTSD
pada sebarang usia. Ini termasuk veteran perang selamat
dari serangan fisik dan seksual, penderaan, kemalangan,
bencana, dan banyak lain-lain peristiwa yang serius. Tidak
semua orang dengan PTSD telah melalui peristiwa berbahaya.
Setengah orang mendapatkan PTSD setelah rakan atau ahli
keluarga mengalami pengalaman berbahaya atau menganiaya
atau kematian orang yang tersayang secara tiba-tiba tidak
disangka, ini dapat menyebabkan PTSD.55 Sementara itu, Lise
menyatakan orang-orang yang beresiko terkena PTSD adalah:
(1) Orang yang mempunyai pengalaman tempur tentera atau
orang awam yang telah dirusak karena perang; (2) Orang yang
telah diperkosa, didera secara seksual, atau didera secara fisik;
(3) Orang yang telah terlibat dalam atau yang telah menyaksikan
peristiwa yang mengancam nyawa; (4) Orang-orang yang telah
terlibat dalam bencana alam, seperti puting beliung atau gempa
bumi.56
Kriteria diagnosis PTSD mengikut DSM-IV (Diagnostic
and Statistical Manual edisi-IV), (dalam Holland, 2001) ada
tiga kriteria yaitu: Exposure (pendedahan), Re-experiencing
(mengalami kembali), Persistent Avoidance (menghindar).
Pertama, Exposure (pendedahan) adalah mengalami sendiri
peristiwa traumatik, menyaksikan orang lain terluka parah
atau kematian, mengalami kehidupan yang terancam bahaya,
mengalami ketakutan terus-menerus sehingga mengalami
ketidakupayaan. Kedua, Re-experiencing (mengalami
kembali) adalah flashback, mimpi buruk, hal-hal kecil dengan
mencetuskan ingatan akan peristiwa traumatik yang dialami.
Ketiga, Persistent Avoidance (menghindar), adalah upaya
menghindar yang dilakukan oleh korban.57 Jarnawi menyatakan
PTSD adalah suatu gangguan emosional yang tidak wajar, yang
berbeda dengan gangguan lain seperti depresi dan gangguan
panic. PTSD tidak mudah untuk disimpulkan, apabila hanya
dari gejala-gejala yang ditimbulkan.58 NIMH (tt) merumuskan
tiga symptom orang yang mengalami PTSD yaitu:
Pertama, Re-experiencing symptoms yaitu: Imbasan
kasusan trauma berlebihan, termasuk gejala fisik seperti pompa
jantung atau berpeluh, mimpi buruk, pikiran menakutkan. Atau
mengalami kembali gejala-gejala yang dapat menyebabkan
masalah dalam rutinitas seseorang. Mereka dapat bermula dari
pemikiran sendiri dan perasaan orang. Perkataan, objek, atau
situasi yang mengingat kan kembali juga dapat mencetuskan
kembali PTSD;
Kedua, Avoidance symptoms yaitu: Tinggal jauh dari
tempat, peristiwa, atau objek yang dapat mengingatkan
kembali pengalaman tersebut, perasaan kebas, merasa bersalah
yang kuat, kemurungan, atau bimbang, kehilangan minat
dalam aktiviti-aktiviti yang menyenangkan pada waktu lalu,
menghadapi masalah yang mengingati peristiwa berbahaya.
Atau dapat dikatakan menghindar dari perkara dan gejala yang
dapat mencetuskan, mengingatkan seseorang pada peristiwa
traumatik. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan seseorang
untuk menukar rutinitas peribadi beliau. Sebagai contoh,
setelah kecelakaan kereta yang parah, seseorang yang biasanya
supir dapat menghindar menyupir;
Ketiga, Hyperarousal symptoms yaitu: Sebagian mudah
terperanjat, merasa tegang atau ”di pinggirkan, mempunyai
kasusukaran tidur, dan /atau mempunyai ledakan marah. Atau
dapat dikatakan gejala hyperarousal biasanya berketerusan,
dan bukannya dicetuskan oleh perkara-perkara yang
mengingatkannya pada salah satu peristiwa traumatik.
Mereka dapat membuat seseorang merasa tertekan
dan marah. Gejala-gejala ini dapat membuat ia sukar untuk
melakukan tugas-tugas sehari-hari, seperti tidur, makan,
atau tumpuan. Ia adalah alamiah untuk mempunyai beberapa
gejala-gejala ini setelah peristiwa berbahaya. Kadang-kadang
orang mempunyai gejala yang sangat serius yang hilang setelah
beberapa minggu. Ini dinamakan gangguan tekanan akut, atau
ASD. Apabila gejala lalu lebih daripada beberapa minggu dan
menjadi satu waktulah yang berterusan, mereka mungkin
PTSD. Setengah orang dengan PTSD tidak menunjukkan
sebarang tanda-tanda untuk beberapa minggu atau bulan.
Brewin et al, menyatakan faktor-faktor yang berisiko
untuk mengalami PTSD adalah hidup dalam peristiwa trauma
dan bahaya, mempunyai sejarah sakit mental, mendapat
cedera, melihat orang cedera atau terbunuh, perasaan seram,
tidak berdaya, atau ketakutan melampau, tidak mendapat
sokongan sosial setelah peristiwa tersebut, berurusan dengan
tekanan tambahan setelah peristiwa itu, seperti kasusakitan
kehilangan yang dikasihi, dan kecederaan, atau kehilangan
kerja atau rumah.59 Charney menyatakan faktor yang dapat
mengurangkan resiko PTSD adalah: mencari dukungan
dari orang lain, seperti rekan-rekan dan keluarga, mencari
dukungan group setelah peristiwa traumatik, perasaan yang
baik mengenai tindakan sendiri dalam menghadapi bahaya,
mempunyai strategi menghadapi, atau cara mendapatkan
melalui acara yang buruk dan belajar daripada ia, sebagian
mampu untuk bertindak dan merespon setiap kasus walaupun
perasaan takut.60
2.1.4 Dampak Konflik Pada Psikologis
Akibat konflik bersenjata yang berpanjangan terjadi
dalam suatu kelompok sosial atau sebuah Negara, akan
mengakibatkan ramai masyarakat mengalami trauma
psikologis, terutama anak dan remaja yang mengalami
langsung peristiwa traumatik. Salah seorang psikolog yang
sering menangani korban di Aceh, yaitu Nurjanah Nitura
menyatakan dalam suatu komprensi kasus bahawa, symptom
PTSD yang sering dialami korban pasca konflik bersenjata di
Aceh antara lain, dari segi emosional akan timbul perasaan
marah, benci, stres karana kedukaan yang dalam, kekecewaan
dan kegelisahan, ketakutan yang berlebihan, dan sebagainya.
2.1.4.1. Perasaan Marah
Aristoteles dalam Goleman menyatakan bahawa semua
orang dapat marah. Itu mudah sekali. Tapi marah pada orang
yang tepat, dengan tingkat kemarahan yang tepat, pada waktu
yang tepat, untuk alasan yang tepat dan dengan cara yang
benar, itu baru sulit.61 Marah dapat diartikan sebagai emosi
yang bersifat negatif yang biasanya dapat menyebabkan
pencerobohan, menyakiti dan bahkan dapat merosakkan.
Caplin menyatakan bahawa, marah, murka, berang, gusar,
kemarahan, keberangan, kegusaran (anger) diartikan sebagai
reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh berbagai situasi
merangsang, termasuk ancaman, pencerobohan lahiriah,
pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustasi
yang dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem saraf otonomik,
terutamanya oleh reaksi kekecewaan pada bahagian simpatetik,
dan secara implisit di sebabkan oleh reaksi serangan lahiriah,
baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal
atau non verbal.62
‘Utman Najati menyatakan bahwa, marah itu merupakan
emosi yang sifatnya fitrah dan akan muncul ketika salah satu
motivasi asas seseorang tidak dipenuhi.Jika ada sesuatu yang
menghalang manusia atau binatang untuk mendapatkan tujuan
tertentu yang ingin diraih demi mencapai kebutuhannya,
maka dia akan marah, berontak dan melawan penghalang
tersebut. Dan juga rela berkorban untuk mengalahkan dan
menyingkirkan penghalang yang ada di hadapannya, sehingga
dia berhasil memperolehi kebutuhannya. Kadar rasa marah
yang di timbulkan sangat bergantung kepada seberapa penting
kebutuhan tersebut harus dipenuhi.
Pengaruh Marah Terhadap Perilaku
Berbagai reaksi fisik akan timbul ketika seseorang
sedang marah, dan akan membuat banyak perubahan pada
organ fisiknya, ada yang bersifat dalaman seperti jantung
berdebar-debar, perut mengerut, aliran darah mendesak ke
dada sampai akhirnya membuat wajah menjadi merah padam.
Sedangkan yang bersifat luaran seperti perubahan roman
muka, perubahan suara, dan tegangnya otot pada bahagian
tubuh. Organ tubuh itu akan dipenuhi darah akibat jantung
mengepam darah kebahagian atas badan, khususnya bahagian
kepala, seperti telinga dan wajah memerah, ketika seseorang
marah, dan suhu tubuhnya menjadi panas. Untuk meredakan
panas yang paling cepat adalah dengan air, makanya Nabi
menyuruh ummatnya apabila sedang marah, sebaiknya dia
berwudhuk, karena dengan airlah baru bisa memadamkan bara
api.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Ingatlah,
sesungguhnya marah itu adalah bara api yang terdapat dalam hati
anak keturunan Adam, Tidakkah kalian melihat warna merah
kedua matanya dan urat-urat lehernya yang mengembang ketika
seseorang sedang marah” Hadis Riwayat At-Turmudzi dalam
‘Utsman Najati.
2.1.4.3 Pengaruh Marah Terhadap Otak
Ketika seseorang marah dan emosi, otak tidak akan
berfungsi secara baik, oleh karena itu seringkali seseorang akan
menyesali keputusan dan kenyataan apapun yang dikemukakan
ketika ia dalam keadaan marah, berdasarkan pertimbangan ini,
Rasulullah sentiasa menasihati sahabat beliau, untuk tidak
memutuskan sesuatu hukuman apapun bila dalam keadaan
marah. Selain itu Rasulullah juga bersabda, yang bermaksud
“tidak (dianggap sah) talaq dan memerdekakan hamba (yang
di ucapkan) ketika keadaan sangat marah” Hadis riwayat dari
‘Aisyah RA.
Karena sesungguhnya luapan emosi berlebihan
merupakan keadaan yang dapat menyebabkan otak tidak
dapat bekerja secara baik, dan juga tidak akan dapat berfikir
rasional, sehingga keputusan yang diberikan pada keadaan
emosi tidak stabil, sering sekali tidak tepat sasaran, merugikan
diri sendiri dan juga orang lain. Kasus marah juga akan
mempengaruhi emosi lain seperti timbul rasa benci. Rasa
benci merupakan lawan dari rasa cinta. Terkait dengan ini
manusia akan mencintai sesuatu bila itu bermanfaat baginya,
dan akan membenci bila sesuatu itu tidak menyenangkan
dan tidak menguntungkan dirinya. Yang perlu diingat adalah
segala sesuatu yang dapat membangkitkan rasa marah, juga
dapat membangkitkan rasa benci, karena rasa marah dan rasa
benci itu sama-sama ditimbulkan oleh suatu keinginan yang
terhalang, yang membuat orang akan melakukan apa saja
untuk menghilangkan penghalang tersebut.
Diane Tice dalam Daniel Golemanmenyatakan tentang
strategi yang sering dikemukakan orang untuk meredakan
amarah yang efektif adalah pergi menyendiri sembari
mendinginkan amarah tersebut, dan juga dapat dilakukan
dengan berolah raga. Untuk kaum lelaki sering pergi dengan
mengendarai mobil, akan tetapi sebenarnya yang lebih aman
adalah berjalan kaki, karena dapat membakar kalori sehingga
emosi marah dapat teralihkan. Selain itu juga dapat dilakukan
dengan relaksasi, dengan bersemedi dan menarik nafas dalamdalam dan mengeluarkannya secara berulang dan teratur, juga
mengendorkan otot-otot yang tegang.63 Amarah yang meluapluap akan membahayakan fisik karena dapat meninggikan
tekanan darah, mempercepat pacu jantung, dan bila kondisi
pembuluh darah tidak lancer atau tersumbat bahkan akan
berakibat pecahnya pembuluh darah dan berakibat kematian.
Oleh karena itu, hindari amarah dan rasa benci di dalam diri.
Di bawah ini dapat dilihat perbedaan rasa marah dengan rasa
benci
berwudhuk, (2) beristirahat, (3) melakukan katarsis, (4)
membuat perubahan perasaan dari waktu kewaktu.
Pertama berwudhuk, ini merupakan cara yang paling
mudah dan tidak memerlukan dana untuk mengendalikan
amarah yang timbul pada diri seseorang. Karena dengan
berwudhuk muka dan telinga yang merah, dan suhu badan yang
panas akibat jantung mengepam darah kebagian kepala ketika
marah, akan menjadi dingin dengan sentuhan air, apalagi dengan
mengucapkan ayat-ayat Allah SWT, hati menjadi tersentuh.
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud “Sesungguguhnya
rasa marah itu termasuk (godaan) syaitan. Dan sesungguhnya
Syaithan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu hanya
dapat dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah
seorang dari kamu marah, maka hendaklah dia berwudhuk”
(Hadis Riwayat Abu Daud,)
Kedua, berisitirahat. Pengendalian marah dengan cara
ini menurut ‘Uthman Najati sangat mudah dilakukan, karena
ketika orang sedang marah, biasanya menyakiti orang lain, baik
dengan tangan maupun dengan lisan, jadi media yang paling
ampuh untuk meredakannya adalah dengan mengistirahatkan
badan dengan cara beristirahat. Karena jika keadaan fisik sudah
kembali segar, maka amarahpun akan sirna. Menurut-Nya, Nabi
pernah memberi isyarat kepada sahabat beliau untuk duduk
bila marah sedang berdiri, dan kalau juga belum sirna, maka
berbaringlah. Karena ketika duduk dan berbaring bisanya otot
akan menjadi kendor dan dapat mengurangkan ketegangan
yang diakibatkan oleh rasa marah.
Ketiga, katarsis adalah satu cara meredakan amarah
dengan cara melampiaskan kemarahan ke objek lain yang tidak
merugikan diri sendiri atau orang lain. Contoh nya adalah: (1)
meletuskan kantong plastik keras-keras, (2) memukul-mukul
bantal, (3) membanting-banting bola basket, (4) menulis surat
untuk melampiaskan marah, tapi kemudian dibakar dan (5)
melepaskan tenaga marah ke sasaran lain, dan menghindarkan
kekerasan. Not : Akan tetapi disini harus hati-hati, karena pada
keadaan marah rasional tidak jalan, maka sering merugikan
diri sendiri dan juga orang lain, karena katarsis yang dilakukan
sering kepada barang-barang yang berdekatan. Artinya bila
sedang berada di dapur, maka bisa saja barang pecah belah yang
di banting dan sebagainya.
Keempat, perubahan perasaan dari waktu ke waktudapat
dilakukan adalah; (1) sadari bahawa perasaan dapat berubah
dari waktu ke waktu, (2) janganlah menetap pada satu perasaan
tertentu terus-menerus, karena akan terjebak dalam perasaan
itu, (3) ubah perasaan dari marah ke senang, dari sedih ke
gembira, dan (4) sadarilah bahwa perasaan negatif (marah
/ sedih) tidak akan hilang kalau difikirkan, tetapi perasaan
negatif dapat hilang bila diubah ke perasaan positif (senang /
gembira). Keempat cara-cara tersebut dapat dilakukan bila ada
keinginan yang besar untuk mengubah sesuatu dengan tujuan
positif, sehingga tidak larut dalam satu bentuk perasaan yang
menekan perasaan.
2.1.4.4. Kebencian
Kebencian juga dapat diartikan bermacam-macam
antara lain: (1) kebencian merupakan salah satu rasa penolakan
atau ketidaksukaan, (2) kebencian bersifat menjauhkan,
menghindar, atau memusuhi, (3) kebencian merupakan emosi
yang bertolak-belakang dengan kasih sayang, (4 ) kebencian
dapat muncul mengikuti rasa marah. Freud menyatakan dalam
penggunaan kata “benci”sama sekali tidak ada hubungan dengan
kasusenangan dan frustasi seksual seperti yang ada dalam kata
“cinta” sebaliknya yang ada hanya karakter menyedihkan.64
Kebencian ini juga salah satu kasus yang ditinggalkan pasca
konflik, karena pada waktu konflik banyak keluarga kehilangan
orang-orang yang disayangi, dan sering korban yang mengalami
konflik bersenjata atau yang menyakitkan akan menolak atau
membenci hal yang berkaitan dengan kejadian tersebut. Karena
akan meningatkan mereka akan kejadian yang menyakitkan.
2.1.4.5. Kekerasan
Kekerasan dapat dikatakan adalah: (1) tindakan
menyerang orang lain atau sesuatu, (2) kekerasan dipicu
oleh kemarahan dan kebencian, (3) reaksi kekerasan sama
dengan reaksi ketakutan, hanya arahnya yang berbeda. Reaksi
kekerasan bersifat menyerang dan melawan, sementara reaksi
ketakutan bersifat lari dan menghindar, (4) tujuan kekerasan
adalah kemusnahan, peniadaan, dan rasa sakit yang mungkin
sepadan dengan sakit hati yang kita alami. Martin Luther King,
Jr dalam Goleman menyatakan bahawa: “The ultimate weakness
of violence is that it is a descending spiral, begetting the very thing it
seeks to destroy . Instead of diminishing evil, it multiplies it. Through
violence you may murder the liar, but you can not murder the lie, not
establish the truth. Through murder you murder the hater, but you
do not murder hate. In fact, violence merely increases hate... Hate
can not drive out hate; only love can do that”.
Kelemahan utama kekerasan adalah ia seperti angin
pusar yang menghancurkan apapun yang dia lewati. Ia tidak
menghapuskan kejahatan, tapi menggandakannya. Dengan
kekerasan kamu dapat membunuh pembohong, tapi kamu
tidak dapat membunuh kebohongan. Dengan pembunuhan
kamu membunuh pembenci, tapi kamu tidak membunuh
kebencian. Kenyataannya, kekerasan hanya meningkatkan
kebencian. Kebencian tidak dapat menghapuskan kebencian;
hanya cinta yang dapat melakukannya.
2.1.4.6. Depresi
Tim Penanggulangan Kesihatan Jiwa Akibat Bencana di
Aceh, menyatakan kemurungan (depresi) merupakan gangguan
kesehatan mental yang ditandai dengan menghilangnya
perasaan (affect) positif, turunnya mood, dan beberapa sikap lain
seperti: hilangnya minat dan kesenangan terhadap hal seharihari, yang biasanya turunnya mood menetap, tidak dipengaruhi
keadaan, tetapi dapat juga kembali normal lalu turun kembali.
Orang depresi dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkan pada
fisik, perilaku.65 Chaplin menyatakan depresi adalah keadaan
kemurungan (kasusedihan, Kepatahan semangat) yang
ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan,
dan pesimisme menghadapi waktu hadapan, atau pada kasus
patologis, merupakan ketidakmauan ekstrem untuk mereaksi
terhadap peransang disertai menurunnya nilai-nilai diri,
delusi, ketidakpasan tidak mampu dan putus asa.
Pertama, ada tujuh gejala fisik antara lain: (1) sakit
kepala, (2) nyeri punggung, (3) gangguan tidur, (4) sering
terbangun awal hari, (5) gangguan makan, (6) letih yang
berlebihan, dan (7) gairah seksual menurun. Kedua, pada
prilaku ada sembilan gejala yang dapat dilihat yaitu: (1)
mengelakkan pergaulan dengan orang lain, (2) tidak mahu
bicara, (3) sering lupa, (4) putus asa, (5) bosan, (6) merasa tidak
berharga, (7) merasa gagal menyelamatkan diri sendiri dan
keluarga, (8) tidak mempedulikan lingkungan sekitar, dan (9)
ada fikiran atau usaha untuk membunuh diri. Pada umumnya
kemurungan dianggap sebagai penyakit yang akan sembuh
sendiri setelah mencapai waktu sekitar 6 bulan. Namun
melalui penelitian ternyata dijumpai kenyataan pada orang
yang menderita depresi (kemurungan), setelah 2 tahun: 20%
mati, 40% masih depresi, dapat disebut kronik bila mencapai
2 tahun. Angka kejadian depresi dipengaruhi: (1) gender, (2)
umur, (3) status perkahwinan, (4) Suku, (5) sosio ekonomi.
Cristian et al. dalam Fany menyatakan bahawa pada
usia reproduksi, wanita lebih banyak mengalami kemelesetan,
sedangkan setelah usia 55 yang terjadi sebaliknya, pasangan
yang kawin tanpa anak, merupakan angka kejadian yang
paling kecil. Wanita cenderung lebih mudah terkena jenis yang
atipikal (tidak biasa) yang mempengaruhi hormon reproduksi
yang mengakibatkan respon yang berbeda terhadap perawatan.
hubungan dengan orang lain juga berpengaruh, kasusulitan
membina keintiman dan kesulitan mengatasi konflik juga
memdapatkan terjadi depresi.66
Lebowitz et al. menyatakan bahwa: belum ada ujian
fisik yang mencukupi untuk mendiagnosis depresi, karena
pengetahuan kita tentang penyebabnya juga masih rendah. Jadi
penilaian tahap keparahannya hanya berdasarkan banyaknya /
parahnya gejala. Depresi ini dapat menjadi pencetus membunuh
diri, tetapi tahap kecenderungannya berbeda setiap orang.
Menurut fakta, depresi adalah punca terbesar membunuh diri
pada orang dewasa yang lebih tua. Depresi dapat digolongkan
berdasarkan jumlah dan tahap keparahan dari tanda yang
dimiliki, seperti: ringan, sedang, berat, dan atipikal / bertahan
terhadap perawatan.67 Secara garis besar perobatan depresi
dapat dibahagi 2, yaitu, Psikologikal, melalui terapi dan
farmakological melalui obat-obatan seperti obat anti depresan.
2.1.4.7. Kecemasan (Anxiety)
Kecemasan adalah perasaan ketakutan dan gugup.
Dalam situasi tertentu hal ini biasa, namun menjadi suatu
penyakit apabila berlangsung lama (lebih dari 2 minggu),
mengganggu kehidupan pesakit, atau menyebabkan gejala
yang serius. Gejala yang ditunjukkan pada fisik: (1) merasakan
jantungnya berdebar-debar, (2) merasa tercekik, (3) pusing, (4)
gemetar, (5) sakit kepala, (6) merasa ditusuk-tusuk jarum di
kaki dan wajah. Pada perasaan: (1) merasa sesuatu yang sangat
buruk akan terjadi pada dirinya, (2) merasa takut. Pada pikiran:
(1) cemas berlebihan tentang waktu atau kematian dirinya, (2)
fikiran akan mati, hilang kontrol atau fikiran akan menjadi gila,
(3) memikirkan berulang-ulang fikiran yang membuat distress,
walau coba menghentikannya.
Pada Perilaku: (1) mengelakkan situasi di mana ia
takut, seperti pasar. Sebab-sebab seseorang cemas adalah:
(1) waktu dalam hubungan, (2) kehilangan orang yang dekat,
(3) kehilangan pekerjaan, (4) menderita suatu penyakit, (5)
kesukaran dalam pekerjaannya, (6) kasulitan keuwangan, (7)
ahli keluarga sakit. Cemas juga dapat menimbulkan kepanikan.National Collaborating Centre for Primary Care
menyatakan kecemasan adalah perasaan ketakutan dan gugup.
Dalam situasi tertentu hal ini normal, namun menjadi suatu
penyakit apabila berlangsung lama (lebih dari 2 minggu),
mengganggu kehidupan penderita, atau menyebabkan
gejala yang serius.Sedangkan serangan panik adalah ketika
kecemasan muncul secara tiba-tiba dalam keadaan yang parah,
biasanya berlangsung beberapa menit. Biasanya berkaitan
dengan serangkaian gejala fisik yang parah (jantung berdebar
cepat, kasulitan bernafas), hingga membuat penderitanya
merasa akan terjadi sesuatu yang sangat buruk, dan merasa
akan mati (takut setengah mati). Serangan panik dapat merasal
dari kecemasan yang teramat sangat, atau juga takut yang
berlebihan.68
Gejala kecemasan dapat dilihat dari fisik: Merasakan
jantungnya berdebar - debar, merasa tercekik, mual, gemetar,
sakit kepala, merasa ditusuk-tusuk jarum di kaki dan wajah;
Pada perasaan: merasa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi
pada dirinya, merasa takut; Pada pikiran cemas berlebihan
tentang waktu atau kematian dirinya, pikiran akan mati,
hilang kontrol atau pikiran akan menjadi gila, memikirkan
berulang-ulang pikiran yang membuat distress, walau mencoba
menghentikannya; Pada Perilaku, menghindari situasi dimana
ia takut, seperti pasar, gangguan tidur yang parah (National
Collaborating Centre for Primary Care ,2004 ).
Freud menyatakan reaksi kecemasan (anxiety–reaction)
bila menimbulkan salah satu dari dua keadaan berikut:
yaitu perkembangan kecemasan yang merupakan ulangan
dari pengalaman traumatis yang dialami pada waktu lalu,
terbatas pada sinyal yang kaseluruhan reaksinya dapat
beradaptasi dengan situasi bahaya yang baru entah dengan
melarikan diri, melawan atau munculnya pengalaman waktu
lalu kepermukaan, sehingga kaseluruhan reaksi kelelahan
dalam perkembangan kecemasan yang kondisi efektif nya
dilumpuhkan dan tidak dapat disesuaikan dengan situasi saat
itu. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan panik. Serangan
panik adalah ketika kecemasan muncul secara tiba-tiba dalam
keadaan yang parah, biasanya berlangsung beberapa menit.
Pada gejala fisikal jantung berdebar cepat, kasulitan bernafas,
sehingga membuat penderitanya merasa akan terjadi sesuatu
yang sangat buruk, dan merasa akan mati. Serangan panik
dapat merasal dari kecemasan yang teramat sangat, atau juga
takut yang berlebihan, gangguan tidur yang parah.
Berkaitan dengan pembahasan tentang kecemasan,
obsesi merupakan salah satu penyebab timbulnya kecemasan.
Obsesi adalah suatu fikiran yang datang berulang. Misalnya
berfikir bahawa tangannya kotor, terutama setiap kali
menyentuh sesuatu. Seringkali terdapat hubungan antara
obsesi dengan kompulsi (mengerjakan sesuatu berulang kali).
Misalnya saja berfikir bahawa ia belum mengunci pintu, maka
ia akan berulang kali memeriksa pintu. Ada istilah kecemasan
itu menular, hal ini maksudnya adalah ketika seseorang merasa
cemas, atau bahkan panik, ia seringkali mengungkapkan
kecemasannya itu kepada orang-orang sekitar. Ungkapan
kecemasannya itu dapat mempengaruhi fikiran orang-orang
sekitarnya, sehingga apabila mereka tidak berusaha tetap
tenang dan berfikir rasional, mereka dapat ikut panik. Untuk
mengatasi kecemasan yang datang, perlu diadakan suatu
usaha menenangkan diri seperti relaksasi. Apabila memang
tidak berhasil dan kecemasan itu datang lagi, mencari bantuan
yang ahli adalah jalan keluarnya. Relaksasi adalah cara yang
sangat berguna untuk mengurangkan kasusan tekanan mental.
Kebanyakan kaedah relaksasi menggunakan beberapa bentuk
latihan pernafasan. Berikut ini akan dibahas mengenai salah
satu teknik latihan pernafasan. Latihan ini dapat dilakukan
kapan saja, sebaiknya dilakukan di kamar yang sepi dan
ditempat yang tidak akan terganggu, dan dilakukan setiap hari
selama 10 menit.
Langkahnya: (1) berbaring atau duduk dengan
posisi yang nyaman, (2) tutup mata, (3) setelah 10 saat,
konsentrasikan fikiran pada irama nafasnya, (4) konsentrasi
untuk bernafas dengan perlahan dan teratur melalui hidung,
(5) seberapa pelan dapat diatur dengan menarik nafas dalam
3 hitungan, menghembuskannya lagi dalam 3 hitungan, dan
diam sambil menghitung 3 hitungan sebelum menarik nafas
lagi, (6) saat menghembuskan nafas dapat dibarengi dengan
mengatakan dalam fikiran kata-kata menenangkan, seperti
‘santai’ atau istilah keagamaan, (7) manfaatnya akan dirasakan
dalam waktu 2 minggu. Dan dengan latihan yang cukup, ia akan
dapat melakukannya dalam situasi yang berbeda-beda.
2.1.5 Penanganan Trauma
Raymon Corsini menyatakan bahwa manusia menjadi
sakit secara psikologis karena pengalaman-pengalaman awal
yang membuat prustasi, yang kemudian mengkristal dalam
suasana batin tertentu. Sekali suasana bathin terbentuk,
maka sulitlah pengalaman-pengalaman itu untuk dihilangkan.
Selanjutnya pengalaman-pengalaman tersebut membentuk
individu semakin lama semakin tidak dapat diakses oleh
pengalaman-pengalaman kita, yang bergantung pada tingkat
kedalaman internalisasi. 69Karena sakit dan perasaan sakit
inilah harus ada rawatan yang terencana dan konprehensif,
sehingga manusia terbebas dari rasa sakit tersebut.
Rothbaum et al. menyatakan rawatan untuk
pendedahan yang berpanjangan (Prolonged exposure) melalui
terapi kognitif adalah lebih berkasusan daripada dipilih
perencat reuptake serotonin atau dari pada tidak ada
perawatan dalam mencegah post-traumaticstress disorder. Selain
itu ia juga menyatakan bahwa perawatan dan pencegahan PTSD
dapat melibatkan penolong ketakutan, menghindari penyatuan
antara rangsangan traumatik dan respon ketakutan, atau
menggantikan persatuan itu dengan yang lain. Oleh karena itu,
peneliti menduga bahwa meluahkan perasaan berkepanjangan
pada rangsangan tidak lama setelah peristiwa trauma akan
menghalangi PTSD.70
Baranowsky & Lauer menyatakan 3 langkah untuk
trauma healing bagi siapa saja yang telah mengalami satu
peristiwa hebat yang telah menggangu kehidupan, yang ditulis
dengan menggunakan bahasa, Ia merupakan panduan untuk
membantu orang yang tidak hidup sepenuhnya, karena mereka
dihantui oleh pengalaman atau peristiwa traumatik. Rencana
yang dapat memupuk pengawasan lebih awal atas aktivitas
semula orang. Yang lebih penting lagi, ia membantu mereka
menjadi hadir kembali dalam dunia mereka, dan hidup dengan
keyakinan dan rasa kesejahteraan. Sebagai ahli terapi, bekerja
dengan orang setiap hari yang telah hidup dengan melalui
berbagai pengalaman traumatik; Saya akan menpromosikan
betul buku ini. Sebab yang mudah dalam kasus tersebut adalah
membuat perbedaan yang besar untuk jiwa yang mungkin tidak
akan mau untuk melakukan konseling profesional. Karena
asasnya dapat membantu orang meletakkan kehidupan mereka
kembali bersama-sama sekali lagi.71
Untuk pengawalan korban trauma akibat peperangan
dan kekerasan yang dikatakan oleh Stradling ada beberapa
yang dapat dilakukan yaitu: Pertama, tingkatkan sensitivitas,
kenali gejala trauma pada orang-orang disekeliling, lakukan
pendekatan dengan lembut dan penuh kasih sayang, empati,
bertindak hati-hati, tawarkan bantuan rujukan kepada
professional. Kedua, respon professional (psikolog, psikiater,
dan kaunselor) untuk membantu survivor trauma terkait: (1)
Incident Stress Debriefing (CISD), (2) menceritakan kembali
peristiwa traumatik yang dialami secara berstruktur dalam
waktu 24-72 jam pasca terjadinya peristiwa traumatik, (hal
ini, masih diperdebatkan apakah baik untuk digunakan /
tidak), (3) kaunseling stress pasca trauma, (4) normalisasi
reaksi, (5) membantu proses coping. Sementara itu Kaplan
et al. menyatakan ada dua macam terapi pengobatan yang
dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan
farmakoterapi dan psikoterapi.72
Pertama, pengobatan farmakoterapi dapat berupa
terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang
sudah dikenal. Terapi anti depresive pada gangguan stres pasca
traumatik ini masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan
adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta –
seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut
biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak
lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan
kekecualian, yaitu benzodiazepin contoh, estazolam 0,5-1 mg per
os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg
per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os, atau Lorazepam 1-2 mg
per os atau IM– juga dapat diguna-kan dalam UGD atau kamar
praktek terhadap ansie tas yang gawat dan agitasi yang timbul
bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut.
Kedua, pengobatan psikoterapi. Para terapis percaya
bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan
efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management,
cognitive therapy, exposure therapy. Pada anxiety management,
terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
(1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan
kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok
otot -otot utama; (2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas
dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari
bernafas dengan tergesa - gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti
jantung berdebar dan sakit kepala; (3) positive thinking dan selftalk, yaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan
mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal –hal
yang membuat stress (stresor); (4) asser-tiveness training, yaitu
belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain; (5) thought
stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika
kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress
Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk
merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu
emosi dan mengganggu aktifitas. Misalnya seorang korban
kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati
-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiranpikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut
yang kemudian mengadopsi pikiran yang le bih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim,
2005b).
Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis
membantu meng-hadapi situasi yang khusus, orang lain,
obyek, memori atau emosi yang meng -ingatkan pada trauma
dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam ke
-hidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the
imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang
cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan
menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu
menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal:
kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).
Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi
tersebut dibanding berusaha lupakannya. Pengulangan situasi
disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari
situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan
dapat diatasi (Anonim, 2005b).
therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan
PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan
PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang
tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu
anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005b).74 Terapi debriefing juga dapat
digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak
kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum
dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane
didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk
melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose
et al, 2002). Selain itu, didapatkan pula support group therapy
dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta
merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman
serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa
bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan
tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian mereka
saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan
bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan
bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu
memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa
memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam.
Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang
untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan
kecemasan (Anonim, 2005b).75
Pendidikan dan supportive konseling juga
merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor
ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan
keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam
treatment (terapi dan pengobatan) yang cocok untuk
PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam
waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat
ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya
sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya (Anonim, 2005b). Di lain pihak, sampai saat ini
masih didapatkan pula beberapa tipe psikoterapi yang lain.
Misalnya, eye movement desensitization reprocessing (EMDR),
hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang seringkali
digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu
bagi sebagian penderita (Anonim, 2005b).76
Lise (2007) menyatakan penanganan PTSD dapat
melalui kognitif terapi atau terapi tingkah laku dengan
psikiatri terlatih, psikologi, atau lain-lain profesional dapat
membantu perubahan emosi, pemikiran, dan tingkah
laku yang dikaitkan dengan PTSD dan dapat membantu
menguruskan panik, kemarahan, dan kebimbangan. Begitu
juga dengan obat-obatan tertentu dapat mengurangi gejala
seperti keresahan, impulsivity, kemurungan, dan insomnia
dan penurunan mendesak untuk menggunakan alkohol dan
obat-obatan lain. Kumpulan terapi dapat membantu pesakit
belajar untuk berkomunikasi perasaan mereka tentang trauma
dan mewujudkan satu rangkaian dukungan. Menjadi difahami
mengenai PTSD dan sharing informasi dengan keluarga dan
kawan-kawan dapat mewujudkan kesefahaman dan dukungan
sewaktu pemulihan.77
NIMH (tt) menyatakan perawatan utama bagi orang-
orang hidup dengan PTSD adalah melalui psikoterapi
(“berbicara” terapi), obat-obatan, atau kedua-duanya. Semua
orang adalah berbeda, jadi perawatannya juga berbeda antara
satu orang dengan orang yang lainnya, hal ini penting bagi
siapa saja yang menjaga dan merawat orang dengan PTSD
untuk pembekalan penjagaan kesehatan mental yang dialami.
Setengah orang dengan PTSD perlu mencoba perawatan yang
berbeda untuk mencari apa yang efektif untuk gejala mereka.
Jika seseorang berketerusan melalui trauma maka ia akan
PTSD, seperti kasus, kedua-dua hal tersebut harus dirawat.
Kasus lain yang sering berketerusan antara lain gangguan
panik, kemurungan, penyalahgunaan narkoba, dan ingin
membunuh diri.78 Selain Farmakoterapi dan Psikotherapi dapat
juga dilakukan melalui konseling, yaitu proses layanan bantuan
yang diberikan oleh seorang konselor kepada klien dalam
rangka membantu untuk preventif, kuratif, developmental dan
preservatif, agar mereka dapat hidup dan bertumbuh kembang
dengan baik secara individu maupun kelompok. Sondang Irene
E. Sidabutar (2003) membuat suatu bentuk piramid masyarakat
dalam konflik berkekerasan sebagaimana dapat dilihat dalam
skema 2.4 berikut ini
Psikoterapi adalah terapi “berbicara”. Ia melibatkan
percakapan dengan profesional kasehatan mental untuk
merawat penyakit mental. Psikoterapi dapat terjadi dengan
cara satu-satu atau dengan cara kelompok. Percakapan terapi
rawatan untuk PTSD biasanya berlangsung selama 6 hingga
12 minggu, tetapi dapat mengambil waktu yang lebih. Kajian
menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga dan rekanrekan dapat menjadi bahagian penting dalam terapi. Banyak
jenis psikoterapi yang dapat membantu orang dengan PTSD.
Setengah jenis sasaran gejala PTSD langsung adalah tumpuan
kepada sosial keluarga memberi terapi lain, atau masalah yang
menentukan. Doktor atau ahli terapi dapat menggabungkan
terapi yang berbeda tergantung kepada kebutuhan setiap orang.
Satu terapi yang dapat membantu adalah terapi tingkah laku
kognitif. Terdapat beberapa bahagian untuk CBT, termasuk
Pertama, Terapi terbuka. Terapi ini membantu rakyat
menghadapi dan mengawal ketakutan mereka. Ia meluahkan
mereka kepada trauma yang mereka alami dengan cara yang
selamat. Ia menggunakan imej mental, menulis, atau kunjungan
ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapi menggunakan
alat-alat untuk membantu orang dengan PTSD ialah dengan
menghadapi perasaan mereka. Penyusunan kembali kognitif.
Terapi ini membantu orang banyak untuk merasa kenangan
buruk. Kadang-kadang orang ingat peristiwa berbeda daripada
bagaimana ia terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau
malu tentang apa yang bukan salah mereka. Terapi membantu
orang dengan PTSD adalah dengan melihat apa yang terjadi
dalam cara yang realistik. Kedua latihan tekanan inokulasi.
Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan
mengajarkan orang bagaimana untuk mengurangi keresahan.
Seperti penstruktural kembali kognitif, karena perawatan
ini akan membantu orang banyak melihat kenangan mereka
dengan cara yang sehat.
Perawatan jenis lain juga dapat membantu orang
yang mengalami PTSD. Orang dengan PTSD perlu berbicara
tentang semua pilihan perawatan dengan ahli terapi mereka.
Doktor juga dapat menetapkan lain-lain tentang jenis obat,
seperti yang diuraikan di bawah. Terdapat sedikit informasi
mengenai bagaimana kerja ini bagi orang-orang dengan PTSD
yaitu: (1) Benzodiazepin. obat-obatan ini dapat diberikan untuk
membantu orang beristirahat dan tidur. Orang yang mengambil
benzodiazepin mungkin mempunyai masalah ingatan atau
menjadi bergantung pada medication. (2) Antipsikotik. obatobatan ini biasanya diberikan kepada orang dengan gangguan
mental yang lain, seperti skizofrenia. Orang yang mengambil
antipsychotics dapat mendapatkan berat badan dan mempunyai
peluang yang lebih tinggi mendapat penyakit jantung dan
kencing manis. (3) Antidepresan lain. Seperti sertraline dan
paroxetine, fluoxetine anti depresan (Prozac) dan Citalopram
(Celexa) dapat membantu orang dengan PTSD, mengurangi
perasaan tegang atau sedih. Bagi orang yang mengalami PTSD
juga mempunyai gangguan kecemasan lain atau kemurungan,
anti depresan mungkin berguna dalam mengurangi gejala
penyakit ini.
Semua penyakit pasti ada obanya, tinggal bagaimana
sesorang melihat penyakit tersebut membahayakan atau
menyusahkan dirinya.Konflik bersenjata dan tsuami
merupakan musibah besar dalam kehidupan masyarakat
terutama Aceh, karena pasca peristiwa itu terjadi semua
orang sibuk menangani diri masing-masing padahal salah
satu perawatan dan yang efektif adalah bila bergabung dalam
kelompok dan saling menceritakan penderitaan masingmasing. Karena dengan menceritakan apa yang dirasakan di
dalam hati akan mengurangi beban dengan demikian juga
mengurangi kesedihan dan ini dapat mengurangi trauma